Oleh:
Hasan Ayatullah
Ya' Hidayat
A. Pendahuluan
Pentingnya kaidah dalam memahami makna al-Qur’an bukanlah
sesuatu yang hanya sekedar formalitas saja, melainkan ia merupakan
keharusan dalam upaya mengetahui makna dan kedudukan sebuah ayat al-
Qur’an sehingga darinya kita dapat lebih memahami serta dapat
menjabarkannya ke dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana diketahui
bahwa al-Qur’an sangat kaya akan makna yang masih memerlukan
pengkajian untuk mengetahui apa dan bagaimana hakikat kandungannya.
Untuk itu diperlukan beberapa kaidah-kaidah tafsir dalam memahaminya.
Kaitannya dengan kaidah-kaidah tafsir, tetap saja tidak bisa lepas
dari faktor kebahasaan yang menjadi instrumen utama penafsiran. Bahkan
para ulama menarik kesimpulan jika syarat mutlak untuk memahami
makna dan pesan dari al-Qur’an adalah memiliki kemampuan dalam
berbahasa, utamanya Bahasa arab.1 Hal ini dikarenakan orang yang
menfasirkan al-Qur’an tanpa memahami kaidah bahasa arab akan
cenderung menyimpang dalam penafsirannya sehingga keluar dari makna
lafadz al-Qur’an itu sendiri.2
Karena itulah, kajian bahasa yang dalam konteks tafsir ini yaitu
bahasa arab penting untuk dilakukan dalam rangka mencegah terjadinya
penyelewengan atau penyimpangan makna dari makna sebenarnya pada
makna yang salah. Maka para ulama kemudian menyusun kaidah-kaidah
tafsir yang berkenaan dengan bahasa arab, atau dikenal sebagai kaidah-
kaidah kebahasaan (Al-Qawaa’id Al- Lughawiyah). Tujuannya adalah
memberikan batasan agar penafsiran tidak serampangan dan melenceng
jauh dari makna asal yang dikehendaki dari ayat al-Qur’an itu sendiri.3
Diantara kaidah kebahasaan yang penting untuk dibahas yaitu yang
berkiatan dengan sifat dari kata nomina (kata benda), apakah definitif
ataukah tidak definitif. Yang dalam keilmuan nahwu (grammar bahasa
arab) dikenal dengan istilah ma’rifah (kata benda definitif) dan nakirah
(kata benda tidak definitif). Yang masing-masing diantara keduanya akan
memberikan konsekuensi makna yang berbeda terhadap kalimat Al-
Qur’an.
Secara khusus, makalah ini membahas mengenai isim nakirah atau
kata benda tidak tentu (definitif) yang terdapat dalam Al-Qur’an. Juga
1
M. Quraisy Syihab, Kaidah Tafsir (Tanggerang: Lentera Hati, 2013), h. 35.
2
Ali Mutakin, “Kedudukan Kaidah Kebahasaan dalam Kajian Tafsir”, Al-
Bayan: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Tafsir, No. 2, Desember 2016, h. 86.
3
Ali Mutakin, “Kedudukan Kaidah Kebahasaan dalam Kajian Tafsir”, h. 89.
2
4
M. Qurasih Shihab, Kaidah Tafsir (Tangerang: Lentera Hati, 2013), h. 6-7
5
M. Qurasih Shihab, Kaidah Tafsir, h. 8
6
Beberapa istilah yang digunakan untuk menunjukan bahwa bahasa Al-Qur’an
adalah bahasa Arab "arabiyyan" Lihat QS. Yusuf [12]: 2, QS. Al-Ra'd [13]: 37, QS.
Zukhruf [43]: 3, QS. Al-Ahqaf [46]: 12. "bi lisanin 'arabiyyin mubin" lihat QS. Al-Syu'ara
[26]: 195, "arabiyyan ghaira dzi 'iwaj" lihat QS. Al-Zumar [39]: 28
7
M. Qurasih Shihab, Kaidah Tafsir, h. 35
3
8
Ibn katsir, Tafsir Alquranal-Adzim Vol. I (Kairo: Maktabah Aulad al-Syaikh li
al-Turats, 2000), h. 77
9
Hal ini terlihat pada saat sholat, tidak sah sholat seseorang yang tidak
menggunakan ucapan-ucapan tertentu yang menggunakan bahasa Arab. Seperti ketika
takbirat al ihram, harus menggunakan lafadz ربكا للهاyang itu tidak boleh diganti dengan
bahasa lain meskipun makna dan artinya sama.
10
H.M. Muchoyyar, “kata pengantar” dalam Nor Ichwan, Memahami Bahasa
Alquran (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2002), h. X
11
Lihat QS. [29]: 48, [5]: 15
4
12
Iskandar, “Studi Alquran Dan Integrasi Keilmuan: Studi Kasus Uin Sunan
Gunung Djati Bandung.”1, Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya, 1, no. 1
(2016), h. 89.
13
Quraish Shihab, Membumikan Alquran (Bandung: Mizan, 1997), h. 79
14
Lihat Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun (Mesir: Dar
al-Kutub al-Haditsah, 1972) , h. 47
5
15
Mujahid Mustafa Bahjat and Mosidi Sally Bin Saleh, “Sheikh Bin Wan Ismail
Wan Abdul Qadir (D. 1965) And His Efforts in the Field of Islamic Faith,” International
Journal of Nusantara Islam 1, no. 1 (2013): h. 106.
16
Badruddin Muhammad, Syarh Ibn Nadzim ‘ala Alfiyat Ibn Malik (Beirut: Daar
Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, 2000), h. 33.
17
Musthafa Al-Ghulayaini, Jaami’ Ad-Durus Al-‘Arabiyyah (Beirut: Al-
Maktabah Al-‘Ashriyah, 1993), h. 147
18
Sa’id bin Muhammad Al-Afghani, Al-Muujaz fi Qawaa’id Al-Lughah Al-
‘Arabiyyah (Beirut: Daar El-Fikr, 2003), h. 101
6
َيََعلَ ٰى ِ ِ ِِ ِ َ اَّلل َخلَقَ ُك َّل َدابٍَّة َِمن َم ٍاءََۖفَ ِمْن هم
َ َم َْن َْمَيَِْش
َ يََعلَ ٰىَبَْطْنِه ََومْن ُه ْم
َ َم ْنَْمَيَِْش
َ ُْ َ ْ َ َ َ َُّ َو
َش ْي ٍءَقَ ِد ٌَير
َ ََعلَ ٰىَ ُك ِل َّ َماَيَ َِشاءََُۚإِ َّن
ََ ََاَّلل َ َُاَّلل
َّ َۚيْلُ ُق
ََ َيََعلَ ٰىَأ َْربَ ٍع ِ
َ َم ْنَْمَيَِْش
ِ ِ ََِرجل
َ ي ََومْن ُه ْمْْ
Artinya:
“Dan Allah telah menciptakan semua jenis hewan dari air, maka sebagian
dari hewan itu ada yang berjalan di atas perutnya dan sebagian berjalan
dengan dua kaki sedang sebagian (yang lain) berjalan dengan empat kaki.
19
Jalaludin As-Shuyuti, Al-Itqan fi ‘Uluum Al-Qur’an (Kairo: Al-Haiah Al-
Mishriyah Al-‘Aammah li Al-Kitab, 1974), vol. 2, h. 347.
20
Ibnu ‘Aqilah, Az-Ziyadah wa Al-Ihsan fi ‘Ulum Al-Qur’an (Sharjah: Markaz
Al-Buhuts wa Ad-Dirasat Jaami’at Asy-Syariqah, 1427H), vol. 8, h. 195.
7
Pada ayat terdapat kata َماءyang bermakna air. Maksud dari air di
sini adalah air mani atau sperma. Maka ayat ini mengindikasikan bahwa
Allah SWT menciptakan berbagai macam hewan melata dari berbagai
macam air mani. Maka untuk merangkum seluruh jenis air mani tersebut
digunakanlah kata berjenis nakirah.21
Fungsi ketiga menunjukan suatu hal yang besar (at-ta’dzim) dan
serius, maksudnya yaitu isim nakirah memberikan makna pengagungan
terhadap suatu hal. Contohnya adalah surat Al-Baqarah ayat 279 :
ٍ َي
َُخلَ َق َِه َ ِ ِم ْنَأ
َ َش ْيء
Artinya: “Dari apakah Allah menciptakannya?
Pada ayat ini terdapat isim nakirah yaitu kata شيْئ
َ (sesuatu), yang
mengindikasikan pertanyaan ini bermaksud untuk menyadarkan manusia
bahwa mereka tercipta dari sesuatu yang remeh bahkan dipandang hina.25
Fungsi keenam yaitu menunjukan suatu hal yang sedikit, misalnya
saja Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 72 :
َاَوَم َساكِ َن ِ اَاَل َْْنَارَخالِ َِد ِ ِ ََْ َّات ٍ اتَجن ِ ِ ِ ِ َّ وَع َد
َ ينَف َيهَ َ ُ ْ َت ِريَم ْنَ ََْتت َه َ َي ََوالْ ُم ْؤمن
َ َاَّللَُالْ ُم ْؤمن ََ
َُ َُه َوَالْ َف ْوُُزَالْ َع ِظ ِ َِّ ضوا ٌن َِمن ِ ٍ َ َّات ِ طَيِبةً َِِفَجن
يم ُ َكَ َاَّللَأَ ْك َُرَبََُۚ َٰذل َ َ ْ ََع ْدنَ ََۚور َ َ
Artinya:
“Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan,
(akan mendapat) surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, kekal
mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga
24
Badruddin Az-Zarkasyi, Al-Burhan fi ‘Ulum Al-Qur’an (Kairo: Daar Ihya Al-
Kutub Al-‘Arabiyyah ‘Isa Al-Baab Al-Halabi, 1957), vol. 4, h. 92.
25
Badruddin Az-Zarkasyi, Al-Burhan fi ‘Ulum Al-Qur’an, h. 92.
9
'Adn. Dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan
yang besar.
Dalam ayat ini terdapat kata ( ِرض َْوانkeridhaan), yang mana makna
ayat ini adalah ridha Allah SWT yang sedikit saja sudah lebih besar
daripada syurga dan segala yang ada di dalamnya.
E. Penerapan Kaidah Isim Nakirah
1. Menunjukan Makna Tunggal
ََالرِح ُيم ٰ ِ ٰ ٰ
ُ َوإِ ََلُ ُك ْمَإِلَِهٌ ََواح ٌدَ َََۖلَإِلَِهََإََِّل
ٰ ْ َُه َوَا َّلر
َّ حَ ُن
Artinya:
“Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan
melainkan Dia Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”.
ٰ
Kata ٌ( إِلََِهTuhan) pada ayat mengindikasikan makna tunggal.
Hal ini dikuatkan dengan konteks ayat yang membahas tentang
keesaan Allah SWT. Hal ini dijelaskan dengan kata selanjutnya yaitu
احد
ِ َوyang berarti esa atau tunggal. Adapula yang menyebutkan
maksudnya adalah menunjukan jenis.26
Contoh kedua terdapat dalam surat Ar-Ra’ad ayat 36 :
26
Ibnu ‘Asyur At-Tunisi, At-Tahrir wa At-Tanwir (Tunis: Ad-Daar At-
Tunisiyah li An-Nasyr, 1984), vol. 2, h. 75.
10
َِ َْجَنعلَلَِه َِمنَقَبل
َْسيَا ْ َيَ َُزَك ِرَّيَإَِّنََّنُبَ ِِش ُرََكَبِغُ ََلٍم
ُ ْ ْ ُ ْ َ َْ َْي َ ٰٰىَيَ ََل
ََْ َُاْسُِه
Artinya:
“Hai Zakaria, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu
akan (beroleh) seorang anak yang namanya Yahya, yang sebelumnya
Kami belum pernah menciptakan orang yang serupa dengan dia.
27
Jamaluddin Al-Qasimi, Mahaasin At-Ta’wil (Beirut: Daar Al-Kutub Al-
‘Ilmiyyah, 1418H), vol. 6, h. 289.
28
Nawawi Al-Bantani, Marah Labid li Kasyfi Ma’ani Al-Qur’an Al-Majid
(Beirut: Daar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1417H), vol. 2, h. 4.
11
Artinya:
“Maka mulailah Yusuf (memeriksa) karung-karung mereka sebelum
(memeriksa) karung saudaranya sendiri, kemudian dia mengeluarkan
piala raja itu dari karung saudaranya. Demikianlah Kami atur untuk
(mencapai maksud) Yusuf. Tiadalah patut Yusuf menghukum
saudaranya menurut undang-undang raja, kecuali Allah
menghendaki-Nya. Kami tinggikan derajat orang yang Kami
kehendaki; dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada
lagi Yang Maha Mengetahui.
Pada ayat ini terdapat kata ( َع ِليمyang berpengetahuan), dimana
kata ini ditafsirkan oleh Ibnu Abbas bahwa maksudnya adalah Allah
SWT yang maha mengetahui melampaui seluruh orang yang
berilmu.29 Ini menunjukan bahwa isim nakirah tersebut bermakna
tunggal, walau ada pula yang menyebut bermakna pengagungan.30
2. Menunjukan Jenis
Pada ayat terdapat kata ٌِغ َِش َاوَة (penutup), makna dari ayat
sendiri yaitu bahwa pada pendangan atau pengelihatan orang yang
kafir itu telah tertutup dengan suatu jenis penutup yang belum
diketahui oleh manusia.31
Contoh kedua terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 48 :
29
Muhammad Ali As-Shobuni, Shofwat At-Tafasir (Kairo: Daar Ash- Shobuni
li At-Thiba’ah wa An-Nasyr wa At-Tauzi’, 1997), vol. 2, h. 57.
30
Ibnu ‘Asyur At-Tunisi, Op.Cit., vol. 13, h. 33.
31
Nashiruddin Al-Baidhawi, Anwar At-Tanzil wa Asrar At-Ta’wil (Beirut: Daar
Ihya At-Turats Al-‘Arabi, 1418H), vol. 1, h. 43.
12
32
Abul Abbas Assamin, Ad-Durr Al-Mashun fi Ulum Al-Kitab Al- Maknun
(Damaskus: Daar Al-Qolam, t.th.), vol. 1, h. 335.
33
Nidzamuddin An-Naisaburi, Gharaaib Al-Qur’an wa Raghaaib Al- Furqan
(Beirut: Daar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1416H), vol. 5, h. 447.
13
َي ِِ
َ َجَرَالْ ُم ْؤمَن
ْ يعَأ
ِ
ُ َاَّللَ َََلَيُض
َّ َن ْ ََاَّللِ ََوف
ََّ ض ٍل ََوأ َّ يَ ْستَ ْب ِِش ُرو َنَبِنِ ْع َم ٍة َِم َن
Artinya:
34
Muhammad bin Ali Asy-Syaukani, Fath Al-Qodir (Damaskus: Daar Ibnu
Katsir, 1414H), vol. 3, h. 90.
35
Abu Hafs Sirajuddin An-Nu’mani, Al-Lubab fi ‘Ulum Al-Kitab (Beirut: Daar
Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1998), vol. 4, h. 416.
14
“Mereka bergirang hati dengan nikmat dan karunia yang yang besar
dari Allah, dan bahwa Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-
orang yang beriman.
ٍَ ض
Pada ayat di atas terdapat kata ( ِن ْع َمةnikmat) dan ل ْ َ( َوفkarunia),
dua kata ini disambungkan dengan huruf ‘athaf yaitu ( وwawu) yang
berfungsi menggabungkan kata dan membuatnya sama dalam hukum
mengenai suatu hal.36 Maka, fungsi nakirah pada kedua kata tersebut
pun sama, yaitu menunjukan agungnya dua hal tersebut, karena sulit
diungkapkan dengan kata-kata maka digunakanlah isim nakirah.37
Contoh ketiga terdapat dalam surat An-Nisa ayat 171 :
36
Sholahuddin Al-‘Ila’i, Al-Fushul Al-Mufidah fi Al-Waw Al-Mazidah (Oman:
Daar Al-Basyir, 1990), h. 67.
37
Ar-Raghib Al-Asfahani, Tafsir Ar-Raghib Al-Asfahani (Riyadh: Daar Al-
Wathan, 2003), vol. 3, h. 986.
38
Fakhruddin Ar-Razi, Mafatih Al-Ghaib (Beirut: Daar Ihya At-Turats Al-
‘Arabi, 1420H), vol. 11, h. 271.
15
39
Muhyiddin Darwisy, I’rab Al-Qur’an wa Bayanuhu (Homs: Daar Al- Irsyad
li Asy-Syuun Al-Jami’iyah, 1415H), vol. 6, h. 611.
40
Abul Qasim Az-Zamakhsyari, Al-Kassyaf ‘an Haqaiq Ghawamid At-Tanzil
(Beirut: Daar Al-Kitab Al-‘Arabi, 1407H), vol. 3, h. 598.
16
Pada ayat di atas terdapat isim nakirah yaitu kata ً( أ َُّم َةumat),
maksudnya yaitu sekumpulan orang yang banyak. Ini menunjukan
bahwa isim nakirah disini memiliki makna jumlah yang banyak.42
Contoh kelima terdapat dalam surat Asy-Syams ayat 7 :
ٍَ ( نَ ْفjiwa),
Isim nakirah yang terdapat dalam ayat ini yaitu kata س
dan maknanya yaitu seluruh jiwa manusia diciptakan oleh Allah SWT
41
Majma’ Al-Buhuts Al-Islamiyah, At-Tafsir Al-Wasith li Al-Qur’an Al-Karim
(Kairo: Al-Haiah Al-‘Ammah li Syu’un Al-Mathabi’ Al-Amiriyah, 1993), vol. 10, h.
1731.
42
Muhammad Shiddiq Khan, Fath Al-Bayan fi Maqashid Al-Qur’an (Beirut: Al-
Maktabah Al-‘Ashriyah li At-Thiba’ah wa An-Nasyr, 1992), vol. 10, h. 104.
17
ِ َّ ِ ٍ َّاسََعلَى ِ
ينَأَ ْشَرُكوا َ ٰ َ ِ صَالن
َ َحيَاة ََوَم َنَالذ ْ َولَتَج َد َّْنُْمَأ
َ َحَر
Artinya:
“Dan sungguh kamu akan mendapati mereka, manusia yang paling
loba kepada kehidupan (di dunia), bahkan (lebih loba lagi) dari
orang-orang musyrik.
Pada ayat di atas terdapat isim nakirah yaitu pada kata حيَاة
َ
(kehidupan), maksudnya yaitu kehidupan dunia. Dimana ayat ini
menyindir kaum yahudi di masa Rasulullah SAW yang serakah
terhadap level kehidupan yang remeh, yaitu kehidupan dunia. Maka
isim nakirah ini memberikan faidah merendahkan kaum yahudi
tersebut.44
Namun adapula yang menyebut bahwa kata tersebut
mengandung makna tunggal, yaitu hanya satu jenis kehidupan saja
(kehidupan dunia).45
Contoh kedua terdapat dalam surat Ali Imron ayat 23 :
43
Syihabudin Al-Kurani, Ghayat Al-Amani fi Tafsir Al-Kalam Ar- Rabbani
(Turki: Universitas Sakarya Fakultas Ilmu Sosial, 2007), h. 395.
44
Syihabuddin Al-Khafaji, ‘Inayat Al-Qadhi wa Kifayat Ar-Radhi ‘ala Tafsir
Al-Baidhawi (Beirut: Daar Shadir, t.th.), vol. 2, h. 208.
45
yihabuddin Al-Khafaji, ‘Inayat Al-Qadhi wa Kifayat Ar-Radhi ‘ala Tafsir Al-
Baidhawi, h. 208.
18
ْ َالرُْز َقَلِ َم ْنَيَ َِشاءُ ََويَ ْق ِد َُرَۚ ََوفَ ِر ُحواَ ِِب ْْلَيَاةَِالدنْيَاَ َوَم
َاَاْلَيَاةَُالدنْيَا ِ ط ُ اَّللَُيَْب ُس
َّ
ِ ِ َْ ِِف
ٌاع َ َالخَرةَِإََّل
َ ََمت
Artinya:
“Allah meluaskan rezeki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia
kehendaki. Mereka bergembira dengan kehidupan di dunia, padahal
kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat, hanyalah
kesenangan (yang sedikit).
Pada ayat ini terdapat kata ( َمت َاعkesenangan), maksudnya yaitu
kesenangan yang semu dan rendah karena kesenangan tersebut hanya
sementara saja. Ini menunjukan bahwa kata tersebut mengandung
makna perendahan (at-tahqir).47
Contoh keempat terdapat daam surat Ali Imran ayat 176 :
46
Ibnu ‘Ajibah Al-Hasani, Al-Bahrul Madid fi Tafsir Al-Qur’an Al-Majid
(Kairo: Hasan Abbas Zaki, 1419H), vol. 1, h. 337.
47
Abu Zahrah, Zahrat At-Tafasir (Damaskus: Daar El-Fikr Al-‘Arabi, .th.), vol.
8, h. 3943.
19
ِ َّ َْيِزن
ََاَّللَُأَََّل
َّ يد ُ َشْيَئًاََۗيُِر
َ َاَاَّلل
َّ ضرو ُ َينَيُ َسا ِرَعُو َن َِِفَالْ ُك ْف ِرََۚإِ َّْنُْمَلَ ْنَي
َ َكَالذ َ ُ َْ َوََل
ٌَ ََع ِظ
يم َ ب ٌ ََع َذا
ِ ْ اَِف
َ َالخَرةَِ ََۖوََلُْم ِ َحظ َ ََْي َع َلَ ََلُْم
Artinya:
“Janganlah kamu disedihkan oleh orang-orang yang segera menjadi
kafir; sesungguhnya mereka tidak sekali-kali dapat memberi
mudharat kepada Allah sedikitpun. Allah berkehendak tidak akan
memberi sesuatu bahagian (dari pahala) kepada mereka di hari
akhirat, dan bagi mereka azab yang besar.
َفَ ََلَيَ ْستَ ِْطيعُو َنَتَ ْو ِصيَةً ََوََلَإِ َ َٰلَأ َُْهلِ ِه ْمَيََ ْرِجعُون
Artinya:
“lalu mereka tidak kuasa membuat suatu wasiatpun dan tidak (pula)
dapat kembali kepada keluarganya.
ِ ( تَوmemberi wasiat), yang
Pada ayat di atas terdapat kata ًصيََة ْ
mana maknanya yaitu apabila terjadi kiamat maka tidak ada
seorangpun yang akan sempat memberikan wasiat atau nasehat
walaupun hanya berupa sebuah kata yang pendek.49 Hal ini
menunjukan bahwa isim nakirah tersebut menunjukan jumlah yang
sedikit.
48
Muhyiddin Darwisy, I’rab Al-Qur’an wa Bayanuhu., vol. 2, h. 114.
49
Fakhruddin Ar-Razi, Mafatih Al-Ghaib, vol. 26, h. 290.
20
50
Abu Ja’far Al-Garnathi, Malaak At-Ta’wil Al-Qathi’ bi Dzawi Al-Ilhad wa At-
Tah’thil fi Taujih Al-Mutasyabih Al-Lafdzi min Aay At-Tanzil (Beirut: Daar Al-Kutub Al-
‘Ilmiyyah, t.th.), vol. 2, h. 476.
21
yang kedua menunjukan makna parsial, artinya tidak seluruh air dapat
diminum oleh manusia.51 Artinya isim nakirah ini memberikan makna
jumlah yang sedikit.
Contoh keempat terdapat dalam surat Al-Hijr ayat 48 :
َي ِ ِ ِ ََلَْمَيسهمَفِيهاَنَصبَوم
َ اَُه ْمَمْن َهاَِبُ ْخََرج
ُ َ َ ٌ َ َ ْ ُ ََ
Artinya: “Mereka tidak merasa lelah di dalamnya dan mereka sekali-
kali tidak akan dikeluarkan daripadanya.
Makna ayat di atas yaitu di syurga nanti setiap orang akan
mendapatkan kenikmatan tanpa harus bersusah payah sedikitpun
dalam memperolehnya. Kata ب
ٌَ ص
َ َ( نkelelahan), disini mengindikasikan
makna yang sedikit (at-taqlil) yaitu tidaklah mereka mendepat
kelelahan sedikitpun di dalamnya.52
F. Kesimpulan
Dari sini dapat disimpulkan bahwa untuk memahami Alquran yang
berbahasa Arab, baik dari segi arti dan makna, maka diperlukan sebuah
penafsiran. Dalam upaya. menafsirkan Alquran dibutuhkan kaidah tafsir,
guna menghasilkan sebuah penafsiran yang baik dan komplek. Kaidah
tafsir, mempunyai hubungan yang sangat erat dengan bahasa Arab, dimana
kaidah tafsir harus didukung oleh kaidah-kaidah dasar dan kaidah
kebahasaan (al-qawa’id al-lughawiyyah).
Salah satu kaidah kebahasaan yang harus dipahami yaitu kaidah
yang berkenaan dengan kata benda yang bersifat non definitif (isim
naikrah), yang mana dia mengandung kemungkinan 6 (enam) makna :
untuk menunjukan makna tunggal, menunjukan jenis dari sesuatu
menunjukan pengagungan, menunjukan makna hal yang banyak
menunjukan makna merendahkan sesuatu, dan menunjukan makna hal
yang sedikit.
51
Abu Hafs Sirajuddin An-Nu’mani, Al-Lubab fi ‘Ulum Al-Kitab, vol. 20, h. 76.
52
Al-Maula Abul Fida Al-Kholuti, Ruuh Al-Bayan (Beirut: Daar El-Fikr, t.th.),
vol. 4, h. 472.
22
DAFTAR PUSTAKA