Anda di halaman 1dari 18

Ilmu Ta’wil Al-hadith

Metode Memahami Hadis Nabi


Oleh: Muflihun
Hadis adalah segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad saw.
baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan maupun sifatnya. Hadis
dipandang oleh mayoritas umat Islam sebagai sumber ajaran Islam setelah al
Qur‘an. Sebab, ia merupakan bayan (penjelasan) terhadap ayat ayat al
Qur‘an yang masih global. Bahkan secara mandiri, hadis dapat berfungsi
menetapkan suatu hukum yang belum ditetapkan oleh al Qur‘an. Selain itu,
Assunnah menurut Yusuf Qardhawi, adalah penafsiran praktis terhadap al
Qur‘an, implementasi realitas, dan juga implementasi ideal Islam. Pribadi
nabi Muhammad SAW. itu sendiri adalah merupakan penafsiran al Qur‘an
dan pengejawantahan Islam.
Metode Memahami Hadits
Metode Memahami Hadis Ada beberapa cara untuk memahami sebuah hadis agar tidak
meleset dari apa yang dimaksud dan dikehendaki oleh pesan sabda rasul antara lain adalah:
A.Pemahaman Tekstual
Pemahaman hadis dengan cara tektual artinya memahami sebuah hadis dengan apa adanya
pada teks hadis (lafzhiyah). Pada dasarnya hadis dapat dipahami secara tektual, namun
apabila tidak dapat dipahami secara tektual, maka bisa ditempuh dengan pemahaman
kontektual. Kebanyakan hadis yang dibaca oleh umat Islam a dalah tektual seperti hadis:
‫صلوا كما رأيتموني اصلى رواه مسلم‬
“Shalatlah kamu sebagaimana kalian melihat aku shalat “ Hadis ini bisa dipahami dengan
jelas melalui teks (lafazh) hadis itu sendiri.
Contoh lain hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori,
‫فيما سقت السماء والعيون العشر وفيما سقي ابلنضح نصف العشر رواه البخارى‬
“Hasil panen yang diairi oleh tadah hujan dan mata air kewajiban
mengeluarkan zakatnya sepersepuluh (10 %), dan pada tanaman yang
disiram dengan kincir air(alat), wajib zakatnya seperduapuluh (5%).”
Hadis ini bisa dipahami dengan melalui tektual (lafazh hadis) dan masih
banyak hadits lainya.
B.Pemahaman Dengan Cara Kontekstual
Apabila sebuah hadis tidak dapat dipahami dengan tektual, maka harus dipahami
dengan kontektual yaitu dipahami dengan melihat aspek-aspek di luar lafazh (teks)
hadis itu sendiri, bisa dipahami dengan yang ada kaitanya dengan asbab wurud al
hadis, secara geografis, sosio-kultural dan lain-lain.
a. Pemahaman dengan cara asbab wurud hadis Perlu diketahui bahwa tidak semua
hadis mempunyai latar belakang historis, ada hadis yang diriwayatkan karena faktor-
faktor tertentu, ada yang tidak mempunyai faktor dan latar belakang tertentu, dia
datang begitu saja, seperti Al-Qur’an ada yang turun ibtida’an tanpa ada sebab, ada
yang turun karena ada sebab kejadian, pertanyaan atau peristiwa-peristiwa yang
dialami oleh rasul dan para shabatnya, demikian halnya dengan hadis.
Berkaitan dengan pemahaman hadis yang benar apakah hadis yang akan dikaji
itu mempunyai latar belakang asbab wurud atau tidak, karena mengetahui asbab
wurud hadis akan memudahkan pemahaman terhadap hadis, seperti asbab nuzul
ayat apabila diketahui maka akan memudahkan pemahaman terhadap ayat.
Tela’ah historis melalui sebab wurud hadis sangat penting dilakukan karena
dengan mengetahuinya, maka akan diketahui makna hadis yang umum, khusus,
mutlak, muqayyad, sehingga diketahui makna hadis sesuai porsinya. Seperti
hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
‫اذا جاء احد كم الجمعة فليغتسل‬
“apabila kamu sekalian hendak datang (menunaikan shalat) Jumat maka
hendaklah dia mandi.”
Menurut Imam Daud al-Zhohiri hadis tersebut menunjukkan wajib bagi
setiap muslim yang hendak pergi shalat Jumat melakukan mandi
sebelumnya. Hadis ini mempunyai sebab wurud, yaitu ketika dua orang
penduduk Irak datang kepada Ibnu Abas dan bertanya tentang mandi pada
waktu hendak melakukan Jumat. Ibnu Abbas menjawab, bahwa orang yang
ketika hendak shalat Jumat adalah sangat baik dan bersih. Diriwayatkan pada saat itu
perekonomian para sahabat umumnya masih dalam keadaan sulit, sehingga mereka hanya
mampu memakai baju wol yang kasar dan jarang dicuci, sedangkan sebagian mereka banyak
yang bekerja di kebun sebagian mereka ada yang langsung pergi ke Masjid untuk menunaikan
shalat Jumat, pada suatu Jumat cuaca sangat panas sementara masjid sangat sempit ketika nabi
berkhutbah aroma keringat dari orang-orang yang berbaju wol dan belum mandi tercium oleh
rasulullah saw, sehingga suasana hening dalam masjid menjadi terganggu oleh aroma yang tidak
sedap itu, sehingga nabi mengatakan hadis tersebut, maka bisa ditarik kesimpulan bahwa wajib
mandi bagi orang-orang yang kotor saja. Ketika diambil pengertian secara zhohir (Tektual)
“maka hendaklah ia mandi“. Maka sebagian ulama menggunakan kaidah ushul fiqh bahwa
kalimat‫ليغتسل‬hhh‫ ف‬adalah fi’il yang menunjukan suruhan, dalam kaidah ushul bisa mengandung arti
wajib bisa mengandung suruhan hanya sunnah atau anjuran.
C.Pemahaman dengan Geografis
Geografis dapat memberikan pemahaman terhadap hadis dimana hadis itu diucapkan
karena kalau dipahami secara tektual (lafzhiyah), malah tidak tepat untuk lokasi lain
seperti hadis riwayat Imam al Timirdzi.
‫ما بني المشرق والمغرب قبلة‬
“Arah antara timur dan barat adalah kiblat”
Hadis ini di sabdakan rasul ketika di kota Madinah sebelah utara Ka’bah (Mekkah),
maka makna tektual hadis ini sangat tepat sekali bagi penduduk Madinah, akan tetapi
tidak tepat dan tidak berlaku untuk kota dan negeri lain seperti Indonesia. Oleh karena
itu, pemahaman hadis ini harus melalui pendekatan kontektual yaitu dengan melihat
lokasi dimana hadis ini disabdakan.
D.Pemahaman dengan Illat al Kalam (Kausalitas Kalimat)
Nabi Saw dalam memberi perintah atau larangan terkadang menggunakan ungkapan-ungkapan yang
maksudnya tidak bisa dipahami secara konkrit oleh para sahabat, sehingga menimbulkan perbedaan
pemahaman seperti hadis:
‫اليصلين احدكم العصر اال فى بني قريظة رواه البخارى‬
“Janganlah salah seorang kamu shalat ashar kecuali di bani quraizhoh”
Hadis ini dipahami oleh sebagian sahabat bahwa rasul melarang shalat ashar kecuali di Bani
Quraizhoh, walaupun sudah habis waktunya (sesuai dengan tektual). Sahabat lain memahami bahwa
yang dimaksud oleh larangan rasul dan menyuruhnya shalat ashar di Bani Quraizhoh adalah agar
supaya cepat-cepat menuju Bani Quraizhoh dan bukan keharusan shalat ashar disana. Dengan
demikian bagi mereka yang jalanya lambat dan tidak sampai Bani Quraizhoh kecuali setelah matahari
terbenam, maka mereka harus shalat Ashar sebelum matahari terbenam, meskipun belum sampai di
Bani Quraizhoh, karena apabila shalat ashar di Bani Quraizhoh sementara waktu Ashar telah habis
maka berarti mereka meninggalkan shalat Ashar pada waktunya dengan sengaja. Setelah dikabarkan
kepada rasul tentang masalah keduanya nabi membenarkan kedua-duanya.
E. Pemahaman dengan Sosio-Kultural.
Pemahaman hadis secara kontektual bisa melalui sosio-kultural yaitu dengan cara
mengaitkan hadis dengan kondisi sosial masyarakat pada waktu itu misalnya hadis
yang membolehkan meludah di masjid pada waktu shalat ke sebelah kiri atau ke
bawah telapak kaki kiri.
‫عن انس ابن مالك قال قال رسول هللا ص م اذا كان احدكم في الصالة فانه يناجى ربه فال يبزقن بين يديه‬
‫وال عن يمينه ولكن عن مشاله تح ت قدمه رواه مسلم‬
“Dari Anas bin Malik Dia berkata Rasulullah saw bersabda: Apabila salah seorang
kamu dalam keadaan shalat sesungguhnya dia sedang bermunajat kepada
tuhannya, maka janganlah meludah diantara tanganya dan kesebalah kanannya,
akan tetapi kesebelah kiri dibawah telapak kakinya”. (H.R Muslim)
Untuk kondisi waktu itu meludah di masjid merupakan persoalan biasa, karena
masjid ketika itu masih berlantai tanah dan padang pasir belum mengenal lantai
keramik atau marmer, sehingga ludah yang jatuh pada saat itu bisa diserap
langsung oleh tanah padang pasir, disamping udara kering dan panas,
menyebabkan bakteri-bakteri tidak tahan hidup, berbeda dengan masjid zaman
Kontroversialitas Hadis

Hadis dengan Al-Qur’an


Sesuai dengan fungsi hadis terhadap Al-Qur’an, maka tidak mungkin hadis shahih
bertentangan dengan Alquran. Pemahaman semacam ini akan menyebabkan kesan-kesan
pertentangan itu muncul. Yusuf al-Qordhowy mengatakan, manakala ada hadis bertentangan
dengan Alquran, maka hanya ada dua kemungkinan; pemahaman yang salah atau hadis yang
tidak shahih. Hadis yang disinyalir oleh sebagian orang bertentangan dengan Al-Qur’an
adalah hadis Bukhari dan Muslim
‫عن عائشة رضى هللا عنها ان رسول هللا ص م قال من مات وعليه صيام صام عنه وليه‬
‫رواه البخارى ومسلم‬
“Dari Aisyah r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa yang meninggal mempunyai
kewajiban (mengqodho puasa) maka mempuasakan walinya (ahli warisnya)” Sebagian
menyebutkan hadis ini bertentangan dengan ayat 39 surat An najm:
‫وان ليس لال نسان إال ما سعى‬
“ Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakanya”.
Pada perinsipnya hadis diatas tidak bertentangan dengan ayat ini karena ayat menyebutkan tidak
menafikan pemanfaatan seseorang dari usaha orang lain akan tetapi meniadakan memiliki
sesuatu yang bukan pekerjaanya, bahwa seseorang itu tidak akan memiliki sesuatu kecuali apa
yang dia usahakan, maka seseorang berbuat baik bisa untuk dirinya, dan apabila menghendaki
untuk orang lain tidak ada larangan, seperti melakukan puasa untuk orang lain.
Hadis dengan hadis.
Terkadang ditemukan hadis secara lahiriah bertentangan dengan hadis lain sehingga
menimbulkan pemahaman yang rancu dan tidak benar, padahal apabila ditelaah dengan seksama
antara hadis yang satu dengan hadis lain sebenarnya tidak ada pertentangan karena masing-
masing hadis sesuai dengan kondisinya. Para ulama telah menetapkan rambu-rambu terkait
dengan pemahaman terhadap hadis-hadis yang saling bertentangan yaitu dengan melalui
pendekatan al Jam’u, al Tarjih, al Nasakh, dan isqat dalilain atau tawaquf.
Salah satu contoh kasus yang berkaitan dengan mukhtalaf al-hadits, yaitu mengenai hukum
shalat dua rakaat sebelum maghrib. Berkaitan dengan hal tersebut, ada dua hadits yang akan
menjadi pokok bahasan kita di sini. Yang pertama adalah hadits yang diriwayatkan oleh
Abullah bin al-Muzani :
ً‫ فِي الثَّالِثَ ِة لِ َم ْن َشا َء َك َرا ِهيَةَ َأ ْن يَتَّ ِخ َذهَا النَّاسُ ُسنَّة‬:‫ قَا َل‬،‫ب‬ َ ‫صلُّوا قَ ْب َل‬
ِ ‫صالَ ِة ال َم ْغ ِر‬ َ
“Shalatlah kalian sebelum shalat maghrib, (kemudian) bersabda Rasulullah SAW setelah
yang ketiga kalinya : “bagi siapa saja yang berkehendak!” karena takut orang
menjadikannya sebagai sunnah.”
Dan yang kedua adalah atsar yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Thowus :
َ ُ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ي‬
َ ‫صلِّي ِه َما َو َر َّخ‬
‫ص فِي‬ ِ ‫ْت َأ َح ًدا َعلَى َع ْه ِد َرس‬
َ ِ ‫ُول هَّللا‬ ُ ‫ب فَقَا َل َما َرَأي‬
ِ ‫سئل بن ُع َم َر َع ِن ال َّر ْك َعتَ ْي ِن قَ ْب َل ْال َم ْغ ِر‬
‫ال َّر ْك َعتَي ِْن بَ ْع َد ْال َعصْ ِر‬
“Ibnu Umar ditanya tentang dua rakaat sebelum maghrib kemudian dia berkata aku tidak
pernah melihat seseorang pada masa Rasulullah SAW melakukan shalat tersebut namun
Beliau memberikan keringanan pada dua rakaat setelah ashar”
Dua hadits di atas jika dilihat secara dzahir, maknanya saling bertentangan. Yang pertama
menunjukkan kebolehan shalat sunnah sebelum maghrib, namun yang kedua manafikan
kesunnahannya. Maka disini kita akan melihat bagaimana para ulama menyikapi kedua hadits
1. Al-Jam’u
Sebagian ulama hanafiyah menggunakan cara al-jam’u dalam menyikapi kedua hadits di
atas sebagaimana disebutkan oleh Badruddin al-‘Aini dalam kitabnya ‘Umdah al-Qori
Syarh Shohih Al-Bukhori, penjelasannya adalah sebagai berikut.
Hadits yang pertama berkaitan dengan kondisi kaum muslimin pada awal kemunculan
islam, untuk menunjukkan telah berlalunya waktu terlarang untuk shalat dengan
terbenamnya matahari sehingga rasulullah SAW menganjurkan untuk melakukan shalat dua
rakaat sebelum maghrib sebagai pertanda bahwa waktu tersebut sudah diperbolehkan untuk
melakukan shalat, baik itu shalat sunnah atau shalat fardu.
Kemudian setelah itu kaum muslimin terbiasa untuk menyegerakan shalat fardu di awal
waktu agar tidak terlambat untuk melaksanakannya di waktu yang utama, maka shalat dua
rakaat sebelum maghrib pun tidak dilakukan. Dengan demikian hadits kedua yang
diriwayatkan dari Ibnu Umar tidak bisa dijadikan hujjah untuk menafyikan kesunnahan
shalat dua rakaat sebelum maghrib.
2. At-Tarjih
Cara yang kedua adalah dengan melakukan tarjih terhadap salah satu hadits yang dianggap
lebih kuat atau dominan. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
Hadits yang pertama yaitu hadits yang diriwayatkan dari Abullah bin al-Muzani adalah hadits
shahih, diriwayatkan oleh Imam al-Bukhori. Selain itu hadits ini juga diriwayatkan oleh
banyak ulama ahli hadits yang termaktub dalam kitab-kitabnya antara lain Musnad-nya Imam
Ahmad, Shahih Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Hibban, Sunan Abu Daud, Sunan al-
Daruqutni, al-Sunan al-Shagir dan al-Sunan al-Kubro karya Imam al-Baihaqi.
Selain itu, hadits ini juga diperkuat oleh hadits lain yang juga merupakan hadits shahih. yaitu
hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik:
‫ّى هللا عليه‬h‫ُج النَّبِ ُّي صل‬
َ ‫ َحتَّى يَ ْخر‬،‫ي‬ َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَ ْبتَ ِدر‬
ِ ‫ُون ال َّس َو‬
َ ‫ار‬ ِ ‫المؤذن ِإ َذا َأ َّذ َن قَا َم نَاسٌ ِم ْن َأصْ َحا‬
َ ‫ب النَّبِ ِّي‬ ّ َ ‫َك‬
‫ان‬
‫ب‬ َ ُّ‫ُصل‬
ِ ‫ون ال َّر ْك َعتَي ِْن قَ ْب َل ال َم ْغ ِر‬ َ ِ‫وسلم َوهُ ْم َك َذل‬
َ ‫ ي‬،‫ك‬
“Adalah muadzin apabila adzan, para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersegera
berdiri menuju tiang masjid untuk shalat dua rakaat sebelum maghrib sampai Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam keluar sementara mereka dalam keadaan demikian”
Hadits di atas adalah hadits yang muttafaq ‘alaih (diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim).
Dengan demikian hadits ini menjadi penguat bagi hadits pertama yang diriwayatkan dari
Abdullah bin al-Muzani yang menunjukkan pensyariatan shalat dua rakaat sebelum maghrib.
Walaupun nantinya ada perbedaan di antara fuqoha dalam derajat ke-masyru’iyyah-annya.
Ada yang mengatakan sunnah atau mustahab dan ada yang berpendapat hanya sekedar
mandub. Sedangkan hadits kedua yang diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa dia tidak melihat
seorang pun dari sahabat Nabi yang melakukan shalat dua rakaat sebelum maghrib, hadits ini
diriwayatkan oleh Abu Daud dan Al-Baihaqi. Namun hadits ini mendapat komentar dari
beberapa ulama diantaranya Ibnu Hazm yang mengatakan bahwa hadits ini tidak shahih
karena dalam sanadnya terdapat seorang rowi majhul (tidak diketahui/dikenal) yang bernama
Syuaib. Di samping itu Imam Al-bani juga mengatakan bahwa hadits ini adalah hadits dha’if.
Dari sisi lain, metode tarjih juga bisa dilakukan dengan cara memandang dari sisi itsbat dan
nafyi-nya. Hadits pertama dianggap sebagai hadits yang menetapkan atau meng-itsbat
(mutsbit) kebolehan shalat sunnat dua rakaat sebelum maghrib.
Dan hadits yang kedua dianggap sebagai hadits yang menafyikan (nafi) kebolehannya. Maka
jika ada dua hadits, yang satu mutsbit dan yang satu nafi, yang didahulukan adalah hadits
yang mutsbit. Karena boleh jadi yang menafyikan kesunnahan shalat tersebut tidak
mengetahui apa yang diketahui oleh yang meng-itsbat (menetapkan) kesunnahannya.
3. An-Naskh
Ibnu Syahin berpendapat bahwa hadits pertama yaitu hadits Abdullah bin al-Muzani, dinasakh oleh
hadits kedua yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar dan hadits yang diriwayatkan oleh abdullah bin
Buraidah berikut :
‫ِإن ِع ْند كل أذانين َر ْك َعتَ ْي ِن َما خال ْالمغرب‬
“Sesungguhnya di setiap dua adzan (adzan dan iqomah) ada dua rakaat, kecuali shalat maghrib”

Namun pendapat ini mendapat sanggahan dari Ubaidullah al-Rahmani al-Mubarakfuri dalam kitab
Mir’ah al-Mafatih. Beliau mengatakan bahwa pendapat nasakh ini tidak perlu dianggap karena
merupakan pendapat yang tidak berdasar.
Jika melihat beberapa cara dalam menyikapi mukhtalaf al-ahadits seperti yang telah
dijelaskan di atas, sangatlah wajar jika kita mendapati perbedaan para ulama dalam
menentukan hukum shalat dua rakaat sebelum maghrib. Karena memang setiap ulama
mempunyai pendapat dan metode masing-masing dalam hal ini bahkan dalam masalah-
masalah fiqih lainnya.
Jazakumullahukhairan

Anda mungkin juga menyukai