Anda di halaman 1dari 7

KRITIK MATAN HADIST

Disusun Guna Memenuhi Tugas


Mata Kuliah : Ulumul Hadist
Dosen pengampu : Isa Anshory

LOGO

Disusun Oleh :
Aji Abimanyu (2118301)
Eva Sulisowati (2119090)

KELAS E
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI K.H. ABDURRAHMAN WAHID
PEKALONGAN
2023
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Selama ini, keshahihan hadis pada umumnya masih baru teruji dari segi sanadnya saja.
Padahal asumsi yang berkembang di kalangan ulama hadis sendiri mengatakan bahwa yang
disebut hadis shohih tentulah hadis shahih dari segi sanad maupun matannya. Akibatnya,
kritik matan terhadap hadis-hadis shahih (dari segi sanad) tersebut, dianggap tidak perlu.
Dengan demikian tidak ada jaminan bahwa jika sanad sebuah hadis sehat atau shahih
maka demikian juga dengan redaksi matannya. Banyak lagi yang harus dikaji lebih
mendalam terkait dengan redaksi matan hadis.
Sebuah hadis dapat dijadikan dalil dan argumen yang kuat (hujjah) apabila memenuhi
syarat-syarat keshahihan, baik dari aspek sanad maupun matan. Syarat-syarat terpenuhinya
keshahihan ini sangat diperlukan, karena penggunaan atau pengamalan hadis yang tidak
memenuhi syarat-syarat yang dimaksud, berakibat pada realitas ajaran Islam yang kurang
relevan atau bahkan sama sekali menyimpang dari apa yang seharusnya, dari yang diajarkan
Rasulullah.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud kritik matan?


2. Bagaimana sejarah kritik matan?
3. Apa saja langkah-langkah dalam melakukan kritik matan?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian kritik Matan

Pegertian kata kritik adalah masalah penganalisaan dan pengevaluasian sesuatu dengan
tujuan untuk meningkatkan pemahaman, memperluas apresiasi, atau membantu
memperbaiki pekerjaan. Sedangkan kata matan secara etimologi adalah punggung jalan atau
muka jalan, tanah yang tinggi dan keras. Secara terminology kata matan (matnul hadis)
berarti materi berita yang berupa sabda, perbuatan atau taqrir Nabi SAW yang terletak
setelah sanad yang terakhir. Secara umum, matan dapat, diartikan selain sesuatu
pembicaraan yang berasal/ tentang Nabi, juga berasal/ tentang sahabat atau Tabi’in. 1
Kritik matan hadis termasuk kajian yang jarang dilakukan oleh muhadditsin, jika
dibandingkan dengan kegiatan mereka terhadap kritik sanad hadis. Tindakan tersebut bukan
tanpa ulasan. Menurut mereka bagaimana mungkin dapat dikatakan hadis Nabi kalau tidak
ada silsilah yang menghubungkan kita sampai kepada sumber hadis (Nabi Muhammad saw).
Kalimat yang baik susunan katanya dan kandungannya sejalan dengan ajaran Islam, belum
dapat dikatakan sebagai hadis, apabila tidak ditemukan rangkaian perawi sampai kepada
Rasulullah. Sebaliknya, tidaklah bernilai sabda hadis yang baik, apabila matannya tidak
dapat dipertanggung jawabkan keabsahannya.2
Ilmu kritik hadis, walaupun belakangan menjadi disiplin ilmu tersendiri dalam wilayah
ilmu hadis. Cikal bakal atau praktiknya sebenarnya telah tumbuh sejak masa rasulullah.
Umar bin khattab umpamanya, ketika ia menerima kabar dari seseorang yang datang
kerumahnya, bahwa Rasulullah telah menceraikan istri-istrinya, langsung
menkonfirmasikan berita tersebut kepada Rasulullah, Rasulullah menjawab, “tidak”.
Umarnya akhirnya mengetahui bahwa Rasul hanya bersumpah untuk tidak mengumpuli
istri-istrinya sebulan.3

B. Sejarah kritik Matan

Pada masa Nabi, seperti sangat mudah, karena keputusan tentang otentitas sebuah hadis
berada di tangan Nabi sendiri. Lain halnya sesudah Nabi wafat, kritik hadis tidak dapat
dilakukan dengan menanyakan kembali kepada Nabi, melainkan menanyakan kepada orang
ikut mendengar atau melihat hadis itu dari nabi, seperti yang dilakukan oleh Abu Bakar As-
Siddiq.
Kritik matan juga tampak jelas pada periode sahabat, Aisyah binti Abu Bakar RA,
misalnya pernah mengkritik hadis Abu Hurairah (w.57 H) dengan matan yang berbunyi:
(sesungguhnya mayat diazab disebabkan ratapan keluarganya). Aisyah mengatakan bahwa
periwayat keliru dalam menyampaikan hadis tersbut sambil menjelaskan matan yang
1
M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu hadis,  (Bandung : Angkasa), 1991, h. 21
2
Bustamin,  M. Isa H. A. Salam, Metodologi Kritik  Matan,  (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada), 2004, h. 59-60

Ibid.
sesungguhnya. Suatu ketika Rasulullah SAW lewat pada suatu kuburan orang Yahudi dan
beliau melihat keluarga si mayat sedang meratap diatasnya.4
Rasusulullah juga bersabda : (mereka sedang meratapi si mayat, sementara si mayat
sendiri sedang diazab dalam kuburnya). Lebih lanjut Aisyah berkata cukuplah Al-Qur’an
bukti ketidakbenaran matan hadis yang datang dari Abu Hurairah RA maknanya
bertentangan dengan Al-Qur’an. Dengan mengutip surah Al-An’am (6) ayat 264
artinya:”....dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain....” beberapa
sahabat juga melakukan hal yang sama, seperti Umar bin Al-Khattab, Ali bin Abi Thalib,
Absullah bin Mas;ud, dan Abdullah bin Abbas demikian pula Abdullah bin Umar, mereka
tergolong kritikus hadis, penilaian hadis yang mereka lakukan terfokus pada matan hadis.5
Pada masa sahabat juga telah dilakukan upaya meneliti materi hadis dengan cara
mencocokkannya kembali apa yang pernah didengar sendiri dari Nabi, kemudian
membandingkannya dengan Al-Qur’an.
Pada masa tabi’in setidaknya ada tiga bentuk upaya yang dilakukan dalam menjaga
otentitas hadis. Pertama, dilakukannya kodifikasi hadis oleh al-Zuhri atas perintah Umar bin
Abdul al-‘Aziz. Kedua, lahirnya ilmu kritik hadis dalam arti sesugguhnya. Ini berdasarkan
pada pendapat Ibn Rajab yang mengatakan bahwa Ibn Sirin karena keluasan ilmunya,
merupakan pelopor dalam kritik rawi. Ketiga, diawali oleh beberapa orang sahabat, semisal
jabir, pada periode ini terdapat semangat pelacakan hadis yang sungguh luar biasa. Untuk
meneliti satu hadis saja, mereka sampai keluar daerahnya.6
Masa atba’ al-tabi’in (periode ketiga sebagai periode penyempurnaan/ masa keemasan)
merupakan masa yang paling berkembang. Sejak masa  itu, dimulailah era mempelajari
hadis dari beberapa, bahkan konon mencapai ratusan ribu syekh di seluruh dunia Islam
akibatnya, kritik hadis tak lagi terbatas pada ulama setempat, melainkan diseluruh tempat.
Dalam melakukan kritik matan, mereka merasa lebih ditakuti atau dibenci orang dikritik dari
pada disesali Nabi di akhirat nanti.
Di penghujung abad ke-2 H dimulailah penelitian kritik hadis mengambil bentuk sebagai
ilmu hadis teoritis dan praktis. Imam Syafi’i yang pertama mewariskan teori-teori ilmu
hadisnya secara tertulis sebagaimana terulis dalam karya monumentalnya ar-Risalah (kitab
ushul fikih) dan al-umm (kitab fikih).7

C. Langkah-langkah dalam melakukan kritik Matan

Bustamin dalam bukunya Metodologi Kritik Hadis, lima langkah yang harus ditempuh
dalam rangka mengkritik sebuah matan hadis yaitu :
1. Menghimpun hadis-hadis yang terjalin dalam tema yang sama.

4
Sukron Kamil, Naqd Al-Hadis, terj. Metode Kritik Sanad dan Matan Hadis, (Pusat Penelitian Islam Al-Huda), 2000,
h . 34.
5
Ibid. h. 35.
6
Bustamin,  M. Isa H. A. Salam,  Op. cit., h. 61
7
Ibid.
Yang dimaksud dengan hadis yang terjalin dalam tema yang sama adalah Pertama, hadis-
hadis yang mempunyai sumber sanad dan matan yang sama, baik riwayat bi al-
lafzh maupun melalui riwayat riwayat bi al-ma’na. Kedua, hadis-hadis mengandung makna
yang sama, baik sejalan maupun bertolak belakang, Ketiga, hadis-hadis yang memiliki tema
yang sama, seperti tema aqidah, ibadah, dan lainnya. Hadis yang pantas dibandingkan
adalah hadis yang sederajat kualitas sanad dan matannya. Perbedaan lafad pada matan hadis
yang semakna ialah karena dalam periwayatan secara makna (al-riwayah bi al-ma’na).
Menurut muhadditsin, perbedaan lafazh yang tidak mengakibatkan perbedaan makna, dapat
ditoleransi asalkan sanad dan matannya sama-sama sahih.8

2. Kesahihan Penelitian matan hadis dengan pendekatan hadis.

Sekiranya kandungan suatu matan hadis bertentangan dengan matan hadis lainnya,


menurut Muhadditsin perlu diadakan pengecekan secara cermat. Sebab, Nabi Muhammad
SAW tidak mungkin melakukan perbuatan yang bertentangan dengan perkataan yang lain,
demikian pula dengan al-Qur’an. Pada dasarnya, kandungan matan hadis tidak ada yang
bertentangan, baik dengan hadis maupun dengan al-Qur’an.
Hadis yang pada akhirnya bertentangan dapat diselesaikan melalui pendekatan ilmu
mukhtalifu al-hadis. Imam Syafi’i mengemukakan empat jalan keluar:
pertama, mengandung makna universal (mujmal) dan lainnya terperinci
(mufassar), kedua, mengandung makna umum (am) dan lainnya
khusus, ketiga, mengandung makna penghapus (al-nasikh) dan lainnya dihapus
(mansukh), keempat, kedua-duanya mungkin dapat diamalkan (al-jam’u). Sebagai contoh :
Hadits tentang ziarah kubur. Telah menceritakan kepada kami Qutaibah, Ia berkata: telah
menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah dari ‘Umar bin abi Salamah, dari Abu Hurairah
ia berkata bahwa, “Sesungguhnya Rasulullah SAW melaknat untuk ziyarah kubur”. Pada
hadis selanjutnya Nabi SAW bersabda tentang kebolehan berziyarah kubur. Dari Sulaiman
bin Buraidah dari Bapaknya berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Saya pernah melarang kalian berziarah kubur. Sekarang telah diizinkan untuk Muhammad
menziarahi kuburan ibunya, maka berziarahlah, karena (berziarah kubur itu) dapat
mengingatkan akhirat."9
Dari hadis diatas diketahui bahwa dahulu hukum ziyarah kubur itu dilarang, kemudian
diperbolehkan, setelah adanya perintah Rasulullah saw, bahkan dalam riwayat yang kedua
Nabi menyebutkan sisi positif ziyarah kubur yakni karena di dalam ziyarah kubur banyak
pelajaran yang bisa diambil, juga karena mengingatkan tentang akhirat.
Untuk menyatukan suatu hadis yang bertentangan dengan hadis lainnya, diperlukan
pengkajian yang mendalam guna menyeleksi hadis yang bermakna universal dari yang
khusus, hadis yang naskh dari yang mansukh.
3.  Penelitian matan hadis dengan pendekatan al-Qur’an


Bustamin, M. Isa H. A. Salam, Op.cit., h. 64-65
9
Muslim bin al Hajjaj, Shahih Muslim, (Riyadh:  Dar al Mughni, 1998), hlm. 486.
Pendekatan ini dilatarbelakangi oleh pemahaman bahwa al-Qur’an adalah sebagai sumber
pertama atau utama dalam Islam untuk melaksanakan berbagai ajaran, baik yang ushul
maupun yang furu’, maka al-Qur’an haruslah berfungsi sebagai penentu hadis yang dapat
diterima dan bukan sebaliknya. Hadis yang tidak sejalan dengan al-Qur’an haruslah
ditinggalkan sekalipun sanadnya sahih.
Cara yang ditempuh mereka untuk meloloskan matan hadis yang kelihatannya
bertentangan dengan teks al-Qur’an adalah dengan menta’wil atau menerapkan
ilmu mukhtalif al-hadis. Sebagai contoh : Hadits dari Aisyah yang berbunyi : Artinya :
Rasulullah memotong tangan pencuri apabila mencuri senilai seperempat dinar ke atas.
(HR. Bukhari dan Muslim).
Secara zhahir bertentangan dengan Ayat al-Qur’an : Artinya : Dan pencuri laki-laki dan
permpuan potonglah tangan keduanya.. (QS. Al-Maidah 38)
Maka diketahui bahwa ayat ini Muthlaq sedang hadits diatas adalah Muqoyyad, maka
diperoleh dalil bahwa hukum potong tangan berlaku apabila si pencuri mencuri senilai
seperempat dinar atau lebih.
Oleh karena itu, kita akan kesulitan menemukan hadis yang dipertentangkan dengan al-
Qur’an dalam buku-buku hadis atau hadis sahih dari segi sanad dan matannya dibatalkan
karena bertentangan dengan al-Qur’an.

4. Penelitian matan hadis dengan pendekatan sejarah

Salah satu langkah yang ditempuh para muhadditsin untuk penelitian matan hadis adalah
mengetahui peristiwa yang melatarbelakangi munculnya suatu hadis (asbab al-wurud
hadits). Langkah ini mempermudah memahami kandungan hadis. Fungsi azhab al-wurud
hadits ada tiga. Pertama, menjelaskan makna hadis. Kedua, mengetahui kedudukan
Rasulullah pada saat kemunculan hadis apakah sebagai rasul, sebagai pemimpin masyarakat,
atau sebagai manusia biasa. Ketiga, mengetahui situasi dan kondisi masyarakat saat hadis itu
disampaikan.10
Salah satu contoh matan hadis yang dianggap oleh sebagian ulama bertentangan dengan
fakta adalah, hadis yang terdapat dalam sahih Bukhari yang berbunyi : “......Orang Islam
tidak dibunuh karena membunuh orang kafir.”
Dikalangan ulama ada yang tidak mengamalkan hadis ini. Diantaranya adalah Abu
Hanifah. Ia menolak hadis ini bukan karena sanadnya lemah, tetapi ia menolaknya karena
hadis ini dianggap bertentangan dengan sejarah. Di dalam sejarah disebutkan bahwa apabila
kaum kafir memerangi kaum muslimin, maka kaum muslimin diperintahkan memeranginya.
Jika ia terbunuh, tidak ada hukum apapun atas pembunuhan itu. Berbeda dengan ahlu al-
zimmi (orang kafir yang terikat perjanjian dengan kaum muslimin). Apabila seseorang
membunuhnya, maka ia dijatuhi hukum qishahs.11
Hadis yang diteliti tidak memenuhi kriteria kesahihan hadis, baik dari segi sanad maupun
dari segi matan. Dari segi sanad  hadis diatas bersifat mauquf  tidak mencapai
derajat marfu’ ( tidak disandarkan kepada Nabi, hanya sampai sahabat ) dan dari
10
Bustamin, M. Isa H. A. Salam, op.cit., h. 85.
11
Ibid. h. 86-87
segi matan dengan pendekatan sejarah, hadis tersebut tidak menggambarkan praktik hukum
dari Rasulullah SAW.12

BAB III
PENUTUP

D. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan di atas, penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:


1. Kritik matan hadis adalah kegiatan yang mempunyai cara-cara sistimatis dalam
mengkaji dan menelusuri kebenaran suatu hadis, sehingga ditemukan status hadis
sahih dan tidak sahih dari segi matannya, ini juga dimaksudkan sebagai pengecekan
kembali kebenaran sumber hadis yang disandarkan kepada Nabi tersebut memang
berasal dari nabi atau tidak dan kegitan kritk matan memang sudah ada sejak zaman
Nabi masih hidup.
2. Langkah-langkah dalam melakukan kritik matan Hadist antara lain :
1) Menghimpun hadis-hadis yang terjalin dalam tema yang sama
2) Penelitian matan hadis dengan pendekatan hadis sahih
3)  Penelitian matan hadis dengan pendekatan al-Qur’an
4) Penelitian matan dengan pendekatan sejarah

E. Saran

Meskipun kami sudah berusaha maksimal menyelesaikan makalah ini, tapi kami yakin
masih banyak kesalahan dan kekurangannya. Karenanya, kritik dan saran sangat kami
nantikan untuk perbaikan selanjutnya. Terima kasih.

12  
Ibid.

Anda mungkin juga menyukai