Anda di halaman 1dari 6

DINAMIKA DAN PERKEMBANGAN KRITIK HADIS DI ERA

KONTEMPORER

(nama/nim)
(email)

Kesalahan merupakan karakteristik manusia. Tidak ada manusia, kecuali dia pernah
melakukan kesalahan, baik disengaja ataupun tidak disengaja. Semua itu karena kesalahan
merupakan fitrah yang sudah tertanam dalam kepribadiannya. Kemampuan manusia dalam
hal ini hanya bisa berusaha meminimalisir kesalahan dalam kehidupan sehari-harinya, baik
dalam tingkah laku atau dalam perkataan. Dalam ilmu hadis, kedua bentuk kesalahan di atas
divonis sama, keduanya dianggap telah mencederai kesahian hadis. Hal tersebut dikarenakan
hadis merupakan sumber ajaran agama yang harus steril dari doktrin-doktrin keagamaan yang
salah yang disebabkan kesalahan para pembawa hadis.

Kritik hadis dikalangan ahli hadis dikenal dengan sebutan (‫ ) الحدیث د ق ن‬naqd al-hadis.
Kata “an-naq” dari sisi bahasa adalah berarti mengkritik, menyatakan dan memisahkan antara
yang baik dari yang buruk. Sedangkan makna kritik dalam konteks ilmu hadis adalah
cenderung kepada maksud kegiatan penelitian hadis, dan bukan berarti sebuah kecaman
terhadap hadis. Sementara pengertian kritik hadis (naqd al-hadis) secara terminologi adalah
sebagaimana diungkapkan oleh Muhammad Mustafa Azami berikut:

"Naqd al-hadis adalah upaya membedakan antara hadis hadis sahih dari hadis-hadis
da'if dan menetukan kedudukan para periwayat hadis tentang kredibilitas maupun
kecacatannya."1 Aktivitas kritik hadis marak terjadi pada abad ke-3 hijriyah. Namun hal
tersebut tidak menunjukkan bahwa di era sebelumnya sama sekali tidak terjadi kegiatan kritik
hadis. Sebab ketika penelitian hadis dipahami (dengan sederhana) sebagai upaya untuk
membedakan antara hadis yang sahih dan yang tidak sahih, maka kegiatan kritik hadis dalam
bentuk yang begitu sederhana telah muncul sejak masa Rasululullah masih hidup.2

Karya-karya sarjana Barat dalam bidang hadits banyak bermunculan seiring dengan
berkembangnya gerakan orientalis. Tidak bisa dipungkiri, karya-karya mereka mempunyai
kontribusi positif bagi berkembangnya studi hadits di dunia Islam di kemudian hari. Karya A.
1
Muhammad Musthafa Al-‘Azhimy, Manhaj al-Naqd inda al-Muhaddisin, Nasy’atun wa tarikuhu (Riyad:
Maktabat al-Kausar, 1990), hlm. 5
2
Umi Sumbulah, Kritik Hadis; Pendekatan Historis Metodologis, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), hlm. 32-
33
J Winsink, al-Mu'jam al-Mufahras li al-faadzi alHadits dan Miftah Kunuuzis-Sunnah banyak
memberikan kemudahan bagi akademisi-akademisi muslim yang sedang melakukan
penelitian-penelitian dalam bidang hadits, terutama setelah dua karya itu diterjemahkan ke
dalam bahasa Arab oleh Muhammad Fuad Abdul-Baqi. Begitu juga bibliografi yang disusun
oleh Fuat Seizgin dengan judul Tarikh at-Turats al-'Arabiy dan Cark Brockelmann (1868-
1956 M/1284-1375 H) yang berjudul Geschichte der Arabischen Litteratur sangat
memudahkan para peneliti yang hendak melacak manuskrip-masnukrip Arab yang tersebar di
perpustakaan-perpustakaan di dunia Barat dan Timur. Namun di sisi lain hasil penelitian
Orientalis dalam bidang hadits banyak menyodorkan kesimpulan-kesimpulan yang sangat
kontroversial. Hal ini tampak jelas sekali dalam karya-karya semisal Ignaz Goldziher (1850-
1921 M/1266-1339 H), D.S Margoliouth (1858-1940 M/1274-1358 H), J. Schacht (1902-
1969 M/1319-1388 H) dan G.H.A. Juynboll (1935-2010). Metode kritik historis yang
diterapkan Barat untuk mengkaji litertur-literatur kuno filsafat Yunani, Romawi dan literatur
keagamaan Yahudi, Nashrani, dicoba oleh para orientalis untuk diterapkan pada literatur-
literatur Islam, termasuk di dalamnya adalah sunnah. Literatur-literatur klasik yang memuat
fakta-fakta kesejarahan dipertentangkan dengan teks-teks hadits.

Tema kritik teks (naqd al-matn) dengan pendekatan historis dan juga rekonstruksi
metodologi naqd al-sanad, al-jarh wa al-ta’dil yang telah mapan terus mencuat dengan kasus
dan variasi beragam. Metodologi dan kriteria-kriteria baru untuk penyeleksian diterima atau
tidaknya sunnah ditawarkan. Sehingga trend penulisan orientalis dalam bidang hadits adalah
bermuara pada menggugat keotentikan sunnah—baik keseluruan maupun sebagian—yang
sampai kepada kita lewat literatur-literatur lima abad pertama hijriyah. Trend pemikiran
seperti ini kemudian diikuti dan dikembangkan oleh pemikir-pemikir muslim semisal Abu
Rayah, Ahmad Amin (1304-1373 H/1887-1954 M), Samir Islambuli dan lain-lain di dunia
Arab. Tema utama yang menjadi obyek kritik para orientalis dan pemikir muslim tersebut di
antaranya adalah; [1] Sejarah perkembangan hadits sejak masa Rasul saw. hingga pen-
tadwinanan; [2] Kritik atas metodologi interaksi dengan sanad hadits; [3] Kritik atas
metodologi interaksi dengan matan; [4] Kritik atas para rawi dan tokoh dalam studi hadits.
Pendekatan yang digunakan juga beragam, dari mulai kritik historis, analisa-kritis content
matan dengan mengedepankan rasionalitas dan empirisisme atau dengan menggunakan
metode klasik yang dikembangkan. Sehingga secara teori, pendekatan yang digunakan yang
sejalan dengan karakter dasar prinsip-prinsip dalam studi hadits ada juga yang bertentangan.
Tidak ayal lagi kesimpulan-kesimpulan kontroversial yang dihasilkan oleh para
peneliti—baik orientalis maupun muslim— dalam keempat tema besar di atas menggugah
para pemikir muslim yang lain untuk ikut andil dalam diskusi ini. Mereka menyadari bila
hubungan integratif (al-'alaaqah at-takaamuliyyah) antara al-Qur'an dan sunnah sudah mulai
direnggangkan maka bangunan ajaran Islam terancam koyak. Mereka juga menyadari bahwa
obyektifitas dan kejujuran ilmiah dalam peneltian harus dijinjung tinggi sehingga koreksi atas
kesalahan-kesalahan hasil penelitian harus dilakukan. Motivasi penelitian, kesalahan
metodogi dan kekuranglengkapan data merupakan tiga hal yang menjadi sorotan utama para
penulis muslim tersebut terhadap trend studi kritis atas hadits. Oleh karenanya di awal abad
dua puluhan hingga sekarang ini banyak bermunculan buku-buku dalam studi hadits yang
bercorak pembelaan (ad-difa'; defense) terhadap eksistensi dan signifikansi sunnah,
obyektivitas dan kapabilitas Muhadditsiin hingga keakuratan metodologi Muhadditsiin baik
di dunia Arab maupun di Barat. Sebagian emosional dan sebagian yang lain sangat obyektif
dan rasional.

Tujuan kritik hadis adalah untuk menguji dan menganalisa secara kritis apakah secara
historis dan material hadis dapat dibuktikan kebenarannya berasal dari Nabi atau tidak.
Dengan kata lain, tujuan utama kritik adalah untuk menilai apakah secara historis sesuatu
yang dikatakan sebagai hadis benar-benar dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya
berasal dari Nabi ataukah tidak. Hal ini, menurut M. Syuhudi Ismail, sangat penting
mengingat kualitas hadis erat sekali kaitannya dengan dapat atau tidak dapatnya dijadikan
hujjah agama.3 Uji kebenaran (verifikasi) hadis difokuskan pada matan karena segala aktifitas
kritik tidak lain dimaksudkan untuk mengetahui keotentikan matan itu. Hanya saja, dalam
operasional kritik di kalangan ulama h hadis, sanad menjadi objek utama penelitian.

Bahwa para ulama hadis lebih mendahulukan sanad sebagai objek kritik dikemukakan
pula oleh Ahmad Amin dalam bukunya. Ia menyatakan bahwa ulama hadis ketika melakukan
kritik hadis lebih banyak menfokuskan pada kritik sanad daripada kritik matan. 4 Amin juga
menyatakan dalam Fajr al-Islam bahwa para ulama lebih banyak menitikberatkan perhatian
kepada studi kritik sanad (ekstern). Sedikit sekali ulama melontarkan kritik bahwa apa yang
dinisbahkan kepada Nabi saw. sebenarnya tidak layak dan sesuai dengan situasi dan kondisi
saat hadis itu beliau kemukakan, atau realitas sejarah ternyata bertolak belakang dengannya,
atau redaksi hadis itu sebenarnya tidak lebih dari pernyataan falsafi yang sama sekali tidak

3
M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis (Jakarta : Bulan Bintang, 1995), .5
4
Ahmad Amin, Duha al-Islam (Kairo: Maktabah al-Nahd}ah al-Mis}riyah, 1974 M.), 130-132.
sejalan dengan redaksi yang biasanya dipakai oleh Nabi saw. atau pola dan gaya
pengungkapan hadis itu lebih mirip dengan pernyataan fiqh, dan sebagainya. Muhammad al-
Ghazali, seorang ulama Mesir kontemporer, mengikuti pendahulunya Muhammad Abu
Rayyah, juga menyatakan bahwa kegiatan kritik hadis oleh para ahli hadis tercurah pada
aspek sanad, sedang upaya meneliti matan hadis justeru dilakukan oleh para fuqaha’
mujtahidun. Kegiatan kritik matan hadis oleh fuqaha’ dikarenakan mereka berkepentingan
untuk pencaharian landasan normatif penetapan hukum Islam. Hadis sebagai sumber kedua
setelah al-Qur’an, harus memenuhi kualifikasi tertentu untuk diterima sebagai dasar hujjah.
Jika diperhatikan prinsip-prinsip pengujian validitas dan akurasi hadis dalam beberapa
literatur ilmu hadis, kritik sanad memang menempati posisi lebih banyak terbukti dari lima
kriteria deteksi hadis sahih, hanya dua di antaranya yang berkait dengan sanad dan matan,
tiga kriteria berkenaan dengan sanad saja. Meskipun dalam hal ini pendekatan kuantitatif
tidak dapat dipergunakan untuk menentukan validitas penilaian. Asumsi dasar ulama hadis
yang lebih menitikberatkan sanad sebagai tolok ukur menunjukkan bahwa kritik eksternal
mendapat porsi yang lebih banyak dari pada kritik internal.

Kritik hadis penting dilakukan berdasar pertimbangan teologis, historis-dokumenter,


praktis, dan pertimbangan teknis. Sebagai salah satu sumber otoritas ajaran Islam, hadis
menempati posisi sentral. Sekiranya hadis Nabi hanya sebagai sejarah kehidupan Nabi (fiqh
al-sirah), niscaya perhatian para ahli terhadap transmisi hadis berbeda dengan yang telah
berlangsung dewasa ini. Beberapa ayat al-Qur’an yang menjadi dasar argumentasi kehujjahan
hadis Nabi dan keharusan mengikutinya menunjukkan bahwa mengikuti Nabi dan segala
ajaran yang dibawa termasuk yang terekam dalam hadis merupakan suatu keniscayaan.
Aspek teologis ini mendorong umat muslim dahulu hingga kini berupaya memelihara dan
menjaga hhadis dari kekeliruan dan pemalsuan. Kehadiran gerakan inkar al-sunnah yang
telah muncul semenjak zaman Imam al-Syafi’i (w. 204 H./820 M.) dan dengan gigih ia
berusaha mematahkan argumentasi-argumentasi mereka41 merupakan bukti historis
penolakan hadis dalam otoritas kesumberan Islam. Dalam hal ini, secara teologis hadis atau
sunnah, yang pada masa al-Syafi’i berupa hadis ahad dan pada masa berikutnya mencakup
seluruh bentuk hadis, tidak diterima di kalangan inkar al-sunnah sebagai sumber ajaran Islam
kedua setelah al-Qur’an.

Di kalangan pemikir kontemporer, penolakan serupa juga terjadi. Tawfiq Sidqi dalam
Majalah al-Manâr No. 7, 12 Tahun IX mengemukakan bahwa Islam tidak lain adalah al-
Qur’an sendiri, dan oleh karenanya tidak perlu hadis. Ismail A’zham berpendapat bahwa
hadis - hadis yang ada sekarang – termasuk Sahih} al-Bukhari dan Sahih Muslim – tidak
dapat diandalkan keotentikannya dan tidak dapat dipercaya, bahkan kebanyakan palsu. Bagi
mereka, di samping hadis tidak mempunyai otoritas dalam kesumberan hukum Islam juga
kritik terhadapnya dalam rangka untuk mengetahui keabsahannya tidak diperlukan lagi,
karena kebanyakan hadis tidak dapat dipercaya. Tidak hanya hadis yang ahad, hadis
mutawawir yang diriwayatkan banyak orang dan oleh ulama hadis disebut mempunyai
kekuatan wurud yang mantap qat‘i al-wurud) sebagaimana halnya al-Qur’an, oleh Ghulam
Ahmad Parvez ditolak sebagai sumber otoritas Islam.

Pada akhir tulisan ini hal yang perlu disampaikan adalah bahwa kritik hadis dalam
perspektif kontemporer mengalami perbedaan dengan kritik hadis masa klasik. Pengaruh
pemikiran modern, termasuk dari kalangan orientalis terasa pada sebagian pemikiran hadis
kontemporer, meskipun kemudian disanggah oleh para ahli hadis dewasa ini. Penegasan
kembali landasan kognitif kritik hadis diperlukan mengingat studi hadis kontemporer tidak
hanya berkutat pada wilayah keilmuan keislaman, khususnya ilmu hadis, tetapi menggunakan
pendekatan ilmu lain seperti sejarah, sosial, dan filsafat (hermenetik). Karena itu, aplikasi
prinsip-prinsip ilmiah dalam kritik hadis kontemporer merupakan hal esensial untuk
mendapatkan hasil kritik yang valid dan memadai. Diharapkan dengan menggunakan prinsip
itu, validitas dan realibilitas hasil kritik dapat tercapai. Demikian halnya standarisasi kritik
hadis yang telah dikemukakan ulama klasik dalam ilmu al-jarh wa al-ta’dil di samping dapat
digunakan sebagai landasan epistemologis kritik dan penelitian hadis juga dapat disesuaikan
dengan prinsip-prinsip ilmiah umumnya.

DAFTAR PUSTAKA

Al-‘Azhimy, M. M. (2015). Manhaj al-Naqd inda al-Muhaddisin Nasy’atun wa tarikuhu


(Riyad: Maktabat al-Kausar, 1990). Al-Dzikra Vol.9 No. 1, 5.
Amin, A. (1974 M). Duha al-Islam. Kairo: Maktabah al-Nahdah al-Misriyah.
Ismail, M. S. (1995). Kaedah Kesahihan Sanad Hadis . Jakarta : Bulan Bintang.
Mashrur, D. (2007). Teori Common Link G.H.A. Juynboll : Melacak Akar Kesejarahan
Hadits Nabi. Yogyakarta: LKiS .
Sumbulah, U. (2008). Kritik Hadis; Pendekatan Historis Metodologis. UIN-Malang Press,
32-33.
Ya’qub, Ali Mustafa, Prof.KH, M.A. (2008). Kritik Hadis Jakarta: Pustaka Firdaus-Malang
Press.

Anda mungkin juga menyukai