Anda di halaman 1dari 47

Ilmu Naqd Al-Mutûn

oleh: Syarif Hidayatulloh


Siti Sakina
Hadis (As-sunah) merupakan sumber ajaran agama Islam yang
menempati urutan kedua setelah Al-Qur’an. Dikatakan sebagai
sumber ajaran agama Islam kedua setelah Al-Qur’an karena
fungsinya yaitu sebagai sumber yang berkaitan langsung dengan
Nabi Muhammad Saw. dan juga sebagai penjelas (bayan) bagi
ayat-ayat Al-Qur’an yang mujmal, muthlaq, amm, dan
sebagainya. Oleh karena itu, peran hadis sangat penting bagi
umat muslim karena di dalamnya terdapat tradisi-tradisi kenabian
pada masa Rasulullah Saw. yang mengacu langsung pada
perlakuan dan kepribadian Rasulullah Saw. Umat muslim di
zaman sekarang dapat memahami, merekam, dan melanjutkan
sunah-sunah Nabi Muhammad Saw. melalui hadis.
Hadis mengandung pesan-pesan ilahiah sekaligus bahasa insani yang
muncul dalam kondisi lingkungan, kebudayaan, sosial, dan politik
tertentu, pada zaman itu adalah Jazirah Arab dimana Rasulullah Saw.
berada. Berbeda dengan Al-Qur’an yang diturunkan secara mutawatir,
Periwayatan hadis bersifat perorangan (ahad). Hadis tidak dihimpun pada
awal Islam sebagaimana saat para sahabat memushafkan Al-Qur’an.
Kodifikasi hadis Nabi Muhammad Saw. dilakukan cukup jauh setelah
wafatnya Nabi dan Sahabat yaitu pada masa Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul
‘Aziz atau sekitar 90 tahun setelah Nabi Saw. wafat.
Oleh karena itu penelitian mengenai keakuratan hadis yang sangat penting
dilakukan dengan tujuan untuk menilai apakah secara historis hadis tersebut
benar-benar dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya. Untuk menentukan
kesahihan suatu hadis, tidak hanya peran sanad yang menentukan, namun
matan dari hadis tersebut haruslah sahih pula. Para ulama sepakat bahwa
meskipun penelitian hadis sangat bergantung kepada kualitas periwayatan
atau sanad, namun para ulama tidaklah meninggalkan penelitian kesahihan
matan Antara sanad dan matan masing-masing memiliki kriteria kesahihan
tersendiri karenanya muncul pernyataan yang menyatakan bahwa hadis
dengan sanad yang sahih tidak menjamin bahwa matannya pun sahih
Kritik Matan Hadis
Kata ‘kritik’ dalam bahasa Arab adalah naqd berarti
menimbang, membanding, dan menghakimi. Kata naqd juga
popular dengan makna penelitian, analisis, pengecekan dan
pembedaan. Kata naqd digunakan oleh beberapa ulama hadis
namun istilah ini tidaklah begitu popular. Para ulama hadis
menjuluki keilmuan yang berhubungan dengan penelitian hadis
dengan jarh wa ta’dil, yaitu ilmu yang memberi tahu sahih atau
tidaknya sebuah hadis. Kritik hadis dapat diartikan sebagai suatu
jalan atau cara untuk memastikan periwayatan yang diasandarkan
kepada Nabi Muhammad Saw. dengan mengetahui syarat-syarat
seta asas-asas yang ditempuh untuk memastikan kesahihan suatu
hadis.
Matan dalam bahasa Arab memiliki makna bahasa ‘punggung
jalan’ atau dapat juga dimaknai ‘bagian tanah yang keras yang
menonjol ke atas’. Dalam ilmu hadis, matan hadis secara istilah
memiliki makna yang jauh berbeda dan memiliki pengertian yang
berbeda-beda pula dengan inti pengertian yaitu segala lafaz ataupun
pelajaran yang ada di dalam hadis. Menurut Ibnu al-Jamâ’ah, matan
hadis dapat didefinisikan sebagai letak berakhirnya suatu sanad
dalam suatu kalimat
Kritik matan hadis adalah upaya dalam bentuk meneliti dan
memberi penilaian terhadap suatu matan hadis untuk menentukan
kualitas, mutu, dan tingkatan suatu hadis dagar dapat ditentukan apakah
hadis tersebut merupakan hadis yang sahih atau justru merupakan hadis
yang dhaif. Kritik matan hadis dilakukan untuk menentukan apakah
suatu hadis bersifat maqbul atau mardud. Hal ini memperlihatkan
bahwa kualitas suatu hadis sangatlah penting untuk mengetahui dalam
hubungannya dengan kehujjahan hadis yang bersangkutan.
Urgensi mempelajari
Kritik Matan Hadis
1. Menghindari sikap ceroboh dalam menerima riwayat dengan
mengacu pada aturan kritik matan hadis
2. Mengungkap adanya kemungkinan kesalahanan periwayatan
3. Melawan musuh-musuh Islam yang merencoba
menghancurkan dan merendahkan Islam menggunakan hadis-
hadis yang sanadnya sahih namun kandungan matannya
bertentangan dengan prinsip dasar dan universalitas Islam
4. Menyelesaikan kontradiksi dalam kandungan periwayatan
Sejarah Kritik Matan Hadis
Kritik matan hadits telah muncul pada masa Rasulullah
Saw, namun hal itu hampir tidak pernah terjadi karena jika terjadi
perselisihan atau keganjalan atas sebuah hadis langsung
ditanyakan kepada Nabi Muhammad Saw atau kepada sahabat
yang menyaksikannya langsung. Tujuan dilakukannya kritik
matan hadis pada saat itu ialah agar masyarakat muslim lebih
meyakini berita yang bersumber dari Rasulullah Saw. Pengecekan
ulang redaksi tidak didasari oleh kecurigaan, melainkan untuk
memastikan bahwa suatu berita atau riwayat yang diterima adalah
berasal asli dari Rasulullah Saw. Hal ini menyebabkan kritik
hadis pada masa ini sangatlah minim dan sangat terbatas
lingkupnya.
Setelah Rasulullah Saw. wafat, para sahabat melanjutkan kritik
matan hadis sebagai ketelitian para sahabat terhadap berita atau
riwayat dari Rasulullah Saw. Terhadap berita yang dianggap janggal
menurut pemahaman mereka untuk memberitahu bahwa suatu
periwayatan terbebas dari kebohongan yang mengatasnamakan Nabi
Muhammad Saw. Proses penyebaran hadis pada masa sahabat
bersumber dari kemampuan dan kecermatan dalam periwayatan.
Kritik matan hadis pada periode ini dilakukan oleh Aisyah r.a binti
Abu Bakar pada matas hadis riwayat Abu Hurairah r.a berikut :
‫ إن‬- ‫حدثنا هناد بن السري عن عبدة وأي معاونة عن هشام بن عروة عن أبيه عن ابن عمر قال قال رسول هللا‬
‫الميت ليعذب ببكاء أهله عليه‬
Artinya: Sesungguhnya mayat itu diazab disebabkan oleh ratapan keluarganya

Aisyah r.a menganggap matan hadis ini keliru dan mengkritik matan hadis
ini dengan menceritakan kejelasan matan hadis ini seperti yang ia ketahui yaitu
Pada suatu ketika Nabi saw., melewati suatu kuburan yang mana saat itu ditemui
kuburan milik orang yahudi. Kemudian Nabi saw. melihat keluarganya si mayat
yang. sedang meratap diatas kuburannya tersebut. Lalu Nabi saw. bersabda:
"mereka sedang meratapi i mayat, sementara si mayat. sendiri sedang diazab
dalam kuburnya". Aisyah r.a kemudian mengatakan bahwa makna matan hadits
yang datang dari Abu Hurairah ra tersebut telah bertentangan dengan al-Qur'an
dan cukuplah al-Qur'an sebagai bukti kesalahpahaman tentang matan hadits dari
Abu Hurairah ra tersebut
Dengan demikian pada periode sahabat, tradisi kritik matan yang
dilakukan adalah sebagai upaya dalam meneliti isi hadits dengan cara
mencocokkannya kembali apa yang pernah didengar sendiri dari Nabi saw,
lalu selanjutnya dibandingkan dengan al-Qur'an. Kemudian setelah tradisi
kritik matan hadits yang dilakukan oleh para sahabat, lalu dilanjutkan pada
tabi'in atau yang biasa disebut dengan periode pasca sahabat. Kritik matan ini
dimulai dengan ditandai penyebaran hadits yang semakin banyak dan
melebar luas, sehingga mengakibatkan banyak bermunculan matan-matan
hadits maudhu.
Kriteria umum dalam Kritik Matan Hadis
1. Idraj
Idraj dalam kritik matan hadis berarti
penyisipan kata atau kalimat oleh perawi sahabat
langsung menyatu dengan ungkapan asal matan
hadis tanpa menunjuk narasumber yang
menyisipkan kata tersebut. Letak kata atau kalimat
yang disisipkan dapat berada di bagian awal
ungkapan dengan menyerupai pengantar atas
ungkapan setelahnya, atau ditengah ungkapan, dan
yang paling banyak adalah di belakang ungkapan
matas aslinya.
 Berikut contoh dari Idraj:
‫ ويل لألعقاب من النار‬, ‫ أسبغو الضوء‬:‫م‬.‫عن أبى هريرة قال؛ فال رسول هللا ص‬

Kata ‫لضوء‬qq‫و ا‬q‫سبغ‬q‫ أ‬pada teks matan hadis di atas bukan


perkataan Rasulullah Saw. melainkan perkataan Abu
Hurairah. Dua perawi hadis ini, Abu Qatn dan Syababah
ragu dengan penyisipan kata tersebut, sehingga menjadikan
kata tersebut bersambung dari hadis. Setelah dilakukan
cross check dengan meneliti hadis yang semakna, diperoleh
hasil bahwa hadis tersebut seharusnya berbunyi:
‫ ويل لألعقاب من النار‬: ‫ فإن أبا القاسم قال‬,‫ أسبغو الضوء‬:‫عن أبى هريرة قال‬
2. Ziyadah
 Ziyadah berarti penambahan anak kalimat. Berbeda dengan
idraj, penambahan kata pada bentuk ziyadah merupakan
penambahan yang dikemukakan oleh perawi tertentu, namun
perawi lainnya tidak mengemukakan.
Contoh Ziyadah:
 ‫ فرض زكاة الفطر من رمضان على كل حر عبد ذكر أو أنثى من المسلمين‬, ‫أن رسول هللا صلى هللا عليه و سلم‬
(‫بنعمر‬q‫لكعنا‬qq‫ ما‬q‫ه‬q‫)روا‬

kata‫لمسلمين‬qq‫ منا‬dinyatakan sebagai ziyadah karena hanya ditemukan dalam periwayatan


Imama Malik. Perawi-perawi tsiqah lainnya yang sama-sama memperoleh hadis ini
melalui Nafi dan berujung pada sanad Ibn ‘Umar tidak mencantumkan kata tersebut.
Imam Malik merupakan perawi yang tsiqah dan tambahan ini tidak mengubah
makna, sehingga ziyadah Imam Malik tetap diterima dan dijadikan dalil oleh para
ulama
3. Tashif dan Tahrif

 Tashif berarti perubahan bentuk kata dan Tahrif berarti


pergeseran cara membaca.
Contoh Tashif
1 ‫عن زيد بن ثابت أن النبي صلى هللا عليه و سلم احتجر في المسجد‬
2 ‫عن زيد بن ثابت أن النبي صلى هللا عليه و سلم احتجم في المسجد‬

Terlihat perbedaan pada dua contoh hadis di atas yaitu


pada kata ‫حتجر‬q‫ ا‬dan q‫حتجم‬q‫ا‬. Teks matan tersebut dikutip
oleh Ibnu Lahi’ah menjadi q‫حتجم‬q‫ ا‬yang semula adalah
‫حتجر‬q‫ا‬.
Hadis ini semula menginformasikan Nabi Saw.
mengambil alas untuk kesiapan shalat di masjid,
karena kesalahan yang mengubah bentuk kata
maknanya berubah menjadi memberi kesan sepertinya
Nabi berbekam mengeluarkan darah dengan melukai
sedikit kulitnya dalam rangka pengobatan di masjid.
Contoh Tahrif
teks matan hadis Jabin bin Abdullah :
1 ‫ي َأبِ ْي يوم األحزاب‬ َّ ‫ُر ِم‬
2 ‫ى ٌأبَ ُّي يوم األحزاب‬ َّ ‫ُر َم‬

Terjadi pergeseran cara baca pada kedua teks di atas.


Kesalahan cara membaca menjadi ‘rumiyya abiy’ memberi
makna dan kesan bahwa Abdullah merupakan ayah kandung
saksi primer terluka pada matanya akibat terkena panah saat
perang Ahzab, dari ‘rumayya ubayyun’ yang artinya bagian
mata Ubay bin Ka’ab terluka karena terkena panah musuh
saat saksi primer mengambil bagian dalam perang Ahzab.
4. Maqlub
Maqlub (terbalik) adalah ketika ungkapan matan yang oleh
periwayat tertentu menjadi terbalik atau tertukar keberadaan
penggalan kalimatnya. Bagian penggalan kalimat yang
seharusnya berada di awal menjadi beradi di akhir.
Contoh Maqlub
‫ورجل تصدق بصدقة اخفاها حتى ال تعلم يمينه ما تنفق شماله‬
 
‫ورجل تصدق بصدقة اخفاها حتى ال تعلم شماله ما تنفق يمينه‬
 
Terjadi perbedaan antara kedua teks matan di atas.
Teks pertama merupakan riwayat Imam Muslim.
Menurut Ali Mustafa, teks matan kedua adalah
yang benar yang merupakan riwayat Imam Bukhari
5. Mukhâlafah
Mukhâlafah dalam matan hadis berarti suatu matan
yang bertentangan dengan matan lain yang lebih kuat dan
lebih sahih atau disebut hadis syadz yaitu hadis yang
diriwayatkan oleh perawi yang kredibilitasnya lebih kuat
Contoh Mukhâlafah
Hadis yang disebut oleh Imam Muslim dari
Umar bin Abdullah bin Abi Khats’am, dari Yahya
bin Abi Katsir, dari Abu Salamah, dari Abi
Hurairah: “Seorang laki-laki bertanya: ‘Wahai
Rasulullah, bagaimana bersuci dengan Khuffain?’
beliau menjawab ‘Bagi yang bermukim sehari
semalam, dan bagi mufasir tiga hari tiga malam.’”
Contoh Mukhâlafah
Menurut Imam Muslim, hadis riwayat Abu
Hurairah ini tidak mahfudz (dikenal) sehingga
seseorang yang meriwayatkan hadis ini telah
melakukan kesalahan baik karena lupa atau sengaja
karena Abu Hurairah tidak pernah meriwayatkan
hadis Nabi tentang mash bahkan Abu Hurairah
mengingkari hukum mash ‘alâ al-khuffain.. Hal ini
mengakibatkan hadis ini termasuk bertentangan.
6. Idhtirâb
Sebuah hadis dinilai memiliki indikator idhtirâb
menurut para ulama hadis ialah saat hadis merupakan hadis
mudtarib. Hadis mudtarib adalah hadis yang matannya
diriwayatkan secara berbeda-beda oleh para rawi, ada sebagian
perawi yang meriwayatkan dengan redaksi tertentu dan perawi
lain meriwayatkan dengan redaksi lain yang berbeda atau hadis
diriwayatkan oleh seorang rawi dalam suatu waktu dengan
redaksi tertentu dan dalam kesempatan lai diriwayatkan dengan
redaksi lain yang menyebabkan makna yang terkandung saling
bertentangan serta tidak mungkin dapat ditarjih.
‫بسم اهلل الرحمن الرحيم‬
Metode Penetapan Hukum Ketepatan Redaksi Matan

Metode merupakan suatu cara untuk menentukan dalam pencarian atau penggunakan
dalam meneliti kritik matan. Suatu metode dalam menentukan suatu ḥadῑṡ sudah
dilakukan pada masa Nabi, dan masa ṣaḥabat. Pada masa ṣaḥabat kritik ḥadῑs dilatar
belakangi oleh beberapa hal, yakni bertentangan dengan al-Qur’an, bertentangan
dengan riwayat seorang ṣaḥabat atau dengan fatwanya yang berdasarkan sunnah Nabi,
kekeliruan dalam meriwayatkan suatu ḥadis dan lain sebagainya
Berdasarkan sejarah dan kegunaan kritik matan dibagi menjadi dua
di antaranya:

Kritik Matan Kaidah Minor


Musfir Azmillah al-Damani menyebutkan 6 pilar utama cara
ṣaḥabat menilai suatu ḥadis yaitu:
a. Membandingkan matan ḥadῑs dengan al-Qur’an.
b. Membandingkan matan ḥadῑṡ dengan matan ḥadῑs lain yang
semakna untuk mengetahui kemungkinan Idraj, Idhthirab, Ziyadah,
Qalb, dan Tashhif serta Tahrif.
c. Membandingkan matan ḥadis dengan ḥadῑṡ lain untuk
mengetahui kemungkinan terjadinya ta’aruḍ.
d. Memperhatikan lafadz ḥadis beserta maknanya, apakah
lafadz tersebut beserta maknanya pantas atau layak diucapkan oleh
seorang Nabi atau tidak.
e. Memperhatikan makna ḥadis, apakah bertentangan dengan ushul
al-syari’ah atau tidak.
f. Meneliti matan ḥadis, apakah terdapat sesuatu yang tidak dapat
diterima akal sehal atau tidak.
Sementara itu, jika dilihat dari kritik kandungan matan, maka perlu
memperhatikan matan-matan dan dalil lain yang memiliki topik
yang sama, jika memang ada, maka perlu diteliti sanadnya. Jika
kualitas sanadnya memiliki kesamaan, maka dilakukan kegiatan
muqaranah terhadap kandungan matan ḥadis. Dalam kegiatan
muqaranah seringkali ditemukan ḥadis yang tampak bertentangan,
untuk menyelesaikan terdapat dua sikap, yakni metode Syafi’iyyah
dan metode Hanafiyyah. Metode Syafi’i menempuh tiga cara yakni
al-Jam’u, al-Nasakh, dan al-Tarjih. Adapun Hanafiyyah menempuh
al-Nasakh, al-Tarjih, al-Jam’u, menggugurkan dalil yang lemah,
memilih dalil yang kedudukannya lebih rendah (jika perbandingan
antara al-Qur’an dan ḥadis, maka dipilih ḥadis), kembali kepada
hukum asal jika cara di atas tidak dapat dilakukan. Sementara
menurut Ibn Hajar al-Asqalani terdapat empat cara yakni, al-Jam’u,
al-Nasakh, al-tarjih, dan al-Tawaqquf. Cara terakhir adalah
membiarkan dalil yang bertentangan dan menunggu ada dalil atau
petunjuk yang dapat menyelesaikannya.
Kritik Matan Kaidah Mayor

Seperti halnya kritik matan ḥadis kaidah minor, untuk kritik matan kaidah mayor pun metode
perbandingan tetap masih dominan dan relavan, hanya saja metode-metodenya perlu disesuaikan
sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya. Secara rinci, dapat diuraikan bahwa metode kritik matan
pada fase ini, termasuk zaman sekarang, kaidah umum pada matan ada dua macam, yaitu: terhindar
dari syaż (kejanggalan) dan illah (cacat),
berikut ini akan dipaparkan kedua kaidah umum tersebut:
‘Illah artinya sebab-sebab yang samar dan tersembunyi, yang dapat menodai kesahihan suatu ḥadis.
‘Illah dapat diketahui dengan jalan menghimpun beberapa jalur ḥadis, lalu mengkaji perbedaan
riwayatnya dengan memperhatikan dhabṭ (akurasi) dan kemantapan hafalan para periwayatnya. ‘Illah
ini bisa terdapat pada sanad dan bisa pula terdapat pada matannya atau pada keduanya secara
bersamaan.
Menurut Isham Ahmad al-Basyir, ‘illah pada matan ḥadis dapat dikategorikan kepada dua bentuk.
Pertama, jelas dan dapat dikenali dengan mudah disebabkan memiliki indikasi tertentu yakni nyata
perbedaannya dengan ḥadis yang ṣaḥiḥ. Kedua, hanya dapat diketahui melalui penelitian yang cermat
dan akurat oleh seorang kritikus ḥadis yang mendalam ilmu dan pemahamannya, tajam pemikirannya,
luas hafalannya, mengenal dengan sempurna susunan perawi serta menguasai problematika sanad dan
matan ḥadis.
Metode Kritik Matan Menurut Ulama Hadis
Dalam menentukan kesahihan hadis, para muhadditsin menetapkan tiga kriteria kesahihan pada sanad dan dua
kriteria kesahihan matan. Dua kriteria kesahihan hadis pada matan tersebut adalah terbebasnya matan hadis dari
unsur syadz dan ‘illah. Dalam hal syadz, ulama berbeda dalam mendefinisikannya. Setidaknya ada tiga ulama yang
memiliki definisi berbeda mengenai istilah syadz yakni al-Syafi’, al-Hakim dan al-Khalili. Imam al-Syafi’i
mendefinisikannya sebagai hadis yang diriwayatkan oleh seorang tsiqah yang bertentangan dengan hadis yang
diriwayatkan oleh orangorang (perawi tsiqah lainnya). Al-Hakim mendefinisikannya dengan ‘hadis yang diriwayat
oleh seorang tsiqah secara menyendiri tanpa perawi tsiqah lainnya dan hadis tersebut tidak memiliki mutabi’ sama
sekali’. Sementara Abu Ya’la al-Khalili mendefinisikan dengan ‘hadis yang tidak punya sanad kecuali hanya satu
yang periwayatnya menyendiri dengan sanad itu, baik ia berstatus siqah atau tidak. Jika tidak siqah maka disebut
hadis matruk tidak diterima, kalau statusnya tsiqah maka tawaqquf dan tidak berhujjah dengannya’. Ketiga definisi
tersebut, secara esensial sangat berbeda. Al-Syafi’i menekankan syadz pada pertentangan dua jalur periwayatan
antara rawi siqah dengan para perawi yang lebih siqah sementara al-Hakim dan al-Khalili menekankan pada
tafarrudnya perawi atau penyendirian perawi secara mutlak. Konsekwensinya, Al-Syafi’i tidak memandang syadz
hadis fard atau ahad sedang al-Hakim dan al-Khalili memutlakkannya sebagai syadz. Para ulama belakangan,
mayoritas mengikuti definisi al-Syafi’i dalam menilai hadis syadz.
Menurut Ibn Shalah, hadis dinilai sahih apabila memenuhi persyaratan berikut; hadis bersambung sanadnya (sampai
kepada Nabi), diriwayatkan oleh (periwayat) yang adil dan dhait sampai akhir sanadnya, tidak mengandung
kejanggalan (syadz) dan kecacatan (‘illah).
a ulama hadis menyebutkan secara berbeda beberapa tanda hadis palsu dari segi
an. Diantara ciri-ciri kemaudhu’an hadis adalah: Pertama, adanya qarinah pada
an (bukti-bukti yang mengiringi matan) baik rusak (rakik) pada makna maupun lafal
u keduanya. Kedua, bertentangan dengan akal sehat yang tidak memungkinkan untuk
akwil atau bertentangan dengan indera. Ketiga, hadis tersebut bertentangan dengan
l qur’an yang qathi’ atau hadis mutawatir, ijma’ yang tidak memungkinkan untuk di
a’. Keempat, hadisnya terlalu berlebihan dalam menilai amal. Kelima, hadis yang
stinya disaksikan oleh banyak perawi sahabat namun tidak masyhur dan hanya
wayatkan sedikit perawi. Keenam, hadis yang bertentangan dengan hikmah, dan
ka yang lurus. Ketujuh, hadis yang diriwayatkan oleh penganut rafidhah. Kedelapan,
entangan dengan kebenaran fakta sejarah. Kesembilan, salah seorang perawinya
ngaku bertemu dengan perawi lainnya, padahal secara logika tidak mungkin mereka
emu. Kesepuluh, pengakuan sebagian kalangan sufi yang menyatakan bertemu
gan Nabi melalui kasyaf tanpa sanad yang sahih dan bersambung atau melalui mimpi.
Hamzah Abu al-Fath mengemukakan beberapa kaedah-kaedah penting untuk mengetahui kualitas kesahehan
matan. Diantara kaedah tersebut adalah:

1. Membandingkan sunnah dengan Qur’an


Al-Qur’an merupakan sumber hukum pertama dalam Islam, sehingga apabila ditemukan hadis yang
bertentangan dengannya maka dinilai sebagai hadis dhaif dan ditolak. Kenyataan ini tidak menunjukkan
adanya pertentangan antara keduanya karena baik al-Qur’an maupun sunnah yang sahih sama-sama berasal
dari Allah sehingga tidak mungkin bertentangan. Ada beberapa faktor yang menyebabkan munculnya
pertentangan tersebut yakni:
a. Perawi keliru atau lupa dalam meriwayatkan hadis
b. Terdapat perawi yang hilang dalam meriwayatkan hadis
c. Tidak memahami maksud dari perkataan Nabi.
Namun demikian, perlu dicatat bahwa pertentangan tersebut merupakan pertentangan yang bersifat mutlak
dimana tidak terdapat jalan untuk mendamaikan antara nash al-Qur’an dan hadis dengan cara jama’ atau
lainnya.
2. Membandingkan sunnah dengan sunnah.
Ada beberapa kemungkinan terjadinya pertentangan antara satu hadis dengan lainnya, yakni:
a. Terjadinya kesalahan dalam periwayatan
b. Hadis tersebut diriwayatkan secara makna dan berlanjut pada beberapa perawi selanjutnya sehingga jauh
dari nash yang sesungguhnya diucapkan Nabi.
c. Perawi memarfu’kan perkataan seorang perawi lainnya.
3. Membandingkan beberapa riwayat hadis yang satu dengan lainnya.
Upaya ini dilakukan untuk mengetahui kualitas suatu hadis dengan cara mengamati berbagai jalur sanad
hadis, meneliti dan menetapkan kualitasnya. Dengan ini pula dapat diketahui apakah pada hadis tersebut
terdapat idhthirab, qalb, idraj, tashhif, tahrif atau ziyadah.
4. Membandingkan matan hadis dengan peristiwa dan fakta sejarah.
Fakta sejarah merupakan sarana yang sangat penting yang digunakan ulama hadis untuk mengetahui
kesahihan dan kedhaifan hadis. Ketika sejarah digunakan sebagai tolok ukur untuk menilai kualitas kesahihan
hadis maka fakta sejarah tersebut disyaratkan memiliki tingkat kebenaran faktual dan meyakinkan.
5. Mengamati lafal dan makna hadis.
Dalam hal ini, ada beberapa aspek yang perlu dikaji
yakni:
a. Lafal dan makna hadis yang rusak
b. Pertentangan hadis dengan dasar hukum syar’i
c. Hadis memuat hal yang munkar dan mustahil
6. Aspek kognitif dalam periwayatan hadis.
Dalam periwayatan hadis, aspek kognitif digunakan
dalam empat hal yakni:
a. Saat mendengar hadis, para ulama mensyaratkan
agar seorang perawi dapat membedakan dan
memahami hadis yang ia dengar.
b. Saat meriwayatkan hadis, mereka melarang
meriwayatkan hadis dhaif terlebih maudhu’
kecuali menjelaskan letak kedhaifan dan
kemaudhu’annya.
c. Saat menilai perawi, para ulama sering menilai jarh
terhadap perawi yang meriwayatkan hadis munkar.
Al-Adlabi mengajukan empat kriteria kritik matan hadis
yang maqbul yakni:
1. Tidak bertentangan dengan al-Qur’an al-Karim
2. Tidak bertentangan dengan hadis dan sirah nabawiyah yang
sahih
3. Tidak bertentangan dengan akal, indera dan sejarah
4. Mirip dengan sabda kenabian
Apabila disimpulkan, definisi kesahihan matan hadis menurut
mereka, adalah sebagai berikut: pertama, sanadnya sahih; kedua,
tidak bertentangan dengan hadis mutawatir atau hadis ahad yang
sahih; ketiga, tidak bertentangan dengan petunjuk al-Qur’an;
keempat, sejalan dengan alur akal sehat; kelima, tidak
bertentangan dengan sejarah, dan keenam, susunan
pernyataannya menunjukkan cir-ciri kenabian.
Pertama, Kriteria Hadis karena bertentangan dengan al-Qur’an.
Al-adlabi memberikan salah satu contoh hadis yang menurut sebagian ulama bertentangan
dengan dalil al-Qur’an. Hadis tersebut berbicara tentang sihir yang menimpa Nabi dan
dilakukan oleh orang Yahudi sehingga beliau seakan-akan melakukan sesuatu padahal
sebenarnya beliau tidak melakukan sesuatu. Hadis tersebut terdapat dalam sahih Bukhari kitab
Jizyah bab Hal yu’fa min al-dzimmi idza sahira, no. 2939 yang berbunyi:
“Meriwayatkan kepada saya Muhammad bin al-Mutsanna, meriwayatkan kepada kami
Hisyam, ia berkata, ayahku meriwayatkan padaku dari ‘Aisyah bahwa Nabi saw disihir
sampai-sampai beliau merasa melakukan sesuatu padahal tidak melakukannya.”
Hadis yang berbicara tentang hal tersebut juga terdapat dalam Sahih Muslim kitab al-salam
no. 4059, Sunan Ibn Majah kitab al-tibb no. 2535, Musnad Ahmad bin Hanbal kitab baqi
musnad al-Anshar no. 23104, 23165, 23211, 23509.
Sebagian ulama yang menolak kesahihan hadis ini, menurut al-Adlabi, karena dinilai
bertentangan dengan firman Allah swt:
“Dan orang-orang yang dhalim itu berkata: ‘Kamu sekalian tidak lain hanyalah mengikuti
seorang lelaki yang kena sihir. Perhatikanlah, bagaimana mereka membuat perbandingan-
perbandingan tentang kamu, lalu sesatlah mereka, mereka tidak sanggup (mendapatkan) jalan
(untuk menentang kerasulan).” (QS. al-Furqan: 8-9).
Ada beberapa alasan mengapa mereka menolak kesahihan hadis di atas,
diantaranya: pertama, hadis di atas membenarkan perkataan kaum
musyrik yang mengatakan bahwa ‘kamu sekalian tidak lain hanyalah
mengikuti seorang lelaki yang kena sihir’. Kedua, menghilangkan
kepercayaan terhadap apa yang dibawa oleh Rasulullah saw. Ketiga, sihir
merupakan perbuatan setan dan jiwa-jiwa yang buruk dan keji. Adapun
orang-orang yang membentengi diri dengan beribadah kepada Allah tidak
akan dapat ditaklukkan oleh para setan dan orang-orang buruk itu. Dalam
hal ini, Allah berfirman: “Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak ada
kekuasaan bagimu terhadap mereka, kecuali orang-orang yang mengikuti
kamu, yaitu orang-orang yang sesat.” (QS. al-Hijr: 42).
Namun argumen-argumen yang menilai lemah hadis di atas dijawab oleh
al-Qasimi dengan menggunakan dalil naqli dan aqli sehingga ia menyakini
akan kesahihan hadis mengenai tersihirnya Nabi. Al-Adlabi nampaknya
sejalan dengan pendapat al-Qasimi yang menyatakan kesahihan hadis di
atas namun di sini ia hanya ingin menunjukkan pandangan sebagian orang
yang melemahkan hadis sahih karena dinilai bertentangan dengan dalil al-
Qur’an.
Kedua, Hadis yang bertentangan dengan hadis dan sirah nabawiyah yang
sahih.
Menurut al-Adlabi, ada dua syarat yang harus terpenuhi apabila hendak menolak
sebuah riwayat yang marfu’ kepada Nabi saw. karena bertentangan dengan hadis
lain. Pertama, tidak ada kemungkinan memadukan (al-jam’u). jika dimungkinkan
pemaduan di antara keduanya dengan tanpa memaksakan diri, maka tidak perlu
menolak salah satunya. Jika di antara keduanya terjadi pertentangan yang tidak
mungkin dipadukan, maka harus ditarjih. Kedua, hadis yang dijadikan sebagai dasar
untuk menolak hadis lain yang bertentangan haruslah berstatus mutawatir. Syarat
pada poin nomor dua di atas yang menyatakan bahwa suatu hadis dinilai lemah
apabila bertentangan dengan hadis mutawatir, menurut al-Adlabi, tidaklah realistis
dan mempersempit pembahasan tentang adanya pertentangan di antara hadis-hadis.
Menurutnya, para ulama telah memiliki kategori untuk hadis-hadis yang saling
bertentangan. Hadis dhaif apabila bertentangan dengan hadis sahih maka disebut
dengan hadis munkar. Adapun hadis sahih yang bertentangan dengan hadis yang
lebih sahih sanadnya maka disebut hadis syadz. Sedang hadis yang bertentangan
dengan hadis mutawatir disebut dengan maudhu’.
Salah satu contoh yang dikemukakan al-Adlabi berkenaan dengan adanya pertentangan di antara hadis adalah
hadis tentang puasa setelah pertengahan Sya’ban. Dalam Musnad Ahmad bin Hanbal kitab baqi musnad al-
muktsirinbabbaqi al-musnad al-sabiq no. 9330, Nabi bersabda:
“Meriwayatkan kepada kami Waki’, meriwayatkan kepada kami Abu al-‘Umais ‘Utbah dari al-‘Ala bin ‘Abd al-
Rahman bin Ya’qub dari ayatnya dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah bersabda: ‘Jika telah mencapai
tengah bulan Sya’ban maka jangan kalian berpuasa hingga sampai bulan Ramadhan.”

Hadis di atas bertentangan dengan hadis lainnya yang diriwayatkan oleh Aisyah dan Umm Salamah. Dalam Sahih
Bukhari kitab al-ShaumbabShaum al-Sya’ban no. 1833 Nabi bersabda:
“Abd Allah telah meriwayatkan kepada kami, Malik meriwayatkan pada kami dari Abi al-Nadhar dari Abi
Salamah dari Aisyah ra ia berkata: “Rasulullah sering berpuasa hingga kami mengira beliau tidak berbuka dan
beliau berbuka puasa sehingga kami menduga beliau tidak berpuasa. Saya tidak pernah melihat Rasulullah
menyempurnakan puasa selama satu bulan penuh kecuali di bulan Ramadhan dan saya tidak pernah melihat
beliau paling sering berpuasa kecuali pada bulan Sya’ban”.
Hadis Abu Hurairah di atas dinilai sendirian (tafarrud) oleh para ulama. Menurut mereka, rawi Al-‘Ala ibn
Abdurrahman meriwayatkannya secara sendiri dari ayahnya dari Abu Hurairah sedang ia adalah tsiqah. Imam
Ahmad menilai hadis itu munkar karena hadisnya dhaif dan bertentangan dengan hadis dari jalur periwayat lain
yang lebih sahih.
Ketiga, riwayat yang bertentangan dengan akal, indera atau sejarah.
Yang dimaksud dengan akal disini, menurut al-Adlabi adalah akal yang tercerahkan dengan al-
Qur’an dan hadis yang sahih, bukan hanya akal semata, karena sesungguhnya akal saja tidak
bisa menghukumi baik dan buruk. Hal ini berbeda dengan pandangan Mu’tazilah. Berikut
contoh hadis yang bertentangan dengan akal diriwayat oleh an-Nasai dalam kitab sunan Nasa’i
kitab al-nikah bab tajwiz al-zaniah no. 3177. Hadis tersebut berbunyi:
“Mengabarkan kepada kami Muhammad bin Ismail bin Ibrahim berkata, meriwayatkan pada
kami Yazid ia berkata, meriwayatkan kepada kami Hammad bin Salamah dan yang lainnya
dari Harun bin Ri’ab dari Abd Allah bin ‘Ubaid bin ‘Umair dan ‘Abd al-Karim dari ‘Abd
Allah bin ‘Ubaid bin ‘Umair dari ibn ‘Abbas, ‘Abd al-Karim memarfu’kannya kepada Ibn
‘Abbas dan Haun tidak memarfu’kannya. Keduanya berkata: “Seorang laki-laki datang
kepada Rasulullah saw dan berkata: “sesungguhnya saya memiliki istri yang sangat saya
cintai, tetapi ia tidak menolak tangan orang yang menyentuhnya”. Rasul bersabda: “talaklah
dia”. Laki-laki tersebut berkata: “Saya tak dapat berpisah darinya”. Rasul bersabda:
“Bersenang-senanglah dengannya”. Abu ‘Abd al-Rahman berkata: “Hadis ini tidaklah kuat
dan ‘Abd al-Karim dinilai tidak kuat hafalannya, sedang harun bin Ri’ab lebih kuat darinya
namun telah memursalkan hadis. Harun merupakan perawi yang tsiqah dan hadisnya lebih
sahih dibanding hadis riwayat ‘Abd al-Karim. (HR. Nasa’i)
Ungkapan ‘ia tidak menolak tangan orang yang
menyentuhnya’, menurut al-Adlabi mengandung
pengertian lacur. Meski sebagian ulama mena’wilkannya
ungkapan di atas dengan pengertian lain, seperti ‘ia tidak
menolak tangan orang yang mengajaknya bersalaman
walaupun bukan muhrimnya’. Namun, ta’wil seperti ini,
menurut al-Adlabi, tidak dapat dibenarkan secara bahasa.
Sekiranya ta’wil tersebut benar maka tidak mungkin
Rasulullah menyuruhnya untuk tetap menahan perempuan
tersebut sebagai istrinya. Sedang Imam Ahmad bin Hanbal
telah menganggap hadis ini tidak berasal dari Rasul dan
tidak punya asal. Ibn al-Jauzi juga menempatkan hadis ini
dalam kitab Maudhu’at.
(Shalah al-Din Ahmad al-Adlabi, Manhaj Naqd al-Matn,
h. 306)
Keempat, tidak mirip dengan sabda kenabian.
Terkadang suatu riwayat berasal dari Rasul, tidak bertentangan dengan nash al-Qur’an atau sunnah yang sahih, akal, indera
(kenyataan), atau sejarah, tetapi riwayat tersebut tidak seperti perkataan kenabian, maka tidak dapat diterima. Menurut al-
Adlalbi, para ulama memang sulit untuk menentukan perkataan mana yang tidak seperti perkataan kenabian, tetapi yang
terpenting adalah perkataan yang mengandung keserampangan, atau makna-makna yang rendah, atau ungkapan tentang
istilah-istilah yang datang kemudian. Ia kemudian membagi pembahasan menjadi tiga bentuk yakni:
1. Hadis-hadis yang mengandung keserampangan
2. Hadis-hadis yang mengandung makna yang rendah.
3. Hadis-hadis yang lebih menyerupai perkataan ulama khalaf.
Berikut adalah contoh hadis yang mengandung makna serampangan. Hadis tersebut riwayat Ibn Majah dalam kitab sunannya
kitab al-tijarat bab al-taglidz fi al-riba no. 2265. Hadis tersebut berbunyi:
“Meriwayatkan kepada kami ‘Abd Allah bin Sa’id, meriwayatkan pada kami ‘Abd Allah bin Idris dari Abi Ma’syar dari Sa’id
al-Maqburi dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah saw bersabda: ‘Riba memiliki 70 macam dosa dan dosa yang paling
ringan adalah seperti seseorang menikahi ibunya sendiri. (HR. Ibn Majah).
Menurut al-Adlabi, hadis ini jelas mengandung unsur terlalu berlebihan dalam memberi peringatan. Seandainya riba termasuk
salah satu dosa besar dan seandainya Allah mengizinkan memerangi pemahan riba, maka haruskah dosa terendahnya adalah
seperti dosa menikahi ibunya? Menurutnya, mungkin saja perkataan ini diambil dari perkataan yang mauquf kepada Ka’ab
ibn Mati’, yaitu: ‘Berzina sebanyak tiga puluh tiga kali lebih aku sukai dibanding memakan satu dirham secara riba yang
Allah tahu aku memakannya secara riba’. Tidak diragukan lagi bahwa para pemalsu telah mengambil hadis itu dari perkataan
mauquf ini dengan memberikan tambahan-tambahan.
Penutup

Dalam meneliti matan hadis, para ulama memasukkannya dalam


kajian kaedah matan yang mencakup unsur syadz dan ‘illah. Syadz
pada matan dipahami sebagai pertentangan antara hadis yang sahih
dengan dalil-dalil lain yang lebih sahih baik al-Qur’an, hadis
mutawatir, akal dan fakta sejarah. Sedang ‘illah pada matan
mencakup idraj (sisipan), ziyadah (tambahan), maqlub (pergantian
lafal atau kalimat), idhthirab (pertentangan yang tidak dapat
dikompromikan) dan kerancuan lafal dan penyimpangan makna
yang jauh dari matan hadis bersangkutan. Dengan mempelajari
penyimpanga-penyimpangan yang menjadi indikasi dilakukannya
kritik matan hadis dan tanda kesahihan matan, dapat dilakukan
analisa mengenai matan hadis dan ditemukan kesahihan matannya.
‫الحمدهلل رب العالمين‬

‫• وهللا تعالى اعلم بالصواب‬

Anda mungkin juga menyukai