PENDAHULUAN
Pembahasan tetentang tasawuf sampai detik ini masih menjadi isu yang
menarik untuk didiskusikan, terutama di kalangan akademisi, meskipun sebenarnya
perkembangan tasawuf sudah dimulai sejak abad pertama dan kedua hijriah, yang mana
ajarannya masih bercorak akhlaqi, yakni berupa pendidikan moral dan mental dalam
rangka pembersihan jiwa dari pengaruh-pengaruh duniawi. 1 [1] Dengan berbagai
literature yang menjelaskan bahwa tidak sedikit tokoh-tokoh sufi yang matinya dibunuh
karena ajaran-ajarannya dianggap kontradiktif oleh ulama’-ulama’ fikih. Hal inilah yang
membuat menarik ajaran-ajaran tasawuf untuk selalu didiskusikan.
Kemudian memasuki abad ketiga dan keempat, ajaran tasawuf berkembang
luas, yang artinya tidak hanya berkutat pada wilayah pendidikan moral dan mental, akan
tetapi sudah merambah pada pembahasan tingkah laku dan upaya peningkatan,
pengamalan intuitif kepada Allah swt, kefanaan dalam realitas mutlak serta pecapaian
kebahagiaan.
Pada abad ini pula mulai bermunculan sufi-sufi besar dengan berbagai
pengalaman-pengalaman batin yang dialaminya. Sufi-sufi besar tersebut adalah Rubiah
al-Adawiyah dengan makhabahnya, Zu al-Nun al-Misri dengan ma’rifanya, Abu Yazid
al-Busstami dengan ittihadnya, yang kemudian sosok sufi yang tidak kalah terkenalnya
dengan ajaran al-Hululnya, yakni al-Hallaj.
Namun pada makalah ini akan terfokus pada ajaran tasawuf al-Hulul yang
dipelopori oleh al-Hallaj, yang disajikan dalam 5 pembahasan yakni: penegrtian al-Hulul,
konsep ajaran al-Hulul, tokoh pengembang al-Hulul (al-Hallaj), al-Hulul dalam Fana,
pandangan ulama tentang al-Hulul.2[2]
2[2]http://upikabu-abidin.blogspot.com/2012/07/al-hulul-al-hallaj-bagian-ajaran-sufi.html
1.3 Tujuan Masalah
PEMBAHASAN
Hulul, menurut istilah sufi seperti yang dikatakan oleh Abu Nasr al-Tusi di dalam
al-Luma’ adalah faham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh–tubuh manusia
tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya, setelah sifat–sifat kemanusiaan yang ada
di dalam tubuh itu dilenyapkan. Menurut Al-Hamdany (Sanggahan Terhadap Tasawuf
dan Ahli Sufi. 1969, Hal : 19) menyebutkan bahwa, hulul merupakan kepercayaan
manusia bahwa Allah bersemayam ditubuh salah seorang yang kiranya bersedia untuk
ditempati, karena kemurnian jiwanya dan kesulitan ruhnya.
Orang yang terkenal mengembangkan faham hulul ini Abu al-Mughis al-Husain
ibn Mansur ibn Muhammad al Baidawi yang lahir di Persia padatahun 858 M dan
kemudian menetap di Baghdad dan kaum yang menganut hulul adalah kaum Hululiyyah.
Al–Hallaj berpendapat bahwa Allah kelihatannya mempunyai dua natur atau sifat dasar,
yaitu lahut (ketuhanan) dan nasut (kemanusiaan).
Dengan demikian, menurut al–Hallaj, sesungguhnya persatuan antara Tuhan
dengan manusia bisa terjadi, dan persatuan ini dalam filsafat al–Hallaj mengambil bentuk
hulul (mengambil tempat). Agar dapat bersatu manusia harus terlebih dahulu
menghilangkan sifat–sifat kemanusiaannya dengan fana’. Kalau sifat–sifat kemanusiaan
ini telah hilang maka yang tinggal hanyalah sifat–sifat ketuhanan, di situlah baru Tuhan
dapat mengambil tempat dalam dirinya, ketika itu roh Tuhan dan roh manusia bersatu
dalam tubuh.3[3]
Menurut al-Hallaj manusia mempunyai sifat dasar yang ganda, yaitu sifat
ketuhannan atau lahut dan sifat kemanusiaan atau nasut. Demikian juga halnya tuhan
memiliki sifat ganda, yaitu sifat-sifat Ilahiyat dan lahut dan sifat Insaniyah atau nasut.
Apabila seseorang telah dapat menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya dan
mengembangkan sifat-sifat Ilahiyatnya melalui fana, maka Tuhan akan mengambil
tempat dalam dirinya dan terjadilah kesatuan manusia dengan Tuhan dan inilah yang
dimaksud dengan hulul.
Teori lahut dan nasut ini, berangkat dari pemahamannya tentang proses kejadian
manusia. Al-Hallaj berpendapat bahwa Adam sebagai manusia pertama diciptakan Tuhan
sebagai copy dari diri-Nya-shurah minn nafsih-dengan segenap sifat dan kebesarannya,
sebagaimana ia ungkapkan dalam syairnya.
–سر سنا الهوته الثا قب ثم بداء فى خلقه ظاهرا –سبحا ن من اظهر نا سوته
فى صورة االكل والشا رب
Maha suci dzat yang menampakkan nasut-nya,
Seiring cemerlang bersama lahut-Nya,
Demikian padu makhluk-Nya pun terlihat nyata,
Seperti manusia yang makan dan minum layaknya,
Konsepsi lahut dan nasut ini didasarkan al-Hallaj pada firman Allah dalam Surah
al-Baqarah 34, menurut pemahamannya, adanya perintah Allah agar malaikat sujud
kepada Adam itu adalah karena Allah telah menjelma dalam diri Adam sehingga ia harus
Sebagai pelopor ajaran al-Hulul, al-Hallaj memiliki nama lengkap Abu al-Mughis
al-Husain ibn Mansur ibn Muhammad al Baidawi. Cucu dari Muhammad yang mana
sebelum kakeknya ini masuk Islam, kakeknya adalah pemeluk agama Majusi penyembah
api. Namun juga ada yang mengatakan bahwa al-Hallaj ini keturunan dari Abu Ayyub,
salah satu sahabat Nabi Muhammad saw. Dari literature lain al-Hallaj ini memiliki nama
lengkap Husein bin Mansur al-Hallaj. Lahir pada tahun 244 H atau 858 M di salah satu
kota kecil Persia, yakni kota Baidha.
4[4]http://arveniumofverrender.blogspot.com/2014/06/makalah-hulul.html
Masa kecilnya ia habiskan di kota Wasith dekat dengan Bagdad sampai usia 16
tahun. Diusia 16 ia mulai meninggalkan kota Wasith untuk menuntut ilmu kepada
seorang Sufi besar dan terkenal, yakni Sahl bin Abdullah al-Tustur di negri Ahwaz.
Kemudian setelah belajar di Negeri Ahwaz ia pergi ke Bashrah dan belajar kepada Amr
al-Makki. Yang selanjutnya pada tahun 264 H, ia melanjutkan belajarnya kepada al-
Junaid di Kota Baghdad yang merupakan seorang sufi besar pula. Selain besar
keinginannya mempelajari ilmu kepada tokoh-tokoh Sufi besar dan terkenal, ia juga telah
menunaikan ibadah Haji sebanyak tiga kali. Dari sini jelas tidak diragukan bahwa
pengetahuan tentang ajaran-ajaran tasawuf tidak diragukan. Ketika tiba di mekah pada
tahun 897 M, ia memutuskan mencari jalan sendiri untuk bersatu dengan Tuhan, pada
tahun ini bisa dikatakan al-Hallaj telah memulai pemikiran-pemikirannya tentang
bagaiman menyatu dengan Tuhan. Namun setelah ia menemukan cara bersatu dengan
Tuhan dan menyampaikan ajaranya kepada orang lain, ia justru dianggap sebagai orang
gila, bahkan diancam oleh pengusa Mekah untuk dibunuh, yang akhirnya ancaman
tersebut membawanya untuk kembali ke Baghdad.5[5]
Dalam perjalanan hidupnya yang dihiasi buah hasil pemikiran-pemikirannya di
bidang tasawuf, ia sering keluar masuk penjaran akibat konflik dengan ulama fikih,
konflik tersebut dipicu oleh pikiran-pikiran al-Hallaj yang dianggap ganjil. Karana fatwa
seorang ulama fikih yang berpengaruh (Ibn Daud al-Isfahani) al-Hallaj dipenjara. Tetapi
setelah satu tahun dalam pejara, ia dapat meloloskan diri atas bantuan seorang sipir
penjara.
Untuk mencari pengamanan atas dirinya, dari Bagdad ia melarikan diri ke Sus,
suatu wilayah yang terletak di Ahwaz. Kurang lebih empat tahun bersembunyi di kota
tersebut, dan tetap tidak mengubah pendiriannya tentang ajaran-ajarannya, akhirnya ia
ditangkap kembali dan dipenjarakan selama delapan tahun. Meskipun telah lama hidup
dalam penjara, tidak sedikitpun terkurangi pendiriannya atas ajaran-ajaranya tersebut.
Sehingga pada tahun 309 H/921 M mengharuskan para ulama di bawah pengawasan
kerajaan Bani Abbas, masa Khalifah Mu’tashim Billah, untuk mengadakan persidangan
yang menghasilkan hukumam mati pada al-Hallaj pada tanggal 18 Zulhijah di tahun yang
sama. Seperti yang dijelaskan oleh Arberry, sebelum hukuman mati dilakukan, al-Hallaj
sebelumnya dipukuli dan dicambuk, lalu disalib, yang kemudian dipotong kedua
tangannya dan kakinya, dipenggal lehernya, dan ditinggalkan tergantung bagian-bagian
tubuh itu di pintu gerbang kota Baghdad, dengan maksud untuk menjadi peringatan bagi
ulama lainnya yang berbeda pendirian, sungguh sangat sadis pembunuhan yang
dilakukan penguasa terhadap matinya seorang sufi ternama. Lebih lanjut, Arberry
melukiskan kasus pembunuhan terhadap al-Hallaj sebagai berikut:
Hulul dan inkarnasi, kata ini mengisyaratkan “penitisan” Tuhan dalam diri
manusia berupa masuknya sesuatu pada sesuatu lainnya. Hulul dipandang sebagai ajaran
bid’ah yang dikecam oleh Kaum Allah yakni, orang-orang yang tahu bahwa “sang hamba
tetaplah hamba dan Tuhan tetaplah Tuhan”, betapapun dekatnya mereka satu sama lain,
dan bahwa “hanya Allah yang mengetahui Allah, hanya Allah yang melihat Allah, dan
hanya Allah yang menyembah Allah”. Dalam tinjauan al-Hafiszh dan as-Suyuthi,
keyakinan hulûl, ittihâd atau wahdah al-wujûd secara hitoris awal mulanya berasal dari
kaum Nasrani. Mereka meyakini bahwa Tuhan menyatu dengan nabi Isa, dalam pendapat
mereka yang lain menyatu dengan nabi Isa dan ibunya; Maryam sekaligus.
6[6] http://upikabu-abidin.blogspot.com/2012/07/al-hulul-al-hallaj-bagian-ajaran-sufi.html
Al-Imâm al-Hafizh Jalaluddin as-Suyuthi menilai bahwa seorang yang
berkeyakinan hulûl atau wahdah al-wujûd jauh lebih buruk dari pada keyakinan kaum
Nasrani. Karena bila dalam keyakinan Nasrani Tuhan meyatu dengan nabi Isa atau
dengan Maryam sekaligus (yang mereka sebut dengan doktrin trinitas), maka dalam
keyakinan hulûl dan wahdah al-wujûd Tuhan menyatu dengan manusia-manusia tertentu,
atau menyatu dengan setiap komponen dari alam ini.
Demikian pula dalam penilaian Imam al-Ghazali, jauh sebelum as-Suyuthi, beliau
sudah membahas secara gamblang kesesasatan dua akidah ini. Dalam pandangan beliau,
teori yang diyakini kaum Nasrani bahwa al-lâhût (Tuhan) menyatu dengan al-nâsût
(makhluk), yang kemudian diadopsi oleh faham hulûl dan ittihâd adalah kesesatan dan
kekufuran. Di antara karya al-Ghazali yang cukup komprehensif dalam penjelasan
kesesatan faham hulûl dan ittihâd adalah al-Munqidz Min adl-Dlalâl dan al-Maqshad al-
Asnâ Fî Syarh Asmâ’ Allah al-Husnâ. Dalam dua buku ini beliau telah menyerang habis
faham-faham kaum sufi gadungan. Termasuk juga dalam karya fenomenalnya, Ihyâ
‘Ulumiddîn.
Dalam tinjauan Imam al-Ghazali, dasar keyakinan hulûl dan ittihâd adalah sesuatu
yang tidak logis. Kesatuan antara Tuhan dengan hamba-Nya, dengan cara apapun adalah
sesuatu yang mustahil, baik kesatuan antara dzat dengan dzat, maupun kesatuan antara
dzat dengan sifat. Dalam pembahasan tentang sifat-sifat Allah, al-Ghazali menyatakan
memang ada beberapa nama pada hak Allah yang secara lafazh juga dipergunakan pada
makhluk. Namun hal ini hanya keserupaan dalam lafazhnya saja, adapun secara makna
jelas berbeda. Sifat al-Hayât (hidup), misalkan, walaupun dinisbatkan kepada Allah dan
juga kepada manusia, namun makna masing-masing sifat tersebut berbeda. Sifat hayat
pada hak Allah bukan dengan ruh, tubuh, darah, daging, makanan, minuman dan lainnya.
Sifat hayat Allah tidak seperti sifat hayat pada manusia.
Imam al-Ghazali menuliskan bahwa manusia diperintah untuk berusaha
meningkatkan sifat-sifat yang ada pada dirinya supaya mencapai kesempurnaan. Namun
demikian bukan berarti bila ia telah sempurna maka akan memiliki sifat-sifat seperti sifat-
sifat Allah. Hal ini sangat mustahil dengan melihat kepada beberapa alasan berikut;
1. Mustahil sifat-sifat Allah yang Qadîm (tidak bermula) berpindah kepada dzat manusia
yang hâdits (Baru), sebagaimana halnya mustahil seorang hamba menjadi Tuhan karena
perbedaan sifat-sifat dia dengan Tuhan-nya.
2. Sebagaimana halnya bahwa sifat-sifat Allah mustahil berpindah kepada hamba-Nya,
demikian pula mustahil dzat Allah menyatu dengan dzat hamba-hamba-Nya. Dengan
demikian maka pengertian bahwa seorang manusia telah sampai pada sifat-sifat sempurna
adalah dalam pengertian kesempurnaan sifat-sifat manusia itu sendiri. Bukan dalam
pengertian bahwa manusia tersebut memiliki sifat-sifat Allah atau bahwa dzat Allah
menyatu dengan manusia tersebut (hulûl dan ittihâd) .
Imam al-Haramain dalam kitab al-Irsyâd juga menjelaskan bahwa keyakinan
ittihâd berasal dari kaum Nasrani. Kaum Nasrani berpendapat bahwa ittihâd hanya terjadi
hanya pada nabi Isa, tidak pada nabi-nabi yang lain. Kemudian tentang teori hulûl dan
ittihâd ini kaum Nasrani sendiri berbeda pendapat, sebagain dari mereka menyatakan
bahwa yang menyatu dengan tubuh nabi Isa adalah sifat-sifat ketuhanan. Pendapat
lainnya mengatakan bahwa dzat tuhan menyatu yaitu dengan melebur pada tubuh nabi Isa
laksana air yang bercampur dengan susu.7[7]
PENUTUP
2.5 Kesimpulan
Hulul, menurut istilah sufi seperti yang dikatakan oleh Abu Nasr al-Tusi di
dalam al-Luma’ adalah faham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh–tubuh
manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya, setelah sifat–sifat kemanusiaan
yang ada di dalam tubuh itu dilenyapkan. Orang yang terkenal mengembangkan faham
hulul ini Abu al-Mughis al-Husain ibn Mansur ibn Muhammad al Baidawi yang lahir di
Persia padatahun 858 M. al-Hallaj mati karna dijatuhi hukuman mati oleh pemeerintah.
Namun masih terjadi perdebatan (perbedaan) proses hukuman mati al-Hallaj “apakah
benar al-Hallaj dibunuh dengan cara disalib?”. Dan terjadi perdebatan pula atas sebab
dijatuhinyaa al-Hallaj hukuman mati, meenurut Harun Nasution al-hallaj dihukum mati
7[7]http://arveniumofverrender.blogspot.com/2014/06/makalah-hulul.html
karna berselisih dengan Ulama Fikih, namun adaa pulayang berpendapat bahwa al-Hllaj
dihukum mati karena dituduh memiliki hubungaan dengan gerakan Qaramitah
Menurut al-Hallaj manusia mempunyai sifat dasar yang ganda, yaitu sifat
ketuhannan atau lahut dan sifat kemanusiaan atau nasut. Demikian juga halnya tuhan
memiliki sifat ganda, yaitu sifat-sifat Ilahiyat dan lahut dan sifat Insaniyah atau nasut.
Apabila seseorang telah dapat menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya dan
mengembangkan sifat-sifat Ilahiyatnya melalui fana, maka Tuhan akan mengambil
tempat dalam dirinya dan terjadilah kesatuan manusia dengan Tuhan. Banyak pula ulama
yang menentang paham Hulul, seperti: Al-Imâm al-Hafizh Jalaluddin as-Suyuthi dan
Imam al-Ghazali, mereka menganggap bahwa paham hulul adalah bit’ah.
DAFTAR PUSTAKA