Anda di halaman 1dari 3

BAB 5

MODEL KAJIAN TEKS-TEKS KEISLAMAN: STUDI HADIS

Hadis merupakan sumber utama Islam kedua setelah Al-Qur’an. Pada akhir
abad ke-20, studi hadis mencatat kemajuan yang berarti dan semakin banyak
memperoleh perhatian dari kalangan Islam dan Barat. Metodologi yang berkembang
dalam studi hadis dibedakan menjadi dua pendekatan, yaitu: Pertama, analisis isnad
terhadap hadis-hadis ahad. Kedua, pendekatan yang fokus pada analisis teks (matn)
hadis yang dikembangkan melalui penyelidikan varian varian teks hadis, dan
kombinasi pendekatan analisis teks dan analisis isnad.
Wael B Hallaq dari McGill University menyatakan bahwa sejak Joseph
Schacht menerbitkan karya monumentalnya pada 1950, waacana ilmiah tentang
masalah ini (persoalan otentisitas hadis) telah tersebar luas. Joseph Schacht
berpendapat bahwa sejauh hadis-hadis yang sah diperhatikan, hadis-hadis itu
diasumsikan merupakan hadis palsu kecuali dapat membuktikan kebalikannya.
A. Kajian Orientalis Tentang Hadis
Kajian orientalis tentang hadis dapat dilihat pada studi yang dilakukan oleh
Ignaz Golziher. Dalam karyanya Muslim Studies dan dalam sebuah bab berjudul
“Reaksi Terhadap Pemalsuan Hadis”, Golziher membahas bagaimana metode kritik
dari sarjana Muslim terhadap fenomena pemalsuan hadis. Ia mennyimpulkan tanda-
tanda dan ungkapan-ungkapan dalam reaksi ini ke dalam tiga cara berbeda dan
menyimpulkan bahwa ada bahaya yang sangat nyata dari tindakan penyelundupan
hadis. Bahaya itu mengancam seluruh bidang Sunnah dalam agama dan kehidupan
polotik.
Golziher menyatakan bahwa kritik sarjana Muslim berangkat dari satu titik
tolak yang formal, untuk menilai kredibilitas dan otentisitas, atau keshahihan hadis.
Hadis-hadis hanya diselidiki dengan melihat bentuk luarnya dan penelitian terhadap
muatan-muatannya tergantung pada penilaian tentang kesahihan isnad .
Julius wellhausen (1844-1918) dan Harald Motzki mencoba menentang
pandangan merendahkan dari Golhizer dan Schacht berkaitan dengan masalah isnad
dengan menyajikan sebuah artikel dimana ia menerapkan metodologi analisis isnad-
cum-matn. Motzki mengemukakan suatu tesis bahwa analisis isnad semata atau
analisis matan saja tidaklah cukup untuk memisahkan hadis-hadis yang otentik dari
hadis-hadis yang meragukan.
B. Perbedaan Metodologi Kajian Hadis: Sarjana Barat dan Sarjana Muslim
Perbedaan antara pendekatan sarjana hadis Muslim dan sarjana hadis Barat
bersandar pada perbedaan fundamental pendekatan terhadap tradisi Islam secara
keseluruhan. Sikap muslim tradisional terhadap hadis dapat dilihat sebahgai berikut:
“Sunnah, atau hadis Nabi.. merupakan sumber utama kedua dalam Islam benar
selamanya, dan kehidupan Nabi merupakan teladan yang harus diikuti oleh muslim
tanpa memandang waktu dan ruang. Untuk alasan ini, para sahabat, bahkan yang
hidup pada masa nabi, mulai mengembangkan pengetahuan tentang sunnah dan ini
dianjurkan oleh Nabi sendiri.” (Azami,1977:46)
Bagi sarjana Barat, tidaklah masuk akal bahwa hadis, cerita-cerita dan
perkataan perkataan Muhammad saw. Diakui dan dikumpulkan sebagai hadis dalam
arti teknis sudah ada pada masa Nabi hidup.
C. Kajian Sarjana Muslim Modern
Kajian sarjana Muslim modern berkaitan dengan persoalan kritik teks yang
pada akhirnya dapat meragukan beberapa catatan tentang hadis. Di antara mereka
adalah M. Rashid Ridha, Mahmoud Abu Rayyah, Ahmad Amin, dan Ismail Ahmad
Adham.
Berdasarkan kajian dari bannyaknya kaum orientalis dan beberapa sarjana dan
kritikus muslim modern bahwa muhaddisun masa awal telah memberikan takanan
pada isnad pada saat melakukan kritik hadis, dan bahwa mereka telah mengabaikan
kritik atas muatan hadis itu sendiri, tidak dapat diterima dan keliru. Karena pada
faktanya para muhadissun telah mengupayakan kritik hadis baik dari sisi isnad
maupun matannya.
D. Pendekatan Revolusioner: Al-Albani
Syekh Muhammad Nasir ad-Din al-Albani dikenal sebagai muhadis
kontemporer. Ia memperkenalkan pendekatan revolusioner dalam studi hadis.
Masyarakat umum mengetahuinya sebagai salah seorang pendukung wahhabi,
padahal ia tidak setuju dengan pandangan-pandangan wahhabi, utamanya dengan
wakil-wakil mereka yang berasal dari kaum ulama saudi, berkaitan dengan persoalan
hukum. Al-Albani menunjukkan kontradiksi fundamental dengan tradisi Wahhabi
yang menjadi pembela eksekutif Al-Qur’an, Sunnah dan ijma’ as-salaf as-salih –
utamnnya mereka yang bersandar kepada mazhab fikih Hambali bagi fatwa-fatwa
mereka.

Anda mungkin juga menyukai