Anda di halaman 1dari 11

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang hingga saat ini masih memberikan kita
nikmat iman dan kesehatan, sehingga penulis diberi kesempatan untuk menyelesaikan
makalah ini.yang bertema “Manhaj Al-Mufassirin”. Makalah ini ditulis untuk
memenuhi perkuliahan pada mata kuliah Ulumul Qur’an 2
Tak lupa penulis juga mengucapkan terimakasih yang sebanyak-banyaknya kepada
setiap pihak yang telah mendukung serta membantu penulis selama proses penyelesaian
tugas makalah ini hingga selesai. Ucapan terima kasih penulis sampaikan pada:
Bpk.Dosen pengampu yakni “Dr. H. Syamsyu Syauqoni, Lc. MA . Atas bimbingan dan
tugas yang telah di berikan.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kata
sempurna serta kesalahan yang penulis yakini diluar batas kemampuan penulis. Maka
dari itu penulis dengan senang hati menerima kritik dan saran yang dibangun dari para
pembaca. Penulis berharap karya tulis ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Aamiin ya
Robbal alamiin.

Mataram 23 Oktober 2022

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Al-Qur'an menyatakan dirinya sebagai hudan li al-nas (pe tunjuk bagi
manusia). Pesan-pesan yang ada di dalamnya berlaku untuk seluruh umat, sholih
likulli zaman wa makan (relevan dengan perkembangan zaman dan tempat) serta
terpelihara keorisinilan nya. Namun, harus diakui bahwa sebutan "hudan" bagi
al-Qur'an menimbulkan problema yang cukup rumit bagi yang mengimani nya.
Pertanyaan pun segera terlontar, misalnya, bagaimana mengimplementasikan
idealisme al-Qur'an, sementara realitas al Qur'an tidak berubah dan tidak boleh
ditambah atau dikurangi?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, para ilmuwan muslim maupun non
Muslim telah banyak menulis dan mengkaji al-Qur 'an. Bahkan, akhir-akhir ini,
usaha-usaha pengkajian al-Qur'an dapat dikatakan cukup menggembirakan,
kendati masih banyak ditemukan menggunakan prosedur yang kurang tepat.
Oleh karena itu, penggalian dan pengkajian al-Qur'an seyogyanya harus tetap
digalakan dengan senantiasa memperhatikan etika dan cara-cara yang ditempuh
oleh para mufasir masa lampau.1
Mufassir, orang yang menafsirkan Al-Qur'an memiliki peranan penting
bahkan turut menentukan bagi pemasyarakatan Al-Qur'an. Untuk itu, mufassir
perlu memiliki persyaratan-persyaratan tertentu.
Guna menghasilkan tafsir Al-Qur'an yang berkualitas, mufassir mutlak
perlu memiliki prasyarat akademik di samping prasyarat-prasyarat lainnya.
Seiring dengan itu, ada sejumlah kaidah tafsir yang mengatur tentang bagaimana
cara menafsirkan Al-Qur'an berikut mekanismenya yang mutlak harus diketahui
dan dipedomani oleh para mufassir.2

B. Rumusan Masalah.
Bagaimana pengertian mufassir, dan Syaratnya?
Bagaimana Adap Seorang Mufassir?
Apa Saja Perangkat Yang yang Dibutuhkan Mufassir?
Bagaimana Metode Penafsiran?
1
Usman, Ilmu Tafsir, (Yogyakarta, SUKSES Offset, 2009), hal. 315.
2
Muhammad Samin Huma, Ulumul Qur’an, (Depok, Kharisma Putra Utama Offset, 2013), hal.
420.
C. Tujuan.
Menjelaskan Pengertian Mufassir Dan Syarat-Syaratnya.
Menjelaskan Adap Seorang Mufassir.
Menjelaskan perangkat Yang Dibutuhkan Oleh Mufassir
Menjelaskan Metode Penafsiran.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Mufassir Dan Syarat-Syarat Mufassir.


Kata Manahij al-Mufassirin merupakan kata gabung yang terdiri dari
kata "Manahij" dan kata "Mufassirin". Kata Manahij merupakan bentuk jamak
dari kata Manhaj. Kata manhaj dan minhaj berarti jalan yang jelas. Orang yang
menafsirkan (Al-Qur’an) disebut mufassir, jamaknya mufassiran atau
mufassirin, jadi manhaj al mufassirin itu jalan yang jelas yang digunakan oleh
para mufasir.

B. Adab-Adap Seorang Mufassir.

C. Perangkat Ilmu Yang Dibutuhkan Oleh Mufassir.


Para mufassir pada dasarnya dituntut supaya memiliki kemampuan
akademik (ilmiah) dalam menafsirkan Al-Qur'an. Untuk dapat menafsirkan Al-
Qur'an, setiap mufassir dituntut supaya membekali dirinya dengan sejumlah
cabang ilmu pengetahuan yang rinciannya telah dikemukakan para ahli tafsir
dengan segala macam perbedaannya. Jalal al-Din al-Suyuthi (w. 911 H/1505 M)
misalnya, menyebutkan sedikitnya ada lima belas cabang ilmu yang harus
dikuasai/dikenali oleh seorang mufassir, yaitu: (1) ilmu bahasa Arab; (2) ilmu
nahwu (gramatika); (3) ilmu al-tashrif/ perubahan kata; (4) ilmu al-isytiqaq
(morfologi); (5, 6, 7) ilmu ma'ani, ilmu badi', dan ilmu al-Bayan yang ketiganya
terhimpun dalam ilma balaghah (kesusastraan Arab); (8) ilmu qira'at/teknik
membaca Al-Qur'an; (9) ilmu ushul al-Din/kalam/ teologi; (10) ilmu ushul al-
figh; (11) ilmu asbab al-nuzul dan al-qashash; (12) ilm nasikh wa al-mansukh;
(13) ilmu figh; (14) hadits-hadits al-nabawi; (15) ilmu-ilmu al-mauhibah, yakni
pengetahuan yang diberikan Allah kepada orang-orang tertentu yang selalu siap
mengamalkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya.
Dihubungkan dengan perkembangan zaman, dalam mana cabang ilmu
pengetahuan dewasa ini telah mencapai lebih dari 650-an cabang,' perangkat
ilmu yang dikemukakan al-Suyuthi maupun al-Zarqani di atas jelas kurang
memadai. Sebab untuk menafsirkan ayat-ayat kawniyyah/ayat-ayat yang
berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi (ayat al-'ulum) yang
jumlahnya sekitar 750-763 ayat, tidak mungkin bisa dicapai dengan hanya
mengandalkan lima belas cabang ilmu yang disyaratkan al-Suyuthi di atas.
Untuk dapat menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an secara komprehensif dan holistik,
selain diperlukan ilmu-ilmu alat keilmuan juga sangat dibutuhkan disiplin ilmu-
ilmu lain semisal ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu pasti/alam.
Berkenaan dengan ilmu-ilmu yang mutlak dibutuhkan mufassir,
Muhammad Rasyid Ridha (1282-1354 H/1865-1935 M), meringkaskannya
sebagai berikut:

1. Memahami hakikat lafal-lafal mufradat (kosakata) yang dipesankan


(digunakan) Al-Qur'an sehingga mufassir benar-benar mengetahui
arti yang sebenarnya dari kata-kata itu sendiri dari praktik ahli-ahli
bahasa Arab.
2. Memahami gaya bahasa (asalib) Al-Qur’an yang memiliki susunan
redaksi yang berbeda dibandingkan dengan buku-buku lain dari
seginya yang mana pun. Termasuk dari segi penggunaan kosa kata
yang mengandung makna musytarak (multi tafsir).
3. Mengetahui berbagai keadaan masyarakat (ilm ahwal al-basya) dari
generasi ke generasi, termasuk ilmu sejarah di dalamnya.
4. Mengenali persis ke arah mana mufassir hendak menunjukkan
(membawa masyarakat) dengan Al-Qur’an ini. Mufassir
berkewajiban untuk meng antarkan masyarakat ke arah kehidupan
yang Qur’ani, dan itu merupakan kewajiban kolektif yang menuntut
mufassir untuk memprakarsainya seperti halnya Nabi Muhammad
Saw. Menuntun orang-orang yang sesat supaya mendapatkan hidayah
dan kebahagiaan.
5. Menguasai sejarah Nabi dan para sahabatnya berikut teori/konsep
dan praktik yang mereka terapkan tentang pengaturan kehidupan
yang bersifat duniawi maupun ukhrawi.3

D. Metode Penafsiran.
Yang dimaksud dengan metodologi penafsiran ialah ilmu yang
membahas tentang cara yang teratur dan terpikir baik untuk mendapatkan
pemahaman yang benar dari ayat-ayat Al-Qur’an sesuai kemampuan manusia.
Jika ditelusuri perkembangan tafsir Al-Qur’an sejak dulu sampai sekarang,maka
akan ditemukan bahwa dalam garisbesarnya penafsiran Al-Qur’an ini dilakukan
dalam empat cara (metode), sebagaimana pandangan Al-Farmawi, yaitu:
ijmaliy (global),tahliliy (analistis) ,muqaran (perbandingan), dan mawdhu’iy
(tematik).

3
Muhammad Samin Huma, Ulumul Qur’an, (Depok, Kharisma Putra Utama Offset, 2013), hal.
403-405.
1. Metode Ijmali (Global).
Yang dimaksud dengan metode al-Tafsir al-Ijmali (global) ialah
suatu metoda tafsir yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara
mengemukakan makna global. Pengertian tersebut menjelaskan ayat-ayat Al-
Qur’an secara ringkas tapi mencakup dengan bahasa yang populer, mudah
dimengerti dan enak dibaca. Sistematika penulisannya menurut susunan
ayat-ayat di dalam mushhaf. Di samping itu penyajiannya tidak terlalu jauh
dari gaya bahasa AL-Qur’an sehingga pendengar dan pembacanya seakan-
akan masih tetap mendengar Al-Qur’an padahal yang didengarnya itu
tafsirnya,
Kitab tafsir yang tergolong dalam metode ijmali (global) antara lain:
Kitab Tafsir Al-Qur’an al-Karimkarangan Muhammad Farid Wajdi, al-Tafsir
al Wasith terbitan Majma’ al-Buhuts al-Islamiyyat, dan Tafsir al-Jalalain,
serta Taj al Tafasir karangan Muhammad ‘Utsman al-Mirghani.
Dalam metode ijmali seorang mufasir langsung menafsirkan Al-
Qur’an dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul. Pola
serupa ini tak jauh berbeda dengan metode alalitis, namun uraian di dalam
Metode Analitis lebih rinci daripada di dalam metode global sehingga
mufasir lebih banyak dapat mengemukakan pendapat dan ide-idenya.

2. Metode Tahlili (Analisis).


Yang dimaksud dengan Metode Tahliliy (Analisis) ialah menafsirkan
ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di
dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang
tercakup di dalamnya, sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir
yang menafsirkan ayat-ayat tersebut. Pola penafsiran yang diterapkan para
penafsir yang menggunakan metode tahlili terlihat jelas bahwa mereka
berusaha menjelaskan makna yang terkandung di dalam ayat-ayat Al-Qur'an
secara komprehenshif dan menyeluruh, baik yang berbentuk al-ma 'tsur
(bentuk riwayat), maupun al-ra 'y(bentuk pemikiran), sebagaimana Dalam
penafsiran tersebut, Al-Qur'an ditafsirkan ayat demi ayat dan surat demi
surat secara berurutan, serta tak ketinggalan menerangkan asbab al-nuzuldari
ayat-ayat yang ditafsirkan.

3. Metode Muqarrin (Komparatif).


Pengertian metode mugarin (komparatif) dapat dirangkum sebagai berikut:

a. Membandingkan teks (nash) ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki


persamaan atau Kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, dan
atau memiliki redaksi yang berbeda bagi satu kasus yang sama;
b. Membandingkan ayat Al-Qur’an dengan Hadits Nabi SAW, yang
pada lahirnya terlihat bertentangan;

c. Membandingkan berbagai pendapat ulama’ tafsir dalam menafsirkan


Al-Qur’an.
Dalam hal perbedaan penafsiran mufasir yang satu dengan yang yang lain,
mufasir berusaha mencari, menggali, menemukan, dan mencari titik temu di
antara perbedaan-perbedaan itu apabila mungkin, dan mentarjih salah satu
pendapat setelah membahas kualitas argumentasi masing-masing.
Perbandingan adalah ciri utama bagi Metode Komparatif. Disini letak
salah satu perbedaan yang prinsipil antara metode ini dengan metode-metode
lain. Hal ini disebabkan karena yang dijadikan bahan dalam
memperbandingkan ayat dengan ayat atau ayat dengan hadits, adalah
pendapat para ulama tersebut dan bahkan dalam aspek yang ketiga. Oleh
sebab itu jika suatu penafsiran dilakukan tanpa membandingkan berbagai
pendapat yang dikemukakan oleh para ahli tafsir, maka pola semacam itu
tidak dapat disebut “metode muqarrin”.

4. Metode Maudhu'iy (Tematik).


Yang dimaksud dengan metode mawdhu 'iy ialah membahas ayat-
ayat Al Quran sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua
ayat yang berkaitan, dihimpun. Kemudian dikahi secara mendalam dan
tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya seperti asbab al-nuzul,
kosa kata dan sebagainya. Semuanya. dijelaskan secara rinci dan tuntas, serta
didukung oleh dalil-dalil atau fakta yang dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah; baik argumen itu berasal dari Al-Qur’an dan Hadits, maupun
pemikiran rasional.
Yang menjadi ciri utama metode ini ialah menonjolkan tema, judul
atau topik pembahasan; sehingga tidak salah bila di katakan bahwa metode
ini juga disebut metode "topikal". Jadi mufasir mencari tema-tema atau
topik-topik yang ada si tengah masyarakat atau berasal dari Al-Qur'an itu
sendiri, ataupun dari yang lain. Kemudian tema-tema yang sudah dipilih itu
dikaji secara tuntas dan menyeluruh dari berbagai aspek, sesuai dengan
kapasitas atau petunjuk yang termuat di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan
tersebut. Artinya penafsiran yang diberikan tak boleh jauh dari pemahaman
ayat-ayat Al-Qur'an, agar tidak terkesan penafsiran tersebut berangkat dari
pemikiran atau terkaan belaka.
Sementara itu Prof. Dr. Abdul Hay Al-Farmawy seorang guru besar
pada Fakultas Ushuluddin Al-Azhar, dalam bukunya Al-Bidayah fi Al-Tafsir
Al Mawdhu’i mengemukakan secara rinci langkah-langkah yang hendak
ditempuh untuk menerapkan metode mawdhu ‘i. Langkah-langkah tersebut
adalah :

(a) Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik).


(b) Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah
tersebut.
(c) Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya,
disertai pengetahuan tentang asbab al-nuzulnya.
(d) Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam surahnya
masing-masing; (e) Menyusun pembahasan dalam kerangka
yang sempurna (out-line).
(e) Melengkapi pembahasan dengan hadits-hadits yang relevan
dengan pokok bahasan.
(f) Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan
jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian
yang sama, atau mengkompromikan antara yang ‘am (umum)
dan yang khas (khusus), mutlak danmuqayyad (terikat),atau
yang pada lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya
bertemu dalam satu muara, tanpa perdebatan atau
pemaksaan.4

4
Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Mawdhui, Dirasat Manhajiyyah
Mawdhu’iyyah, (1977), hal. 114-115.
BAB III
PENUTUPAN

A. Kesimpulan.
Kata Manahij al-Mufassirin merupakan kata gabung yang terdiri dari
kata “Manahij” dan kata “Mufassirin”. Kata Manahij merupakan bentuk jamak
dari kata Manhaj. Kata manhaj dan minhaj berarti jalan yang jelas. Orang yang
menafsirkan (Al-Qur’an) disebut mufassir, jamaknya mufassiran atau
mufassirin, jadi manhaj al mufassirin itu jalan yang jelas yang digunakan oleh
para mufasir.
Para mufassir pada dasarnya dituntut supaya memiliki kemampuan
akademik (ilmiah) dalam menafsirkan Al-Qur’an. Untuk dapat menafsirkan Al-
Qur’an, setiap mufassir dituntut supaya membekali dirinya dengan sejumlah
cabang ilmu pengetahuan yang rinciannya telah dikemukakan para ahli tafsir
dengan segala macam perbedaannya.
Yang dimaksud dengan metodologi penafsiran ialah ilmu yang
membahas tentang cara yang teratur dan terpikir baik untuk mendapatkan
pemahaman yang benar dari ayat-ayat Al-Qur’an sesuai kemampuan manusia.

B. Saran.
DAFTAR PUSTAKA
Mudzakir, Manhaj fi Ulumul Qur’an, (Bogor,P.T Pustaka Lentera AntarNusa,
1992),

Anda mungkin juga menyukai