Anda di halaman 1dari 16

KAIDAH-KAIDAH KEBAHASAAN DALAM AL-QUR’AN

A. Pendahuluan
Al-Qur`an, sebagaimana lazimnya diimani oleh kaum muslimin, merupakan
kitab terakhir yang diturunkan kepada Nabi Penutup, Muhammad Saw., terutama
sebagai wahyu untuk membimbing umat manusia hingga akhir zaman. Al-Qur’an
diyakini sebagai satu-satunya kitab yang terjaga dari tahrîf (penyimpangan;
pengurangan dan penambahan), karena penjagaannya ditegaskan sendiri oleh
Allah Swt. dalam al-Qur’an. Semenjak pewahyuannya, al-Qur’an sudah hadir
sebagai suatu sumber gerakan pemikiran dan kebudayaan. Sebab, di satu sisi ia
selalu mengajak umat agar merenungi apa yang ada di dalamnya. 1 Di sisi lain, ia
juga menantang para pengingkarnya untuk membuat tandingan baginya. Dengan
kata lain, al-Qur’an berulang kali telah menyatakan dengan tegas tentang
kesamawian dan supra-rasionalitas eksistensinya.2
Pada masa pewahyuan, kitab suci ini turun dengan bahasa kaum yang menjadi
mukhatab (lawan bicara) pertamanya (yakni, bahasa Arab). Masyarakat Arab pada
waktu itu juga bisa menyaksikan langsung bagaimana Rasulullah Saw.
menjelaskan segenap ayat yang tidak mereka pahami, bahkan dalam bahasa
mereka. Dengan kata lain, meski al-Qur’an turun dengan bahasa Arab, namun
tidak pasti masyarakat Arab sendiri mengerti secara utuh apa yang dimaksud oleh
masing-masing ayat dalam al-Qur’an. Hal ini bisa dimaklumi, mengingat bahasa
merupakan produk budaya yang terus berkembang seiring perkembangan budaya
itu sendiri.
Oleh karena itu, wajar kiranya jika pada masa-masa berikutnya, terutama
pasca wafatnya Nabi Saw. sebagai penjelas utama dari al-Qur’an, berkembang
banyak kajian dan ilmu-ilmu baru berkenaan dengan al-Qur’an sebagai sebentuk
upaya dalam memahaminya. Terlebih lagi ketika kehidupan terus menghadirkan
berbagai macam fenomena yang tidak lagi sesederhana kondisi masyarakat Arab
sewaktu turunnya. Pada titik ini, diperlukan kajian yang lebih serius terhadap al-

1
QS. Shad: 29. Al-Qur’an dan Terjemahnya, CV. Toha Putra Semarang, 1989.
2
QS. al-Baqarah: 23. Ibid.

1
Qur’an, terutama dalam menemukan pedoman yang pas untuk konteks
kompleksitas persoalan hidup yang dihadapi oleh masyarakat pada setiap zaman.
Ilmu tafsir dan berbagai macam pembahasan yang ada di dalamnya, akhirnya
menjadi sangat penting. Jika pada masa awal turunnya al-Qur’an, umat bisa
menanyakan atau merujuk langsung kepada penjelasan Rasulullah untuk segala
hal yang tidak mereka pahami, maka pada masa ini diperlukan ijtihad tertentu
dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an tersebut sesuai dengan kaidah-kaidah
penafsiran yang disepakati oleh para ulama.
Kaidah ini menjadi penting, terutama ketika bahasa Arab sendiri, sebagai
bahasa al-Qur’an, pada masa kini sudah mengalami perkembangan ragam dan
bentuk yang cukup signifikan. Tidak lagi seperti masa awal turunnya al-Qur’an,
perluasan daerah Islam, adanya asimilasi budaya, dan interaksi sosial masyarakat
lintas bahasa, membuat bahasa Arab dan banyak bahasa lain di dunia mulai
tercerabut dari keasliannya. Oleh karena itu, kaidah yang dijelaskan dalam ilmu
tafsir untuk menafsirkan al-Qur’an menjadi signifikan untuk terus dibahas, agar
upaya penafsiran tidak melenceng dari koridor yang sudah ditetapkan.

B. Kaidah Dilalah al-Ibarah, Dilalah al-Isyarah, dan Dilalah al-Nas


1. Kaidah-kaidah Tasir
Kata Kaidah ( ‫ ) قاعدة‬atau bentuk jamaknya Qawaid ( ‫) قواعد‬, secara literal
berarti: asas, landasan, dasar, basis, atau fondasi suatu bangunan atau ajaran
agama dan sebagainya. Dalam pengertian yang lebih khusus, qaidah dapat
juga bermakna ajaran, garis panduan, formula, pola, atau metode. 3 Al-Jurjani,
dalam hal ini menyatakan bahwa qaidah adalah:
‫قضية كلية منطبقة على جميع جزئيتها‬
“Ketetapan yang kulli (menyeluruh, general) yang mencakup seluruh
bagian-bagiannya.4”

3
J.M. Cowan, Dictionary of Modern Written Arabic, German: Otto Harroswitz GmbH&Co,
Wiesbaden, 1979, hlm. 913.
4
Al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifat, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1403H/1983M, hlm. 171.

2
Kaidah-kaidah tafsir, dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah qawa’id al
tafsir ( ‫) قواعد التفسير‬. Kaidah-kaidah tafsir ini dapat diartikan sebagai pedoman
dasar yang digunakan secara umum guna mendapatkan pemahaman atas
petunjuk-petunjuk al-Qur’an. Pengembangan kaidah-kaidah tafsir telah
dilakukan oleh para ulama sejak awal munculnya ulum al-Qur’an. Di
antaranya usaha yang dilakukan oleh Abd ar-Rahman ibn Nasir al-Sa’adi
dalam kitabnya al-Qawaid al-Hisan li Tafsir al-Qur’an, Manna al-Qattan
dalam Mabahits Fi Ulum al-Qur’an dan lain-lain.
Berbagai kaidah yang disusun oleh para ulama ulum al-Qur’an tersebut
tidak selalu terdapat kesamaan konseptual antara yang satu dengan yang
lainnya. Ada yang mengembangkan kaidah-kaidah secara umum melalui
pendekatan pemahaman keagamaan secara umum seperti hukum dan tauhid,
seperti yang dilakukan oleh Abd ar-Rahman ibn Nasir al-Sa’adi. Ada pula
yang membahasnya secara teknis dan detail, seperti yang dilakukan oleh
Manna al-Qattan. Oleh karenanya sikap para ulama dan pemikir Islam
terhadap kaidah-kaidah ini juga beragam. Ada yang memandang kaidah tafsir
yang disusun oleh para ulama sebagai sesuatu yang mengikat dan harus diikuti
oleh para mufasir yang lain. Ada pula yang melihat hal tersebut sebagai
sesuatu yang tidak mengikat dan melihatnya hanya sebagai suatu prosedur
kerja seorang mufasir saja.
Oleh karena penafsiran merupakan suatu aktivitas yang senantiasa
berkembang, sesuai dengan perkembangan sosial, ilmu pengetahuan dan
bahasa, tampaknya kaidah-kaidah penafsiran akan lebih tepat jika dilihat
sebagai suatu prosedur kerja. Dengan pengertian ini, kaidah tersebut tidak
mengikat kepada mufasir lain agar menggunakan prosedur kerja yang sama.
Setiap mufasir berhak menggunakan prosedur yang berbeda asalkan memiliki
kerangka metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan.
Meskipun demikian keberadaan kaidah-kaidah penafsiran yang disusun
para ulama tetap penting. Kaidah-kaidah tersebut bisa dijadikan sebagai
kerangka metodologi dalam melakukan penafsiran dengan menggunakan

3
metode yang sama. Kaidah tersebut juga bisa digunakan sebagai referensi dan
pembanding dalam melakukan proses penafsiran.
Selain itu, fungsi paling penting dari kaidah ini adalah untuk memahami
dalalah (petunjuk) yang menghubungkan antara lafadz ayat dengan
maknanya. Hal ini dikarenakan aya-ayat al-Qur’an bisa secara jelas
menunjukkan maknanya, namun ada pula yang mengandung kemungkinan
akan pemaknaan yang lain. Dengan kata lain, dalalah (petunjuk) ayat tersebut
bisa berdasarkan pada bunyi (mantuq, arti tersurat), dan bisa juga berdasarkan
pada pemahaman (mafhum, arti tersirat). Kaidah inilah yang nantinya disebut
dengan kaidah Mantuq dan Mafhum. Kaidah-kaidah yang berhubungan
dengan pemaknaan lafadz ayat ini, merupakan kaidah kebahasaan untuk
memahami al-Qur’an yang seringkali tidak terlepas dari kajian kaidah-kaidah
dalam ilmu Ushul Fiqh.
Selain itu, bisa dijelaskan bahwa kaidah kebahasaan dalam memahami al-
Qur’an tersebut pada dasarnya adalah kaidah tentang dalālah al -alfāz ‘alā
al-ma’ānī wa al -ahkām (petunjuk lafal atas makna dan hukum), berupa
dalālah ‘ibārah, dalālat al -ishārah, dalālat al -nas/dalālat al-dalālah, dan
dalālat al iqtidā (versi Hanafiyah) atau dalālat al-mantūq dan dalālat al-
mafhūm (versi Shafi’iyah).

2. Kaidah Kebahasaan dalam al-Qur’an


Kaidah Mantuq dan Mafhum, sebagaimana dinyatakan di atas, dapat
ditemukan dalam fiqh syafi’iyah, sebagai salah satu kadiah kebahasaan dalam
mengambil makna hukum dari ayat-ayat al-Qur’an. Mantuq adalah sesuatu
(makna) yang ditunjukkan oleh lafadz menurut ucapannya, yakni penunjukan
makna berdasarkan materi huruf-huruf yang diucapkannya.5
Mantuq ini ada yang berupa nass, zahir, dan mu’awwal. Berikut adalah
penjelasan untuk masing-masing poin tersebut:

5
Lihat Jalaluddin al-Suyuthi al-Syafi’I, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, Juz II, Kairo: Mathba’ah
Hijazi, tt., hlm. 31.

4
1) Nass ialah lafadz yang bentuknya sendiri telah dapat menunjukkan
makna yang dimaksud secara tegas (sharih), tidak mengandung
kemungkinan makna lain. Misalnya firman Allah Swt.:
‫فمن لم يجد فصيام ثالثة أيام فى الحج و سبعة اذا رجعتم تلك عشرة كاملة‬
“maka wajib berpuasalah tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari
(lagi) apabila kamu telah pulang kembali itulah sepuluh hari yang
sempurna.”

Penyipatan “sepuluh” dengan “sempurna” telah menghilangkan


kemungkinan “sepuluh” ini diartikan secara metaforis. Ini merupakan
salah satu dari contoh kaidah dalalah al-nass dalam al-Qur’an. Kaidah
ini menurut sebagian ulama, jarang sekali ditemukan kasusnya dalam
al-Qur’an, terutama ketika ia dilihat dari bentuk lafaz yang mengacu
kepada bahasa. Namun, akan berbeda ketika lafaz tersebut disertai
qarinah haliyah dan maqaliyah.
2) Zahir ialah lafadz yang menunjukkan sesuatu makna yang segera
dipahami ketika ia diucapkan tetapi disertai kemungkinan makna lain
yang bersifat lemah. Zahir, dengan demikian sama dengan nass dalam
hal penunjukkannya kepada makna yang berdasarkan pada ucapan.
Namun, dalalah al-zahir ini berbeda dengan dalalah al-nass karena
dalalah al-nass hanya menunjukkan satu makna dan secara tegas tidak
mengandung kemungkinan makna lain. Sedangkan dalalah al-zahir di
samping menunjukkan satu makna ketika diucapkan, juga disertai
kemungkinan makna lain, meskipun lemah. Misalnya firman Allah
Swt.:
‫فمن اضطر غير باغ و ال عاد‬

Lafaz al-bag ( ‫ ) الباغي‬digunakan untuk makna “al-jahil” (bodoh, tidak


tahu) dan “az-zalim” (melampaui batas). Tetapi pemakaian untuk
makna kedua lebih tegas dan popular sehingga makna inilah yang lebih
kuat (rajah), sedang makna yang pertama lemah (marjuh).

5
3) Mu’awwal adalah lafaz yang diartikan dengan makna marjuh karena
ada sesuatu dalil yang menghalangi dimaksudkannya makna yang
rajah. Mu’awwal ini berbeda zahir; zahir diartikan dengan makna yang
rajah sebab tidak ada dalil yang memalingkannya kepada yang marjuh,
sedang mu’awwal diartikan dengan marjuh, karena ada dalil yang
memalingkannya dari makna yang rajih. Akan tetapi masing-masing
kedua makna itu ditunjukkan oleh lafaz menurut bunyi ucapnya.
Misalnya firman Allah Swt.:
‫و اخفض لهما جناح الذل من الرحمة‬

Lafaz “janah al-dzulli” ( ‫ ) جناح الذلل‬diartikan dengan “tunduk, tawadhu,


dan bergaul secara baik”, dengan kedua orang tua,” tidak diartikan
“sayap”, karena mustahil manusia mempunyai sayap.

Dalam kajian Mantuq juga kita akan menemukan bahasan tentang Dalalah
Iqtida’ dan Dalalah Isyarah. Dalalah Iqtida’ dapat diartikan bahwa kebenaran
petunjuk sebuah lafaz kepada makna terkadang bergantung pada sesuatu yang
tidak disebutkan. Sedangkan Dalalah Isyarah berarti petunjuk tersebut tidak
bergantung pada sesuatu yang tidak disebutkan, tetapi lafaz itu sudah
menunjukkan makna yang tidak dimaksud pada mulanya.
Contoh Dalalah Iqtida’ adalah firman Allah Swt.: “Maka jika di antara
kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan, maka (wajiblah berpuasa)
sebanyak hari yang ditinggalkan pada hari-hari yang lain.”6 Ayat ini
memerlukan suatu lafaz yang tidak disebutkan, yakni ‫( ف„„أفطر فع„„دة‬lalu ia
berbuka, maka …), sebab kewajiban qada puasa bagi musafir itu hanya
apabila ia berbuka dalam perjalanannya. Sedang jika ia tetap berpuasa, maka
baginya tidak ada kewajiban qada.7
Adapun contoh dari Dalalah Isyarah adalah firman Allah Swt.:
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri
kamu; mereka adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi
6
QS. al-Baqarah: 184. Op.Cit., Al-Qur’an dan Terjemahnya, 1989.
7
Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, Litera Antar Nusa, Jakarta, tt., hlm. 360.

6
mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu,
karena itu Allah mengampunimu dan memberi maaf kepadamu. Maka
sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah
untukmu, dan makan minumlah hingga jelas bagi kamu benang putih dari
benang hitam, yaitu fajar..”8 Ayat ini menunjukkan sahnya puasa bagi orang
yang pagi-pagi masih dalam keadaan junub, sebab ayat ini membolehkan
bercampur sampai dengan terbit fajar sehingga tidak ada kesempatan untuk
mandi. Keadaan demikian menuntut atau memaksa kita berpagi dalam
keadaan junub. Membolehkan melakukan penyebab sesuatu berarti
membolehkan pula melakukan sesuatu itu. Maka membolehkan “bercampur”
sampai pada bagian waktu terakhir dari malam yang tidak ada lagi kesempatan
untuk mandi sebelum terbit fajar, berarti membolehkan pula berpagi dalam
keadaan junub.
Dengan demikian kaidah Mantuq dalam al-Qur’an mencakup: 1) kaidah
dalalah al-nass; 2) kaidah dalalah al-zahir; 3) kaidah dalalah mu’awwal; 4)
kaidah dalalah Iqtida’; dan 5) kaidah dalalah Isyarah.
Adapun kaidah Mafhum adalah makna yang ditunjukkan oleh lafaz tidak
berdasarkan pada bunyi ucapan.9 Ia terbagi menjadi dua, yakni:
1) Mafhum muwafaqah ialah makna yang hukumnya sesuai dengan mantuq.
Mafhum ini ada dua macam:
a) Fahwal khitab, yaitu apabila makna yang dipahami itu lebih harus
diambil hukumnya daripada mantuq. Misalnya keharaman mencaci-
maki dan memukul kedua orang tua yang dipahami dari ayat: “Maka
sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan
‘ah’…”.10 Mantuq ayat ini adalah haramnya mengatakan “ah”, oleh
karena itu keharaman mencaci maki dan memukul lebih pantas diambil
karena keduanya lebih berat.
b) Lahnul khitab, yaitu apabila hukum mafhum sama nilainya dengan
hukum mantuq. Misalnya dalam firman Allah: “Sesungguhnya orang-
8
QS. al-Baqarah: 187. Op.Cit., al-Qur’an dan Terjemahnya, 1989.
9
Op.Cit., Jalaluddin, hlm. 32.
10
QS. al-Isra’:23. Ibid.

7
orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya
mereka itu menelan api sepenuh perutnya…” (an-Nisa’ [4]: 10). Ayat
ini menunjukkan pula keharaman membakar harat anak yatim atau
menyia-nyiakannya dengan cara pengrusakan yang bagaimanapun
juga. Dalalah demikian disebut lahnul Khitab, karena ia sama nilainya
dengan memakannya sampai habis.

Kedua mafhum ini disebut mafhum muwafaqah karena makna yang tidak
disebutkan itu hukumnya sesuai dengan hukum yang diucapkan, meskipun
hukum itu memiliki nilai tambah pada yang pertama dan sama pada yang
kedua. Dalalah dalam mafhum muwafaqah itu termasuk dalam kategori
“mengingatkan kepada yang lebih tinggi dengan yang lebih rendah atau
kepada yang lebih rendah dengan yang lebih tinggi.” Kedua macam ini
terkumpul dalam firman Allah Swt.: “Dan di antara ahli kitab ada orang
yang jika kamu mempercayakan kepadanya harta yang banyak,
dikembalikannya kepadamu dan diantara mereka ada orang yang jika kamu
mempercayakan satu dinar, tidak akan dikembalikannya kepadamu”.11
Kalimat pertama, “dan di antara ahli kitab ada orang yang jika kamu
mempercayakan kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya
kepadamu,” termasuk peringatan bahwa ia akan mengembalikan amanat
kepadamu sekalipun hanya satu dinar atau kurang. Sedang kalimat kedua,
“dan diantara mereka ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya
satu dinar, tidak dikembalikannya kepadamu”, termasuk peringatan bahwa
kamu tidak dapat mempercayakannya harta yang banyak.12

2) Mafhum mukhalafah, ialah makna yang berbeda hukumnya dengan


mantuq. Mafhum ini ada empat macam:
a) Mafhum sifat; yang dimaksud ialah sifat ma’nawi, seperti: 1) musyaq
(kata turunan) dalam ayat: “Hai orang-orang beriman, jika dating

11
QS. Ali ‘Imran: 75. Ibid.
12
Op.Cit., Manna Khalil al-Qattan, hlm. 363.

8
kepadamu orang fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan
teliti…”.13 Pengertian yang dipahami dari ungkapan kata “fasiq”
(orang fasik) ialah bahwa orang yang tidak fasik tidak wajib diteliti
beritanya. Ini berarti bahwa berita yang disampaikannya oleh seorang
yang adil wajib diterima. Dan seperti hal (keterangan keadaan),
misalnya firman Allah Swt.: “Hai orang-orang beriman, janganlah
kamu membunuh binatang buruan ketika kamu sedang berikhram.
Dan barang siapa diantara kamu membunuhnya dengan sengaja,
maka dendanya ialah mengganti dengna binatang ternak seimbang
dengan buruan yang dibunuhnya…”14. Ayat ini menunjukkan tiadanya
hukum bagi orang yang membunuhnya karena tak sengaja. Sebab
penentuan “sengaja” dengna kewajiban membayar denda menunjukkan
tiadanya kewajiban membayar denda dalam pembunuhan binatang
buruan tidak disengaja. Juga seperti ‘adad (bilangan), misalnya:
“Maka deralah mereka (yang menuduh zina itu) delapan puluh kali
dera…”15 Mafhum-nya ialah mereka tidak boleh didera kurang atau
lebih dari delapan puluh kali.
b) Mafhum syarat, seperti firman Allah Swt.: “Dan jika mereka (istri-
istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada
mereka nafkahnya.”16 Makna atau mafhum-nya ialah istri yang dicerai
tetapi tidak sedang hamil, tidak wajib diberi nafkah.
c) Mafhum gayah (maksimalitas); misalnya: “kemudian jika suami
mentalaknya (sesudah talak kedua), maka perempuan itu tidak halal
lagi baginya hingga ia kawin dengan suami yang lain…” 17 Mafhum-
nya ialah, istri tersebut halal bagi suami pertama sesudah ia nikah
dengan suami yang lain, dengan memenuhi syarat-syarat pernikahan.
d) Mafhum Hasr (pembatasan, hanya). Misalnya firman Allah Swt.:
“hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah
13
QS. al-Hujurat: 6. Op.Cit., al-Qur’an dan Terjemahnya, 1989.
14
QS. al-Maidah: 95. Ibid.
15
QS. an-Nur: 4. Ibid.
16
QS. at-Talaq: 6. Ibid.
17
QS. al-Baqarah: 230. Ibid.

9
kami memohon pertolongan.”18 Mafhumnya ialah bahwa selain Allah
tidak disembah dan tidak dimintai pertolongan. Oleh karena itu, ayat
tersebut menunjukkan bahwa hanya Dia-lah yang berhak disembah dan
diminta pertolongan.19

Sedangkan kaidah kebahasaan al-Qur’an untuk proses pemaknaan lafaz


guna mencari makna yang paling tepat, menurut hanafiyyah, meliputi: berupa
dalālah ‘ibārah, dalālat al -ishārah, dalālat al -nas/dalālat al-dalālah, dan
dalālat al iqtidā. Penunjukan nash Al-Qur’an terhadap suatu hukum
adakalanya dengan medium lafaz dan adakalanya tidak dengan medium lafaz.
Di bawah ini akan dijelaskan masing-masing dalalah menurut hanafiyyah.
1) Dalalah al-Ibarah atau Ibaratun Nash
Dalalah al-Ibarah adalah petunjuk lafadz kepada suatu arti yang mudah
dipahami baik dimaksudkan untuk arti asli maupun untuk arti tambahan.
Abu Zahrah dalam hal ini menyatakan bahwa dalalah al-ibarah adalah:
‫وهي المعنى المفهوم من الفظ سواء اكان نصا او ظاهرا‬

“Makna yang dapat dipahami dari apa yang disebut dalam lafaz, baik
dalam bentuk nash maupun zhahir.”20

Penunjukkan lafaz makna dalam keadaan sesuai dengan yang


dimaksud secara asli, meskipun dalam bentuk lazim (lafaz jenis inilah
yang diperhitungkan oleh ulama ushul dalam nash) atau bukan dalam
bentuk asli. Definisi di atas mengandung arti bahwa makna yang dimaksud
dapat dipahami dari lafaz yang disebutkan, apakah dalam bentuk
penggunaan menurut asalnya (nash) atau bukan menurut aslinya (zhahir).
Contoh firman Allah Swt.: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku
adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi:
dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku

18
QS. al-Fatihah: 5. Ibid.
19
Op.Cit., Manna Khalil al-Qatta, hlm. 363-365.
20
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Beirut: Darul Fikr, 1958, hlm 57.

10
adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.
yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”21
Ayat diatas menurut ibarat nash atau menurut yang tersurat, sesuai
dengan tujuan semula yaitu bolehnya mengawini perempuan sampai empat
orang bila terpenuhi syarat adil. Lafadz dalam ayat ini menurut asalnya
memang menunjukkan hal tersebut. Di samping memberi petunjuk secara
jelas dan langsung, ayat ini secara tidak langsung (bukan menurut maksud
semula/ secara zhahir-nya) menunjukkan bahwa perkawinan itu hukumnya
adalah mubah, meskipun tujuan ayat ini bukan sekedar itu.
2) Dalalah Isyarah atau Isyaratun Nash
Dalalah Isyarah adalah petunjuk lafaz kepada arti yang dipahami dengan
jalan mengambil kelaziman (kemestian) dari arti yang dipahami dengan
dalalah ibarah. Abu Zahrah dalam hal ini juga menyatakan bahwa ia
adalah:
‫ما يدل عليه اللفظ بغير عبارة‬
“Apa yang ditunjuk oleh lafaz melalui ibarahnya.”22

Dalalah isyarah dengan demikian ialah apa yang diungkapkan


memberi arti kepada suatu maksud namun tidak menurut apa yang secara
jelas disebutkan dalam lafaz (ungkapan) itu. Lafaz menunjukkan kepada
suatu arti tertentu, tetapi arti tersebut bukan merupakan maksud semula
dari lafaz tersebut. Contohnya adalah firman Allah Swt.: “...Makan
minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu
fajar...”23
Ayat di atas menurut ibaratun nash-nya mengandung arti bolehnya
makan dan minum serta bercampur sepanjang malam. Isyarat ayat tersebut
juga mengandung beberapa maksud antara lain:
Pertama, seseorang yang masuk waktu subuh dalam keadaan junub
(sudah bercampur tetapi belum mandi) sah puasanya hari itu; karena

21
QS. An-Nisa’: 3. Op.Cit., al-Qur’an dan Terjemahnya, 1989.
22
Op.Cit., Abu Zahrah, hlm. 61.
23
QS. al-Baqarah: 187. Op.Cit., al-Qur’an dan Terjemahnya, 1989.

11
sebelum ayat itu ada firman Allah Swt.: ( ‫ ) ثم أتم„„وا الص„„يام الى اليل‬yang
mengadung arti bahwa bila proses bercampur dilakukan di akhir waktu
malam, maka mandinya dilakukan setelah terbit fajar. Hal ini berarti ia
dalam keadaan junub.
Kedua, niat puasa yang dilakukan sesudah terbit fajar adalah sah
karena lafaz summa ( ‫ ) ثم‬adalah untuk maksud “akibat” yang dilakukan
kemudian. Bila disuruh melakukan puasa sesudah terbit fajar yang
dilakukan dengan niat dan menahan diri, maka dapat diketahui sahnya niat
sesudah terbit fajar.
Ketiga, rukun puasa itu adalah menahan dari tuntutan dua nafsu, yaitu
nafsu makan dan nafsu syahwat, karena perbuatan-perbuatan tersebut
hanya boleh dilakukan sebelum terbit fajar. Hal itu mengandung arti
bahwa semua yang disebut sebelum terbit fajar menjadi terlarang, yaitu
harus menahan diri dari semua itu.24
3) Dalalah al-nass
Dalalah al-nass adalah petunjuk lafaz kepada berlakunya suatu hukum
yang disebut oleh lafaz itu kepada peristiwa lain yang tidak disebutkan
hukumnya oleh suatu lafaz, sebab illah yang dipahami dari lafaz itu sama
dengan illah suatu peristiwa yang tidak disebutkan hukumnya. Illah dalam
dalalah al-nass adalah yang dipahami dari pengertian lafaz itu sendiri, dan
bukan illah yang dihasilkan dari ijtihad. Abu Zahrah menyatakan bahwa ia
adalah:
‫داللة اللفظ عل ثبو ت حكم ما ذكر لما سكت عنه لفهم المنا ط بمجرد فحم اللغة‬
“Dilalah lafazh yang disebutkan dalam penetapan hukum adalah
untuk yang tidak disebutkan karena ada hubungannya yang dapat
dipahami berdasarkan pemahaman dari segi bahasa.”

Contoh dalalah al-nass ini adalah firman Allah Swt.: “… maka sekali-
kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”…”
Arti yang dapat dipahami dengan dalalah al-nass dari ayat tersebut, yaitu

24
Daly Peunoh dan Quraisy Shihab, Ushul Fiqh Kaidah-Kaidah Istinbath dan Ijtihad, Jakarta:
Proyek Pembinaan Prasarana Dan Sarana Perguruan Tinggi Agama, 1986, hlm 75.

12
larangan berkata kasar kepada kedua orang tua dan illah larangannya
tersebut, yaitu “menyakitkan” yang diambil dari pengertian yang
terkandung dalam lafadz perkataan “ah”. Illah ini (menyakitkan) lebih
pantas terwujud dari perbuatan-perbuatan seperti memaki-maki, memukul
dan yang serupa atau lebih dari itu. Oleh karena itu dengan dalalah al-
nass dapat ditetapkan bahwa perbuatan-perbuatan tersebut di atas memang
dilarang.
4) Dalalah al-Iqtida’
Dalalah al-iqtidha’ adalah yang mengandung suatu pengertian dalam
sesuatu hal yang tidak disebutkan lafaznya untuk ketetapan artinya
diperlukan suatu ungkapan (lafaz) yang ditakdirkan (yang dianggap tepat).
Abu Zahrah dalam hal ini mendefinisikannya sebagai:
‫داللة اللفظ على كل أمر ال يستقيم المعنى اال بتقد يره‬
“Penunjukan lafaz kepada setiap sesuatu yang tidak selaras
maknanya tanpa memunculkannya.”25

Dalalah Iqtida’ ini berarti bahwa dalam suatu ucapan ada suatu makna
yang sengaja tidak disebutkan karena adanya anggapan bahwa orang akan
mudah mengetahuinya, namun dari susunan ucapan itu terasa ada yang
kurang sehingga ucapan itu dirasakan tidak benar kecuali bila yang tidak
tersebut itu dinyatakan.

3. Tingkatan Kekuatan Dalalah


Empat macam dalalah yang telah dikemukakan diatas dapat dijadikan
pegangan (hujjah) untuk menentukan arti suatu nash dalam suatu penetapan
hukum. Hanya saja kekuatan di antara empat macam dalalah tersebut
bertingkat-tingkat dengan urutan seperti yang telah disebutkan, yakni: 1)
dalalah al-ibarah; 2) dalalah al-isyarah; 3) dalalah al-nass; dan 4) dalalah al
iqtidha’. Berdasarkan urutan tersebut, apabila terjadi suatu pertentangan
25
Op.Cit., Abu Zahrah, hlm. 65.

13
peristiwa antara arti yang dipahami dengan dalalah yang satu dengan arti yang
dipahami dengan dalalah yang lain, maka didahulukan arti yang dipahami
dengan dalalah yang lebih kuat.
Sebagai contoh pertentangan antara arti yang dipahami dengan dalalah
isyaratun nash dari ayat-ayat berikut:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh;”26

Arti yang dapat dipahami dengan dalalah al-ibarah dari ayat di atas, yaitu
bahwa pembunuh, baik dengan sengaja ataupun tidak sengaja wajib dikenai
hukuman qishash. Sedangkan dalam ayat lain disebutkan:
“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja,
maka balasannya ialah Jahannam…”27

Arti yang dipahami dengan dalalah al-isyarah dari ayat di atas, yaitu
bahwa pembunuh dengan sengaja tidak dikenai qishash, sebab Allah SWT
telah menentukan balasannya. Dengan demikian terjadilah pertentangan antara
arti yang dipahami dengan dalalah al-ibarah dari ayat sebelumnya, dengan
arti yang dipahami dengan dalalah al-isyarah ayat ini.
Pada kasus seperti ini, dipilih arti bahwa pembunuhan seorang muslim
dengan sengaja wajib di-qishash, sebab hukum ini diambil dengan
menggunakan dalalah al-ibarah, di mana ia harus didahulukan dari arti yang
dipahami dengan dalalah-dalalah yang lain termasuk arti yang dipahami
dengan dalalah al-isyarah.28

C. Penutup
Kajian kebahasaan dalam tafsir al-Qur’an memiliki perkembangan yang terus
meningkat. Hal ini bukan saja dikarenakan kondisi dari bahasa itu sendiri yang
terus berkembang sebagai sebuah produk budaya, melainkan juga dikarenakan
peristiwa yang mengiringi pemahaman dan penafsiran atas ayat-ayat al-Qur’an

26
QS. al-Baqarah: 178. Op.Cit., al-Qur’an dan Terjemahnya, 1989.
27
QS an-Nisa’: 93. Ibid.
28
Amir Syariffudin, Ushul Fiqh 2, Jakarta: Kencana, 2009, hlm. 89.

14
juga terus bertambah kompleks. Beberapa kaidah yang disebutkan sebelumnya,
merupakan bentuk-bentuk kaidah kebahasaan dalam penafsiran ayat-ayat al-
Qur’an yang berhubungan dengan ilmu Ushul Fiqh, untuk mengambil kesimpulan
hukum yang terdapat pada lafaz ayat.

15
Daftar Pustaka
Al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifat, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1403H/1983M.
Al-Qur’an dan Terjemahnya, CV. Toha Putra Semarang, 1989.
Amir Syariffudin, Ushul Fiqh 2, Jakarta: Kencana, 2009.
Daly Peunoh dan Quraisy Shihab, Ushul Fiqh Kaidah-Kaidah Istinbath dan
Ijtihad, Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana Dan Sarana Perguruan Tinggi
Agama, 1986.
Jalaluddin al-Suyuthi al-Syafi’I, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, Juz II, Kairo:
Mathba’ah Hijazi, tt.
J.M. Cowan, Dictionary of Modern Written Arabic, German: Otto Harroswitz
GmbH&Co, Wiesbaden, 1979.
Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, Litera Antar Nusa, Jakarta,
tt..
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Beirut: Darul Fikr, 1958.

16

Anda mungkin juga menyukai