Anda di halaman 1dari 31

MENGENAL KAIDAH-KAIDAH TAFSIR

MENJAWAB PROBLEM KEKINIAN


ALMASFIAH EL-CHAIR1, MEHRI LUBNA SAM2,
HASANI AHMAD SAID3
Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta
Correspondence E-mail: almasfiah26@gmail.com

Abstract
This study recognizes the rules of interpretation that
answer contemporary problems. This type of research is
qualitative with a library research study method. The
author explains the meaning of the rules of interpretation,
the various rules of interpretation, and the use of kaidah-
kaidah tafsir in interpretingthe Qur'an Today. The
conclusion of this study is that it is not enough to
understand the Qur'an by referring to the translation alone.
Nowadays we often find in the general public many of
those who have little religious knowledge have dared to
interpret the verses of the Quran only by referring to the
translation, this is of course very prone to distortion of
interpretation. So it is feared that it can trigger social
conflicts in society. Given that in the interpretation of the
Quran must be supported from various scientific
disciplines. So it is very important to learn the rules of
interpretation of the Quran.
Keywords: interpretation, Qur'an, the use of kaidah-kaidah
tafsir in interpretingthe Qur'an Today

Abstrak
Studi ini mengenal kaidah-kaidah tafsir yang menjawab
problem kekinian. Jenis penelitian ini adalah kualitatif
dengan metode kajian library research (kepustakaan).
Penulis menjelaskan makna kaidah-kaidah tafsir, macam-
macam kaidah-kaidah tafsir, dan penggunaan kaidah-
kaidah tafsir dalam menafsirkan al-Qur’an Masa Kini.
Kesimpulan kajian ini adalah bahwa dalam memahami al-
Qur’an tidak cukup hanya dengan merujukk pada
terjemahannya saja. Dewasa ini sering kita jumpai di
masyarakat umum banyak diantara mereka yang hanya
sedikit memiliki pengetahuan agama telah berani
menafsirkan ayat-ayat Al-Quran hanya dengan merujuk
pada terjemahannya saja, hal ini tentu saja sangat rentan
terjadi distorsi penafsiran. sehingga dikhawatirkan dapat
memicu konflik sosial di masyarakat. Mengingat bahwa
dalam penafsiran Al-Quran harus ditunjang dari berbagai
disiplin ilmu pengetahuan. Maka sangat lah penting
mempelajari kaidah-kaidah penafsiran Al-quran.
Keywords: Qur’an, Penafsiran, menafsirkan al-Qur’an
masa kini

Pendahuluan
Sebagai kitab suci ummat Islam, al-Qur’an,
memiliki segenap mu’jizat yang sungguh luar biasa. Ia
diturunkan pada saat di mana masyarakat sangat gemar
dan cenderung dengan sastra dan syair-syair Arab.
Masyarakat Arab pada saat itu sangat kagum dan
apresiatif terhadap orang-orang atau pihak-pihak yang
mampu untuk menggubah syair-syair indah. Perlombaan
tahunan dilakukan untuk mencari siapa pujangga Arab
yang paling mahir pada saat itu yang begitu dieluelukan.
Di tengah eforia masyarakat Arab terhadap sastra pada
saat itu turunlah al-Qur’an yang isinya sungguh luar biasa
yang tidak bisa ditandingi oleh seorang pujanggapun pada
saat itu bahkan hingga akhir zaman. Allah berfirman:
َ
َ ُ ْ َ َٰ ْ ُ َْ ْ ٰ َ َ ‫ْ ُْ َ ْ ﱡ‬ َ َ ْ َ ْ ُ
K0 ‫; أن ﻳﺄﺗﻮا ِﺑِﻤﺜِﻞ ﻫﺬا اﻟﻘﺮآِن‬:9 ‫ﻦ‬65ِ ‫ وا‬3‫נ‬1ِ0‫ِ'ِנ اﺟﺘَﻤﻌِﺖ ا‬% ‫ﻗﻞ‬
ْ
َ ْ ُ ْ َ َ َ ْ َ ُْ
‫ا‬XًW‫ن َﺑﻌﻀُﻬْﻢ ِﻟَﺒﻌٍﺾ ﻇِﻬ‬O‫ َوﻟْﻮ כ‬MِLِ‫َﻳﺄﺗﻮن ِﺑِﻤﺜ‬

''Katakanlah, 'Sesungguhnya jika manusia dan jin


berkumpul untuk membuat yang serupa Alquran ini,
niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa
dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi
pembantu bagi sebagian yang lain.'' (QS. Al-Isra’ 17/88)1

Turunnya al-Qur’an membuat para pujangga Arab


terkesima dan merasa kagum terhadap isinya yang belum
pernah mereka temukan sebelumnya. Tidak sedikit dari
mereka yang bertanya-tanya, ada apa dibalik kekaguman
mereka. Bagi mereka yang memperturutkan keingin-
tahuan mereka, berusaha mencari apa sebenarnya al-
Qur’an itu. Ternyata setelah mereka mengetahui al-
Qur’an adalah firman Allah, baru mereka paham mengapa
isi al-Qur’an itu demikian hebat dan agung. Hal inilah
yang membuat sebagian besar mereka beriman dan

1
https://quran.kemenag.go.id/surah/17/88
mengikuti orang yang membawa al-Qur’an itu, yaitu nabi
Muhammad SAW.
Pasca al-Qur’an turun muncul beberapa persoalan,
di antaranya adalah persoalan pemahaman terhadap ayat-
ayatnya (tafsir). Semasa Nabi Muhammad masih hidup
persoalan ini tidak terlalu mengemuka. Hal ini disebabkan
oleh orang-orang di sekeliling beliau (para sahabat) selalu
bertanya terhadap segala persoalan yang menyangkut
dengan pemahaman terhadap ayat al-Qur’an. Di samping
itu mereka juga menyaksikan proses turunnya dan para
sahabat adalah orang-orang yang sangat paham dengan
bahasa Arab itu sendiri.
Namun seiring waktu berjalan, al-Qur’an tidak
hanya dipahami oleh orang-orang Arab saja, tetapi ia juga
mulai dipahami oleh orang-orang non-Arab (‘ajam)
sehingga muncullah berbagai persoalan. Hal ini
disebabkan oleh semakin jauh jarak antar satu generasi
dengan generasi lainnya. Di samping itu penguasaan
bahasa Arab antar para penafsir itu juga sangat beragam
dan fluktuatif. Fenomena ini menyebabkan munculnya
berbagai persoalan-persoalan seputar tafsir al-Qur’an. 2
Karenanya diperlukan upaya yang lebih produktif
dalam rangka mempertahankan pandangan teologis di
atas. Salah satunya adalah pengembangkan tafsir
kontemporer dengan menggunakan metodologi baru yang
sesuai dengan perkembangan situasi sosial, budaya, ilmu
pengetahuan dan perkembangan peradaban manusia.
Persoalannya adalah bagaimana merumuskan sebuah
metode tafsir yang mampu menjadi alat untuk

2
Muhammad Amin, Kontribusi Tafsir Kontemporer Dalam
Menjawab Persoalan Ummat, dalam jurnal Substantia, Vol. 15, No.
1, 2013, hal. 1-2
menafsirkan al-Qur’an secara baik, dialektis, reformatif,
komunikatif serta mampu menjawab perubahan dan
perkembangan problem kontemporer yang dihadapi umat
manusia.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu adanya
penelusuran sejarah tentang berbagai upaya ulama dalam
mengembangkan kaidah-kaidah penafsiran. Tujuannya
adalah untuk mengetahui prosedur kerja para ulama tafsir
dalam menafsirkan al-Qur’an sehingga penafsiran
tersebut dapat digunakan secara fungsional oleh
masyarakat Islam dalam menghadapi berbagai persoalan
kehidupan. Kaidah-kaidah ini kemudian dapat digunakan
sebagai referensi bagi pemikir Islam kontemporer untuk
mengembangkan kaidah penafsiran yang sesuai dengan
perkembangan zaman.
Namun kaidah-kaidah penafsiran di sini tidak
berperan sebagai alat justifikasi benar-salah terhadap
suatu penafsiran al-Qur’an. Kaidah-kaidah ini lebih
berfungsi sebagai pengawal metodologis agar tafsir yang
dihasilkan bersifat obyektif dan ilmiah serta dapat
dipertanggungjawabkan. Sebab produk tafsir pada
dasarnya adalah produk pemikiran manusia yang dibatasi
oleh ruang dan waktu. Dalam upaya memahami dan
menghindari penafsiran ayat-ayat alQur’an yang keliru
diperlukan pengetahuan yang komprehensip tentang
kaidah-kaidah yang berhubungan dengan ilmu tafsir.

Pengertian Kaidah-Kaidah Tafsir


Istilah kaidah-kaidah tafsir dalam bahasa Arab
adalah “qawā’id al-tafsir”, dan perkataan qawa’id al-
tafsir terdiri dari kata “qawa’id” yang disandarkan pada
kata al-tafsir .
“Qawa’id” bentuk jamak dari “qaidah” yang berarti
undang-undang, aturan, dan azas. Dalam bahasa
Indonesia, kaidah berarti rumusan, azas-azas yang
menjadi hukum, aturan-aturan yang tertentu atau patokan
dalil. Dalam al-Quran kata qawa’id ditemukan pada QS.
al-Baqarah 2/127:
َ ‫ُ ﱠ َ ََ ْ ﱠ ﱠ‬ َْ َ َْ َ ْ
‫נﺎ ﺗﻘﱠﺒﻞ ِﻣנﺎۗ ِاנﻚ‬e‫ﺪ ِﻣَﻦ اﻟ`ْﻴِﺖ َو ِاْﺳٰﻤِﻌْﻴﻞۗ َر‬9ِ‫َو ِاذ َﻳْﺮﻓُﻊ ِاْﺑٰﺮٖﻫُﻢ اﻟﻘَﻮا‬
َْ َ َْ
‫اﻧﺖ اﻟﱠﺴِﻤْﻴُﻊ اﻟﻌِﻠْﻴُﻢ‬

“(Ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan fondasi


Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa), “Ya Tuhan
kami, terimalah (amal) dari kami. Sesungguhnya
Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui”.3

Juga dijelaskan dalam (Q.S 16/:26) yang berarti


dasar-dasar, fondasi dan tiang. Dengan demikian, kaidah-
kaidah mengandung arti undang-undang, aturan-aturan,
azas-azas, fondasi atau patokan. Adapun kata “tafsir”
merupakan bentuk masdar dari kata kerja ma’lum,
fassara-yufassiru yang secara etimologis berarti jelas
(nyata) dan menjelaskan. Dari segi leksikologis berarti
menjelaskan, membuka sesuatu yang tertutup dan
menjelaskan yang sukar. Dalam al-Qur’an kata tafsir
dijumpai pada QS. al-Furqan 25/:33 yang berarti
penjelasan. Dari sudut terminologis ulama berbeda
pendapat dalam memberi definisi tafsir.
Menurut al-Zarkasyiy, tafsir adalah ilmu yang
dengannya diketahui pemahaman kitab Allah yang

3
https://quran.kemenag.go.id/surah/2/127
diturunkan kepada nabi Muhammad saw., penjelasan
akan makna-maknanya dan mengeluarkan hukum-hukum
dan hikmah-hikmahnya. Sedangkan menurut al-Zarqaniy,
tafsir adalah ilmu yang membahas tentang maksud Allah
sesuai dengan kemampuan manusia, dan mencakup di
dalamnya memahami makna dan penjelasan yang
dimaksud.4
Khalid bin Usman al-Sabt, seorang ulama kontemporer
mendefinisikan kaidah sebagai:
ّ
‫م ﺟﺰﺋّﻴﺔ‬O‫כ‬o‫; أ‬:9 ‫ ﻳﺘﻌﺮف ﺑﻬﺎ‬tّr‫ﻜﻢ כ‬o
Secara etimologi tafsir diartikan sebagai
“menyingkap/membuka dan penjelasan mengeluarkan
sesuatu dari tempat tersebunyi/samar ke tempat yang
jelas/terang”. Definisi tersebut menegaskan bahwa kaidah
mencakup semua bagian-bagiannya. Maka kaidah tafsir
didefinisikan sebagai “Ketentuan umum yang membantu
seorang penafsir untuk menarik makna atau pesan-pesan
al-Qur’an”. 5
Jadi pengertian qawa’id al-tafsir dilihat dari segi
bersandarnya kata qawa’id pada kata tafsir berarti semuah
kaidah yang ada hubungannya dengan kegiatan tafsir.
Quraish Shihab mengatakan bahwa komponen-komponen
yang harus ada dalam kaidah-kaidah tafsir antara lain (a)
ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan dalam
menafsirkan al-Qur’an; (b) Sistematika yang hendak
ditempuh dalam menguraikan penafsiran; dan (c)

4
Tasbih, Kedudukan dan Fungsi Kaidah-Kaidah Tafsir, Lihat
Jurnal Farabi, Vol. 10, No. 2, 2013, hal. 108-109
5
Syamsuri, Pengantar Qawa’id Tafsir, Lihat Jurnal Sulesana,
Vol. 6, No. 2, 2011, hal. 92
patokan-patokan khusus yang membantu pemahaman
ayat-ayat al-Qur’an.

Kedudukan dan fungsi kaidah-kaidah tafsir dari


beberapa sumber ilmu seperti bahasa dan usul fiqhi
maupun yang ditarik langsung dari penggunaan al-
Qur’an. Komponen-komponen tersebut dapat memberi
batasan yang jelas dalam upaya perumusan kaidah-kaidah
tafsir. Dari beberapa keterangan tersebut di atas dapat
dikatakan bahwa kaidah-kaidah tafsir adalah aturan-
aturan dan azas-azas yang dijadikan dasar atau landasan
operasional penafsiran al-Qur’an yang dibakukan menjadi
kaidah tafsir dan penting untuk diketahui oleh mufassir
dalam memahami secara tepat sesuai makna yang
dikandung oleh ayat-ayat al-Qur’an.

Macam-Macam Kaidah Tafsir


Para ulama berbeda-beda dalam mengemukakan
beberapa kaidah tafsir-kaidah tafsir yaitu yang dinukilkan
oleh hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, diambil dari
perkataan sahabat, diambil dari kaidah-kaidah bahasa
serta kandungan makna kalam dan syari’at. Dalam pasal
lain Zarkasyi menambahkan bahwa sebaik-baik metode
tafsir adalah menafsikan al-Qur’an dengan al-Qur’an.
Menurutnya bahwa kaidah-kaidah tafsir harus diambil
dari hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ilmu
bahasa serta ûsul al-syari’at al-Islamiyah. Disamping itu
Quraish Shihab mengemukakan bahwa seorang mufassir
selain ia harus memiliki pengetahuan tentang bahasa Arab
dalam berbagai bidangnya, ilmu alQur’an, hadis-hadis
Nabi, usul fiqhi, prinsip-prinsip pokok keagamaan dan
disiplin ilmu yang menjadi materi bahasan ayat, juga
harus menyelami pengetahuan tentang perubahan sosial
dan perkembangan ilmu pengetahuan. Dari sekian banyak
kaidah yang dikemukakan oleh para ulama dapat
dipahami bahwa dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an
dibutuhkan beberapa kaidah.

1. Kaidah Qur'aniyah

2. Kaidah Sunnah

3. Kaidah Bahasa

4. Kaidah Usul

5. Kaidah Ilmu Pengetahuan

1. Kaidah Qur’aniyah
Menurut Ibnu Kasîr bahwa menafsirkan al-
Qur’an dengan al-Qur’an adalah metode tafsir yang
terbaik sesuai dengan petunjuk QS. Al-Qiyamah 75/19:
َٗ ََ َََْ ‫ُ ﱠ‬
ۗ‫~ﺎﻧﻪ‬e ‫ﻠ|ﻨﺎ‬9 ‫ﺛﱠﻢ ِان‬
“Kemudian sesungguhnya Kami yang akan
menjelaskannya.”

Ayat ini menunjukan bahwa pada dasarnya yang


mengetahui makna al-Qur’an secara tepat hanyalah Allah.
Dengan demikian, al-Qur’an ditafsirkan dengan al-
Qur’an, karena pemilik ucapanlah yang lebih paham akan
makna ucapannya.
Dr. Mahmud Basumiy Fawdah mengatakan
bahwa al-Qur’an, sebagian ayatnya merupakan tafsiran
bagi sebagian yang lain. Sesuatu yang disebutkan secara
ringkas disuatu tempat dapat ditemukan uraiannya di
tempat yang lain, atau sesuatu yang bersifat umum dalam
sebuah ayat di takhsis (dijadikan khusus) oleh ayat lain,
atau sesuatu yang berbentuk mutlak di satu pihak disusul
oleh keterangan lain yang muqayyad (terbatas). Dengan
demikian kaidah utama digunakan dalam tafsir adalah
kaidah qur’aniyah.
‚ ُ
Sebagai contoh QS. al-Fath (48):10 Kata ‫ﷲ‬
ِ ‫ َﻳﺪ ا‬tangan
Allah) jika dilihat arti harfiyahnya memberi kesan bahwa
Allah bersifat antropomorfis (serupa dengan bentuk
manusia) berjasmani dan ia itu materi. Suatu hal yang
mustahil diserupakan dengan makhluk ciptaan- Nya
ٌ َ ْ َ
sebagaimana dalam QS. Asy-Syura (42): ‫ „ْ…ء‬MٖLِ‫ﻛِﻤﺜ‬
Menurut al-Zuhayliy kata al-Yad (tangan) pada
dasarnya sama dengan al-absar (penglihatan) termasuk
bagi sifat yang disifati, untuk itu Allah memuji dengan al-
aydy (tangan-tangan) yang dikaitkan dengan al-absâr
(penglihatan). Al-Asy’ariy menambahkan bahwa
sesungguhnya al-Yad (tangan) adalah sifat yang disebut
oleh syara’ (agama). Menurut al-Asy’ariy al-Yad (tangan)
mempunyai makna yang dekat dengan kata qudrat
(kekuasaan). Yang membedakannya al-Yad maknanya
lebih khusus sedangkan al-Qudrat maknanya lebih
umum. Dengan demikian dapat dipahami bahwa kata Yad
berarti Allah Yang Maha Kuasa atas segala makhluk-
Nya. Penjelasannya dapat dilihat pada ayat lain di
antaranya QS. al-An’âm 6/65:ُ َ
َ َ َ َ َ ْ َ ‰ َ َْ ُ ْ ُ
‫ﺬاًﺑﺎ‬9 ‫ﻜْﻢ‬Œْ‹9 ‫; انﱠﻳْﺒﻌﺚ‬:9 ‫ﻗﻞ ﻫَﻮ اﻟﻘﺎِدُر‬
“Katakanlah (Muhammad), “Dialah yang
berkuasa mengirimkan azab kepadamu ..”

Al-Sa’diy mengatakan bahwa kandungan dasar


dari suatu ayat ada keterkaitannya dengan ayat berikutnya.
Sebagai contoh QS. Al-Naml (27): 91
َ ‫ْ َْ ﱠ‬ ٰ َ َْ ْ َ ُ ُ َ‫ﱠ‬
‫’ِة ا”ِ•ْي ﺣﱠﺮَﻣَﻬﺎ‬L‫ِاﻧﻤٓﺎ اِﻣْﺮت ان اﻋُﺒﺪ َرﱠب ﻫِﺬِه اﻟَﺒ‬
Dalam ayat ini hanya disebut kota Mekkah
sehingga menimbulkan pertanyaan bahwa apakah sifat
rubûbiyah Allah khusus untuk kota Mekkah? Keraguan
tersebut dapat hilang setelah ُ َ adaَ penegasan dari
َ َ ْ ْ ُ ْ ُ‫ََٗ ُﱡ َ ﱠ‬
kelanjutan ayat tersebut ( ‫ כ˜ „…ٍء واِﻣﺮت ان اﻛﻮن ِﻣﻦ‬M”‫و‬ ْ
َ ْ
ۙ‫נ‬Wْ‫)اﻟُﻤْﺴِﻠِﻤ‬
2. Kaidah Sunnah
Disebutkanَ dalam QS. Al-Nahl ْ 16/ َ 44:ْ َ
ْ‫ﻠﱠﻨﺎس َﻣﺎ ُﻧّﺰَل اﻟْﻴﻬﻢ‬% ‫َנ‬Wّ‫َﺒ‬œُ‫ﻚ ا”ّ•ﻛَﺮ ﻟ‬ َ ْ َ َْ َ
Œ›‫واﻧﺰ›נٓﺎ ِا‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa Nabi
Muhammad saw. merupakan mufassir pertama. Abdul
Muin Salim mengatakan bahwa pada masa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa terdapat dua sumber
dalam menafsirkan al-Qur’an yaitu (1) Penafsiran yang
kedudukan dan fungsi kaidah-kaidah tafsir bersumber dari
wahyu al-Qur’an (asbāb al-Nuzūl); (2) Penafsiran yang
diterima oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
dari malaikat Jibril namun tidak termasuk pada kategori
ayat-ayat Qur’ani yang kemudian dikenal dengan nama
Sunnah. Penafsiran seperti ini tidak bertentangan dengan
al-Qur’an. Implikasi sunnah dalam menjelaskan maksud
ayat dapat dlihat dari segi fungsinya antara lain apakah itu
sebagai bayan mujmal (penjelasan atas hal-hal yang
bersifat global) terhadap al-Qur’an, sebagai Bayan takhsis
(mengkhususkan ayat yang bersifat umum), sebagai
bayan tawdin (menjelaskan ّ yang َ musykil). Sebagai
َْ ‫ﱠ‬ َ ْ ْ ََ ْ ُ ْ َْ َْ
contoh QS. Al-Fatihah 1/7: ‫נ‬W%ِ ‫ اﻟﻀ ۤﺎ‬K0‫ﻠﻴِﻬﻢ و‬9 ‫ اﻟﻤﻐﻀﻮِب‬XِWž

3. Kaidah Bahasa
Al-Qur’an dalam pewahyuannya memperkenalkan
dirinya antara lain menggunakan bahasa Arab sebagai
media komunikasinya. Dengan demikian, seseorang tidak
mungkin memahami kandungan al-Qur’an tanpa
mengetahui kaidah-kaidah bahasa Arab. Di antara kaidah-
kaidah yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut:
Damîr Pada dasarnya damîr itu berfungsi mengganti dan
menempati tempat-tempat lafaz-lafaz yang banyak dengan
sempurna, karena asal mula diletakannya damîr untuk
membuat susunan kalimat yang singkat. Sebagai contoh
firman Allah dalam QS.ْ Al-Ahzab (33)/35:ْ
ٰ ْٰ َ َْ ْٰ َ ٰ ْ ُ َ َْ ْ ُْ َ َ ْ ‫ﱠ‬
‫נ واﻟﻘِנﺘِﺖ‬W‫נ واﻟﻤﺆِﻣנِﺖ واﻟﻘِנِﺘ‬W‫נ َواﻟُﻤْﺴِﻠٰﻤِﺖ واﻟﻤﺆِﻣِﻨ‬Wْ‫ِان اﻟُﻤْﺴِﻠِﻤ‬
ٰ ْٰ َ ْٰ ‚ ‚ ٰ ‚ َ ‚
‫ِﺸﻌِﺖ‬¥5‫נ َوا‬Wْ‫ِﺸِﻌ‬¥5‫ِت َوا‬Xٰ¤ِ‫ْﻳَﻦ َواﻟﺼ‬Xِ¤ِ‫נ َواﻟﺼِﺪﻗِﺖ َواﻟﺼ‬Wْ‫َواﻟﺼِﺪِﻗ‬
َ ُ َ ْٰ ª َ ‫ﱠ‬ ٰ ّ َ َ ْ َ ّ َ َ ْ
‫נ ﻓُﺮْوﺟُﻬْﻢ‬Wْ‫¬ِﻔِﻈ‬5‫נ َواﻟﺼ©ﯩٰﻤِﺖ َوا‬Wْ‫נ َواﻟُﻤﺘﺼ ِﺪﻗِﺖ َواﻟﺼﺎۤ©ﯨِﻤ‬Wْ‫َواﻟُﻤﺘﺼ ِﺪِﻗ‬
ْ َ ً ْ َ ‚ ‫َ َﱠ‬ َ ‚ ْ
‫ﷲ ﻟُﻬْﻢ ﱠﻣﻐِﻔَﺮة ﱠواﺟًﺮا‬ُ ‫ﺪ ا‬9‫ا ﱠوا”‚•ﻛٰﺮت ا‬XًWْ‫ﷲ ﻛﺜ‬ َ ‫ٰ¬ﻔٰﻈﺖ َوا”‚•ﻛﺮْﻳَﻦ ا‬5‫َوا‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
ً َ
‫ﻋِﻈْﻴﻤﺎ‬

Damîr ‫ ِي‬di atas berfungsi mengganti tempat 20


َ ْ
lafadz yang dimulai sebelumnya yaitu mulai ‫נ‬Wْ‫اﻟُﻤْﺴِﻠِﻤ‬

sampai ‫ ﱠوا”•ِﻛٰﺮِت‬dengan demikian tidak perlu ada lagi
pengulangan. Dalam perubahan damîr, yang perlu
diperhatikan adalah tempat kembali damîr, itu sendiri,
macam damîr lafaz dan makna yang terkandung di
dalamnya.

Tankîr dan Ta’rîf

Tankîr atau isim nakirah adalah isim atau kata


benda yang menunjukan kepada benda yang tidak
tertentu. Sedangkan ta’rîf atau isim ma’rîfah adalah isim
atau kata benda yang menunjukan kepada suatu yang
tertentu.

Adapun fungsi Tankîr yang disebutkan dalam al-


Qur’an sebagai berikut:
a. Untuk menunjukan satu atau seseorang,
seperti dalam QS. Yâsîn 36/20:
َْ َ ْ ُْ ُ ‫َ َ َ ْ َْ َ ْ َ ْ َ َ ُ ٌ ﱠْ ٰ َ َ ٰ َ ْ ﱠ‬
ۙ‫נ‬W‫ ﻗﺎل ﻳﻘﻮِم اﺗِﺒﻌﻮا اﻟﻤﺮﺳِﻠ‬³²±° ‫و¯ﺎۤء ِﻣﻦ اﻗﺼﺎ اﻟﻤِﺪﻳﻨِﺔ ر¯ﻞ‬
“Dan datanglah dari ujung kota, seorang laki-
laki dengan bergegas dia berkata, “Wahai
kaumku! Ikutilah ٌ utusan-utusan itu.”.
ُ
Penggunaan kata “‫ ”َر¯ﻞ‬maksudnya adalah
seorang laki-laki.
b. Untuk menunjukan macam atau jenis, seperti
dalam QS. Al-Baqarah 2/96:
َْ ‫َ ٰ َ َ ﱠ‬ ٰ َ ‫ﱠ‬ َ ْ َ ُ ‫َ َ َﱠ‬
‫; ﺣﻴﻮٍةۛوِﻣﻦ ا”ِ•»נ‬:9 ‫َو›´ِﺠﺪנ·ْﻢ اﺣَﺮص ا›נﺎِس‬
ْ ُ َ ََْ َ َ ُ ُ َ َ ‫ﱡ‬ ُ ْ َ
‫ﺪﻫْﻢ ﻟْﻮ ُﻳﻌﱠﻤُﺮ اﻟﻒ َﺳﻨٍﺔَۚوَﻣﺎ ﻫَﻮ ِﺑُﻤَﺰﺣِﺰِﺣٖﻪ‬o‫ا½َ¾ﻛْﻮاَۛﻳَﻮد ا‬
َ ُ ْ َ َ ْ
ُ ‚ ‫ﻣَﻦ اﻟَﻌَﺬاب اْن ﱡﻳَﻌﱠﻤَﺮ َوا‬
ࣖ ‫ۢ ِﺑﻤﺎ َﻳﻌَﻤﻠْﻮن‬XٌWْ‫ﷲ َﺑِﺼ‬ ۗ ِ ِ
“Dan sungguh, engkau (Muhammad) akan
mendapati mereka (orang-orang Yahudi),
manusia yang paling tamak akan kehidupan
(dunia), bahkan (lebih tamak) dari orang-
orang musyrik. Masing-masing dari mereka,
ingin diberi umur seribu tahun, padahal umur
panjang itu tidak akan menjauhkan mereka
dari azab. Dan Allah Maha Melihat apa yang
mereka kerjakan.”

Maksud dari ayat diatas adalah sebuah


peringatan bagi orang-orang yang tamak
dalam kehidupan dunia serta mencari
tambahan untuk masa depannya.
c. Untuk memuliakan atau mengagungkan,
seperti dalam QS. al-Baqarah 2/279:
ُُْ ْ ‚ َ ّ َ ْ ََُْ ُْ َ َْ ‫َ ْﱠ‬
‫ۚ َو ِان ﺗ`ﺘْﻢ‬Mٖ”ِ‫ﷲ َوَرُﺳْﻮ‬
ِ ‫¬ْﺮٍب ِﻣﻦ ا‬Ãِ ‫ﻓِﺎن ﻟْﻢ ﺗﻔﻌﻠﻮا ﻓﺄذﻧﻮا‬
َ َ ُْ َ َ َْ َ ُ َ ُ َ َ
‫ ﺗﻈﻠُﻤْﻮن‬K0‫ ﺗﻈِﻠُﻤْﻮن َو‬K0 ۚ‫ﻜْﻢ‬%ِ‫ﻜْﻢ ُرُءْوُس اْﻣَﻮا‬Ä‫ﻓ‬
“Jika kamu tidak melaksanakannya, maka
umumkanlah perang dari Allah dan Rasul-
Nya.” Kata “ harb” yang digunakan pada ayat
diatas memiliki arti peperangan yang dasyat.
d. Untuk membayakkan, seperti dalam QS. Asy-
Syu’ara’ 26/41:
‫ْ َ ْ َ َ ﱠ َ َ َ َ ْ ً ْ ُﱠ‬ ُ َ ُ َ َ ‫َ َﱠ‬
‫ﺟﺮا ِان ﻛﻨﺎ‬K0 ‫ﻓﻠﻤﺎ ¯ﺎَۤء اﻟﱠﺴﺤَﺮة ﻗﺎﻟْﻮا ِﻟِﻔﺮﻋﻮن ا©ﯨﻦ ›נﺎ‬
ْٰ َْ
‫נ‬Wْ‫נ¬ُﻦ اﻟﻐِﻠِﺒ‬
“Maka ketika para pesihir datang, mereka
berkata kepada Fir‘aun, “Apakah kami benar-
benar akan mendapat imbalan yang besar jika
kami yang menang?”. Kata “ajran” pada ayat
diatas bermakna pahala yang banyak.
e. Untuk merendahkan atau menghinakan,
seperti dalam QS. al-Jāsiah 45/32:
ُُْ َ ُ َ ‫َ َ ْ َ ﱠ َ ْ َ ‚ َ ﱞ‬
‫ َرْﻳَﺐ ِﻓْﻴَﻬﺎ ﻗﻠﺘْﻢ‬K0 ‫ﷲ ﺣﻖ ﱠواﻟﱠﺴﺎﻋﺔ‬ ِ ‫ﺪ ا‬9‫و ِاذا ِﻗﻴﻞ ِان و‬
َ ْ ْ َ ْ ُ ُ ْ َ َ ‫ ﱠ‬Ê َ ‫ﱠ َ ْ ْ َ ﱠ َ ُ ْﱠ ُ ﱡ ﱠ‬
‫נ‬W‫ﻴِﻘِﻨ‬œ‫ ﻇﻨﺎ وﻣﺎ נ¬ﻦ ِﺑﻤﺴ‬K0‫ﻣﺎ ﻧﺪِري ﻣﺎ اﻟﺴﺎﻋﺔ ِۙان ﻧﻈﻦ ِا‬
Maksud dari ayat diatas dengan “dugaan”
disini adalah “dugaan hina”.
f. Untuk menyedikitkan, seperti dalam QS. al-
Taubah 9/ 72:
َ‫¬ﺘﻬﺎ‬Ë َْ ْ ْ ْ َ ‚ َ ٰ ْ ُْ َ َْ ْ ُْ ُ‚ َ َ َ
ِ ‫ِﺮي ِﻣﻦ‬6Ë ‫נ واﻟﻤﺆِﻣנِﺖ ﺟנٍﺖ‬W‫ﺪ اﷲ اﻟﻤﺆِﻣِﻨ‬9‫و‬
‚ َ ً ّ َ َْ ٰ َْْ
‫ْ… ﺟנِﺖ‬Îِ ‫ِ’»נ ِﻓْﻴَﻬﺎ َوَﻣٰﺴِﻜَﻦ ﻃ ِ|َﺒﺔ‬LِÌ ‫ﻧٰﻬُﺮ‬K0‫ا‬
ْ ْ
ُࣖ ‫ﻚ ُﻫَﻮ اﻟَﻔْﻮُز اﻟَﻌﻈْﻴﻢ‬َ ٰ َُْ َ ‚ َ ّ ٌ َ ْ َ ْ َ
ِ %ِ‫ۗذ‬X¤‫ﷲ اﻛ‬ِ ‫ﺪٍنۗوِرﺿﻮان ِﻣﻦ ا‬9
Ayat diatas menjelaskan tentang janji Allah Swt
kepada orang yang beriman, laki-laki dan perempuan
(yaitu) taman-taman surga. Dan keridhaan Allah Swt lebih
besar. Itulah kemenangan yang gemilang”. Artinya ridha
Allah yang sedikit itu lebih besar daripada surga-surga
yang ada, kerena merupakan pangkal kebahagiaan.
Adapun ta’rif kadang-kadang dari damîr, isim
âlam, Isim mausûl. Atau memakai âlif dan lam pada awal
isim.
Ifrâd dan Jamâ. Lafaz al-Qur’an mufrad
dimaksudkan untuk makna khusus, dan dijamak untuk
sesuatu isyarat yang tertentu, atau dapat juga bentuk
jamak dimaksud mufrad atau sebaliknya. Sebagai contoh
pada lafaz ‫ﺎب‬Ñ›‫ ا‬pada QS. al-Zumar 39/21 tidak
didapatkan mufradnya, yaitu ‫ ﻟﺐ‬di dalam al-Qur’an tetapi
َْ

menempati tempat ‫ ﻗﻠٌﺐ‬yang menunjukan mufrad,
َ ْ َ َ ٰ
ٗ َ َ ْ َ ٰ ‫ﱠ‬
seperti pada QS. Qâf 50/37 (M” ‫ن‬O‫ﻚ ”ِ•ﻛﺮى ِﻟﻤﻦ כ‬%ِ‫ْ… ذ‬Îِ ‫ِان‬
ٌ َ ُ َ َْ َ ْ َ
‫ اﻟﱠﺴْﻤَﻊ َوﻫَﻮ ﺷِﻬْﻴﺪ‬³‫)ﻗﻠٌﺐ اْو اﻟק‬
Ada beberapa isim dalam al-Qur’an yang
berlawanan atau setara satu sama lain, tetapi yang satu
dijamak dan yang lainnya dijadikan mufrad, seperti:
a. Langit di jamak dan bumi mufrad, seperti dalam
QS. al-Sajadah 32/4: ‫َ ‚ ﱠ‬
ُ ‫ﱠ َﱠ‬ َ َْ َ َْ ََ َ
‫ْ… ِﺳﺘِﺔ اﻳﺎٍم ﺛﻢ‬Îِ ‫ْرض َوَﻣﺎ َﺑ|ﻨُﻬﻤﺎ‬K0‫ﻠﻖ اﻟﱠﺴٰﻤٰﻮِت َوا‬Ì ‫ﷲ ا”ِ•ْي‬
‫ﱠ‬ ُ ‫ا‬
َ ََ ْ َ َ‫ْ ﱠ ﱠ‬ ُ ُ َ ْ َ َ َ
َ
ÙØ‫ ﺷِﻔﻴٍﻊۗ اﻓ‬K0‫ﻜْﻢ ِّﻣْﻦ دْوِﻧٖﻪ ِﻣﻦ وِ×ّ… و‬% ‫; اﻟﻌْﺮِشۗ َﻣﺎ‬:9 ‫اْﺳﺘٰﻮى‬
ٍ َ ‫َ َ َﱠ‬
‫ ﺗﺘﺬﻛُﺮْون‬
b. Kegelapan di jamak dan cahaya mufrad, seperti
dalamَ QS. al-Ahzab ُ ‫ ْ ّ َ ﱡ‬33/43:
ُ َ ْ ُ ٗ ُ َ Ú َ ُ ‫ﱠ‬
‫ر‬ ْ
‫ﻮ‬
‫ﱡ‬
‫ﻨ‬ ‫ﻟ‬ ‫ا‬ Ü ×‫ا‬ ‫ﺖ‬ ‫ﻤ‬ٰ ‫ﻠ‬ ‫ﻈ‬‫ﻟ‬ ‫ا‬ ‫ﻦ‬‫ﻣ‬ ‫ﻢ‬‫ﻜ‬ ¯‫ﺮ‬ ‫ﺨ‬ Œ› ‫ﻪ‬‫ﺘ‬ ‫ﻜ‬ © ‫ﯩ‬‫ﻠ‬ ‫ﻣ‬ َ ‫ﻜْﻢ‬Œْ‹َ9َ tْ:ّ‫ُﻫَﻮ ا”•ْي ُﻳَﺼ‬
‫و‬
ِۗ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
ً ْ َ َْ ْ ُْ َ ََ
‫נ رِﺣﻴﻤﺎ‬W‫ن ِﺑﺎﻟﻤﺆِﻣِﻨ‬O‫وכ‬
c. Pendengaran di mufrad dan pendengaran di
jamak, seperti dalam QS. An-Nahl
ُ 16/78:
َ ُ ُ ُ َ ‚
ُ‫ﻜﻢ‬% ‫ۙﱠوَﺟَﻌَﻞ‬á‫ـ‬à‫ َﺗْﻌَﻠُﻤْﻮَن َﺷْﻴ‬K0َ ‫ﷲ اْﺧَﺮَ¯ﻜْﻢ ّﻣْﻦۢ ُﺑُﻄْﻮن اﱠﻣٰﻬﺘﻜْﻢ‬ ُ ‫َوا‬
‫ﱠ‬ ِ ِ ِ
َ ُ َْ ُ ََ َ َ َْْ َ َْ
‫ﻜُﺮْون‬ãâ ‫ﻜْﻢ‬Ä‫ﻓ©ـﺪةۙ ﻟﻌ‬K0‫ْﺑﺼﺎَر َوا‬K0‫اﻟﱠﺴْﻤَﻊ َوا‬
Isim mutarâdif atau kata yang bersinonim

Ada beberapa kata yang terdapat dalam al-


Qur’an, kalau dilihat sepintas lalu, artinya seolah-olah
sama atau sinonim tetapi bila dikaji lebih dalam akan
tampak perbedaan.

Soal dan Jawab


Dalam al-Qur’an terdapat pula ayat yang terdiri
dari soal dan jawab. Atau ada juga dua ayat yang
berurutan, ayat keduanya merupakan jawaban atas
pertanyaan ayat pertama. Jawaban pada dasarnya harus
sesuai dengan pertanyaan tetapi kadang jawaban
berlawanan dari yang dikehendaki pertanyaan. Hal itu
memberikan pengertian bahwa pertanyaan seharusnya
sebagaimana yang terkandung dalam jawaban.
4. Kaidah Usul
Kaidah ini termasuk kaidah yang harus diketahui
oleh seorang mufassir khususnya dalam mengistinbathkan
hukum dari ayat-ayat al-Qur’an. Hal-hal yang terkait
kaidah tersebut antara lain:
1. Âm dan Khâs
Âm ialah lafaz yang menunjukan dan mencakup
semua satuan-satuan yang ada di dalam lafaz itu tanpa
terbatas dari ukuran atau satuan-satuan itu. Atau jika
dalam nash terdapat lafaz yang umum dan tidak terdapat
dalil yang mengkhususkannya maka lafaz itu harus
diartikan kepada keumumannya. Contoh QS. al-Mâidah
5/89:َ ْ
َ َ ْ ُ ‫َ ْ َ ُ ْ َ ٰ ْ ﱡ َ ُ ُ ْ َ َﱠ ْ ﱡ‬ ْ‫َ َُ ُ ُ ُ ‚ُ ﱠ‬
ۚ‫ن‬ ‫ﺎ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﻳ‬ K0‫ا‬ ‫ﻢ‬‫ﺗ‬‫ﺪ‬ ‫ﻘ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﺎ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﺑ‬ ‫ﻢ‬‫ﻛ‬ ‫ﺬ‬ Ìِ ‫ا‬‫ﺆ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻦ‬‫ﻜ‬ ِ %‫و‬ ‫ﻢ‬‫ﻜ‬‫נ‬ِ ‫ﺎ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﻳ‬ ‫ا‬ …ْ
ٓ ِ ِ ‫ﻠ‬%‫ﺬﻛﻢ اﷲ ِﺑﺎ‬Ìِ‫ ﻳﺆا‬K0
Î ‫ﻮ‬ ‫ﻐ‬
َ ُ َْ َ ْ ِ ُْ َ َ ْ َْ َ َ َ ْ ٗ ُ ‫َ َﱠ‬
‫נ ِﻣﻦ اْوَﺳِﻂ ﻣﺎ ﺗﻄِﻌُﻤﻮن اﻫِﻠْﻴﻜْﻢ اْو‬W‫َ¾ِة َﻣٰﺴِﻜ‬ä‫ﻓﻜﻔﺎَرﺗ ٓﻪ ِاﻃﻌﺎُم ﻋ‬
َ ْ َ َ ُ ُ
ۗ‫ُْﺮ َرﻗَﺒٍﺔ‬ç‫¬ِﺮ‬Ë ‫·ْﻢ اْو‬æ‫ِﻛْﺴَﻮ‬
َ َ
Kata ‫َ¾ِة‬ä‫ ﻋ‬yaitu sepuluh dalam ayat tersebut tidak
mengandung arti kurang atau lebih dari sepuluh.
2. Mantûq dan Mafhûm
Mantûq adalah pengertian yang ditunjuk oleh
lafaz di tempat pengucapannya. Sedangkan mafhûm
adalah pengertian yang ditunjuk oleh lafaz, bukan pada
tempat pengucapannya. Ayat tersebut mengandung
pengertian mantûq dan pengertian mafhûm. Adapun
pengertian mantûqnya yaitu adanya larangan untuk
mengatakan “uff” terhadap kedua orang tua. Sedangkan
mafhûmnya adalah adanya larangan memukul dan
menganiaya orang tua 3. Mutlaq dan Muqayyad

Mutlaq adalah suatu lafaz yang menunjukan


kepada sesuatu tanpa ikatan atau batasan baik ikatan itu
berupa bilangan, sifat, masa, keadaan, tujuan atau syarat.
Sedangkan muqayyad suatu lafaz yang menunjukkan
kepada sesuatu yang ada ikatan atau Batasan. Penyebutan
َ
lafaz “‫ ”َرﻗَﺒٍﺔ‬dalam ayat ini mutlaq karena tidak ada
ikatan, atau batasan, maka budak yang dimaksud boleh
َ
jadi mukmin atau kafir. Sedangkan lafaz “‫ ”ﺷْﻬَﺮْﻳِﻦ‬dibatasi
َ ََ
“ۖ‫ِנ‬Wْ‫ﺘﺎِﺑﻌ‬œ‫ ”ُﻣ‬maka puasa harus dilaksanakan selama dua
bulan berturut-turut.

5. Kaidah Ilmu Pengetahuan


Hasil pemikiran seseorang dapat dipengaruhi
antara lain faktor pengalaman dan perkembangan ilmu
pengetahuan, dan tergantung pada keahlian dalam
bidangnya masing-masing. Para ahli bahasa misalnya
dapat merasakan berat tinggi mutu bahasa al-Qur’an, ahli
fiqih mampu memahami kebenaran segi-segi hukum, ahli
kalam dapat memahami dalil pembuktian yang rasional
dalam al-Qur’an. Demikianlah seterusnya semakin
banyak memperoleh ilmu semakin memungkinkan
seseorang menguak makna yang tersirat dalam ilmu yang
ditekuninya .
Sehubungan dengan hal-hal tersebut Quraish Shihab
mengatakan bahwa apa yang dipersembahkan oleh para
ahli dari berbagai disiplin ilmu, sangat berpariai dari segi
kebenarannya. Untuk itu bertitik tolak dari prinsip
“larangan menafsirkan al-Qur’an secara spekulatif” maka
penemuan-penemuan ilmiah yang belum mapan tidak
dapat dijadikan dasar dalam menafsirkan al-Qur’an,
bahkan seseorang tidak dapat mengatasnamakan al-
Qur’an terhadap perincian penemuan ilmiah yang tidak
didukung oleh redaksi ayat-ayat al-Qur’an.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa
perbedaan tingkat pemahaman dan keahlian seseorang
dalam mengkaji al-Qur‟an sangat memungkinkan
lahirnya pemahaman dan penafsiran yang berbeda-beda.
Kedudukan dan Fungsi Kaidah-Kaidah Tafsir itu dapat
dibenarkan sepanjang hasil pemikirannya itu tidak
bertentangan dan melebihi makna yang terkandung dari
redaksi ayat-ayat al-Qur’an serta sejalan dengan prinsip
ilmu tafsir yang telah disepakati. Salah satu contoh yang
terkait dengan keadaan ilmu pengetahuan dapat dilihat
dalam QS. al-‘Alaq 96/:2. Dalam ayat tersebut bahwa Dia
menciptakan manusia dari segumpal darah”. Selama ini
yang dipahami makna al-‘Alaq adalah darah atau
segumpal darah. Pandangan lain dikemukakan Mourice
Bucaille bahwa kata al-“Alaq adalah sesuatu yang
bergantung. Analisis ini merupkan sintesa dari penemuan
medis yaitu telur yang sudah dibuahi dalam “trompe”
yang turun bersarang ke dalam rongga rahim, dan
menetap dalam rahim karena villi atau jenggot, yakni
perpanjangan telur dari dinding Rahim. Sehubungan
dengan perbedaan penafsiran kata al-‘Alaq, Muin Salim
menjelaskan bahwa ayat tersebut mengindikasikan bahwa
salah satu sifat kodrati manusia yaitu sifat ketergantungan
kepada rubûbiyah Tuhan.

Selanjutnya dikatakan bahwa manusia sebagai


mahluk rasional tergantung pada masyarakat dalam
memenuhi hidupnya, dan sebagai makhluk religius
(beragama) secara kodrati tergantung pada aturan-aturan
agama yang disyari’atkan Tuhan. Dengan demikian, dapat
dipahami bahwa analisis Mourice Bucailli dengan analisis
Muin Salim menunjukkan ada indikasi pemaknaan yang
tidak bertentangan dengan tanpa menafikan hasil kajian
para ulama sebelumnya. Melihat kompleksnya
permasalahan dan tantangan yang muncul, maka semakin
dirasakan perlunya dukungan berbagai ilmu pengetahuan
dan usaha bersama dari para pakar dalam berbagai disiplin
ilmu untuk Bersama-sama memfungsikan ayat-ayat al-
Qur’an sebagaimana dijelaskan dalam QS. al-Baqarah
2/213 yakni yang memberikan jalan keluar bagi
permasalahan yang muncul di masyarakat. Dalam hal ini
tidak mungkin terlaksana tanpa pemahaman secara benar
atas petunjuk-petunjuk dari al-Qur’an.

Penggunaan Kaidah-kaidah Tafsir dalam


Menafsirkan al-Qur’an Masa Kini
1. Kaidah Qur’aniyah
Dalam kaidah Qur’aniyah yang ingin penulis bahas
adalah ayat yang menjelaskan tentang perbedaan antara
laki-laki dengan perempuan, pada ayat tersebut kaidah ini
merupakan salah satu tanda kesempurnaan ilmu Allah
Swt, kebijaksanaan dan kekuasaannya terhadap makhluk-
Nya. Firman Allah Swt dalam surah Aliُ ْImron 3/36:
ْٰ َ ُ َ ‫ََْ َ ﱠ‬
ۚëê‫ﻧ‬K0O‫وﻟ|ﺲ ا”•ﻛﺮ כ‬
“Laki-laki tidak sama dengan perempuan”
Ayat diatas diambil dari kisah istri Imron melahirkan
seorang anak perempuan yaitu Sayyidah Maryam, firman
Allah Swt (3/36):
َْ ْ َ َ َ َ ْ َ ُ ‚ َ ٰ ْ ُ َ ُ ْ َ َ ْ ّ ّ َ ْ َ َ َ ْ َ َ َ ‫َ َﱠ‬
‫ﻠُﻢ ِﺑﻤﺎ َوﺿﻌﺖَۗوﻟ|َﺲ‬9‫ﷲ ا‬ ‫ۗوا‬ëê‫ﻓﻠﻤﺎ وﺿﻌﺘﻬﺎ ﻗﺎﻟﺖ ر ِب ِ ِاנ… وﺿﻌﺘﻬٓﺎ اﻧ‬
َ‫ﻚ َوُذّرﱠﻳَﺘَﻬﺎ ﻣﻦ‬
َ َ ُ ْ ُ ّْ َ َ َ ْ َ َ ُ ْ ‫َ ّْ َﱠ‬ ُْْٰ َ ُ َ ‫ﱠ‬
ِ ِ ‫ﺑ‬ِ ‫ﺎ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﺬ‬ ‫ﻴ‬‫ﻋ‬ِ ‫ا‬ …
ٓ ‫נ‬ ‫ِا‬
ِ ‫و‬ ‫ﻢ‬‫ﻳ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺎ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﺘ‬| ‫ﻤ‬ ‫ﺳ‬ … ‫נ‬ ‫ِا‬
ِ ‫و‬ ۚë ê ‫ﻧ‬K0O‫ا”•ﻛﺮ כ‬
ٰ ‫ﱠ‬
‫اﻟﺸْﻴﻄِﻦ اﻟﱠﺮِﺟْﻴِﻢ‬
“Ketika melahirkannya, dia berkata, “Wahai
Tuhanku, aku telah melahirkan anak perempuan.”
Padahal, Allah lebih tahu apa yang dia (istri Imran)
lahirkan. “Laki-laki tidak sama dengan perempuan. Aku
memberinya nama Maryam serta memohon
perlindungan-Mu untuknya dan anak cucunya dari setan
yang terkutuk.”
Pada ayat diatas menegaskan kemuliaan perempuan
yang dilahirkan, dan menolak persangkaan bahwa bayi
perempuan yang dilahirkan lebih rendah martabatnya
daripada bayi laki-laki seperti yang diharapkan oleh istri
Imran. Setelah istri Imran menyadari kenyataan anaknya
itu perempuan, dan meyakini adanya hikmah dan rahasia
di balik kenyataan ini, maka dia menyatakan bahwa bayi
itu akan diberi nama Maryam. Dia tidak akan menarik
kembali apa yang telah dinazarkan untuk menyerahkan
anaknya berkhidmat di Baitulmakdis, walaupun bayi itu
perempuan dan menurut anggapannya tidak pantas untuk
menjaga Baitulmakdis, namun dia akan menjadi seorang
abdi Tuhan yang khusyuk. Istri Imran memohon agar
Allah menjaga dan melindungi bayinya dari godaan setan
yang mungkin menjauhkannya dari kebajikan. Mengenai
hal ini, Rasulullah saw bersabda sebagai berikut:
َ َْ َ َ َ ْ َ ‫ُ ﱡ َ ْ َٰ َ َ َ ﱡ ُ ﱠ ْ َ ُ َ ْ َ َََ ْ ُ ُﱡ ُ ﱠ‬
‫ ﻣﺮﻳﻢ واﺑﻨﻬﺎ )رواه‬K0‫ ادم ﻳﻤﺴﻪ اﻟﺸﻴﻄﺎن ﻳﻮم و”’ﺗﻪ اﻣﻪ ِا‬î‫כ˜ ﺑِנ‬
(‫ﺮﺮة‬ ç ‫… ﻫ‬ï‫ﺨﺎري وﻣﺴﻠﻢ ﻋﻦ أ‬Ñ›‫ا‬
“Tiap-tiap anak cucu Adam yang dilahirkan dijamah
oleh setan pada waktu kelahirannya kecuali Maryam dan
putranya”. (Riwayat al-Bukhāri dan Muslim dari Abū
Hurairah).
Perbedaan dalam beberapa hukum syariat antara laki-
laki dan wanita pada dasarnya kembali pada pertimbangan
dari sisi penciptaan, komposisi akal, jiwa, dan berbagai
bentuk perbedaan lainnya yang tidak diingkari oleh orang-
orang yang berakal, dan orang-orang yang objektif dari
agama manapun dia berasal.
Orang yang beranggapan bahwa keduanya sama maka
berarti dia sudah membatalkan dalil Al-Qur`ān dan
Sunnah. Adapun terkait dalil Al-Qur`ān, maka kaidah
yang kita bahas saat ini merupakan dalil yang sangat jelas
menunjukkan perbedaan tersebut.
Terdapat beberapa hikmah dari perbedaan yang
Allah Swt ciptakan antara laki-laki dan perempuan salah
satunya dalam beberapa hukum syariat. Di antaranya:
a. Perbedaan dalam warisan
Sunnatullah menghendaki laki-lakilah yang
berusaha dan bersusah payah mencari rezeki. Dialah yang
dimintai warisan dan keikutsertaan dalam membayar diat,
jika ada kewajiban yang mengharuskan hal tersebut. Jadi,
harta laki-laki senantiasa siap sedia untuk dikurangi.
Sebaliknya, harta wanita senantiasa akan bertambah;
ketika dia mendapatkan bayaran mahar, juga ketika wali
memberikan nafkah kepadanya.
b. Perbedaan dalam kesaksian
Dijelaskan dalam surah al-Baqarah 2/282:
“Jika yang berutang itu orang yang kurang
akalnya, lemah (keadaannya), atau tidak mampu
mendiktekan sendiri, hendaklah walinya mendiktekannya
dengan benar. Mintalah kesaksian dua orang saksi laki-
laki di antara kamu. Jika tidak ada (saksi) dua orang laki-
laki, (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan
di antara orang-orang yang kamu sukai dari para saksi
(yang ada) sehingga jika salah seorang (saksi
perempuan) lupa, yang lain mengingatkannya. Janganlah
saksi-saksi itu menolak apabila dipanggil. Janganlah
kamu bosan mencatatnya sampai batas waktunya, baik
(utang itu) kecil maupun besar. Yang demikian itu lebih
adil di sisi Allah, lebih dapat menguatkan kesaksian, dan
lebih mendekatkan kamu pada ketidakraguan, kecuali jika
hal itu merupakan perniagaan tunai yang kamu jalankan
di antara kamu.”
Dijelaskan juga dalam hadis Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam yang berstatus shahih, bahwa
penyebabnya adalah karena adanya kekurangan pada
akalnya. Perbedaan tersebut, bagi orang yang mau
mencermatinya, merupakan inti keadilan. Muhammad
Rasyid Rida menjelaskan makna hal ini dengan
mengatakan, Bukan menjadi kodrat wanita untuk sibuk
dengan transaksi keuangan dan berbagai tindakan bisnis
lainnya. Oleh karena itu, maka ingatannya agak lemah
dalam bidang ini. Namun tidak demikian dengan urusan
rumah tangga yang merupakan kesibukannya. Dalam hal
ini, ingatannya lebih kuat dari laki-laki. Jadi, tabiat daya
ingat manusia, baik laki-laki maupun wanita, menjadi
kuat dalam bidang yang menjadi urusan dan kesibukan
mereka masing-masing. Adanya beberapa wanita asing
pada zaman sekarang yang bekerja dalam bidang
keuangan tidak menafikan kodrat tersebut, karena
nominalnya sedikit, dan tidak bisa dijadikan ukuran.
Hukum-hukum umum hanya berpatokan pada mayoritas
dalam berbagai hal, dan itu menjadi hukum asalnya.
Jangan sampai ada yang mengira bawah hal tersebut
merupakan pelecehan terhadap kemampuan wanita.
Bahkan, itu merupakan penghargaan terhadap mereka
supaya tidak meninggalkan tugas utamanya dalam
mendidik anak dan tinggal di dalam rumah, daripada
beralih melakukan tugas yang kurang penting dan kurang
mulia baginya, yaitu menggeluti bisnis dan transaksi
keuangan. Beberapa tim peneliti telah menyebutkan
bahwa ukuran otak wanita mengecil ketika hamil, dan
tidak kembali menjadi normal kecuali setelah melewati
beberapa bulan dari waktu melahirkan. Hendaknya
diketahui bahwa hukum ini, yakin nilai kesaksian wanita
setengah kesaksian laki-laki, tidak otomatis berlaku dalam
semua persoalan. Bahkan, kadang-kadang kesaksian
wanita sama dengan kesaksian laki-laki dalam beberapa
hukum, seperti kesaksiannya dalam menentukan awal
bulan Ramadan, juga dalam masalah susuan, haid,
melahirkan, lian, dan berbagai hukum lainnya. Tidak
semua perbedaan antara laki-laki dan wanita itu menjadi
keuntungan bagi laki-laki.
2. Kaidah Sunnah
Allah Swt menurunkan al-Qur'an kepada Rasul-Nya
dan memerintahkan untuk menyampaikan dan
menjelaskannya kepada manusia. Allah Swt berfirman
Surah َ an-Nahlَ 16/44: ْ َ َْ َ ْ َ َْ َ ُ ‫ْ َ ّ ٰ َ ﱡ‬
ْ‫ﻠﱠﻨﺎس َﻣﺎ ُﻧّﺰَل اﻟْﻴﻬْﻢ َوﻟَﻌﱠﻠُﻬﻢ‬% ‫َנ‬Wّ‫َﺒ‬œُ‫ﻚ ا”ّ•ﻛَﺮ ﻟ‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ Œ›‫ِﺑﺎﻟ` ِﻴﻨِﺖ واﻟﺰﺑِﺮۗ واﻧﺰ›נٓﺎ ِا‬
َ ‫ََﱠ‬
‫َﻳﺘﻔﻜُﺮْون‬
“(mereka Kami utus) dengan membawa keterangan-
keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami
turunkan Ad-Dzikr (Al-Qur'an) kepadamu, agar engkau
menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan
kepada mereka dan agar mereka memikirkan”.
Terdapat banyak riwayat yang menceritakan bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan kata
pada ayat al-Qur'an dengan makna yang rumit dan
ambigius kepada para sahabat. Akan tetapi Ibnu
Taymiyyah membantahnya, “bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskan makna-
makna al-Qur’an sesuai dengan lafal-lafalnya.”6 Seperti
ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya
tentang penyembah pengikut Nasrani dan Yahudi oleh
Abu Hatim, sebagaimana firman Allah Swt dalam surah
at-Taubah 9/31: ْ
َ ‚ ُ ْ ّ ً َ َ ُ َ ْ ُ ْ َ َُ ‫ﱠ‬
‫ﷲ َواﻟَﻤِﺴْﻴﺢ اْﺑَﻦ َﻣْﺮَﻳَﻢۚ َوَﻣٓﺎ‬
ِ ‫ﺬ ْ ٓوا اﺣَﺒﺎَرﻫْﻢ َوُرﻫَﺒﺎנ·ْﻢ اْرﺑﺎﺑﺎ ِﻣﻦ دْوِن ا‬¥Ë‫ِا‬
َ ُ ْ ُ ‫ٰ َ ٗ َﱠ‬ ُ ‫ً َ َٰﱠ‬ ٰ ُ ْ ‫ﱠ‬ ُ
‫ِ¾ﻛْﻮن‬ñ° ‫ ﻫَﻮۗ ُﺳْﺒﺤﻨﻪ ﻋﻤﺎ‬K0‫ ِا‬M”‫ ِا‬Kٓ0 ۚ‫ﺪا‬oِ‫ ِﻟَﻴﻌُﺒﺪ ْ ٓوا ِاﻟًﻬﺎ ﱠوا‬K0‫اِﻣُﺮ ْ ٓوا ِا‬
“Mereka menjadikan orang-orang alim (Yahudi), dan
rahib-rahibnya (Nasrani) sebagai tuhan selain Allah, dan
(juga) Al-Masih putra Maryam; padahal mereka hanya
disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada
tuhan selain Dia. Mahasuci Dia dari apa yang mereka
persekutukan.”
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
menjawab: ّ
ّ
‫ﻚ‬%‫¬ﺮام واﺗﺒﻌﻮﻫﻢ ذا‬5‫ﻠﻮا ﻟﻬﻢ ا‬o‫ل وأ‬Ùج5‫ﻠﻴﻬﻢ ا‬9 ‫; إנ·ﻢ ﺣﱠﺮﻣﻮا‬:‫ﺑ‬
(‫ﻣﻴﺬ‬Xõ%‫ﺪ و ا‬ôó‫·ﻢ إّﻳﺎﻫﻢ )رواه أ‬æ‫ﻋﺒﺎد‬
“Benar, sesungguhnya para pendeta dan rahib itu
mengharamkan apa yang dihalalkan atas mereka dan
menghalalkan apa yang diharamkan atas mereka,
kemudian orang-orang Yahudi dan Nasrani itu

6
Al-Suyuthiy, al-Itqan Fi Ulum al-Qur'an. Vol: 4 (Beirut:
Muassasah al-Kitab al-Thaqafiyyah, 1996), h.468.
mengikutinya, maka tindakan tersebut merupakan bentuk
ibadah kepada mereka (HR Ahmad dan Tirmidzi).”7
3. Kaidah Bahasa
Keragamam sumber itu menjadikan kaidah dimaksud
dapat diterapkan juga dalam bidang ilmu yang berkaitan,
misalnya yang dari segi bahasa tentang fungsi-fungsi
huruf wauw dan perbedaannya dengan tsumma dan fa’.
Demikian juga makna-makna yang dikandung oleh setiap
kata, atau bentuk kata itu seperti kala kini/mendatang
(mudhâri’) kala lalu (Mâdhi) atau perbedaan kandungan
makna antara kalimat yang berbentuk verbal
sentencedengan nominal sentence.
Contoh ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan kaidah
tafsir dengan
َ ُ َ َْ َ َ َُ
ilmu kebahasaan ُ , sebagai ُ
berikut:
َُ َ َ َ ْ َ ‫ُﱠ‬ ُ َْ
‫ﻚ ﻳﻘﺮءون‬øِ›‫َﻳْﻮَم ﻧﺪﻋﻮا כ˜ أﻧﺎٍس ِﺑِﺈﻣﺎِﻣِﻬﻢ ﻓﻤﻦ أ ِو÷… ِﻛﺘﺎﺑﻪ ِﺑﻴِﻤ|ِﻨِﻪ ﻓﺄو‬
َ ْ َ َ
ً َ َ َ ْ َ ُ َ َ
ÙØ‫ﻴ‬œِ‫ ُﻳﻈﻠُﻤﻮن ﻓ‬K0‫·ْﻢ َو‬ù‫ِﻛﺘﺎ‬
Artinya: “(Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) kami
panggil tiap umat dengan pemimpinnya, dan barangsiapa
yang diberikan Kitab amalannya di tangan kanannya
Maka mereka Ini akan membaca kitabnya itu, dan mereka
tidak dianiaya sedikitpun”.(QS.Al-Isra’:71)
Kata imam dalam ayat tersebut dipahami sebagai
bentuk jamak dari kata umm yang berarti ibu. Pelajaran
yang ditarik dari ayat tersebut, pada hari kiamat orang
akan dipanggil disertai dengan nama ibu. Pemanggilan
dengan nama ibu, bukan nama ayah ini untuk menjaga
perasaan Nabi Isa. Ada beberapa ulama juga yang

7
Ibnu Katsir, Op.Cit., vol. 2, h.420. Riwayat yang senada juga
dingkapkan oleh Al-tabariy, Jami’ al-Bayan Fi Ta’wil al-Qur'an, vol.
6 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), h.355; Al-Shawkaniy,
Fath al-Qadir, vol 2, h.355.
menjelaskan Kata imamah di dalam ayat ini dipahami
sebagai “pemimpin”, bukan sebagai umm/ibu. Walaupun
jika dipahami lebih dalam, bentuknya adalah plural. Jadi,
pada hari akhir nanti orang-orang akan dipanggil
besertakan pemimpinnya, bukan ibunya.
4. Kaidah Ushul Fiqh
Dalam kaidah Usuh Fiqh juga banyak diadopsi oleh
Tafsir. Misalnya “Perintah pada dasarnya mengandung
makna wajib, kecuali jika ada yang mengalihkannya”.
Maksudnya adalah jika ada suatu tindakan yang semula
mubah (boleh) akan menjadi haram (dilarang) jika
menimbulkan sesuatu yang haram atau mengakibatkan
hal-hal yang wajib terabaikan. Contoh sebagaimana
firmanْ Allah
ٰ ْ َ Swt dalam surah al-Jumu’ah
ٰ ‫ َ ُ ْ َ ﱠ‬62/9: ‫َ َ ﱠ‬
‚ َ َ ُُْ ْ ْ ْ ُ َٰ َْ
ِ ‫ ِذﻛِﺮ ا‬Ü×‫ﻤﻌِﺔ ﻓﺎﺳﻌﻮا ِا‬65‫ﻠﺼﻠﻮِة ِﻣﻦ ﻳﻮِم ا‬%ِ ‫ﺎﻳﱡﻬﺎ ا”ِ•»נ اﻣנ ٓﻮا ِاذا ﻧﻮِدي‬‰‫ﻳ‬
‫ﷲ‬ ْ ‫ﱠ‬
َ َ َْ ُْ ُ ْ ُ ‫َْ ٰ ُ َ ﱠ‬ َ
‫ﻜْﻢ ِان ﻛנﺘْﻢ ﺗﻌﻠُﻤْﻮن‬% XٌWْÌ ‫ﻜْﻢ‬%ِ‫َوذُروا اﻟ`ْﻴَﻊۗ ذ‬
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila telah
diseru untuk melaksanakan salat pada hari Jum‘at, maka
segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual
beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui.”
Melakukan jual-beli pada dasarnya dibolehkan,
tetapi jika perbuatan tersebut dikhawatirkan menimbulkan
pengabaian yang wajib seperti jual-beli ketika adzan
jum’at,maka perbuatan tersebut menjadi dilarang
sebagaimana dijelaskan pada terjemah ayat diatas.8
5. Kaidah Ilmu Pengetahuan
Kaidah ini dibangun berdasarkan perspektif yang
dianut oleh berbagai sekte pemikiran Islam. Dalam hal ini
8
M. Quraish shihab, Membumikan Al-Qur’an …, hlm. 642-
644.
warna tafsir menjadi sangat beragam sesuai dengan
sujektifitas keilmuan masing-masing penafsir. Beberapa
perspektif keilmuan yang berpengaruh dalam penafsiran
al-Qur’an di antaranya adalah ilmu kalam, fiqh, tasawuf,
filsafat dan ilmu pengetahuan modern. Pada masing-
masing perspektif keilmuan tersebut juga terdapat
berbagai aliran pemikiran yang bermacam-macam.
Munculnya ilmu pengetahuan modern juga berpengaruh
pada corak tafsir umat Islam. Adanya perubahan sosial,
perkembangan ilmu pengetahuan dan bahasa melahirkan
tafsir modern. Arus perubahan dan perkembangan ini
berjalan sedemikian cepat dan bersifat global. Akibatnya
pandangan umat Islam terhadap realitas pun berubah.
sehingga pemahaman terhadap informasi yang bersumber
dari al-Qur’an pun mengalami perubahan.
Selanjudnya, terdapat kaidah terakhir yang
dipaparkan penulis dalam makalah ini adalah kaidah tafsir
kontemporer, yaitu konsep penafsiran yang
dikembangkan oleh para pemikir muslim neo-
modernisme atau post-modernisme. Modernisme Islam
yang tumbuh dan berkembang pada abad ke-19 memang
mampu melahirkan pembaruan pemikiran menuju
masyarakat muslim modern. Akan tetapi di sisi lain
modernisme masih memiliki celah konservatisme dalam
konsep pemurnian Islam. Pendekatan konservatif
terhadap konsep ini kembali menarik Islam ke arah
pemikiran tradidional yang dikenal dengan istilah
puritanisme. Pada saat umat Islam terjebak pada
puritanisme9 ini muncullah pembaru-pembaru Islam abad

9
Paham dan tingkah laku yg didasarkan atas ajaran kaum yg
hidup saleh dan menganggap kemewahan dan kesenangan sebagai
dosa, dalulu paham ini berkembang dikalangan anggota mazhab
ini. Mereka inilah yang dikenal pemikir Islam
kontemporer. Dalam hal penafsiran al-Qur’an, terdapat
banyak variasi tafsir yang ditawarkan. Para pemikir
mampu memberikan alternatif penafsiran yang unik. Di
antara para tokoh penefsiran tersebut adalah Muhammad
Shahrur, dan Fazlurrahman, Nasr Abu Zaid, Farid Esack,
Mohammad Arkoun, Bint Syati’ dan lain-lain.

Penutup
Dari pembahasan di atas dapat diambil kesimpulan
bahwa dalam memahami al-Qur’an tidak cukup hanya
dengan merujukk pada terjemahannya saja. Dewasa ini
sering kita jumpai di masyarakat umum banyak diantara
mereka yang hanya sedikit memiliki pengetahuan agama
telah berani menafsirkan ayat-ayat Al-Quran hanya
dengan merujuk pada terjemahannya saja, hal ini tentu
saja sangat rentan terjadi distorsi penafsiran. sehingga
dikhawatirkan dapat memicu konflik sosial di masyarakat.
Mengingat bahwa dalam penafsiran Al-Quran harus
ditunjang dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Maka
sangat lah penting mempelajari kaidah-kaidah penafsiran
Al-quran. Dan semoga makalah singkat ini bermanfaat
bagi mereka yang haus akan samudra pengetahuan dan
mengamalkannya, wallahua’lam.

Catatan Akhir
1. https://quran.kemenag.go.id/surah/17/88

Protestan yg pernah pada abad ke-16 dan ke-17 di Inggris yang


berpendirian bahwa kemewahan dan kesenangan adalah dosa. Lihat
KBBI online (https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/puritanisme) pada
tanggal 09 Oktober 2022 pukul 01.07
2. Muhammad Amin, Kontribusi Tafsir Kontemporer
Dalam Menjawab Persoalan Ummat, dalam jurnal
Substantia, Vol. 15, No. 1, 2013, hal. 1-2
3. https://quran.kemenag.go.id/surah/2/127
4. Tasbih, Kedudukan dan Fungsi Kaidah-Kaidah Tafsir,
Lihat Jurnal Farabi, Vol. 10, No. 2, 2013, hal. 108-109
5. Syamsuri, Pengantar Qawa’id Tafsir, Lihat Jurnal
Sulesana, Vol. 6, No. 2, 2011, hal. 92
6. Al-Suyuthiy, al-Itqan Fi Ulum al-Qur'an. Vol: 4
(Beirut: Muassasah al-Kitab al-Thaqafiyyah, 1996),
h.468.
7. Ibnu Katsir, Op.Cit., vol. 2, h.420. Riwayat yang
senada juga dingkapkan oleh Al-tabariy, Jami’ al-Bayan
Fi Ta’wil al-Qur'an, vol. 6 (Beirut: Dar al-Kutub al-
Ilmiyyah, 1992), h.355; Al-Shawkaniy, Fath al-Qadir,
vol 2, h.355.
8. M. Quraish shihab, Membumikan Al-Qur’an …, hlm.
642-644.
9. Paham dan tingkah laku yg didasarkan atas ajaran kaum
yg hidup saleh dan menganggap kemewahan dan
kesenangan sebagai dosa, dalulu paham ini berkembang
dikalangan anggota mazhab Protestan yg pernah pada
abad ke-16 dan ke-17 di Inggris yang berpendirian bahwa
kemewahan dan kesenangan adalah dosa. Lihat KBBI
online (https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/puritanisme)

Daftar Pustaka

Al-tabariy, Jami’ al-Bayan Fi Ta’wil al-Qur'an. Beirut:


Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992. Vol.6
Al-Shawkaniy, Fath al-Qadir, vol 2
Al-Suyuthiy, al-Itqan Fi Ulum al-Qur'an. Beirut:
Muassasah al-Kitab al-Thaqafiyyah, 1996. Vol 4
Amin, Muhammad. Kontribusi Tafsir Kontemporer
Dalam Menjawab Persoalan Ummat, dalam jurnal
Substantia, 2013. Vol 15 No.01
Katsir, Ibnu. Op.Cit., vol. 2\
Shihab, Quraish. Kaidah Tafsir; Syarat Ketentuan dan
Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami
Ayat-ayat Al-Qur’an. Tangerang: Lentera Hati,
2013
Qur’an Kemenag Online https://quran.kemenag.go.id
Syamsuri, Pengantar Qawa’id Tafsir, Lihat Jurnal
Sulesana, 2011. Vol. 6, No. 2,
Shihab, Quraish. Membumikan Al-Qur’an. Bandung:
Mizan Pustaka, 1994.
Tasbih, Kedudukan dan Fungsi Kaidah-Kaidah Tafsir,
Lihat Jurnal Farabi, 2013. Vol. 10, No. 2

Anda mungkin juga menyukai