Nama Anggota :
A. Pendahuluan
Tafsir Al-Qur’an menurut al-Sunnah merupakan salah satu metode tafsir yang
sering digunakan dalam metode tafsir bi al-Ma’sur. Tafsir bil al-Ma'sur merupakan
salah satu metode menafsirkan Al-Qur'an yang paling kuat dan diakui kevalidan nya,
yaitu metode penafsiran teks Al-Qur'an dengan menggunakan teks-teks Al-Qur'an itu
sendiri. atau menggunakan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Ketika Al-Qur'an
diturunkan, Rasulullah SAW sebagai penerima wahyu adalah satu-satunya orang yang
paling memahami wahyu yang diterimanya dari Allah SWT sebagai Pemberi Wahyu.
Oleh karena itu, diyakini bahwa menafsirkan Al-Qur'an dengan menggunakan Sunnah
merupakan salah satu cara untuk lebih memahami wahyu agar sesuai dengan niat yang
diinginkan si pemberi wahyu.
Bacaan Syahur yang baru (qira'ah mu'ashirah) tidak hanya mendalami Al-
Qur'an sebagai sumber ajaran Islam, namun juga Hadits nabi Muhammad sebagai nabi
dan rasul. Kecerdasannya dalam memahami makna (dalalah) ayat-ayat Al-Qur'an dan
1
Hadits menjadikan pendapatnya layak untuk dikaji dan dikritisi. Maka p enulisan
makalah ini kami mencoba mendeskripsikan konsep Sunah dari sudut pandang Syahur.
Prof. Dr. Ir. Muhammad Syahur lahir di Damaskus, Suriah1 pada tanggal 11
April 1938. Nama ayahnya adalah Daib dan nama ibunya adalah Siddiqah binti Shaleh
Filyun. Syahur dikenal sebagai anak muda yang cerdas. Hal ini dapat dibuktikan
setidaknya dengan latihan yang lancar dan tidak menemui kendala sedikitpun. Jenjang
pendidikan Syahrur, seperti anak-anak lainnya, dimulai di madrasah Ibtidaiyah,
madrasah Tsanawiyah dan madrasah Aliyah di Damaskus.
Pada usia 19. Syahur menerima ijazah Tsanawiyah dari Madrasah Abd. al-
Rahmân al-Kawakibi pada tahun 1957 M. Kecerdasannya ditunjukkan dengan
mendapat beasiswa dari pemerintah Suriah ke Moskow Rusia. untuk melanjutkan studi
di bidang konstruksi (al-handasah al-madaniyyah) pada bulan Maret 1957. Pelatihan ini
ia terima selama lima tahun dari tahun 1959 hingga ia menerima ijazahnya (S1).pada
tahun 1964. Ia kembali ke tanah air untuk bekerja sebagai insinyur di Fakultas
Universitas Damaskus selama satu tahun hingga tahun 1965. Tak lama kemudian,
Universitas Damaskus mengirimnya ke Dublin, Irlandia, tepatnya Universitas Nasional
Irlandia (National University of Ireland) (al-Jami'ah al-Qaumiyah). al-Irilandiyah) ia
melanjutkan studi magister dan doktoral pada bidang minat yang sama yaitu mekanika
tanah dan struktur tanah (Mikanika Turbât wa Asasat)
Pada tahun 1969, Syahur menyelesaikan gelar masternya dan tiga tahun
kemudian, pada tahun 1972, ia berhasil menyelesaikan gelar Ph.D. Pada tahun yang
sama, ia resmi diangkat menjadi dosen Fakultas Teknik Sipil Universitas Damaskus,
1
Kota ini telah dibangun sejak 3000 tahun sebelum Masehi, bahkan menurut legenda dinyatakan Nabi
Hud as. adalah orang pertama yang membangun kota ini setelah terjadi banjir besar melanda dunia.
Kota ini secara bergantian dikuasai oleh kerajaan Assyiria, Yunani, Romawi dan Bizantiyum. Islam
masuk ke Damaskus pada bulan September 653 M. Ketika itu Syiria dikuasai bangsa Romawi
kemudian ditaklukkan oleh tentara Islam di bawah pimpinan panglima perang Islam ternama seperti
Khâlid bin Walîd ra dan Amr bin ‘Âsh pada masa khalifah Umar bin Khaththâb ra. Lihat Tim Penulis
Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003) jld. I, h. 283. Lihat
juga Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1996), h. 69
2
mengajar mata kuliah mekanika tanah dan geologi (Mikanika at-Turbat wa al-
Mansya'at al-Ardhiyyah)2.
Kecerdasan ini ia warisi dari keluarga ayahnya yang sangat mencintai ilmu
pengetahuan. Menurut Syahur sendiri, ayahnya adalah murid dekat Syekh Nashir al-
Dan al-Albanî. Setiap kali Syekh al-Albanî mengunjungi Damaskus, ayahnya akan
memilihnya dan mengundangnya untuk tinggal di rumah mereka. Ayahnya kemudian
meminta Syekh al-Albana untuk membuat pernyataan.3 Penjelasan tersebut
menunjukkan betapa akrab dan dekatnya keluarga Syahur dengan Syekh al-Albana (w.
1999M), sosok ahli hadis abad ke-21. Meski keluarga Syahur sangat dekat dengan al-
Albana yang dikenal sebagai ulama hadis “konservatif”, namun hal tersebut rupanya
tidak mewarnai pemikiran Syahur. Bahkan, ia cenderung memberontak terhadap
pandangan hadis yang diusung al-Albana dan ulama hadis klasik lainnya4.
Buku ini merupakan buku pertama Syahur yang terdiri dari 822 halaman dan
empat bab pembahasan. Penyusunan buku ini sangat dipengaruhi oleh Prof. Dr. Ja'far
Dekk al-Bab, beliau adalah rekan dan guru linguistiknya. Syahur bertemu Ja'far ketika
2
4 Peter Clark, The Shahrorur’s Phenomenon; A Liberal Islamic Voice From Syiria”, Islam and
Christian-Muslim Relation, Vol. VII, No. 3, Oktober, 1996. h. 339. Lihat juga Ahmad Zaki, Pendekatan
Strukturalisme, h. 138
3
Penjelasan ini dapat dibaca dalam wawancara ‘Assâf ‘Abûd dengan Muhammad Syahrur yang
dimuat dalam majalah “al-Rajul al-Yaum”, edisi I tanggal 01-07-2004, yang diterbitkan Muassasah
al-‘Arabiyah li al-Shahafah wa al-Thibâ’ah: Uni Emirat Arab, h. 1. Dan juga dimuat dalam website
resmi Syahru
4
6 Hal ini diakui sendiri oleh Syahrur, bahwa pemikiran ayahnya yang banyak diwarnai oleh
pemikiran Syaikh al-Albânî tidak mempengaruhi pemikirannya. Bahkan lebih berani lagi Syahrur
mengatakan bahwa saya tidak akan tunduk di bawah pendapat siapa pun sekalipun ia adalah Imam
Syafi’î atau Ibnu ‘Abbâs. Pernyataan ini disampaikan Syahrur dalam suatu wawancara yang berjudul
“lâ aqbalu al-julûsa ‘inda aqdâm Ibni ‘Abbâs wa asy-Syâfi‘î”, dalam www. shahrour. Orang
3
mereka sama-sama kuliah di Universitas Moskow.5 Ja'far banyak memberikan
kontribusinya terutama dalam merumuskan metodologi. Buku ini dan menyediakan
kata pengantar. Buku ini merupakan hasil penelitiannya yang berlangsung sekitar 20
tahun (1970-1990).
Setidaknya ada tiga tahapan dalam penyusunan sebuah buku. Fase pertama
(1970-1980). Periode ini dimulai ketika dia berada di Universitas Dublin. Masa ini
merupakan masa pembelajaran (muraja'at) sekaligus meletakkan landasan metodologi
pemahaman aldzikr, al-kitâb, al-risalah, al-nubuwwah dan beberapa kata kunci lainnya.
Tahap kedua (1980) -1986). masa ini merupakan masa penting dalam
perkembangan “kesadaran linguistiknya” dalam membaca kitab suci, yang diawali
dengan pertemuannya dengan teman kuliahnya Ja’far Dekk al-Bâb yang belajar
linguistik di Universitas Moskow. Melalui Ja'far, Syahur mengenal pemikiran banyak
ahli tata bahasa Arab seperti al-Farra', Abu Ali al-Farisi, Ibnu Jinni dan al-Jurjani.
Setelah mempelajari makna gambar-gambar tersebut, Syahur menyimpulkan bahwa
tidak ada sinonim ('adam al-taraduf) di Arab. Sejak tahun 1984, Syahur mulai
menuliskan pemikiran-pemikiran penting tentang ayat-ayat kitab suci. Melalui
perbincangannya dengan Ja'far, Syahur berhasil mengumpulkan hasil pemikirannya
yang terus bertebaran.6
5
Ja’far Dekk al-Bab adalah teman sejawat Syahrur di Universitas Damaskus. Beliau adalah seorang
guru besar bidang ilmu bahasa. Mereka bertemu ketika sama-sama menyelesaikan studi di Universitas
Moskow antara tahun 1958-1964. Setelah itu mereka berpisah karena Syahrur melanjutkan studinya di
Ireland National University Dublin-Irlandia. Sementara Ja’far menyelesaikan studinya hingga
doktoral di Universitas Moskow dan selesai pada tahun 1973 dengan judul disertasi “al-khashâish al-
banawiyah al-‘Arabiyah fî Dhau’i al-Dirâsah al-Lisâniyah al-Hadîtsah”. Pada tahun 1980, kedua
teman lama ini bertemu kembali dan terjadilah perbincangan yang sangat berkesan bagi keduanya.
Ja’far melihat bahwa Syahrur memiliki perhatian yang begitu kuat terhadap bahasa, filsafat dan al-
Qur’an. Kemudian Ja’far menyarankan agar Syahrur membaca disertasinya dan semenjak itu pula
hubungan keilmuan antara keduanya semakin intensif sehingga menghasilkan buku. Muhammad
Syahrur, al-Kitâb wa al-Qur’ân; Qirâ’ah Mu’âshirah (Damaskus: al-Ahâli, 1990) h. 46-47.
6
Ahmad Fawaid Sjadzili, M. Shahrur: Figur Fenomenal dari Syria, dalam website htpp:// islamlib.com
diunduh pada tanggal 30-06-2006.
4
2. Dirasah Islamiyah Mu’ashirah fi al-Daulah wa al-Mujtama
Pada tahun 1994, Pressejo al-Ahal kembali menerbitkan karya kedua Syahur.
Buku ini terdiri dari 375 halaman yang terbagi dalam sembilan bab pembahasan.
Persoalan-persoalan sosial politik yang berkaitan dengan urusan sipil dan kenegaraan
disinggung dengan sangat tajam dalam buku ini. Syahrur senantiasa menguraikan
topik-topik esensial seperti al-usrah, al-ummah, al-sya'ab, al-dimuqrathiyyah wa al-
syara, aldaulah, dan al-jihad, dengan selalu berkaitan dengan rumusan teori yang ia
uraikan dalam kitab tersebut. miliknya yang pertama Syahrur menyimpulkan bahwa
urusan negara dan warga negaranya tidak diatur secara rinci dalam Al-Qur'an, sehingga
para sahabat memberikan ijtihad dalam menafsirkan firman Allah dengan melihat
contoh amalan Nabi SAW. sangat penting bagi umat Islam untuk selalu memperbaharui
pemikirannya demi kemaslahatan umat Islam7.
7
Muhammad Syahrur, Dirâsah Islâmiyah Mu’âshirah fî al-Daulah wa al-Mujtama’ (Damaskus: al-
Ahali, 1994), h. 16
8
Muhammad Syahrur, al-Islâm wa al-Imân: Manzhûmah al-Qiyam (Damaskus: al-Ahâlî, 1994), h. 33.
Dalam pengantar buku ini Syahrur menyisipkan makalah yang pernah ia sampaikan di Dâr al-
Baidhâ’-Maroko dalam seminar yang diadakan pada 07 Desember 1995 oleh majalah “Muqaddimât”
dengan tema “al-tsaqâfah wa al-akhlâq wa al-dimuqrâtiyah fî dhau’i al-hadâtsah”.
5
karena keduanya berasal dari Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu, mereka
mendefinisikan Hadis atau Sunnah sebagai berikut.
“Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW. baik perkataan, perbuatan, persetujuan,
atau sifatnya”9
Adapun menurut ulama Usul Fiqih bahwa sunnah lebih khusus daripada hadis.
Jika hadist adalah seluruh yang berasal dari Nabi SAW, maka sunnah hanya yang
mengandung makna hukum syara’ saja. Oleh karena itu definisi sunnah adalah:
“Segala perkataan Nabi SAW., perbuatan, serta persetujuannya yang dapat dijadikan
dalil untuk penetapan hukum syara’.10
9
Subhi Shaleh, ‘Ulûm al-Hadîts wa Mushthalâhu (Beirut: Dâr al-‘Ilm li al-Malâyîn, 1959), h. 3.
10
Muhammad ‘Ajjâj al-Khathîb, Ushûl al-Hadîth ‘Ulûmuhu wa Mushthâlahuhu, cet. 3 (Beirut: Dâr al-
Fikr, 1975), h. 19
11
Ibid., h. 22
12
Syahrur, al-Kitâb…, h. 546
6
Namun, Hadis harus sesuai dengan pemahaman umum Al-Qur'an. Jika
bertentangan dengan keterangan Al-Qur'an, maka Sunnahnya tertolak (marfudh)
seperti Hadis yang menjelaskan Kerajaan Allah secara detail. dan hari penghakiman
dan sesuatu yang akan terjadi di masa depan. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa
Nabi Muhammad SAW tidak mengetahui yang ghaib, sebagaimana dijelaskan dalam
sabda-Nya: Katakanlah: “Aku tidak memberitahumu bahwa perbendaharaan Allah ada
bersamaku, dan aku tidak mengetahui (dan tidak mengetahui) ghaib atau tidak. dalam
hal apapun) Aku sudah katakan kepadamu bahwa aku ini malaikat. Aku tidak mengikuti
apa pun kecuali apa yang diwahyukan kepadaku" (QS. al-An`âm/6: 50). Selain itu juga
firman-Nya “…dan seandainya aku melihat yang ghaib, niscaya aku akan mengerjakan
kebaikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan dirugikan…” (Q.S. al-A’râf/7: 188).
Penjelasan yang sangat rinci tentang suatu Hadits tentang sesuatu yang ghaib yang tidak
terdapat dalam Al-Qur'an menunjukkan bahwa Hadits tersebut palsu dan harus ditolak.
Sesungguhnya cukuplah hal-hal ghaib yang terdapat dalam Kitab Allah, dan siapa pun
yang mengingkarinya, maka ia telah meninggalkan alam keimanan.
13
Syahrur, al-Kitâb…, h. 550
7
Adapun ketaatan yang terpisah “tha’ah munfashilah” sebagaimana yang
disebutkan dalam qur’an “taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul” (Q.S. An-
Nisâ’/4: 59) dan (Q.S. Al-Maidah/5: 92). Syahrur memahami bahwa ketaatan yang
disebutkan dalam ayat berkaitan dengan ketaatan terhadap pemerintah yaitu “uli al-
amri”. Dengan demikian dapat dipahami bahwa ketaatan terhadap Rasul hanya terjadi
ketika beliau masih hidup, sedangkan setelah beliau meninggal umat Islam harus
memahami ajaran agamanya dengan permasalahan yang berkaitan dengan zamannya.14
Jadi memahami sunnah al-risâlah dengan cara ini, umat Islam bersikeras untuk lebih
ijtihad dan memahami hadis Nabi SAW tidak bersifat tekstual kecuali bertentangan
dengan batasan yang ditetapkan oleh Allah. Qur'an.
Muhammad Syahur meyakini hadis dan sunnah bukanlah wahyu dari Allah
SWT. Oleh karena itu, ia tidak menerima ungkapan “al-wahyu al-tsani” (wahyu kedua)
Hadis dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Pendapat ini disusun oleh Syahrur
berdasarkan penafsirannya terhadap Q.S an-Najm 53: 3-4 “Perkataan beliau hanyalah
wahyu yang diwahyukan (kepadanya), (3) dan tidak ada apa pun yang diucapkannya
(Al-Qur’an) yang sesuai dengan keinginannya (4).” Menurut Syahur, kata dhamir (kata
ganti) pada ayat ini adalah untuk Al-Qur'an dan bukan untuk Nabi Muhammad SAW.
Dan itu juga tidak ada hubungannya dengan kata kerja dhamir Penafsiran ini didasarkan
kepada dua argumen penting yang mendasar:
1. Nabi SAW. terlepas sama sekali sejak awal dari perbuatan dan perkataan yang
bersumber dari hawa nafsu dan tidak pula dipengaruhi dengan perasaan jiwa. Namun,
bukan berarti bahwa setiap perkataan Nabi SAW adalah wahyu.
14
Ibid.
8
2. Kemudian, ayat ini diturun di Makkah dimana bangsa Arab pada saat itu meragukan
otentisitas wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Mereka (penduduk
Makkah) tidak meragukan kepribadian Nabi SAW. Oleh karena itu, fokus ayat ini
ditujukan terhadap esensi al-Qur’an sebagai wahyu yang diturunkan kepada
Muhammad bukan kepribadian Muhammad SAW.
Menurut Syahur, kodifikasi hadis saat itu sarat muatan politik dan intrik
penguasa. Terbukti bahwa Nabi SAW. Beliau sendiri dan para sahabat tidak pernah
memerintahkan agar hadis tersebut ditulis, karena mereka mengetahui bahwa hadis
tersebut bukanlah wahyu melainkan hanya ijtihad Nabi. Oleh karena itu,
menurutmuhammad Syahur, motivasi ulama dalam menulis tabi'in dan tabi tabi'in tidak
lain hanyalah motivasi politik belaka.
9
apapun aliran politik atau paham agamanya, termasuk kaum Syi'ah dan Khawârij yang
menentang kekuasaan Bani Umayyah.
Pada saat yang sama, menurut Syahur, berkembang pemikiran filosofis yang
belum diketahui masyarakat Arab sebelumnya. Hal ini semakin terasa pada era dinasti
Bani Abbasiyah, seperti aliran Mu'tazilah yang berkembang pada masa pemerintahan
Ma'mun. Kehadiran kaum Mu'tazilah yang rasional dan mengedepankan kebebasan
berpikir menyebabkan mereka dituding murtad dan meninggalkan Islam. Pada saat
yang sama, ada tekanan untuk mencatat hadis-hadis untuk menyangkal pandangan
"sesat" Mu'tazilah. Tidak sampai disitu saja, berbagai upaya untuk menolak anggapan
mazhab “al-naql” yang mengunggulkan teks dilakukan tanpa memperhatikan kaidah
keilmuan dalam penelitian. Hal ini terjadi ketika penghitungan hadis dilakukan
sedemikian rupa sehingga banyak hadis yang bertentangan dengan isi Al-Qur'an.
1. Memosisikan dan menjadikan kehidupan Nabi SAW. sebagai sesuatu yang absolut/
mutlak, sementara kehidupan yang dijalaninya adalah kehidupan pada abad ke-7 H di
jazirah Arab dengan kondisi sosial, politik dan ekonomi pada saat itu.
2. Keyakinan bahwa perintah Nabi SAW dan larangannya adalah wahyu. Jika sunnah
adalah wahyu yang berasal dari Allah yang mutlak, maka kemutlakan itu juga ada pada
sunnah dan hal ini bertentangan dengan al-Qur’an bahwa yang mutlak itu hanya Allah.
Oleh karena itu ketaatan kepada Nabi hanya sebatas hudûd Allah, ibadah, dan akhlak.
10
G. Kesimpulan
2.Penolakan Teks Sastra: Shahrur menolak pemahaman literal dan meyakini bahwa teks
agama, termasuk Hadis, harus ditafsirkan sesuai pemahaman kontekstual dan prinsip
akal sehat.
3.Kontroversi dan Kritik: Cara berpikir Shahrur kontroversial di dunia Muslim karena
pandangan radikalnya terhadap Hadis dan pengaruhnya terhadap tradisi Islam yang ada.
Banyak pakar dan otoritas agama yang menolak pandangannya karena dianggap sesat
atau bahkan menyesatkan
11
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Ibn Shâhîn Abu Hafsh ‘Umar ibn. Târîkh Asmâ’ al-Du‘afâ’ wa al-
Kadhdhâbîn. al-Madinah al-Munawwarah: Mathba‘ah al-Jâmi‘ah al-
Islâmiyyah,1989.
Clark, Peter. “The Shahrorur’s Phenomenon; A Liberal Islamic Voice From Syiria”.
Dalam Islam and Christian-Muslim Relation, Vol. VII, No. 3, Oktober, 1996.
12
al-Khathîb, Muhammad ‘Ajjâj. Ushûl al-Hadîth ‘Ulûmuhu wa Mushthâlahuhu. cet. 3.
Beirut:Dâr al-Fikr, 1975.
Madjid, Nurcholish. Dialog Keterbukaan: Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial
Politik Kontemporer. Jakarta: Paramadina, 1998.
13