Anda di halaman 1dari 17

Tafsir Al-Manār

Kajian Naskah Tafsir

Diajukan sebagai tugas makalah pada mata kuliah Kajian Naskah Tafsir Bahasa Arab
Pascasarjana UIN Alauddin Makassar

Oleh;
Muh Salam
80600220013

Dosen Pembimbing;
Dr. H. Aan Parhani, Lc., M.Ag
Dr. H. Andi Abdul Hamzah, Lc., M.A

ILMU AL QUR’AN DAN TAFSIR PASCASARJANA


UNIVERSITAS ISLAM NEGRI (UIN) ALAUDDIN MAKASSAR
2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tafsir al-Manār yang berjumlah 12 jilid yang diterbitkan oleh Dār al- Manār

di Kairo pada tahun 1346H. Tafsir ini bersumber dari perkuliahan Muhammad Abduh

tentang Tafsir al-Qur’an yang disampaikan di Universitas al-Azhar, yang disusun


setelah ia wafat (tahun 1905) oleh Muhammad Rasyid Ridha dengan judul Tafsir al-

Qur’an al-Hakim. Kemudian kitab ini lebih popular dengan sebutan Tafsir al-Manar

yang pernah diterbitkan secara serial dan periodik.

Al-Manar terbit pertama kalinya pada tanggal 22 Syawal 1315 H atau 17

Maret 1898 M, yang dilatarbelakangi oleh keinginan Rasyid Ridha untuk

menerbitkan sebuah surat kabar yang mengolah masalah-masalah sosial-budaya dan

agama, sebulan setelah pertemuannya yang ketiga dengan Muhammad

Abduh. Awalnya berupa mingguan sebanyak delapan halaman dan ternyata mendapat

sambutan hangat, bukan hanya di Mesir atau Negara-negara Arab sekitarnya, juga

sampai ke Eropa dan Indonesia.

Tafsir Al-Manar yang bernama Tafsir Al-Qur’an Al-Hakim memperkenalkan

dirinya sebagai Kitab Tafsir satu-satunya yang menghimpun riwayat-riwayat yang

shahih dan pandangan akal yang tegas, yang menjelaskan hikmah syariah, serta

Sunnatullah (hukum Allah yang berlaku) terhadap manusia, dan menjelaskan fungsi

Al-Qur’an sebagai petunjuk untuk seluruh manusia, di setiap waktu dan tempat, serta

membandingkan antara petunjuknya dengan keadaan kaum Muslimin pada masa


diterbitkannya yang berpaling dari petunjuk itu, serta membandingkan dengan

keadaan para salaf yang berpegang teguh dengan tali hidayah itu.

Dalam makalah ini, kami membahas dua tokoh Tafsir Al-Manar yaitu

Muhammad Abduh, dan Muhammad Rasyid Ridha, karena dari Muhammad Abduh

bahwa gagasan dari gurunya yaitu Jamaluddin al-Afghani itu dicerna, diterima dan

diolah yang disampaikan melalui penafsiran ayat-ayat al-Qur'an dan dari Muhammad
Rasyid Ridha inilah kemudian menulis semua yang disampaikan sahabat dan gurunya

itu dalam bentuk ringkasan dan penjelasan.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana biografi Syekh Muahmmad Abduh dan Rasyid Ridha?

2. Bagaimana Metode dan Corak Tafsir al-Manār?

3. Bagaimana cirri-ciri penafsiran dalm Tafsir al-Manār?

4. Bagaimana Kelebihan Tafsir al-Manār?

5. Seperti apa contoh Penafsiran dalam Tafsir al-Manār?


BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi Mufassir dan Karya-Karyanya

Tokoh utama corak penafsiran ini yang berjasa meletakkan dasar-

dasarnya adalah Muhammad Abduh, dan kemudian di kembangkan oleh murid

sekaligus sahabatnya, Muhammad Rasyid Ridha.

1. Muhammad Abduh

Muhammad Abduh adalah Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah. Ia di

lahirkan di desa Mahallat Nashr di Kabupaten Al-Buhairah, Mesir pada tahun

1849M. Pada tanggal 11 Juli 1905, Muhammad Abduh meninggal di Kairo Mesir. Ia

pernah diasingkan ke Syuriah karena keterlibatannya dalam pemberontakan ‘Arabi

sebagai gerakan pembaharuan. Dalam pemikirannya, ia mengikuti Ibn Taimiyah yang

mencela tahayul dan bid’ah yang telah mencemari iman. Kemerosotan kondisi Islam

pada saat itu sangat mengganggu hati dan pikirannya. Gagasan-gagasannya meliputi

pembaharuan intelektual dan politik agama, serta unifikasi politik di bawah satu

pimpinan utama. Menurutnya bahwa pada dasarnya tidak ada pertentangan antara
Islam dengan ilmu pengetahuan. Bahkan ia menafsirkan beberapa ayat Al-Qur’an

secara rasional dan mengakui kekurangan skolastisisme Islam.1

Beberapa karyanya :

1. Ulasan (syārah) buku al-Baṣairun nasiriah,karangan al- Qāḍi Zainuddin,

tahun 1898.

1
Shihab, M. Quraish, Studi Kritis Tafsir al Manar: Karya Muhammad ‘Abduh dan
M. Rasyid Ridha, (Bandung: Pustaka Hidayat, 1994), h. 17-20.
2. Risālah at-Tauhid (dalam Bidang teologi), tahun 1897.

3. Al-Islam wa an-Nashraniyat ma’a al-‘Ilm wa al-Madaniyat tahun 1902.

4. Menerjemahkan karangan Jamaluddin al-Afghani dari bahasa Persia, Ar-

Raddu'Ala ad-Dahriyyin (bantahan terhadap orang yang tidak

mempercayai wujud tuhan).

5. Khasyiah ‘Ala Syarh ad-Diwani li al-‘Aqaid adh-‘Adhudhiyat.2

2. Muhammad Rasyid Ridha

Muhammad Rasyid Ridha lahir di Qalmûn yang terletak disisi laut Atlantik di

bukit Libanon pada 27 Jumâd al-Tsani tahun 1282 H/ 18 Oktober tahun 1865 M dan

meninggal di usia sekitar 70 tahun karena kecelakaan dalam perjalanan ke Kairo pada

malam Kamis tanggal 23 Jumadil Ula 1354 H/22 Agustus 1935 M. Dia adalah

Muhammad Rasyid Ibn Ali Ridha Ibn Muhammad Syamsuddin Ibn Muhammad

Bahāuddīn Ibn Manlâ Ali Khalifah.3

Dalam pembentukan intelektual dan keilmuan ia lebih cenderung pada materi-

materi klasik. Setelah membaca buku Hujjat al-Islam Abu Hâmid al-

Ghazali, Ihya Ulûmuddin yang membuat ia mengenal zuhud, tasawuf

serta ubudiyah dan kemudian bergabung dalam suluk “Tarekat Naqsyabandiah.” Di


tahun 1310 H/1892M terjadi perubahan yang besar dalam orientasi pemikirannya,

setelah membaca majalah Al Urwah al-Wustqa milik ayahnya yang diterbitkan di

2
Saiful Amin Ghofur, Mozaik Mufassir Al-Qur’an dari Klasik Hinga Kontemporer,
(Yogyakarta:Kaukaba, 2013), h.121. diakses dari http://hamidahikmah.blogspot.com/2016/02
bahtsul kutub-tafsir-al-manar.html.
3
Shihab, M. Quraish, Studi Kritis Tafsir al Manar: Karya Muhammad ‘Abduh dan
M. Rasyid Ridha, h. 66.
Paris (1301 H/1884 M) oleh Jamâluddin al-Afghâni (1254-1314 H/1838-1897M)

dan Muhammad Abduh (1265 1323 H/1849-1905 M).

Ia berubah dari sifat zuhud (Tarekat Naqsyabandiyah) di dunia serta perbaikan

politik dan kemasyarakatan menuju sifat keislaman yang moderat yang di pelopori

oleh al-Afghani dan muhammad Abduh yaitu saling menyeimbangkan antara jiwa

dan raga, dunia dan akhirat, antara kebebasan pribadi dan kebebasan publik, antara
kemuliaan manusia dan kepentingan umat Islam dalam tatanan mondial.

Karya-karyanya:

1. Al-Hikmah Asy-Syar’iyyah fi Muhakamati Al-Qadariyyah wa ar-

Rifa’iyyah, buku ini adalah awal kitab yang disusunnya ketika beliau

masih pelajar di Tripoli negeri Syam. Dikarenakan sebagai jawaban

terhadap kitab yang dikarang oleh Ali Abi al-Huda ash-Shayadi yang

mengemukakan Syaikh Sufi Sayyed Abdul Qadir Jailani.

2. Majalah al-Manar, yang pertama kali terbit pada tahun 1315 H/1898 M

dan akhir terbitnya itu pada edisi 35 tanggal 29 Rabiuts Tsani 1354

H/1935 M. Ditiap edisi banyak mencantumkan pendapat-pendapat beliau

dalam pembaharuan agama dan politik.


3. Tarikh al-Ustadz al-Imam Muhammad Abduh, terdiri 3 jilid.

4. Nida al-Jins al-Latif (Huqûq an-Nisâ fi al-Islâm).

5. Al-Manâr wa al-Azhar.

6. Tafsir al-Manar, terdiri 12 jilid dan beliau hanya menafsirkan 12

juz kemudian sisanya yang 5 juz di susun oleh Syaikh Muhammad Abduh.
7. Risalah fi Hujjati al-Islam al-Ghazali.4

B. Pertemuan Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha

Majalah al-Urwah al-Wusqa, yang diterbitkan oleh Jamaluddin al-Afghani

dan Muhammad Abduh di Paris, yang tersebar di seluruh dunia Islam, ikut dibaca

oleh Rasyid Ridha dan memberi pengaruh yang sangat besar pada jiwanya. Disaat

yang bersamaan Rasyid Ridha sedang memulai perjuangan di kampung halamannya


melalui pengajian dan menulis di media massa.

Kekaguman Rasyid Ridha kepada Abduh bertambah besar sejak

Abduh kembali ke Beirut untuk kedua kalinya pada 1885 dan mengajar sambil

menulis. Pertemuan antara keduanya terjadi ketika Syaikh Muhammad Abduh

berkunjung ke Tripoli untuk berkunjung ke salah seorang temannya, Syaikh Abdullah

al-Barakah, yang mengajar di sekolah al-Khanutiyah. Pada pertemuan pertama ini,

Rasyid Ridha sempat bertanya, apa kitab tafsir terbaik menurut Muhammad Abduh.

Oleh Abduh dijawab bahwa tafsir al–Kasysyaf , karya al-Zamakhsyari adalah yang

terbaik, karena ketelitian redaksinya serta segi-segi sastra bahasa yang diuraikannya.

Pertemuan kedua terjadi pada tahun 1312 H/1894 M, di Tripoli. Pertemuan ini

berlangsung sepanjang hari, sehingga mereka saling berdiskusi tentang banyak hal.
Pertemuan ketiga, di Kairo, Mesir pada tanggal 23 Rajab 1315 H/ 18 Januari 1898 M.

Sebulan setelah pertemuan ketiga ini, Rasyid Ridha mengemukakan keinginannya

untuk menerbitkan suatu surat kabar yang mengangkat masalah-masalah sosial

keagamaan dan budaya.

4
Shihab, M. Quraish, Studi Kritis Tafsir al Manar: Karya Muhammad ‘Abduh dan M.
Rasyid Ridha, h. 66-67.
Pada mulanya Abduh sempat menolak gagasan ini, karena pada saat itu di

Mesir sudah cukup banyak media massa, apalagi masalah yang akan diangkat kurang

menarik perhatian umum. Namun karena kekukuhan Rasyid Ridha, akhirnya Abduh

merestui dan memilih nama al–manar, dari sekian banyak usulan nama yang

ditawarkan oleh Rasyid Ridha.

C. Metode dan Corak Penafsiran

Secara umum sebenarnya metode yang dipakai dalam Tafsir al-Manar tidak

jauh berbeda dengan kitab-kitab tafsir yang lain yang menggunakan

metode Tahlili. Namun karena penekanannya terhadap operasionalisasi petunjuk al-

Quran dalam kehidupan umat Islam secara nyata, maka tafsir ini bisa dikatakan

berbeda dengan tafsir-tafsir sebelumnya. Metode yang dirintis oleh Muhammad

Abduh ini selanjutnya dikembangkan oleh murid-muridnya, seperti Rasyid Ridha, al-

Maraghi dan Amin Khuli.5

Muhammad Abduh dalam penafsiranya terhadap Al-Qur’an menggunakan

corak pendekatan adabi ijtima’i atau tafsir yang berorientasi pada sastra, budaya, dan

kemasyarakatan. Menurut M.Quraish Shihab ia menyatakan bahwa yang dimaksud

dengan tafsir bercorak adabi ijtima’i ialah tafsir yang menitikberatkan penjelasan
ayat-ayat Al-Qur’an pada segi ketelitian redaksi Al-Qur’an kemudian menyusun

kandungan ayat-ayat tersebut dalam suatu redaksi yang indah dengan menonjolkan

tujuan dari diturunkannya Al-Qur’an, yakni sebagai petunjuk dalam kehidupan, lalu

menggandengkan pengertian ayat-ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang

5
Saifullah, Nuansa Inklusif dalam Tafsir al-Manār (T.t: Badan Litbang & Diklat
Kementrian agama RI, 2012), h. 38-41.
berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia tanpa menggunakan istilah-istilah

disiplin ilmu kecuali dalam batas-batas yang sangat dibutuhkan.6

D. Ciri-Ciri Penafsiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha

1. Cara penafsiran al-Qur’an yang ditempuh Muhammad Abduh didasarkan pada

Sembilan prinsip, yaitu;

a. Bahwa ayat-ayat dalam suatu surah merupakan satu kesatuan yang serasi
dan harmonis.

b. Al-Qur’an bersifat universal dan komprehensif.

c. Al-Qur’an sebagai sumber hukum yang pertama.

d. Perang terhadap taqlid

e. Penggunaan daya pikir dan nalar serta metode ilmiah.

f. Penempatan akal sebagai pegangan dan penentu dalam memahami al-

Qur’an.

g. Menghindari pengupasan teribnci terhadap ayat-ayat mubham.

h. Bersikap sangat ketat dalam menerima tafsir bi al-ma’tsur dan

menghindari dengan sangat riwayat isra’iliyat.

i. Penekanan yang kuat pada pengaturan kehidupan sosial atas dasar hidayah
al-Qur’an.7

2. Cara penafsiran yang ditempuh Rasyid Ridha didasarkan pada prinsip berikut;

a. Tahqiq ‘Ilmiy.

Shihab, M. Quraish, Studi Kritis Tafsir al Manar: Karya Muhammad ‘Abduh dan M.
6

Rasyid Ridha, h. 70-92.


7
Malik Madani, Tafsir al-Manār (antara al-Syekh Muhammad abduh dan al-Syayyid
Muhammad Rasyid Ridho), (Perpustakaan digital UIN Sunan Kalijaga; Yogyakarta, 2008), h.
67.
b. Pengaruh Ibn. Katsir.

c. Pengaruh al-Ghazali.

d. Kupasannya yang sangat luas dan panjang lebar.

e. Penjelasannya tentang hukum-hukum sosiologi dan perkembangan historis

yang berhasil diangkat dari ayat-ayat al-Qur’an.8

Selain beberapa poin tersebut, pada dasarnya Muhammad Rasyid Ridha


mengikuti metode dan ciri-ciri pokok yang digunakan oleh gurunya, Muhammad

Abduh. Adapun poin-poin yang sama dengan metode gurunya yaitu:

1. Memandang setiap surah sebagai satu kesatuan ayat-ayat yang serasi.

2. Ayat Al-Qur’an bersifat umum.

3. Al-Quran adalah sumber Aqidah dan Hukum.

4. Penggunaan akal secara luas dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an.

5. Bersikap hati-hati terhadap hadits Nabi saw.

6. Bersikap hati-hati terhadap pendapat sahabat.9

E. Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Al-Manār

Didalam literatur yang penulis baca belum ada yang membahas tentang

kelemahan dan kelebihan tafsir al-Manar. Akan tetapi dalam makalah ini pemakalah
akan sedikit menjelasan kelebihan dan kekurangan tafsir al-Manar sesuai dengan

pemahaman dari beberapa lieteratur yang ada.

8
Malik Madani, Tafsir al-Manār (antara al-Syekh Muhammad abduh dan al-Syayyid
Muhammad Rasyid Ridho), (Perpustakaan digital UIN Sunan Kalijaga; Yogyakarta, 2008), h.
74.
9
Shihab, M. Quraish, Studi Kritis Tafsir al Manar: Karya Muhammad ‘Abduh dan
M. Rasyid Ridha, h. 71-89.
Ada beberapa kelebihan didalam tafsir al-Manar karya Muhammad Abduh

dan Rasyid Ridha yaitu :

1. Dalam menafsirkan sesuai dengan pemahaman akal secara luas

2. Orang awam maupun intelektual mudah memahami penafsiranya

3. Dalam menafsirkan ayat yang sekiranya aneh, dijelaskan dengan teori-teori

ilmiah dan mudah dipahami oleh orang awam


4. Penafsiranya menyesuaikan kehidupan masa kini

Adapun kekurangan kekurangan didalam tafsir al-Manār Adalah Rasyid

Ridha terlalu memperluas jangkauan penafsiran ilmiyah, sehingga terkadang

dirasakan adanya usaha untuk membenar-benarkan suatu teori ilmiyah sekaipun yang

belum mapan, dengan ayat-ayat al-Qur’an.

Dari keterangan diatas dapat diketahui sedikit tentang kelemahan dan

kelebihan tafsir al-Manar, yang jelas setiap karya tafsir pasti ada kelebihan dan

kekuranganya dikarenakan adanya perbedaan-perbedaan pemahaman dan latar

belakang orang yang menafsirkan al-Qur’an.10

F. Kajian Naskah Tafsir al-Manār (QS. Al-Baqarah ayat 62)

‫صابِئِينَ َم ْن‬ َّ ‫ارى َوال‬ َ ‫ص‬َ َّ‫إِ َّن الَّذِينَ آ َمنُوا َوالَّذِينَ هَادُوا َوالن‬
‫صا ِل ًحا فَلَ ُه ْم أَ ْج ُر ُه ْم ِع ْن َد‬
َ ‫ع ِم َل‬ َ ‫اَّلل َو ْال َي ْو ِم ْاْل ِخ ِر َو‬
ِ َّ ‫آ َمنَ ِب‬
َ‫علَ ْي ِه ْم َو ََل ُه ْم َي ْحزَ نُون‬ ٌ ‫َر ِب ِه ْم َو ََل خ َْو‬
َ ‫ف‬
Terjemahnya:

10
https://aatshoem.blogspot.com/2014/01/mengenal-tafsir-al-quran-modern-al.html.
‫‪“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang‬‬
‫‪Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar‬‬
‫‪beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan‬‬
‫‪menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka,‬‬
‫‪dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah/ 2: 62).‬‬

‫‪Penjelasan Tafsir:‬‬

‫هذا هو اإليمان المرضي عند هللا ‪ -‬تعالى ‪ -‬الذي يكون أصال‬


‫لتهذيب أخالق صاحبه‪ ،‬ومصدرا لألعمال الحسنة عنه‪.‬‬
‫ولإليمان إطالق آخر وهو التصديق بالدين في الجملة‪ ،‬أي‬
‫اإليمان باهلل‪ ،‬وبأن ما جاء به فالن النبي مثال هو صحيح‬
‫غير مكذوب على هللا ‪ -‬تعالى ‪ -‬ويدخل فيه أهل الفرق‬
‫الضالة من كل دين من األديان السماوية‪ ،‬فهو إطالق صحيح‬
‫لغة وعرفا كما تقدم في تفسير قوله ‪ -‬تعالى ‪( :-‬ومن الناس‬
‫من يقول آمنا باهلل وباليوم اْلخر وما هم بمؤمنين) أي إنهم‬
‫يصدقون بأن للعالم إلها‪ ،‬وبأن بعد الموت بعثا‪ ،‬ولكن هذا‬
‫اإليمان ليس مطابقا في تفصيله لإلذعان الذي له السلطان‬
‫األعلى على النفوس في تزكيتها وتهذيبها وحملها على‬
‫األعمال الصالحة‪ ،‬وهذا اإلطالق هو الذي عناه األستاذ‬
‫اإلمام بقوله‪َ :‬ل أثر له في رضا هللا وَل غضبه‪ . . .‬إلخ‪ ،‬وهو‬
‫كون الدين جنسية لمن ينتسب إليه‪ ،‬فقوله ‪ -‬تعالى ‪( :-‬إن‬
‫الذين آمنوا) مراد به المسلمون الذين اتبعوا محمدا ‪ -‬صلى‬
‫هللا عليه وسلم ‪ -‬والذين سيتبعونه إلى يوم القيامة‪ ،‬وكانوا‬
‫يسمون المؤمنين والذين آمنوا‪.‬‬
‫وقوله‪( :‬والذين هادوا والنصارى والصابئين) يراد به هذه‬
‫الفرق من الناس التي عرفت بهذه األسماء أو األلقاب من‬
‫الذين اتبعوا األنبياء السابقين‪ ،‬وأطلق على بعضهم لفظ يهود‬
‫والذين هادوا‪ ،‬وعلى بعضهم لفظ النصارى‪ ،‬وعلى بعضهم‬
‫لفظ الصابئين (من آمن باهلل واليوم واْلخر وعمل صالحا)‬
‫هذا بدل مما قبله؛‬
‫أي من آمن منهم باهلل إيمانا صحيحا ‪ -‬وتقدم شرحه ووصفه‬
‫آنفا ‪ -‬وآمن باليوم اْلخر كذلك‪ ،‬وقد تقدم تفسيرهما في أوائل‬
‫السورة‪ ،‬وعمل عمال صالحا تصلح به نفسه وشئونه مع من‬
‫يعيش معه‪ ،‬وما العمل الصالح بمجهول في عرف هؤَلء‬
‫األقوام‪ ،‬وقد بينته كتبهم أتم بيان‪( ،‬فلهم أجرهم عند ربهم وَل‬
‫خوف عليهم وَل هم يحزنون) أي إن حكم هللا العادل‪ ،‬سواء‬
‫وهو يعاملهم بسنة واحدة َل يحابي فيها فريقا ويظلم فريقا‪.‬‬
‫وحكم هذه السنة أن لهم أجرهم المعلوم بوعد هللا لهم على‬
‫لسان رسولهم‪ ،‬وَل خوف عليهم من عذاب هللا يوم يخاف‬
‫الكفار والفجار مما يستقبلهم‪ ،‬وَل هم يحزنون على شيء‬
‫فاتهم‪ .‬وتقدم هذا التعبير في اْلية مع تفسيره‪.‬‬
‫فاْلية بيان لسنة هللا ‪ -‬تعالى ‪ -‬في معاملة األمم‪ ،‬تقدمت أو‬
‫تأخرت‪ ،‬فهو على حد قوله ‪ -‬تعالى ‪( :-‬ليس بأمانيكم وَل‬
‫أماني أهل الكتاب من يعمل سوءا يجز به وَل يجد له من‬
‫دون هللا وليا وَل نصيرا ومن يعمل من الصالحات من ذكر‬
‫أو أنثى وهو مؤمن فأولئك يدخلون الجنة وَل يظلمون نقيرا)‬
‫(‪ )124 - 133 :4‬فظهر بذلك أنه َل إشكال في حمل من‬
‫آمن باهلل واليوم اْلخر‪ . . .‬إلخ على قوله‪( :‬إن الذين آمنوا) ‪.‬‬
‫ صلى‬- ‫ وَل إشكال في عدم اشتراط اإليمان بالنبي‬،‫ إلخ‬. .
‫ لكل‬- ‫ تعالى‬- ‫هللا عليه وسلم؛ ألن الكالم في معاملة هللا‬
11
‫الفرق أو األمم المؤمنة بنبي ووحي بخصوصها؛‬
Latar belakang historis turunnya ayat ini berkaitan dengan kegelisahan salah

seorang sahabat yang sebelumnya beragama Nasrani, Salman al-Fārisy, mengingat

nasib kawan-kawannya yang ia pandang sebagai orang-oarang yang tekun beribadah

namun tidak berkesempatan masuk Islam seperti dirinya. Ketika hal tersebut

ditanyakan kepada nabi Saw., dia mendapat jawaban yang membuatnya semakin

gelisah. Namun, kegelisahan itu lenyap ketika turun ayat ini.12

Sementara itu, konteks kronologi dalam mushaf, ayat itu terletak sesudah ayat

membicarakan tentang kejatuhan kehormatan komunitas Yahudi dan kemarahan

Tuhan kepda mereka disebabkan oleh pelanggaran norma yang mereka lakukan,

seperti yang dijelaskan pada ayat ke 61-nya.

Meski konteks ayat tersebut adalah komunitas Yahudi, namun keberlakuannya

dapat digeneralisir mencakup komunitas agama manapun ketika mereka berkelakuan

seperti komunitas Yahudi. Bentuk keserasian ayat yang sedang diteliti dengan ayat itu

dapat dijelaskan dengan ungkapan bahwa surah al-Baqarah ayat 62 merupakan

11
Muhammad Rasyid bin Aly Ridha bin Muhammad Syamsuddin bin Muhammad
bahauddin, Tafsir al-Qur’an al-Hakim, Jild.1, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiah, 1990), h.
278-280.
12
Jalaluddin Asy-Suyuti, Lubāb an-Nuqūl fi Asbab al-Nuzūl, Hasyiah dari Tafsir al-
Qur’an al-Hākim (Beirut: Dār al-Fikr, 1981), h. 12., Lihat pula; Saifullah, Nuansa Inklusif
dalam Tafsir al-Manār (T.t: Badan Litbang & Diklat Kementrian agama RI, 2012), h. 121.
rincian “kelompok yang selamat” dari setiap komunitas agama, sebagai penegcyalian

dari kelompokyang dimurkai Tuhan.13

Menurut Muhammad Abduh, siapapun yang melakukan pelanggarannorma

akan mendapatkan balasan dari Tuhan, karena murka-Nya tidak ditimpakan pada

suatu komunitas tertentu atas dasar etnis (seperti Bani Isra’il), melainkan karena

pelanggaran norma yang dilakukan. Afiliasi seseorang kepada suku atau agama
tertentu tidak ada kaitannya baik dengan ridha dan murka Tuhan maupun dengan

kejayaan dan kejatuhan suatu bangsa. Dasar kejayaan dunia dan akhirat terletak pada

iman yang benar kepada Allah.14 Demikian pandangan yang disampaikan dalam tafsir

al-Manārnya.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

13
Muhammad Rasyid bin Aly Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakim,h. 273.
14
Muhammad Rasyid bin Aly Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakim,h. 274.
Corak penafsiran dalam tafsir Al-Manar ialah penafsiran dengan

pendekatan adabi ijtima’i atau tafsir yang berorientasi pada sastra, budaya, dan

kemasyarakatan.

✓ Ciri-ciri penafsiran Muhammad Abduh:

❖ Memandang setiap surah sebagai satu kesatuan ayat-ayat yang serasi.

❖ Ayat al-Qur’an bersifat umum


❖ Al-Qur’an adalah sumber Aqidah dan Hukum

❖ Penggunaan akal yang luas dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an

❖ Menentang dan memberantas taqlid

❖ Tidak merinci persoalan-persoalan yang disinggung secara mubham

(tidak jelas) atau sepintas lalu oleh al-Qur’an.

❖ Sangat kritis dalam menerima hadis-hadis Nabi Saw

❖ Sangat kritis terhadap pendapat-pendapat sahabat dan menolak Israiliyat.

❖ Mengaitkan penafsiran al-Quran dengan kehidupan sosial

✓ Ciri-ciri penafsiran Rasyid Ridha:

❖ Menganggap satu surah sebagai satu kesatuan ayat-ayat yang serasi

❖ Ayat-ayat al-Qur’an bersifat umum


❖ Al-Qur’an adalah sumber akidah dan hokum

❖ Bersikap hati-hati terhadap hadis Nabi Saw

❖ Bersikap hati-hati terhadap pendapat sahabat

✓ Perbedaan-Perbedaan Antara Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha:

• Keluasan pembahasan tentang ayat-ayat yang ditafsirkan dengan hadis-

hadis Nabi Saw.

• Keluasan pembahasan tentang penafsiran ayat dengan ayat yang lain.


• Penyisipan pembahasan-pembahasan yang luas menyangkut permasalahan

yang dibutuhkan masyarakat.

• Keluasan Pembahasan Tentang Arti mufradat (Kosakata), Susunan redaksi.

B. Saran

Penyusun menyadari dalam makalah ini sangat banyak terdapat kekurangan,

olehnya itu, sangat diharapkan masukan, saran-saran yang bersifat membangun untuk
memperbaiki penyusunan makalah selanjutnya.

Anda mungkin juga menyukai