Anda di halaman 1dari 30

KRITIK MATAN HADIS (Versi muhaddisin dan Fuqaha)

(Drs. Hasjim Abbas)

Oleh: Ulfiyatul Fauziyah

NIM: 19780009

Abstrak

Kriteria kesahihan yang terpasang untuk kritik matan hadis ternyata berbeda
antara tradisi ulama hadis (muhaddisin) dan ulama fiqh (fuqaha dan ushuliyyin). Akar
perbedaan itu ditelusuri berpangkal pada perbedaan paradigma masing-masing ulama
terhadap hadis. Dari fenomena diatas penulis berupaya mengkaji pemikiran Hasjim
Abbas mengenai kritik matan hadis antara muhaddisin dan fuqaha. Berangkat dari sini
maka pokok masalah yang menjadi pembahasan utama adalah, apakah perlu
melakukan kritik terhadap teks matan hadis dan kandungan ajarannya, bagaimana cara
melakukan uji kebenaran teks matan hadis dan uji kelayakan pakai substansi doktrinal
hadis menurut muhaddisin dan fuqaha, kemudian dimana letak perbedaan pendekatan
dan metode kritik matan hadis antara muhaddisin dan fuqaha. Metode penelitian yang
digunakan dalam buku ini adalah studi kepustakaan dengan menggunakan pendekatan
content analysis, deskriptif dan kajian perbandingan. Hal ini dapat menepis anggapan
banyak orang, bahwa selama ini konsentasi perkembangan ilmu hadis hanya berputar
disekitar kajian sanad saja. Dari uaraian yang dilakukan Hasjim Abbas terlihat dimana
para ulama masa lalu mempunyai perhatian yang besar terhadap matan hadis, dengan
indikasi munculnya metodologi kritik matan hadis yang sistematis baik dikalangan
muhaddisin dan fuqaha.

I. PENDAHULUAN

Hadis (sunnah) bagi umat Islam menempati urutan kedua sesudah al-Qur‟an
karena, di samping sebagai sumber ajaran Islam yang secara langsung terkait dengan
keharusan mentaati bagi ungkapan-ungkapan al-Qur‟an yang mujmal, muthlaq, ‘amm
dan sebagainya. Kebutuhan umat Islam terhadap hadis (sunnah) sebagai sumber
ajaran agama terpusat pada substansi doktrinal yang tersusun secara verbal dalam
komposisi teks (redaksi) matan hadis. Target akhir pengkajian ilmu hadis
sesungguhnya terarah pada matan hadis, sedang yang lain (sanad, lambang perekat
riwayat, kitab yang mengoleksi) berkedudukan sebagai perangkat bagi proses
pengutipan, pemeliharaan teks dan kritiknya.1

Matan hadis dalam tradisi penyajiannya mencerminkan narasi verbal tentang


sesuatu yang datang dari atau diasosiasikan kepada Nabi/Rasulullah Saw (hadits

1
Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadis Versi Muhaddisin dan Fiqaha, (Yogyakarta: Teras, 2004), Hal. 1.

1
marfu’), atau kepada narasumber sahabat (hadits mawquf) atau tabi‟in (hadits
maqthu’), berkomposisi dengan pengantar matan berupa kisah (sabab wurud al-
hadits) dan rangkaian sanad. Peran strategis sanad (mata rantai riwayat) seperti
penegasan Muhammad bin Sirin (w. 110 h) dan Abdullah bin al-Mubarak (w. 181 h)
sebagai pemberi legitimasi atas keberadaan matan hadis selaku bagian integral dari
ajaran Islam. Sanad yang mengawal matan hadis sekaligus berperan sebagai bukti
kesejarahan tentang proses tranmisi hadis (silsilah keguruan) bagi kolektor hadis yang
bersangkutan.

Susunan kalimat pada matan hadis cenderung beragam, tak terkecuali hadis
qauli yang diangkat dari sabda/pernyataan. Hal itu terkondisi antara lain karena
kelonggaran menyadur ungkapan hadis (baca: al-riwayah bi al-ma’na) sejak generasi
sahabat.
Pelaksanaan kritik matan hadis pada tataran teori mudah tercapai persamaan
pendapat, seperti parameter (tolok ukur) guna menduga kepalsuan hadis. Akan tetapi
pada praktek penerapan secara parsial, unit hadis demi unit hadis, hampir pasti terjadi
perbedaan hasil penilaian. Kesenjangan hasil verifikasi itu semakin mencolok apabila
menimpa matan hadis yang telah beroleh pengakuan perihal ke-shahih-an hadisnya.
II. PEMBAHASAN

1. Kegelisahan Akademik
Dari pengertian kata atau istilah kritik, dapat ditegaskan bahwa yang di
maksud dengan kritik matan hadis (naqd al-matn) dalam konteks ini ialah usaha yang
menyeleksi matan-matan hadis sehingga dapat ditentukan antara matan-matan hadis
yang shohih atau lebih kuat dan tidak. Keshahihan yang berhasil diseleksi dalam krtik
matan tahap pertama ini baru tahap menyatakan keshahihan menurut eksistensinya.
Pada tahap ini belum sampai pada pemaknaan matan hadis, meskipun unsur-unsur
pemaknaan matan hadis boleh jadi ada terutama jika menyeleksi matan melihat dari
tolak ukur keshahihan matan hadis.
Bila ada matan-matan hadis yang sulit dikritik atau diseleksi berkaitan dengan
pemaknaannya, maka hal tersebut “diserahkan” kepada studi matan hadis tahap kedua
yang menangani pemaknaan matan hadis (ma’na al-hadits). Kritik hadis yang
dilakukan para ahli tidak hanya terbatas pada sanad, seperti anggapan pada sebagian
orang. Kritik juga meluas pada matan dan makna hadis. Hal ini sudah dimulai sejak

2
masa sahabat dan berkembang pada era berikutnya. Karena jumlah periwayat yang
tidak dapat dipercaya riwayatnya tambah semakin banyak. Perhatian ulama untuk
meneliti sanad dan matan hadis semakin tambah besar dan merekapun merumuskan
kaidah dan cara untuk melakukan kritik atau seleksi hadis. Misalnya, untuk
menyeleksi hadis-hadis yang shahih dan maudhu’ para pakar menyesuaikan ciri-ciri
hadis maudu’ sebagai tolak ukurnya, begitupun dalam hadis yang palsu ulama hadis
telah menetapkan tanda-tanda matan hadis yang palsu. Sedangkan kajian dalam
masalah-masalah yang menyangkut pada matan disebut naqd al-matan (kritik matan).
2. Biografi Penulis
Hasyim Abbas lahir di pemalang jawa tengah, tanggal 03 februari 1943, beliau
dosen ilmu hadis pada fakultas ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya. Dosen ilmu
hadis pada fakultas syari‟ah, tarbiyah, dakwah IKAHA Tebuireng jombang. Dosen
pada fakultas tarbiyah UNSURI Mojokerto. Dosen tidak tetap pada fakultas
ushuluddin UNDAR jombang. Dosen luar biasa pada STAIN kediri. Riwayat
pendidikan beliau yaitu pendidikan dasar di SR Al-Irsyad pada tahun 1936 di
pemalang, SLTA Darul Ulum jombang tahun (1962), PGAN 4 tahun (extrasei) tahun
1977 di Mojokerto.
Pendidikan Perguruan Tinggi di fakultas syari‟ah IAIN Sunan Kalijaga cabang
Surabaya tahun (1962-1965). Sarjana muda fakultas syari‟ah IAIN Sunan Ampel
Surabaya tahun 1966. Doktoral pada jurusan Tafsir Hadis, sarjana lengkap (Drs)
tahun 1976. Pascasarjana Magister studi Islam (Hukum Islam) UNDAR tahun 2003.
3. Logika dan Sistematika
Guna mewujudkan langkah metodologis penelitian kepustakaan ini, maka
laporan hasilnya disistematisir menjadi 4 (empat) bab, yaitu:
BAB I, pendahuluan, memuat pola dasar penyusunan dan langkah penelitian.
BAB II, kritik hadis dan sejarah perkembangannya. Sejarah singkat pertumbuhan dan
perkembangan kritik hadis, diakhiri dengan opini ulama kritik hadis pada masa
sekarang.
BAB III, Metode kritik matan hadis. Pendataan ragam kaidah kritik matan hadis
mengarah pada pemilahan versi muhaddisin dan fuqaha.
BAB IV, Kaidah kritik matan hadis tradisi muhaddisin dan fuqaha. Perbandingan
tolok ukur kritik matan hadis yang menjadi kecenderungan muhaddisin pada
umumnya dan mi’yar yang secara dengan kaidah mayor kritik matan hadis pegangan
para fuqaha.

3
4. Metode Penulisan Buku
Dalam metode penulisan buku ini, penulis menggunakan studi kepustakaan
dengan pendekatan content analysis, deskriptif dan kajian perbandingan. Sumber
kepustakaan utama guna mendukung langkah kerja penelitian ini berupa buku-buku
manhaj (metode) kritik hadis secara umum, buku metode kritik matan hadis versi
muhaddisin dan buku yang menggabungkan metode kritik matan hadis versi
muhaddisin dan fuqaha.2
A. Pengertian Naqd al-Hadis
Kata naqd dalam bahasa arab lazim diterjemahkan dengan “kritik” yang
berasal dari bahasa latin. Kritik itu sendiri berarti menghakimi, membanding,
menimbang.3 Naqd dalam bahasa arab popular berarti penelitian, analisis,
pengecekan, dan pembedaan. Tradisi pemakaian kata naqd di kalangan ulama
hadis, menurut Ibnu Abi Hatim al-Razi (w. 327 h) sebagaimana dikutip oleh M.M.
al-A‟zhami adalah:
Kritik hadis pada dasarnya bertujuan untuk menguji dan menganalisis
secara kritis apakah fakta sejarah kehadisan itu dapat dibuktikan, termasuk
komposisi kalimat yang terekspos dalam ungkapan matan. Lebih jauh lagi, kritik
hadis bergerak pada level menguji apakah kandungan ungkapan matan itu dapat di
terima sebagai sesuatu yang secara historis benar. Pengujian terhadap teks dan
komposisi ungkapan matan amat berhubungan dengan taraf intelektualitas perawi
hadis dan bayang-bayang bias informasi sebagai implikasi daya berfantasi dan
kreasi berpikir saat mengamati dan melaporkan kesaksian itu kepada orang lain.
Sangat mungkin terjadi, perawi tidak hadir pada saat fakta kehadisan berlangsung.
Analisis kritik terhadap matan hadis sepanjang telah ada jaminan ke-
shahih-an sanadnya selain pada aspek kebahasaan juga terarah pada isi kandungan
(substansi doktrinal) yang terdeskripsikan pada ungkapan matan. Fokus
pertanyaan semisal “apakah isi kandungan fakta kehadisan itu dapat dipercaya,”
terbuka bagi alternatif jawaban antara lain: kejadian itu tidak aktual karena data
kesejarahan norma hukum dalam matan itu mansukh.
Memperhatikan wilayah objek material pada kegiatan kritik hadis,
kalangan muhaddisin mengelompokkannya ke dalam : (a) Naqd zhahiri atau naqd

2
Haris Nur Ikhsan, Kritik Matan Hadis, (yogyakarta: Jurnal UIN SUKA, 2009). Hal 2.
3
Ibid, hal. 9.

4
khariji (kritik eksternal) yang menganalisis dengan kritis sanad, (b) Naqd bathiniy
atau naqd dakhili (kritik internal) dengan objek material matan hadis.
B. Kritik Matan Hadis
Kata dasar matn dalam bahasa arab berarti “ punggung jalan” atau “ bagian
tanah yang keras dan menonjol keatas.4 Apabila dirangkai menjadi matn al-
hadits, menurut al-Thibiy, seperti yang dinukil oleh Musfir al-Damini, adalah:

‫انفبظ انحدٌث انتى تتقٕو بٓب انًعبَى‬


“kata-kata hadis yang dengannya terbentuk makna-makna”.5
Definisi ini sejalan dengan pandangan Ibnu al-Atsir Jazari (w.606 h)
bahwa setiap matan hadits tersusun atas elemen lafal (teks) dan elemen makna
(konsep). Dengan demikian komposisi ungkapan matan pada hakikatnya adalah
penerminan konsep idea yang intinya dirumuskan berbentuk teks. Susunan
kalimat pada matan hadis berfungsi sebagai sarana perumus konsep keagamaan
versi hadis. Teks matan disebut juga nashsh al-hadits atau nashsh al-riwayah.
Kritik matan diperlukan untuk mengetahui apakah hadis tersebut
mengandung berupa syadz atau illat. Istilah kritik matan hadis, dipahami sebagai
upaya pengujian atas keabsahan matan hadis, yang dilakukan untuk memisahkan
antara matan-matan yang shahih dan tidak shahih. Dengan demikian, kritik matan
tersebut, bukan dimaksudkan untuk mengoreksi atau menggoyahkan dasar ajaran
islam dengan mencari kelemahan sabda Rasulullah. Akan tetapi diarahkan kepada
telaah redaksi dan makna guna menetapkan keabsahan suatu hadis. Karena itu
kritik matan merupakan upaya positif dalam rangka menjaga kemurnian kritik
matan hadis, disamping itu juga untuk mengantarkan kepada pemahaman yang
lebih tepat terhadap hadis Rasulullah.6
Tata letak matan dalam struktur utuh penyajian hadis senantiasa jatuh
setelah ujung terakhir sanad. Kebijakan peletakan itu menunjukkan fungsi sanad
sebagai pengantar data mengenai proses sejarah transfer informasi hadis dari nara
sumbernya. Dengan kata lain, fungsi sanad merupakan media pertanggung
jawaban ilmiah bagi asal-usul fakta kesejahteraan teks hadist. Istilah hadits yang
dianggap sinonim dengan sunnah oleh muhaddisin diartikan segala sabda,
perbuatan, penetapan, pengakuan sifat perangai, hal ihwal pribadi, dan perjalanan

4
Ibnu Mandzur, Lisan al-‘arab (Beirut: Dar Lisan al-Arab, tt), III: hal, 434-435.
5
Al-Damini, Maqayis Naqd al-Sunnah, hal. 50.
6
Umi Sumbulah, Kritik Hadis Pendekatan Historis Metodologis (Malang: UIN Malang Press, 2008), hal. 94.

5
hidup yang disandarkan kepada Rasulullah SAW, baik yang terjadi sebelum
diangkat menjadi Rasul atau sesudahnya.
Ulama‟ usul fiqh membatasi penggunaan istilah sunnah untuk segala hal
yang datang dari nabi SAW selain al-qur‟an, berbentuk sabda, perbuatan atau
pengakuan sepanjang layak dijadikan dalil bagi ketetapan hukum syara‟. Ulama
ushuliyyin meninjau kedudukan nabi sebagai syari‟ (pemegang hak legislator).
Pembatasan tersebut mengkondisikan pemilahan hadits kedalam kelompok hadits
tasyri‟ dan non tasyri‟. Matan hadits bermuatan konsep ajaran islam mengambil
beragam bentuk, antara lain:7
a) Sabda penuturan nabi, termasuk pernyataan yang mengulas kejadian
atas peristiwa sebelum periode nubuwwah, penghikayatan tokoh rasul/
nabi maupun norma syari‟at yang diberlakukan (syar‟ man qablana).
b) Surat-surat yang dibuat atas perintah nabi dan selanjutnya dikirim
kepada petugas didaerah atau pihak-pihak diluar islam, termasuk juga
fakta perjanjian yang melibatkan nabi .
c) Firman Allah selain al-qur‟an yang disampaikan kepada umat dengan
bahasa tutur nabi (hadits qudsi).
d) Pembentukan yang terkait erat dengan al-qur‟an, seperti interpretasi
nabi atas ayat-ayat tertentu( tafsir nabawi) dan asbab an-nuzul.
e) Perbuatan atau tindakan yang dilakukan nabi dan diriwayatkan kembali
oleh sahabat (hadits fi‟liy/hadits amaliy).
f) Sifat dan bribadi nabi (hadits khalqi).
g) Prilaku dan kebiasaan nabi dalam tata kehidupan sehari- hari, serta
pengalaman dalam dinamika perjalanan kepemimpinan atau kekuasaan
nabi (hadits khuluqi).
h) Sesuatu yang direncanakan dan ancaman yang ditujukan kepada orang
lain atau kelompok sekalipun tidak terlaksana(hadits hammi).
i) Perbuatan atau sikap terbuka sahabat dimana nabi mengetahuinya dan
beliau bersikap mendiamkan tanpa menegur atau melarangnya.
j) Riwayat hidup sahabat karena data hubungan khusus dengan nabi
(hadits manaqibiy).

7
Hasyim Abbas, Op.Cit. Hal. 14.

6
k) Prediksi atau ramalan keadaan yang kelak terjadi, seperti hadits
tentang prediksi fitnah dan gejala datangnya hari kiamat.
l) Kejadian dan kebijakan sahabat sepeninggalan nabi yang berpotensi
sebagai penjabaran ajaran nabi atau berkait dengan eksistensi
persumberan ajaran islam dan pelestarian sunnah nabawiyah.
Langkah-langkat kritik matan terdiri dari 3 :
1) Proses kebahasaan, termasuk kritik teks yang mencermati
keaslian dan kebenaran teks, format qauli dan format fi‟li.
2) Analisis terhadap isi kandungan makna (konsep doktrin) pada
matan hadits.
3) Penelusuran ulang nisbah (asosiasi) pemberitaan dalam matan
hadits kepada narasumber. Dalam rangkaian langkah metodologis
penyimpulan deduktif atas setiap unit matan hadits dapat diperoleh
kategori doktrin. Berkait dengan dasar fundamental ajaran islam
atau sekedar acuan teknis yang fleksibel dalam dataran praktis, hal
yang harus diteladani atau tidak harus, aplikasi petunjuk alqur‟an
sesuai budaya masyarakat yang dihadapi, norma umum atau
merupakan hukum khusus bagi nabi dan keluarga.
C. Latar Belakang Pentingnya Kritik Matan Hadis
Ada beberapa faktor pembangkit kesadaran untuk membangkitkan
kegiatan penelitian terhadap hadits, hkususnya penelitian pada sektor matannya.
Adapun faktornya yaitu sebagai berikut:8
1. Motivasi agama
2. Motivasi kesejarahan
3. Keterbatasan hadits mutawattir
4. Bias penyaduran ungkapan hadits
5. Teknik pengeditan hadits
6. Kesahihan hadits tidak berkolerasi dengan keshahigan matan
7. Sebaran tema dan perpaduan konsep
8. Upaya penerapan konsep doktrinal hadits
D. Sejarah Kritik Hadis

8
M.M. Al-A‟zhami, Manhaj al-Naqd ‘inda al-Muhaddisin, hal. 6-7.

7
Berikut ini disajikan gambaran singkat sejarah kritik hadis, ditekankan
pada format aktivitas kritik, objek kritik dan kecenderungan hasilnya.9
1. Kritik hadits dimasa nabi SAW
Motif kritik pemberitaan hadits bercorak konfirmasi, klarifikasi dan
upaya memperoleh testimoni yang target akhirnya menguji validitas
keterpercayaan berita. Kritik bermotif konfirmasi, yakni upaya menjaga
kebenaran dan keabsahan berita, antara lain terbaca pada kronologi yang
diriwayatkan oleh Abu Buraidah tentang seorang pria yang tertolak
pinangannya untuk mempersunting wanita banu laits. Lokasi pemukiman
kabilah itu kurang lebih 1 mil dari madinah. Ia tampil berbusana kostum
dimana potongan, warna dasar dan ciri-ciri lain yang bener-bener mirip busana
keseharian nabi SAW. Kedatangan pria itu, seperti pengakuannya, membawa
pesan dari nabi muhammad saw untuk singgah ke rumah siapapun yang dalam
versi riwayat lain untuk membuat perhitungan hukum sendiri. Rupanya pilihan
rumah jatuh kepada kediaman orang tua gadis yang ia gagal
meminangnya. Segera warga kabilah banu laits mengirim kurir agar menemui
nabi dengan tujuan untuk konfirmasi atas pengakuan sepihak pemuda tersebut.
Secepat berita itu sampai pada nabi, beliau langsung menugasi abu bakar dan
umar ibn khatab untuk menangkap pria itu ternyata dia seorang munafik dan
menjatuhkan hukuman (bunuh) ditempat.
2. Kritik hadis pada periode sahabat
Proses transfer (pengoperan) informasi hadits dikalangan sahabat nabi
saw cukup berbekal kewaspadaan terhadap kadar akurasi pemberitaan.
Kondisi daya ingat, ketepatan persepsi dalam menguasai fakta kehaditsan
dimasa hidup nabi dan faktor gangguan indera mata itu saja yang perlu
dicermati dampaknya. Antara sesama sahabat tidak terpantau kecenderungan
mencurigai kedustaan, baik dalam memberikan sendiri setiap informasi hadits
atau yang berasal dari sahabat lain. Latar belakang tersebut kiranya yang
mendasari imam syafi‟i bersikap optimis untuk mendukung kehujjahan
hadits mursal shahabi, utamanya yang melibatkan sahabat senior. Kadar
integritas keagamaan (al-adalah) segenap sahabat nabi saw, termasuk

9
Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadis Versi Muhaddisin dan Fuqaha, (Yogyakarta: Teras, 2004), hal. 22.

8
mereka yang terlibat langsung dalam fitnah (tragedi konflik kepentingan
politik) telah memperoleh legitimasi sampai ketaraf ijma‟.10
Pada periode sahabat menurut pengamatan al-Hikam (w. 405 h) dan al-
Dzahabi (w. 748 h) adalah Abu Bakar al-Shiddiq (w.13 h) sebagai tokoh
perintis pemberlakuan uji kebenaran informasi hadis.11 Motif utama penerapan
kritik hadis adalah dalam rangka melindungi jangan sampai terjadi kedustaan
dengan mengatasnamakan Rasulullah Saw. Motif tersebut seperti terungkap
pada pernyataan Umar Ibn Khatab kepada Abu Musa al Asy‟ari : “ Saya
sesungguhnya tidak mencurigai kamu, akan tetapi saya khawatir orang
(dengan seenaknya) memperkatakan sesuatu ( baca : mengatasnamakan ) pada
Rasulullah Saw”
3. Kritik hadis pada periode muhaddisin
Perkembangan metode kritk hadits bergerak mengikuti spesialisasi
keilmuan dan kecendrungan perhatian pemikiran keagamaan para kritikusnya.
Ulama‟ hadits yang menekuni keahlian bahasa mencermati dan
memperbandingkan bahasa, uslub (gaya bahasa) teks matan hadits yang
bersifat qauli dengan ukuran bahasa tutur Nabi saw dalam komunikasi
sehari-hari dalam yang dikenal amat fasih. Ulama‟ hadits dengan spesialisasi
pendalaman konsep doktrinal hadits membandingkannya dengan konsep
kandungan sesama hadits dan dengan al-qur‟an. Ulama‟ yang menaruh
perhatian pada sektor istinbath (penyimpulan deduktif) terhadap kandungan
meteri hukum, hikmah dan nilai keteladanan dalam hadits, mengarahkan
penilaian pada nisbah ungkapan pada narasumber hadits. Penelitian serupa
terarah pada uji keutuhan, keaslian dan kebenaran komposisi teks matan
hadits. Kritik oleh muhanditsin yang membidangi aqidah dan mutakallimin
terfokus pada hadits yang bermateri pada sifat-sifat Allah dan materi alam
gaib dengan kaidah menyikapi gejala kemusykilan. Muhadditsin yang
sekaligus juga fuqaha, mencermati hadits dari segi pembinaan dan penerapan
syari‟at (aplikasi normatif). Kritisi hadits generasi mutakhir sibuk merespon
sikap keragu-raguan dalam memahami dan mengoprasikan ajaran hadits
berhubungan dinamika ilmu pengetahuan dan teknologi serta kecenderungan

10
Syahrin Harahap, Metodologi Studi dan Ilmu-Ilmu Ushuluddin, (Jakarta, Raja Cratindo Persada, 2000), hal.
69.
11
M.M. „Azhami, Manhaj al-Naqd, hlm. 10-11.

9
bersikap kritis pragmatis umat masa kini.12 Dilingkungan muhadditsin bahwa
kritik sanad merupakan persyaratan bagi kelayakan untuk ditindaklanjuti
dengan kritik matan hadits.
4. Pandangan Ulama tentnag kritik hadis
Inti kegiatan kritik hadis adalah menilai dan menghakimi unit hadis
dalam kedudukanya sebagai sumber (dalil) syari‟at Islam. Hasil penilaian
kritikus atas setiap unit hadis amat strategis, karena padanya bertumpu
kemantapan pakai oleh setiap pelaku ijtihad.13 Untuk generasi selepas periode
tokoh-tokoh kolektor terkemuka yang telah memperlihatkan kepiawaian dalam
mengaplikasikan kaidah seleksi mutu hadis, muncul fatwa pelarangan
dilakukan kritik hadis.14
Fatwa Ibnu Shalah (w.643 h) tentang pelarangan dilakukan kritik hadis
oleh siapapun selepas kodivikasi hadis oleh kolektor yang kredibel, agaknya
sejalan dengan fatwa beliau yang menegaskan bahwa pintu ijtihad dibidang
fiqih telah tertutup pada akhir abad keempat hijriah. Fakta dilapangan juga
menunjukkan bahwa koleksi hadist bermutu shahih saja, seperti sunan al-
Daruquthni (w.385 h), selebihnya mengambil format mustahraj (edit) seperti
sunan Kubra al-Baihaqi (w. 458)
E. Metode Kritik Matan Hadis
Langkah metode kritik hadits terhitung pasca fitnah ditandai dengan
terbuhuhnya khalifah utsman bin affan dan kondisi tak terbendungnya pemalsuan
hadits, telah terjadi pembalikan, bukan dimulai dari kritik matan yang telah
menjadi tradisi kalangan sahabat nabi SAW, justru mendahulukan kontrol sanad.
Pembalikan alur kerja penelitian itu disebabkan oleh kadar integritas keamanan
(al-‘adalah) dan loyaliras umat islam dalam membela dan mempertahankan
keutuhan maupun keaslian hadits telah mundur, bahkan memprihatinkan. Seperti
diketahui beragam kepentingan telah memotivisir pemalsuan dan menciptakan
kerancuan hadits. Dalam proses periwayatana hadits hingga terbukukan
membentuk beragam format dan membentuk sistematikan kutub al- hadits,
sangat besar peran ulama‟ dalam menekuni hadits. Posisi strategi mereka di
ibaratkan oleh Sufyan Tsauri sebagai :

12
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis, hal. 122-123.
13
M. Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadis, (Jakarta: Paramadina, 1999), hal. 90.
14
Ali Mustafa Ya‟qub, Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), hal. 15.

10
‫انًالئكت حساض انعًبء ٔاصحبة انحدٌث حساض األزض‬
“Para malaikat bertindak sebagai polisi (pengawal lalu lintas
wahyu) di wilayah langit, sedang ulama ahli hadis menjadi polisi (yang
mengamankan peredaran hadis) di atas permukaan bumi”.15

a) Naqd Sanad sebagai Langkah Awal Kritik Matan


Pada awalnya, pelembagaan sanad untuk menyajikan setiap unit
hadits terdorong oleh berbagai statemen oleh hadits periode mutaqaddimin,
antara lain Muhammad bin sirin dan lain-lain.16 Berbagai statemen ulama
mutaqaddimin tersebut pada akhirnya membentuk konsensus dan secara
beransur-ansur mengkondisikan sifat ketergantungan antara matan hadit
dan sanad. Imam nawawi membuat tamsil hubungan matan hadits dengan
sanadnya seperti hubungan hewan dengan kakinya.17 Adapun langkah
prosedural penelitian hadits berlaku keharusan mendahulukan kritik sanad,
tradisi itu didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
1. Latar belakang sejarah periwayatan hadits sejak mula didominasi oleh
tradisis penuturan (syafahiyah) setidaknya hingga generasi tabi‟in dan
amat sedikit data hadits yang tertulis.
2. Upaya antisispasi terhadap gejala pemalsuan hadits ternyata efektif jika
ditempuh dengan mengidentifikasi kepribadian (biodata) orang-orang
yang secara berantai meriwayatkan hadits yang diduga palsu.
3. Proses penghimpunan hadits secara formal memakan waktu yang lama
(sejak abad kedua hingga tiga abad kemudian) melibatkan banyak orang
dengan pola koleksi, cara seleksi dan sistematika yang beragam.
4. Akibat pemanfaatan dispensasi penyaduran (riwayah bi al-ma’na) yang
tidak merata dan diketahui sebagian perawi lebih berdisiplin meriwayatkan
secara harfiah (al-riwayah bi al-lafzhi), maka uji kualitas komposisi teks
matan lebih ditentukan oleh tingkat kredibilitas perowi dengan sifat
kecendrungannya dalam periwayatan.
5. Hasil uji hipotesis tentang segala syadz pada matan hadits ternyata
berbanding lurus dengan keberadaan rawi hadits (sanad) yang syadz.

15
Jalaluddin al-Syuyuthi, al-La’ali al-Masmu’ah (Beirut: Dar al-Ma‟rifah, 1403h), II: hal. 472-473.
16
M Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hal. 6-7.
17
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996), hal. 138.

11
Syu‟bah bin al-hajjaj seperti dikutip pernyataannya oleh khatib al-
Baghdadi dalam al-khifayah menegaskan :

‫ال ٌجٍئك انحدٌث انشبذ االيٍ انسجم انشبد‬


“Tidak datang padamu hadis (dengan kondisi matan) yang syadz,
kecuali riwayat hadis itu melalui orang yang syadz pula”.

6. Diperoleh petunjuk bahwa dalam rangka pengujian kualitas matan hadits


acapkali peneliti dihadapkan pada kondisi kekurangan data, namun sebatas
mengkritisi sanad hadits bersangkutan cukup memadai data yang
mendukung.

‫ْرا اصح شٍئ فى انببة‬


‫ْرا حدٌث حعٍ االظُبد‬
‫ْرا حدٌث صحٍح االظُبد‬
‫ْرا حدٌث حعٍ صحٍح‬
7. Kecenderungan menempatkan keunggulan matan hadis dengan
mensejajarkan derajat keunggulan sanadnya. Sebagai contoh derajat
keshahihan hadis tertinggi dilihat dari proses takhrij ditempati oleh hadis
muttafaq ‘alaih.
Dari pertimbangan tersebut di atas disimpulkan bahwa urgensi
pengujian kualitas sanad lebih didahulukan dalam langkah penelitian,
karena perspektif historis amat berguna untuk mengkritisi kebenaran teks
matan selaku historical report.
b) Asas metodologi kritik matan
Memasuki langkah kegiatan penelitian terhadap matan hadis, beberapa
hal yang cukup fundamental penting dikemukakan, yaitu: (1) objek forma
penelitian matan, (2) potensi bahasa pengantar matan, (3) hipotesa dalam
penelitian matan, dan (4) status marfu’ dan mau’quf-nya hadis.
(1) Objek Forma Penelitian Matan
Aplikasi metodologis penelitian matan hadis bersandar pada
kriteria maqbul (diterima) atau mardud (ditolak) untuk kepentingan
melandasi pemikiran keagamaan, bukan bersandar pada kriteria benar atau
salah menurut penilaian keilmuan rasional/empiris. Adapun objek forma

12
penelitian matan hadis mencakup: (a) uji ketetapan nisbah (asosiasi)
ungkapan matan, (b) uji validitas komposisi dan struktur bahasa pengantar
matan atau uji teks redaksi, serta (c) uji taraf koherensi konsep ajaran yang
terkandung dalam formula matan hadis.18
(2) Potensi Bahasa Teks Matan
Asas metodologi dalam pengujian bahasa redaksi matan
tekanannya pada mendeteksi rekayasa kebahasaan yang merusak citra
informasi hadis dan ancaman penyusutan atau penyesatan inti pernyataan
aslinya. Dalam pandangan ulama muhaddisin beban moral orang yang
menjadi saksi primer kejadian hadis diformulasikan dengan tabligh
sebagaimana diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah Saw
bersabda:

‫ اخسجّ ابٕ دأد‬.‫نٍبهغ شبْدكى غبئبكى‬


“Hendaknya orang yang hadir (diantara) kalian menyampaikan
kepada orang yang tidak hadir”.

(3) Hipotesa dalam Penelitian Matan


Sistem seleksi kualitas hadis-hadis yang terbukukan dalam kitab
hadis standar pada umumnya dioptimalkan perimbangan antara kondisi
lahir sanad sesuai dengan persyaratan formal dan data kesejahteraan matan
dari gejala syadz atau ‘illat yang mencedarai. Sangat mungkin terjadi
kesenjangan kualitas sanad dengan matan hadis yang diantarkannya.
(4) Status Marfu’ dan mawquf
Langkah penelitian perlu berbekal: (a) kriteria hadis marfu’ dan
mawquf, (b) shighat ungkapan marfu’, (c) nilai kehujjahan hadis mawquf.
(a) Kriteria hadis marfu‟ dan mawquf
Nilai keshahihan hadis marfu’ tetap menyertakan kritik sanad
seperti lazimnya, yaitu uji ketersambungan dan derajat al-‘adalah serta
kadar ke-dhabith-an seluruh mata rantai periwayat.19 Batasan marfu’
adalah sesuatu (pemberitaan) yang disandarkan oleh seorang sahabat, atau
tabi‟in atau oleh siapapun secara khusus kepada Nabi/Rasulullah Saw.

18
Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1998), hal. 4-
6.
19
Shubhi Shalih, ‘Ulumul hadits, hal. 218-220

13
Indikator ke-ma’ruf-an suatu hadis tidak harus mencantumkan nama
Nabi/Rasulullah Saw, tetapi cukup memadai bila materi berita dalam
matan mengisyaratkan adanya ikatanzwaktu dengan periode kehidupan
Nabi Saw, mencerminkan implementasi bimbingan keagamaan oleh Nabi
Saw, penjelasan sahabat yang substansinya diyakini
bukanamerupakanakreasi ijtihad dan transformasi kejadian-kejadian yang
dialami sahabat pada masa berlalu. Contoh: redaksi matan hadis yang tidak
mengeksplisitkan Nabi/Rasulullah Saw:

.ِ‫ انًالئكت تصهى عهى احدكى يب داو يصال‬: ‫قبل ابٕ ْسٌسة‬
‫اخسجّ انُعبءئ‬

“Abu Hurairah berkata: Malaikat senantiasa


memohonkan kontinuitas rahmat kepada seseorang diantara
kamu. Selama ia berada dilokasi shalatnya”. (HR. Al-Nasa‟i).

Contoh lain:

Artinya: “Ibnu Abbas berkata: kesembuhan dari


penyakit terletak pada 3 hal yaitu minum madu, upaya
mengeluarkan darah oleh orang yang berbekam dan dengan
sentuhan besi yang dipanaskan; dan aku melarang umatku dari
cara penyembuhan dengan besi panas”. (HR. Al-Bukhari).

Kedua matan hadis tersebut dinyatakan berstatus marfu’ hukmiy.


Matan pertama oleh al-Nasa‟i atas pertimbangan: tidak mungkin dukungan
malaikat pada orang yang melakukan aktivitas ibadah selesai shalatnya,
bisa dihasilkan data itu dari kreasi ijtihad. Matan hadis kedua dinilai
marfu’ oleh al-Bukhari sehubungan dengan statemen Ibnu Abbas melarang
umat Islam berbuat sesuatu demi kesembuhan dari penyakit tidak mungkin
sejatinya mengatasnamakan diri Abdullah bin Abbas. Statemen tersebut
secara implisit mempertangungjawabkan sumbernya kepada Rasulullah
Saw sebagai pemegang kewenanganstasyri‟ atau legislator.
(b) Shighat ungkapan marfu’

14
Perangkat lambang pengantar ungkapan matan hadis marfu’ sangat
beragam dari yang paling jelas memperlihatkan format ke-marfu’-an
hingga yang samar dan cenderung mengundang keraguan.
1. Lambang jelas (sharih):

‫زاٌت زظٕل هللا ٌفعم‬ ‫ظًعت انُبى ٌقٕل‬


‫زاٌت زظٕل هللا ٌقٕل‬ ‫ظًعت زظٕل هللا ٌقٕل‬
‫كبٌ زظٕل هللا ٌفعم‬ ‫حدثُب زظٕل هللا‬

2. Lambang cukup jelas yang menjadi pengantar keterangan


sahabat:

ٌٔ‫كبٌ انُبض ٌأيس‬ .......... ‫ايسَب ة‬


...... ‫يٍ انعُت‬ ......... ٍ‫ٍَُٓب ع‬
‫كُب ال َسي بأظب‬ ........ ‫كبَب َفعم‬

(c) Nilai kehujjahan hadis mauquf


Pada dasarnya setiap pemberitaan mengenai perkataan, termasuk
pendapat keagamaan yang difatwakan, perbuatan atau ketetapan yang
disandarkan kepada perseorangan sahabat Nabi Saw disebut hadis mauquf.
Idiom mauquf bermakna dasar “terhentikan” memberi perlambang bahwa
pertanggungjawaban informasi keagamaan itu secara ilmiah terhenti pada
sahabat Nabi tempat pemberitaan itu disandarkan.20 Pemberian status
mauquf dimaksudkan sebagai batas bahwa materi berita sangat berindikasi
kuat sebagai hasil kreativitas ijtihad, bukan implikasi atau mengisyaratkan
sebagai wahyu nubuwwah.
Dikalangan muhaddisin dianut asumsi bahwa pendapat keagamaan
yang difatwakan oleh sahabat tertentu (qaul shahabiy) bisa jadi merupakan
opini yang tersosialisasikan dikalangan sesama sahabat atau sumber
informasi itu didapat dari selain Rasulullah Saw. sebagai contoh:

‫ يٍ اظتفبد يبال فال شكبة فٍّ حتى ٌجٕل عهٍّ انحٕل‬:‫عٍ ابٍ عًس قبل‬

20
Ibnu Shalah, Muqaddimah fi ‘Ulum al-Hadis, hal. 38

15
‫ اخسجّ انتسيري‬.ّ‫عُد زب‬

“Abdullah bin Umar berkata : Barangsiapa


mendayagunakan (menginvestasikan untuk suatu usaha)
sejumlah harta, maka tak ada zakat atasnya kecuali setelah
lewat masa satu tahun berada di tangan pemiliknya”. (HR.
Turmudzi).

Deskripsi terhadap sikap fuqaha terhadap hadis mawquf (qaul


shahabiy) terlihat jelas berbagai persyaratan yang ditimpakan pada kondisi
matan hadis. Minimal tidak ada indikasi berlawanan dengan substansi
matan hadis marfu’ yang potensial sebagai hujjah, “selamat” dari gejala
pertentangan dengan fatwa dari sahabat lain, disamping persyaratan formal
kehadisan harus dipenuhi.
F. Kaidah Kritik Matan Hadis Tradisi Muhaddisin dan Fuqaha
Para sahabat Nabi Saw sejak periode Khulafa‟ al-Rasyidin telah
meletakkan dasar-dasar metodologis guna mensosialisasikan berita dengan nisbah
kehadisan yang bertumpu pada prinsip menjaga keutuhan dan kesesuaian dengan
faktanya. Ketika ulama muhaddisin harus mengantisipasi ancaman pemalsuan
hadis, mereka gencar menerapkan kritik sanad dengan pendekatan rijal al-hadis
dan kaidah al-jarh wa al-ta’dil. Pada periode tersebut dinamika aplikasi
metodologis kritik matan hadis.
Faktor penyebab kesulitan dalam penghimpunan kaidah baku dalam
penelitian matan hadis antara lain:
1. Fakta periwayatan hadis terbesar secara makna, karenanya kaidah filologi
kurang tepat bila dijadikan tolak ukur dalam menilai keshahihan hadis dan
yang diefektifkan justru rukakah al-ma’na (kerancuan konsep).
2. Acuan pendekatannya sangat beragam terutama dipengaruhi oleh disiplin
keahlian kritikusnya, seperti acuan muhaddisin yang mentolelir data ziyadah
redaksi matan oleh orang yang tsiqah, disikapi beda oleh fuqaha yang reaktif
terhadap gejala ziyadah ‘ala al-nashsh.
3. Latar belakang proses kejadian hadis tidak selamanya mudah diketahui,
terutama menyangkut model pemaparan maratif yang mengurut secara sinkron

16
kejadianyang dilaporkan dalam redaksi matan atau model diakronis yang di
mulai dari sebuah situasi dan disudai dengan ujung situasi akhirnya.
4. Kandungan substansi matan hadis terkait dengan deskripsi hal-hal yang
berdimensi supra rasional.
5. Referensi yang komprehensif menyajikan kaidah kritik matan masih sedikit.
Keragaman terungkap juga padaatataran aplikasi metodologis atas kaidah
kritik matan. Ada keenderungan menawarkanta‟wil betapa senjang dari
pendekatan bahasa teks matan. Seperti sabda Rasulullah Saw yang dikutip oleh
Abu Hurairah :

“ Barang siapa mensalati jenazah (seseorang ) di masjid,


maa tidak beban dosa atasnya.”

Berpegang secaraautuh redaksi matan tersebut, Imam Syafi‟i (w.204 h)


menyimpulkan kebolehan shalat jenazah di masjid tanpa ikatan hokum makruh.
Redaksi matan diatassdalam koleksi al-Mushannafat oleh Abdrrazaq (III:527),
terbaca fa la syay’a lahu disimpulkan oleh Imam Abu Hanifah (w.150 h) dengan
status makruh karena shalat jenazah yangditunaikan dalam masjid tida memberi
akses pahala sama sekali. Redaksi matan pegangan Imam Abu Hanifah tersebut
diunggulkan oleh al-Khatib al-Baghdadi (w.463h) dalam Nashb al- Rayah, mirip
dengan apa yang tertera pada Sunan Ibnu Majah (I:486) terbaca fa laysa lahu
syay’un.
Kriteria kesahihan yang terpasang untuk kritikb matan hadis ternyata
berbeda-beda antara tradisi ulamahhadits (muhaddisin) dan ulama fiqih (fuqaha
dan ushulliyyin). Akal perbedaan itu bilaaditelusuri berpangkal pada perbedaan
paradigma (cara pandang) masing-masing ulama terhadap hadis. Muhaddisin
memandang sosok pribadi Nabi Saw sebagai uswah hasanah (sumber ikatan
keteladanan yang utama) . Sedangkan Fuqaha dan ulama ushuliyyin memandang
pribadi Nabi Saw sebagai musyarri‟(pemegang hak legislator).
a) Tradisi Muhaddisin dalam Kritik Matan
Ulama‟ muhadditsin telah mengembangkan metode kritik matan
yang berintikan dua kerangka kegiatan dasar : pertama, mengkaji
kebenaran dan keutuhan tekssyang disusun redaksinya sebagai mana
terkutip dalam komposisi kalimat matanhadits. Kedua, mencermati

17
keabsahan muatan konsep ajaran islam yang disajikan secara verbal oleh
periwayat dalam bentuk ungkapan matan hadits.
Cross referance yang berintikan studi banding (muqaranah) antara
teks matan hadits, hasil analisisnyaaamengindikasikan data kelemahan
redaksional yang amat berkepentingan pada langkah pelurusan. Berikut
disampaikan temuan data deviasi (penyimpangan) teks matan dengan
indikator yang berbeda: kelemahan redaksional yangamat berkepentingan
pada langkah kelurusan. Berikut disampaikan temuan data deviasi
(penyimpangan) teks matan dengan indikator yang berbeda:
1. Idraj
Penyisipan kata atau kalimatoleh perawi sahabat langsung menyatu
dengan ungkapan asal matan hadits tanpaatanda penyekat yang memisahkan
dan tanpa menunjuk nara sumber yang menyisipkannya.
2. Ziyadah oleh perawi tsiqah
Predikat tsiqah merupakanfaktor penentu diterima atau ditolaknya
periwayatan hadits bersangkutan. Contoh ungkapanmmatan hadits riwayat
hudzaifah mengutip sabda Rasulullah saw:

‫ جعهت نُب األزض يعجدا ٔطٕٓزا‬..........


Seluruh periwayatan generasi tabi’u al-tabi’in membakukan kritik
matan hadits seperti itu, hanya abu malik al asyja‟i, denganuujung sanad
hudzaifah juga tampil dengan redaksi matan berbeda, yaitu:

‫ جعهت نُب األزض يعجدا ٔتسبتٓب طٕٓزا‬.........


3. Tashif dan tahrif
Contoh :

‫عٍ شٌد بٍ ثب بت اٌ ااَبً صهً هللا عهٍّ ٔظهى انحتجس فً انًعجد‬


Yang menginformasikan nabi saw mengambil tempat terbatas
dengan beralaskan sesuatu untuk kesiapan shalat diatasnya.
Teks matan hadits tersebut dikutip dengan salah orang dengan
ibnu-lati‟ah menjadi ihtajama yang semula tertulis dengan huruf ra,
ikhtajaro. Dampak dari kesalahan kutip ini mengesankan sepertinya nabi
saw berbekam mengeluarkan darah dengan melukai sedikit kulit badan dalam
rangka berobat dan mengambil tempat dimasjid.

18
Contoh tahrif seperti tercermin saat orang membaca teks matan

hadits Jabir Bin Abdullah: ‫زيً ابً ٌٕو انحصاة‬ apabila dibaca Rumiya

abiy maka yang tampak seakan Abdullah ayah kandung primer terluka
pada bagian matannya karena terkena panah saat perang ahzab. Bacaan
atas teks yangbenar adalah rumiya ubayyun, artinya bagian mata Ubay
bin Ka‟ab terkena panah musuh saat yang bersangkutan mabil bagian
dalam perang ahzab. Cara baca yang tepat dan benar itu bisa dikonfirmasikan
setelah wafatnya abdullah, ayah handa jabir, sebagai syahid pada perang
uhud, beberapa tahun jauh sebelum peristiwa perang ahzab.
4. Maqlub
Dari segi bahasa berarti yang terbalik. Pada objek hadits tersebut
digambarkan sebagai ungkapan matan yang oleh periwayatan tertentu
menjadi terbalik atau tertukar letak keberadaan penggal kalimatnya. Bagian
kalimat yang seharusnya didepan menjafi di belakang.21
5. Idhtirab/Mudhtarib
Idiom tersebut bila disalin dalam bahasa indonesia sama dengan
goncang, kacau atau tiada berketentuan. Idhtirab dalam matan dapat terjadi
apabila suatu hadits dengan tema tertentu diriwayatkan dari berbagai sanad
dan sahabatperawinya tunggal. Kondisi yang menyulitkan pengguna
hadits, kalimatnya kacau dan menjadi tiada berketentuan itulah idhtirab.
Hadits dengan kondisi beragam matan disebut mudhtarab atau mudhtarib.
Hadits dengan kondisi beragam matan disebut mudhtarab atau mudhtarib.
Ibnu Rislan al- Bulqini memberi sebutan al-muqtarib (yang saling
berdekatan): Kriteria idhtirab matan mansyaratkan unsur :
(a) Keseimbangan antara kualitas sanad dan ketunggalan pada nama
sahabat perawi hadits-hadits yang kandungan makna matannya saling
berlawanan.22
(b) Kadar pertentangan itu berbias kerancuan makna yang mengganggu
pemahaman inti ajarannya.
(c) Gagal diupayakan kompromi, penyesuaian atau pola tarjih.
6. „Illat Hadis

21
A. Umar Hasyim, Qawaid Ushul al-Hadis, hal. 125.
22
Ibnu Shalah, Muqaddimah ‘Ulum al-Hadis, hal. 84.

19
Kaidah keshahihan matan hadits mensyaratkan jaminan sejahtera
dari ‘illat. Illat hadits berbeda dengan tha‟nu alhadits(cacat umum) yang
mudah ditelusuri. Cacat umum pada matan dapat dikenali dari gejala
kepalsuan yang amat beragam indikatornya seperti penyaduran makna
matan hadits kedalam redaksi yang rancu bahasanya. ‘illat pada matan adalah
fakta penyebab yang tersembunyi keberadaan dan tidak transparan, tetapi bila
terdeteksi maka matan hadits yang semula shahih (sehat kualitas) menjadi
jatuh derajat dan dinyatakan tidak shahih.Langkat metodologis yang
ditempuh oleh muhadditsin dalam melacak dugaan „illat pada matan
hadits adalah sebagai berikut:
(a) Melakukan takhrij (penelusuran keneradaan hadits) untuk matan
bersangkutan guna mengetahui seluruh jalur sanadnya.
(b) Melanjutkandengan ‘itibar guna mengkategorikan muttaba’ tamm/
qashir dan menghimpun matanhhadits yang bertema sama sekalipun
berujung akhir sanad terpasang nama sahabat yang berbeda.
(c) Mencermati data dan mengukur segi-segi perpadanan atau pendekatan
pada: nisbah ungkapan kepada narasumber, pengantar riwayat, sighat
tahdis dan susunan klaimat matannya. Dan yang terpenting menentukan
sejauh mana unsur perbedaan yang teridentivikasi.
7. Syadz pada matan
Kata syadz berarti kejanggalan, terasing dari lingkungan atau
menyendiri dari orang banyak.Menurut imam syafi‟i syarat untuk
mengklasifikasikan syad hadits ada dua syarat yaitu :
(a) fakta penyendirian(infirad) oleh orang-orang yang derajat
periwayatannya maqbul.
(b) Bukti perbedaan (ikhtilaf) pada substansi atau format pemberitaan
matan ketika diperbandingkan dengansejumlah matan hadits yang
setingkat sanadnya atau lebih berkualitas.23 Contoh temuan data
syad karena penyendirian dan formatmmatan hadits.
“telah menceritakan kepada kami(abu dawud,dkk),
musaddad abu kamil dan ubaidillah bin umar bin maysarah,
mereka berkata: telah bercerita kepada kami al-a‟masy, dari
abu shalih, dari abu hurairah, bersabda rasulullah saw ,

23
Mahyar Idris, Telaah Kritis Terhadap Syaz Sebagai Unsur Kaedah Kesahihan Matan Hadis, (Parepare: Jurnal
STAIN Parepare, 2015), hal. 78

20
apabila seseorang diantara kamu telah shalat dua rekaat
sebelum subuh maka hendaklah ia berbaring kerusuk
kanan.(HR.Abu dawud).

Koreksi al-baihaqi tersebut bisa dikonfirmasikan dengan


kesaksian aisyah: apabila seseorangadiantara kamu telah shalat dua
rekaat sebelum subuh maka hendaklah ia berbaring kerusuk
kanan.(HR.Abu dawud). Koreksi al-baihaqi tersebut nbisa
dikonfirmasikan dengan kesaksian aisyah:

ّ‫اٌ انُبً صهى هللا عهٍّ ٔظهى كبٌ اذا صهى زكعتً انفجس فى بٍت‬
ًٌٍُّ ‫اضظجع عهى‬
“sesungguhnya nabi saw terbiasa bila selesai
menunaikan shalat (sunah)fajar dirumah kediaman, beliau
memiringkan badan (sambil tiduran) kerusuk nkanannya”.

Dengan koreksi al-baihaqi tersebut, maka matan hadits yang


berstatus mahfudz adalah yang mengambil format fi’li seperti kekasih
aisyah, sedang matan yang menisbatkan kepada abd al-wahid bin
ziyad dinyatakan janggal(syadz). Bertolak dari status mahfuzh untuk
matan berformat fi’li, maka kebiasaan nabi saw tidur dengan
memiringkan badan kerusuk kanan npasca shalat sunah fajar harus
difahami sebagai dorongan(kecenderungan) pribadi, bukan pencerminan
kaifiyah ibadah yang secara syar‟i mengikat untuk diteladani umat.
b) Kritik Atas Konsep Hadis versi Muhaddisin
Tolak ukur kritikanmatan hadits yang ditradisikan oleh kalangan
muhadditsin terkait upaya perumusan konsep ajaran islam versi hadits yaitu:
(a) Kontroversi hadits dengan al-qur‟an
Bila hadits telah memperoleh penilaian maqbul danditerima
kehujjahannya, namun konsep yang dikandung diduga berlawanan dengan
petunjuk shahih al-qur‟an, yakni dalalah yang muhkam maka, rumusan
konsep hadits sberpihak pada eksplisitas al-qur‟an.24 Berbeda halnya bila
antara konsep yang berasumsi kontroversial itu sama-sama berasal

24
Abdurrahman R, Metode Penyelesaian dalam Kajian Matan Hadis-hadis Kontroversial, (Makassar: Jurnal
UIN Alauddin Makassar, 2014), hal. 13.

21
dari ungkapan hadits yang ber dhalalah dzani karena unsur
mutasyabih (metaforis), maka seyogyanya diarahkan ketakwil.
(b) Kontroversi sesama hadits atau dengan sirah nabawiyah
Dugaan kontroversi antarankandungan makna sesama hadits
marfu’ dengan derajat riwayat ahad sering terjadi. Untuk tujuan
perumusan konsep doktrin versi hadits ditawarkan solusi dengan pola
kompromi dan bila dipandangperlu menempuh upaya tarjih.
Contoh :“dari tsauban, rasulullah saw bersabda....janganlah
seorang bertindak sebagai imam(dalam shalat jama‟ah) atau suatu
kaum kemudian berdo‟a dikhususkan untuk dirinya tanpa nmengikut serta
kaumnya. Maka apabila ia berbuat demikian berarti telah menghianati
mereka”.( HR. Tirmidzi).
Konsep yang tertangkap dari ungkapan matan hadits tersebut
adalah mencela orang yang diberikan kepercayaan untuk berdo‟a oleh
sekelompokwarga masyarakat ternyata hanya kepentingan pribadi
mendominasi do‟anya dan tidak menaruh peduli pada kebutuhan orang
lain.
(c) Kontroversi hadits dengan pendapat akal.
Sejalan dengan pola umum ulama‟ muhadditsin dalam
menerima informasi nubuwwah seperti itu, maka terjadi
pengelompokan doktrin islam yang ta’aqquli(rasional) dan yang ta’ab
budi lantaran tidak terjangkau hakikat maknanya oleh penalaran akal.
Berikut disajikan contoh dinamika kritik matan dengan penalaran akal
berbasis dugaan –dugaan kontroversi :
(1) Kontroveksi dengan logika keagamaan
Contoh : “Diberitakan dari asma‟ binti „umais, ia berkata: adalah
rasulullah saw menerima wahyu dan posisi kepala beliau terbaring
diatas pangkuan ali bin abi thalib, maka ali (bertahan demikian)
tanpa menunaikan shalat ashar hingga matahari terbenam. Maka
rasulullah bersabda: sesungguhnya ia (ali) berada dalam kepatuhan
kepadamu dan dalam mematuhi utusan-mu, maka kembalilah
matahari atasnya. Asma‟ berkata: maka aku melihat matahari
terbenam, kemudian aku melihatnya muncul kembali sesudah ia
nyata-nyata terbenam”.

22
(2) Kontroversi dengan fakta sejarah.
Bertema prediksi (a’lam al-nubuwwah) sebuah hadits
meramalkan pasca 100 tahun nkedepan tidak bakal lahir manusia
dengan repotasi besar:
Contoh: “Dari shakhr bin qudamah, bersabda rasulullah saw: tidak
bakal lahir seorang bayi pun sesudah ratusan tahun nmendatang yang
padanya Allah punya kepentingan”.
Prediksi yang menjadi inti kandungan matan hadits tampak berlawanan
dengan fakta.25
(3) Kontroversi dengan npengetahuan empirik
Contoh “Telah dikuasi untuk (mengontrol energi)matahari sebanyak
sembilan malaikat yang terus menerus melemparinya dengan bola
salju pada setiap hari. Jika tidak demikian, maka sinar matahari
tidak sekali-kali menimpa sesuatu(diatas permukaan bumi) jecuali
akan amenghanguskannya”.
Hasil pantauan teleskop yang dibawa satelit tidak merekam
gambar frekuensi lemparan bola salju. Data fisika membuktikan
bahwa yang meminimalisirnbahaya radiasi dari panas matahari
adalah faktor jarak dengan planet bumi kurang lebih 150 juta
kilometer cahaya.Betapa keterlibatan sejumlah malaikat itu
tergolong hal yang ghoib namun kritik substansi matan bisa
memperbantukan sarana pengetahuan emperik.
(4) Kontroversi dengan pengetahuan sosial
Berikut kritik matan hadits yang menyorot konsultasi
seorang suami perihal prilaku istrinya kepada rasulullah saw:

ٌ‫عٍ ابٍ عببض اٌ زجم جبء انُبً صهى هللا عهٍّ ٔظهى فقبل ا‬
‫ قبل‬.‫ايساءتى ال تسدٌد ال يط قبل فسبٓب قبل اعبف اٌ تتبعٓب َفعى‬
ً‫ زٔاِ ابٕ دأد ٔانبصاز ٔانتسيري ٔانُعبئ‬.‫فبظتًتع بٓب‬
Ungkapan majazi la taruddu yada lamis sempat mengundang
beragam makna, antara lain: suka berlaku tak terpuji atau pemboros
dalam membelanjakan harta amiliknya/milik suaminya.

25
Johar Arifin, Pendekatan Ulama Hadis dan Ulama fiqh dalam Menelaah Kontroversial Hadis, (Jurnal
Ushuluddin, 2014), hal. 21.

23
c) Tradisi Fuqaha dalam Kritik Matan
Kata fuqaha adalah bentuk jamak dari kata faqih, berarti
orang-orang ahli fiqih. Al-amidi mendefinisikan fiqih sebagai
ilmu pengetahuan yang menghasilkan rumusan sejumlah hukum
syari‟ah bersifat praktis, dengan menempuh proses penalaran
akal adan pemanfaatan dalil ( istidlal). Dengan definisi tersebut
maka setiap rumusan hukum fiqh harus bersandar kepada dalil,
termasuk hadits dengan pola penalaran tertentu.26 Karena
Tuhan bersifat Maha Tahu terhadap segala sesuatu dan tidak
satupun memerlukan penalaran Nya, maka Tuhan tidak boleh
disebut sebagai faqih. Tolak ukur/para meter utama pedoman
fuqaha‟ dalam konseptual matan hadits adalah:27
1. Konfirmasi hadits dengan al-qur‟an.
2. Konfirmasi dengan hadits yang mahfudz.
3. Konfirmasi hadits dengan ijma‟.
4. Konfirmasi hadits dengan praktek keagamaan sahabat.
5. Konfirmasi hadits dengan qiyas.
6. Konfirmasi hadits dengan sendi-sendi umum syariah.
7. Konfirmasi sifat periwayatan ahad pada materi pemberitaan
yang seharusnya terpublikasikan secara luas.
Ketika konsentrasi fuqaha pada pemanfaatan setiap unit hadis
(sunnah) selaku dalil syar‟i, gerak metodologisnya adalah dalam kerangka
menggali informasi hukum syara‟ dibidang ‘amaliyah (praktis) menempuh
analisa deduktif. Hal yang dikritisi fuqaha adalah mutu kebenaran formula
konsep hukum yang menjadi substansi matan hadis dan daya ikatnya
terhadap orang mukallaf. Bidang hukum syarat praktis mencakup
pembahasan tentang perbuatan orang mukallaf dari segi
pertanggungjawaban melakukannya.
Fuqaha’ dan ushuliyyun memposisikan diri sebagai masyarakat
pemakai hadis (sunnah). Orientasi kritik mereka terhadap hadis bukan

26
Masyrukin Muhsin, Kritik Matan Hadis, (Banten: Jurnal IAIN Sultan Maulana Hasanuddin, 2016), hal. 50.
27
Zubaidah, Metode Kritik Sanad dan Matan Hadis, (Yogyakarta: Jurnal Komunikasi dan Pendidikan Islam,
2015), hal. 49

24
tertuju pada uji kebenaran dokumentasi hadis melainkan terkait dengan
seleksi keunggulan nilai kehujjahan.
Wilayah perhatian fuqaha’ dan ushuliyyun terpusat pada upaya
mendudukkan hadis (sunnah) pada ajajaran dalil-dalil hukum syara‟ dan
terfokuskan kesasaran aplikasi doktrinalnya. Karena itu, langkah
metodologis kritik mereka berbasis pada mu’aradhah (pencocokan) dan
muqaranah (perbandingan) antar konsep atau makna yang dikandung
setiap unit hadis. Media banding uji kecocokan bisa memperhadapkan
dengan al-Qur‟an dan dalil-dalil perumusan hukum syara‟ ‘amaliyah yang
lain. Target yang ingin dicapai mirip konfirmasi guna mengesahkan
kebenaran doktrin hadis dan uji koherensi (ketertautan dan keterhubungan)
antara doktrin hadis dan dengan doktrin dalil-dalil syara‟ yang lain.
Dengan demikian, matan hadis sebagai objek kritik dikalangan fuqaha dan
ushuliyyun lebih didekati dengan aspek substansi doktrinalnya.

25
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Pemikiran Hasjim Abbas memberikan peluang bagi terbukanya
suatu kajian kritik hadist yang semakin progressif. Hal ini dapat
menepis anggapan banyak orang, bahwa selama ini konsentrasi
perkembangan ilmu hadis yang kebanyakan pada kritik sanad hadis
saja. Dari uraian yang telah dilakukan Hasjim Abbas terlihat dimana
para ulama masa lalu mempunyai perhatian yang sangat besar terhadap
matan hadis. Dengan munculnya metodelogi kritik matan hadist yang
sistematis baik dikalangan Muhaddisin dan Fuqaha, setelah itu
mengidentifikasi perbedaan metodelogi kritik matan hadis menurut
Muhaddisin dan Fuqaha.
Dari urutan di atas, review buku Hasjim Abbas tentang kritik
matan hadits menurut Muhaddisin dan Fuqaha dapat kita simpulkan
perbedaan dalam bentuk skema kritik matan hadits tersebut sebagai
berikut:
Skema kerangka kritik matan hadis
Kerangka Kritik Muhaddisin Fuqaha
Matan
Memandang Rasulullah Memandang Rasulullah
Paradigma
sebagai uswah Hasanah sebagai musyarri‟ (
Pemegang Hak Legislator)
Terfokus pada uji kebenaran Terfokus pada impilikasi
Operasional Kaidah
dan keutuhan redaksi matan makna (dalalah) yang
Kritik Matan
sesuai data sejarah hadist menebarkan konsep ajaran
- Tidak bertentangan - Konfirmasi dengan
Tolak Ukur Kritik
dengan Al-Quran al-Qur‟an
Matan
- Tidak bertentangan - Konfirmasi dengan
dengan hadis yang hadis yang telah
telah diakui dengan diakui
keabsahannya - Konfirmasi dengan
- Tidak menyalahi akal ijma‟ dan qiyas
sehat dan data sejarah · Konfirmasi

26
- Berupa ungkapan dengan praktek
kenabian Keagamaan perawi
Konfirmasi dengan
sendi-sendi umum
Syari‟ah
Idraj, Taqlib, Iqtirab, Maqbul, Mardud, dan
Hasil Evaluasi
tashif/tahrif dan ziyadah Illat Ma‟mul Bih
Kritik
Tertuju pada uji kebenaran Menyeleksi keunggulan
Orientasi Kritik
dokumentasi hadis hadis sebagai hujah hukum
Matan
Menjaga seluruh dokumentasi Terpusat pada upaya
Orientasi Kajian
kehadisan sebagai upaya menggali nilai doctrinal
melestarikan peninggalan dan aplikasinya dalam
Rasulullah saw yang ma‟sum hadis
Terfokus pada dugaan Syadz Mengacu pada
Kisaran Hasil
atau temuan illat pembentukkan dalalah
Evaluasi
qatiyyah dan Zaniyyah

B. Kritik dan Saran


Dalam buku Hasjim Abbas, kini kurang detailnya yang
menuliskan perbedaan kritik matan hadis menurut Muhaddisin dan
Fuqah sendiri. Oleh sebab itu untuk mereview buku ini agar dapat
menyimpulkan, dan lebih jelasnya dalam bentuk table.
Melihat begitu banyak kritik terhadap hadis yang lebih banyak
bertumpu pada kritik sanad hadis menuju kritik hadis yang bertumpu
pada matan hadis, oleh karena itu terdapat saran bagi kita mahasiswa
yaitu:
 Diperlukan upaya serius untuk mengembangkan kajian-kajian
secara lebih detail tentang kemungkinan-kemungkinan
pengembangan metodelogi studi kritik matan secara
komprehensif
 Untuk Kajian selanjutanya terhadap pemikiran Hasjim Abbas,
ada baiknya pemikiran tokoh ini dibandingkan dengan
pemikiran tokoh lain yang melakukan kajian sejenis. Hal ini

27
penting untuk membedakan pemikiran-pemikiranya secara
lebih luas dan komprehensif.

28
DAFTAR PUSTAKA

Abbas Hasyim , Kritik Matan Hadis Versi Muhaddisin dan Fiqaha,


Yogyakarta: Teras, 2004

Abdurrahman R, Metode Penyelesaian dalam Kajian Matan Hadis-hadis


Kontroversial, Makassar: Jurnal UIN Alauddin Makassar, 2014

Al-Damini, Maqayis Naqd al-Sunnah

Arifin Johar, Pendekatan Ulama Hadis dan Ulama fiqh dalam Menelaah
Kontroversial Hadis, Jurnal Ushuluddin, 2014.

Harahap Syahrin, Metodologi Studi dan Ilmu-Ilmu Ushuluddin, Jakarta, Raja


Cratindo Persada, 2000

Hasyim, A. Umar, Qawaid Ushul al-Hadis

Hasyim Abbas, Op.Cit.

Ibnu Shalah, Muqaddimah fi ‘Ulum al-Hadis

Ikhsan, Haris Nur, Kritik Matan Hadis, Yogyakarta: Jurnal UIN SUKA, 2009

Ismail, M. Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadis

Mandzur Ibnu, Lisan al-‘arab, Beirut: Dar Lisan al-Arab, tt), III

M. Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadis, Jakarta: Paramadina, 1999

M.M. Al-A‟zhami, Manhaj al-Naqd ‘inda al-Muhaddisin,

Nabawi Hadari, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gadjah Mada


University Press, 1998

Shalih Shubhi, „Ulumul hadits

29
Sumbulah Umi, Kritik Hadis Pendekatan Historis Metodologis, Malang: UIN
Malang Press, 2008

Wahyudi Arif, Kritik Matan, Pamekasan: Jurnal STAIN Pamekasan, 2009

Ya‟qub, Ali Mustafa, Kritik Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995

Zubaidah, Metode Kritik Sanad dan Matan Hadis, Yogyakarta: Jurnal


Komunikasi dan Pendidikan Islam, 2015

30

Anda mungkin juga menyukai