Anda di halaman 1dari 6

Logika Induksi

Logika berasal dari kata Yunani “logos” , kata logos berarti kata nalar, teori, atau uraian. Logika juga
didefenisikan sebagai kecapan nalar yang berkenaan dengan ungkapan lewat bahasa, atau alat untuk
berfikir secara lurus, dalam bahasa sehari-hari sering kita jumpai kata logis yang artinya masuk akal.
Logika digunakan untuk penalaran yang betul dari penalaran yang salah, logika merupakan cabang
filsafat yang bersifat praktis dan sekaligus sebagai dasar ilmu, leh karena itu bernalar yang baik harus
dilandasi logika supaya penalarannya logis dan kritis. Selain itu logika juga merupakan, sama halnya
dengan matematika dan statistika, jadi logika berfungsi sebagai dasar dan sarana ilmu, dengan demikian
logika merupakan jembatan penghubng antara filsafat dan ilmu, objek materialnya adalah pemikiran,
sedangkan objek formalnya adalah kelurusan berfikir.

Aristoteles sebagai bapak logika meninggalkan enam buah buku yang diberi nama organon yaitu: 1.
Categoriae, asas-asas dan prosedur mengenai pengertian-pengertian, 2. De Interpretatione, membahas
mengenai keputusan-keputusan, 3. Analitica a Priora, membahas tentang silogisme, 4. Analitica
Posteriora, membahas mengenai pembuktian, 5. Topika, berisi cara berargumentasi atau cara berdebat,
6. De Sophisticis Elenchis, membicarakan kesesatan dan kekeliruan berfikir.

Induksi adalah proses penalaran yang bertolak dari sejumlah fenomena menuju kesimpulan umum,
fenomena individual sebagai landasan penalaran induktif adalah fenomena dalam bentuk pernyataan
(proposisi).[8] Dalam karangan singkat yang terkenal, karena jelasnya dan sederhananya, berjudul “The
Method of Science”, Thomas Henry menerangkan induksi dengan contoh sebagai berikut:

“Anggaplah kita mengunjungi warung buah-buahan karena ingin membeli apel, kita ambil sebuah dan
ketika mencicipinya terbukti itu masam, kita perhatikan apel itu dan terbukti bahwa apel itu keras hijau
dan masam. Si pedagang menawarkan apel ketiga, tetapi sebelum mencicipinya kita memperhatikannya
dan terbukti yang itupun adalah keras dan hujau dan seketika itu kita beritahukan bahwa kita tidak
menghendakinya karena yang itu pun pasti masam seperti lain-lainnya yang telah dicicipi. Jalan pikiran si
calon pembeli sehingga ia sampai pada kesimpulan untuk tidak membeli apel ialah induksi. Huxley
menjelaskan proses induksi sebagai berikut:

Pertama-tama kita telah melakukan kegiatan yang disebut induksi, kita telah menemukan bahwa dalam
dua kali pengalaman sifat keras dan hijau pada Apel itu selalu bersifat masam. Demikianlah peristiwa
yang pertama dan itu diperkuat dalam peristiwa yang kedua, memang itu dasar yang amat sempit, akan
tetapi sudah cukup untuk dijadikan dasar induksi, kedua fakta itu kita generalisasikan dan kita percaya
akan berjumpa dengan rasa masam pada apel, bila kita temui sifat keras dan hijau, dan ini suatu induksi
yang tepat. Menurut Huxley untuk sampai kepada kesimpulan penolakan apel ketiga, penalaran induktif
itu diikuti oleh penalaran deduktif:

Dengan demikian kita menemukan hukum alam, ketika kita ditawari apel lain yang terbukti keras dan
hijau kita berkata semua apel yang keras dan hijau itu masam, apel ini keras dan hijau, berarti apel ini
masam. Jalan pikiran inilah yang oleh ahli logika disebut dengan silogisme.
John Stuart Mill salah seorang tokoh terpenting yang mengembangkan logika induktif, mendefenisikan
induksi sebagai: kegiatan budi dimanakan kita menyimpulkan bahwa apa yang kita ketahui benar untuk
semua kasus yang serupa dengan yang tersebut dalam hal-hal tertentu. Dari contoh di atas dapat
diketahui ciri-ciri induksi. Pertama, premis-premis dari induksi ialah proposisi empirik yang langsung
kembali kepada suatu observasi indera atau proposisi dasar seperti telah diterangkan di atas, proposisi
dasar menunjuk kepada fakta yaitu observasi yang dapat diuji kecocokannya dengan tangkapan indra,
pikiran tidak dapat mempersoalkan benar tidaknya fakta akan tetapi hanya dapat menerimanya. Bahwa
apel 1 itu keras, hijau dan masam, hanya inderalah yang dapat menangkapnya, sekali indera mengatakan
demikian pikiran tinggal menerimanya.[9]

Kedua konkulusi penalaran induktif itu lebih luas daripada apa yang dikatakan didalam premis-
premisnya, premis-premisnya hanya mengatakan bahwa apel yang keras, hijau masam itu hanya dua,
apel 1 dan 2. Itulah yang diobservasi dan itulah yang dirumuskan dalam oremis itu, kalau dikatakan
bahwa juga apel 3 itu masam, hal itu tidak didukung oleh premis-premis penalaran, menurut kaidah-
kaidah logika, penalaran itu tidak shahih: pemikiran terikat untuk menerima kebenaran konklusinya.

Ketiga meskipun konklusi induksi itu tidak mengikat, akan tetapi manusia yang normal akan
menerimanya, kecuali kalau ada alasan untuk menolaknya, jadi konklusi penalaran induktif itu oleh
pikiran dapat dipercaya kebenarannya atau dengan perkataan lain konklusi induksi itu memiliki
kredibilitas rasional, kredibilitas rasional disebut probabilitas, probabilitas itu didukung oleh pengalaman
artinya konkulasi induksi itu menurut pengalaman biasanya cocok dengan observasi indera

3. Metode Pengembangan Ilmu John Stuart Mill: Logika Induksi

Pada abad ke XVII dan XVIII logika berkembang, dimana Francis Bacon mengembangkan metode induktif
menyusun Novum Organum Scientiarum, Wilhem Leibnitz dengan logika aljabar, dan Emmanuel Kant
dengan logika transendental (logika yang menyelidiki bentuk pemikiran di luar batas pengalaman), John
Stuart Mill tentang System of Logic. Jadi logika adalah cara nalar yang benar melalui premis atau
proposisi (pernyataan pengetahuan), bila dikatakan premis adalah pasir, batu, dan semen, maka logika
(proses penalaran) adalah bagan atau arsitekturnya, premis benar dan arsitektur baik maka dihasilkan
bangunan yang kokoh dan indah, demikian juga dengan logika.

John S. Mill (1806-1873) adalah di antara filsuf yang juga mempersoalkan ‘proses generalisasi’ dengan
cara induksi, dalam persoalan generalisasi ini, Mill sependapat dengan David Hume yang mempersoalkan
secara radikal. Jika Francis Bacon kemudian menawarkan teori “idola”nya, Menurut John Stuart Mill,
setiap fenomena merupakan akibat dari suatu sebab yang tersembunyi. Induksi adalah penalaran atau
penelitian untuk menemukan sebab-sebab yang tersembunyi itu.

Mill menyusun lima metode penalaran dan penelitian induktif, yaitu: (1) metode persesuaian (method of
agreement), (2) metode perbedaan (method of difference), (3) metode gabungan persesuaian dan
perbedaan (joint method of agreement and difference), (4) metode residu (method of residues), dan (5)
metode variasi kesamaan (method of concomitant variations).
Mill melihat tugas utama logika lebih dari sekedar menentukan patokan deduksi silogistis yang tak
pernah menyampaikan pengetahaun baru, ia berharap bahwa jasa metodenya dalam logika induktif
sama besarnya dengan jasa Aristoteles dalam logika deduktif.[10] Menurutnya, pemikiran silogistis selalu
mencakup suatu lingkaran setan (petitio), di mana kesimpulan sudah terkandung di dalam premis,
sedangkan premis itu sendiri akhirnya masih bertumpu juga pada induksi empiris. Tugas logika,
menurutnya, cukup luas, termasuk meliputi ilmu-ilmu sosial dan psikologi, yang memang pada masing-
maisng ilmu itu, logika telah diletakkan dasar-dasarnya oleh Comte dan James Mill.[11]

John S. Mill, dalam menguraikan logika induksi hendak menghindari dua ekstrem: pertama, generalisasi
empiris, sebagaimana pada Francis Bacon dan untuk ini ia sependapat dengan Hume yang
mempertanyakan generalisasi empiris, bahkan menyebutnya sebagai induksi yang tidak sah; kedua
induksi yang mencari dukungan pengetahuan a priori, sebagaimana pada Kant.[12]

4. Cara Kerja Induksi John Stuart Mill

Cara kerja induksi menurut Mill sebagai berikut:

a. Metode kesesuaian (method of agreement)

Apabila ada dua macam peristiwa atau lebih pada gejala yang diselidiki dan masing-masing peristiwa itu
mempunyai faktor yang sama, maka faktor yang sama itu merupakan satu-satunya sebab bagi gejala
yang diselidiki. Misalnya, semua anak yang sakit perut membeli dan minum es sirup yang dijajakan di
sekolah, maka es sirup itu yang menjadi sebab sakit perut mereka, artinya suatu sebab disimpulkan dari
adanya kecocokan sumber kejadian.[13]

Contoh lainnya: Metode kesesuaian kaidah ini menyatakan: ‘Jika dua hal atau lebih dari fenomena yang
diteliti memiliki hanya satu sirkumtansi yang sama, maka sirkumtansi satu-satunya di mana hal itu
bersesuaian adalah sebab (atau akibat) dari fenomena yang diteliti itu. Misal: Ada suatu pesta
pernikahan dan terdapat puluhan orang yang keracunan makanan, kemudian ditelitilah semua makanan
yang dimakan oleh mereka yang hadir di pesta pernikahan tersebut. Selanjutnya, diketahui pula ada
makanan yang disediakan oleh perusahaan catering A dan B. Fenomena yang diteliti adalah ‘keracunan
makanan’, sedangkan hal-hal yang diteliti dari fenomena itu ialah makanan yang disediakan oleh
perusahaan catering A dan B. Hasil penelitian sebagai berikut:

Pak Aman, menyantap semua jenis makanan yang disediakan oleh perusahaan catering A, tidak
keracunan.

Pak Amin, menyantap sebagian jenis makanan yang disediakan oleh perusahaan catering A, tidak
keracunan.

Pak Iman, menyantap sebagian jenis makanan yang disediakan oleh perusahaan catering A dan
menyantap sebagian jenis makanan yang disediakan oleh perusahaan catering B, ternyata keracunan.

Pak Eman, menyantap sebagian jenis makanan yang disediakan oleh perusahaan catering B, ternyata
keracuan.
Pak Oman, menyantap semua jenis makanan yang disediakan oleh perusahaan catering B, ternyata
keracunan.

Sirkumtansi yang sama di mana hal-hal yang diteliti dari fenomena itu bersesuaian, yaitu menyantap
makanan yang disediakan oleh perusahaan catering B, dan itulah yang menjadi penyebabnya, yaitu
menyantap makanan yang disediakan oleh perusahaan catering B.[14]

b. Metode perbedaan (method of difference)

Metode ini menggunakan hukum kontradiksi apabila sebuah peristiwa mengandung gejala yang diselidiki
dan sebuah peristiwa lain yang tidak mengandungnya, namun faktor-faktornya sama kecuali satu, yang
satu itu terdapat pada peristiwa pertama, maka itulah satu-satunya faktor yang menyebabkan peristiwa
itu berbeda. Karenanya dapat disimpulkan bahwa satu faktor (yang berbeda) itu sebagai suatu sebab
terjadinya suatu gejala pembeda (yang diselidiki) tersebut.

Misalnya, seseorang A yang sakit perut mengatakan telah makan: sop buntut, nasi, rendang dan buah
dari kaleng. Sedang B yang tidak sakit perut mengatakan bahwa ia telah makan: sop buntut, nasi, dan
rendang. Maka kemudian disimpulkan bahwa buah dari kaleng yang menyebabkan sakit perut, ini artinya
suatu sebab disimpulkan dari adanya kelainan dalam peristiwa yang terjadi.

c. Gabungan metode persetujuan dan perbedaan

Metode ini menggunakan hukum cukup alasan, yang menjelaskan bahwa jika terjadi perubahan pada
sesuatu, perubahan itu haruslah berdasarkan alasan yang cukup, artinya tidak ada perubahan yang tiba-
tiba tanda alasan yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional, hukum ini merupakan hukum
pelengkap hukum identitas.

Contoh: metode gabungan adalah pemberian makan ayam dengan beras putih dan beras putih ditambah
dedak, ayam dengan beras putih kesemuanya terserang polyneuritis dan sebagian besar mati, kelompok
lain diberi beras putih dengan dedak, kesemuanya tidak ada yang terkena neauritis dan mati. Bila ayam
yang sakit neauritis dan yang sehat diberi makan beras bercampur dedak, ayam yang sakit tersebut
dapat sembuh. Metode gabungan akan memberikan hasil hubungan sebab akibat yang lebih kuat.[15]

d. Metode menyisakan (method of residues)

Metode ini menggunakan hukum tiada jalan tengah, yang mengungkapkan bahwa sesuatu itu pasti
memiliki suatu sifat tertentu atau tidak memiliki sifat tertentu itu dan tidak ada kemungkinan lain. Jika a
diketahui dan b diketahui, maka adanya kejadian tersebut c mesti karena sebab lain

Jika ada peristiwa dalam keadaan tertentu dan keadaan tertentu ini merupakan akibat dari factor yang
mendahuluinya, maka sisa akibat yang terdapat pada peristiwa itu disebabkan oleh factor lain, dari
pengamatan factor yang mempengaruhi kinerja seseorang diketahui bahwa factor kemampuan dan
motivasi mempengaruhi kinerja. Bila diketahui bahwa kemampuan dan motivasi baik, tetapi kinerja
seseorang menjadi menurun, maka factor lain diluar kemampuan dan motivasi dipikirkan sebagai
penyebab penurunan kinerja.
e. Metode persamaan variasi (method of concomitan variation)

Metode ini juga dikenal dengan metode perubahan selang-seling seiring. Apabila suatu gejala yang
dengan suatu cara mengalami perubahan ketika gejala lain berubah dengan cara tertentu, maka gejala
itu adalah sebab atau akibat dari gejala lain, atau berhubungan secara sebab akibat. Metode ini bisa
dicontohkan misalnya dalam fenomena pasang surut air laut, diketahui bahwa pasang surut disebabkan
oleh tarikan gravitasi bulan.Tetapi kenyataan itu tidak dapat disimpulkan melalui ketiga metode di atas.
Kedekatan bulan saat air pasang bukan satu-satunya hal yang berada saat kejadian (pasang) itu, tetapi
masih ada bintang-bintang, di mana bintang-bintang itu tidak dapat begitu saja disingkirkan, atau
dikesampingkan (dalam arti, tidak dipertimbangkan), begitu pula bulan juga tidak mungkin disingkirkan
dari langit demi penerapan suatu metode.

Maka yang dapat dikerjakan adalah mengamati kenyataan bahwa semua variasi dalam posisi bulan selalu
diikuti oleh variasi-variasi yang berkaitan dalam waktu dan tempat air tinggi.Tempatnya atau bagian dari
dunia yang terdekat dengan bulan atau tempat yang paling jauh dari bulan mengandung banyak evidensi
bahwa bulan secara keseluruhan atau sebagian adalah sebab yang menentukan pasang
surut.Argumentasi ini disebut dengan metode perubahan selang-seling seiring.[16] Contoh lainnya: air
raksa dan panas, besar produksi dengan luas sawah, kesuburan tanah dan hasil panen, disiplin dan
motivasi terhadap kinerja, jumlah barang yang ditawarkan dengan harga, dll

Menurut Mill tugas logika ialah membedakan hubungan gagasan-gagasan yang bersifat kebetulan dari
hubungan gagasan yang tetap dan sesuai dengan hukum, karena seluruh pengetahuan kita berasal dari
pengalaman, maka satu-satunya metode dalam ilmu pengetahuan adalah metode induktif, istilahnya
metode yang merumuskan suatu hukum umum dengan bertitik tolak berdasarkan pada sejumlah kasus
khusus sebagaimana yang telah dicontohkan diatas

KESIMPULAN

Logika induksi adalah sistem penalaran yang menelaah prinsip-prinsip penyimpulan yang sah dari
sejumlah hal khusus sampai kepada kesimpulan umum yang bersifat probabilitas (boleh jadi), logika
induktif sering disebut dengan logika material, artinya berusaha menemukan prinsip penalaran yang
bergantung kesesuaiannya dengan kenyataan, oleh karena itu kesimpulannya adalah kebolehjadian,
dalam arti selama kesimpulannya tidak ada bukti yang menyangkalnya maka pernyataan tersebut benar

Mill menyusun lima metode penalaran dan penelitian induktif, yaitu: (1) metode persesuaian (method of
agreement), (2) metode perbedaan (method of difference), (3) metode gabungan persesuaian dan
perbedaan (joint method of agreement and difference), (4) metode residu (method of residues), dan (5)
metode variasi kesamaan (method of concomitant variations).

Daftar pustaka

https://share.uc.ac.id/Department/Students/feh/IAD/SumberBuku/Logika%20Induksi.pdf
http://nassafira.blogspot.co.id/2016/10/john-stuart-mill-dan-5-kaidah-metode.html

Muslih M, Logika Illuminasi Pemikiran Epistimologi Suhrawardi dalam Kalimah, Jurnal Studi Agama dan
Pemikiran Islam, Vol. 1, No. 1, September 2002

Poedjawijadna. Logika filsafat berfikir. 2012. Jakarta: Rineka Cipta

Rizal Muntansyir. Filsafat Ilmu. 2000. Jogjakarta: Pustaka Pelajar

Stefanus Sufriyanto. Filsafat Ilmu. 2013. Jakarta: Prestasi Pustaka

Suseno, 13 Tokoh Etika Sejak Zaman Yunani Sampai Abad ke-19

W. Pespoprodjo dan T. Gilareso. Logika Ilmu Menalar: Dasar-Dasar Berpikir Tertib, Logis, Kritis, Analitis,
Dialektis. 2011. Bandung: Pustaka Grafika

note

[9]ttps://share.uc.ac.id/Department/Students/feh/IAD/SumberBuku/Logika%20Induksi

[10] Poedjawijadna, Logika filsafat berfikir (Jakarta: Rineka Cipta, 2012), h. 70

[11]Suseno, 13 Tokoh Etika Sejak Zaman Yunani Sampai Abad ke-19, h. 177

[12]Muslih M, Logika Illuminasi Pemikiran Epistemologi Suhrawardi dalam Kalimah, Jurnal Studi Agama
dan Pemikiran Islam, Volume 1, Nomor 1, September 2002.

[13]Stefanus Sufriyanto, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2013), h. 179

[14] http://biangmakalahku.blogspot.co.id/2009/12/makalah-ilmu-mantiq-kausalitas.html

[15] http://nassafira.blogspot.co.id/2016/10/john-stuart-mill-dan-5-kaidah-metode.html

[16]W. Pespoprodjo dan T. Gilareso. Logika Ilmu Menalar: Dasar-Dasar Berpikir Tertib, Logis, Kritis,
Analitis, Dialektis. (Bandung: Pustaka Grafika, 2011), h. 80

Anda mungkin juga menyukai