Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENSAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-quran dan Hadis Nabi saw. merupakan sumber hukum yang utama dalam islam. Al-quran
merupakan rujukan yang diutamakan dari pada Hadis. Hadis berfungsi sebagai bayan bagi Alquran,
seperti bayan al - Taqrir , bayan al - Tafsir dan bayan al - Tasyri’ . Sehingga kehadiran hadis sangat
diperlukan dalam mengkaji Al-quran selaku sumber hukum islam yang pertama.

Dalam perkembangannya, hadis menjadi sebuah ilmu yang bernilai ilmiah ditandai dengan
terlahirnya berbagai sarjana hadis dengan produk-produk hadis mereka, serta disusunnya metodologi
keilmuan hadis oleh para sarjana hadis baik di masa klasik, Pertengahan ataupun Modern-Kontemporer.

Pada masa modern-kontemporer tak hanya diisi oleh sarjana-sarjana hadis muslim, tetapi juga
diisi para sarjana orientalis yang menggeluti bidang bidang keislaman, seperti halnya orientalis yang
berfokus pada keilmuan hadis. Muncul beberapa nama orientalis tersebut, salah satunya Joseph Schacht
yang mengkritik Tradisi Hadis.

Pembahasan makalah ini berfokus pada bagaimana Joseph Schacht menggagas kritiknya terhadap
tradisi hadis Islam.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana biografi Joseph Schacht?


2. Bagaimana pemikiran atau Pandangan dan kritik Terhadap Joseph Schacht?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah in bekisar pada dua aspek, pertama, tujuan sebagai pemenuhan tugas
kelompok pada matakuliah Orientalis Hadis mengenai Kajian tokoh orientalis. Dan kedua, penulisan
makalah bertujuan melengkapi khazanah keilmuan hadis sebagai rujukan tambahan pada kepentingan
akademisi terkait kajian tokoh orientalis.
BAB II

PEMBAHAS
2.1. Biografi Joseph Schacht

Joseph Schacht merupakan seorang tokoh orientalis yang berpengaruh, kelahiran


Rottburg,Jerman, pada tanggal 15 Maret 1902 M. Schacht berasal dari keluarga yang cukup agamis.
Ayahnya, Edwart Schacht, adalah seorang penganut agama Kristen Katolik dan guru Sekolah, sedangkan
ibunya bernama Maria Mahor. Sikap agamis dan pendidikan yang menjadi tradisi dalam keluarganya
telah memberinya kesempatan untuk akrab dengan agama Kristen dan bahasa Hebrew (Yunani Kuno). 1

Selain belajar bahasa Yunani Kuno kepada seorang pendeta, Schacht juga belajar bahasa Latin,
Prancis dan Inggris di Humanistiches Gymnasium. Dengan demikian, Schacht tumbuh dan berkembang
dalam keluarga yang menghargai nilai-nilai agama dan ilmu, termasuk bahasa, sehingga tidak
mengherankan apabila ia begitu tertarik menggeluti ilmu keagamaan dan halhal yang berkaitan
dengannya.

Joseph Schacht memulai studinya dengan mendalami ilmu filologi klasik, teologi, dan bahasa-
bahasa Timur di dua Universitas yang berbeda, Breslauw dan Leipzig pada tahun 1920. Kajian-kajiannya
mengenai dunia timur di mulai ketika di kedua universitas ini, yang kemudian mengantarkannya
mendalami kajian keislaman. Khususnya yang berkaitan dengan sejarah pembentukan Hadis dan Hukum
Islam.

Pada tahun 1922, dia memenangkan lomba menulis esai tentang perjanjian lama. Dan dia
mendapatkan gelar pertama kali dengan predikatsumma cum laude dari Universitas Breslauw pada akhir
tahun 1923. Dua tahun kemudian dia ditunjuk sebagai asisten profesor dan pada tahun 1929 dia ditunjuk
sebagai profesor dalam bidang bahasa Timur. Saat itu dia baru berumur 27 Tahun. Kemudian pada tahun
1932 dia ditawari jabatan yang sama di Universitas Konigsberg, akan tetapi itu hanya berjalan sebentar,
sebab kondisi perpolitikan Jerman yang sedang tidak stabil.

Antara 1926-1933, Schacht serig melakukan perjalanan ke Timur Tengah dan Afrika Utara, dan
pada 1934 ia mengajar sebagai visiting professor di Universitas Mesir (sekarang Universitas Kairo).
Dengan demikian sejak usia 24 tahun, Schacht sudah mengenal dan bersentuhan dengan dunia silam
Timur Tengah tidak hanya sebagai peneliti dan pengkaji ilmu-ilmu keislaman tetapi sebagai pengajar di
Universitas al-Azhar. Hal ini mempertegas bahwa ketika meneliti Hadis dan Hukum Islam. Ia tidak hanya
berdasarkan literaturliteratur yang ada di Barat tetapi juga yang ada di Timur Tengah saat itu.

Ketika perang Dunia II meletus, Joseph Schacht meninggalkan Kairo dan pindah ke Inggris untuk
kemudian bekerja di Radio BBC London. Meskipun Schacht seorang warga negara berkebangsaan
Jerman, ketika perang dunia ke II ia berada di pihak Inggris. Setelah peperangan usai, ia tidak langsung
pulang ke Jerman tetapi ia tinggal di Inggris dan menikahi wanita Inggris. Bahkan pada tahun 1947, ia
menjadi warga Negara berkebangsaan Inggris. Kecintaannya pada Inggris menyebabkan Schacht

1
Wahyudin Darmalaksana, Hadis Di Mata Orientalis (Telaah Pandangan Ignaz Goldziher Dan Joseph Schacht).
(Bandung: Benang Merah Press, 2004). Hal. 46
meninggalkan sebagai warga Jerman di mana ia di lahirkan dan pindah menjadi warga Negara Inggris,
menikah, belajar lagi dan bekerja di Inggris.

Meskipun telah menyandang gelar profesor doktor, di Inggris Schacht masih belajar lagi di
Pascasarjana Universitas Oxford sampai meraih gelar Magister (1948) dan Doktor (1952) dari Universitas
tersebut. Pada tahun 1946, ia ditunjuk untuk mengejar di Universitas Oxford dan dipilih sebagai
pengamat studi keislaman pada tahun 1948. Selanjutnya, Schacht melakukan beberapa perjalanan
akademik ke luar negeri seperti menjadi tenaga kerja di Amerika (1948), peneliti di Nigeria (1950),
kunjungan profesor ke Universitas Algiers (1952), peneliti di Afrika Timur (1953), dan sebagainya. Pada
tahun 1954, Schacht meninggalkan Inggris dan mengajar di Universitas Leiden, Belanda, sebagai guru
besar sampai tahun 1959. Kemudian pada tahun 1959, Schacht pindah ke Universitas Columbia, New
York dan mengajar di sana sampai meninggal dunia tahu 1969. Sepak terjang akademik Joseph Schacht
melanglang buana ke berbagai Negara menunjukkan semangat keilmuannya yang sangat tinggi dan
pengaruhnya yang cukup besar terutama di Barat.2

Schacht termasuk orientalis yang produktif, meskipun cenderung pada kajian fikih, ia banyak
menulis karya dalam bidang-bidang lain. Sebagaimana dinyatakan oleh ‘Abd al-Rahman Badawi, karya-
karya Schacht terdiri dari beberapa disiplin ilmu. Dalam penelitiannya, khususnya terhadap hadis dan
hukum islam, Schacht menggunakan pendekatan sejarah dan sosiologi. Ini terlihat dari ungkapan Bernard
Lewis yang mengatakan “ Schacht approach was neither theological nor juristic, but rather historical and
sociological”. Dari sini terlihat bahwa dalam mengkaji pemikirannya terhadap hadis dan Hukum Islam
adalah dengan menggunakan pendekatan sejarah dan sosiologi, bukan pendekatan teologi ataupun
hukum.3

2.2. Pandangan Joseph Schacht terhadap Hadist Nabi Saw.

Metode yang digunakan Joseph dalam menela’ah Hadist yang berkaitan dengan hukum Islam
bukanlah dari segi teologi maupun hukum, namun dari sejarah dan sosiologi. Pemikiran Josepht Schahct
atas hadits banyak bertumpu pada teori-teori yang digagas oleh pendahulunya yakni Ignaz Goldziher.
Hanya saja perbedaannya adalah jika Ignaz Goldziher meragukan otentisitas hadits, Josepht Schahct
sampai pada kesimpulan bahwa sebagian besar adalah palsu, dan berhasil “menyakinkan” tidak adanya
otentisitas itu, khususnya hadits-hadits fiqih.
Dalam mengkaji Hadis Nabi, Schacht lebih banyak menyoroti aspek sanad dari pada aspek matan.
Sementara kitab-kitab yang dipakai dalam ajang penelitiannya adalah kitab al-Muwata karya Imam
Malik, kitab al-Muwatta karya Imam Muhammad al-Syaibani, serta kitab al-Umm dan al-Risalah karya
Imam al-Syafii. Menurut Prof. Dr. M.M Azami, kitab-kitab ini lebih layak disebut kitab-kitab Fiqh dari
pada kitab-kitab Hadis. Sebab kedua jenis kitab ini memiliki karakteristik yang berbeda. Oleh karena itu,

2
Abd al-Rahman Badawi, Mausu'ah al-Falsafah, (t.tp.: Muassasah al-‘Arabiyah li alDirasat wa al-Nasyr, 1984 M),
hal. 252-253
3
Idri, Hadis dan Orientalis: Prespektif Ulam Hadis dan Para Orientalis tentang Hadis Nabi , cet. 1 (Depok: Kencana,
2017), hal. 182.
meneliti Hadist-Hadist yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh hasilnya tidak akan tepat. Penelitian Hadis
haruslah pada kitab-kitab Hadist.

a. Pandangan Joseph Schacht tentang Sunnah


Joseph mengungkapkan bahwa Sunnah merupakan konsep bangsa Arab kuno yang dijadikan
salah satu pusat pemikiran Islam dalam mengambil panduan hidup. Ia menyatakan hal tersebut,
dikarenakan pemahamannya adalah, sunnah bukanlah suatu tradisi dari Nabi Muhammad SAW karena ia
datang setelah abad Kedua Hijriah atau Kedelapan Masehi. Kebiasaan sebelum waktu itu tidak dipandang
sebagai sunah nabi, tetapi sebagai sunah masyarakat karena sunah tersebut terutama sekali adalah hasil
penalaran bebas orang-orang (Periwayat Hadist).

b. Pandangan Joseph Schacht tentang Sanad Hadist


Dalam buku Joseph, The Origins of Muhammadan Jurisprudence (1950), ia menyatakan bahwa
periwayat Hadist hanyalah usaha dalam menyandarkan Hadist agar memiliki legitimasi yang kuat.
Menurutnya, sanad adalah rekayasa orang-orang sebelum abad Kedua Hijriah dan menyambung-
nyambungkan dengan nama tokoh-tokoh terdahulu hingga akhirnya sampai kepada Nabi Muhammad
SAW. Jadi dalam penalarannya, ia membenarkan sistem isnad dari ulama-ulama sampai pada ulama awal
Abad Kedua Hijriah, namun ke belakangnya menuju pada Nabi Muhammad SAW adalah palsu sama
sekali. Ia mengutip dari Ibnu Sirin (110 H), bahwa penelitian sistem isnad dimulai sejak adanya fitnah
(yang dimulai dengan terbunuhnya Walid bin Yazid pada 126 H) dimana tidak ada orang yang dapat
dipercaya, kecuali dengan penelitian atas orang tersebut. Schacht menegaskan bahwa Hukum Islam belum
muncul dan tersebar luas pada masa Al-Sya’bi (110 H). Penegasan ia memberikan penyataan bahwa
hadist apapun yang berkaitan dengan Hukum Islam, berarti ia dimunculkan oleh orang-orang yang hidup
setelah masa Al-Sya’bi. Dan ia menyatakan bahwa Hukum Islam baru dikenal setelah pengangkatan
qadhi pada daulah Dinasti Bani Umayyah dan belum ada pada zaman Khulafaa-Ur-Rasyidin.4
Pemahamannya didasarkan dengan pengertian bahwa perkembangan hadist sejalan dengan
perkembangan hukum Islam. Penyandaran ke belakang seperti inilah yang kemudian dikenal dengan
istilah projecting back (proyeksi ke belakang). Pada awal dekade Abad Kedua Hijriah, Qadhi yang
diangkat terdiri dari orang-orang "spesialis" yang tidak lain merupakan orang yang taat beragama. Seiring
bertambahnya waktu, orang-orang spesialis ini bertambah sehingga kini disebut kelompok aliran fikih
klasik. Pada saatnya, qadhi membutuhkan legitimasi dari orang-orang yang memiliki otoritas lebih tinggi
untuk menetapkan keputusan-keputusan. Karenanya mereka menisbatkan kepada tokoh-tokoh sebelum

4
Jurnal, Orientalis Joseph Schacht dan kritik terhdapnya, (surabaya,2005) hal. 4
mereka yang terdahulu. Pada selanjutnya, bukan saja dari tokoh terdahulu, namun berkembang menjadi
tokoh-tokoh yang lebih dulu. Langkah selanjutnya, untuk memperoleh legitimasi yang lebih kuat,
pendapatpendapatitu dinisbahkan kepada tokoh yang memiliki otoritas paling tinggi, misalnya Abdullah
ibn Mas'ud. Dan untuk lebih menguatkannya lagi, akhirnya dinisbatkan keputusan itu hingga kepada Nabi
Muhammad SAW. Inilah rekontruksi terbentuknya sanad Hadis menurut Prof. Schacht, yaitu dengan
memproyeksikan pendapat-pendapat itu kepada tokoh-tokoh yang legitimit yang ada di belakang mereka.

c. Pandangan Joseph Schacht terhadap Hadist Palsu

Dalam pandangan Schacht, hadis bukanlah suatu yang berasal dari Nabi, tetapi merupakan hasil
rekayasa ulama dan umat Islam generasi abad pertama dan kedua Hijriah dengan dibuatkan sanad (mata
rantai periwayat) hingga Nabi. Karena itu, dalam pandangan mereka, semua hadis yang disandarkan
kepada Nabi itu berkualitas palsu (maudhu’). Dengan demikian, sunah ataupun hadis bukanlah sesuatu
yang berasal dari Nabi, melainkan hasil rekayasa umat Islam awal, atau suatu tradisi yang terjadi
dikalangan umat Islam yang kemudian disandarkan kepada Nabi. Joseph Schacht menyusun beberapa
teori untuk membuktikan dasar-dasar pemikirannya tentang kepalsuan hadits Nabi saw5 , antara lain:
1) Teori Projecting Back
Maksud dari teori ini bahwa untuk melihat keaslian hadits bisa direkonstruksikan lewat
penelusuran sejarah hubungan antara hukum Islam dengan apa yang disebut hadits Nabi.
Selain itu, Ia juga mengklaim bahwa sanad lengkap yang berujung ke Rasulullah SAW
adalah ciptaan atau tambahan para fuqaha di era Tabi’in dan setelahnya, yang ingin
memperkokoh madzhab mereka dengan menjadikannya sebagai hadits nabawi.
2) Teori E Siliento
Sebuah teori yang disusun berdasarkan asumsi bahwa bila seseroang sarjana
(ulama/perawi) pada waktu tertentu tidak cermat terhadap adanya sebuah hadits dan gagal
menyebutkannya. Membuktikan hadits itu eksis/ tidak cukup dengan menunjukkan bahwa
hadits tersebut tidak pernah dipergunakan sebagai dalil dalam diskusi para fuqaha. Sebab
seandainya hadits itu pernah ada pasti hal itu akan dijadikan sebagai refrensi.
3) Teori Common Link
Teori yang beranggapan bahwa orang yang paling bertanggung jawab atas kemunculan
sebuah hadits adalah periwayat poros (common link) yang terdapat di tengah bundel sanad-
nya. Common link itulah pemalsu dari hadits yang dibawanya.

5
Tim penyusun ,Joseph Schacht sebagai Tokoh Orientalism, (bandung,2018) hal. 13
d. Pandangan Joseph Schacht tentang Hadist sebagai Sumber Hukum
Joseph Schacht tidak menjurus pada sistem yang bersifat teologis dalam penelitiannya, namun
kepada historis dan sosiologis. Jadi ia menganggap persoalannya bukanlah sebagai norma yang
diwahyukan, namun sebagai fenomena historis yang bersifat realita sosial. Jadi, segala hal yang
berhubungan dengan hukum Islam, merupakan akibat dari perkembangan historis sosial masyarakat.
Terdapat 4 sumber hukum Islam, yaitu: Al-Qur'an, Sunnah, Ijma', dan Qiyas. Sumber hukum-
hukum Islam dan peran sentral terhadap pendiri madzhab Syafi'i adalah perhatian utama Schacht.
Sehingga, bagaimanapun ia juga mengakui bahwa Syafi'i merupakan pendiri hukum Islam. Namun,
walaupun ia membenarkan urutan penyelesaian permasalahan hukum-hukum Islam ini secara berurutan,
ia menyatakan bahwa faktor-faktor historis menunjukkan bahwa Qur’an dan Sunnah secara historis
merupakan unsur otoritatif terakhir dalam perumusan hukum Islam, dan bukan yang pertama. Josepht
Schacht berpendapat, “norma-norma tertentu dari hukum Islam yang pertama berbeda dengan perkataan
Qur’an yang jelas dan eksplisit.”

2.3 Kritik pada Joseph Schacht


Kekeliruan dan kesalahan Joseph Schacht adalah oleh beberapa perkara: (1) sikapnya yang tidak
konsisten dalam berteori dan menggunakan sumber rujukan, (2) bertolak dari asumsi-asumsi yang keliru
dan metodologi yang tidak ilmiah, (3) salah dalam menangkap dan memahami sejumlah fakta, (4)
ketidaktahuannya akan kondisi politik dan geografis yang dikaji, dan (5) salah faham mengenai istilah-
istilah yang dipakai oleh para ulama Islam (Professor Muhammad Mustafa Azami).
Joseph sering menarik suatu kesimpulan berdasarkan argumentum e silentio, yakni alasan
ketiadaan bukti. Ia sering menyatakan, bahwa anda tidak/belum menemukan bukti yang mendukung
hipotesa anda belum tentu dan tidak mesti berarti bukti itu tidak ada. Sebab, ada atau tidak adanya bukti
tidak harus bergantung pada anda. “The absence of evidence is not evidence of absence,” ketiadaan bukti
bukanlah bukti ketiadaan. Bisa jadi, bukti itu ada, tetapi anda tidak mengetahui keberadaannya. Di sinilah
kesalahan Schacht. Banyak sekali kesimpulan yang berdasarkan argumen ini, argumen ini bukan hanya
melemahkan tetapi juga meruntuhkan validitas kesimpulan-kesimpulannya.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan

Joseph Schacht merupakan seorang tokoh orientalis yang berpengaruh, kelahiran


Rottburg,Jerman, pada tanggal 15 Maret 1902 M. Schacht berasal dari keluarga yang cukup agamis.
Ayahnya, Edwart Schacht, adalah seorang penganut agama Kristen Katolik dan guru Sekolah, sedangkan
ibunya bernama Maria Mahor. Sikap agamis dan pendidikan yang menjadi tradisi dalam keluarganya
telah memberinya kesempatan untuk akrab dengan agama Kristen dan bahasa Hebrew (Yunani Kuno).

Selain belajar bahasa Yunani Kuno kepada seorang pendeta, Schacht juga belajar bahasa Latin,
Prancis dan Inggris di Humanistiches Gymnasium. Dengan demikian, Schacht tumbuh dan berkembang
dalam keluarga yang menghargai nilai-nilai agama dan ilmu, termasuk bahasa, sehingga tidak
mengherankan apabila ia begitu tertarik menggeluti ilmu keagamaan dan halhal yang berkaitan
dengannya.

Metode yang digunakan Joseph dalam menela’ah Hadist yang berkaitan dengan hukum Islam
bukanlah dari segi teologi maupun hukum, namun dari sejarah dan sosiologi. Pemikiran Josepht Schahct
atas hadits banyak bertumpu pada teori-teori yang digagas oleh pendahulunya yakni Ignaz Goldziher.
Hanya saja perbedaannya adalah jika Ignaz Goldziher meragukan otentisitas hadits, Josepht Schahct
sampai pada kesimpulan bahwa sebagian besar adalah palsu, dan berhasil “menyakinkan” tidak adanya
otentisitas itu, khususnya hadits-hadits fiqih.
DAFTAR PUSTAKA

Badawi, Abd al-Rahman, Mausu'ah al-Falsafah, (t.tp.: Muassasah al-‘Arabiyah li alDirasat wa al-Nasyr,
1984 M)

Idri, Hadis dan Orientalis: Prespektif Ulam Hadis dan Para Orientalis tentang Hadis Nabi , cet. 1 (Depok:
Kencana, 2017),

Jurnal, Orientalis Joseph Schacht dan kritik terhdapnya, (surabaya,2005

Tim penyusun ,Joseph Schacht sebagai Tokoh Orientalism, (bandung,2018)

Darmalaksana, Wahyudin. Hadis Di Mata Orientalis (Telaah Pandangan Ignaz Goldziher Dan Joseph
Schacht). (Bandung: Benang Merah Press, 2004).

Hadi, Khoirul. “Pemikiran Joseph Schacht Terhadap Hadis (Pendekatan Ushul Fiqih)”. Kontemplasi edisi
November 2013, Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Qadiri Jember.

Anda mungkin juga menyukai