Anda di halaman 1dari 26

KAIDAH-KAIDAH TAFSIR

(Nakirah dalam Kidah Tafsir al-Qur’an)

Disusun Untuk Memenuhi Tugas


Mata Kuliah Kaidah-kaidah Tafsir
Program Magister Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir

Oleh:
Hasan Ayatullah
Ya' Hidayat

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PTIQ JAKARTA
2022M./1443H.
1

A. Pendahuluan
Pentingnya kaidah dalam memahami makna al-Qur’an bukanlah
sesuatu yang hanya sekedar formalitas saja, melainkan ia merupakan
keharusan dalam upaya mengetahui makna dan kedudukan sebuah ayat al-
Qur’an sehingga darinya kita dapat lebih memahami serta dapat
menjabarkannya ke dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana diketahui
bahwa al-Qur’an sangat kaya akan makna yang masih memerlukan
pengkajian untuk mengetahui apa dan bagaimana hakikat kandungannya.
Untuk itu diperlukan beberapa kaidah-kaidah tafsir dalam memahaminya.
Kaitannya dengan kaidah-kaidah tafsir, tetap saja tidak bisa lepas
dari faktor kebahasaan yang menjadi instrumen utama penafsiran. Bahkan
para ulama menarik kesimpulan jika syarat mutlak untuk memahami
makna dan pesan dari al-Qur’an adalah memiliki kemampuan dalam
berbahasa, utamanya Bahasa arab.1 Hal ini dikarenakan orang yang
menfasirkan al-Qur’an tanpa memahami kaidah bahasa arab akan
cenderung menyimpang dalam penafsirannya sehingga keluar dari makna
lafadz al-Qur’an itu sendiri.2
Karena itulah, kajian bahasa yang dalam konteks tafsir ini yaitu
bahasa arab penting untuk dilakukan dalam rangka mencegah terjadinya
penyelewengan atau penyimpangan makna dari makna sebenarnya pada
makna yang salah. Maka para ulama kemudian menyusun kaidah-kaidah
tafsir yang berkenaan dengan bahasa arab, atau dikenal sebagai kaidah-
kaidah kebahasaan (Al-Qawaa’id Al- Lughawiyah). Tujuannya adalah
memberikan batasan agar penafsiran tidak serampangan dan melenceng
jauh dari makna asal yang dikehendaki dari ayat al-Qur’an itu sendiri.3
Diantara kaidah kebahasaan yang penting untuk dibahas yaitu yang
berkiatan dengan sifat dari kata nomina (kata benda), apakah definitif
ataukah tidak definitif. Yang dalam keilmuan nahwu (grammar bahasa
arab) dikenal dengan istilah ma’rifah (kata benda definitif) dan nakirah
(kata benda tidak definitif). Yang masing-masing diantara keduanya akan
memberikan konsekuensi makna yang berbeda terhadap kalimat Al-
Qur’an.
Secara khusus, makalah ini membahas mengenai isim nakirah atau
kata benda tidak tentu (definitif) yang terdapat dalam Al-Qur’an. Juga

1
M. Quraisy Syihab, Kaidah Tafsir (Tanggerang: Lentera Hati, 2013), h. 35.
2
Ali Mutakin, “Kedudukan Kaidah Kebahasaan dalam Kajian Tafsir”, Al-
Bayan: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Tafsir, No. 2, Desember 2016, h. 86.
3
Ali Mutakin, “Kedudukan Kaidah Kebahasaan dalam Kajian Tafsir”, h. 89.
2

membahas mengenai konsekuensi makna dari kata tersebut serta contoh


penerapannya dalam ayat-ayat Al-Qur’an.

B. Fungsi dan Kedudukan Kaidah Kebahasaan dalam Tafsir


Kaidah dalam kamus Bahasa Indonesia diartikan dengan ‚patokan,
dasar, aturan yang sudah pasti, rumusan yang menjadi hukum, asas-asas
yang menjadi hukum. Sedang dalam bahasa Arab (‫ ) قائدة‬diartikan
‚asas/pondasi jika ia dikaitkan dengan bangunan, dan ia berarti ‚tiang jika
dikaitkan dengan kemah.4 Sementara dalam pengertian istilah, ditemukan
beberapa pengertian. Diantaranya adalah ‚ketetapan yang dapat diterapkan
pada kebanyakan bagian-bagiannya.5
Dengan demikian kaidah kebahasaan dalam tafsir, merujuk
pengertian di atas dapat dirumuskan sebagai ketetapan-ketetapan yang
membantu seorang penafsir untuk menyimpulkan makna dan pesan-pesan
al-Qur’an serta menjelaskan ayat-ayat yang dianggap sulit (musykilah)
berdasarkan Nahwu, Sharaf dan Balaghah, yang merupakan cabang-
cabang ilmu yang secara khusus berkaitan dengan bahasa Arab. Dan telah
disepakati oleh semua pihak, dalam beberapa ayat Al-Qur’an, Allah Swt
secara tegas menyatakan bahwa sistem isyarat yang dipilih dalam
pewahyuan Al-Qur’an adalah bahasa Arab.6
Menurut Quraish Shihab, hal ini menunjukan bahwa syarat mutlak
untuk menarik makna dari pesan-pesan Al-Qur’an adalah pengetahuan
tentang bahasa Arab.7 Bagi masyarakat Arab, bukti bahwa bahasa Arab
dipilih sebagai bahasa Al-Qur’an dan bahasa pewahyuan semakin
memperkuat asumsi-asumsi yang selama ini mereka yakini bahwa bahasa
Arab merupakan bahasa yang paling kaya, paling indah dan paling
sempurna jika dibandingkan dengan bahasa-bahasa non-Arab (ajam).
Bahkan menurut Shufyan al-Sauri yang dikutip oleh Ibn Katsir bahwa
bahasa Arab bukan saja dipilih sebagai bahasa Al-Qur’an, tetapi juga

4
M. Qurasih Shihab, Kaidah Tafsir (Tangerang: Lentera Hati, 2013), h. 6-7
5
M. Qurasih Shihab, Kaidah Tafsir, h. 8
6
Beberapa istilah yang digunakan untuk menunjukan bahwa bahasa Al-Qur’an
adalah bahasa Arab "arabiyyan" Lihat QS. Yusuf [12]: 2, QS. Al-Ra'd [13]: 37, QS.
Zukhruf [43]: 3, QS. Al-Ahqaf [46]: 12. "bi lisanin 'arabiyyin mubin" lihat QS. Al-Syu'ara
[26]: 195, "arabiyyan ghaira dzi 'iwaj" lihat QS. Al-Zumar [39]: 28
7
M. Qurasih Shihab, Kaidah Tafsir, h. 35
3

dipilih sebagai bahasa wahyu yang merupakan bahasa kitab-kitab suci


yang lainnya. Allah mewahyukan kitab-kitab suci kepada para rasul
dengan menggunakan bahasa Arab, dan rasul-rasul tersebut kemudian
menerjemahkan atau menyampaikan kepada umatnya dalam bahasa
mereka masing-masing.8 Sedangkan menurut Izutsu, bahasa Arab dipilih
sebagai bahasa wahyu (Al-Qur’an) bukanlah karena nilai instrinsik bahasa
Arab itu sendiri, sebagaimana asumsi-asumsi orang Arab pada umumnya,
akan tetapi semata-mata hanya karena kegunaan pragmatisnya sebagai
bahasa komunikasi yang efektif bagi seorang rasul yang berbangsa Arab
dan masyarakat Arab yang pertama kali disapa oleh wahyu tersebut. Hal
ini bisa dilihat dari QS. Yusuf [12]: 2 dan QS. Al-Zukhruf [43]: 3 yang
secara jelas menyatakan bahwa pewahyuan Al-Qur’andalam bahasa Arab
hanyalah agar kita memahaminya (la’allakum ta’qilun).
Terlepas dari perbedaan pandangan tentang motif digunakannya
bahasa Arab sebagai bahasa wahyu (Al-Qur’an), bagi umat Muslim bahasa
Arab memiliki arti penting. Disamping ia sebagai bahasa yang dipilih oleh
Allah, ia juga sebagai bahasa peribadatan.9 Hal ini dikarenakan, Al-Qur’an
merupakan kumpulan firman Allah, maka huruf-huruf, kata-kata, dan
struktur bahasa yang terdapat dalam Al-Qur’an itu juga dinilai sebagai
bagian dari ajaran Agama.10
Meskipun bahasa Arab yang digunakan dapat dipahami karena
sifat Al-Qur’an yang jelas dan dinyatakan sebagai kitab mubin,11 bukan
berarti ia tanpa kaidah-kaidah dalam memahaminya. Hal ini disebabkan
terdapat beberapa bagian Al-Qur’an yang sulit untuk dipahami. Di
dalamnya terdapat ayat-ayat mutasyabihat dan ayat-ayat yang masih samar
pengertiannya yang disebabkan faktor ke-mujmal-an Al-Qur’an itu sendiri.

8
Ibn katsir, Tafsir Alquranal-Adzim Vol. I (Kairo: Maktabah Aulad al-Syaikh li
al-Turats, 2000), h. 77
9
Hal ini terlihat pada saat sholat, tidak sah sholat seseorang yang tidak
menggunakan ucapan-ucapan tertentu yang menggunakan bahasa Arab. Seperti ketika
takbirat al ihram, harus menggunakan lafadz ‫ ربكا للها‬yang itu tidak boleh diganti dengan
bahasa lain meskipun makna dan artinya sama.
10
H.M. Muchoyyar, “kata pengantar” dalam Nor Ichwan, Memahami Bahasa
Alquran (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2002), h. X
11
Lihat QS. [29]: 48, [5]: 15
4

Seperti lafadz musytarak, gharabah al-lafdzi, al-hadf, ikhtilaf marji’ al-


dhamir, al-taqdim wa al-ta’khir dan lain sebagainya.
Studi Al-Qur’an dapat mendukung upaya integrasi keilmuan
dengan cara akomodasi penemuan ilmiah yang sistematis dengan tetap
mengacu pada basis kewahyuan Al-Qur’an.12 Untuk memahami Al-Qur’an
seseorang harus memperhatikan beberapa aspek yang dibutuhkan sebagai
perangkat keilmuan yang harus dimiliki. Hal ini dilakukan untuk
meminimalisir penyimpangan dan kekeliruan dalam menafsirkan Al-
Qur’an. Menurut Quraish Shihab, diantara faktor-faktor yang
mengakibatkan kekeliruan dalam menafsirkan Al-Qur’an minimalnya ada
enam. Pertama, subyektifitas mufasir; kedua, terdepat kekeliruan
menerapkan metode atau kaidah; ketiga, sedikitnya pengetahuan ilmu-
ilmu alat; keempat, sedikitnya pengetahuan terhadap uraian ayat
(pembicara); kelima, mengindahkan konteks, baik dari segi asbab al-
nuzul, munasabah ayat, maupun kondisi sosial masyarakat; dan keenam,
tidak memperhatikan siapa pembicara dan terhadap siapa pembicaraan
ditujukan.13 Sejalan dengan pernyataan diatas, al-Dzahabi mengatakan
bahwa, orang yang berbicara dan menulis tafsir Al-Qur’an tanpa memiliki
pengetahuan yang memadai tentang kaidah dari aturan bahasa Arab
cenderung melakukan penyimpangan dalam menafsirkan Al-Qur’an dan
memberikan arti etimologis suatu lafad Al-Qur’an dengan arti lain yang
tidak sesuai, baik dalam arti hakiki maupun dalam arti kiasan.14
Dari uraian tersebut, dapat diketahui bahwa pentingnya kaidah
kebahasaan dalam memahami atau menafsirkan Al-Qur’an bukanlah
sesuatu yang bersifat formalitas saja, akan tetapi ia merupakan sesuatu
keharusan dalam upaya mengetahui makna dan kedudukan sebuah ayat Al-

12
Iskandar, “Studi Alquran Dan Integrasi Keilmuan: Studi Kasus Uin Sunan
Gunung Djati Bandung.”1, Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya, 1, no. 1
(2016), h. 89.
13
Quraish Shihab, Membumikan Alquran (Bandung: Mizan, 1997), h. 79
14
Lihat Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun (Mesir: Dar
al-Kutub al-Haditsah, 1972) , h. 47
5

Qur’an sehingga darinya kita dapat lebih memahami serta dapat


menjabarkanya ke dalam amaliyyah kehidupan sehari-hari.15
C. Isim Ma’rifah dan Nakirah
Dalam diskursus ilmu gramar bahasa arab, kata benda atau nomina
(noun) dikenal dengan istilah isim, dan isim berdasarkan kejelasannya
terbagi menjadi dua, yaitu ma’rifah dan nakirah.16 Isim ma’rifah yaitu kata
benda yang mengindikasikan suatu hal yang jelas dan tertentu, sedangakn
isim nakirah diartikan sebagai kata benda yang mengindikasikan suatu hal
yang tidak tentu.17
Contoh dari isim ma’rifah adalah kata ‫ع َمر‬ُ (si Umar) dan ‫( َم َّكة‬Kota
Mekkah), yang mana dua kata ini menunjukan pada sesuatu / seseorang
yang sudah jelas dan diketahui maksudnya secara khusus. Dan contoh dari
isim nakirah yaitu ‫( َر ُجل‬seorang laki-laki) dan ‫( قَلَم‬sebuah pulpen), yang
mana dua kata tersebut tidak mengindikasikan laki-laki atau sebuah pulpen
yang khusus dan tertentu. Jadi kata ‘seorang laki-laki’ itu bisa saja
mencakup laki-laki berambut hitam atau pirang, tinggi maupun pendek,
berwarna kulit gelap ataupun terang, dan begitu seterusnya. Begitupun
dengan kata ‘sebuah pulpen’ bisa mencakup pulpen warna apapun dengan
merek apapun.
Isim ma’rifah terbagi menjadi tujuh, yaitu kata ganti (dhamir),
nama orang atau tempat (isim ‘alam), kata tunjuk (isim isyarah), kata
sambung (isim maushul), kata benda yang diawali alif lam, kata yang
menempel pada kata lain yang ma’rifah (mudhaf), dan kata yang
digunakan untuk memanggil (nida’). Dan sisanya dapat digolongkan
sebagai isim nakirah.18

15
Mujahid Mustafa Bahjat and Mosidi Sally Bin Saleh, “Sheikh Bin Wan Ismail
Wan Abdul Qadir (D. 1965) And His Efforts in the Field of Islamic Faith,” International
Journal of Nusantara Islam 1, no. 1 (2013): h. 106.
16
Badruddin Muhammad, Syarh Ibn Nadzim ‘ala Alfiyat Ibn Malik (Beirut: Daar
Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, 2000), h. 33.
17
Musthafa Al-Ghulayaini, Jaami’ Ad-Durus Al-‘Arabiyyah (Beirut: Al-
Maktabah Al-‘Ashriyah, 1993), h. 147
18
Sa’id bin Muhammad Al-Afghani, Al-Muujaz fi Qawaa’id Al-Lughah Al-
‘Arabiyyah (Beirut: Daar El-Fikr, 2003), h. 101
6

D. Kaidah Tafsir Berkenaan dengan Isim Nakirah


Diantara kaidah bahasa dalam tafsir Al-Qur’an yaitu kaidah yang
berkenaan dengan isim nakirah. As-Shuyuti menjelaskan bahwa isim
nakirah yang terdapat dalam Al-Qur’an setidaknya memiliki enam
maksud: menunjukan bentuk tunggal, menunjukan jenis dari sesuatu,
menunjukan suatu hal yang besar, menunjukan suatu hal yang banyak,
menunjukan hal yang remeh, dan menunjukan hal yang sedikit.19
Fungsi menunjukan bentuk tunggal (al-wihdah), maksudnya yaitu
bahwa jumlah hal tersebut hanyalah satu dan tidak lebih. Semisal yang
termaktub dalam surat Yasin ayat 20 :

ِ ِ َ ‫وج َاءَ ِمنَأَقْصىَالْم ِدين ِةَرجلَيسعىَقَ َال‬


َ ‫َيَقَ ْومَاتَّبِعُواَالْ ُم ْر َسل‬
َ‫ي‬ َ ٰ َْ َ ٌ َُ َ َ َ ْ َ َ َ
“Dan datanglah dari ujung kota, seorang laki-laki dengan bergegas dia
berkata, ‘Wahai kaumku! Ikutilah utusan-utusan itu!”

Pada ayat di atas terdapat kata ‫جل‬


ُ ‫ َر‬yang bermakna laki-laki, yang
mana kata tersebut berjenis nakirah, kata ini secara jumlah juga berjenis
mufrad (kata tunggal), sehingga kata rojulun dalam ayat dapat dimaknai
berjumlah tunggal, atau seorang laki-laki saja.20
Fungsi kedua menunjukan jenis sesuatu (an-nau’), maksudnya
bahwa kata nakirah bisa mencakup seluruh personal dari jenis kata
tersebut. Contohnya adalah surat An-Nur ayat 45 :

َ‫يََعلَ ٰى‬ ِ ِ ِِ ِ َ ‫اَّلل َخلَقَ ُك َّل َدابٍَّة َِمن َم ٍاءََۖفَ ِمْن هم‬
َ ‫َم َْن َْمَيَِْش‬
َ ‫يََعلَ ٰىَبَْطْنِه ََومْن ُه ْم‬
َ ‫َم ْنَْمَيَِْش‬
َ ُْ َ ْ َ َ َ َُّ ‫َو‬
‫َش ْي ٍءَقَ ِد ٌَير‬
َ ‫ََعلَ ٰىَ ُك ِل‬ َّ ‫َماَيَ َِشاءََُۚإِ َّن‬
ََ َ‫َاَّلل‬ َ ُ‫َاَّلل‬
َّ ‫َۚيْلُ ُق‬
ََ َ‫يََعلَ ٰىَأ َْربَ ٍع‬ ِ
َ ‫َم ْنَْمَيَِْش‬
ِ ِ َ‫َِرجل‬
َ ‫ي ََومْن ُه ْم‬ْْ
Artinya:
“Dan Allah telah menciptakan semua jenis hewan dari air, maka sebagian
dari hewan itu ada yang berjalan di atas perutnya dan sebagian berjalan
dengan dua kaki sedang sebagian (yang lain) berjalan dengan empat kaki.

19
Jalaludin As-Shuyuti, Al-Itqan fi ‘Uluum Al-Qur’an (Kairo: Al-Haiah Al-
Mishriyah Al-‘Aammah li Al-Kitab, 1974), vol. 2, h. 347.
20
Ibnu ‘Aqilah, Az-Ziyadah wa Al-Ihsan fi ‘Ulum Al-Qur’an (Sharjah: Markaz
Al-Buhuts wa Ad-Dirasat Jaami’at Asy-Syariqah, 1427H), vol. 8, h. 195.
7

Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya, sesungguhnya Allah Maha


Kuasa atas segala sesuatu.

Pada ayat terdapat kata ‫ َماء‬yang bermakna air. Maksud dari air di
sini adalah air mani atau sperma. Maka ayat ini mengindikasikan bahwa
Allah SWT menciptakan berbagai macam hewan melata dari berbagai
macam air mani. Maka untuk merangkum seluruh jenis air mani tersebut
digunakanlah kata berjenis nakirah.21
Fungsi ketiga menunjukan suatu hal yang besar (at-ta’dzim) dan
serius, maksudnya yaitu isim nakirah memberikan makna pengagungan
terhadap suatu hal. Contohnya adalah surat Al-Baqarah ayat 279 :

َ‫وس َأ َْم َوالِ ُك ْم َََل‬


َُ ُ‫َۖوإِ ْن َتُْب تُ ْم َفَلَ ُك ْم َُرء‬ ِِ َ ِ‫َاَّلل‬ ِ ٍ ِ ِ
َ َّ ‫فَإ ْن َ ََلْ َتَ ْف َعلُواَفَأْ َذنُواَِبَْرب َم َن‬
َ َ‫َوَر ُسولِه‬
‫تَظْلِ ُمو َن ََوََلَتُظْلَ ُمو َن‬
Artinya:
“Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka
ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika
kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu;
kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.
Pada ayat ini terdapat isim nakirah yaitu ‫( َح ْرب‬perang), Ibnu Abbas
menafsirkan ayat ini yaitu bagi yang menolak untuk bertaubat dan berhenti
dari perbuatan riba maka boleh dihukum mati,22 Qatadah mengatakan,
“Allah mengancam mereka dengan pembunuhan”.23 Ini menjelaskan
bahwa makna ‘perang’ disini adalah suatu hal yang serius dan besar.
Fungsi keempat yaitu menunjukan jumlah yang banyak, contohnya
adalah Al-Qur’an surat Al-A’raf ayat 113 :

Jalaludin As-Shuyuti, Mu’tarak Al-Aqran fi I’jaz Al-Qur’an (Beirut: Daar Al-


21

Kutub Al-‘Ilmiyah, 1988), vol. 3, h. 472.


22
Abu Ja’far At-Thabari, Jaami’ Al-Bayan fi Ta’wil Al-Qur’an (Beirut:
Muassasat Ar-Risalah, 2000), vol. 6, h. 25.
23
Abu Ja’far At-Thabari, Jaami’ Al-Bayan fi Ta’wil Al-Qur’an, h. 25
8

ِ َ َ‫َالس َحَرةَُفِْر ََع ْو َنَقَالُواَإِ َّنَلَن‬


َ‫ي‬ َْ ‫َجًراَإِ ْنَ ُكن‬
َ ِ‫َّاََن ُنَالْغَالب‬ َْ ‫اََل‬ َّ َ‫َو َجاء‬
Artinya:
“Dan beberapa ahli sihir itu datang kepada Fir'aun mengatakan:
"(Apakah) sesungguhnya kami akan mendapat upah, jika kamilah yang
menang?"
Pada ayat di atas terdapat isim nakirah yaitu kata ‫( أَجْ ًرا‬imbalan),
yaitu imbalan yang berlimpah lagi banyak, dimana hal tersebut harus
setimpal dengan kesulitan mereka mengalahkan Nabi Musa as.24
Fungsi kelima adalah menunjukan suatu yang yang kecil, rendah,
atau remeh, semisal Al-Qur’an surat ‘Abasa ayat 18 :

ٍ ‫َي‬
ُ‫َخلَ َق َِه‬ َ ِ ‫ِم ْنَأ‬
َ ‫َش ْيء‬
Artinya: “Dari apakah Allah menciptakannya?
Pada ayat ini terdapat isim nakirah yaitu kata ‫شيْئ‬
َ (sesuatu), yang
mengindikasikan pertanyaan ini bermaksud untuk menyadarkan manusia
bahwa mereka tercipta dari sesuatu yang remeh bahkan dipandang hina.25
Fungsi keenam yaitu menunjukan suatu hal yang sedikit, misalnya
saja Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 72 :

َ‫اَوَم َساكِ َن‬ ِ ‫اَاَل َْْنَارَخالِ َِد‬ ِ ِ ََْ ‫َّات‬ ٍ ‫اتَجن‬ ِ ِ ِ ِ َّ ‫وَع َد‬
َ ‫ينَف َيه‬َ َ ُ ْ ‫َت ِريَم ْنَ ََْتت َه‬ َ َ‫ي ََوالْ ُم ْؤمن‬
َ ‫َاَّللَُالْ ُم ْؤمن‬ ََ
َُ ‫َُه َوَالْ َف ْوُُزَالْ َع ِظ‬ ِ َِّ ‫ضوا ٌن َِمن‬ ِ ٍ َ ‫َّات‬ ِ ‫طَيِبةً َِِفَجن‬
‫يم‬ ُ ‫َك‬َ ‫َاَّللَأَ ْك َُرَبََُۚ َٰذل‬ َ َ ْ ‫ََع ْدنَ ََۚور‬ َ َ
Artinya:
“Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan,
(akan mendapat) surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, kekal
mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga

24
Badruddin Az-Zarkasyi, Al-Burhan fi ‘Ulum Al-Qur’an (Kairo: Daar Ihya Al-
Kutub Al-‘Arabiyyah ‘Isa Al-Baab Al-Halabi, 1957), vol. 4, h. 92.
25
Badruddin Az-Zarkasyi, Al-Burhan fi ‘Ulum Al-Qur’an, h. 92.
9

'Adn. Dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan
yang besar.
Dalam ayat ini terdapat kata ‫( ِرض َْوان‬keridhaan), yang mana makna
ayat ini adalah ridha Allah SWT yang sedikit saja sudah lebih besar
daripada syurga dan segala yang ada di dalamnya.
E. Penerapan Kaidah Isim Nakirah
1. Menunjukan Makna Tunggal

Contoh pertama terdapat pada surat Al-Baqarah ayat 163 :

َ‫َالرِح ُيم‬ ٰ ِ ٰ ٰ
ُ ‫َوإِ ََلُ ُك ْمَإِلَِهٌ ََواح ٌدَ َََۖلَإِلَِهََإََِّل‬
ٰ ْ ‫َُه َوَا َّلر‬
َّ ‫حَ ُن‬
Artinya:
“Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan
melainkan Dia Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”.

ٰ
Kata ٌ‫( إِلََِه‬Tuhan) pada ayat mengindikasikan makna tunggal.
Hal ini dikuatkan dengan konteks ayat yang membahas tentang
keesaan Allah SWT. Hal ini dijelaskan dengan kata selanjutnya yaitu
‫احد‬
ِ ‫ َو‬yang berarti esa atau tunggal. Adapula yang menyebutkan
maksudnya adalah menunjukan jenis.26
Contoh kedua terdapat dalam surat Ar-Ra’ad ayat 36 :

َ‫َم ْن َيُْن ِك ُر‬ ْ ‫َكَ ََۖوِم َن‬ ِ ِ َّ


ِ ‫َحِز‬
ََ ‫اب‬ َ ْ ‫َاَل‬ َ ‫اب َيَ ْفَر ُحو َن َِِبَا ََأُنْ ِِزَلَإِلَْي‬َ َ‫اُه ُم َالْكت‬ُ َ‫ين َآتَ ْي ن‬ َ ‫َوالذ‬
َِ ‫َم‬ ِ َِ ‫َاَّللَوََلَأُ ْش ِرََكَبِِِهََۚإِلَي ِِهَأ َْدَع‬ ِ
‫آب‬ َ ‫وَوإلَْيِه‬
َ ُ ْ ُ ‫ضِهََُۚقُ ْلَإََِّّنَاَأُم ْر‬
َ َََّ ‫تَأَ ْنَأ ََْعبُ َد‬ َ ‫بَ ْع‬
Artinya:
“Orang-orang yang telah Kami berikan kitab kepada mereka
bergembira dengan kitab yang diturunkan kepadamu, dan di antara
golongan-golongan (Yahudi dan Nasrani) yang bersekutu, ada yang

26
Ibnu ‘Asyur At-Tunisi, At-Tahrir wa At-Tanwir (Tunis: Ad-Daar At-
Tunisiyah li An-Nasyr, 1984), vol. 2, h. 75.
10

mengingkari sebahagiannya. Katakanlah "Sesungguhnya aku hanya


diperintah untuk menyembah Allah dan tidak mempersekutukan
sesuatupun dengan Dia. Hanya kepada-Nya aku seru (manusia) dan
hanya kepada-Nya aku kembali".

Pada ayat di atas terdapat kata ‫( َمآب‬tempat kembali), dan


makna ayat ini yaitu hanya kepada Allah lah tempat kembali pada hari
kiamat dan bukan kepada selain-Nya. Dia-lah pula yang akan
memberikan balasan amal kepada manusia.27 Ini menunjukan bahwa
makna isim nakirah tersebut adalah menunjukan makna tunggal.
Contoh ketiga terdapat dalam surat Maryam ayat 7 :

َِ ‫َْجَنعلَلَِه َِمنَقَبل‬
‫َْسيَا‬ ْ ‫َيَ َُزَك ِرَّيَإَِّنََّنُبَ ِِش ُرََكَبِغُ ََلٍم‬
ُ ْ ْ ُ ْ َ َْ ْ‫َي َ ٰٰىَيَ ََل‬
ََْ ُ‫َاْسُِه‬
Artinya:
“Hai Zakaria, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu
akan (beroleh) seorang anak yang namanya Yahya, yang sebelumnya
Kami belum pernah menciptakan orang yang serupa dengan dia.

Pada ayat ini terdapat kata ‫س ِميَّا‬


َ (penamaan), makna ayat ini
yaitu bahwa saat itu belum ada sama sekali seseorang yang diberi
nama Yahya, baik pada zaman itu ataupun sebelumnya. 28 Ini
menunjukan bahwa kata tersebut bermakna tunggal.
Dan contoh keempat yaitu surat Yusuf ayat 76 :

َ‫َكَكِ ْد ََّن‬ ِ ِ ‫اَمن َ ِوَع ِاء َأ‬


َ ‫َخ ِيِهََۚ َك َٰذل‬ ِ ِ ‫ََِبَو َِعيتِ ِهم َقَبل َ ِوَع ِاء َأ‬
َُ ‫َخ ِيِه‬
َ ْ ‫استَ ْخَر َج َه‬
ْ ََّ‫َث‬ َ َ ْ ْ َ ْ ِ ‫فَبَ َدأ‬
ٍ ‫َاَّللََۚنَرفَعَدرج‬ ِِِ ِ ِ ِ
َ‫ات‬ َ َ َ ُ ْ َُّ َ‫َخاهُ َِِفَدي ِنَاَلْ َملَكَإََّلَأَ ْنَيَ َِشاء‬ َ ‫فَ ََۖماَ َكا َنَليَأْ ُخ َذَأ‬َ ‫وس‬
ُ ُ‫لي‬
ٌَ ِ‫ََعل‬
‫يم‬ ِ ِ
َ ‫َم ْنَنَ َِشاءَُ ََۗوفَ ْو َقَ ُك ِلَذيََع ْل ٍم‬

27
Jamaluddin Al-Qasimi, Mahaasin At-Ta’wil (Beirut: Daar Al-Kutub Al-
‘Ilmiyyah, 1418H), vol. 6, h. 289.
28
Nawawi Al-Bantani, Marah Labid li Kasyfi Ma’ani Al-Qur’an Al-Majid
(Beirut: Daar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1417H), vol. 2, h. 4.
11

Artinya:
“Maka mulailah Yusuf (memeriksa) karung-karung mereka sebelum
(memeriksa) karung saudaranya sendiri, kemudian dia mengeluarkan
piala raja itu dari karung saudaranya. Demikianlah Kami atur untuk
(mencapai maksud) Yusuf. Tiadalah patut Yusuf menghukum
saudaranya menurut undang-undang raja, kecuali Allah
menghendaki-Nya. Kami tinggikan derajat orang yang Kami
kehendaki; dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada
lagi Yang Maha Mengetahui.
Pada ayat ini terdapat kata ‫( َع ِليم‬yang berpengetahuan), dimana
kata ini ditafsirkan oleh Ibnu Abbas bahwa maksudnya adalah Allah
SWT yang maha mengetahui melampaui seluruh orang yang
berilmu.29 Ini menunjukan bahwa isim nakirah tersebut bermakna
tunggal, walau ada pula yang menyebut bermakna pengagungan.30
2. Menunjukan Jenis

Contoh pertama terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 7 :

َ‫ابَ ََع ِظ ٌيم‬ ِ ِ ‫َاَّللََعلَىَقُلُوِبِِمَوَعلَىَْسَْعِ ِهمََۖوَعلَىَأَب‬


َ ‫صا ِرُه ْمَغ َِش َاوةٌَ ََۖو ََلُْم‬
ٌ ‫ََع َذ‬ َ ْ ٰ ََ ْ ٰ ََ ْ ٰ َ َُّ ‫َختَ َم‬
Artinya:
“Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan
penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.

Pada ayat terdapat kata ٌ‫ِغ َِش َاوَة‬ (penutup), makna dari ayat
sendiri yaitu bahwa pada pendangan atau pengelihatan orang yang
kafir itu telah tertutup dengan suatu jenis penutup yang belum
diketahui oleh manusia.31
Contoh kedua terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 48 :

29
Muhammad Ali As-Shobuni, Shofwat At-Tafasir (Kairo: Daar Ash- Shobuni
li At-Thiba’ah wa An-Nasyr wa At-Tauzi’, 1997), vol. 2, h. 57.
30
Ibnu ‘Asyur At-Tunisi, Op.Cit., vol. 13, h. 33.
31
Nashiruddin Al-Baidhawi, Anwar At-Tanzil wa Asrar At-Ta’wil (Beirut: Daar
Ihya At-Turats Al-‘Arabi, 1418H), vol. 1, h. 43.
12

َ‫اَعةٌ َََوََلَيَُْؤ َخ ُذ‬ َ ‫اَوََلَيُ ْقبَ ُل َِمْن َه‬


َ ‫اَش َف‬ َ ً‫َشْيَئ‬
َ ‫س‬ٍ ‫ََع ْنَنَ ْف‬
َ ‫س‬ ِ َْ ‫اََل‬
ٌ ‫َتِزيَنَ ْف‬ َ ‫َواتَّ ُقواَيَ ْوًم‬
‫ص ُرو َن‬ ِ
َ ‫َُه ْمَيُْن‬
ُ ‫اََع ْد ٌل ََوََل‬
َ ‫مْن َه‬
Artinya:
“Dan jagalah dirimu dari (azab) hari (kiamat, yang pada hari itu)
seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikitpun; dan
(begitu pula) tidak diterima syafa'at dan tebusan dari padanya, dan
tidaklah mereka akan ditolong.

Pada ayat ini terdapat kata ‫س‬


ٌَ ‫( نَ ْف‬jiwa), dan makna ayat yaitu
bahwa suatu jiwa (seseorang) dari jiwa-jiwa tidak akan bisa membela
orang lain sedikitpun.32 Ini menunjukan bahwa maksud dari kata
tersebut menunjukan jenis.
Contoh ketiga terdapat dalam surat Al-Ahzab ayat 4 :

َۚۚ ‫َج ْوَفَِِِه‬ ِ ْ َ‫َاَّللَلِر ُج ٍل َِم ْنَقَ ْلب‬


َ ‫ي َِِف‬ َ َُّ ‫اَج َع َل‬
َ ‫َم‬
Artinya:
“Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati
dalam rongganya;
Pada ayat terdapat kata ‫( َر ُجل‬seorang laki-laki), makna ayat
yaitu tidaklah Allah SWT memberikan kepada jenis laki-laki atau
seorang saja dari mereka dua hati dalam dirinya.33
Contoh keempat terdapat dalam surat Ar-Ra’du ayat 17 :

‫اَرابِيًا‬ ِ َ‫َالسم ِاءَماءَفَسال‬ ِ


ََ ‫َالسْي ُل ََُزبَ ًد‬ ْ َ‫تَأ َْوديَةٌَبَِق َد ِرَُهاَف‬
َّ ‫احتَ َم َل‬ ْ َ ً َ َ َّ ‫أَنْ َِزَلَم َن‬
Artinya:

32
Abul Abbas Assamin, Ad-Durr Al-Mashun fi Ulum Al-Kitab Al- Maknun
(Damaskus: Daar Al-Qolam, t.th.), vol. 1, h. 335.
33
Nidzamuddin An-Naisaburi, Gharaaib Al-Qur’an wa Raghaaib Al- Furqan
(Beirut: Daar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1416H), vol. 5, h. 447.
13

“Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah


air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa
buih yang mengambang.
Pada ayat di atas terdapat kata ‫( َماء‬air), dan yang dimaksud di
sini yaitu air hujan. Dan Isim nakirah disini menunjukan makna jenis
Dari Air Tersebut.34
3. Menunjukan Hal yang Besar dan Agung

Contoh pertama terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 268 :

ْ َ‫َم ْغ ِفَرًَة َِمْنِهُ ََوف‬ ِ َّ ‫َِبَلْ َفح َِش ِاءََۖو‬ ِ


ََۗ‫ض ًَل‬ َ ‫اَّللَُيَع ُد ُك ْم‬ َ ْ ِ ‫الِشَّْيْطَا ُن َيَع ُد ُك ُم َالْ َف ْقَر ََو ََيْ ُم ُرُك ْم‬
ٌَ ِ‫ََعل‬
‫يم‬ ِ َّ ‫و‬
َ ‫اَّللُ ََواس ٌع‬ َ
Artinya:
“Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan
kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang
Allah menjadikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan
Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengatahui.
Pada ayat di atas terdapat kata ً ‫( َم ْغ ِف َرة‬ampunan), yaitu
menunjukan betapa agung ampunan yang ebrasal dari Allah tersebut.
Karena kata tersebut diiringi dengan penisbatan kepada Allah. Karena
agungnya Allah SWT, maka segala yang dinisbatkan kepada-Nya pun
menjadi agung.35
Contoh kedua terdapat dalam surat Ali Imran ayat 171 :

َ‫ي‬ ِِ
َ ‫َجَرَالْ ُم ْؤمَن‬
ْ ‫يعَأ‬
ِ
ُ ‫َاَّللَ َََلَيُض‬
َّ ‫َن‬ ْ َ‫َاَّللِ ََوف‬
ََّ ‫ض ٍل ََوأ‬ َّ ‫يَ ْستَ ْب ِِش ُرو َنَبِنِ ْع َم ٍة َِم َن‬
Artinya:

34
Muhammad bin Ali Asy-Syaukani, Fath Al-Qodir (Damaskus: Daar Ibnu
Katsir, 1414H), vol. 3, h. 90.
35
Abu Hafs Sirajuddin An-Nu’mani, Al-Lubab fi ‘Ulum Al-Kitab (Beirut: Daar
Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1998), vol. 4, h. 416.
14

“Mereka bergirang hati dengan nikmat dan karunia yang yang besar
dari Allah, dan bahwa Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-
orang yang beriman.

ٍَ ‫ض‬
Pada ayat di atas terdapat kata ‫( ِن ْع َمة‬nikmat) dan ‫ل‬ ْ َ‫( َوف‬karunia),
dua kata ini disambungkan dengan huruf ‘athaf yaitu ‫( و‬wawu) yang
berfungsi menggabungkan kata dan membuatnya sama dalam hukum
mengenai suatu hal.36 Maka, fungsi nakirah pada kedua kata tersebut
pun sama, yaitu menunjukan agungnya dua hal tersebut, karena sulit
diungkapkan dengan kata-kata maka digunakanlah isim nakirah.37
Contoh ketiga terdapat dalam surat An-Nisa ayat 171 :

ِ ِ ْ ‫ىَاَّللَِإََِّل‬ ِ ِ ِ ‫اب َََلَتَ ْغلُو‬ ِ َ‫يَأ َُْهلَالْ ِكت‬


ُ ‫َاْلَ ََّقََۚإََّّنَاَالْ َمس‬
َ‫يح‬ َّ َ‫اََعل‬ َ ‫اَِفَدين ُك ْم ََوَََلَتَ ُقولُو‬ َ َ
َۚۖ ُ‫وح َِمْن َِه‬
ٌ ‫َم ْرَيَ ََوُر‬ ِ َ ‫َاَّللَِوَكلِمتُِهَُأََلْ َق‬
َ ‫اُهاَإ َ َٰل‬ َ َ َّ ‫ول‬ ُ ‫َم ْرََيَ ََر ُس‬
َ ‫يسىَابْ ُن‬
َ ‫َع‬
ِ
Artinya:
“Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam
agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali
yang benar. Sesungguhnya Al Masih, Isa putera Maryam itu, adalah
utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang
disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-
Nya.
Pada ayat terdapat kata ‫( ُروح‬roh) yang termaktub nakirah. Dia
memberi kesan pengagungan terhadapnya, maka maknanya yaitu roh
tersebut merupakan roh suci, mulia, lagi tinggi, hal ini dikuatkan lagi
dengan penisbatan roh kepada Allah SWT yang Maha Agung.38
Contoh keempat terdapat dalam surat An-Nuur ayat 35 :

36
Sholahuddin Al-‘Ila’i, Al-Fushul Al-Mufidah fi Al-Waw Al-Mazidah (Oman:
Daar Al-Basyir, 1990), h. 67.
37
Ar-Raghib Al-Asfahani, Tafsir Ar-Raghib Al-Asfahani (Riyadh: Daar Al-
Wathan, 2003), vol. 3, h. 986.
38
Fakhruddin Ar-Razi, Mafatih Al-Ghaib (Beirut: Daar Ihya At-Turats Al-
‘Arabi, 1420H), vol. 11, h. 271.
15

َۚۗ ‫ََعلَ ٰىَنُوٍَر‬


َ ‫ور‬ٌ ُ‫ن‬
Artinya: Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis),
Kata pertama pada potongan ayat di atas yaitu ‫( نُور‬cahaya),
sifat nakirah pada kata ini merupakan bagian dari ketinggian
(bhalagah) dan kefasihan (fashahah) bahasa Al-Qur’an. Makna dari
potongan ayat ini sendiri yaitu tidak ada lagi yang lebih indah dari-
Nya, yang cahaya-Nya berlapis-lapis tanpa batas.39 Maka hal ini
menyiratkan keagungan Allah SWT.
4. Menunjukan Hal yang Banyak

Contoh pertama terdapat dalam surat Fathir ayat 4 :

ْ ‫َاَّللَِتُ ْر َج ُع‬ ِ ِ َ ُ‫َوإِ ْنَيُ َك ِذب‬


َ‫َاَل ُُمَوُر‬ َ ‫ت َُر ُس ٌل َِم ْنَقَ ْبَل‬
َّ ‫َكَ ََۚوإِ ََل‬ ْ َ‫وَكَفَ َق ْدَ ُكذب‬
Artinya:
“Dan jika mereka mendustakan kamu (sesudah kamu beri peringatan)
maka sungguh telah didustakan pula rasul-rasul sebelum kamu. Dan
hanya kepada Allahlah dikembalikan segala urusan.
Pada ayat ini terdapat kata ‫سل‬ ُ ‫( ُر‬rasul-rasul) yang merupakan
jamak dari kata ‫سول‬ُ ‫( َر‬seorang rasul). Maka berangkat dari sini dapat
diketahui bahwa nakirah disini menunjukan jumlah yang sangat
banyak. Sehingga makna ayat ini yaitu orang-orang ahli kitab telah
mengingkari banyak sekali rasul-rasul yang lain. Ini memberikan
hiburan kepada Nabi Muhammad SAW karena bukan beliau sendiri
tapi banyak nabi yang lain juga mengalami hal yang sama.40
Contoh kedua terdapat dalam surat Al-Mursalat ayat 26 :

39
Muhyiddin Darwisy, I’rab Al-Qur’an wa Bayanuhu (Homs: Daar Al- Irsyad
li Asy-Syuun Al-Jami’iyah, 1415H), vol. 6, h. 611.
40
Abul Qasim Az-Zamakhsyari, Al-Kassyaf ‘an Haqaiq Ghawamid At-Tanzil
(Beirut: Daar Al-Kitab Al-‘Arabi, 1407H), vol. 3, h. 598.
16

‫اء َوأ َ ْم َواتًا‬


َ َ‫َحي‬
ْ‫أ‬
ً
Artinya: orang-orang hidup dan orang-orang mati?
Pada ayat ini terdapat dua kata, yaitu ‫( أَحْ يَاء‬yang hidup) dan
َ
‫( أ ْم َواتًا‬yang mati), kedua kata ini merupakan isim nakirah yang
berfungsi menunjukan jumlah banyak. Maka makna ayat yaitu bumi
menghimpun banyak sekali baik orang-orang yang hidup maupun
yang sudah mati.41
Contoh ketiga terdapat dalam surat Al-Qashash ayat 23 :

ِ ‫ََعلَْي ِِهَأ َُّم َةًَ ِم َنَالن‬


َ‫َّاسَيَ ْس ُقون‬ َ ‫َم ْديَ َن ََو َج َد‬
َ َ‫َماء‬
َ ‫اَوَرَد‬
َ ‫َولَ َّم‬
Artinya:
“Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Mad-yan ia menjumpai
di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya),

Pada ayat di atas terdapat isim nakirah yaitu kata ً‫( أ َُّم َة‬umat),
maksudnya yaitu sekumpulan orang yang banyak. Ini menunjukan
bahwa isim nakirah disini memiliki makna jumlah yang banyak.42
Contoh kelima terdapat dalam surat Asy-Syams ayat 7 :

‫اَس َّو َاُها‬ ٍ ‫َونَ ْف‬


َ ‫س ََوَم‬
Artinya: “dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya),

ٍَ ‫( نَ ْف‬jiwa),
Isim nakirah yang terdapat dalam ayat ini yaitu kata ‫س‬
dan maknanya yaitu seluruh jiwa manusia diciptakan oleh Allah SWT

41
Majma’ Al-Buhuts Al-Islamiyah, At-Tafsir Al-Wasith li Al-Qur’an Al-Karim
(Kairo: Al-Haiah Al-‘Ammah li Syu’un Al-Mathabi’ Al-Amiriyah, 1993), vol. 10, h.
1731.
42
Muhammad Shiddiq Khan, Fath Al-Bayan fi Maqashid Al-Qur’an (Beirut: Al-
Maktabah Al-‘Ashriyah li At-Thiba’ah wa An-Nasyr, 1992), vol. 10, h. 104.
17

dalam keadaan yang sempurna. Ini memberikan makna berjumlah


banyak pada kata tersebut.43
5. Menunjukan Hal yang Remeh dan Rendah

Contoh pertama terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 96 :

ِ َّ ِ ٍ ‫َّاسََعلَى‬ ِ
‫ينَأَ ْشَرُكوا‬ َ ٰ َ ِ ‫صَالن‬
َ ‫َحيَاة ََوَم َنَالذ‬ ْ ‫َولَتَج َد َّْنُْمَأ‬
َ ‫َحَر‬
Artinya:
“Dan sungguh kamu akan mendapati mereka, manusia yang paling
loba kepada kehidupan (di dunia), bahkan (lebih loba lagi) dari
orang-orang musyrik.

Pada ayat di atas terdapat isim nakirah yaitu pada kata ‫حيَاة‬
َ
(kehidupan), maksudnya yaitu kehidupan dunia. Dimana ayat ini
menyindir kaum yahudi di masa Rasulullah SAW yang serakah
terhadap level kehidupan yang remeh, yaitu kehidupan dunia. Maka
isim nakirah ini memberikan faidah merendahkan kaum yahudi
tersebut.44
Namun adapula yang menyebut bahwa kata tersebut
mengandung makna tunggal, yaitu hanya satu jenis kehidupan saja
(kehidupan dunia).45
Contoh kedua terdapat dalam surat Ali Imron ayat 23 :

َ‫َاَّللََِلِيَ ْح ُك َمَبَْي نَ ُه ْم‬


ََّ ‫اب‬ ِ َ‫ابَي ْد ََعو َنَإِ َ َٰلَكِت‬
ِ ِ ِ ِ
ْ ُ َ‫ينَأُوتُواَنَصيبًاَم َنَالْ َكت‬
ِ َّ ِ
َ ‫أَََلَْتَ َرَإ ََلَالذ‬
ِ ‫ُثََّي تَوَّ َٰلَفَ ِر‬
ُ ‫َم ْع ِر‬
‫ضو َن‬ ُ ‫يقَمْن ُه ْم ََوُُه ْم‬
ٌ ََ
Artinya:

43
Syihabudin Al-Kurani, Ghayat Al-Amani fi Tafsir Al-Kalam Ar- Rabbani
(Turki: Universitas Sakarya Fakultas Ilmu Sosial, 2007), h. 395.
44
Syihabuddin Al-Khafaji, ‘Inayat Al-Qadhi wa Kifayat Ar-Radhi ‘ala Tafsir
Al-Baidhawi (Beirut: Daar Shadir, t.th.), vol. 2, h. 208.
45
yihabuddin Al-Khafaji, ‘Inayat Al-Qadhi wa Kifayat Ar-Radhi ‘ala Tafsir Al-
Baidhawi, h. 208.
18

“Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang telah diberi


bahagian yaitu Al Kitab (Taurat), mereka diseru kepada kitab Allah
supaya kitab itu menetapkan hukum diantara mereka; kemudian
sebahagian dari mereka berpaling, dan mereka selalu membelakangi
(kebenaran).
Makna dari ayat ini yaitu menyindir kaum yahudi yang baru
diberi sebagian dari firman Allah dalam Taurat tapi mereka bahkan
tidak mengamalkan seluruhnya. Kata ‫صيبًا‬ ِ َ‫( ن‬bagian) pada ayat ini
menunjukan ketidak patuhan mereka walau untuk satu bagian saja,
apalagi keseluruhannya, maka dia memberikan pesan merendahkan
kepada kaum yahudi. Adapula yang menyebut bahwa maksudnya
adalah untuk pengagungan (at-ta’dzim) terhadap perintah Allah, tapi
makna pertama, lebih sejalan dengan konteks ayat.46
Contoh ketiga terdapat pada surat Ar-Ra’ad ayat 26 :

ْ ‫َالرُْز َقَلِ َم ْنَيَ َِشاءُ ََويَ ْق ِد َُرَۚ ََوفَ ِر ُحواَ ِِب ْْلَيَاةَِالدنْيَاَ َوَم‬
َ‫اَاْلَيَاةَُالدنْيَا‬ ِ ‫ط‬ ُ ‫اَّللَُيَْب ُس‬
َّ
ِ ِ َْ ‫ِِف‬
ٌ‫اع‬ َ ‫َالخَرةَِإََّل‬
َ َ‫َمت‬
Artinya:
“Allah meluaskan rezeki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia
kehendaki. Mereka bergembira dengan kehidupan di dunia, padahal
kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat, hanyalah
kesenangan (yang sedikit).
Pada ayat ini terdapat kata ‫( َمت َاع‬kesenangan), maksudnya yaitu
kesenangan yang semu dan rendah karena kesenangan tersebut hanya
sementara saja. Ini menunjukan bahwa kata tersebut mengandung
makna perendahan (at-tahqir).47
Contoh keempat terdapat daam surat Ali Imran ayat 176 :

46
Ibnu ‘Ajibah Al-Hasani, Al-Bahrul Madid fi Tafsir Al-Qur’an Al-Majid
(Kairo: Hasan Abbas Zaki, 1419H), vol. 1, h. 337.
47
Abu Zahrah, Zahrat At-Tafasir (Damaskus: Daar El-Fikr Al-‘Arabi, .th.), vol.
8, h. 3943.
19

ِ َّ ْ‫َيِزن‬
َ‫َاَّللَُأَََّل‬
َّ ‫يد‬ ُ ‫َشْيَئًاََۗيُِر‬
َ َ‫اَاَّلل‬
َّ ‫ضرو‬ ُ َ‫ينَيُ َسا ِرَعُو َن َِِفَالْ ُك ْف ِرََۚإِ َّْنُْمَلَ ْنَي‬
َ ‫َكَالذ‬ َ ُ َْ ‫َوََل‬
ٌَ ‫ََع ِظ‬
‫يم‬ َ ‫ب‬ ٌ ‫ََع َذا‬
ِ ْ ‫اَِف‬
َ ‫َالخَرةَِ ََۖوََلُْم‬ ِ ‫َحظ‬ َ ‫ََْي َع َلَ ََلُْم‬
Artinya:
“Janganlah kamu disedihkan oleh orang-orang yang segera menjadi
kafir; sesungguhnya mereka tidak sekali-kali dapat memberi
mudharat kepada Allah sedikitpun. Allah berkehendak tidak akan
memberi sesuatu bahagian (dari pahala) kepada mereka di hari
akhirat, dan bagi mereka azab yang besar.

Kata ‫شْي ئًا‬


َ (sesuatu) dalam ayat ini mengandung makna sedikit
(at-taqlil) namun juga mengandung makna perendahan (at-tahqir).
Maksud dan tujuannya adalah untuk menguatkan bahwa posis orang-
orang yang rendah dan tersesat tidak layak untuk membuat Rasulullah
SAW bersedih.48
6. Menunjukan Hal yang Sedikit

Contoh pertama terdapat dalam surat Yasin ayat 50 :

َ‫فَ ََلَيَ ْستَ ِْطيعُو َنَتَ ْو ِصيَةً ََوََلَإِ َ َٰلَأ َُْهلِ ِه ْمَيََ ْرِجعُون‬
Artinya:
“lalu mereka tidak kuasa membuat suatu wasiatpun dan tidak (pula)
dapat kembali kepada keluarganya.
ِ ‫( تَو‬memberi wasiat), yang
Pada ayat di atas terdapat kata ً‫صيََة‬ ْ
mana maknanya yaitu apabila terjadi kiamat maka tidak ada
seorangpun yang akan sempat memberikan wasiat atau nasehat
walaupun hanya berupa sebuah kata yang pendek.49 Hal ini
menunjukan bahwa isim nakirah tersebut menunjukan jumlah yang
sedikit.

48
Muhyiddin Darwisy, I’rab Al-Qur’an wa Bayanuhu., vol. 2, h. 114.
49
Fakhruddin Ar-Razi, Mafatih Al-Ghaib, vol. 26, h. 290.
20

Contoh kedua terdapat pada surat At-Taghabun ayat 9 :

ِ ‫َّللِ َوي عملَص‬


َ‫اْلًا‬ َ ْ َ ْ َ َ ََّ ‫َِب‬ِ ‫َك َيَوَُم َالتَّغَابُ ِنََۗوَم ْنَيُ ْؤِم ْن‬
َ
ِٰ ْ ‫ََي َمعُ ُك ْم َلِيَ ْوِم‬
ْ َ ‫َاْلَ ْم ِعََۖذَل‬ َْ ‫يَ ْوَم‬
ََۚ‫ين َفِ َيهاَأَبَ ًدا‬ ِ ِ ‫اَاَل َْْنَار‬
َ ‫َخال َد‬
َ ُ ْ ‫ََتت َه‬
َِْ ‫يَمن‬ ِ ََْ ‫َّات‬
ْ ‫َت ِر‬
ٍ ‫ي َك َِفرََعْنِهَسيِئاتِِِهَوي ْد ِخ ْلِهَجن‬
َ ُ َُ َ َ ُ َ ْ ُ
َُ ‫َكَالْ َف ْوُُزَالْ َع ِظ‬ ِ
‫يم‬ َ ‫ٰذَل‬
Artinya:
“(Ingatlah) hari (dimana) Allah mengumpulkan kamu pada hari
pengumpulan, itulah hari dinampakkan kesalahan-kesalahan. Dan
barangsiapa yang beriman kepada Allah dan beramal saleh, niscaya
Allah akan menutupi kesalahan-kesalahannya dan memasukkannya
ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka
kekal di dalamnya. Itulah keberuntungan yang besar”.
Makna ayat ini yaitu ciri orang beriman yang mendapat
ganjaran penghapusan dosa dan syurga tidak mesti mengerjakan
semua amal kebaikan, karena manusia sendiri tidak lepas dari
ِ ‫( ص‬kebaikan), isim
kealpaan. Pada ayat tersebut terdapat kata ‫اْلًا‬ َ
nakirah ini memberikan makna bahwa amal yang jumlahnya tidak
banyak dari orang beriman itu pun sudah bisa mencakup kriteria ayat
ini. Maka kata tersebut mengandung makna menyedikitkan sesuatu
(at-taqlil).50
Contoh ketiga terdapat dalam surat Al-Mursalat ayat 27 :

َ‫َماءًَفَُر ًات‬ ٍ ِ َ ‫َوجع ْلنَاَفِيهاَرو ِاسي‬


َ ‫َس َقْي نَا َُك ْم‬
ْ ‫َشاِمَات ََوأ‬ َ ََ َ َ َ َ
Artinya: “dan Kami jadikan padanya gunung-gunung yang tinggi, dan
Kami beri minum kamu dengan air tawar?
Pada kata ‫( َماء‬air) disini bisa mengandung dua makna, yang
pertama yaitu pengagungan (at-ta’dzim) terhadap nikmat Allah dan

50
Abu Ja’far Al-Garnathi, Malaak At-Ta’wil Al-Qathi’ bi Dzawi Al-Ilhad wa At-
Tah’thil fi Taujih Al-Mutasyabih Al-Lafdzi min Aay At-Tanzil (Beirut: Daar Al-Kutub Al-
‘Ilmiyyah, t.th.), vol. 2, h. 476.
21

yang kedua menunjukan makna parsial, artinya tidak seluruh air dapat
diminum oleh manusia.51 Artinya isim nakirah ini memberikan makna
jumlah yang sedikit.
Contoh keempat terdapat dalam surat Al-Hijr ayat 48 :

َ‫ي‬ ِ ِ ِ ‫ََلَْمَيسهمَفِيهاَنَصبَوم‬
َ ‫اَُه ْمَمْن َهاَِبُ ْخََرج‬
ُ َ َ ٌ َ َ ْ ُ ََ
Artinya: “Mereka tidak merasa lelah di dalamnya dan mereka sekali-
kali tidak akan dikeluarkan daripadanya.
Makna ayat di atas yaitu di syurga nanti setiap orang akan
mendapatkan kenikmatan tanpa harus bersusah payah sedikitpun
dalam memperolehnya. Kata ‫ب‬
ٌَ ‫ص‬
َ َ‫( ن‬kelelahan), disini mengindikasikan
makna yang sedikit (at-taqlil) yaitu tidaklah mereka mendepat
kelelahan sedikitpun di dalamnya.52
F. Kesimpulan
Dari sini dapat disimpulkan bahwa untuk memahami Alquran yang
berbahasa Arab, baik dari segi arti dan makna, maka diperlukan sebuah
penafsiran. Dalam upaya. menafsirkan Alquran dibutuhkan kaidah tafsir,
guna menghasilkan sebuah penafsiran yang baik dan komplek. Kaidah
tafsir, mempunyai hubungan yang sangat erat dengan bahasa Arab, dimana
kaidah tafsir harus didukung oleh kaidah-kaidah dasar dan kaidah
kebahasaan (al-qawa’id al-lughawiyyah).
Salah satu kaidah kebahasaan yang harus dipahami yaitu kaidah
yang berkenaan dengan kata benda yang bersifat non definitif (isim
naikrah), yang mana dia mengandung kemungkinan 6 (enam) makna :
untuk menunjukan makna tunggal, menunjukan jenis dari sesuatu
menunjukan pengagungan, menunjukan makna hal yang banyak
menunjukan makna merendahkan sesuatu, dan menunjukan makna hal
yang sedikit.

51
Abu Hafs Sirajuddin An-Nu’mani, Al-Lubab fi ‘Ulum Al-Kitab, vol. 20, h. 76.
52
Al-Maula Abul Fida Al-Kholuti, Ruuh Al-Bayan (Beirut: Daar El-Fikr, t.th.),
vol. 4, h. 472.
22

Penentuan makna dari isim nakirah tersebut dapat dilakukan


dengan melihat qarinah (petunjuk) baik berupa kata-kata tertentu ataupun
kontek kalimat (siyaq al-jumlah). Semisal, kata benda yang berbentuk
jamak bisa menunjukan makna banyak, dan kata tunggal (isim mufrad)
menunjukan makna tunggal atau sedikit. Atau Ketika mengetahui
perendahan (at-tahqir) pada surat ‘Abasa ayat 18 dan 19.
Karena penentuan makna diperoleh melalui ijtihad dengan
memperhatikan petunjuk dan konteks kalimat, maka kadangkala terjadi
perselisihan mengenai maknanya atau bahkan diperoleh makna ganda pada
kata tertentu. Semisal kata ‫شْي ئًا‬
َ (sesuatu) pada surat Ali Imran ayat 76 yang
memiliki makna menyedikitkan (at-taqlil) sekaligus merendahkan (at-
tahqir).
Karena itu penting untuk dibuat suatu rumusan yang lebih baku
mengenai petunjuk dan konteks kalimat tersebut dalam kaidah yang lebih
terperinci (al-qawaa’id al-far’iyyah) dari kaidah umum di atas.
23

DAFTAR PUSTAKA

An-Nu’mani, Abu Hafs Sirajuddin, Al-Lubab fi ‘Ulum Al-Kitab, Beirut:


Daar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1998, vol. 4.
Al-Garnathi, Abu Ja’far, Malaak At-Ta’wil Al-Qathi’ bi Dzawi Al-Ilhad
wa At-Tah’thil fi Taujih Al-Mutasyabih Al-Lafdzi min Aay At-
Tanzil, Beirut: Daar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, vol. 2.
At-Thabari, Abu Ja’far, Jaami’ Al-Bayan fi Ta’wil Al-Qur’an, Beirut:
Muassasat Ar-Risalah, 2000, vol. 6.
Zahrah, Abu, Zahrat At-Tafasir, Damaskus: Daar El-Fikr Al-‘Arabi, vol.
8.
Assamin, Abul Abbas, Ad-Durr Al-Mashun fi Ulum Al-Kitab Al- Maknun,
Damaskus: Daar Al-Qolam, vol. 1.
Az-Zamakhsyari, Abul Qasim, Al-Kassyaf ‘an Haqaiq Ghawamid At-
Tanzil, Beirut: Daar Al-Kitab Al-‘Arabi, 1407H, vol. 3.
Mutakin, Ali, “Kedudukan Kaidah Kebahasaan dalam Kajian Tafsir”, Al-
Bayan: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Tafsir, No. 2, Desember 2016.
Al-Kholuti, Al-Maula Abul Fida, Ruuh Al-Bayan, Beirut: Daar El-Fikr,
vol. 4.
Al-Asfahani, Ar-Raghib, Tafsir Ar-Raghib Al-Asfahani, Riyadh: Daar Al-
Wathan, 2003, vol. 3.
Az-Zarkasyi, Badruddin, Al-Burhan fi ‘Ulum Al-Qur’an, Kairo: Daar Ihya
Al-Kutub Al-‘Arabiyyah ‘Isa Al-Baab Al-Halabi, 1957, vol. 4.
Muhammad, Badruddin, Syarh Ibn Nadzim ‘ala Alfiyat Ibn Malik, Beirut:
Daar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, 2000.
Ar-Razi, Fakhruddin, Mafatih Al-Ghaib, Beirut: Daar Ihya At-Turats Al-
‘Arabi, 1420H, vol. 11.
Muchoyyar, H.M., “kata pengantar” dalam Nor Ichwan, Memahami
Bahasa Alquran, Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2002.
Katsir, Ibn, Tafsir Alquranal-Adzim Vol. I, Kairo: Maktabah Aulad al-
Syaikh li al-Turats, 2000.
Al-Hasani, Ibnu ‘Ajibah, Al-Bahrul Madid fi Tafsir Al-Qur’an Al-Majid,
Kairo: Hasan Abbas Zaki, 1419H, vol. 1.
24

‘Aqilah, Ibnu, Az-Ziyadah wa Al-Ihsan fi ‘Ulum Al-Qur’an, Sharjah:


Markaz Al-Buhuts wa Ad-Dirasat Jaami’at Asy-Syariqah, 1427H,
vol. 8.
At-Tunisi, Ibnu ‘Asyur, At-Tahrir wa At-Tanwir, Tunis: Ad-Daar At-
Tunisiyah li An-Nasyr, 1984, vol. 2.
Iskandar, “Studi Alquran Dan Integrasi Keilmuan: Studi Kasus Uin Sunan
Gunung Djati Bandung.”1, Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan
Sosial Budaya, 1, no. 1, 2016.
As-Shuyuti, Jalaludin, Al-Itqan fi ‘Uluum Al-Qur’an, Kairo: Al-Haiah Al-
Mishriyah Al-‘Aammah li Al-Kitab, 1974, vol. 2.
As-Shuyuti, Jalaludin, Mu’tarak Al-Aqran fi I’jaz Al-Qur’an, Beirut: Daar
Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, 1988, vol. 3.
Al-Qasimi, Jamaluddin, Mahaasin At-Ta’wil, Beirut: Daar Al-Kutub Al-
‘Ilmiyyah, 1418H, vol. 6.
Syihab, M. Quraisy, Kaidah Tafsir, Tanggerang: Lentera Hati, 2013.
Al-Islamiyah, Majma’ Al-Buhuts, At-Tafsir Al-Wasith li Al-Qur’an Al-
Karim, Kairo: Al-Haiah Al-‘Ammah li Syu’un Al-Mathabi’ Al-
Amiriyah, 1993, vol. 10.
As-Shobuni, Muhammad Ali, Shofwat At-Tafasir, Kairo: Daar Ash-
Shobuni li At-Thiba’ah wa An-Nasyr wa At-Tauzi’, 1997, vol. 2.
Asy-Syaukani, Muhammad bin Ali, Fath Al-Qodir, Damaskus: Daar Ibnu
Katsir, 1414H, vol. 3.
al-Dzahabi, Muhammad Husain, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Mesir: Dar
al-Kutub al-Haditsah, 1972.
Khan, Muhammad Shiddiq, Fath Al-Bayan fi Maqashid Al-Qur’an, Beirut:
Al-Maktabah Al-‘Ashriyah li At-Thiba’ah wa An-Nasyr, 1992, vol.
10.
Darwisy, Muhyiddin, I’rab Al-Qur’an wa Bayanuhu, Homs: Daar Al-
Irsyad li Asy-Syuun Al-Jami’iyah, 1415H, vol. 6.
Bahjat, Mujahid Mustafa and Mosidi Sally Bin Saleh, “Sheikh Bin Wan
Ismail Wan Abdul Qadir (D. 1965) And His Efforts in the Field of
Islamic Faith,” International Journal of Nusantara Islam 1, no. 1,
2013.
25

Al-Ghulayaini, Musthafa, Jaami’ Ad-Durus Al-‘Arabiyyah, Beirut: Al-


Maktabah Al-‘Ashriyah, 1993.
Al-Baidhawi, Nashiruddin, Anwar At-Tanzil wa Asrar At-Ta’wil, Beirut:
Daar Ihya At-Turats Al-‘Arabi, 1418H, vol. 1.
Al-Bantani, Nawawi, Marah Labid li Kasyfi Ma’ani Al-Qur’an Al-Majid,
Beirut: Daar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1417H, vol. 2.
An-Naisaburi, Nidzamuddin, Gharaaib Al-Qur’an wa Raghaaib Al-
Furqan, Beirut: Daar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1416H, vol. 5.
Shihab, Quraish, Membumikan Alquran, Bandung: Mizan, 1997.
Al-Afghani, Sa’id bin Muhammad, Al-Muujaz fi Qawaa’id Al-Lughah Al-
‘Arabiyyah, Beirut: Daar El-Fikr, 2003.
Al-‘Ila’i, Sholahuddin, Al-Fushul Al-Mufidah fi Al-Waw Al-Mazidah,
Oman: Daar Al-Basyir, 1990..
Al-Khafaji, Syihabuddin, ‘Inayat Al-Qadhi wa Kifayat Ar-Radhi ‘ala
Tafsir Al-Baidhawi, Beirut: Daar Shadir, vol. 2.
Al-Kurani, Syihabudin, Ghayat Al-Amani fi Tafsir Al-Kalam Ar- Rabbani,
Turki: Universitas Sakarya Fakultas Ilmu Sosial, 2007.

Anda mungkin juga menyukai