Anda di halaman 1dari 10

JUDUL ARTIKEL : BIOGRAFI NASR HAMID ABU ZAYD

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di dunia Arab, salah satu tokoh penting yang gigih membela relativitas
tafsir adalah Nasr Hamid Abu Zaid, dengan pemikiran dekonstruktifnya terhadap
konsep wahyu dan metodologi barunya Dalam menafsirkan al-Qur’an. Dengan
wacana “pembaruan”-nya ini Ia cukup dikenal di kalangan akademisi studi Islam
di Indonesia, di samping Mohammed Arkoun, Mohammed Syahrur, ‘Abid al-
Jabiri Dan para pemikir liberal lainnya. Ia dijadikan sebagai rujukan penting,
pemikiran-pemikirannya dipuja nyaris tanpa kritik, meski di negara Asalnya ia
dicap murtad. Nasr Hamid mencoba membongkar keyakinan umat Islam yang
Selama ini telah mapan. Ia berusaha menghilangkan sakralitas al-Qur’an dengan
menganggapnya sebagai produk budaya. Menurutnya al-Qur’an hanyalah respons
spontan terhadap kondisi masyarakat ketika ia turun sehingga sifatnya
kontekstual.

Oleh karenanya, penafsirannya pun harus melalui pendekatan konteks,


bahkan tanpa perlu mempedulikan teks, karena pemahamannya selalu berubah
dan berkembang dari masa ke masa sesuai dinamika zaman. Penafsirannya pun
diserahkan kepada siapa saja dengan latar belakang apa saja, serta sesuai
kecenderungan dan kebutuhan zamannya. Akhirnya, penafsiran terhadap teks-teks
keagamaan menjadi relatif seluruhnya, tergantung siapa yang menafsirkan.
Akibatnya, tafsir-tafsir ulama, hukum-hukum syariat, konsep-konsep nilai, bahkan
bangunan keilmuan Islam dapat didekonstruksi seluruhnya, karena semua itu
relatif dan bisa berubah
BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi Nasr Hamid Abu Zaid

Nashr Hamid Abu Zayd lahir pada tanggal 10 Juli 1943 di Quhafa propinsi
Tanta Mesir Bagian Barat. Saat berusia 8 tahun dia telah menghafal 30 juz. Abu
Zayd menjalani sistem sekolah agama tradisional dan merupakan Qari yang bisa
membaca Al-Qur'an dengan aturan bacaan yang tepat, dan seorang Hafiz yang
telah menghafal Quran sepenuhnya sejak usia muda.

Pendidikan tingginya mulai S1, S2 dan S3 dalam jurusan Bahasa dan


Sastra Arab di selesaikannya di Universitas Kairo dengan predikat Highest
Honous. Nasr Hamid Pernah tinggal di Amerika selama 2 tahun (1978-1980), saat
memperoleh beasiswa untuk penelitian doktoralnya di Institut of Midlle Eastern
Studies University of Pensylivania Philadelphia USA.

Setelah karya-karyanya dinilai kurang bermutu bahkan dinyatakan


menyimpang dan merusak karena isinya melecehkan ajaran Islam, menghujat
Rasulullah, menodai al-Qur’an dan menghina para ulama salaf, ia dan istrinya
pergi meninggalkan Mesir dan berdomisili di Belanda hingga sekarang. Di
Belanda ia diangkat sebagai professor di bidang Bahasa Arab dan studi Islam dari
Lieden University Kuno yang didirikan sejak tahun 1575 di Amsterdam Selatan.

B. Karya-karya Nasr Hamid Abu Zaid

Buku-buku Nashr Hamid Abu Zaid banyak menaruh perhatian pada aspek
“teks” (nass), sehingga ia mengatakan bahwa peradaban Arab Islam adalah
‘peradaban teks’ (hadharah al-nass). Maka, ia banyak menulis buku-buku yang
mengupas persoalan teks, seperti Mafhum al-Nas, Dirasah fi Ulum al-Quran,
Naqd al-Khitab al-Din. Karya-karya beliau antara lain:

1. Al-Ittijah al-Aqli fi Tafsir,

2. Falsafat al-Ta’wil,
3. Iskaliyat al-Qiraah wa Aliyyat at-Ta’wil, Al-Imam Al-Shafi’i wa ta’sis
Aydiyulujiyyah al-Wasatiyah,

4. Al-Mar’ah fi Khitab al-Azmah

Nasr Hamid juga pernah mendapatkan beberapa penghargaan dan gelar


penghormatan, di antaranya; 1975-1977 dari Ford Foundation Fellowship at the
American University in Cairo, tahun 1985-1989: Visiting Profesor, Osaka
University of Foreign Studies Japan dan tahun 2002-2003; Fellow at the
Wissenschatten College in Berlin.

C. Teori al-Quran Nasr Hamid: Al-Quran adalah Produk Budaya

Dalam menerapkan teori hermeuneutika dalam mengkaji al-Quran, Nasr


Hamid menggunakan metode analisis teks bahasa sastra (nahj tahlil al-nusus al-
lughawiyyah al-adabiyyah) atau Metodologi kritik sastra (literary criticism)[2].
Dalam pandangannya metode tersebut merupakan satu-satunya metode untuk
mengkaji Islam, Nasr Hamid menyatakan: “Oleh sebab itu, metode analisis bahasa
merupakan satu-satunya metode manusiawi yang mungkin untuk mengkaji pesan
(risalah), dan berarti memahami Islam.”

Dengan Metode kritik ini Nasr Hamid berpendapat bahwa al-Quran


walaupun ia merupakan kalam ilahi, namun al-Quran menggunakan bahasa
manusia. Karena itu al-Quran tidak lebih dari teks-teks karangan manusia. Nasr
Hamid mulai mengenal teori-teori hermeneutika ketika berada di Universitas
Pennsylvania, Philadelphia pada tahun 1978-1980.

Dalam artikelnya di harian Republika (30/9/2004) Dr. Syamsudin Arif


mencatat, bahwa Nasr Hamid memang terpesona dengan hermeuneutika,
sebagaimana ia ungkap dalam biografinya yang ia beri judul Voice of an Exile:
Reflections on Islam. Dalam bukunya tersebut Abu Zaid mengakui bahwa
hermeneutika telah membuka cakrawala dunia baru kepadanya. Ia menyatakan:
“ I did a lot of reading on my own, especially in the fields of philosophy
and hermeneutics. Hermeneutics, the science of interpreting texts, opened up a
brand new world for me. “

Artinya: “Aku banyak membaca sendiri, khususnya di dalam bidang


filsafat dan hermeneutika. Hermeneutika, ilmu menafsirkan teks-teks, telah
membuka cakrawala dunia baru kepadaku.”

Mengomentari pemikiran Nasr Hamid tersebut, Dr. Syamsudin Arif


mengatakan: “Orang macam Abu Zaid ini cukup banyak. Ia jatuh ke dalam lubang
rasionalisme yang digalinya sendiri. Ia seperti istri Aladin, menukar lampu lama
dengan lampu baru yang dijajakan oleh si tukang sihir”.

Setelah kembali dari Amerika, Nasr Hamid menyelesaikan disertasi


Doktornya pada tahun 1980 dengan judul: Falsafah al-Ta’wil: Dirasah fi Ta’wil
AI-Qur’an `inda Muhy al-Din ibn `Arabi (Filsafat Hermeneutika: Studi Terhadap
Hermenutika Al-Qur’an menurut Ibn Arabi). Ia mengklaim bahwa dirinyalah yang
pertama kali menulis tentang hermeneutika di dalam bahasa Arab dengan
tulisannya al-Hirminiyutiga wa Mu’dilat Tafsir al-Nas (Hermeneutika dan
Problema Penafsiran Teks) pada tahun 1981. Di dalam karya tersebut, Nasr Hamid
memaparkan secara ringkas berbagai teori penafsiran yang telah dilakukan oleh
Schleiermacher, Wilhelm Dilthey, Martin Heidegger, Emilio Betti, Hans Georg
Gadamer, Paul Ricoeur, dan Eric D. Hirsch.

Setelah akrab dengan literatur hermeuneutika Barat, Nasr Hamid


kemudian membahas mengenai hakikat teks, yang merupakan persoalan mendasar
dalam hermeuneutika, di antara masalah yang ia dengungkan adalah anggapannya
bahwa teks-teks agama adalah teks-teks bahasa yang bentuknya sama dengan
teks-teks yang lain di dalam budaya atau konsep al-Quran sebagai produk budaya
(Muntaj Tsaqafi) dan memposisikan Nabi Muhammad ` sebagai “pengarang al-
Quran”.
Untuk menerapkan konsep Muntaj Tsaqafi-nya, Nasr Hamid
mendekonstruksi konsep al-Quran yang telah disepakati oleh umat Islam selama
berbad-abad; yaitu konsep bahwa al-Quran adalah ‘kalamullah’ yang lafadz dan
maknanya dari Allah Subhanahu Wata’ala. Namun, kajian Nasr Hamid tersebut
lebih mirip kepada Biblical Critism (kritik teks Bible) yang telah berkembang
dalam tradisi Kristen, dari pada konsep kemakhlukan al-Quran-nya Muktazilah,
Kaum Mu’tazilah memposisikan Al Qur’an sebagai kalam Allah Subhanahu
Wata’ala meskipun kalam Allah Subhanahu Wata’ala itu di anggap sebagai
makhluq yang diciptakan oleh Allah Subhanahu Wata’ala sebagaimana Allah
Subhanahu Wata’ala menciptakan makhluq lain.

Jadi kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa Al Qur’an itu adalah tidak


Qadim. Tapi Mu’tazilah sama sekali tidak berpendapat bahwa Al Qur’an adalah
karya Muhammad sebagai produk budaya dan harapan orang-orang yang ada di
sekitarnya seperti yang di kemukakan oleh Nasr Hamid Abu Zayd. Maka salah
jika ada yang berpendapat bahwa pemikiran Nasr Hamid berasal dari tradisi
Islam.

Dalam tradisi Kristen, studi tentang Kritik Bible dan kritik teks Bible
memang telah berkembang pesat. Dr. Ernest C. Colwell, dari School of Theology
Claremont, misalnya, selama 30 tahun menekuni studi ini dan menulis satu buku
berjudul “Studies in Methodology in Textual Critism on the new Testament”.
Reginald H. Fuller, dalam bukunya yang berjudul A Critical Introduction to the
New Testament, menulis; “Itulah mengapa jika kita hendak memahami apa yang
dimaksud teks-teks Perjamjian Baru sesuai maksud para penulisnya ketika
pertama kali ditulis, kita harus terlebih dahulu memahami situasi historis pada saat
ia ditulis pertama kali”.

Setelah itu, kalangan pemuka dan cendekiawan Kristen mulai


mengarahkan studi mereka terhadap al-Quran, sehingga mereka menempatkan
posisi al-Quran sama dengan posisi Bible. Studi Biblical Critism terhadap al-
Quran ini mulai muncul sejak abad ke-19.
D. Sifat Nasr Hamid yang Patut diteladani

Adapun sikap yang patut kita teladani dari sosok Nasr Hamid adalah
pemikirannya yang kritis, dan berani menolak karena berprinsip dan memiliki
sebab patokan sumber pemikiran. Hal itu dapat dilihat dari, para pendahulunya
mayoritas lebih cendrung mengekor atau taqlīd dengan pemikiran yang sudah ada,
tapi justru Nasr Hamid Abu Zayd beliau lebih memilih untuk mengkritisi
pemikiran- pemikiranya. Bahkan lebih jauh lagi Ia bukan sekedar mengkritisi,
tetapi tidak segan-segan untuk menolaknya.

Sikap kritis Abu Zaid diwujudkan dengan menggiring, ‘‘ulūm al-Qur’ān


sebagaii objek kajiannya menuju taraf ilmiah rasional. Karena kajian ini masih
dianggap jalan di tempat, yakni masih berada pada wilayah teologis-mitologis.
Sehingga belum ada upaya-upaya untuk menuju ke taraf yang lebih tinggi, yaitu
taraf ilmiah-rasional.

E. Akhir Hayat Nasr Hamid

Pada Senin pagi 5 Juli 2010 tepatnya pada pukul 09.00, Nashr Hamid Abu
Zaid menghembuskan nafasnya yang terakhir di rumah sakit spesialis As Syeikh
Zaid, wilayah 6 Oktober, Kairo, sebagaimana dilansir situs Al Ahram. Sedangkan
situs Masrawy menyebutkan bahwa Nasr Hamid meninggal pada umur 67 tahun,
setelah diserang virus tak dikenal, pascakunjungannya beberapa minggu
sebelumnya ke Indonesia.

Sebagaimana diketahui, Nashr Hamid merupakan seorang tokoh Mesir


yang kerap mengungkapkan pendapat kontroversial, khususnya mengenai agama
Islam. Sebab itulah, laki-laki yang lahir tahun 1943 ini pernah divonis murtad oleh
pengadilan Mesir dan dipisahkan dengan istrinya.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Biografi singkat Nashr Hamid Abu Zayd :

Nashr Hamid Abu Zayd (1943–2010) adalah intelektual Muslim Mesir


terkenal karena kontribusinya di bidang studi Al-Qur'an dan tafsir. Ia menjadi
profesor di Universitas Kairo dan dikenal karena pendekatannya yang kritis
terhadap tafsir tradisional Al-Qur'an. Pada 1995, terlibat kontroversi di Mesir dan
dianggap murtad, memaksa hidup dalam pengasingan. Karya-karyanya, seperti
"Mafhum al-Nass" dan "al-Nass wa al-Ijtihad," membahas pemahaman Al-Qur'an.
Abu Zayd meninggal pada 5 Juli 2010, tetapi pemikirannya terus memengaruhi
diskusi di dunia Islam.

2. Karya-karya Nashr Abu Zayd :

a. Al-Ittijah al-Aqli fi Tafsir,

b. Falsafat al-Ta’wil,

c. Iskaliyat al-Qiraah wa Aliyyat at-Ta’wil, Al-Imam Al-Shafi’i wa ta’sis


Aydiyulujiyyah al-Wasatiyah,

d. Al-Mar’ah fi Khitab al-Azmah

3. Sifat Nashr Hamid Abu Zayd yang harus diteladani :

a. Kritis dan Analitis: Abu Zayd menonjol sebagai pemikir yang kritis dan
analitis, terutama dalam mendekati teks-teks keagamaan. Pendekatannya
yang mendalam terhadap tafsir menunjukkan ketajaman analisisnya.

b. Ketekunan dan Dedikasi: Dedikasinya terhadap studi dan pemahaman Al-


Qur'an tercermin dalam banyaknya karya yang ia hasilkan. Ketekunannya
membantu membentuk kontribusi signifikan dalam literatur keislaman.
c. Pemberani dalam Pemikiran: Abu Zayd tidak ragu-ragu untuk mengajukan
pandangan kontroversial dan pemberani dalam merinci kritiknya terhadap
interpretasi tradisional. Ini menunjukkan keberaniannya untuk
menyampaikan ide-ide yang mungkin dianggap provokatif.

d. International Recognition: Penghargaan dan gelar yang diterimanya dari


berbagai lembaga internasional menunjukkan pengakuan atas kualitas
intelektualnya dan kemampuannya untuk berkontribusi pada dialog lintas
budaya.

e. Tanggung Jawab Intelektual: Abu Zayd membuktikan tanggung jawab


intelektualnya melalui karyanya yang mendalam dan pemikirannya yang
mendalam. Dia tidak hanya mengajukan pertanyaan kritis tetapi juga
memberikan kontribusi konstruktif dalam memahami teks keagamaan.
DAFTAR PUSTAKA

Henri Shalhuddin, al-Quran dihujat, (Jakarta: al-Qalam, 2007), cet. Ke2, hal.9,

Busriyanti, (2023) “Diskursus Gender dalam pandangan Nasr Hamid Abu Zayd”,
Diakses pada 19 November 2023. Dari: http://ejournal.iain-jember.ac.id

Kermani, Navid (2004). "From revelation to interpretation: Nasr Hamid Abu Zayd
and the Literary study of the Qur'an". Dalam Taji-Farouki, Suha. Modern Muslim
Intellectuals and the Qur'an (PDF). Oxford University Press. hlm. 169–192.

Miftah dan irma riyani. (2018) Wahyu dalam pandangan Nasr Hamid Abu Zayd.
Journal studi Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati
Bandung. Vol 3. No 1. Diakses pada 19 November 2023. Dari:

https://journal.uinsgd.ac.id/index.php/Al-Bayan/article/view/3127

Hidayatullah, Terjangkit Virus anehx Nashr Hamid Abu Zayd Tutup Usia.(2010)
Diakses pada 19 November 2023. Dari:

https://hidayatullah.com/berita/internasional/2010/07/06/44063/terjangkit-virus-
aneh-nashr-hamid-abu-zaid-tutup-usia.html

Anda mungkin juga menyukai