Puji syukur diucapkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga makalah ini dapat
tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih terhadap bantuan dari
pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi
pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca praktikkan dalam
kehidupan sehari-hari.
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini
karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik
dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Pendahuluan
Pembahan
John Stuart Mill seorang filsuf empiris dari Inggris lahir pada tahun 1806 di Pentonville
London dan meninggal pada tahun 1973, ia dikenal sebagai reformator dari utilitarianisme sosial,
ayahnya James Mill seorang sejarawan dan akademisi. John Stuart Mill dididik ayahnya dengan saran
serta bantuan dari Jeremy Bentham dan Francis Place, ia diberikan pendidikan yang sangat ketat dan
sengaja dilindungi dari pergaulan dengan anak-anak seusianya selain saudaranya. Ia mempelajari
psikologi yang nantinya menjadi inti filsafat Mill dari ayahnya, dan Mill sejak kecil sudah mempelajari
bahasa Yunani dan Latin, pada usia 15 tahun ia membaca karangan Jeremy Betham dan berhasil
tujuannya untuk menjadi Sosial Reformer (pembaharu sosial), ketika berusia 17 tahun, Mill bekerja di
India House Company, dimana ia mengabdi selama tiga puluh lima tahun sampai perusahan tersebut
bubar.
Mengingat pekerjaannya yang begitu intensif, tidaklah mengherankan bahwa pada tahun 1826 ia
mengalami keambrukan karena sakit saraf, namun krisis mental itu mempunyai efek yang positif, ia
mulai membebaskan diri dari filsafat Jeremy Betham dan mengembangkan pahamnya sendiri
tentang utilitarianisme, paham ini dirumuskannya dalam essay Utilitarianism dari tahun 1864, yang
kemudian menjadi bahan sebuah diskusi hebat selama hampir seluruh abad ke 19, terutama di
Inggris, paham khas tentang Utilitarianisme yang dirumuskan Mill merupakan sumbangan penting
kepada filsafat moral, ia meninggal di Avigron di Prancis pada tahun 1873.[5]
Mill adalah seorang penulis yang produktif, tulisan-tulisannya tentang Ekonomi dan kenegaraan
dibaca luas oleh masyarakat, salah satu tulisannya yangpaling gemilang dalam etika politik segala
zaman adalah On Liberty yang terbit tahun 1859, yang merupakan pembelaan kebebaan individu
terhadap segala usaha penyamarataan masyarakat, tulisan lainnya yang tidak kalah penting adalah
Sistem Of Logic, Considerations of Refresentatif Government, dan Subjection of Woman. Mill
menjadi tokoh intelektual liberalisme Inggris kedua yang tidak lagi membela paham Laissez Faire
klasik, melainkan memperhatikan tuntutan-tuntutan keadilan sosial.[6]
Mill juga menyinggung tentang masalah pendidikan, menurutnya masyarakat tidak berhak
melakukan pemaksaan suatu hal terhadap orang lain demi kepentingan individu, pemaksaa
seperlunya hanya berlaku pada anak-anak, bukan orang dewasa. Sebab anak-anak harus dilindungi
terhadap kemungkinan bahwa mereka dirugikan oleh oang lain atau mereka dapat merugikan diri
mereka sendiri. Negara harus menuntut suatu pendidikan terhadap orang-orang yang dilahirkan
sebagai warganya sampai pada standart tertentu, hal tersebut bukan berarti orangtua harus
memaksakan anak-anaknya untuk bersekolah atau mengikuti suatu jenjang pendidikan, apabila
orangtua tersebut tidak mampu manyekolahkan anaknya, disini Negara harus berperan untuk
mengatasi kondisi tersebut agar anak-anak tidak dirugikan akan hal itu.[7]
Logika Induksi
Logika berasal dari kata Yunani “logos” , kata logos berarti kata nalar, teori, atau uraian. Logika juga
didefenisikan sebagai kecapan nalar yang berkenaan dengan ungkapan lewat bahasa, atau alat untuk
berfikir secara lurus, dalam bahasa sehari-hari sering kita jumpai kata logis yang artinya masuk akal.
Logika digunakan untuk penalaran yang betul dari penalaran yang salah, logika merupakan cabang
filsafat yang bersifat praktis dan sekaligus sebagai dasar ilmu, leh karena itu bernalar yang baik harus
dilandasi logika supaya penalarannya logis dan kritis. Selain itu logika juga merupakan, sama halnya
dengan matematika dan statistika, jadi logika berfungsi sebagai dasar dan sarana ilmu, dengan
demikian logika merupakan jembatan penghubng antara filsafat dan ilmu, objek materialnya adalah
pemikiran, sedangkan objek formalnya adalah kelurusan berfikir.
Aristoteles sebagai bapak logika meninggalkan enam buah buku yang diberi nama organon yaitu: 1.
Categoriae, asas-asas dan prosedur mengenai pengertian-pengertian, 2. De Interpretatione,
membahas mengenai keputusan-keputusan, 3. Analitica a Priora, membahas tentang silogisme, 4.
Analitica Posteriora, membahas mengenai pembuktian, 5. Topika, berisi cara berargumentasi atau
cara berdebat, 6. De Sophisticis Elenchis, membicarakan kesesatan dan kekeliruan berfikir.
Aristoteles sebagai bapak logika meninggalkan enam buah buku yang diberi nama
organon yaitu: 1. Categoriae, asas-asas dan prosedur mengenai pengertian-
pengertian, 2. De Interpretatione, membahas mengenai keputusan-keputusan, 3.
Analitica a Priora, membahas tentang silogisme, 4. Analitica Posteriora, membahas
mengenai pembuktian, 5. Topika, berisi cara berargumentasi atau cara berdebat, 6.
De Sophisticis Elenchis, membicarakan kesesatan dan kekeliruan berfikir.
Induksi adalah proses penalaran yang bertolak dari sejumlah fenomena menuju
kesimpulan umum, fenomena individual sebagai landasan penalaran induktif
adalah fenomena dalam bentuk pernyataan (proposisi).[8] Dalam karangan singkat
yang terkenal, karena jelasnya dan sederhananya, berjudul “The Method of Science”,
Thomas Henry menerangkan induksi dengan contoh sebagai berikut:
“Anggaplah kita mengunjungi warung buah-buahan karena ingin membeli apel, kita
ambil sebuah dan ketika mencicipinya terbukti itu masam, kita perhatikan apel itu
dan terbukti bahwa apel itu keras hijau dan masam. Si pedagang menawarkan apel
ketiga, tetapi sebelum mencicipinya kita memperhatikannya dan terbukti yang
itupun adalah keras dan hujau dan seketika itu kita beritahukan bahwa kita tidak
menghendakinya karena yang itu pun pasti masam seperti lain-lainnya yang telah
dicicipi. Jalan pikiran si calon pembeli sehingga ia sampai pada kesimpulan untuk
tidak membeli apel ialah induksi. Huxley menjelaskan proses induksi sebagai
berikut:
Pertama-tama kita telah melakukan kegiatan yang disebut induksi, kita telah
menemukan bahwa dalam dua kali pengalaman sifat keras dan hijau pada Apel itu
selalu bersifat masam. Demikianlah peristiwa yang pertama dan itu diperkuat
dalam peristiwa yang kedua, memang itu dasar yang amat sempit, akan tetapi
sudah cukup untuk dijadikan dasar induksi, kedua fakta itu kita generalisasikan dan
kita percaya akan berjumpa dengan rasa masam pada apel, bila kita temui sifat
keras dan hijau, dan ini suatu induksi yang tepat. Menurut Huxley untuk sampai
kepada kesimpulan penolakan apel ketiga, penalaran induktif itu diikuti oleh
penalaran deduktif:
Dengan demikian kita menemukan hukum alam, ketika kita ditawari apel lain yang
terbukti keras dan hijau kita berkata semua apel yang keras dan hijau itu masam,
apel ini keras dan hijau, berarti apel ini masam. Jalan pikiran inilah yang oleh ahli
logika disebut dengan silogisme.
John Stuart Mill salah seorang tokoh terpenting yang mengembangkan logika
induktif, mendefenisikan induksi sebagai: kegiatan budi dimanakan kita
menyimpulkan bahwa apa yang kita ketahui benar untuk semua kasus yang serupa
dengan yang tersebut dalam hal-hal tertentu. Dari contoh di atas dapat diketahui
ciri-ciri induksi. Pertama, premis-premis dari induksi ialah proposisi empirik yang
langsung kembali kepada suatu observasi indera atau proposisi dasar seperti telah
diterangkan di atas, proposisi dasar menunjuk kepada fakta yaitu observasi yang
dapat diuji kecocokannya dengan tangkapan indra, pikiran tidak dapat
mempersoalkan benar tidaknya fakta akan tetapi hanya dapat menerimanya.
Bahwa apel 1 itu keras, hijau dan masam, hanya inderalah yang dapat
menangkapnya, sekali indera mengatakan demikian pikiran tinggal menerimanya.
[9]
Kedua konkulusi penalaran induktif itu lebih luas daripada apa yang dikatakan
didalam premis-premisnya, premis-premisnya hanya mengatakan bahwa apel yang
keras, hijau masam itu hanya dua, apel 1 dan 2. Itulah yang diobservasi dan itulah
yang dirumuskan dalam oremis itu, kalau dikatakan bahwa juga apel 3 itu masam,
hal itu tidak didukung oleh premis-premis penalaran, menurut kaidah-kaidah logika,
penalaran itu tidak shahih: pemikiran terikat untuk menerima kebenaran
konklusinya.
Ketiga meskipun konklusi induksi itu tidak mengikat, akan tetapi manusia yang
normal akan menerimanya, kecuali kalau ada alasan untuk menolaknya, jadi
konklusi penalaran induktif itu oleh pikiran dapat dipercaya kebenarannya atau
dengan perkataan lain konklusi induksi itu memiliki kredibilitas rasional, kredibilitas
rasional disebut probabilitas, probabilitas itu didukung oleh pengalaman artinya
konkulasi induksi itu menurut pengalaman biasanya cocok dengan observasi indera
Pada abad ke XVII dan XVIII logika berkembang, dimana Francis Bacon
mengembangkan metode induktif menyusun Novum Organum Scientiarum,
Wilhem Leibnitz dengan logika aljabar, dan Emmanuel Kant dengan logika
transendental (logika yang menyelidiki bentuk pemikiran di luar batas pengalaman),
John Stuart Mill tentang System of Logic. Jadi logika adalah cara nalar yang benar
melalui premis atau proposisi (pernyataan pengetahuan), bila dikatakan premis
adalah pasir, batu, dan semen, maka logika (proses penalaran) adalah bagan atau
arsitekturnya, premis benar dan arsitektur baik maka dihasilkan bangunan yang
kokoh dan indah, demikian juga dengan logika.
John S. Mill (1806-1873) adalah di antara filsuf yang juga mempersoalkan ‘proses
generalisasi’ dengan cara induksi, dalam persoalan generalisasi ini, Mill sependapat
dengan David Hume yang mempersoalkan secara radikal. Jika Francis Bacon
kemudian menawarkan teori “idola”nya, Menurut John Stuart Mill, setiap fenomena
merupakan akibat dari suatu sebab yang tersembunyi. Induksi adalah penalaran
atau penelitian untuk menemukan sebab-sebab yang tersembunyi itu.
Mill menyusun lima metode penalaran dan penelitian induktif, yaitu: (1) metode
persesuaian (method of agreement), (2) metode perbedaan (method of difference),
(3) metode gabungan persesuaian dan perbedaan (joint method of agreement and
difference), (4) metode residu (method of residues), dan (5) metode variasi
kesamaan (method of concomitant variations).
Mill melihat tugas utama logika lebih dari sekedar menentukan patokan deduksi
silogistis yang tak pernah menyampaikan pengetahaun baru, ia berharap bahwa
jasa metodenya dalam logika induktif sama besarnya dengan jasa Aristoteles dalam
logika deduktif.[10] Menurutnya, pemikiran silogistis selalu mencakup suatu
lingkaran setan (petitio), di mana kesimpulan sudah terkandung di dalam premis,
sedangkan premis itu sendiri akhirnya masih bertumpu juga pada induksi empiris.
Tugas logika, menurutnya, cukup luas, termasuk meliputi ilmu-ilmu sosial dan
psikologi, yang memang pada masing-maisng ilmu itu, logika telah diletakkan dasar-
dasarnya oleh Comte dan James Mill.[11]
John S. Mill, dalam menguraikan logika induksi hendak menghindari dua ekstrem:
pertama, generalisasi empiris, sebagaimana pada Francis Bacon dan untuk ini ia
sependapat dengan Hume yang mempertanyakan generalisasi empiris, bahkan
menyebutnya sebagai induksi yang tidak sah; kedua induksi yang mencari
dukungan pengetahuan a priori, sebagaimana pada Kant.[12]
Apabila ada dua macam peristiwa atau lebih pada gejala yang diselidiki dan masing-
masing peristiwa itu mempunyai faktor yang sama, maka faktor yang sama itu
merupakan satu-satunya sebab bagi gejala yang diselidiki. Misalnya, semua anak
yang sakit perut membeli dan minum es sirup yang dijajakan di sekolah, maka es
sirup itu yang menjadi sebab sakit perut mereka, artinya suatu sebab disimpulkan
dari adanya kecocokan sumber kejadian.[13]
Contoh lainnya: Metode kesesuaian kaidah ini menyatakan: ‘Jika dua hal atau lebih
dari fenomena yang diteliti memiliki hanya satu sirkumtansi yang sama, maka
sirkumtansi satu-satunya di mana hal itu bersesuaian adalah sebab (atau akibat)
dari fenomena yang diteliti itu. Misal: Ada suatu pesta pernikahan dan terdapat
puluhan orang yang keracunan makanan, kemudian ditelitilah semua makanan
yang dimakan oleh mereka yang hadir di pesta pernikahan tersebut. Selanjutnya,
diketahui pula ada makanan yang disediakan oleh perusahaan catering A dan B.
Fenomena yang diteliti adalah ‘keracunan makanan’, sedangkan hal-hal yang diteliti
dari fenomena itu ialah makanan yang disediakan oleh perusahaan catering A dan
B. Hasil penelitian sebagai berikut:
Pak Aman, menyantap semua jenis makanan yang disediakan oleh perusahaan
catering A, tidak keracunan.
Pak Amin, menyantap sebagian jenis makanan yang disediakan oleh perusahaan
catering A, tidak keracunan.
Pak Iman, menyantap sebagian jenis makanan yang disediakan oleh perusahaan
catering A dan menyantap sebagian jenis makanan yang disediakan oleh
perusahaan catering B, ternyata keracunan.
Pak Eman, menyantap sebagian jenis makanan yang disediakan oleh perusahaan
catering B, ternyata keracuan.
Pak Oman, menyantap semua jenis makanan yang disediakan oleh perusahaan
catering B, ternyata keracunan.
Sirkumtansi yang sama di mana hal-hal yang diteliti dari fenomena itu bersesuaian,
yaitu menyantap makanan yang disediakan oleh perusahaan catering B, dan itulah
yang menjadi penyebabnya, yaitu menyantap makanan yang disediakan oleh
perusahaan catering B.[14]
Misalnya, seseorang A yang sakit perut mengatakan telah makan: sop buntut, nasi,
rendang dan buah dari kaleng. Sedang B yang tidak sakit perut mengatakan bahwa
ia telah makan: sop buntut, nasi, dan rendang. Maka kemudian disimpulkan bahwa
buah dari kaleng yang menyebabkan sakit perut, ini artinya suatu sebab
disimpulkan dari adanya kelainan dalam peristiwa yang terjadi.
Contoh: metode gabungan adalah pemberian makan ayam dengan beras putih dan
beras putih ditambah dedak, ayam dengan beras putih kesemuanya terserang
polyneuritis dan sebagian besar mati, kelompok lain diberi beras putih dengan
dedak, kesemuanya tidak ada yang terkena neauritis dan mati. Bila ayam yang sakit
neauritis dan yang sehat diberi makan beras bercampur dedak, ayam yang sakit
tersebut dapat sembuh. Metode gabungan akan memberikan hasil hubungan
sebab akibat yang lebih kuat.[15]
Metode ini menggunakan hukum tiada jalan tengah, yang mengungkapkan bahwa
sesuatu itu pasti memiliki suatu sifat tertentu atau tidak memiliki sifat tertentu itu
dan tidak ada kemungkinan lain. Jika a diketahui dan b diketahui, maka adanya
kejadian tersebut c mesti karena sebab lain
Jika ada peristiwa dalam keadaan tertentu dan keadaan tertentu ini merupakan
akibat dari factor yang mendahuluinya, maka sisa akibat yang terdapat pada
peristiwa itu disebabkan oleh factor lain, dari pengamatan factor yang
mempengaruhi kinerja seseorang diketahui bahwa factor kemampuan dan motivasi
mempengaruhi kinerja. Bila diketahui bahwa kemampuan dan motivasi baik, tetapi
kinerja seseorang menjadi menurun, maka factor lain diluar kemampuan dan
motivasi dipikirkan sebagai penyebab penurunan kinerja.
Metode ini juga dikenal dengan metode perubahan selang-seling seiring. Apabila
suatu gejala yang dengan suatu cara mengalami perubahan ketika gejala lain
berubah dengan cara tertentu, maka gejala itu adalah sebab atau akibat dari gejala
lain, atau berhubungan secara sebab akibat. Metode ini bisa dicontohkan misalnya
dalam fenomena pasang surut air laut, diketahui bahwa pasang surut disebabkan
oleh tarikan gravitasi bulan.Tetapi kenyataan itu tidak dapat disimpulkan melalui
ketiga metode di atas. Kedekatan bulan saat air pasang bukan satu-satunya hal
yang berada saat kejadian (pasang) itu, tetapi masih ada bintang-bintang, di mana
bintang-bintang itu tidak dapat begitu saja disingkirkan, atau dikesampingkan
(dalam arti, tidak dipertimbangkan), begitu pula bulan juga tidak mungkin
disingkirkan dari langit demi penerapan suatu metode.
Maka yang dapat dikerjakan adalah mengamati kenyataan bahwa semua variasi
dalam posisi bulan selalu diikuti oleh variasi-variasi yang berkaitan dalam waktu dan
tempat air tinggi.Tempatnya atau bagian dari dunia yang terdekat dengan bulan
atau tempat yang paling jauh dari bulan mengandung banyak evidensi bahwa bulan
secara keseluruhan atau sebagian adalah sebab yang menentukan pasang
surut.Argumentasi ini disebut dengan metode perubahan selang-seling seiring.[16]
Contoh lainnya: air raksa dan panas, besar produksi dengan luas sawah, kesuburan
tanah dan hasil panen, disiplin dan motivasi terhadap kinerja, jumlah barang yang
ditawarkan dengan harga, dll