Anda di halaman 1dari 14

Kritik Nalar Islam: Telaah Pemikiran Hukum Nashr

Hamid Abu Zaid


I. PENDAHULUAN
Nasr Hamid Abu Zaid adalah satu dari sekian tokoh Islam kontemporer
yang berani melancarkan kritik terhadap sumber hukum Islam, termasuk alQuran. Tokoh lain yang mempunyai pola kritik yang sama misalnya, Khalil
Abdul Karim, Abdul Karim Soroush, Muhammad Iqbal, Abid al-Jabiri,
Muhammad Arkoun, Abdullah Ahmed an-Naim, Fazlur Rahman, Hasan Hanafi,
Ali Ashgar, Ali Syariati, Muhammad Mahmud Thaha, Farid Essack, Jamal alBanna dan tokoh lainnya. Dia pria kelahiran Kairo, Mesir dan sempat
mengajar di Universitas Kairo. Pengalamannya kian luas setelah ia belajar ke
Philadelpia. Berbagai metode penggalian data didapatnya, terutama dalam
hermeneutika yang sudah dikuasainya. Dengan bekal itu, dia pun tidak segan
untuk mencoba melakukan pembacaan al-Quran dari sisi sejarah turunnya
wahyu.
Menarik untuk membincangkan tokoh ini, lantaran ia cukup berani
mengkritik al-Quran dengan menyebutnya sebagai produk kebudayaan
(muntaj al-tsaqafi). Dasar yang digunakan yakni dengan menggunakan
pendekatan hermeneutika al-Quran sehingga mempunyai kajian yang cukup
mendalam. Makalah ini berusaha untuk menampilkan sosok Nasr Hamid
beserta pemikiran-pemikirannya. Selamat membaca.
II. PEMBAHASAN
a. Profil Nasr Hamid Abu Zaid
Nasr Hamid Abu Zayd adalah soerang pemikir berkebangsaan Mesir,
yang dikenal kontroversial. Karya-karya yang dihasilkan tahun 1970-1990an kerap mengundang perdebatan. Seperti umumnya kontroversi, ada
pihak yang mengapresiasi karya kemudian mempromosikannya, namun
ada juga yang bertidak sebaliknya dengan mengkafirkan sang pemikir.
Bahkan, tahun 1995, pihak Pengadilan Mesir ikut memberi vonis kafir atas
pemikirannya yang menyimpang. Setelah ada vonis kafir, ia kemudian
hijrah dari Kairo. Dia pindah ke Belanda untuk menjadi guru besar bidang
studi Islam di Universitas Leiden dan professor di Universitas for
Humanistics Ucrecth, Belanda. 1
Abu Zayd lahir di Kairo, Mesir pada 10 Juli 1943, dan meninggal
dunia pada 5 Juli 2010 lalu dalam umur 66 tahun. Semasa hidupnya, dia
merupakan pribadi yang tertarik dalam banyak hal. Sejak kecil, dia
dikenal sudah suka sastra kemudian mendalami kajian bahasa dan
filsafat. Pengetahuannya berkembang luas, terutama soal wacana
kesastraan lantaran mempelajari semiotika dari filosof kenamaan dari
Prancis Jacques Derrida, pemikiran kritis Muhammad Arkoun dan Hasan
Hanafi. Untuk memperdalam kemampuannya, ia masuk ke Universitas
1 Irwan Masduqi, Mengenang Nasr Hamid Abu Zayd, dalam islamlib.com,
diakses pada Selasa, 7 Juli 2015 .

Kairo dan melanjutkan studi doktoralnya di Universitas Pensylvania


Philadelphia, Amerika Serikat dalam bidang Islamic Studies. Sembari
mendalami ilmu, Abu Zayd juga menjadi tenaga pengajar di Universitas
Kairo, tempat ia menimba ilmu.2
Dalam pemahaman kajian agama, ia menggunakan pendekatan
hermeneutika yang diperoleh dari kajian di Philadelphia. Hermeneutika
dianggap bisa membuka cakrawala dunia karena ada cara baru untuk
menafsirkan suatu teks. Setelah itu, dia bergerak lebih luas dengan
mencoba menafsirkan teks agama secara kritis. Teks al-Quran misalnya
sebelum disebut sebagai teks suci harus diperlakukan sebagai teks biasa
tanpa atribut apapun. Teks dilihat secara polos tanpa harus ada bias-bias
ideologis yang selalu ada di balik kitab suci. Nasr Hamid memilih teks
pada al-Quran didasarkan pada fakta empiris bahwa al-Quran adalah
untaian hurud yang membentuk bahasa, dari terkecil dan paling luas
menurut konvensi bahasa Arab.3
Teks-teks tersebut kemudian dilepaskan dari lingkungannya. Dia
masih fokus pada kajian soal teks. Salah satu syaratnya dengan menggali
warisan-warisan intelektual Islam sebagai teks yang harus dikeluarkan
dari wacana ideologis, untuk kemudian mencari tafsir baru sesuai konteks
sejarah-politik dan watak ekonomi. Dia percaya bahwa teks-teks
keagamaan hanya diyakini tanpa adanya pemahaman yang konkret. Jika
sudah demikian, dia menyebut cara itu adalah beriman tanpa adanya
landasan. Cara yang digunakan mendapat kritik saat ujian disertasinya.
Bahkan, salah satu pengujinya menilai Abu Zayd sedang berusaha
membebaskan diri dari kekuasaan teks dengan mengajak untuk
memunggungi al-Quran. Pemikiran Abu Zayd kemudian menjadi
perbincangan publik Mesir. Di berbagai forum Shalat Jumat, Abu Zayd dan
karyanya mendapat caci maki yang luas. Kendati demikian, tetap saja
masih ada warga yang bersimpatik, dan tidak terpengaruh dengan ajakanajakan untuk menghujat Nasr Hamid.
Karya tesisnya, Mafhm al-Nash, disangka sebagai karya yang
menempatkan teks al-Quran sebagai teks buatan Muhammad SAW.
Namun, hal itu ditolak olehnya. Menurutnya, teks Quran diperlakukan
sebagai nash yang diberikan Allah kepada Muhammad. Teks itu kemudian
dimasukkan ke dalam bahasa manusia, yakni Bahasa Arab. Ketika bilang

2 Lihat sosok Nasr Hamid Abu Zayd dalam ar.wikipedia.org/ diakses pada Selasa,
7 Juli 2015. Lihat juga di website abdurrahmanbinsaid.wordpress.com dilihat
pada Selasam 7 Juli 2015
3 Khoiron Nahdliyin, dalam Pengantar buku Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhum anNash Dirasah fi Ulum al-Quran, terjm. Tekstualitas al-Quran: Kritik terhadap
Ulumul Quran, Yogyakarta: Lkis, 1993

demikian, disitulah dia dituding bahwa Muhammad telah menulis alQuran.4


Perbincangan tersebut meluas di sekitar Kairo, karena dia berani
adu publik terkait gagasan yang dibuatnya, At-Tafkir fi zaman at-Takfir.
Meski gagasan yang dibuat dirasa kuat, tapi tetap kalah dalam Pengadilan,
sehingga menguatkan tesisnya tentang keyakinan tanpa pemahaman.
Hakim Pengadilan lantas menjatuhkan vonis kafir padanya. Namun, Abu
Zayd tak menyerah dengan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi.
Hal itu dilakukan agar haknya sebagai tenaga pengajar di Universitas
Kairo tetap bisa dilakukan. Namun, Pengadilan berkata lain. Dia bahkan
dihukum murtad, disertai dengan ancaman hukum mati, keharusan untuk
bercerai dan konsekuensi dari kemurtadan. Hukuman sebagai seorang
murtad berujung pada perkawinannya yang dibatalkan, sebab seorang
murtad dinilai tak boleh menikahi wanita muslimah. Sebelum memutus
itu, dia kemudian hijrah ke Belanda dan hidup sebagai ilmuwan. Di
Belanda, dia mendapat perlindungan politik, dengan imbalan mengajar di
kampus Leiden tersebut.
b. Karya-Karya Yang dihasilkan
Sebagai seorang pemikir kajian keislaman kontemporer, Abu Zayd
meninggalkan segudang karya. Karya yang populer misalnya soal kritiknya
terhadap kritik teks al-Quran sebagaimana dalam kitab-kitab yang ditulis
dalam bahasa Arab, antara lain:
1. Mafhum al-Nash: Dirasah fi `Ulum al-Quran
2. Isykaliyyat al-Qiraah wa Aliyat al-Tawil atau Problem Pembacaan dan
Metode Interpretasi);
3. Falsafah al-Tawil: Dirasah fi Tawl al-Quran `inda Ibn `Arabi (Filsafat
Hermeneutika: Studi Hermeneutika Alquran menurut Ibn Arabi);
4. al-Imam al-Syafii wa Ta`sis al-Aidiulujiyyah al-Wasathiyyah (Imam
Syafii dan Pembasisan Ideologi Moderatisme);
5. al-Ittijah al-`Aqli fi at-Tafsr (Rasionalisme dalam Tafsir),
6. Naqd al-Khithab al-Dini (Kritik Wacana Agama).
7. Isykaliyat al-Qiraah wa Ilyat al-Tawil
8. Al-Marah fi Khithabi al-Azimati
9. An-nash as Sultah al Haqiqah
10.
Al-khilafah wa Sulthanu al-Ammati an at-Tarkiyyah
11.
Dawair al-Khauf Qiraah fi Khitab al-Marah
12.
Al-Khitab wa al-Tawil
13.
Takfir fi Zaman al-Takfir
14.
Al-Qaul al-Mufid fi Qadhiyyat abu Zayd
15.
Hakaza Takallama Ibnu Araby
Selain karya dalam bahasa Arab, beberapa karya dalam bahasa
Inggris juga telah diterbitkan, seperti halnya:
1. Reformation of Islamic Thought: a Critical Historical Analysis;
2. Rethinking the Quran: Towards a Humanistic Hermeneutics;
3. Voice of an Exile: Reflections on Islam.
4 Irwan Masduqi, Mengenang Nasr Hamid...

Sebagian karya yang telah ditulis telah diterjemahkan ke berbagai


bahasa di dunia. Ada yang ditulis dengan bahasa Jerman, Perancis, Italia,
Persia, Turki dan tentunya Indonesia. Di Indonesia, ada beberapa kitab
yang diterjemahkan oleh penerjemah, yang kemudian diterbitkan melalui
penerbit LkiS Yogyakarta dan Mizan Bandung.
c. Kritik Nalar Islam Abu Zaid
Kriitik Nasr Hamid yang paling dikenal adalah al-Quran sebagai
produk budaya (mutaj tsaqafi). Al-Quran dibentuk dari fakta sosial dari
kebudayaan Arab lebih dari 20 tahun. Keimanan terhadap teks al-Quran
tidak bertentangan dengan analisa melalui pendekatan kultural, di mana
suatu teks itu muncul. Pemikiran Abu Zayd bertolak pada gagasan bahwa
setelah al-Quran diturunkan pada Muhammad , Al-Quran masuk ke
dimensi sejarah dan tunduk pada hukum-hukum yang bersifar historis dan
sosiologis. Teks al-Quran kemudian menjadi manusiawi, karena masuk ke
dalam ruang budaya masyarakat arab abad ke-7. Disebut Manusiawi
karena al-Quran turun melalui medium bahasa manusia, agar manusia
dapat memahaminya. Juga karena teks al-Quran telah bermetamorfosa
dari teks ilahi menjadi teks yang ditafsiri secara manusiawi. Dengan dasar
itulah, dia kemudian memunculkan metode hermeneutika dalam
penafsiran sebuah teks.
Nasr Hamid menginginkan agar teks al-Quran haruslah dipahami
secara objektif dan kontekstual. Teks al-Quran tidak boleh dipahami
sekedar harfiah demi kepentingan ideologis dan politis. Al-quran adalah
kitab yang menganjurkan perdamaian, kebebasan, kesetaraan, keadilan,
dan nilai-nilai kemanusiaan. Dengan demikian, Alquran tak boleh dibajak
guna melegalkan kekerasan, diskriminasi, kedzaliman dan aksi-aksi lain
yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Semula, Nasr Hamid adalah pendukung al-Quran sebagai teks yang
harus dianalisis secara tekstual. Dalam buku, Mafhum al-Nass, ia
memperkenalkan dimensi sejarah dan bahasa Al-Quran secara kritis
dengan membaca ulang ilmu-ilmu klasik dari ulum al-Quran,
menyimpulkan bahwa Quran adalah produksi budaya, dalam arti bahwa
budaya pra-Islam dan konsep yang rearticulated melalui struktur bahasa
tertentu. Meski al-Quran menjadi produser sebuah budaya baru, setiap
hermeneutika asli harus mempertimbangkan budaya pra-Islam sebagai
konteks kunci tanpa interpretasi yang ideologis akan selalu menang. 5
Konsep Quran sebagai ruang komunikasi Ilahi dan manusia, disertai
dimensi manusia dengan dimensi sejarah dan budaya dari Quran. Dia
mencoba mengelaborasi pembacaan ulang, dan karena itu interpretasi
ulang dari 'ilmu-ilmu Al-Qur'an', terutama yang berhubungan dengan ilmu
sifat Quran dan sejarah dan struktur. Setelah itu, dia menggunakan

5 Nasr Hamid Abu Zayd, Rethingking Sharia, Democracy, Human Right and The
Position of Women , Ucrecht: University of Humanistic, 2004, hlm. 97

sejumlah pendekatan metodologis, termasuk semantik dan semiotika,


selain kritik sejarah dan hermeneutika.
Fokus pada dimensi vertikal wahyu, yaitu proses komunikatif antara
Allah dan Nabi Muhammad yang menghasilan al-Quran. Komunikasi
vertikal ini, yang memakan waktu lebih dari 20 tahun, menghasilkan
banyaknya wacana (berupa ayat-ayat, ayat dan pasal singkat). Wacana ini
awalnya memiliki urutan kronologis, yang kemudian menghilang sejak
proses pembukuan sebagai mushaf. Bahkan, ia digantikan oleh apa yang
sekarang disebut Muhammad Arkoun sebagai, 'corpus tertutup. 6 Bagi
cendekiawan Muslim, pembukuan Al-Quran hingga saat ini adalah teks
asli hingga sampai saat ini. Namun, memperhatikan al-Quran sebagai
wacana atau diskursus, tidak lagi cukup untuk mengontekstualisasikan
ulang satu atau lebih bagian dalam memerangi literalisme dan
fundamentalisme, atau terhadap praktik sejarah tertentu yang tampaknya
tidak pantas untuk konteks modern.
Pada salah satu karyanya, Abu Zayd juga mengkritisi Imam Syafii
karena terlalu menempatkan budaya Quraisy sebagai sentra penafsiran alQuran. Imam Syafii dianggap telah membakukan model pemaknaan alQuran, teorisasi Sunah sebagai sumber tasyri yang otoritatif dan
memperluas Sunah sampai dengan Ijma, tapi menolak qiyas. Denggan
cara yang dilakukan Syafii, maka tidak bisa dibedakan mana teks yang
primer dan teks yang sekunder. Watak moderat Imam Syafii dianggap
semu, lantaran sejumlah argumentasi mengutip kehidupan sosiologis
kaum Quraisy. Dengan pandangan tersebut, Abu Zayd kemudian dinilai
telah merusak sakralitas al-Quran, dengan menyatakan Al-Quran bukan
diciptakan Tuhan tapi produk budaya Arab, khususnya dari produk
Quraisy.7
Namun, Abu Zayd tidak bermaksud mengkritik teks suci umat Islam
itu secara kelewatan. Dia sendiri mengaku sebagai Muslim, takut jika para
Orientalisme mengecapnya sebagai seorang kritikus Islam. Dia tidak
bermaksud demikian, namun sebagai peneliti kajian keislaman klasik
hanya mencoba memperlakukan al-Quran sebagai nash (teks) yang

6 Nasr Hamid Abu Zayd, Rethingking Sharia, hlm. 98


7 Soal Quran sebagai produk Quraish juga dikriitik Khalil Abdul Karim. Kritiknya, sewaktu
ada perubahan terkait pembukuan al-Quran. Sebelum adanya tahun delegasi tahun 9
Hijriah, naskah al-Quran masih tececer ke dalam beragam bentuk dan tipe. Bacaannya
pun berbeda-beda karena ditulis oleh sahabat dengan beragam karakter dan dialek
berbeda. Pembukuan tersulit ketika mengurutkan soal waktu turunnya sebuah ayat.
Tidak jarang, waktu penyusunan ini mulai terjadi pembelokan, terutama ketika terjadi
peristiwa tahun delegasi sebagai belokan maha penting dalam rute perjalanan agama
Islam dan negara Quraish. Baca Khalil Abdul Karim, Daulah Yatsrib: Basair fi Am alWufud, terjm. Negara Madinah, Politik Penaklukan Masyarakat Suku Arab, Yogyakarta:
Lkis, 2005, hlm. 345

diberikan oleh Allah kepada Nabi Muhammad melalui bahasa manusia,


bahasa Arab.
Selain bidang kritik teks, dia juga mengkritik soal konsep
sekularisme. Baginya, sekularisme adalah interpretasi realistis dan
pemahaman ilmiah dari suatu agama. Sekularisme tidak bagian dari
kemurtaddan, karena punya konsep memisahkan agama dari masyarakat
dan kehidupannya. Bagi Nasr Hamid, yang perlu dibedakan adalah
sekularisme yang berupa wacana agama, dengan sekularisme yang
diartikan dengan pemisahan kekuasaan politik dari agama dan pemisahan
agama dari masyarakat dan kehidupannya. Pemisahan politik dari agama
telah terjadi di Eropa sehingga mampu bangkit, sementara pemisahan
agama dari kehidupan masyarakat hanyalah aggapan semu yang
digemborkan sebagai wacana agama semata. Hal dasar yang menjadi
perhatiannya adalah bahwa siapa yang memiliki kepentingan dapat
menguasai, memproduksi wacana, kekuatan agama dan kekuatan negara
akan kuat, atau kekuasaan politik dan kekuasaan agama akan bersatu.8
Kritik yang dilancarkan Nasr Hamid dilakukan dengan pembacaan
secara kritis dekonstruktif qiraah naqdiyyah tafkikiyah atau kritis
dekonstruktif atas berbagai corak pemikiran. Semua cara yang dilakukan
hanya untuk merumuskan al-way al-ilmi (kesadaran ilmiah)
untuk
mengatasi masalah interpretasi yang tendensius dan ideologis.
Interpretasi ideologis terlihat dari cara kerja tafsir tradisional yang dinilai
atomistik, karena tidak menerapkan mekanisme nalar historis-humanis
secara ilmiah. Kritik yang disampaikan adalah agar penafsiran-penafisiran
yang ada tidak tendensius (talwin), pembakuan (tasbit), pengkultusan
pemikiran (taqdis al-afkar), dan dominasi (al-hakimiyyah).9
Dua Titik Tolak Pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid
1. Hakimiyyah
Landasan hakimiyyah menjadikan akal sebagai wilayah
pemikiran, sementara keadilan sebagai landasan perilaku sosial. Antara
keadilan dan akal merupakan antitesis dari kebodohan dan kezaliman
masyarakat Arab sasaran penerima wahyu. Maka, para ulama
umumnya sepakat bahwa naql hanya dapat ditetapkan dengan akal,
bukan sebaliknya. Akal yang bisa membuat wahyu bisa diterima. 10 Abu
Zayd mengemukakan, ada upaya mengeliminir nalar demi kepentingan
8 Nasr Hamid Abu Zaid, Naqd alKhithab ad-Dini, terjm. Kritik Wacana Agama,
Yogyakarta: Lkis, 1994, hlm. 6
9 Ahmad Hasan Ridwan, Metodologi Kritik Teks Keagamaan (Studi Atas Pemikiran
Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zaid, Disertasi, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga,
2006, hlm. v
10 Nasr Hamid Abu Zaid, Naqd al-Khithab.... hlm. 58-59

teks bermula dari peristiwa mushhaf yang diangkat di atas ujung


tombak, dan seruan untuk menjadikan Kitab Allah (al-Quran)
sebagai hakim dalam perang Shiffin.
Ada unsur tipu daya secara ideologis yang menamakan sebuah
teks hingga menciptakan sebuah perpecahan. Tipu daya
unutk
menjadikan mushhaf sebagai hakim menunjukkan ada pergeseran dari
wilayah sosial-poliitik ke wilayah lain, yakni wilayah agama dan wilyah
teks. Ketika sudah bergeser ke teks, nalar juga ikut bergeser
mengikuti teks, yang bertugas utama mengembangkan teks untuk
menjustifikasi realitas secara ideologis. Pola inilah yang dalam dunia
politik disebut status quo.
Landasan kedua penting lainnya yakni menempatkan yang
manusiawi berhadapn dengan yang yang ilahi, atau selalu
membandingkan metode yang ilahi dengan metode yang manusiawi.
Pengalaman manusia selalu berputar dalam lingkaran kosong. Untuk
jalan keluar, manusia mulai pengalaman genuine yang didasarkan pada
pondasi ilahi yang muncul melalui pengetahuan, kesempurnaan,
kekuasaan, dan kebijaksanaan. Titik penting soal hakimiyyah yang
hendak disampaikan adalah, meletakkan hakimiyyah dalam wilayah
ijtihad dan interpretasi masih mengandung kontroversi serta
perbedaan kepentingan. Hal tersebut berimplikasi pada munculnya
penghambaan terhadap hukum-hukum manusia yang tunduk pada
hasil ijtihad yang dilakukan.
2. Teks
Titik tolak soal teks berkaitan dari dimensi sejarah suatu teks.
Dimensi sejarah ini yang dituju adalah dimensi historisitas konsepkonsep yang dilontarkan teks melaui asepk yang tersurat. Hal ini
merupakan implikasi dari penggunaan bahasa untuk sebuah teks. Jadi,
historisitas yang dimaksud itu bukan ilmu asbabun nuzul, atau
hubungan teks dengan realitas; nasikh mansukh atau kebutuhankebutuhan yang timbul dalam masyarakat dan realitas, maupun
historisitas ilmu al-Quran lainnya.
Menurut Abu Zayd, dalam pembacaan terhadap suatu teks selalu
muncul: penyembunyian (al-ikhfa) dan menyingkapkan (al-kasyf),
menyembunyikan sesuatu yang tidak substansial bagi pembaca teks;
serta pembacaan yang menyingkapkan sesuatu yang substansial untuk
diintreptasi. Dengan asumsi dasar bahwa, tidak ada yang unsur yang
substansial-konstan dalam sebuah teks, atau setiap pembacaan atas
teks memiliki substansi yang singkap oleh pembacaan didalamnya. Abu
Zayd sepakat bahwa teks-teks agama dapat dipahami ulan, diitihadi
secara beragam dalam ruang dan waktu, namun tidak melampaui
pemahaman ahli fiqih dalam suatu fenomena. Wacana agama berusaha
membangun kesesuaian syariat untuk setiap waktu dan tempat, dan
menentang, hingga batas mengkakafirkan, ijtihad dalam wilayah
akidah dan kisah-kisah agama.

Selain itu, teks, termasuk teks agama ditentukan oleh hukum


yang sudah mapan. Sumber ilahi teks agama tidak bisa dilepaskan
hingga teks ilahi termanusiawikan semenjak ia terlahir dalam sejarah
dan bahasa, atau sejak lafal dan maknanya diucapkan kepada manusia
dalam realitas sejarah tertentu. Teks pun ditentukan oleh dialektika
konstanta (yang tetap) yang berujung pada aspek teruratnya dan yang
transforma (berubah) dari aspek yang tersirat. Di hadapn teks juga
muncul pembacaan yang ditentukan oleh dialektika antara al-ikhfa dan
al-kasyf.11
d. Pemikiran Hukum Nasr Hamid Abu Zaid
Nashr Hamid selalu melihat secara ilmiah terkait status dan posisi AlQuran. Meneliti secara ilmiah dalam hal sejarah sejarah dan metodologi
tafsir klasik, dia menemukan ada fakta dalam teks yang tidak mempunyai
tujuan. Konsep ini yang lebih dikenal dengan konsep yang mengandung
makna lain yang dapat dibatalkan' (mutashabih) ayat di satu sisi, dan
jelas yang tidak dapat dibatalkan' (muhkam) ayat di sisi lain. Ayat yang
jelas yang tidak bisa dibatalkan biaasnya menjadi pegangan bersama.
Setiap kelompok bisa saja memutuskan sesuai dengan posisi teologis
mereka sendiri tentang apa yang dapat ditarik dan apa yang tidak bisa
dibatalkan. Pada akhirnya, apa yang dianggap dibatalkan oleh kelompok
tertentu, dianggap tidak dapat dibatalkan oleh lawan-lawan mereka dan
sebaliknya. Al-Quran pun dijadikan sebagai medan perang bagi lawan
untuk menempatkan politik, posisi sosial dan teologis mereka.
Para ahli hukum selalu membutuhkan metodologi, verifikasi, untuk
bisa memahami keragaman dan kontradiksi dari kontradiksi dari
ketentuan hukum yang ada dalam al-Quran, misalnya dalam isu
perempuan, pernikahan, perceraian dan hak asuh, isu-isu makanan, dll.
Dalam rangka menetapkan aturan, para ahli hukum mengembangkan
konsep 'pembatalan' yang disimpulkan dari ayat-ayat tertentu al-Quran,
yang dianggap historis kemudian wahyu menjadi aturan akhir, sedangkan
sebelumnya yang satu dianggap yang dibatalkan.12
Epistemologi hukum yang dibangun di atas dasar deduksi dan induksi
setelah tradisi kenabian, Sunnah, kemudian dikanonisasi sebagai wahyu
yang sama dengan al-Quran menjadi otoritas hukumnya. Selain kedua
sumber tersebut, ijma (konsensus), terutama dari generasi pertama,
dianeksasi sebagai sumber ketiga. Beberapa ahli hukum menolak itu
adanya ijma tapi secara umum diterima oleh mayoritas. Sumber keempat,
yakni ijtihad dalam bentuk silogisme atau analogi; ini tidak umum
diterima. Ijtihad praktis terbatas pada penerapan teknik 'analogi', qiyas,
11 Nasr Hamid Abu Zaid, Naqd alKhithab,, hlm. 85-87
12 Nasr Hamid Abu Zaid, Reformation of Islamic Thought; A Critical Historical
Analysis, Amsterdam: Amsterdam University Press, 2006, hlm. 93-94

yaitu untuk mencapai solusi dari masalah tertentu semata-mata dengan


membandingkan posisinya untuk masalah yang sama sebelumnya
diselesaikan dengan salah satu dari tiga sumber lain, yaitu Al-Quran,
Sunnah, atau konsensus.
Empat sumber ini tubuh literatur syariah, yang diakui oleh berbagai
golongan. Nasr Hamid mengartikan urutan sumber syariah itu adalah
produksi buatan manusia dan tidak ada unsur ilahi tentang urutan itu,
juga tidak ada mengklaim keabsahannya bisa terlepas dari ruang dan
waktu. Untuk kembali ke status dan posisi Al-Quran dalam paradigma
syariah, seorang bisa menyebutkan ayat-ayat Al-Quran yang tampaknya
mengandung konotasi hukum, dan dianggap dasar syariah. Misalnya, ada
500 ayat menurut sumber-sumber tradisional. Dari jumlah total, 16
persen dari seluruh al-Quran, para ahli hukum membangun sistem
epistemologis berdasar induksi dan deduksi. Sisanya, 84 persen dari alQuran hanya memainkan peran tambahan sebagai dukungan untuk sistem
hukum syariah. Kendati demikian, para ahli hukum juga dituntut untuk
mengembangkan tujuan al-Quran sebagaimana dalam al-maqashid alkulliyya li al-syariah ke dalam lima tujuan utama, yakni 1) menjaga jiwa;
2) melindungi keturunan; 3) melindungi harta; 4) menjaga akal; dan 5)
menjaga agama.
Lima konsep tujuan dasar maqasid syariah itu berasal dari hukum
pidana Islam digunakan agar tidak menimbulkan kesulitan. Yang pertama
dapat disimpulkan, dari hukum pidana berurusan dengan pembunuhan.
Adanya unsur pembalasan sebenarnya mempertahankan kehidupan itu
sendiri (QS. Al-Baqarah: 178-179). Dalam hal perzinahan atau pencabulan
dalam al-Quran, hukuman biasanya 80 cambukan untuk belum menikah,
atau hukum rajam bagi yang sudah menikah. Sementara hukuman bagi
pencuri adalah tidak lebih dari hukuman mengamputasi/memotong tangan
pencuri.
Kemudian, adanya larangan mengkonsumsi alkohol, yang tidak ada
ketetapan hukum dalam al-Quran, diiperkenalkan setelah kematian Nabi.
Tujuan hukuman mati bagi murtad adalah pelestarian agama, yang
dikembangkan oleh para ahli hukum. Dalam hal murtad, al-Quran tidak
menyebut hukuman duniawi bagi mereka yang -setelah menerima Islammenghidupkan kembali agama mereka di atasnya. Kemudian adanya
hukuman mati yang masih diperkenalkan hanya untuk alasan politik;
melindungi otoritas politik diidentifikasi dengan melindungi Islam.
Jika ditilik secara kontekstual meneliti sebagian dari ketentuan
hukum al-Quran, baik hudud (misalnya hukuman untuk perzinahan,
perampokan, pencurian, atau menyebabkan gangguan sosial, serta
membunuh), maka wajar muncul pertanyaan, ketentuan-ketentuan ini
semuanya apakah diprakarsai oleh Islam? Jawabannya pasti pasti 'tidak';
semua umumnya adalah dari hukum pra-Islam. Beberapa hukuman
berasal dari hukum Romawi dan diadopsi dari tradisi Yahudi, sementara
yang lain milik tradisi bahkan lebih tua.

Di zaman modern, penghormatan atas tubuh manusia masuk dalam


kategori hak asasi manusia. Hukum memotong/amputasi bagian tubuh
atau eksekusi hukuman mati tidak dapat dianggap sanksi hukuman
agama yang ilahi. Aspek lain dari syariah, seperti yang berhubungan
dengan hak-hak minoritas agama, hak-hak perempuan dan hak asasi
manusia pada umumnya, juga perlu direvisi dan dipertimbangkan
kembali. Kontekstualisasi hukum al-Quran, terutama dalam struktur
linguistik dan gaya wacananya akan mengungkap pekerjaan para ahli
hukum. Al-Quran tidak dengan sendirinya menjadi buku hukum; apalagi
ketentuan hukum disajikan dalam gaya wacana, dan selalu berkelindan
dengan konteks keterlibatan kebutuhan manusia di waktu tertentu.
Sebagai wacana, Quran memberikan beberapa pilihan dan berbagai solusi,
serta membuka gerbang pemahaman.
Kesimpulannya, untuk mengklaim bahwa isi hukum syariah mengikat
bagi semua Muslim, meskipun ruang dan waktu yang berbeda, hanya
untuk menganggap keilahian ke manusia sebagai produksi sejarah
pemikiran. Jika hal ini terjadi, tidak ada kewajiban untuk mendirikan
sebuah negara teokratis diklaim sebagai Islam.13
Pemikiran soal Gender
Wacana feminisme dimulai dari pembacaan ulang atas kisah Adam
dan Hawa yang berkembang dalam tradisi masyarakat Arab. Setelah
pembacaan, terutama dalam penafsiran at-Thabari, kisah Adam dan Hawa
lebih kental mengutip dari sumber Bibel. Pola pemikran soal gender ini
pun terbagi menjadi dua, yaitu perempuan dalam wacana krisis; dan
kekuasaan dan hak peremupuan. Persoalan mendasar yang disebut nya
adalah wacana perempuan bersifat sektarianis dan rasialistik, jika
dikaitkan dengan hubungan absolut laki-laki. Di sana ada al-musawah dan
al-musyarakah; adanya rasa superior tentang sentralitas laki-laki. Ketika
perempuan dibilang mempunyai posisi sejajar, maka kesejajaran diukur
dengan ukuran lelaki. Pun demikian ketika boleh bekerjasama, maka yang
dimaksud mengabdi pada laki-laki.
Dia pun menyebut kajian soal gender, terutama perempuan dalam
Islam perlu dilakukan pembaaan ulang. Kajian gender yang terkodifikasi
hanya kutipan dan ringkasan dari ulama terdahulu. Adanya perubahan
sosial dan membaiknya kedudukan perempuan, maka tidak menutup
untuk membaca teks-teks agama yang makna historisitasnya dengan
maksud menemukan esensi dan mengungkapkan yang tetap dan
ketentuan yang tidak bisa berubah, dan yang tersembunyi di balik
kesementaraan dan perubahan.
Kiritik Nasr terhadap perempuan dalam Islam adalah soal
pemahaman, interpretasi dan tafsir aqidah yang dimulai dari kesadaran
yang tidak mungkin diingkari oleh kaum muslimin. Pada masa
13 Nasr Hamid Abu Zaid, Reformation of Islamic Thought, hlm. 95-96

kemunduran islam, pengaburan perempuan sebagai mitra lelaki dan klaim


perempuan inferior dalam akal dan agama semakin sempurna. Dia
menyebut tafsir dengan meneyrang terhadap perempuan adalah
keterlukaan masyarakat Arab yang patriarkis. Nasr Hamid berusaha
membagun teks keagamaan dengan mendiskusikan semua persoalan
untuk menandisngi wacana nahdah dalam perseruan persamaan laki-laki
dan perempuan. Tapi ketika teks lain tidak mendukung adanya
persamaan, seperti dalam konsep warisan, sanksi didepan pengadilan,
talak, poligami, maka wacana teks dinilai terlalu berlebih untuk
memberikan justifikasi.
Dalam hal kesetaraan, Nasr Hamid mengkritik kedudukan yang tidak
setara antara laki-laki dan perempuan lebih atas hubungan patriarkhi
kesukuan. Menurut Abu Zayd, jika ayat dinisbatkan pada konteks struktur
kebahasaan, antara kebolehan dan ketakutan akan tidak bisa bersikap adil
terhadap anak yatim, adalah perintah itu bukanlah kata perintah tasyri
yang abadi, melainkan pensyariatan yang terikat oleh waktu untuk
mengatasi suatu problem yang muncul. Yang membuat rancu juga bahwa
poligami disebut sudah ada sebelum Islam di mana ia tidak tunduk
terhadap aturan apapun. Jika Islam meletakkan aturan- aturan dan
kaidah-kaidah terhadap adat untuk berpoligami dengan menganggapnya
sebagai kesenangan, interpretasi fiqh terhadap aturan dan kaidah ini telah
keluar dari konteks kesetaraan, dan menanamkan masa kembali dalam
konteks dominasi laki-laki dan kesemena-menaannya terhadap eksistensi
perempuan. QS. An-Nisa 3:


Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanitawanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu
takut tidak akan dapat Berlaku adil[265], Maka (kawinilah) seorang saja[266],

atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada
tidak berbuat aniaya.14

Dalam bidang kepemimpinan, Nasr Hamid menjelaska soal


kepemimpinan lakai-laki atas perempua yang dianggap sebagai legislasi,
yang dipahami sebagai tanggung jawab laki-laki terhadap perempuan
dengan segala implikasinya dari kewenangan menghukum yang dilakukan
laki-laki untuk mendidik istrinya (mendiamkan dan memukul). Jika
mengikuti riwayat sebab turunnya ayat, maka akan mengetahui masalah
perhatian wahyu terhadap kondisi audiensinya, yang kemudian
dipergunakan dalam pengungkapan wahyu. Ada riwayat dari as-Syututi
yang menceritakan ada perempuan datang kepada Nabi SAW untuk
mengadukan suaminya yang telah memukulnya, maka Nabi berkata: dia
tidak berhak untuk melakukan itu (memukul istri) dan Nabi memutuskan
hukum agar perempuan tersebut meng-qishash suaminya. Hal ini
menunjukkan prinsip kesetaraan yang mendasar dalam Islam tetapi
karena audiensinya tersebut tidak mampu untuk memikul kesetaraan itu,
maka turunlah ayat qawamah tersebut.
III.

SIMPULAN
Ada beberapa kesimpulan yang coba dirangkum dalam tulisan singkat ini:
1) Nasr Hamid Abu Zayd adalah soerang pemikir berkebangsaan Mesir, yang
dikenal kontroversial. Ia lahir di Kairo, Mesir pada 10 Juli 1943, tepat hari
ini makalah ini dipresentasikan, dan meninggal 5 Juli 2010 lalu. Karyanya
yang kontroversial terutama dalam Al-Quran sebagai produk kebudayaan
menghantarkan ia memperoleh vonis kafir oleh Pengadilan Mesir. Setelah
itu, dia pindah ke Belanda untuk menjadi guru besar bidang studi Islam di
Universitas Leiden dan professor di Universitas for Humanistics Ucrecth,
Belanda. Ia meninggalkan puluhan karya yang cukup fenomenal. Karyanya
sebagian besar ditulis dalam bahasa Arab, sebagian lain dalam bahasa
Inggris. Karya-karyanya juga telah diterjemahkan ke dalam berbagai
bahasa di dunia, termasuk Indonesia. Di Indonesia, bukunya
diterjemahkan dan diterbitkan oleh LkiS Yogyakarta dan Mizan Bandung.
Karya yang populernya adalah Mafhum al-Nash: Dirasah fi `Ulum alQuran, Naqd al-Khithab al-Dini, dan Dawair al-Khauf Qiraah fi Khitab alMarah.
2) Kriitik al-Quran yang populer adalah al-Quraan produk budaya (mutaj
tsaqafi). Al-Quran dibentuk dari fakta sosial dari kebudayaan Arab lebih
dari 20 tahun. Keimanan terhadap teks al-Quran tidak bertentangan
dengan analisa melalui pendekatan kultural, di mana suatu teks itu
muncul. Pemikiran Abu Zayd bertolak pada gagasan bahwa setelah al-

14 Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti pakaian, tempat,
giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah. Islam memperbolehkan poligami dengan
syarat-syarat tertentu. Sebelum turun ayat ini poligami sudah ada, dan pernah pula
dijalankan oleh Para Nabi sebelum Nabi Muhammad s.a.w. ayat ini membatasi poligami
sampai empat orang saja.

Quran diturunkan pada Muhammad, Al-Quran masuk ke dimensi sejarah


dan tunduk pada hukum-hukum yang bersifar historis dan sosiologis. Teks
al-Quran kemudian menjadi manusiawi, karena masuk ke dalam ruang
budaya masyarakat arab abad ke-7. Disebut Manusiawi karena al-Quran
turun melalui medium bahasa manusia, agar manusia dapat
memahaminya. Juga karena teks al-Quran telah bermetamorfosa dari
teks ilahi menjadi teks yang ditafsiri secara manusiawi. Dengan dasar
itulah, dia kemudian memunculkan metode hermeneutika dalam
penafsiran sebuah teks. Titik tolak pemikrannya berasal dari dua titik:
hakimiyyah dan teks.
3) Urutan sumber hukum islam adalah produksi buatan manusia dan tidak
ada unsur ilahi tentang urutan itu, juga tidak ada mengklaim
keabsahannya bisa terlepas dari ruang dan waktu. Selain itu, ketentuan
hukum dalam al-Quran dalam bidang hudud misalnya dalam hukuman
untuk perzinahan, perampokan, pencurian, atau menyebabkan gangguan
sosial, serta membunuh, adalah bukan murni dari ajaran Islam. Beberapa
hukuman berasal dari hukum Romawi dan diadopsi dari tradisi Yahudi,
sementara yang lain milik tradisi bahkan lebih tua. Hukuman mati di
zaman modern masuk sebagai penghormatan atas tubuh manusia masuk
dalam kategori hak asasi manusia. Hukum memotong/amputasi bagian
tubuh atau eksekusi hukuman mati tidak dapat dianggap sanksi hukuman
agama
yang
ilahi.
Dalam hal kesetaraan, Nasr Hamid mengkritik kedudukan yang tidak
setara antara laki-laki dan perempuan lebih atas hubungan patriarkhi
kesukuan.
IV.PENUTUP
Penulisan soal studi pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd ini tidak lepas dari
berbagai sumber referensi yang ada. Makalah ini sudah banyak ditulis oleh para
berbagai ahli, tokoh akademikus dan berbagai penulis dari disiplin ilmu
penelitian. Tulisan ini hanya menyadur dan mengembangkan apa yang sudah
ditulis para penulis terdahulu. Tentunya, jika menyadur dengan pengetahuan
seadanya akan terjadi banyak kesalahan yang ditulis, baik segi substansi
maupun korelasi antar kalimat.
Penulis benar-benar tidak bermaksud untuk menjerumuskan para pembaca
pada kebingungan. Untuk itu, sumbangsih pembaca akan penulis tungu untuk
merevisi paper ini menjadi lebih baik. Selamat berdiskusi.

DAFTAR PUSTAKA
Abu Zayd, Nasr Hamid, Mafhum an-Nash Dirasah fi Ulum al-Quran, terjm.
Tekstualitas al-Quran: Kritik terhadap Ulumul Quran, Yogyakarta: Lkis,
1993

-------------, Nasr Hamid, Takfir fi Zaman al-Takfir, Kairo: Maktabah Madbuli,


1995
-------------, Nasr Hamid, Naqd alKhithab ad-Dini, terjm. Kritik Wacana
Agama, Yogyakarta: Lkis, 1994
-------------, Nasr Hamid, Reformation of Islamic Thought; A Critical Historical
Analysis, Amsterdam: Amsterdam University Press, 2006
-------------, Nasr Hamid, Al-Ittijah al-Aqli fi al-Tafsir, Beirut: Markas as-Tsaqafi
al-Araby, 1996
Karim, Khalil Abdul, Daulah Yatsrib: Basair fi Am al-Wufud, terjm. Negara
Madinah, Politik Penaklukan Masyarakat Suku Arab, Yogyakarta: Lkis,
2005
Ridwan, Ahmad Hasan, Metodologi Kritik Teks Keagamaan (Studi Atas Pemikiran
Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zaid, Disertasi, Yogyakarta: UIN Sunan
Kalijaga, 2006
Irwan Masduqi, Mengenang Nasr Hamid Abu Zayd, dalam islamlib.com
Nasr Hamid Abu Zayd dalam ar.wikipedia.org/
abdurrahmanbinsaid.wordpress.com

Anda mungkin juga menyukai