Anda di halaman 1dari 13

Kelompok 2 Pemikiran Hadits Kontemporer

Nama Anggota :

Muhammad Bahrudin ( 2131030042)

Muhammad Fitrah Ramadhan (2131030041)

Materi : Pemikiran Muhammad Syahrur

A. Pendahuluan

Tafsir Al-Qur’an menurut al-Sunnah merupakan salah satu metode tafsir yang
sering digunakan dalam metode tafsir bi al-Ma’sur. Tafsir bil al-Ma'sur merupakan
salah satu metode menafsirkan Al-Qur'an yang paling kuat dan diakui kevalidan nya,
yaitu metode penafsiran teks Al-Qur'an dengan menggunakan teks-teks Al-Qur'an itu
sendiri. atau menggunakan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Ketika Al-Qur'an
diturunkan, Rasulullah SAW sebagai penerima wahyu adalah satu-satunya orang yang
paling memahami wahyu yang diterimanya dari Allah SWT sebagai Pemberi Wahyu.
Oleh karena itu, diyakini bahwa menafsirkan Al-Qur'an dengan menggunakan Sunnah
merupakan salah satu cara untuk lebih memahami wahyu agar sesuai dengan niat yang
diinginkan si pemberi wahyu.

Pembahasan konsep Sunnah biasanya terdapat dalam literatur kajian hadis.


Namun lain halnya bila konsep Sunnah dilihat dari sudut pandang Muhammad Syahrur
yang tidak memiliki pendidikan agama yang terpadu. Beliau adalah seorang guru besar
yang ahli dalam bidang teknik sipil, pertanahan, dan geologi, namun beliau telah
banyak menulis buku dan artikel tentang kajian Islam (al-taraduf) dan hal ini juga
didukung oleh bakat individu yang dimilikinya, yang membuat setiap tulisannya layak
dibaca dan dikritik. Cara berpikir yang dikemukakannya untuk memahami teks Al-
Qur'an dan Hadits sungguh mengagetkan karena sangat bertentangan dengan pendapat
banyak ulama klasik dan modern. Perspektifnya yang tidak biasa memerlukan beberapa
tanggapan.

Bacaan Syahur yang baru (qira'ah mu'ashirah) tidak hanya mendalami Al-
Qur'an sebagai sumber ajaran Islam, namun juga Hadits nabi Muhammad sebagai nabi
dan rasul. Kecerdasannya dalam memahami makna (dalalah) ayat-ayat Al-Qur'an dan

1
Hadits menjadikan pendapatnya layak untuk dikaji dan dikritisi. Maka p enulisan
makalah ini kami mencoba mendeskripsikan konsep Sunah dari sudut pandang Syahur.

B. Biografi Muhammad Syahrur

Prof. Dr. Ir. Muhammad Syahur lahir di Damaskus, Suriah1 pada tanggal 11
April 1938. Nama ayahnya adalah Daib dan nama ibunya adalah Siddiqah binti Shaleh
Filyun. Syahur dikenal sebagai anak muda yang cerdas. Hal ini dapat dibuktikan
setidaknya dengan latihan yang lancar dan tidak menemui kendala sedikitpun. Jenjang
pendidikan Syahrur, seperti anak-anak lainnya, dimulai di madrasah Ibtidaiyah,
madrasah Tsanawiyah dan madrasah Aliyah di Damaskus.

Pada usia 19. Syahur menerima ijazah Tsanawiyah dari Madrasah Abd. al-
Rahmân al-Kawakibi pada tahun 1957 M. Kecerdasannya ditunjukkan dengan
mendapat beasiswa dari pemerintah Suriah ke Moskow Rusia. untuk melanjutkan studi
di bidang konstruksi (al-handasah al-madaniyyah) pada bulan Maret 1957. Pelatihan ini
ia terima selama lima tahun dari tahun 1959 hingga ia menerima ijazahnya (S1).pada
tahun 1964. Ia kembali ke tanah air untuk bekerja sebagai insinyur di Fakultas
Universitas Damaskus selama satu tahun hingga tahun 1965. Tak lama kemudian,
Universitas Damaskus mengirimnya ke Dublin, Irlandia, tepatnya Universitas Nasional
Irlandia (National University of Ireland) (al-Jami'ah al-Qaumiyah). al-Irilandiyah) ia
melanjutkan studi magister dan doktoral pada bidang minat yang sama yaitu mekanika
tanah dan struktur tanah (Mikanika Turbât wa Asasat)

Pada tahun 1969, Syahur menyelesaikan gelar masternya dan tiga tahun
kemudian, pada tahun 1972, ia berhasil menyelesaikan gelar Ph.D. Pada tahun yang
sama, ia resmi diangkat menjadi dosen Fakultas Teknik Sipil Universitas Damaskus,

1
Kota ini telah dibangun sejak 3000 tahun sebelum Masehi, bahkan menurut legenda dinyatakan Nabi
Hud as. adalah orang pertama yang membangun kota ini setelah terjadi banjir besar melanda dunia.
Kota ini secara bergantian dikuasai oleh kerajaan Assyiria, Yunani, Romawi dan Bizantiyum. Islam
masuk ke Damaskus pada bulan September 653 M. Ketika itu Syiria dikuasai bangsa Romawi
kemudian ditaklukkan oleh tentara Islam di bawah pimpinan panglima perang Islam ternama seperti
Khâlid bin Walîd ra dan Amr bin ‘Âsh pada masa khalifah Umar bin Khaththâb ra. Lihat Tim Penulis
Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003) jld. I, h. 283. Lihat
juga Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1996), h. 69

2
mengajar mata kuliah mekanika tanah dan geologi (Mikanika at-Turbat wa al-
Mansya'at al-Ardhiyyah)2.

Kecerdasan ini ia warisi dari keluarga ayahnya yang sangat mencintai ilmu
pengetahuan. Menurut Syahur sendiri, ayahnya adalah murid dekat Syekh Nashir al-
Dan al-Albanî. Setiap kali Syekh al-Albanî mengunjungi Damaskus, ayahnya akan
memilihnya dan mengundangnya untuk tinggal di rumah mereka. Ayahnya kemudian
meminta Syekh al-Albana untuk membuat pernyataan.3 Penjelasan tersebut
menunjukkan betapa akrab dan dekatnya keluarga Syahur dengan Syekh al-Albana (w.
1999M), sosok ahli hadis abad ke-21. Meski keluarga Syahur sangat dekat dengan al-
Albana yang dikenal sebagai ulama hadis “konservatif”, namun hal tersebut rupanya
tidak mewarnai pemikiran Syahur. Bahkan, ia cenderung memberontak terhadap
pandangan hadis yang diusung al-Albana dan ulama hadis klasik lainnya4.

C. Karya Ilmiyah Muhammad Syahrur

Muhammad Syahur sangat produktif dalam menulis dan menerbitkan makalah


penelitiannya. Di bidangnya, Syahur menulis 4 jilid buku ilmu dasar dan ilmu bidang
(hadasah al-asasat wa at-turbat). Selain itu, ia banyak menuliskan pemikirannya tentang
kajian Islam, yang juga menarik perhatian banyak cendekiawan Islam dan ahli Islam.

1. Al-Kitab wa al-Qur’an; Qira’ah Mu’ashirah

Buku ini merupakan buku pertama Syahur yang terdiri dari 822 halaman dan
empat bab pembahasan. Penyusunan buku ini sangat dipengaruhi oleh Prof. Dr. Ja'far
Dekk al-Bab, beliau adalah rekan dan guru linguistiknya. Syahur bertemu Ja'far ketika

2
4 Peter Clark, The Shahrorur’s Phenomenon; A Liberal Islamic Voice From Syiria”, Islam and
Christian-Muslim Relation, Vol. VII, No. 3, Oktober, 1996. h. 339. Lihat juga Ahmad Zaki, Pendekatan
Strukturalisme, h. 138
3
Penjelasan ini dapat dibaca dalam wawancara ‘Assâf ‘Abûd dengan Muhammad Syahrur yang
dimuat dalam majalah “al-Rajul al-Yaum”, edisi I tanggal 01-07-2004, yang diterbitkan Muassasah
al-‘Arabiyah li al-Shahafah wa al-Thibâ’ah: Uni Emirat Arab, h. 1. Dan juga dimuat dalam website
resmi Syahru
4
6 Hal ini diakui sendiri oleh Syahrur, bahwa pemikiran ayahnya yang banyak diwarnai oleh
pemikiran Syaikh al-Albânî tidak mempengaruhi pemikirannya. Bahkan lebih berani lagi Syahrur
mengatakan bahwa saya tidak akan tunduk di bawah pendapat siapa pun sekalipun ia adalah Imam
Syafi’î atau Ibnu ‘Abbâs. Pernyataan ini disampaikan Syahrur dalam suatu wawancara yang berjudul
“lâ aqbalu al-julûsa ‘inda aqdâm Ibni ‘Abbâs wa asy-Syâfi‘î”, dalam www. shahrour. Orang

3
mereka sama-sama kuliah di Universitas Moskow.5 Ja'far banyak memberikan
kontribusinya terutama dalam merumuskan metodologi. Buku ini dan menyediakan
kata pengantar. Buku ini merupakan hasil penelitiannya yang berlangsung sekitar 20
tahun (1970-1990).

Setidaknya ada tiga tahapan dalam penyusunan sebuah buku. Fase pertama
(1970-1980). Periode ini dimulai ketika dia berada di Universitas Dublin. Masa ini
merupakan masa pembelajaran (muraja'at) sekaligus meletakkan landasan metodologi
pemahaman aldzikr, al-kitâb, al-risalah, al-nubuwwah dan beberapa kata kunci lainnya.

Tahap kedua (1980) -1986). masa ini merupakan masa penting dalam
perkembangan “kesadaran linguistiknya” dalam membaca kitab suci, yang diawali
dengan pertemuannya dengan teman kuliahnya Ja’far Dekk al-Bâb yang belajar
linguistik di Universitas Moskow. Melalui Ja'far, Syahur mengenal pemikiran banyak
ahli tata bahasa Arab seperti al-Farra', Abu Ali al-Farisi, Ibnu Jinni dan al-Jurjani.
Setelah mempelajari makna gambar-gambar tersebut, Syahur menyimpulkan bahwa
tidak ada sinonim ('adam al-taraduf) di Arab. Sejak tahun 1984, Syahur mulai
menuliskan pemikiran-pemikiran penting tentang ayat-ayat kitab suci. Melalui
perbincangannya dengan Ja'far, Syahur berhasil mengumpulkan hasil pemikirannya
yang terus bertebaran.6

Tahap ketiga (1986-1990). Syahur mulai mengumpulkan hasil pemikirannya


yang masih berserakan. Pada tahun 1987, Syahur menyelesaikan jilid pertama yang
memuat pokok-pokok pikiran. Tak lama kemudian, Syahur berhasil bersama Ja'far
dalam menetapkan "hukum dialektika umum" yang dibahasnya pada bagian kedua
buku tersebut. Pada tahun 1992, edisi pertama buku ini diterbitkan di Mesir.

5
Ja’far Dekk al-Bab adalah teman sejawat Syahrur di Universitas Damaskus. Beliau adalah seorang
guru besar bidang ilmu bahasa. Mereka bertemu ketika sama-sama menyelesaikan studi di Universitas
Moskow antara tahun 1958-1964. Setelah itu mereka berpisah karena Syahrur melanjutkan studinya di
Ireland National University Dublin-Irlandia. Sementara Ja’far menyelesaikan studinya hingga
doktoral di Universitas Moskow dan selesai pada tahun 1973 dengan judul disertasi “al-khashâish al-
banawiyah al-‘Arabiyah fî Dhau’i al-Dirâsah al-Lisâniyah al-Hadîtsah”. Pada tahun 1980, kedua
teman lama ini bertemu kembali dan terjadilah perbincangan yang sangat berkesan bagi keduanya.
Ja’far melihat bahwa Syahrur memiliki perhatian yang begitu kuat terhadap bahasa, filsafat dan al-
Qur’an. Kemudian Ja’far menyarankan agar Syahrur membaca disertasinya dan semenjak itu pula
hubungan keilmuan antara keduanya semakin intensif sehingga menghasilkan buku. Muhammad
Syahrur, al-Kitâb wa al-Qur’ân; Qirâ’ah Mu’âshirah (Damaskus: al-Ahâli, 1990) h. 46-47.
6
Ahmad Fawaid Sjadzili, M. Shahrur: Figur Fenomenal dari Syria, dalam website htpp:// islamlib.com
diunduh pada tanggal 30-06-2006.

4
2. Dirasah Islamiyah Mu’ashirah fi al-Daulah wa al-Mujtama

Pada tahun 1994, Pressejo al-Ahal kembali menerbitkan karya kedua Syahur.
Buku ini terdiri dari 375 halaman yang terbagi dalam sembilan bab pembahasan.
Persoalan-persoalan sosial politik yang berkaitan dengan urusan sipil dan kenegaraan
disinggung dengan sangat tajam dalam buku ini. Syahrur senantiasa menguraikan
topik-topik esensial seperti al-usrah, al-ummah, al-sya'ab, al-dimuqrathiyyah wa al-
syara, aldaulah, dan al-jihad, dengan selalu berkaitan dengan rumusan teori yang ia
uraikan dalam kitab tersebut. miliknya yang pertama Syahrur menyimpulkan bahwa
urusan negara dan warga negaranya tidak diatur secara rinci dalam Al-Qur'an, sehingga
para sahabat memberikan ijtihad dalam menafsirkan firman Allah dengan melihat
contoh amalan Nabi SAW. sangat penting bagi umat Islam untuk selalu memperbaharui
pemikirannya demi kemaslahatan umat Islam7.

3. Al-Islâm wa al-Imân; Manzhumah al-Qiyam

Syahur kemudian menerbitkan karya terakhirnya yang berjudul “al-Islam wa al-


imn manzhumah al-qiyam” oleh penerbit yang sama pada tahun 1996. Buku ini terdiri
dari 401 halaman yang terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama menjelaskan
tentang pengertian Islam dan iman serta rukun-rukunnya, sedangkan bagian kedua
menjelaskan tentang pengertian al-'ibad dan al-'abid serta perbedaan keduanya dalam
Al-Qur'an dan diakhiri dengan pendapat yang jelas dan mantap. tentang hubungan,
Islam dan politik. Buku ini mencoba mengungkap konsep-konsep klasik Islam serta
makna dan rukun iman8 Kajiannya tentu saja diarahkan pada kajian terhadap ayat-ayat
yang terkandung dalam kitab suci, dengan tetap setia pada rumusan teoritis yang
mendasarinya.

D. Pemikiran Muhammad Syahrur terhadap Hadis dan Sunnah

Kata “Hadits” atau “al-hadits” secara etimologis berarti (lugatan) al-jadid


“sesuatu yang baru” atau bisa juga berarti al-qarib “dekat” atau al-kalam “berbicara”.
menurut hadis-hadis lain, Bagi para ulama, hadis dan sunnah tidak berbeda maknanya

7
Muhammad Syahrur, Dirâsah Islâmiyah Mu’âshirah fî al-Daulah wa al-Mujtama’ (Damaskus: al-
Ahali, 1994), h. 16
8
Muhammad Syahrur, al-Islâm wa al-Imân: Manzhûmah al-Qiyam (Damaskus: al-Ahâlî, 1994), h. 33.
Dalam pengantar buku ini Syahrur menyisipkan makalah yang pernah ia sampaikan di Dâr al-
Baidhâ’-Maroko dalam seminar yang diadakan pada 07 Desember 1995 oleh majalah “Muqaddimât”
dengan tema “al-tsaqâfah wa al-akhlâq wa al-dimuqrâtiyah fî dhau’i al-hadâtsah”.

5
karena keduanya berasal dari Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu, mereka
mendefinisikan Hadis atau Sunnah sebagai berikut.

“Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW. baik perkataan, perbuatan, persetujuan,
atau sifatnya”9

Adapun menurut ulama Usul Fiqih bahwa sunnah lebih khusus daripada hadis.
Jika hadist adalah seluruh yang berasal dari Nabi SAW, maka sunnah hanya yang
mengandung makna hukum syara’ saja. Oleh karena itu definisi sunnah adalah:

“Segala perkataan Nabi SAW., perbuatan, serta persetujuannya yang dapat dijadikan
dalil untuk penetapan hukum syara’.10

Sementara itu, “Ajjaj al-Khatib menambahkan bahwa Sunnah sering digunakan


dalam pembahasan syariah”. Seperti setiap perintah atau larangan dan anjuran
Rasulullah, baik sesuai perkataan maupun perbuatannya. Jadi ketika al-Kitab dan
Sunnah disebutkan dalam dalil hukum syariah, yang dimaksud adalah Al-Quran dan
Hadits11

Bertentangan dengan pendapat di atas, Syahur berpendapat bahwa Hadits


adalah kehidupan Nabi Muhammad SAW sebagai nabi (pembawa berita) dan sebagai
manusia yang hidup di dunia nyata dan bukan dalam khayalan. Dengan demikian, Hadis
merupakan hasil interaksi dengan peristiwa-peristiwa tertentu dalam situasi tertentu
semasa hidupnya (produk sejarah). Jadi Hadis bukanlah wahyu dari Allah SWT karena
Nabi SAW dan para sahabatnya tidak menganggap Hadis sebagai wahyu. Terbukti Nabi
dan para sahabatnya tidak pernah memerintahkan pengumpulan dan penulisan hadis12

Syahrur sendiriskemudian mengklasifikasikan Sunnah tersebut menjadi Sunnah


al-nubuwwah dan Sunnah al-risalah. Adapun sunah al-nubuwwah merupakan pesan
ilmu Nabi Muhammad SAW. yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan alam,
keberadaan manusia dan sejarah manusia, sehingga tidak berkaitan dengan halal-
haram, ketaatan atau kemaksiatan.

9
Subhi Shaleh, ‘Ulûm al-Hadîts wa Mushthalâhu (Beirut: Dâr al-‘Ilm li al-Malâyîn, 1959), h. 3.
10
Muhammad ‘Ajjâj al-Khathîb, Ushûl al-Hadîth ‘Ulûmuhu wa Mushthâlahuhu, cet. 3 (Beirut: Dâr al-
Fikr, 1975), h. 19
11
Ibid., h. 22
12
Syahrur, al-Kitâb…, h. 546

6
Namun, Hadis harus sesuai dengan pemahaman umum Al-Qur'an. Jika
bertentangan dengan keterangan Al-Qur'an, maka Sunnahnya tertolak (marfudh)
seperti Hadis yang menjelaskan Kerajaan Allah secara detail. dan hari penghakiman
dan sesuatu yang akan terjadi di masa depan. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa
Nabi Muhammad SAW tidak mengetahui yang ghaib, sebagaimana dijelaskan dalam
sabda-Nya: Katakanlah: “Aku tidak memberitahumu bahwa perbendaharaan Allah ada
bersamaku, dan aku tidak mengetahui (dan tidak mengetahui) ghaib atau tidak. dalam
hal apapun) Aku sudah katakan kepadamu bahwa aku ini malaikat. Aku tidak mengikuti
apa pun kecuali apa yang diwahyukan kepadaku" (QS. al-An`âm/6: 50). Selain itu juga
firman-Nya “…dan seandainya aku melihat yang ghaib, niscaya aku akan mengerjakan
kebaikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan dirugikan…” (Q.S. al-A’râf/7: 188).
Penjelasan yang sangat rinci tentang suatu Hadits tentang sesuatu yang ghaib yang tidak
terdapat dalam Al-Qur'an menunjukkan bahwa Hadits tersebut palsu dan harus ditolak.
Sesungguhnya cukuplah hal-hal ghaib yang terdapat dalam Kitab Allah, dan siapa pun
yang mengingkarinya, maka ia telah meninggalkan alam keimanan.

Adapun sunnah al-risâlah mengacu pada hukum-hukum (ahkam), seperti


syariat, yang menyangkut hukum ibadah, muamalah dan akhlak. Sunnah ini wajib
diikuti karena berkaitan dengan hukum. Sunnah al-risâlah terbagi menjadi dua bentuk.
Pertama, Sunnah al-risalah yang wajib diikuti baik pada masa rasul masih hidup
maupun setelah wafat, seperti dalam urusan ibadah dan akhlak. Sunnah ini melengkapi
penjelasan (al-bayan) isi Al-Qur'an dan tidak memperkenalkan hukum baru. Kedua,
Sunnah al-risâlah hanya dijalankan ketika Nabi SAW masih hidup, sebagai syarat yang
beliau tetapkan untuk menyelesaikan permasalahan yang muncul saat itu, meskipun
permasalahan tersebut tidak disebutkan dalam Al-Qur'an. Sunnah ini juga mengacu
pada kebiasaan sehari-hari Nabi seperti makan, minum, berpakaian dan berkelahi.
Sunnah diikuti secara kontekstual, bukan secara tekstual, yaitu. memperhatikan isinya
dan menyesuaikannya dengan konteks saat ini.13 Karena menurut Syahur, kedudukan
Nabi Muhammad SAW. hanya sebagai orang yang memberi penjelasan (mubayyin),
bukan sebagai orang yang menetapkan hukum-hukum baru yang tidak terdapat dalam
Al-Qur'an (musyarri'). Sebab menurutnya hanya Allah SWT yang berhak menetapkan
ajaran agama melalui Al-Qur'an.

13
Syahrur, al-Kitâb…, h. 550

7
Adapun ketaatan yang terpisah “tha’ah munfashilah” sebagaimana yang
disebutkan dalam qur’an “taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul” (Q.S. An-
Nisâ’/4: 59) dan (Q.S. Al-Maidah/5: 92). Syahrur memahami bahwa ketaatan yang
disebutkan dalam ayat berkaitan dengan ketaatan terhadap pemerintah yaitu “uli al-
amri”. Dengan demikian dapat dipahami bahwa ketaatan terhadap Rasul hanya terjadi
ketika beliau masih hidup, sedangkan setelah beliau meninggal umat Islam harus
memahami ajaran agamanya dengan permasalahan yang berkaitan dengan zamannya.14
Jadi memahami sunnah al-risâlah dengan cara ini, umat Islam bersikeras untuk lebih
ijtihad dan memahami hadis Nabi SAW tidak bersifat tekstual kecuali bertentangan
dengan batasan yang ditetapkan oleh Allah. Qur'an.

Dengan demikian, bagi Syahur, keteladanan Nabi Muhammad SAW hanyalah


menjadi contoh bagi masyarakat saat ini. Dalam artian beliau hidup sesuai dengan
risalah Allah, bukan dalam artian umat Islam harus mengambil pilihan yang sama
seperti Nabis secara mutlak. Kehidupan Nabi Muhammad SAW merupakan variasi
pertama dalam sejarah tentang bagaimana aturan Islam dapat diterapkan dalam
masyarakat suku pada masa itu.

E. Hadis dan Sunnah Bukan Wahyu dari Allah

Muhammad Syahur meyakini hadis dan sunnah bukanlah wahyu dari Allah
SWT. Oleh karena itu, ia tidak menerima ungkapan “al-wahyu al-tsani” (wahyu kedua)
Hadis dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Pendapat ini disusun oleh Syahrur
berdasarkan penafsirannya terhadap Q.S an-Najm 53: 3-4 “Perkataan beliau hanyalah
wahyu yang diwahyukan (kepadanya), (3) dan tidak ada apa pun yang diucapkannya
(Al-Qur’an) yang sesuai dengan keinginannya (4).” Menurut Syahur, kata dhamir (kata
ganti) pada ayat ini adalah untuk Al-Qur'an dan bukan untuk Nabi Muhammad SAW.
Dan itu juga tidak ada hubungannya dengan kata kerja dhamir Penafsiran ini didasarkan
kepada dua argumen penting yang mendasar:

1. Nabi SAW. terlepas sama sekali sejak awal dari perbuatan dan perkataan yang
bersumber dari hawa nafsu dan tidak pula dipengaruhi dengan perasaan jiwa. Namun,
bukan berarti bahwa setiap perkataan Nabi SAW adalah wahyu.

14
Ibid.

8
2. Kemudian, ayat ini diturun di Makkah dimana bangsa Arab pada saat itu meragukan
otentisitas wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Mereka (penduduk
Makkah) tidak meragukan kepribadian Nabi SAW. Oleh karena itu, fokus ayat ini
ditujukan terhadap esensi al-Qur’an sebagai wahyu yang diturunkan kepada
Muhammad bukan kepribadian Muhammad SAW.

Berdasarkan pengertian Syahur di atas, maka dapat disimpulkan bahwa


pendapat kami, hadis atau sunnah merupakan hasil produk sejarah yang terjadi pada
kehidupan Nabi SAW. Kisah hidup merupakan hasil ijtihadnya, bisa benar atau salah.
Kesalahan-kesalahan yang menimpa Nabi SAW dalam hidupnya, seperti berpalingnya
Nabi SAW dari Abudllah bin Ummi Maktum hingga turunnya wahyu surah 'Abasa 1-3
menunjukkan bahwa kesalahan-kesalahan tersebut disebabkan oleh perbuatan Nabi
SAW. ijtihad, bukan wahyu. Jika itu wahyu, maka tidak mungkin perkara itu palsu,
maka Allah SWT akan menegurnya.

F. Hadis adalah Ambisi Politik Penguasa Semata

Menurut Syahur, kodifikasi hadis saat itu sarat muatan politik dan intrik
penguasa. Terbukti bahwa Nabi SAW. Beliau sendiri dan para sahabat tidak pernah
memerintahkan agar hadis tersebut ditulis, karena mereka mengetahui bahwa hadis
tersebut bukanlah wahyu melainkan hanya ijtihad Nabi. Oleh karena itu,
menurutmuhammad Syahur, motivasi ulama dalam menulis tabi'in dan tabi tabi'in tidak
lain hanyalah motivasi politik belaka.

Pasca pemerintahan Khulafa al-Rasyidin dan berdirinya Dinasti Bani Umayyah,


perpecahan di kalangan umat Islam semakin tak terbendung. Hal ini ditandai dengan
munculnya berbagai aliran seperti Syiah, Khawarij, Jahmiyah, Qadariyah dan Jabariyah
dalam masyarakat Islam. Sekolah-sekolah tersebut memerlukan dukungan ideologis
agar ajaran yang dikembangkannya dapat diterima di masyarakat. Oleh karena itu,
beberapa hadis palsu dikarang atas nama Nabi Muhammad SAW. Ambisi politik
kekuasaan secara simetris dan saling terkait dengan perkembangan hadis Maudhu’

Menurut pendapat tersebut, Nurcholish Madjid (w. 2005 M) berpendapat bahwa


dari sudut pandang analisis politik terhadap tindakan Umar II, gelar kehormatan “Umar
bin ‘Abd al-’Aziz (w. 101H)” adalah untuk menemukan dan memperkuat Jama'ahnya -
pembenaran ideologinya, dengan ideologi ini ia ingin merangkul seluruh umat Islam,

9
apapun aliran politik atau paham agamanya, termasuk kaum Syi'ah dan Khawârij yang
menentang kekuasaan Bani Umayyah.

Pada saat yang sama, menurut Syahur, berkembang pemikiran filosofis yang
belum diketahui masyarakat Arab sebelumnya. Hal ini semakin terasa pada era dinasti
Bani Abbasiyah, seperti aliran Mu'tazilah yang berkembang pada masa pemerintahan
Ma'mun. Kehadiran kaum Mu'tazilah yang rasional dan mengedepankan kebebasan
berpikir menyebabkan mereka dituding murtad dan meninggalkan Islam. Pada saat
yang sama, ada tekanan untuk mencatat hadis-hadis untuk menyangkal pandangan
"sesat" Mu'tazilah. Tidak sampai disitu saja, berbagai upaya untuk menolak anggapan
mazhab “al-naql” yang mengunggulkan teks dilakukan tanpa memperhatikan kaidah
keilmuan dalam penelitian. Hal ini terjadi ketika penghitungan hadis dilakukan
sedemikian rupa sehingga banyak hadis yang bertentangan dengan isi Al-Qur'an.

Kekeliruan tersebut di sebabkan oleh 2 faktor utama yaitu:

1. Memosisikan dan menjadikan kehidupan Nabi SAW. sebagai sesuatu yang absolut/
mutlak, sementara kehidupan yang dijalaninya adalah kehidupan pada abad ke-7 H di
jazirah Arab dengan kondisi sosial, politik dan ekonomi pada saat itu.

2. Keyakinan bahwa perintah Nabi SAW dan larangannya adalah wahyu. Jika sunnah
adalah wahyu yang berasal dari Allah yang mutlak, maka kemutlakan itu juga ada pada
sunnah dan hal ini bertentangan dengan al-Qur’an bahwa yang mutlak itu hanya Allah.
Oleh karena itu ketaatan kepada Nabi hanya sebatas hudûd Allah, ibadah, dan akhlak.

Kebingungan inilah yang menyebabkan keterbelakangan umat Islam dan


kesalahan-kesalahan yang dilakukan umat Kristiani. Umat Kristiani menjadikan Yesus
sebagai sosok yang setiap perkataan dan perbuatannya merupakan wahyu dari Tuhan.
Sebab yang terdapat dalam Alkitab dengan berbagai versinya adalah biografi Isa al-
Masih sendiri. Tidak jauh berbeda dengan banyak kitab hadis yang merupakan
rangkuman kepribadian Nabi Muhammad SAW. Jadi mengapa kita menghina umat
Kristen padahal keyakinan mereka sama dengan agama kita? Oleh karena itu Syahrur
berpendapat bahwa hadis itu akuntansi dan menjadikannya mutlak serta menjadi
landasan bagi ilmu hadis merupakan kesalahan fatal yang dilakukan oleh umat Islam
pada masa klasik yang terus diderita umat ini sampai sekarang.

10
G. Kesimpulan

Dari pembahasan di atas, dapat di tarik kesimpulan bahwasanya Muhammad


Shahrur merupakan seorang intelektual muslim modern yang dikenal dengan ide-ide
kontroversialnya dalam memahami Islam, khususnya mengenai pemahaman Hadits.
Kesimpulan mengenai pemikiran Muhammad Shahrur mungkin berbeda-beda
tergantung dari sudut pandang masing-masing, namun beberapa hal umum dapat
diambil sebagai berikut:.

1.Pemikiran Reinterpretatif:Muhammad Shahrur mencoba menafsirkan kembali ajaran


Islam, termasuk Hadits, dengan mempertimbangkan konteks kontemporer dan
mengedepankan pendekatan rasional dan kontekstual dalam memahami agama.

2.Penolakan Teks Sastra: Shahrur menolak pemahaman literal dan meyakini bahwa teks
agama, termasuk Hadis, harus ditafsirkan sesuai pemahaman kontekstual dan prinsip
akal sehat.

3.Kontroversi dan Kritik: Cara berpikir Shahrur kontroversial di dunia Muslim karena
pandangan radikalnya terhadap Hadis dan pengaruhnya terhadap tradisi Islam yang ada.
Banyak pakar dan otoritas agama yang menolak pandangannya karena dianggap sesat
atau bahkan menyesatkan

.4.Implikasi Bagi Pemikiran Kontemporer: Meski kontroversial, pemikiran Shahrur


memicu perdebatan intelektual di dunia Islam tentang pentingnya mengkaji dan
memahami ajaran agama dalam konteks kontemporer

.5.Keterbatasan dan Keuntungan: Seperti halnya semua pemikiran polemik, pendekatan


Shahrur memiliki kelebihan dan keterbatasan. Meski ada yang mengapresiasi upayanya
melakukan modernisasi pemikiran Islam, ada pula yang mengkritiknya karena
melanggar tradisi dan otoritas agama.

Oleh karena itu, kesimpulan pemikiran Muhammad Shahrur adalah bahwa ia


adalah sosok yang menantang tradisi dengan pandangannya yang kontroversial tentang
Hadis dan Islam. ukuran Meski dianggap sebagai inspirasi bagi sebagian orang, ia juga
mendapat kritik dan penolakan dari banyak kelompok di dunia Muslim.

11
DAFTAR PUSTAKA

Abu Zaid, Nasr Hamid. “Mengurai Benang Kusut Teori Pembacaan


Kontemporer(Penjelasan tentang Proyek Muhammad Syahrur)”. dalam
pengantar edisi karyaMuhammad Syahrur al-Kitâb wa al-Qur’an; Qirâ’ah
Mu`âshirah”, Prinsip dan DasarHermeneutika Alquran Kontemporer, terj.
Sahiron Syamsuddin, MA danBurhanuddin Dzikri, S.Th.I, Yogyakarta: Penerbit
Elsaq Press, 2004.

Ahmad, Ibn Shâhîn Abu Hafsh ‘Umar ibn. Târîkh Asmâ’ al-Du‘afâ’ wa al-
Kadhdhâbîn. al-Madinah al-Munawwarah: Mathba‘ah al-Jâmi‘ah al-
Islâmiyyah,1989.

al-‘Asqalânî, Ibn Hajar. Taqrîb al-Tahdzîb. Damaskus: Dâr al-Rashîd 1992.

Clark, Peter. “The Shahrorur’s Phenomenon; A Liberal Islamic Voice From Syiria”.
Dalam Islam and Christian-Muslim Relation, Vol. VII, No. 3, Oktober, 1996.

Gazâlî, Muhammad. Al-Sunnah al-Nabawiyyah; baina ahl al-Fiqh wa ahl al-Hadîts.


Beirut:Dâr asy-Syurûq, 1989.

Hallaq, Wael B. A History of Islamic Legal Theories: an Introduction to Sunni Ushul


Fiqh.(edisi Indonesia), terj. E. Kusnadiningrat et.al. Sejarah teori Hukum Islam.
Jakarta:PT Rajagrafindo Persada, 2000.

htpp://islamlib.com periode 30-06-2006.

Ibramsa, Habeeb Rahman. Pemikiran Anti Hadith dan Perkembangan Semasa.


dalamHaziyah Hussin et.al. (Kuala Lumpur: Jabatan al-Qur’an dan al-Sunnah,
Fakulti Pengajian dan Peradaban Islam, Kolej Universiti Islam Antara

bangsa Selangor, 2006

n’am, Esha Moh. Inam Esha. “Rekonstruksi Historis Metodologis Pemikiran M.


Syahrur”.Jurnal al-Huda, Vol. 2 No. 4, 2001.

al-Jâbî, Salîm. Al-Qirâ’ah al-Mu’ashirah li al-Duktûr Syahrur: Mujarradu


Tanjîm.Damaskus: Âkad, 1991

12
al-Khathîb, Muhammad ‘Ajjâj. Ushûl al-Hadîth ‘Ulûmuhu wa Mushthâlahuhu. cet. 3.
Beirut:Dâr al-Fikr, 1975.

Madjid, Nurcholish. Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Yayasan


Paramadina, 1994.

Madjid, Nurcholish. Dialog Keterbukaan: Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial
Politik Kontemporer. Jakarta: Paramadina, 1998.

Mubarok, Ahmad Zaki. Pendekatan Strukturalisme Linguistik dalam Tafsir al-Qur’an


Kontemporer ’ala M. Sahrur. Yogyakarta: Elsaq Press, 2007.

13

Anda mungkin juga menyukai