Anda di halaman 1dari 20

METODE TAFSIR AL-QURAN

A. Pendahuluan
Metode adalah satu sarana untuk mecapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam
konteks pemahaman al-Quran, metode bermakna: prosedur yang harus dilalui
untuk mencapai pemahaman yang tepat tentang makna ayat-ayat al-Quran.
Dengan kata lain, metode penafsiran al-Quran merupakan: seperangkat kaidah
yang seharusnya dipakai oleh mufassir (penafsir) ketika menafsirkan ayat-ayat alQuran.
Perkembangan wacana metode tafsir hingga saat ini secara garis besar
mengenalkan empat macam (metode),
yaitu: ijml (global), tahll (analitik), muqrin (perbandingan)
dan maudh (tematik).
Lahirnya metode-metode tafsir disebabkan oleh tuntutan perubahan sosial yang
selalu dinamik. Dinamika perubahan sosial mengisyaratkan kebutuhan pemahaman
yang lebih kompleks. Kompleksitas kebutuhan pemahaman atas al-Quran itulah
yang mengakibatkan, tidak boleh tidak, para mufassir harus menjelaskan
pengertian ayat-ayat al-Quran yang berbeda-beda.
Apabila diamati, akan terlihat bahwa metode penafsiran al-Quran akan menentukan
hasil penafsiran. Ketepatan pemilihan metode, akan menghasilkan pemahaman
yang tepat, begitu juga sebaliknya.
Dengan demikian, metodologi tafsir menduduki posisi yang teramat penting di
dalam tatanan ilmu tafsir, karena tidak mungkin sampai kepada tujuan tanpa
menempuh jalan yang menuju ke sana.
Al-Quran secara tekstual memang tidak berubah, tetapi penafsiran atas teksnya
selalu berubah, sesuai dengan konteks ruang dan waktu manusia. Karenanya, alQuran selalu membuka diri untuk dianalisis, dipersepsi, dan diinterpretasikan
(ditafsirkan) dengan berbagai alat, metode, dan pendekatan untuk menguak isi
sejatinya. Aneka metode dan tafsir diajukan sebagai jalan untuk membedah makna
terdalam dari al-Quran itu. Sehingga al-Quran seolah menantang dirinya untuk
dibedah.[1]
Saat ini, banyak terjemah, tafsir, dan buku yang mengupas al-Quran. Setiap kali kita
mendengar khutbah dan ceramah, kita juga acap kali telah hafal ayat-ayat yang
disampaikan. Kita pun melaksanakan nilai dan ajaran al-Quran dalam ibadah ritual
maupun muamalah. Berbagai istilah, seperti: sabar, tawakkal, amal, ilmu,
salam,bismillhirrahmnirrahm, juga diucapkan sebagai bahasa nasional dan
bahasa sehari-hari. Tal pelak, kini situasinya sudah sangat jauh berbeda dari masa
lalu. Yang mana, sekarang, juga banyak orang sangat akrab dengan bahasa alQuran, dan mengerti intisari ajarannya walaupun tak menguasai bahasa Arab.[2]

Selama empat belas abad ini, khazanah intelektual Islam telah diperkaya dengan
berbagai macam perspektif dan pendekatan dalam menafsirkan al-Quran. Walaupun
demikian terdapat kecenderungan yang umum untuk memahami al-Quran secara
ayat per-ayat bahkan kata perkata. Selain itu, pemahaman akan al-Quran terutama
didasarkan pada pendekatan filologis gramatikal. Pendekatan ayat per-ayat atau
kata per-kata tentunya menghasilkan pemahaman yang parsial (sepotong) tentang
pesan al-Quran. Bahkan, sering terjadi penafsiran semacam ini secara tidak
semena-mena menggagalkan ayat dari konteks dan dari aspek kesejarahannya
untuk membela sudut pandang tertentu. Dalam kasus-kasus tertentu, seperti dalam
penafsiran teologis, filosofis, dan sufistis, gagasan-gagasan asing sering dipaksakan
ke dalam al-Quran tanpa memerhatikan konteks kesejarahan dan kesusasteraan
kitab suci itu.[3]
Itulah sebabnya upaya meraih kebenaran teks dan konteks sebuah ayat,
membutuhkan ilmu alat. Dengan ilmu alat, bisa lebih mudah mengaplikasikan
makna-makna al-Quran dalam kehidupan sosial. Apalagi mengenai ayat-ayat alQuran yang berkategori mutasybih, tentu kian rumit dan pelik. Dengan demikian,
penulis sangat tertarik untuk membahas tentang metode tafsir al-Quran dengan
berbagai pembahasan antara lain pengertian, sejarah dan perkembangan metode
tafsir, serta macam-macam metode tafsir yang insya Allah akan dibahas lebih luas
dalam makalah ini.
B. Pembahasan: Metode Tafsir Al-Quran
1. Pengertian Metode Tafsir
Kata metode berasal dari bahasa Yunani methodos yang berarti cara atau
jalan. Di dalam bahasa Inggris kata ini ditulis method dan bangsa Arab
menerjemahkannya dengan tharqah dan manhaj. Di dalam pemakaian bahasa
Indonesia kata tersebut mengandung arti: cara yang teratur dan terpikir baik-baik
untuk mencapai maksud {dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya); cara kerja
yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai
tujuan yang ditentukan[4].
Sedangkan tafsir secara bahasa mengikuti wazan tafl, berasal dari akar kata alfasr (f, s, r) yang berarti menjelaskan, menyingkap dan menampakkan atau
menerangkan makna yang abstrak. Kata kerjanya mengikuti wazan dharabayadhribu-dharban dan nashara-yanshuru-nashran. Dikatakan fasara yafsiru
dan yafsuru fasran, dan fasarahu, artinya abnahu (menjelaskannya).
Kata at-tafsr dan al-fasrmempunyai arti menjelaskan dan menyingkap yang
tertutup. Dalam Lisnul Arab dinyatakan: kata al-fasr berarti menyingkap yang
tertutup, sedang kata at-tafsr berarti menyingkapkan maksud sesuatu lafazh
yangmusykil dan pelik.[5] Sedangkan para Ulama berpendapat: tafsir adalah
penjelasan tentang arti atau maksud firman-firman Allah sesuai dengan
kemampuan manusia (mufassir).[6]

Tafsir menurut istilah, sebagaimana yang didefinisikan Abu Hayyan ialah: Ilmu
yang membahas tentang cara pengucapan lafazh-lafazh Quran, tentang petunjukpetunjuknya, hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun
dan makna-makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun serta hal-hal lain
yang melengkapinya.
Jadi, yang dimaksud metode tafsir al-Quran adalah suatu cara yang teratur dan
terpikir baik-baik untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang
dimaksudkan Allah di dalam ayat-ayat al-Quran atau lafazh-lafazh
yang musykil yang diturunkan-Nya kepada Nabi Muhammad s.a.w..
2. Sejarah Perkembangan Metode Tafsir
Sejak Rasulullah s.a.w. dikenal dua cara penafsiran al-Quran. Pertama, penafsiran
berdasarkan petunjuk wahyu. Kedua, penafsiran berdasarkan ijtihad atau rayi. Di
masa sahabat, sumber untuk memahami ayat-ayat Al-Quran di samping ayat AlQuran sendiri, juga riwayat dari Nabi s.a.w. dan ijtihad mereka. Pada abad-abad
selanjutnya, usaha untuk menafsirkan al-Quran berdasarkan rayi atau nalar mulai
berkembang sejalan dengan kemajuan taraf hidup manusia yang di dalamnya sarat
dengan persoalan-persoalan yang tidak selalu tersedia jawabannya secara eksplisit
dalam al-Quran.[7]
Pada zaman Nabi s.a.w. dan para sahabat, pada umumnya mereka adalah ahli
bahasa Arab dan mengetahui secara baik latar belakang turun ayat (asbb annuzl), serta mengalami secara langsung situasi dan kondisi umat ketika ayat-ayat
al-Quran turun. Dengan demikian, mereka relatif lebih mampu untuk memahami
ayat-ayat al-Quran itu secara benar, tepat, dan akurat. Berdasarkan kenyataan
sejarah yang demikian, maka untuk memahami suatu ayat, mereka tidak begitu
membutuhkan uraian yang rinci, tetapi cukup dengan isyarat dan penjelasan global
(ijmliy). Itulah yang membuat lahir dan berkembangnya tafsir dengan
metode ijmliy(global) dalam penafsiran al-Quran pada abad-abad pertama.
Pada periode berikutnya, umat Islam semakin majemuk dengan berbondongbondong bangsa non-Arab masuk Islam, terutama setelah tersebarnya Islam ke
daerah-daerah yang jauh di luar tanah Arab. Kondisi ini membawa konsekuensi logis
terhadap perkembangan pemikiran Islam; berbagai peradaban dan kebudayaan
non-Islam masuk ke dalam khazanah intelektual Islam. Akibatnya, kehidupan umat
Islam menjadi terpengaruh olehnya. Untuk menghadapi kondisi yang demikian para
pakar tafsir ikut mengantisipasinya dengan menyajikan penafsiran-penafsiran ayatayat al-Quran yang sesuai dengan perkembangan zaman dan tuntutan kehidupan
umat yang semakin beragam.
Kondisi seperti yang digambarkan itulah yang merupakan salah satu pendorong
lahirnya tafsir dengan metode analitis (tahlliy), sebagaimana tertuang di dalam
kitab-kitab tafsir tahlliy, seperti Tafsir ath-Thabari dan lain-lain. Metode penafsiran
serupa itu terasa lebih cocok di kala itu karena dapat memberikan pengertian dan

penjelasan yang rinci terhadap pemahaman ayat-ayat al-Quran. Dengan demikian,


umat terasa terayomi oleh penjelasan-penjelasan dan berbagai interpretasi yang
diberikan terhadap ayat-ayat al-Quran di dalam kitab tersebut.
Kemudian metode penafsiran serupa itu diikuti oleh ulama tafsir yang datang
kemudian, bahkan berkembang dengan sangat pesat dalam dua bentuk penafsiran
yaitu: al-matsr dan ar-rayi dengan berbagai corak yang dihasilkannya, seperti
tafsir fiqhiy, shfiy (tasawuf), falsafiy, ilmiy, adabiy-ijtimiy dan lain-lain.
Dengan dikarangnya kitab-kitab tafsir dalam dua bentuk penafsiran tersebut
dengan berbagai coraknya, umat ingin mendapatkan informasi lebih jauh
berkenaan dengan kondisi dan kecenderungan serta keahlian para pakar tafsir.
Kecuali itu, umat juga ingin mengetahui pemahaman ayat-ayat al-Quran yang
kelihatannya mirip, padahal ia membawa pengertian yang berbeda. Demikian
ditemukannya hadis-hadis yang secara lahiriyah ada yang tampak bertentangan
dengan ayat-ayat al-Quran, padahal secara teoritis hal itu tak mungkin terjadi
karena keduanya pada hakikatnya berasal dari sumber yang sama, yakni Allah.
Kenyataan sebagaimana yang digambarkan itu mendorong para ulama untuk
melakukan perbandingan penafsiran ayat-ayat al-Quran yang pernah diberikan oleh
para ulama sebelumnya dalam memahami ayat-ayat al-Quran ataupun hadis-nadis
Nabi s.a.w.. Dengan demikian lahirlah tafsir dengan metode perbandingan
(muqrin) seperti yang diterapkan oleh al-Iskafi di dalam kitabnya Durrat al-Tanzl
wa Ghurrat al-Tawl, dan oleh al-Karmani di dalam kitabnya Al-Burhn fi Taujh
Mutasybih al-Quran, dan lain-lain.
Permasalahan di abad modern berbeda jauh dari apa yang dialami oleh generasi
terdahulu. Perbedaan tersebut terasa sekali di tengah masyarakat, seperti mobilitas
yang tinggi, perubahan situasi yang sangat cepat, dan lain-lain. Realitas kehidupan
yang demikian membuat masyarakat, baik secara individual maupun berkeluarga,
bahkan berbangsa dan bernegara, menjadi terasa seakan-akan tak punya waktu
luang untuk membaca kitab-kitab tafsir yang besar-besar sebagaimana telah
disebutkan tadi. Padahal untuk mendapatkan petunjuk al-Quran umat dituntut
membaca kitab-kitab tafsir tersebut.
Untuk menanggulangi permasalahan itu, ulama tafsir pada abad modern
menawarkan tafsir al-Quran dengan metode baru, yang disebut dengan metode
tematik (maudhiy).
Dengan lahirnya metode ini, mereka yang menginginkan petunjuk al-Quran dalam
suatu masalah tidak perlu menghabiskan waktunya untuk membaca kitab-kitab
tafsir yang besar itu, tetapi cukup membaca tafsir tematik tersebut selama
permasalahan yang ingin mereka pecahkan dapat dijumpai dalam kitab tafsir itu.[8]
3. Metode-Metode Penafsiran al-Quran

Ulama selalu berusaha untuk memahami kandungan al-Quran sejak masa ulama
salaf sampai masa modern. Dari sekian lama perjalanan sejarah penafsiran alQuran, banyak ditemui beragam tafsir dengan metode dan corak yang berbedabeda. Dari sekian banyak macam-macam tafsir, ulama coba membuat
menglasifikasikan tafsir dengan sudut pandang yang berbeda-beda antara yang
satu dengan yang lainnya.
M. Quraish Shihab, dalam bukunya Membumikan al-Quran, membagi tafsir
dengan melihat corak dan metodenya menjadi; tafsir yang bercorak matsr dan
tafsir yang menggunakan metode penalaran yang terdiri dari
metode tahlliy dan maudhiy.[9]
Al-Farmawi membagi tafsir dari segi metodenya menjadi empat bagian yaitu:
metode tahlliy, ijmliy,muqran dan maudhiy. sedangkan metode tahlliy dibagi
menjadi beberapa corak tafsir yaitu: at-Tafsr bi al-Matsr, at-Tafsr bi al-Rayi, atTafsr ash-Shfiy, at-Tafsr al-Fiqhiy, at-Tafsr al-Falsafiy, at-Tafsr al-Ilmiy, at-Tafsr
al-Adabiy wa al-Ijtimiy.[10]
Berikut ini akan penulis jelaskan metode-metode tafsir dengan mengikuti pola
pembagian al-Farmawi.
a. Metode Tafsir Tahliliy
1) Pengertian
Metode Tafsir Tahlliy adalah suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan
kandungan ayat-ayat al-Quran dari seluruh aspeknya. Di dalam tafsirnya, penafsir
mengikuti runtutan ayat sebagaimana yang telah tersusun di dalam mush-haf.
Penafsir memulai uraiannya dengan mengemukakan arti kosa kata diikuti dengan
penjelasan mengenai arti global ayat. Ia juga mengemukakan munsabah (korelasi)
ayat-ayat serta menjelaskan hubungan maksud ayat-ayat tersebut satu sama lain.
Begitu pula, penafsir membahas mengenai sabab al-nuzl (latar belakang turunnya
ayat) dan dalil-dalil yang berasal dari Rasulullah s.a.w., sahabat, atau para tabiin,
yang kadang-kadang bercampur-baur dengan pendapat para penafsir itu sendiri
dan diwarnai oleh latar belakang pendidikannya, dan sering pula bercampur baur
dengan pembahasan kebahasaan dan lainnya yang dipandang dapat membantu
memahami nash (teks) al-Quran tersebut.[11]
Muhammad Baqir ash-Shadr menyebut tafsir metode tahlliy ini dengan
tafsir tajziy, yang secara harfiah berarti tafsir yang menguraikan berdasarkan
bagian-bagian atau tafsir parsial.[12]
2) Bentuk Tafsir al-Quran dengan Metode Tahlly
Metode Tahlly kebanyakan dipergunakan para ulama masa-masa klasik dan
pertengahan. Diantara mereka, sebagian mengikuti pola pembahasan secara
panjang lebar (ithnb), sebagian mengikuti pola singkat (ijz) dan sebagian

mengikuti pula secukupnya (muswh). Mereka sama-sama menafsirkan al-Quran


dengan metode tahlliy, namun dengan corak yang berbeda.[13]
Para ulama membagi wujud tafsir al-Quran dengan metode tahlly kepada tujuh
macam (bentuk) yaitu: At-Tafsr bi al-Matsr, At-Tafsr bi ar-Rayi, At-Tafsr ashShfiy, At-Tafsr al-Fiqhiy, At-Tafsr al-Falsafiy, At-Tafsr al-Ilmiy, dan At-Tafsr alAdabiy al-Ijtimiy.
3) Kitab-kitab Tafsir yang menggunakan metode tahlliy
Di antara kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode ini adalah: a) Tafsr al-Qurn
al-Azhm karya Ibn Katsr b) Tafsr al-Munr karya Syaikh Nawawiy al-Bantaniy.
Ada yang ditulis dengan sangat panjang, seperti kitab tafsir karya al-Alusi, Fakhr alDin ar-Razi, dan Ibn Jarir ath-Thabari; ada yang sedang, seperti kitab Tafsir alBaidhawi dan an-Naisaburi; dan ada pula yang ditulis dengan ringkas, tetapi jelas
dan padat, seperti kitab Tafsr al-Jallaiyn karya Jalal ad-Din Suyuthi dan Jalal ad-Din
al-Mahalli dan kitab Tafsir yang ditulis Muhammad Farid Wajdi.
4) Kelebihan dan Kekurangan Metode Tahlliy
a) Kelebihan Metode Tahlliy

dapat mengetahui dengan mudah tafsir suatu surat atau ayat, karena
susunan tertib ayat atau surat mengikuti susunan sebagaimana terdapat
dalam mushaf

mudah mengetahui relevansi/munsabah antara suatu surat atau ayat


dengan surat atau ayat lainnya

memungkinkan untuk dapat memberikan penafsiran pada semua ayat,


meskipun inti penafsiran ayat yang satu merupakan pengulangan dari ayat
yang lain, jika ayat-ayat yang ditafsirkan sama atau hampir sama

mengandung banyak aspek pengetahuan, meliputi hukum, sejarah, sains,


dan lain-lain[14]

b) Kelemahan Metode Tafsir Tahlliy

menghasilkan pandangan-pandangan yang parsial dan kontradiktif dalam


kehidupan umat Islam[15]

faktor subjektivitas tidak mudah dihindari misalnya adanya ayat yang


ditafsirkan dalam rangka membenarkan pendapatnya

terkesan adanya penafsiran berulang-ulang, terutama terhadap ayat-ayat


yang mempunyai tema yang sama[16] masuknya pemikiran isrliyyt[17]

c) Urgensi Metode Tafsir Tahlliy


Keberadaan metode ini telah memberikan sumbangan yang sangat besar dalam
melestarikan dan mengembangkan khazanah intelektual Islam, khususnya dalam
bidang tafsir al-Quran. Berkat metode ini, maka lahir karya-karya tafsir yang besarbesar sebagaimana yang telah disebutkan di depan.
Berdasarkan kenyataan itu dapatlah dikatakan, urgensitas metode ini tak dapat
dipungkiri oleh siapa pun. Dalam penafsiran al-Quran, jika ingin menjelaskan
dengan firman Allah dari berbagai segi seperti bahasa, hukum-hukum fiqih, teologi,
filsafat, sains, dan sebagainya, maka di sini metode tahlliy lebih berperan dan
lebih dapat diandalkan dari pada metode-metode yang lain.
Dari uraian diatas dapat penulis simpulkan, bahwa jika menginginkan pemahaman
yang luas dari suatu ayat dengan melihatnya dari berbagai aspek, maka jalan yang
ditempuh adalah menggunakan metode tafsirtahlliy. Dan inilah salah satu urgensi
pokok bagi metode ini dibandingkan dengan yang lain.
b. Metode Tafsir Ijmliy
1) Pengertian
Metode Tafsir Ijmliy adalah suatu metode tafsir yang menafsirkan ayat-ayat alQuran dengan cara mengemukakan makna global. Di dalam sistematika uraiannya,
penafsir akan membahas ayat demi ayat sesuai dengan susunan yang ada di dalam
mush-haf; kemudian mengemukakan makna global yang dimaksud oleh ayat
tersebut.[18]
Mufassir dengan metode ini, dalam penyampaiannya, menggunakan bahasa yang
ringkas dan sederhana, serta memberikan idiom yang mirip, bahkan sama dengan
al-Quran. Sehingga pembacanya merasakan seolah-olah al-Quran sendiri yang
berbicara dengannya. Sehingga dengan demikian dapatlah diperoleh pengetahuan
yang diharapkan dengan sempurna dan sampailah kepada tujuannya dengan cara
yang mudah serta uraian yang singkat dan bagus.
Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan metode ini, mufassir juga meneliti,
mengkaji dan menyajikanasbb al-nuzl atau peristiwa yang melatar belakangi
turunnya ayat, dengan cara meneliti Hadis-Hadis yang berhubungan dengannya.
Sebagai contoh: Penafsiran yang diberikan tafsir al-Jallain terhadap 5 ayat
pertama dari surat al-Baqarah, tampak tafsirnya sangat singkat dan global hingga
tidak ditemui rincian atau penjelasan yang memadai. Penafsiran tentang alif lm
mm hanya dikatakan: Yang dibacakan oleh Muhammad. Begitu seterusnya,
tanpa ada rincian sehingga penafsiran lima ayat itu hanya dalam beberapa baris

saja. Sedangkan tafsir() , misalnya, dia hanya berkata: Allah Maha Tahu
maksudnya. Dengan demikian pula penafsiran , tahlliy(analitis), al-Maraghi,
misalnya, untuk menjelaskan lima ayat pertama itu ia membutuhkan 7 halaman.
[19]
2) Kitab-kitab Tafsir yang Menggunakan Metode Ijmliy
Di antara kitab-kitab Tafsir dengan metode ijmliy adalah: Tafsr al-Jallayn, karya
Jalal ad-Din as-Suyuthi dan Jalal ad-Din al-Mahalli, Shafwah al-Bayn Limani alQurn, karya Syeikh Hasanain Muhammad Makhluf,Tafsr al-Qurn al-Azhm, karya
Ustadz Muhammad Farid Wajdiy, Tafsr al-Wasth, karya Tim Majma al-Buhts alIslmiyyah (Lembaga Penelitian Islam) al-Azhar Mesir.[20]
3) Kelebihan dan Kekurangan Metode Ijmliy
a) Kelebihan Metode Tafsir Ijmliy

praktis dan mudah dipahami

bebas dari penafsiran israiliyat

akrab dengan bahasa al-Quran

b) Kekurangan metode Tafsir Ijmliy

menjadikan petunjuk al-Quran bersifat parsial

midak mampu mengantarkan pembaca untuk mendialogkan al-Quran dengan


permasalahan sosial maupun keilmuan yang aktual dan problematis

c) Urgensi Metode Tafsir Ijmliy


Dalam kaitan ini, bagi para pemula atau mereka yang tidak membutuhkan uraian
yang detail tentang pemahaman suatu ayat, maka tafsir yang menggunakan
metode ijmliy ini sangat membantu dan tepat sekali untuk digunakan. Hal itu
disebabkan uraian di dalam tafsir yang menggunakan metode ini sangat ringkas
dan tidak berbelit-belit, sehingga relatif lebih mudah dipahami oleh mereka yang
berada pada tingkat ini.
Kondisi tafsir ijmliy yang ringkas dan sederhana ini juga lebih cocok bagi mereka
yang disibukkan oleh pekerjaan rutin sehari-hari. Dengan demikian, tafsir dengan
metode ini sangat urgen (penting) bagi mereka yang berada pada tahap permulaan
mempelajari tafsir dan mereka yang sibuk dalam mencari kehidupannya.
Dalam kondisi yang demikian akan dapat dirasakan betapa cocoknya
tafsir ijmliy ini bagi mereka dalam rangka membimbing mereka ke jalan yang
benar serta diridhai Allah.

4. Metode Tafsir Muqran


a. Pengertian
Yang dimaksud dengan metode ini adalah mengemukakan penafsiran ayat-ayat alQuran yang ditulis oleh sejumlah para mufassir. Disini seorang mufassir
menghimpun sejumlah ayat-ayat al-Quran, kemudian ia mengkaji dan meneliti
penafsiran sejumlah mufassir mengenai ayat tersebut melalui kitab-kitab tafsir
mereka, apakah mereka itu mufassir dari generasi salaf maupun khalaf, apakah
tafsir mereka itu at-tafsr bi al-matsrmaupun at-tafsr bi ar-Rayi.[21]
Kemudian ia menjelaskan bahwa diantara mereka ada yang corak penafsirannya
ditentukan oleh disiplin ilmu yang dikuasainya. Ada diantara mereka yang
menitikberatkan pada bidang nahwu, yakni segi-segi irb, seperti Imam azZarkasyi. Ada yang corak penafsirannya ditentukan oleh kecenderungan kepada
bidangbalghah, seperti Abd al-Qahhar al-Jurjaniy dalam kitab tafsirnya Ijz alQurn dan Abu Ubaidah Mamar Ibn al-Mustanna dalam kitab tafsirnya al-Majz,
dimana ia memberi perhatian pada penjelasan
ilmu maniy,bayn, bad, haqqah dan majz.[22]
Jadi metode tafsir muqran adalah menafsirkan sekelompok ayat al-Quran dengan
cara membandingkan antar-ayat dengan ayat, atau antara ayat dengan hadis, atau
antara pendapat ulama tafsir dengan menonjolkan aspek-aspek perbedaan tertentu
dari objek yang dibandingkan itu.
b. Objek Kajian Metode Tafsir Muqran
Objek kajian tafsir dengan metode muqaran dapat dikelompokkan kepada tiga,
yaitu: perbandingan ayat al-Quran dengan ayat lain
Contoh:
Penafsiran disebabkan perbedaan redaksi namun peristiwa yang dibicarakannya
sama, di antaranya yang terdapat dalam QS al-Anm, 6: 151 dan QS al-Isr, 17:
31;
Katakanlah: Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu
Yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah
terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu
karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada
mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang
nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh
jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab)
yang benar. demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu
memahami(nya).

Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. kamilah


yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu.[23] Sesungguhnya
membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.
Penafsiran dengan redaksi yang hampir sama (mirip) dengan pembicaraan masalah
yang berbeda, di antaranya terdapat QS li Imrn: 126 dan QS al-Anfl, 8: 10,
Dan Allah tidak menjadikan pemberian bala bantuan itu melainkan sebagai khabar
gembira bagi (kemenangan)-mu, dan agar tenteram hatimu karenanya. dan
kemenanganmu itu hanyalah dari Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Dan Allah tidak menjadikannya (mengirim bala bantuan itu), melainkan sebagai
kabar gembira dan agar hatimu menjadi tenteram karenanya. dan kemenangan itu
hanyalah dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.[24]
c. Perbandingan Ayat al-Quran dengan Hadis
Cara kerjanya adalah:

menentukan nilai hadis yang akan diperbandingkan dengan ayat al-Quran.


Hadis itu haruslah shahih. Hadis dhaif tidak diperbandingkan karena,
disamping nilai otentisitasnya rendah, dia justeru semakin tertolak karena
pertentangannya dengan ayat al-Quran

membandingkan dan menganalisis pertentangan yang dijumpai di dalam


kedua redaksi yaitu ayat dengan hadis itu.

membandingkan pendapat para ulama tafsir dalam menafsirkan ayat dan


hadis tersebut

Contohnya adalah: perbedaan antara ayat al-Quran QS an-Nahl, 16: 32 dengan


hadis riwayat (HR Ahmad dari Abu Hurairah) di bawah ini:
(yaitu) orang-orang yang diwafatkan dalam Keadaan baik oleh para Malaikat
dengan mengatakan (kepada mereka): Salmunalaikum, masuklah kamu ke
dalam surga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan.

Tidak akan masuk seorangpun diantara kamu ke dalam surga disebabkan
perbuatannya. (HR Ahmad dari Abu Hurairah)[25]
d. Perbandingan Penafsiran Mufassir dengan Mufassir Yang Lain
Contoh: QS al-Anm, 6: 103,

Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala
yang kelihatan; dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha mengetahui.[26]
Sedangkan dalam perbedaan penafsiran mufassir yang satu dengan yang lain,
mufassir berusaha mencari, menggali, menemukan, dan mencari titik temu diantara
perbedaan-perbedaan itu bila mungkin, dan mentarjhsalah satu pendapat setelah
membahas kualitas argumentasi masing-masing.[27]
e. Kitab-kitab Tafsir Yang Menggunakan Metode Muqran
Di antara kitab-kitab yang menggunakan metode ini adalah: Durrah at-Tanzl wa
Ghurrah at-Tanwl, karya al-Iskafi yang terbatas pada perbandingan antara ayat
dengan ayat; Al-Jmi li Ahkm al-Qurn, karya al-Qurthubiy yang membandingkan
penafsiran para mufassir. Rawi al-Bayn f Tafsr yt al-Ahkm, karya Ali ashShabuniy Quran and its Interpreters adalah satu karya tafsir yang lahir di zaman
modern ini, buah karya Profesor Mahmud Ayyoub.
f.

Kelebihan dan Kekurangan Metode Tafsir Muqran

1) Kelebihan Metode Tafsir Muqran

membuka pintu untuk selalu bersikap toleran terhadap pendapat orang lain.

tafsir dengan metode muqaran ini amat berguna bagi mereka yang ingin
mengetahui berbagai pendapat tentang suatu ayat.

dengan menggunakan metode muqaran ini, maka mufassir didorong untuk


mengkaji berbagai ayat dan hadis-hadis serta pendapat-pendapat para
mufassir yang lain.

2) Kekurangan Metode Tafsir Muqran


Di antara kekurangan metode ini adalah:

penafsiran yang menggunakan metode ini, tidak dapat diberikan kepada para
pemula.

metode muqran kurang dapat diandalkan untuk menjawab permasalahan


sosial yang tumbuh di tengah masyarakat. hal itu disebabkan metode ini
lebih mengutamakan perbandingan daripada pemecahan masalah.

metode muqran terkesan lebih banyak menelusuri penafsiran-penafsiran


yang pernah di berikan oleh ulama daripada mengemukakan penafsiranpenafsiran baru. sebenarnya kesan serupa itu tak perlu timbul bila
mufassirnya kreatif.

g. Urgensi Metode Tafsir Muqran

Pada abad modern sekarang, tafsir dengan metode ini terasa makin dibutuhkan
oleh umat. Hal itu terutama dikarenakan timbulnya berbagai paham dan aliran yang
kadang-kadang jauh keluar dari pemahaman yang benar. Dengan menggunakan
metode muqran ini, akan dapat diketahui mengapa penafsiran yang menyimpang
itu timbul dan bahkan dapat membuat sikap ekstrim di kalangan sebagian
kelompok masyarakat.
Dengan metode muqran ini amat penting posisinya, terutama dalam rangka
mengembangkan pemikiran tafsir, yang rasional dan objektif, sehingga kita
mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif berkenaan dengan latar belakang
lahirnya suatu penafsiran dan sekaligus dapat dijadikan perbandingan dan pelajaran
dalam mengembangkan penafsiran al-Quran pada periode-periode selanjutnya.
5. Metode Tafsir Maudhiy
a. Pengertian
Metode tafsir maudhiy juga disebut dengan dengan metode tematik yaitu
menghimpun ayat-ayat al-Quran yang mempunyai maksud yang sama, dalam arti,
sama-sama membicarakan satu topik masalah dan menyusunnya berdasar
kronologi serta sebab turunnya ayat-ayat tersebut.
Kemudian penafsir mulai memberikan keterangan dan penjelasan serta mengambil
kesimpulan. Secara khusus, penafsir melakukan studi tafsirnya ini dengan
metode maudhiy, dimana ia melihat ayat-ayat tersebut dari seluruh seginya, dan
melakukan analisis berdasar ilmu yang benar, yang digunakan oleh pembahas
untuk menjelaskan pokok permasalahan, sehingga ia dapat memahami
permasalahan tersebut dengan mudah dan betul-betul menguasainya, sehingga
memungkinkan baginya untuk memahami maksud yang terdalam dan dapat
menolak segala kritik.[28]
b. Cara Kerja Tafsir Maudhiy
Al-Farmawi di dalam kitab Al-Bidyah f al-Tafsir al-Maudhiy[29] secara rinci
mengemukakan cara kerja yang harus ditempuh dalam menyusun suatu karya tafsir
berdasarkan metode ini. Antara lain adalah sebagai berikut:

memilih atau menetapkan masalah al-Quran yang akan dikaji


secara maudhiy (tematik)

melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah yang


telah ditetapkan, ayat Makkiyyah dan Madaniyyah

menyusun ayat-ayat tersebut secara runtut menurut kronologi masa


turunnya, disertai pengetahuan mengenai latar belakang turunnya ayat
atau asbb an-nuzl.

mengetahui korelasi (munsabah) ayat-ayat tersebut di dalam masingmasing suratnya.

menyusun tema bahasan di dalam kerangka yang pas, sistematis, sempurna


dan utuh (outline).

melengkapi pembahasan dan uraian dengan hadis, bila dipandang perlu,


sehingga pembahasan menjadi semakin sempurna dan semakin jelas.

mempelajari ayat-ayat tersebut secara tematik dan menyeluruh dengan cara


menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian serupa,
mengkompromikan antara pengertian m dan khash, antara
yang muthlaq dan yang muqayyad, menyingkronkan ayat-ayat yang lahirnya
tampak kontradiktif, menjelaskan ayat nsikh dan manskh, sehingga semua
ayat tersebut bertemu pada satu muara, tanpa perbedaan dan kontradiksi
atau tindakan pemaksaan terhadap sebagian ayat kepada makna yang
kurang tepat.[30]

menyusun kesimpulan yang menggambarkan jawaban al-Quran terhadap


masalah yang dibahas[31]

c. Bentuk kajian Tafsir Maudhiy


Di sini tafsir maudhiy mempunyai dua bentuk, yaitu: Tafsir yang membahas satu
surat secara menyeluruh dan utuh dengan menjelaskan maksudnya yang bersifat
umum dan khusus, menjelaskan korelasi antara berbagai masalah yang
dikandungnya, sehingga surat itu tampak dalam bentuknya yang betul-betul utuh
dan cermat.
Menurut M. Quraish Shihab, biasanya kandungan pesan suatu surah diisyaratkan
oleh nama surah tersebut, selama nama tersebut bersumber dari informasi
Rasulullah s.a.w.. Ia mencontohkan surah al-Kahfi, yang secara harfiah berarti gua.
Gua itu dijadikan tempat berlindung oleh sekelompok pemuda untuk menghindar
dari kekejaman penguasa zamannya. Dari ayat tersebut dapat diketahui bahwa
surah itu dapat memberi perlindungan bagi yang menghayati dan mengamalkan
pesan-pesannya. Itulah pesan umum surah tersebut. Ayat atau kelompok ayat yang
terdapat di dalam surah itu kemudian diupayakan untuk dikaitkan dengan makna
perlindungan itu.
Tafsir maudhiy dalam bentuk pertama ini sebenarnya sudah lama dirintis oleh
ulama-ulama tafsir periode klasik, seperti Fakhr ad-Din al-Razi. Namun, pada masa
belakangan beberapa ulama tafsir lebih menekuninya secara serius.
Tafsir yang menghimpun sejumlah ayat dari berbagai surat yang sama-sama
membicarakan satu masalah tertentu; ayat-ayat tersebut disusun sedemikian rupa

dan diletakkan di bawah satu tema bahasan, dan selanjutnya ditafsirkan


secara maudhiy.
Bentuk kedua inilah yang lazim terbayang di benak kita ketika mendengar istilah
tafsir maudhiy itu diucapkan.
Upaya mengaitkan antara satu ayat dengan ayat yang lainnya itu pada akhirnya
akan mengantarkan mufassir kepada kesimpulan yang menyeluruh tentang
masalah tertentu menurut pandangan al-Quran. Bahkan melalui metode ini,
mufassir dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang terlintas di dalam
benaknya dan menjadikannya sebagai tema-tema yang akan dibahas dengan
tujuan menemukan pandangan al-Quran mengenai hal tersebut.
Contoh: ayat-ayat khusus mengenai harta anak yatim terdapat pada ayat-ayat di
bawah ini:
Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih
bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan
timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan
sekedar kesanggupannya. dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu
berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah. Yang
demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat. (QS al-Anm, 6:152).
Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah baligh) harta mereka, jangan
kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta
mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan
memakan) itu adalah dosa yang besar. (QS an-Nis, 4: 2)
Dan surat QS an-Nis, 4: 10 dan 127.
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim,
sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke
dalam api yang menyala-nyala (neraka).
Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah: Allah
memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu
dalam al-Quran (juga memfatwakan) tentang para wanita yatim yang kamu tidak
memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin
mengawini mereka dan tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. dan (Allah
menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. dan
kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, maka Sesungguhnya Allah adalah Maha
Mengetahuinya.
d. Kitab-Kitab Tafsir Yang Menggunakan Metode Maudhiy
Sebagian kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode maudhuiy ini adalah: AlMarah f al-Qurn dan Al-Insn f al-Qurn al-Karm karya Abbas Mahmud al-Aqqad;

Ar-Rib f al-Qurn al-Karm karya Abu al-Ala al-Maududiy; Al-Washy


al-Asyr karya Syaikh Mahmud Syalthut; Tema-tema Pokok al-Quran karya Fazlur
Rahman; dan Wawasan al-Quran Tafsir Maudhui Atas Pelbagai Persoalan
Umat karya M. Quraish Shihab.[32]
e. Kelebihan dan Kekurangan Metode Maudhiy
1) Kelebihan Metode Maudhiy

hasil tafsir maudhiy memberikan pemecahan terhadap permasalahanpermasalahan hidup praktis, sekaligus memberikan jawaban terhadap
tuduhan/dugaan sementara orang bahwa al-quran hanya mengandung teoriteori spekulatif tanpa menyentuh kehidupan nyata.

sebagai jawaban terhadap tuntutan kehidupan yang selalu berobah dan


berkembang, menumbuhkan rasa kebanggaan terhadap al-Quran.

studi terhadap ayat-ayat terkumpul dalam satu topik tertentu juga


merupakan jalan terbaik dalam merasakan fashhah dan balghah al-Qurn.

kemungkinan untuk mengetahui satu permasalahan secara lebih mendalam


dan lebih terbuka.

tafsir maudhiy lebih tuntas dalam membahas masalah.

2) Kekurangan Metode Maudhiy

Mungkin melibatkan pikiran dalam penafsiran terlalu dalam.

Tidak menafsirkan segala aspek yang dikandung satu ayat, tetapi hanya
salah satu aspek yang menjadi topik pembahasan saja.

f. Urgensi Metode Maudhiy


Di depan telah penulis singgung bahwa tafsir dengan metode maudhiy lebih
dapat diandalkan untuk menjawab permasalahan kehidupan di muka bumi ini. Itu
berarti, metode ini besar sekali artinya dalam kehidupan umat agar mereka dapat
terbimbing ke jalan yang benar sesuai dengan maksud diturunkannya al-Quran.
Berangkat dari pemikiran yang demikian, maka kedudukan metode ini menjadi
semakin kuat di dalam khazanah intelektual Islam. Oleh karenanya metode ini perlu
dimiliki oleh para ulama, khususnya oleh para mufassir atau calon mufassir agar
mereka dapat memberikan kontribusi menuntun kehidupan di muka bumi ini ke
jalan yang benar demi meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
C. Penutup

Adalah suatu kenyataan bahwa tafsir al-Quran ditulis dengan metode dan
pendekatan yang bervariasi. Ini suatu bukti dari kesungguhan para ulama untuk
terus berusaha memahami al-Quran dari berbagai aspek dan kemampuan yang
dimiliki. Dan ini belum final, karena usaha untuk lebih menyempurnakan metode
dan pendekatan tafsir terus dilakukan hingga sekarang, sehingga perlu disambut
dengan cukup setiap upaya untuk terus meningkatkan pemahaman terhadap alQuran
Tidak bisa dipungkiri bahwa tiap-tiap metode yang digunakan mufassir masingmasing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Oleh karena itu upaya untuk terus
mencari alternatif metode tafsir dengan banyak belajar dari metode-metode dan
pendekatan-pendekatan tafsir yang sudah ada dan merupakan warisan yang tak
ternilai.
Untuk itu perlu dicari metode alternatif yang kiranya memiliki relevansi dengan
zaman sekarang, dan menjadikannya menyentuh pada realitas kehidupan. Kita
semua berkewajiban melihat al-Quran dan salah satu bentuk pemeliharaannya
adalah memfungsikan dalam kehidupan kontemporer, yakni dengan memberinya
interpretasi yang sesuai tanpa mengurbankan teks sekaligus tanpa mengorbankan
kepribadian, budaya bangsa dengan perkembangan positifnya
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, tt: Tafakur, t.t.
Arif Junaidi, Akhmad, Pembaharuan Metodologi Tafsir Al-Quran (Studi Atas
Pemikiran Tafsir Kontekstual Fazlur Rahman), Semarang: CV. Gunung Jati, 2000.
Baidan, M. Nashruddin, Metodologi Penafsiran Al-Quran, Yogyakarta: Pustaka
pelajar, 2005.
_______, Metode Penafsiran Al-Quran Kajian Kritis Terhadap Ayat-Ayat Yang
Beredaksi Mirip, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Buchori, Didin Saefuddin, Pedoman Memahami Kandungan Al-Quran, Bogor:
Granada Sarana Pustaka, 2005.
Dawam Rahardjo, Paradigma Al-Quran Metodologi Tafsir dan Kritik Sosial, Jakarta:
Pusat Studi Agama Dan Peradaban (PSAP) Muhammadiyah, 2005.
Al-Farmawiy, Abd al-Hayy, Metode Tafsir Maudhui Suatu Pengantar, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1996.
Alfatih Suryadilaga, dkk., Metodologi Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Teras, 2005.
Al-Munawar, Said Agil Husin., Al-Quran Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki,
Jakarta: Ciputat Press, 2002.

Al-Qaththan Manna Khalil., Studi Ilmu-Ilmu Quran, Jakarta: Litera AntarNusa, 1996.
Ash-Shalih, Subhi, Membahas Ilmu-ilmu al-Quran, Jakarta:Pustaka Firdaus, 1995.
As-Shauwy, Ahmad, Mukjizat Al-Quran dan Sunnah Tentang IPTEK, Jakarta: Gema
Insani Preass, 1995.
Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Quran Fungsi dan Peran Wahyu Dalam
Kehidupan Masyarakat, Bndung: Mizan, 1999.
, Sejarah Dan Ulum Al-Quran, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999.
Shihab, M. Umar, Kontekstualitas Al-Quran Kajian Tematik atas Ayat-ayat Hukum
Dalam Al-Quran, Jakarta: Penamadani, 2005.
Rohimin, Metodologi Ilmu Tafsir Dan Aplikasi Model Penafsiran, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2007.
Supiana dan M. Karman, Ulumul Quran dan Pengenalan Metodologi Tafsir, Bandung:
Pustaka Islamika, 2002.
Watt, W. Montgomery, Pengantar Studi Al-Quran, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1995.
(Makalah ini dikutip dan diselaraskan dari tulisan Prof.Dr. Nashiruddin Baidan, M.A.
dalam bukunya yang berjudul Metodologi Penafsiran Al-Quran, Yogyakarta: Pustaka
pelajar, 2005. dan makalah yang berjudul: Metode Tafsir al-Quran, Makalah, yang
diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah: Studi al-Quran dan Hadis,
Disusun Oleh: Imroatul Munfaridah, NIM: 095112097, Dosen Pengampu: Dr. H.
Zuhad, M.A., Magister Ilmu Falak, Program Pasca Sarjana, Institut Agama Islam
Negeri Walisongo, Semarang, 2009 serta beberapa makalah penulis sendiri sewaktu
mengikuti perkuliahan pada Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
1992-1994)

[1]M. Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Quran Kajian Tematik atas Ayat-ayat Hukum
Dalam Al-Quran, (Jakarta: Penamadani, 2005), h. 3.
[2]M. Dawam Rahardjo, Paradigma Al-Quran: Metodologi Tafsir dan Kritik Sosial,
(Jakarta: Pusat Studi Agama Dan Peradaban (PSAP) Muhammadiyah, 2005), h. 22
[3]Ahmad Ash-Shauwiy, Mukjizat Al-Quran dan Sunnah Tentang IPTEK, (Jakarta:
Gema Insani Preass, 1995), h. 24.
[4]M. Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Quran Kajian Kritis Terhadap AyatAyat Yang Beredaksi Mirip, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 54.
[5]Manna Khalil al-Qaththan, Studi Ilmu-ilmu Quran, h.455-456.

[6]M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran Fungsi dan Peran Wahyu Dalam
Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1999), h. 75.
[7]Rohimin, Metodologi Ilmu Tafsir Dan Aplikasi Model Penafsiran, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007), h. 66.
[8]M. Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Quran, (Yogyakarta: Pustaka
pelajar, 2005), h. 3-8.
[9]M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, h. 83.
[10]Abd al-Hayy al-Farmawiy, Metode Tafsir Maudhui Suatu Pengantar, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1996), h. 11.
[11]Ibid., 12.
[12]M. Quraish Shihab dkk, Sejarah dan Ulm al-Qurn, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1999), h. 172.
[13]Said Agil Husin al-Munawar, Al-Quran Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki,
(Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 70.
[14]Didin Saefuddin Buchori, Pedoman Memahami Kandungan Al-Quran, (Bogor:
Granada Sarana Pustaka, 2005), h. 218-219.
[15]Akhmad Arif Junaidi, Pembaharuan Metodologi Tafsir Al-Quran (Studi Atas
Pemikiran Tafsir Kontekstual Fazlur Rahman), (Semarang: CV. Gunung Jati, 2000), h.
24.
[16]Didin Saefuddin Buchori, Ibid., h. 219.
[17]Israiliyyat yaitu sesuatu yang menunjukkan pada setiap hal yang berhubungan
dengan tafsir maupun dengan Hadis berupa cerita atau dongeng-dongeng kuno
yang dinisbahkan pada asal riwayatnya dari sumber Yahudi, Nasrani atau lainnya.
Dikatakan juga bahwa Israiliyyat termasuk dongeng yang sengaja diselundupkan
oleh musuh-musuh Islam ke dalam tafsir dan hadis yang sama sekali tidak ada
dasarnya dalam sumber lama. Kisah atau dongeng tersebut sengaja diselundupkan
dengan tujuan merusak Aqidah kaum Muslimin. (lihat di Supiana, dan M.
Karman, Ulumul Quran dan Pengenalan Metodologi Tafsir, (Bandung: Pustaka
Islamika, 2002), h. 198.)
[18]Abd al-Hayy al-Farmawiy. Metode Tafsir Maudhui, h. 29.
[19]Hujair A.H. Sanaky, Metode Tafsir (Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti
Warna atau Corak Mufassirin). Diakses tanggal 12 Oktober 2009.
[20]M. Alfatih Suryadilaga, dkk., Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2005), h.
46.

[21]Abd al-Hayy al-Farmawiy, Metode Tafsir Maudhui., 30.


[22]Said Agil Husin al-Munawar, Al-Quran Membangun Tradisi, h. 73
[23]Kedua ayat tersebut, menggunakan redaksi yang berbeda, namun
membicarakan masalah yang sama, yakni larangan membunuh anak-anak. Menurut
az-Zarkasyi, perbedaannya tampak pada khithb. Ayat pertama khitbnya orangorang fakir (fuqar) dengan dhamir kum, sehingga menggunakan redaksi minimlq,
yang berarti karena miskin. Sedangkan ayat kedua khithbnya orang-orang kaya
(aghniy) dengan dhamir hum, sehingga memakai redaksi khasyyah imlq, yang
berarti takut miskin. Jadi pada ayat pertama, dhamir kum didahulukan bertujuan
untuk menghilangkan kekhawatiran orang miskin karena tidak mampu memberi
nafkah kepada anak-anaknya, sedangkan pada ayat kedua dhamir hum didahulukan
agar orang kaya yakin bahwa yang memberi nafkah kepada anak-anaknya itu Allah
bukan orang kaya (lihat, Supiana dan Karman), h. 323.
[24]Ayat yang pertama berkaitan dengan pertolongan Allah kepada kaum Muslimin
dalam perang Uhud, sedangkan pada ayat kedua berkaitan dengan perang Allah
kepada kaum Muslimin dalam perang Badr. Variasi didahulukannya penempatan
kata bih dan penambahan inna (taukd), dimungkinkan sebagai penekanan atau
penegasan kandungan ayat tersebut, yakni janjian bantuan dari Allah bagi kaum
muslimin dalam perang Badr yang masih lemah. Sedangkan ayat yang berkaitan
dengan perang Uhud tidak ada taukd, karena kaum muslimin sudah kuat dan
pertolongan Allah terbukti dalam perang Badr. (ibid., h. 324.)
[25]Antara ayat al-Quran dan hadis di atas terkesan ada pertentangan. Untuk
menghilangkan pertentangan itu, az-Zarkasyi mengajukan dua cara: Pertama,
dengan menganut pengertian harfiah hadis, yaitu bahwa orang-orang tidak masuk
surga karena amal perbuatannya, tetapi karena ampunan dan rahmat Tuhan. Akan
tetapi, ayat di atas tidak disalahkan, karena menurutnya, amal perbuatan manusia
menentukan peringkat surga yang akan dimasukinya. Dengan kata lain, posisi
seseorang di dalam surga ditentukan amal perbuatannya. Pengertian ini sejalan
( Sesungguhnya ahli
dengan hadis lain, yaitu:
surga itu, apabila memasukinya, mereka mendapat posisi di dalamnya berdasarkan
keutamaan perbuatannya). (H.R. ar-Tirmidzi dari Abu Hurairah)
Kedua, dengan menyatakan bahwa huruf ba pada ayat di atas berbeda
konotasinya dengan yang ada pada hadis tersebut. Pada ayat itu berarti imbalan,
sedangkan pada hadis tersebut berarti sebab. Jadi, dengan penafsiran seperti itu,
maka kesan kontradiksi antara ayat al-Quran dan hadis di atas dapat dihilangkan.
(lihat M. Quraish Shihab dkk., Sejarah dan Ulm al-Qurn), h. 190-191.
[26]Ayat ini berbicara dalam konteks orang-orang mukmin melihat Allah di akhirat,
suatu diskursus teologis yang melibatkan banyak orang dalam perdebatan,
khususnya kelompok Salaf dan kaum Rasionalis. Menurut kaum Salaf, kendati di
dunia Allah tidak bisa dilihat, namun di akhirat nanti bisa. Tetapi menurut Mutazilah

baik di dunia maupun di akhirat Allah tidak bisa dilihat oleh kasat mata. (lihat,
Supiana dan M. Karman), h. 325.
[27]M. Quraish Shihab, Sejarah dan Ulum al-Quran,, h. 191.
[28]Abd al-Hayy al-Farmawiy. Metode Tafsir Maudhui, h. 36-37.
[29]Ibid., h. 45-46.
[30]M. Alfatih Suryadilaga, Metodologi Ilmu Tafsir, h. 48.
[31]Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (t.tp.: Tafakur, t.t.), h. 116.
[32]M. Quraish Shihab, dkk, Sejarah dan Ulum al-Quran, h. 194.

Anda mungkin juga menyukai