Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

TAFSIR BI RA’YI: KARAKTER, CIRI-CIRI,


DAN SERTA KITAB TAFSIRNYA
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah:
Mazahib Tafsir
Dosen pengampu:
Abdul Kholiq, MA,.

Muhamad Iqbal Fauji


Muhammad Khairin Noor
Tamim Adari

FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT PERGURUAN TINGGI ILMU AL-QURAN JAKARTA (PTIQ)
Jl. Lebak Bulus, Pasar Jumat, Cilandak, Jakarta Selatan, DKI Jakarta

1
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji bagi Allah yang mana telah menurunkan kepada kita umat
manusia sebuah petunjuk, yang mana jika kita berpegang teguh kepadanya, maka tidak
akan didapati oleh kita tersesat, rasa sedih, dan takut. Melainkan kebahagiaanlah yang
didapati di dalamnya. Tidak lain dan bukan petunjutk itu adalah al-Quran al-Kariim.
Salawat dan salam, semoga tetap tercurah dan limpahkan kepada baginda kami, kekasih
kami. Rindu yang besar, rasa cinta yang amat begitu mendalam, harap dengan sangat
berjumpa dengannya baik di dunia dan akhirat. Wahai engkau yang rasulullah, Muhammad
Saw. Tak lupa kepada keluarga dan para sahabat, serta semoga kelak di akhirat kita semua
termasuk umatnya yang juga mendapatkan syafaatnya. Aamiiiin.
Al-Quran turun sebagai hidayah, sebagai peringatan, kabar gembira, serta janji dan
ancaman. Tentunya semua hal itu adalah wahyu dari Allah, atau kalaamullah yang mana
diwahyukan kepada kekasih kita yakni nabi Muhammad Saw melalui perantara Jibril As.
Sederhananya adalah segala sesuatu yang mulia, tidak mungkin diturunkan kecuali
melalui perantara yang mulia. Jika diruntutkan secara urutan nuzul al-Quran itu, ia turun
dari Allah Swt yang Maha Mulia, dijaga di tempat yang suci dan mulia yakni laul mahfuz,
turun melalui perantara malaikat yang paling mulia yakni Jibril As, kemudian turun di
malam mulia, yakni malam lailatul qadr, turun di bulan yang amat mulia yakni bulan suci
ramadan, turun di dua kota mulia yakni Makkah dan Madinah, serta diturunkan kepada
insan yang sangat mulia, ialah nabi Muhammad Saw.
Maka sungguh beruntung kita sebagai umat muslim, yang berkesempatan memperoleh
kemuliaan tersebut, melalui merasakan membacanya, mempelajarinya, mengamalkannya
di dalam kehidupan kita.
Tentunya kemuliaan al-Quran akan ditemukan selain dengan membacanya, tentunya
dengan mempelajari, dan menggali makna yang terkandung di dalamnya. Menggali pesan-
pesan ilahiyyah yang terkandung di dalam bait perbait ayat, kata perkata, huruf perhuruf
yang ter-maktub di dalam kitab ini sangat memerlukan sebuah keilmuan yang Rasulullah
ajarkan dan wariskan kepada sahabat, tabiin, sehingga sampai kepada para ulama selaku
para pewaris keilmuan Nabi Saw.
Oleh karenanya, sangat diperlukan untuk mengetahui sistematika, metodologi
penafsiran para ulama ahli tasfir. Demi tujuan yang sangat mulia, yakni menemukan dan
mendalami pesan-pesan ilahiyyah yang terkandung di dalam al-Quran.

ii
Sehingga penulisan makalah ini, akan membahas macam sistematika atau metodologi
para ulama dalam menafsirkan al-Quran. Semoga kita semua, termasuk kepada hamba-
hamba pilihannya yang saabiqun bil khairat bi idznillah dalam berinteraksi kepada al-
Quran, sehingga ia akan mensyfaati kita kelak di mana semua umat manusia membutuhkan
syafaat dalam menemani perjalana pertanggung jawaban amalnya.

Jakarta. 10 Oktober 2021

Penyusun

iii
DAFTAR ISI

iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Studi tafsir, adalah studi yang sangat mahsyur dikaji oleh para santri, pelajar,
mahasiswa, kiyai, ustaz dan ulama. Karena studi ini, bukanlah studi biasa,
melainkan studi yang mana mengkaji sebuah kitab yang berisi pesan-pesan
ilaahiyyah yakni al-Quran.
Tentunya para ulama yang mendidikasikan dirinya berfokus untuk studi ini,
telah melahirkan banyak karya yang khas di bidangnya. Ada yang khas menjadi
studi tafsir bercorak fikih, hadits, tasawuf, sains, sosial, dan lain-lain. Mengapa
melahirkan banyak corak, karena sifat universal al-Quran itulah yang membuat
para pengkajinya melahirkan berbagai macam corak penafsiran. Yang mana semua
itu akan bermuara pada ungkapan Laa Ilaah Illallah (Tiada Tuhan yang berhak
disembah kecuali hanya Allah).
Oleh karenanya, perlu sangat diperhatikan bahwa tujuan mengkaji al-Quran
adalah tidaklain sebagai bentuk pengagungan yang sangat amat besar kepada Tuhan
yang menurukan kitab ini, yakni Allah Swt. Sebab karunia, keindahan makna,
pesan-pesan yang mengetuk pintu hati, meneteskan air mata, bermuara pada ucapan
kalam Laa Ilaaha Illallah.
Namun, tentunya sebelum mengkaji al-Quran tersebut sangat diperlukan sebuah
metodologi, sistematika cara penafsiran yang diturunkan oleh Nabi Saw, dan
diwariskan oleh para ulama.
Oleh karena itu, mengetahui metodologi (Mazhab) tafsir sangat penting. Karena
setiap metodologi akan menuntun para pengkajinya menemukan pesan-pesan ilahi
tersebut.
Makalah ini, disusun tidak lain dan bukan untuk memberikan sebuah gambaran
besar terkait salah satu mazhab tafsir yang sangat mahsyur di kalangan para ulama.
Oleh karenanya, makalah ini akan dibukan dengan pengenalan secara general,
kemudian masuk lebih dalam kepada sistematika mazhab tafsir tersebu, kemudian
masuk kepada karakter, contoh penafsiran, dan pengenalan secara umum kitab-
kitab yang mu’tabar dalam metodologi (mazhab) ini.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari tafsir bi ra’yi?
2. Seperti apa sejarah penafsiran dengan metode bi ra’yi?
3. Bagaiamana karakteristik dan macam penafsirannya?
4. Apa saja yang menjadi syarat untuk menjadi mufasir dengan menggunakan
metode ini?
5. Bagaimana pandangan para ahli tafsir terkait metode ini?
6. Apa saja karya-karya tafsir yang khas menggunakan metode ini?
7. Bagaimana contoh penafsiran dengan menggunakan metode ini?

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tafsir Bi Ra’yi
Pengertian tafsir, mungkin sudah sering didengar bahwa ia adalah sebuah usaha
dalam memahami al-Quran. Dan tentunya menggunakan metodologi yang tersusun
dan terangkain dengan rapih, sehingga menghasilkan penafsiran yang baik dan khas
sesuai dengan metodologinya.
Salah satu metodologi (mazhab) tafsir yang mahsyur di kalangan ahli tafsir ialah
menggunakan metode Bi Ra’yi. Oleh sebab itu, pembahasan pertama makalah ini
akan memberikan wawasan kepada pembaca khususnya penyusun tentang ta’rif
(pengertian) baik dipandang dari sisi bahasa atau istilah.
Muhammad Abdul ‘Adzhim az-Zurqaaniy pengarang kitab Manaahil al-‘Irfaan
Fii ‘Uluum al-Quran, memberikan keterangan berkaitan dengan pengertian secara
bahasa dan istilah dari tafsir bi ra’yi tersebut.

‫ستِنَادُ إِلَ ْي ِه بَ ِع ْيدًا‬ ِْ ‫ب‬


ْ ‫اْل‬ ُ ‫ستَنَدًا إِلَى َما يُ َج‬ ْ َ ‫اْلجْ تِهَادُ ُم َوفَّقًا أ‬
ْ ‫ي ُم‬ ِ ْ ‫الرأْي ِ هُنَا‬
ِ ْ َ‫اْلجْ تِهَا ُد فَ ِإ ْن كَان‬ َّ ‫ال ُم َرادُ ِب‬
‫سي ُْر ِب ِه َمحْ ُم ْو ٌد َوإِ َّْل فَ َمذْ ُم ْو ٌم‬
ِ ‫ع َِن ا ْل ُجهَّالَ ِة َوالض َََّللَ ِة فاَلت َّ ْف‬
“Yang dimaksud dengan Ra’yu di sini adalah al-Ijtihaad (curahan tenaga yang
sangat demi menghasilkan sesuatu). Maka jika ijtihad itu selaras maksudnya
adalah bersandar kepada apa yang telah diwajibkan disandarkan kepadanya
(Muhammad Saw/al-Quran) (didapatinya) jauh dari kebodohan dan kesesatan,
maka tafsiran tersebut (termasuk kalangan) terpuji, dan jika tidak maka (tafsiran
itu termasuk kalangan) tercela.”1

Jika melihat pemikiran az-Zurqaaniy ini, beliau melihat sisi penafsiran dengan
metode ini dari sisi apa yang dimaksud dari tafsir bi ra’yi itu, bukan mengacu
kepada ta’rif (pengertian) dari lafaz ra’yu tersebut. Penulis lebih setuju dalam
memberikan pengertian kepada tafsir bi ra’yi ini. Sebab jika dimaknai dengan
pengertian dari lafaz ra’yu itu sendiri maka setiap orang akan digiring kepada faham
bahwa al-Quran boleh ditafsirkan secara gamblang dengan pemikiran sendiri.

1
Muhammad ‘Abdul ‘Adzhim az-Zurqaaniy, Manaahil al-‘Irfaan fii ‘Uluum al-Quran, (- :Mathba’aah
Isaa al-Baabiy al-Halbiiy -), jilid. 2, hal. 49,.

3
Yang mana tentunya setiap pemikiran orang berbeda-beda. Yang dikhawatirkan
adalah mereka menafsirkan al-Quran dengan pemikiran mereka yang bathil. Dan
jika ini terjadi, maka para ahli bid’ah dari kalangan orang-orang yang tidak berilmu
diberikan pintu dengan mudah untuk menafsirkan al-Quran secara sembrono.
Oleh karenanya, jika diberikan pengertian tafsir bi ra’yi ini dengan sebuah usaha
yang sangat, dan dengan memperhatikan koridor keilmuan yang tentunya bersanad
kepada Rasululullah dan tidak jauh dari makna hakikat kegamaan, maka
penafsirannya sangat dipuji, dan jika tidak dengan prosedur di atas, maka
penafsirannya bathil (tertolak).

B. Sejarah Munculnya Tafsir Bi Ra’yi


Cukup sulit melacak lahirnya sejarah dari penafsiran dengan menggunakan
metode ini. Namun mari kita membuka pikiran dan melihat bahwa pada nilai
subtansinya penafsiran dengan menggunakan metode ini sudah muncul di zaman
Nabi dan sahabat. Oleh karenanya Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA,.
mengemukakan pendapatnya di dalam bukunya bahwa memang pada subtansinya
Nabi Saw dan para sahabat penafsirannya adalah bi ra’yi.

“Allah Swt menganugrahi manusia aneka potensi antara lain potensi untuk
berpikir. Manusia dikecam, bahkan diancamnya, kalau enggan menggunakan
potensi-potensinya, antara lain potensi berpikir itu (Baca Qs. Al-A’raf [7]: 179).
Banyak sekali yang disebut oleh Al-Quran sebagai objek yang perlu dipikirkan, dan
banyak pula kosakata yang digunakannya untuk maksud tersebut. Salah satu yang
dipikirkan untuk disimak dan dipikirkan adalah al-Quran. Di sisi lain, sekian
banyak problem baru yang bermunculan dari saat ke saat yang memerlukan
jawaban dan bimbingan sedang hal tersebut tidak ditemukan penjelasannya dari al-
Quran dan Sunnah. Dari sini lahirlah upaya memahami/menafsirkan ayat-ayat al-
Quran dan sejak itulah lahir tafsir bi ar-ra’yi. Walau sebenarnya tidak keliru dari
segi substansi jika dikatakan bahwa penafsiran Nabi Saw dan sahabat-sahabat

4
beliau pun adalah tafsir bi ar-ra’yi, karena mereka menggunakan nalar mereka
dalam upaya memahami al-Quran.”2

Seandainya penafsiran ini mutlak diharamkan, maka umat Islam akan kesulitan
menemukan jawaban-jawaban yang berkaitan dengan permasalahan yang menimpa
mereka. Hari ini mahsyur di genggaman kita banyak sekali kitab-kitab tafsir yang
menggunakan metode ini, terutama yang khas dikaji di pesantren-pesantren
Indonesia, tidak lain dan bukan adalah Tafsir Jalailain yang khas dengan
kebahasaannya.
Namun, tentunya pada kesempatan selanjutnya penulis akan mengenalkan apa
saja karakteristik metode ini. Kemudian pada bahasannya selanjutnya penulis akan
mengenalkan bagaimana syarat-syarat yang harus dipikul dan dimiliki oleh mufasir
yang hendak menggunakan metode ini.

C. Karakteristik Tafsir Bi ar-Ra’yi


Secara umum, metode ini terbagi kepada dua bagian. Yakni metode yang terpuji,
dan metode yang tercela. Namun pertanyaanya adalah seperti apa karakteristik
metode Bi Ra’yi yang terpuji dan tercela tersebut. Dikutip dari kitab Nafahaat Min
‘Uluum al-Quran karangan Muhammad Ahmad Muhammad Ma’bad. Beliau
menjelaskan bahwa ada dua jenis tafsir bi ar-ra’yi, yakni yang terpuji dan yang
tercela. Adapun kriterinyanya, ada pada kutipan di bawah ini.

‫ع ْن كُ ِل‬ َ ‫ بَ ِع ْي ًدا‬،‫ع ا ْل َح ِك ْي ِم‬ ْ َ‫الرأْي ِ هُ َو َما َكانَ ُم َوافَقًا لِق‬


َ ‫ص ِد ا ْل ُم‬
ِ ‫ش َّر‬ ِ ‫فَالنَّ ْوعُ ا ْل َمحْ ُم ْو ُد فِي الت َّ ْف‬
َّ ِ‫س ْي ِر ب‬
‫ت ا ْلقُ ْرآنِيَّ ِة‬
ِ ‫ض ْاليَا‬ ِ ‫ع َر‬ َ ‫سا ِل ْي ِب َها فِي‬ َ َ ‫شيًا َم َع قَ َوا ِع ِد اللغَ ِة ا ْلعَ َربِيَّ ِة ُمت َفَ ِه ًما ِل‬ ِ ‫ض ََللَة َو ُج َّهالَة ُمت َ َم‬
َ
‫ َما‬.‫سائِغًا ُم ِف ْي ًدا‬ ِ ‫علَى َه ِذ ِه الش ُر ْو ِط َكانَ ت َ ْف‬
َ ‫س ْي ُرهُ َجائِ ًزا‬ َ ‫س َر‬ َّ ‫ فَ َم ْن َف‬،‫َخا ِليًا ِمنَ ا ْل َه َوى َوالس ْمعَ ِة‬
.‫ص َدهُ َو َو َّج َهتْهُ ِخ ْد َمةَ َكَلَ ِم للاِ ت َعَالَى َو بَيَانَ َمعَانِ ْي ِه بِكُ ِل ِص ْدق َوأ َ َمانَة‬
َ َ‫َدا َم ق‬
“Adapun jenis yang terpuji pada tafsir bi ar-ra’yi yakni ia yang sejalan dengan
maksud apa yang telah disyariatkan para ahli hukum (Nabi, sahabat, ulama). Jauh
dari setiap kesesatan dan kebodohan, beriringan dengan kaidah-kaidah bahasa arab,

2
M. Quraish Shihab, kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan Yang Patut Anda Ketahui Dalam
Memahami Ayat-Ayat Al-Quran, (Tanggerang: Lentera Hati 2019 M), hal. 308,.

5
memahami kepada setiap uslub pada indikasi ayat-ayat Quran, mengosongkan diri
dari hawa nafsu dan sum’ah. Maka barangsiapa yang menafsirkan sesuai dengan
syarat-syarat di atas, tafsirannya tersebut dapat diterima, diperbolehkan, dan
mendatangkan manfaat. Selama (penafsiran itu) bermaksud padanya (tafsiran itu)
dan menghadapkan (diri) untuk berkhidmat kepada Kalamullah serta menjelaskan
setiap maknanya dengan jujur dan amanah.”

‫ضى‬َ َ ‫ب َه َواه َو ُم ْقت‬


ُ ‫س‬ َّ َ‫س َر ا ْلقُ ْرآنُ ِب ُد ْو ِن ِع ْلم ِع ْن َد ُه أ َ ْو يُف‬
ْ ‫س َر ُه َح‬ َّ َ‫ فَ ُه َو أ َ ْن يُف‬،‫س ْي ُر ا ْل َمذْ ُم ْو ُم‬
ِ ‫َوأ َ َّما الت َّ ْف‬
‫لى‬
َ ‫ع‬ ِ ‫ أ َ ْو يُحْ َم ُل َكَلَ ُم‬،‫اللَ ِه َّي ِة‬
َ ‫للا ت َ َعالَى‬ ِْ ‫ت‬ ْ َّ ‫ َم َع َج ْه ِل ِه ِب َم ْع ِرفَ ِة اللغَ ِة ا ْل َع َر ِب َّي ِة أ َ ِو الت‬،‫َمذْ َه ِب ِه‬
ِ ‫ش ِر ْي َعا‬
‫ َويُجْ َز ُم ِبأ َنَّ ا ْل ُم َرا ِد ِم ْن‬.‫للا ت َ َعالَى ِب ِع ْل ِم َها‬ َ ‫ست َأ ْث َ َر‬ ْ ‫اء الَّ ِت ْي ا‬ ْ َ ‫ض ِفي ْال‬
ِ ‫ش َي‬ ُ ‫ أ َ ْو يُ َخ َّو‬،‫ق ِب ِه‬ ُ ‫َم ْعنًى َْل َي ِل ْي‬
،‫اط ُل‬ِ ‫س ْي ُر ا ْل َمذْ ُم ْو ُم) أ َ ِو ا ْل َب‬
ِ ‫س َّمى (الت َّ ْف‬ َ ُ‫س ْي ِر ي‬ ِ ‫ع ِمنَ الت َّ ْف‬ ِ ‫ فَ َهذَا النَّ ْو‬،‫غ ْي ِر َحق‬ َ ‫علَى‬ َ ‫للا َكذَا و َكذَا‬ ِ ‫َك ََل ِم‬
‫آن ا ْلعَ ِظ ْي ِم َْل يَنَالُهُ َو َْل‬ ِ ‫س ْي َر ا ْلقُ ْر‬ِ ‫شكَّ فِ ْي ِه أ َنَّ ت َ ْف‬ َ ‫ َو ِم َّما َْل‬،‫احبَهُ يَأ ْث َ ُم بِ َهذَا ا ْلعَ َم ِل‬
ِ ‫ص‬َ َّ‫شكَّ أ َن‬ َ ‫َو َْل‬
:‫اص ْي َوفِي َهذَا قَا َل للاُ ت َعَالَى‬ ِ َ‫عةٌ أ َ ْو ِك ْب ٌر أ َ ْو ُحب الد ْنيَا أ َو ْ َم ْي ٌل إِلَى ا ْل َمع‬َ ‫يَ ِص ُل إِلَ ْي ِه َم ْن فِي قَ ْلبِ ِه بِ ْد‬
ِ ‫ف ع َْن آياتِ َي الَّ ِذينَ يَت َ َكبَّ ُرونَ فِي ْال َ ْر‬
ِ ‫ض بِغَي ِْر ا ْلح‬
‫َق‬ ُ ‫سأَص ِْر‬
َ
“Dan adapun tafsir yang tercela, yakni ditafsirkannya al-Quran tanpa adanya ilmu,
atau ditafsirkannya dengan hawa nafsu sebagai tolak ukurnya dan kepentingan
golongannya. Bersamaan dengan bodohnya akan pengetahuan bahasa arab, serta
syariat ilahiyyah. Atau juga dikandung di dalam Kalamullah tersebut atas makna
yang mana tidak pantas padanya (Kalamullah itu), atau dimasukkanya segala
sesuatu (pada tafsirannya) yang mana mematikan/memonopoli Allah Swt dengan
pengetahuannya. Dan ditetapkannya (pada tafsiran itu) bahwa ini adalah yang di
maksud Kalamullah itu seperti ini dan ini yang mana menunjukkan bukan pada
yang sebenarnya. Maka jenis (tafsiran ini) adalah dinamakan dengan tafsir tercela
dan batil (tertolak). Tidak ada keraguan bahwa pemiliknya (tafsiran itu) senantiasa
berdoa dengan sebab perbuatannya. Dan termasuk dari hal itu, tidak ada keraguan
lagi bahwa tafsir Quran al-‘Adzhim tidak akan memperoleh olehnya juga tidak akan
sampai kepadanya, jika di hatinya ada kesesatan, kesombongan, cinta duniawi, atau
kecenderungan kepada kemaksiatan. Pada hal tersebut, Allah Swt berfirman: ‘Akan

6
Aku palingkan dari tanda-tanda (Kekuasaan-Ku) orang yang menyombongkan diri
di bumi tanpa alasan yang benar’ [Qs. 7: 146]”3

Melalui penjelasan di atas, difahami bahwa ada rambu-rambu yang mana harus
di jauhi dan ada ilmu-ilmu yang harus dimiliki ketika ingin menafsirkan al-Quran
dengan metode ini. Tentunya para ulama menyusun syarat dan rambu ini demi
menjaga eksistensi al-Quran, dan menjaga maknanya agar tidak tercampur oleh
tangan-tangan yang kotor.
Sehingga pada pembahasan selanjutnya, akan disajikan bagaimana syarat-syarat
yang harus ditempuh oleh seorang mufasir, juga pandangan ulama berkaitan
dengan metode ini, serta karya-karyanya dan contoh penafsirannya.

D. Syarat-Syarat Yang Harus Ditempuh


Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mufassir berkaitan
dengan diterima atau tidaknya dalam melakukan tafsir bil ra’yi, antara lain :
1. Mempunyai aqidah yang benar, sebab aqidah sangat berpengaruh bagi jiwa
dan hasil pemikiran sangat bergantung pada jiwa. Seorang mufassir harus
memiliki akidah yang lurus sehingga menjamin kelurusan penafsirannya
juga.
2. Bersih dari hawa nafsu, hawa nafsu dapat mendorong seseorang membela
kepentingan sendiri atau golongannya. Penafsiran harus bebas dari
kepanatikan buta terhadab madzhab, ras, dsb.
3. Seorang mufassir selain harus cerdas, juga dituntut untuk cermat sehingga
dapat mengukuhkan suatu makna atas makna yang lain dan dapat menarik
kesimpulan yang selaras dengan nash-nash syariat.4
4. Bersandar kepada hadis Rasulullah SAW. serta menjaga dari hadis yang
dhoif dan hadis maudhu' dan bersandar pada perkataan para Sahabat 5

3
Muhammad Ahmad Muhammad Ma’bad, Nafahaat Min ‘Uluum al-Quran, (Mesir: Dar as-Salaam 2005
M), hal. 137,.
4
Manna Khalil Al-Qattan, Mabahits fi Ulum Al-Qur’an ( Maktabah al-ma’aarif lin nasyr wa at-tauzi’,
1999) h.340
5
Muhammad Abdul Adzhim Al-Zarqaniy, Manahilil 'Irfan fi Ulumil Qur'an ( Matba’ah ‘Isa Al-Babiy Al
Halby,2010) juz 2 h.49

7
5. Menguasi 15 bidang ilmu yang diperlukan oleh seorang mufassir, antara
lain : ‘ilm al-lughah, ‘ilm an-nahwu, ‘ilm as-shorf, al-isytiqaq, ‘ilm al-
balagah (fii al-ma’aani wa al-bayaani wa al-badi’), ‘ilm al-qiraa’at, ‘ilm
ushul ad-diin, ‘ilm ushul al-fiqh, ‘ilm asabab an-nuzuul, ‘ilm al-qasas, ‘ilm
an-nasikh wa al-mansukh, hadis-hadis yang menjelaskan tentang tafsir al-
mujmal dan al-mubham, dan ‘ilm al-mauhibah.6
Menurut Adz-Dzahabi dalam kitabnya At-Tafsir Wal Mufassiruun ada 5 perkara
yang harus dijauhi oleh mufassir agar tidak jatuh dalam kesalahan dan tidak
termasuk dalam pentfsiran bil ra’yi yang fasid, antara lain :
1. Menjelaskan maksud Allah SWT. tanpa memenuhi syarat-syarat sebagai
seorang mufassir terlebih dahulu.
2. Mencampuri hal-hal yang merupakan monopoli Allah SWT. untuk
mengetahuinya, seperti ayat-ayat al-mutasyaabihsaat yang tidak dapat
diketahui kecuali oleh Allah SWT.
3. Melakukan penafsiran dengan dorongan hawa nafsu dan kepentingan
pribadi.
4. Menafsirkan Al-Qur’an untuk mendukung madzhab yang fasid, sehingga
faham aliran menjadi pokok dan tafsir dipaksakan selaras untuk mengikuti
keinginan madzhabnya.
5. Menafsirkan dengan memastikan “demikianlah kehendak Allah SWT.”
Terhadap tafsirnya sendiri tanpa ada dalil yang mendukungnya. 7

E. Pandangan Ahli Tafsir Entang Tafsir Bil Ra’yi.


Para ulama berbeda pendapat tentang boleh atau tidaknya penafsiran bil ra’yi,
mereka terbagi menjadi 2 golongan, golongan pertama bersikeras melarang tafsir
bil ra’yi dan mereka tidak berani menafsirkan Al-Qur’an (bil ra’yi ) dan mereka
juga tidak membolehkan orang lain menfasirkan Al-Qur’an ( bil ra’yi ). Mereka
berkata “ Tidak boleh seorangpun penafsirkan Al-Qur’an ( bil ra’yi ) walaupun
orang itu ‘alim atau mahir dalam pemahaman dalil-dalil, nahwu, khabar dan juga

6
Muhammad Husain Adz-Dzahabi, At-Tasir wal Mufassiruun ( Kairo : Maktabah Wahbah) juz 1, h.190-
191
7
Muhammad Husain Adz-Dzahabi, At-Tasir wal Mufassiruun ( Kairo : Maktabah Wahbah) juz 1, h.196

8
atsar. Maka cukup bersandar kepada apa yang diriwayatkan oleh Rasulullah SAW.
atau kepada sahabat yang menyaksikan turunyya ayat atau kepada tabi’in yang
mengambil ilmu dan riwayat dari mereka (sahabat-sahabat Rasulullah SAW.)”
,umumnya mereka yang melarang penafsiran bil ra’yi adalah ulama salaf . Lalu
golongan kedua adalah kebalikan dari golongan pertama yakni membolehkan
penafsiran bil ra’yi. Mereka tidak melihat adanya bahaya dalam penafsiran bil ra’yi
atau ijtihadi, sedangkan mereka berpendapat bahwa apabila ada seseorang yang
mempunyai akhlak mulia dan ilmu yang luas maka boleh baginya menafsirkan Al-
Qur’an bil ra’yi atau ijtihadi. 8

Dua golongan ini saling berselisih dengan jelas, dan setiap dari mereka
memperkuat pendapat nya dengan dalil-dalil yang terdapat dalam Al-Qur’an
maupun hadis. Adapun landasan dalil yang menjadikan pelarangan penafsiran bil
ra’yi oleh golongan pertama adalah :
1. Penafsiran bil ra’yi adalah pendapat atas firman Allah SWT. tanpa
landasan ilmu, dan pendapat atas firman Allah tanpa landasan ilmu
hukumnya dilarang, maka penafsiran bil ra’yi hukumnya dilarang. Dan
dalil kubra nya adalah :
ِ ‫َوأَن تَقُولُواْ َعلَى ه‬
١٦٩ َ‫ٱَّلل َما ََل ت َعۡ لَ ُمون‬
2. Firman Allah SWT. :
ِ ‫َوأَنزَ ۡلنَا ٓ ِإلَ ۡيكَ ٱلذ ِۡك َر ِلتُبَيِنَ ِللنه‬
٤٤ َ‫اس َما نُ ِز َل إِلَ ۡي ِهمۡ َولَ َعله ُهمۡ يَتَفَ هك ُرون‬
Sesungguhnya telah ditujukan kepada Rasulullah SAW. untuk
menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an kepada umat manusia, maka kita ketahui
bahwa tidak ada yang mampu menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an kecuali
Rasulullah SAW.
3. Sebagaimana yang telah disebutkan dalam beberapa hadis Rasulullah
SAW. mengenai larangan menfasirkan Al-Qur’an bil ra’yi, antara lain :
a. Dari Ibnu Abbas RA. Rasulullah SAW. bersabda : “Barangsiapa
yang mengatakan dalam Al-Qur’an dengan pendapatnya maka
masuklah ia ke neraka” (H.R.Tirmidzi)

8
Muhammad Husain Adz-Dzahabi, At-Tasir wal Mufassiruun ( Kairo : Maktabah Wahbah) juz 1, h.183

9
b. Dari Jundub RA. Rasulullah SAW. Bersabda : “Barangsiapa yang
mengtakan dalam Al-Qur’an dengan pendapatnya lalu benar
maka ia telah salah” (H.R. Abu daud dan Tirmidzi) 9

Selaras dengan hadis di atas At-Thabari juga menjelaskan dalam kitabnya


Jaamiul Bayan mengenai hadis-hadis yang melarang penafsiran bil ra’yi, lalu ia
memberikan pendapat tentang penafsiran bil ra’yi sebagai berikut : “Riwayat-
riwayat ini menjadi dalil atas kebenaran pendapat kami, bahwa penakwilan ayat
Al-Qur’an yang tidak diketahui ilmunya kecuali dengan penjelasan dari Rasulullah
SAW. maka tidak dibenarkan bagi seorang pun untuk menakwilkan dengan
pendapatnya, bahkan barangsiapa yang mengatakan dengan pendapatnya,
walaupun itu benar, makai a dianggap salah karena telah berani mengatakan
dengan pendapatnya sendiri terhadap Al-Qur’an, karena kebenarannya tidak
berdasarkan keyakinan melainkan dugaan belaka dan orang yang mengatakan atas
agama Allah dengan dugaan berarti ia telah mengatakan atas Allah apa yang tidak
diketahuinya, dan Allah telah mengharamkan itu atas hamba-Nya.”10

Ibnu Taymiyah juga melarang penafsiran bil ra’yi sebagaimana dikatakan dalam
kitabnya Muqaddimah fii Ushuli Tafsir li Ibni Taymiyah : “Adapun penafsiran Al-
Qur’an bil ra’yi (pendapat belaka), itu dilarang. Sebagaimana hadis yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abbas RA., Rasulullah SAW. bersabda :” Barang siapa
yang membaca Al-Qur'an tanpa ilmu, hendaklah dia menempati tempatnya di
neraka” 11

Dan adapun landasan dalil yang menjadikan pembolehan penafsiran bil ra’yi
oleh golongan kedua adalah :
1. Sebagaiman firman-firman Allah SWT. Dalam Al-Qur’an sebagai berikut
:

9
Muhammad Husain Adz-Dzahabi, At-Tasir wal Mufassiruun ( Kairo : Maktabah Wahbah) juz 1, h.183-
184
10
Abu Ja’far Muhammad bin Jari At-Thabari, Jaamiul Bayan ‘Ani Tawiil Aayat Al-Qu’ran (Mekkah : Daar
At-Tarbiyah wa At-Tarats) juz 1 h.77-78
11
Taqiyuddin Abul Abbas Ahmad, Muqaddimah fii Ushuli Tafsir li Ibni Taymiyah (Beirut : Daar Al-
Maktabah Al-Hayat, 1980) h. 46

10
a. ٍ ‫أَفَ ََل يَت َ َدب ُهرونَ ۡٱلقُ ۡر َءانَ أَمۡ َعلَ ٰى قُلُو‬
٢٤ ٓ ‫ب أ َ ۡقفَالُ َها‬

b. ِ َ‫ك ِليَ هدب ُهر ٓواْ َءا ٰيَتِهِۦ َو ِليَتَذَ هك َر أ ُ ْولُواْ ۡٱۡل َ ۡل ٰب‬ٞ ‫ِك ٰت َبٌ أَنزَ ۡل ٰنَهُ ِإ َل ۡيكَ ُم ٰبَ َر‬
٢٩ ‫ب‬

c. ۡ ‫ول َو ِإ َل ٰ ٓى أ ُ ْولِي ۡٱۡلَمۡ ِر م ِۡن ُهمۡ لَ َع ِل َمهُ ٱلهذِينَ َي ۡست َۢن ِبطُونَهُۥ‬
ۡ‫مِن ُهم‬ ‫َولَ ۡو َردُّوهُ ِإلَى ه‬
ِ ُ‫ٱلرس‬
Pada 2 ayat pertama Allah SWT. Menganjurkan kepada kita untuk
mempelajari Al-Qur’an dan mengabil pelajaran dari ayat-ayat nya, dan
pada ayat terakhir dijelaskan bahwa ulul albab (orang yang berakal)
menyimpulkan Al-Qur’an dengan ijtihad mereka.
2. Jika penafsiran bil ra’yi tidak diperbolehkan maka ijtihad menjadi tidak
sah, dan akan banyak hukum-hukum yang tidak sah pula, maka ini akan
menjadi sebuah kebatilan karena ijtihad masih diperbolehkan sampai
sekarang, dan para mujtahid dalam hukum syari’at akan dihargai, benar
ataupun salah, dan Rasulullah SAW. belum menfasirkan semua ayat Al-
Qur’an dan beliau belum memberikan semua hukum yang ada di dalam
Al-Qur’an kepada kita.
3. Mereka berdalil bahwa para sahabat membaca Al-Qur’an dan berbdeda
pendapat dalam penafsirannya, dan diketahui bahwa mereka belum
mendengar semua tafsir Al-Qur’an secara menyeluruh dari Rasulullah
SAW. dikarenakan beliau tidak menjelaskan semua arti dalam Al-Qur’an
melainkan hanya menjelaskan sebagian makna nya saja dan sebagian ayat
lain nya diketahui dengan akal dan ijtihad mereka sendiri. Apabila
penafsiran bil ra’yi itu dilarang maka para Sahabat telah mealnggar dan
melakukan apa yang dilarang oleh Allah SWT. Dan kami melindungi para
Sahabat dari kemaksiatan yang dialarang oleh Allah SWT.
4. Dari hadis Rasulullah SAW. Yang mendoakan Ibnu Abbas RA., beliau
bersabda : "‫"اللههم فقهه فى الدين وعلِمه التأويل‬12

Adz-Dzahabi dan Al-Raghib Al-Ashfahani berpendapat bahwa penafsiran bil


ra’yi diperbolehkan selama sesuai dengan Al-Qur’an dan sunnah serta menjaga
syarat-syarat tafsir. Adz-Dzahabi mengatakan dalam kitabnya At-Tafsir wal
Mufassirun : "Tetapi jika kita kembali kepada orang-orang yang tegas dalam

12
Muhammad Husain Adz-Dzahabi, At-Tasir wal Mufassiruun ( Kairo : Maktabah Wahbah) juz 1, h.187-
188

11
menafsirkan dan mengetahui rahasia ketegasan mereka di dalamnya, maka kita
kembali kepada orang-orang yang membolehkan penafsiran bil ra'yi dan kami
berpegang pada apa yang mereka tetapkan tentang syarat-syarat yang diperlukan
bagi orang-orang yang berbicara tentang penafsiran bil ra'yi, dan kami
menganalisis bukti dari kedua golongan dengan hati-hati, akan tampak bagi kami
bahwa ketidaksepakatan itu bersifat lisan dan tidak nyata, dan untuk menjelaskan
hal itu, kami membagi penafsiran bil ra'yi kepada 2 pembagian :

1. Tafsir bil ra'yi yang sesuai dengan kata-kata orang Arab, dan cara mereka
mengatakannya, dengan kesepakatan Kitab dan As-Sunnah, dan dengan
memperhatikan semua syarat penafsiran, maka penafsiran ini tidak
diragukan lagi diperbolehkannya. (Tafsir bil ra'yi mahmudah)
2. Tafsir bil ra'yi yang tidak sesuai dengan syariat bahasa Arab, tidak sesuai
dengan dalil yang sah, dan tidak memenuhi syarat tafsir, dan inilah
sumber larangan (penafsiran bil ra’yi) dan titik fitnah. (Tafsir bil ra'yi
madzmumah)"

Kemudian Al-Raghib Al-Ashfahani dia berkata: "Dan beberapa peneliti


(tafsir) menyatakan: Kedua golongan itu mempunyai kelebihan dan kekurangan,
barangsiapa membatasi dirinya pada apa yang disampaikan kepadanya, maka ia
telah meninggalkan banyak kebutuhannya dan barangsiapa yang membolehkan
semua orang untuk berkecimpung (dalam penafsiran), maka akan beresiko adanya
penyampuran (haq dan bathil) dan tidak mempertimbangkan kebenaran dari
firman Allah SWT. :

”‫ليدبروا آ َياتِ ِه َو ِليَتَذَ هك َر أ ُ ْولُواْ اۡللباب‬

Dan Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya 'Ulumuddiin, setelah memprotes dan


menyimpulkan ketidakabsahan pernyataan bahwa tidak ada yang berbicara dalam
Al-Qur'an kecuali apa yang dia dengar, Dia berkata: "Tidak sah untuk menetapkan
pendengaran dalam ta'wil, dan diperbolehkan bagi setiap orang untuk mengambil
dari Al-Qur'an sesuai dengan tingkat pemahamannya dan batas akalnya." Seperti
yang dia katakan sebelumnya bahwa: “Dalam memahami makna Al-Qur’an ada

12
cakupan yang luas , dan sesungguhnya apa yang disampaikan dari makna dzohir
tafsir bukanlah akhir pemahaman di dalamnya.13

Ini adalah landasan dalil dari kedua golongan tersebut, dan masing-masing
dari mereka mencoba untuk membuktikan pernyataannya dan memfokuskan
klaimnya dengan bukti yang telah disebutkan.

F. Karya-Karya Tafsir Bi ar-Ra’yi


1. Mafatih al-Ghaib (Kunci-Kunci Keghaiban) juga umum disebut dengan
Tafsir al-Kabir, karangan Muhammad al-Razi Fakhr al-Din (544-604
H/1149-1207 M), sebanyak 17 jilid sekitar 32.000 – 36.200
2. Tafsir al-Jalalayn (Tafsir dua orang Jalal), karya Jalal al-Din al-Mahalli (w.
864 H/1459 M) dan Jalal al-Din Abd al-Rahman al-Suyuthi (849-911
H/1445-1505 M).
3. Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil (Sinar Alquran dan Rahasia-Rahasia
Penakwilannya), buah pena al-Imam al-Qashadhi Nashr al-Din Abi Sa’id
Abd Allah Ali Umar bin Muhammad al-Syairazi al-Baidhawi (w. 791 H/
1388 M).
4. Irsyad al-Aql al-Salim ila Mazaya Alquran al-Karim (Petunjuk akal yang
selamat menuju kepada keistimewaan Alquran yang Mulia) tulisan Abu Al-
Sa’ud Muhammad bin Muhammad Mushthafa al-‘Ammadi (w. 951 H/1544
M).
5. Ruh al-Ma’ani (Jiwa makna-makna Alquran), dengan muallif – pengarang
– al-Allamah Syihab al-Din al-Alusi (w. 1270 H/1853 M).
6. Ghara’ib Alquran wa Ragha’ib al-Furqan (Kata-kata Asing dalam Alquran
dan yang menggelitik dalam al-Furqan), karya Nizham al-Din al-Hasan
Muhamamd al-Naysaburi (w. 728 H/1328 M).
7. Al-Siraj al-Munir fi al-I’anah ‘Ala Ma’rifati Kalami Rabbina al-Khabir
(Lampu yang bersinar untuk membantu memahami firman Allah Yang

13
Muhammad Husain Adz-Dzahabi, At-Tasir wal Mufassiruun ( Kairo : Maktabah Wahbah) juz 1, h.188-
189

13
Maha Tahu), haisl jerih payah Abu al-Barakat Abd Allah bin Muhammad
bin mahmud al-Nasafi (w. 710 H/1310 M).
8. Tafsir al-Khozin lebih populer dengan nama Lubab al-Ta’wil fi Ma’ani al-
Tanzil (Pilihan penakwilan tentang makna-makna Alquran), susunan ‘Ala
al-Din Ali bin Muhammad bin Ibrahim al-Baghdadi yang lebih masyhur
dengan panggilan al-Khozin (544-604 H/1149-1207 M). Tafsir ini terdiri
atas 4 jilid dengan tebal halaman antara 2160 – 2250.
9. Tafsir Ruh al-Bayan (Tafsir Jiwa yang menerangkan), karya al-Imam al-
Syekh Ismail Haqqi al-Barusawi (w. 1137 H/ 1724 M), setebal 10 jilid
dengan jumlah halaman sekitar 4400.
10. Al-Tibyan fi Tafsir Alquran (Keterangan dalam Menafsirkan Alquran), 10
jilid dengan jumlah halaman 4440, disusun oleh Syekh Abu Ja’far
Muhamamd bil al-Hasan al-Thusi (385-460 H/995-1067 M).
11. Zad al-Masir fi ‘Ilm al-Tafsir (Bekal perjalanan dalam Ilmu Tafsir), setebal
2768 halaman dalam 8 jilid hasil usaha al-Imam al-Abi al-Faraj Jamal al-
Din ‘Abd al-Rahman bin Ali bin Muhammad al-Jawzi al-Quraysi al-
Baghdadi (597 H/1200 M).

G. Contoh Penafsiran
Contoh Penafsiran Bil al-Ra’yi Mahmud (terpuji)
Contoh tafsir mahmud ialah menafsirkan kata al-qalam (‫ )القلم‬misalnya dalam surat
Al-Alaq ayat 4 dan surat al-Qalayang lain seperti pensil, pulpen, spidol, mesin tik,
mesin stensil, dan komputer pada zaman sekarang, agaknya juga tidak bisa
disalahkan mrngingat arti asal dari kata qalamun seperti dapat dilihat dalam
berbagai kamus adalah alat yang digunakan untuk menulis. Dan kita tahu bahwa
alat-alat tulis itu sendiri banyak jenisnya mulai dari pena, gerip, pensil, pulpen, dan
lain-lain; hingga kepada mesin ketik, mesin stensil dan komputer juga tidak bisa
disalahkan mrngingat arti asal dari kata qalamun seperti dapat dilihat dalam
berbagai kamus adalah alat yang digunakan untuk menulis. Dan kita tahu bahwa
alat-alat tulis itu sendiri banyak jenisnya mulai dari pena, gerip, pensil, pulpen, dan
lain-lain; hingga kepada mesin tik, mesin stensil dan komputer.
Contoh Penafsiran Bil al-Ra’yi Madzum (tercela)

14
Ayat Al-Quran yang jika ditafsirkan oleh orang yang bodoh akan menjadi rusak
maksudnya.
‫سبِ ْيلا‬ َ َ ‫َو َم ْن َكانَ فِ ْي َه ِذهِ أ َ ْع َمى فَ ُه َو فِ ْي ْاْل~خِ َرةِ أ َ ْع َمى َوأ‬
َ ‫ض ُّل‬
Artinya:
“Barang siapa yang buta (hatinya)di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan
lebih buta (pula) dan lebih Tersesat dari jalan yang benar.” (Q.S. Al-Isra : 72)
Ia menetapkan bahwa setiap orang yang buta (‫ )أعمى‬adalah celaka dan rugi serta
akan masuk neraka jahanam. Padahal yang dimasud dengan buta di sini bukan
mata, tetapi buta hati berdasarkan alasan firman Allah.
‫صد ُْو ِر‬ ُ ‫ار َولَك ِْن ت َ ْع َمى ْالقُلُ ْو‬
ُّ ‫ب الَّتِ ْي فِي ال‬ ُ ‫ص‬ َ ْ ‫فَإِنَّ َها ََل ت َ ْع َمى‬
َ ‫اْل ْب‬
Artinya:
“……Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah
hati dalam dada.” (Q.S. Al- Hajj : 46)

15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Di akhir pembahasan ini, dapat disimpulkan bahwa tafsir bi ar-ra’yi ini memiliki
makna sebuah usaha yang sangat keras kemudian usaha tersebut tetap dengan
kaidah keilmuan dalam menafsirkan al-Quran, sehingga tafsirannya terhindar dari
keburukan dan termasuk ke dalam tafsiran yang terpuji.
Adapun metode ini, mempunyai dua jenis. Yakni tafsiran yang bersifat terpuji,
dan tafsiran yang bersifat tercela. Tafsiran bersifat terpuji memili syarat-syarat yang
harus dimiliki oleh seorang mufasir yang hendak menggunakan metode ini agar
tetap searah dengan maksud dan tujuan penafsiran al-Quran tersebut. Sedangkan
tafsiran yang tercela adalah ia yang tidak sejalan dengan syarat-syarat di atas,
sehingga lebih kepada kecenderungan kepada kesesatan dan kebodohan. Maka
tafsiran itu tertolak.
Adapun pendapat para ulama yang melarang dan membolehkan, itu semua
adalah demi menjaga keeksistensian al-Quran agar tidak tercampuri tangan-tangan
kotor yang menyisipkan hal-hal yang bersifat kebatilan ke dalam makna ayat al-
Quran tersebut.

16
DAFTAR PUSTAKA
Az-Zurqaaniy, Muhammad ‘Abdul ‘Adzhim. Thn 2010 M. Manaahil al-‘Irfaan fii ‘Uluum
al-Quran. -. Mathba’aah Isaa al-Baabiy al-Halbiiy,.
Shihab, M. Shihab. Thn 2019 M. kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan Yang Patut
Anda Ketahui Dalam Memahami Ayat-Ayat Al-Quran. Tanggerang. Lentera Hati,.
Ma’bad, Muhammad Ahmad Muhammad. Thn 2005 M. Nafahaat Min ‘Uluum al-Quran.
Mesir. Dar as-Salaam,.
Al-Qattan, Manna Khalil. Thn 1999 M. Mabahits fi Ulum Al-Qur’an. -. Maktabah Al-
Ma’aarif Lin Nasyr Wa At-Tauzi’,.
Adz-Dzahabi, Muhammad Husain. -. At-Tafsiir wal Mufassiruun. Kairo. Maktabah
Wahbah,.
At-Thabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir. -. Jaamiul Bayan ‘Ani Tawiil Aayat Al-
Qu’ran. Mekkah. Daar At-Tarbiyah wa At-Tarats,.
Ahmad, Taqiyuddin Abul Abbas. Thn 1980 M. Muqaddimah fii Ushuli Tafsir li Ibni
Taymiyah. Beirut. Daar Al-Maktabah Al-Hayat,.
Az-Zurqaaniy, Badruddin. Thn 2006 M. Al-Burhan Fii ‘Uluum al-Quran. Mesir. Dar al-
Hadiits,.
Isma’il, Muhammad Bakr. Thn 1999 M. Diraasaat Fii ‘Uluum al-Quran. -. Dar al-
Manaar,.

17

Anda mungkin juga menyukai