Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

HADIS NABI DALAM PANDANGAN ORIENTALIS


Dosen Pengampu Mata Kuliah Studi Hadist :

Dr. Abdullah Rais, M.A

Oleh :
SAMSUDIN
NIM. 1920400019

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA


PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SAMARINDA
Tahun 2019
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hadits dalam ajaran Islam menempati posisi yang sangat strategis. Hal itu

terjadi karena hadits menjadi sumber hukum kedua bagi hukum-hukum Islam.

Para ulama sepakat bahwa hadits atau sunnah paling tidak memiliki tiga fungsi

utama dalam rangka hubungannya dengan Al-Qur’an, yakni kadangkala ia

berfungsi sebagai bayan ta’qid terhadap ketentuan hukum yang ada dalam Al-

Qur’an, atau bayan tafsir terhadap kemujmalan Al-Qur’an dan fungsi bayan

tasyri’ terhadap segala sesuatu yang tidak ada hukumnya dalam Al-Qur’an. 1

ِ َّ‫ٱلزب ِۗ ُِر َوأَنزَ ۡل َنا ٓ ِإ َل ۡيكَ ٱلذ ِۡك َر ِلت ُ َب ِينَ ِللن‬
٤٤ َ‫اس َما نُ ِز َل ِإلَ ۡي ِه ۡم َولَ َعلَّ ُه ۡم َيت َفَ َّك ُرون‬ ِ ‫ِب ۡٱل َب ِي َٰ َن‬
ُّ ‫ت َو‬

Terjemahannya: Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami


turunkan kepadamu Alquran, agar kamu menerangkan kepada umat manusia
apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.

Sentralnya keberadaan hadits nabi membuat banyak penelitian dan kajian-

kajian yang dilakukan ulama-ulama hadits untuk menentukan dan mengetahui

kualitas hadits yang berhubungan dengan kehujahan hadits tersebut. Ternyata

bukan hanya orang muslim, banyak musuh-musuh Islam seperti para orientalis,

yang berupaya meruntuhkan ajaran Islam dengan cara meneliti hadits yang

bertujuan untuk meragukan dasar-dasar validitas hadits sebagai dalil.

Sebelumnya para orientalis mengkaji Islam hanya pada meteri-materi

keislaman secara umum, seperti bidang sastra dan sejarah. Sampai pada masa

belakangan ini mereka mulai tertarik dengan kajian Hadits Nabawi.

1
M. Hasybi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: Pustaka Rizki
Putra, 1999), Cet. IV, h. 154.
2

Studi mereka yang berasal dari Barat tentang hadits sangat berbeda dengan

studi di Timur Tengah. Studi hadits di Timur Tengah dan juga di Indonesia

menekankan pada bagaimana seseorang melakukan takhrij hadits dan syarh

(penjelasan) hadits sehingga dapat diketahui keasliannya dan kandungan makna

dari hadits tersebut.

Adapun di Barat, studi mereka menitik beratkan bagaimana melakukan

penanggalan hadits untuk menaksir sejarahnya dan bagaimana melakukan

membangun sejarah terhadap peristiwa yang terjadi pada masa awal Islam. Model

studi orientalis Barat kebanyakan berupa kritik sejarah, dalam bidang hadits

setidaknya ada tiga orang kalangan orientalis sebagai tokoh Hadits Critism (kritik

hadits) adalah Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, dan G.H.A Juynboll.

Dalam makalah ini akan membahas tentang apa pengertian hadits menurut

orientalis, pandangan orientalis terhadap hadits tersebut dan bantahan ilmuan

hadits terhadap kritik hadits yang dilakukan orientalis. Pemaparan selanjutnya

akan dijelaskan pada bagian makalah ini selanjutnya.

PEMBAHASAN

A. Pengertian Orientalis
3

Orientalis berasal dari kata orient, bahasa prancis, yang secara harfiah

bermakna timur, secara geografis bermakna dunia belahan timur dan secara

etnologis bermakna bangsa-bangsa timur. Kata isme (Belanda) ataupun ism

(Inggris) menunjukkan pengertian tentang sesuatu paham. Jadi Orientalisme

adalah suatu paham atau aliran, yang berkeinginan menyelidiki hal-hal yang

berkaitan dengan bangsa-bangsa Timur beserta lingkungannya. 2

“Istilah orientalis berasal dari kata “Orien” yang berarti timur, kata “ism”

yang berarti paham. Jadi secara bahasa, Orientalis adalah paham tentang dunia

timur/ketimuran."3

Kegiatan penyelidikan ahli ketimuran di Barat tentang agama-agama di

Timur, khususnya tentang agama Islam juga disebut orientalisme. Sehingga yang

dijadikan obyek studi gelombang pemikiran yang mencerminkan berbagai studi

ketimuran yang Islami, mencakup peradaban, agama, seni, sastra, bahasa dan

kebudayaan.

Orientalis yang di maksud di sini adalah para sarjana barat yang Notabene-

non muslim (Yahudi, Kristen, atau bahkan Ateis) namun sibuk mengkaji islam

beserta seluk beluknya. Adapun pengikut orientalis yang di maksud adalah

kalangan muslim yang terpengaruh oleh tulisan-tulisan mereka dan ikut-ikutan

menolak hadist secara keseluruhan.

Secara analitis pengertian orientalisme disimpulkan pada tiga hal, keahlian

mengenai wilayah Timur, metodologi dalam mempelajari masalah ketimuran,

sikap ideologis terhadap masalah ketimuran khususnya terhadap dunia Islam.

2
Joesoep Sou’yb, Orientalisme dan Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang. 1990), h. 1
3
Umi Sumbulah. Kajian Krtitik Ilmu Hadis, (Malang: UIN-MALIKI PRES, 2010), h. 161
4

Orientalisme muncul setelah orang kristen berputus asa memerangi Islam

dengan pedang, sehingga mereka menganggap bahwa cara terbaik untuk

memerangi Islam adalah melalui Ghazwu al-Fikr (perang pemikiran).

“Orientalise adalah kata nama pelaku yang menunjukkan seorang yang ahli

tentang hal-hal yang berkaitan dengan ”Timur”, biasanya disingkat dengan

sebutan ahli ketimuran.”4

Sehingga orientalis bisa didefinisikan sebagai segolongan sarjana Barat yang

mendalami bahasa dunia Timur dan kesusastraannya, dan mereka yang menaruh

perhatian besar terhadap agama-agama dunia Timur, sejarahnya, adat-istiadatnya,

dan ilmu-ilmunya.

B. Tokoh – Tokoh Orientalis

1. Ignaz Goldziher

Ignaz Goldziher (1850-1921) adalah satu-satunya orientalis yang sempat

belajar secara resmi di Universitas al-Azhar, Mesir. Seorang Yahudi yang lahir

di Hungaria 1850, ia terlatih dalam bidang pemikiran sejak usia dini. Ia belajar

di Budapest, Berlin dan Leipzig. Pada tahun 1873 ia pergi ke Syiria dan

belajar pada Syeikh Tahir al-Jazairi. Kemudian Pindah ke Palestina, lalu ke

Mesir dimana ia belajar dari sejumlah ulama di Universitas Al-Azhar Kairo.

Pada tahun 1894 dia menjadi calon tenaga pengajar bahasa Semit dan pada

tahun 1904 menjadi guru besar bahasa-bahasa Semit di Universitas Budapest

akhirnya ia meninggal pada 13 November 1921.

4
Joesoep Sou’yb, Orientalisme…, h. 1
5

2. Joseph Schacht

Prof. Dr. Joseph Schacht lahir di Silisie Jerman pada 15 Maret 1902.

Karirnya sebagai orientalis dimulai dengan belajar pilologi klasik, theologi,

dan bahasa-bahasa Timur di Universitas Berslauw dan Universitas Leipzig.

Meskipun ia seorang pakar Sarjana Hukum Islam, namun karya-karya

tulisnya tidak terbatas pada bidang tersebut. Secara umum, ada beberapa

disiplin ilmu yang ia tulis. Antara lain, kajian tentang Manuskrip Arab, Edit-

Kritikal atas Manuskrip-manuskrip Fiqh Islam. Kajian tentang ilmu Kalam,

kajian tentang Fiqh Islam, kajian tentang Sejarah Sains dan Filsafat, dan lain-

lainnya, seperti Al Khoshaf aL Kitab al Hiyal wa al-Makharij (1932), Abu

Hatim al Qazwini: Kitab al Khiyal fi al Fiqih (1924), Ath Thabari: Ikhtilaf al

Fuqaha (1933) dan lain-lain.

Karya tulisnya yang paling monumental dan melambungkan namanya

adalah bukunya The Origins of Muhammadan Jurisprudence yang terbit pada

tahun 1950, kemudian bukunya An Introduction to Islamic Lau yang terbit

pada tahun 1960. Dalam dua karyanya inilah ia menyajikan hasil penelitiannya

tentang Hadits Nabawi, di mana ia berkesimpulan bahwa Hadits Nabawi,

terutama yang berkaitan dengan Hukum Islam, adalah buatan para ulama abad

kedua dan ketiga hijrah.5

Pemikiran Josepht Schahct atas hadits banyak bertumpu pada teori-teori

yang digagas oleh pendahulunya yakni Goldziher. Hanya saja perbedaannya

adalah jika Goldziher meragukan otentisitas hadits , Josepht Schahct sampai

5
Makalah “Kajian Sanad Hadis, antara Joseph Schacht dan M.M. A’dhami” oleh Zailan.
6

pada kesimpulan bahwa sebagian besar adalah palsu, dan berhasil

“menyakinkan” tidak adanya otentisitas itu, khususnya hadits-hadits fiqih.6

Joseph Schacht menyusun beberapa teori untuk membuktikan dasar-dasar

pemikirannya tentang kepalsuan hadits Nabi saw, antara lain:

a) Teori Projecting Back

Maksud dari teori ini bahwa untuk melihat keaslian hadits bisa

direkonstruksikan lewat penelusuran sejarah hubungan antara hukum Islam

dengan apa yang disebut hadits Nabi. Selain itu, Ia juga mengklaim bahwa

sanad lengkap yang berujung ke Rasulullah SAW adalah ciptaan atau

tambahan para fuqaha di era Tabi’in dan setelahnya, yang ingin

memperkokoh madzhab mereka dengan menjadikannya sebagai hadits

nabawi.

b) Teori E Siliento

Sebuah teori yang disusun berdasarkan asumsi bahwa bila seseroang

sarjana (ulama/perawi) pada waktu tertentu tidak cermat terhadap adanya

sebuah hadits dan gagal menyebutkannya. Membuktikan hadits itu eksis/

tidak cukup dengan menunjukkan bahwa hadits tersebut tidak pernah

dipergunakan sebagai dalil dalam diskusi para fuqaha. Sebab seandainya

hadits itu pernah ada pasti hal itu akan dijadikan sebagai refrensi.

c) Teori Common Link

Teori yang beranggapan bahwa orang yang paling bertanggung jawab

atas kemunculan sebuah hadits adalah periwayat poros (common link)

6
Ali Mustofa Yaqub,…, h. 2
7

yang terdapat di tengah bundel sanad-nya. Common link itulah yang

menurut Juynboll merupakan pemalsu dari hadits yang dibawanya.

3. Gauther H.A Juynboll

Juynboll adalah seorang orientalis yang mendukung pemikiran kedua

orientalis di atas, berasal dari Belanda dan dilahirkan tahun 1935, sejak di

bangku S1 di Leiden ia telah banyak melakukan kajian tentang otensitas

hadits. Beberapa karyanya seperti Muslim Tradition : Studies in Cronology

Provenance and Authorship of Early Hadith dan The Date of The Great Fitna,

Jyunboll melakukan kritik hadits yang sejatinya kritik-kritiknya itu tidak lebih

dari mengulang-ulang atau mendukung gagasan Schacht dalam bukunya the

Origin of Muhammadans Yurisprudence.

Menurut muhadisin, isnad baru dipergunakan secara cermat setelah

terjadinya ”fitnah” tragedi pembunuhan khalifah ustman (656 M) Jyunboll

menolak anggapan ini dengan bersandarkan pada karya ibn Sirin, bahwa

penggunaan isnad baru dimulai ketika “fitnah” tragedi peperangan antara

Abdullah bin Zubair dengan dinasti Ummayah yang pada akhirnya berdampak

pada banyaknya hadis-hadis palsu.

Tiga tokoh tersebut menjadi sasaran pokok serangan para orientalis

karena ketiganya menempati posisi-posisi yang strategis dalam kajian ilmu

Hadis; Abu Hurairah adalah Shahabat yang tercatat sebagai shahabat yang

paling banyak meriwayatkan Hadis dari Nabi Muhammad. Dan al-Zuhri

disebut-sebut sebagai orang yang pertama kali membukukan Hadis. sementara


8

al-Bukhari adalah tokoh yang menulis kitab paling otentik sesudah al-Quran,

yaitu kitab Shahih al-Bukhari.

C. Pandangan Tokoh-Tokoh Orientalis tentang Hadits Nabi Muhammad SAW

Hadits adalah segala sesuatu yang mengandung ucapan, perbuatan atau

ketentuan-ketentuan yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw., sehingga

bagi orientalis hadits adalah merupakan kajian yang mudah bagi mereka untuk

memutar balikkan kebenaran hadits secara keseluruhan.

Gugatan oreintalis terhadap hadis bermula pada pertengahan abad ke -19

Masehi, tatkala hampir seluruh bagian dunia Islam telah masuk dalam

cengkeraman kolonialisme bangsa-bangsa Eropa. Adalah Alois Sprenger, yang

pertama kali mempersoalkan status hadis dalam Islam. Dalam pendahuluan

bukunya mengenai riwayat hidup dan ajaran Nabi Muhammad SAW. Misionaris

asal Jerman yang pernah tinggal lama di India ini mengklaim bahwa hadis

merupakan kumpulan anekdot (cerita-cerita bohong tapi menarik).7

Ada tiga hal yang sering dikemukakan orientalis dalam penelitian mereka

terhadap al-Hadis, yaitu tentang kepribadian Nabi Muhammad SAW, Aspek

Asanid (Rangkaian perawi hadis), dan Aspek Matan.

1. Aspek Pribadi Nabi Muhammad

Argumen pertama orientalis meragukan otentisitas hadits adalah

bahwa hadits-hadits itu buatan manusia dan bukan wahyu. Menurut

7
Syamsuddin Arif. Orientalis dan Diabolisme pemikiran. (Jakarata: Gema Insani, 2008), h.
28
9

orientalis pribadi Muhammad perlu dipertanyakan, mereka membagi status

Muhammad menjadi tiga, sebagai rasul, kepala negara dan pribadi biasa

sebagaimana orang kebanyakan. Sesuatu yang didasarkan dari Nabi

Muhammad baru disebut hadits jika sesuatu tersebut berkaitan dengan hal-

hal praktis keagamaan, karena jika tidak hal itu tidak layak disebut hadits,

karena bisa saja hal itu hanya timbul dari status lain seorang Muhammad.

2. Aspek Asanid (Rangkaian Perawi).

Orientalis memiliki kesimpulan bahwa semua asanid itu fiktif atau

bahwa yang asli dan yang palsu itu tidak bisa dibedakan secara pasti. Isnad

yang sampai kepada Nabi Muhammad jauh lebih diragukan ketimbang

isnad yang sampai kepada sahabat. Para orientalis sering mempertanyakan

tentang para perawi yang banyak meriwayatkan hadis dari Rasulullah.

seperti yang kita ketahui bersama para sahabat yang terkenal sebagai

perawi bukanlah para sahabat yang yang banyak menghabiskan waktunya

bersama Rasullah seperti Abu bakar, Umar, Usman dan Ali. Namun yang

banyak meriwayatkan hadis adalah sahabat-sahabat junior dalam artian

karena mereka adalah orang “baru” dalam kehidupan Rasulullah. Dalam

daftar sahabat yang banyak meriwayatkan hadis tempat teratas diduduki

oleh sahabat yang hanya paling lama 10 tahun berkumpul dengan Nabi,

seperti Abu hurairah, Sayyidah Aisyah, Anas bin malik, Abdullah ibn

Umar dll. Abu hurairah selama masa 3 tahun dia berkumpul dengan Nabi

telah berhasil meriwayatkan lebih dari 5800 hadis, Sayyidah Aisyah


10

mengumpulkan lebih dari 3000 hadis dan demikian juga dengan Abdullah

ibn Umar, Anas.

3. Aspek Matan

Pada umumnya dapat dikatakan bahwa ktirik isnad adalah satu-

satunya metode yang dipraktekkan ahli-ahli hadits untuk menyaring mana

hadits yang shahih dan hadits mana yang tidak shahih. Menurut orientalis

matan hampir tidak pernah dipertanyakan, hanya jika isi sebuah hadits

yang isnad-nya shahih jelas bertentangan dengan Al-Qur’an, baru ditolak

kalau isinya dapat diinterpretasikan sedemikian sehingga menjadi selaras

dengan Al-Qur’an dan hadits-hadits lain, hadits itu tidak dikritik.

D. Bantahan Ulama Islam Terhadap Tokoh Orientalis

Kritikan terhadap hadits dari kalangan orientalis tidak membuat ulama Islam

berdiam diri, setidaknya ada tiga ulama kontemporer yang menangkal teori-teori

ketiga orientalis di atas, mereka adalah Prof. Dr. Musthofa as Siba’iy dalam

bukunya as Sunnah wa Makanatuha fi at Tasyri’il Islam, Prof. Dr. ‘Ajjaj al

Khatib dalam bukunya as Sunnah Qabla Tadwin, dan Prof. Dr. M. Musthofa al

Azhami dalam bukunya Studies in Early Hadith Literature.

Bantahan dari ulama-ulama tersebut, terutama Prof. Dr. M. Musthofa al

Azhami yang telah menelanjangi para orientalis sampai mereka tidak berkutik

karena argument-argument yang disampaikannya benar dan valid sebagai berikut.

1. Bantahan untuk Ignaz Goldziher


11

Pendapat Goldziher bahwa hadits belum menjadi dokumen sejarah yang

ada pada masa-masa awal pertumbuhan Islam disanggah oleh beberapa pakar

hadits. Mereka itu di antaranya : Prof. Dr. Musthofa as Siba’iy (as Sunnah wa

Makanatuha fi at Tasyri’il Islam) Prof. Dr. ‘Ajjaj al Khatib (as Sunnah Qabla

Tadwin) dan Prof. Dr. M. Musthofa al Azhami (Studies in Early Hadith

Literature). Menurut ketiga ulama ini pendapat Goldziher lemah baik dari sisi

metodologisnya maupun kebenaran materi sejarahnya. Alasan mereka adalah

karena ketidaktahuan mereka (kekurang percayaan) pada bukti-bukti sejarah.

Sisi metodologi yang dikritik Azami adalah kesalahan orientalis yang

tidak konsisten dalam mendiskusikan perkembangan hadis Nabi yang

berkaitan dengan hukum, sebab bukunya memfokuskan diri pada masalah

hukum, mereka malah memasukkan hadis-hadits ritual/ibadah.

Argumen lain yang juga dapat meruntuhkan teori Goldziher adalah teks

hadis itu sendiri. Sebagaimana termaktub dalam kitab Shahih Bukhari, hadis

tersebut tidak memberikan isyarat apapun yang bisa menunjukkan bahwa

ibadah haji dapat dilakukan di al-Quds (Yurussalem) yang ada hanya isyarat

pemberian keistimewaan kepada masjid al Aqsha, dan hal ini wajar

mengingat masjid itu pernah dijadikan qiblat pertama bagi ummat islam.

Sementara itu tawaran Goldziher agar hadis tidak semata-mata didekati lewat

perspektif sanad akan tetapi juga lewat kritik matan, perlu dicermati.

Sebenarnya semenjak awal para sahabat dan generasi sesudahnya sudah

mempraktekkan metode kritik matan. Penjelasan argumentatif telah disajikan


12

oleh Subkhi as Shalih bahwa ulama dalam mengkaji hadis juga bertumpu

pada matan.8

2. Bantahan untuk Josep Schacht

Menurut Azami kekeliruan Josep Schacht adalah bahwa dia keliru ketika

menjadikan kitab-kitab sirah Nabi dan kitab-kitab fiqh sebagai asumsi

penyusunan teorinya. Dalam rangka meruntuhkan teorinya Schacht telah

melakukan penelitian terhadap beberapa naskah hadits dengan sanad Abu

Hurairah, Abu Shalih, dan Suhail, yang ternyata dari hasil kajiannya sangat

mustahil hadis bisa dipalsukan begitu saja.

Di samping itu Azami membuktikan bahwa tidak adanya sebuah hadis

pada masa kemudian, padahal pada masa-masa awal hadis itu dicatat oleh

perawi, disebabkan pengarangnya menghapus/menasakh hadis tersebut,

sehingga ia tidak menulisnya dalam karya-karya terbaru. Ketidak konsistenan

Schacht terbukti ketika dia mengkritik hadis-hadis hukum adalah palsu,

ternyata ia mendasarkan teorinya itu pada hadis-hadis ritual (ibadah) yang jika

diteliti lebih dalam lagi ternyata tidak bersambung ke Nabi.

Membantah teori yang meneliti dari aspek sejarah, maka M.M. Azami

membantah teori Schacht ini juga melalui penelitian sejarah, khususnya

sejarah Hadis. Azami melakukan penelitian khusus tentang Hadis-hadis Nabi

yang terdapat dalam naskah-naskah klasik. Di antaranya adalah naskah milik

Suhail bin Abi Shaleh (w.138 H).

8
Labib Syauqi Akifahadi, “Tanggapan Sarjana Muslim Terhadap Kajian Hadits Orientalist”,
dalam internet website:http://lenterahadits.com. Diakses Tanggal 30 November 2019 pukul 15.00
13

Dengan demikian apa yang dikembangkan oleh Schacht dengan teorinya

Projecting Back, yang mengemukakan bahwa sanad Hadis itu baru terbentuk

belakangan dan merupakan pelegitimasian pendapat para qadhi dalam

menetapkan suatu hukum, adalah masih dipertanyakan keabsahannya, hal ini

dibantah oleh Azami dengan penelitiannya bahwa sanad Hadis itu memang

muttashil sampai kepada Rasulullah Saw. melalui jalur-jalur yang telah

disebutkan di atas. Dan membuktikan juga bahwa Hadis-hadis yang

berkembang sekarang bukanlah buatan para generasi terdahulu, tetapi

merupakan perbuatan atau ucapan yang datang dari Rasul Saw. sebagai

seorang Nabi dan panutan umat Islam.

3. Bantahan untuk G.H.A Juynboll

Tokoh ketiga yang tak luput dari perbincangan para sarjana muslim adalah

Jyunboll dengan teori common link-nya. Diantara yang menanggapinya adalah

Azami, baginya teori common link bukanlah hanya patut dipertanyakan namun

ia pula meragukan validitas teori tersebut. Azami cenderung manyimpulkan

bahwa metode common link dan semua metode yang dihasilkannya tidak

relevan.

Bagi Azami, teori common link banyak yang perlu dipertanyakan.

Misalnya, jika memang ditemukan seorang periwayat seperti al-Zuhri, yang

menjadi periwayat satu-satunya yang meriwayatkan hadis pada muridnya,

tetapi telah diakui ke-tsiqah-an dirinya oleh para kritikus hadis maka tidak ada

alasan untuk menuduhnya sebagai seorang yang memalsukan hadis. Para ahli
14

hadis sendiri telah menyadari adanya periwayatan hadis secara infirad

(menyendiri) dan implikasinya. Akan tetapi, itu semua bergantung pada

kualitas para periwayat hadis pada isnad-nya.

Pada tempat lain, Azami menunjukkan bahwa jika seseorang tidak melihat

secara keseluruhan jalur isnad maka ia akan salah dalam mengidentifikasi

seorang periwayat sebagai common link. Hal ini tentunya agar penemuan akan

sanad hadis itu tidak parsial. Sebab, bisa jadi yang dianggap oleh peneliti

hadis sebagai common link sebenarnya hanya seeming atau artificial common

link. Ini disebabkan karena jalur yang dihimpun hanya sebagian saja sehingga

tidak bisa menggambarkan jalur isnad secara lebih akurat.


15

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Di dunia Islam makna orientalis mengalami penyempitan objek bahasan.

Orientalis dipahami sebagai pengkajian Islam menurut orang Barat atau sarjana

lainnya yang berkiblat ke Barat. Pengkajian yang dilakukan lebih cenderung

berkiblat ke Barat dengan etnosentrisnya, orientalisme dalam dunia Islam

kemudian juga dipahami sebagai gazwah al-fikr dari diskursus Barat dalam upaya

melemahkan nilai-nilai dan semangat keagamaan umat Islam.

Hadits adalah reportase dari sunnah nabi. Ketiga orientalis yang terkemuka

dan berpengaruh memiliki pandangan bahwa hadits itu diragukan otentisitasnya

sebagai sabda Nabi saw., menurut mereka hadits adalah buatan para ulama abad

kedua dan ketiga hijriyah setelah Nabi Muhammad SAW wafat, bukan berasal

dan tidak asli dari beliau, dengan alasan ketidakmungkinan keshahihan hadits

dalam masyarakat Islam pada abad pertama, kemudian Goldziher menawarkan

metodenya dengan menggunakan kritik matan.

Sementara menurut Schacht sanad mulai dari sumber pertama sampai yang

terakhir, yang atas mereka keaslian sebuah hadits disandarkan pada Nabi SAW

menurut otentisitasnya sangat diragukan. Untuk membuktikan kepalsuan-

kepalsuan itu ia lalu menyodorkan teori Projecting back.

Pandangan-pandangan orientalis terhadap hadits pada dasarnya sama yaitu

mengkritik hadits baik dari segi sanad, matan, maupun rawi. Akan tetapi, ada
16

perbedaan sedikit dalam pandangan mereka, misalnya Goldziher hanya sampai

pada peringkat meragukan otentisitas hadits, sedangkan Schact sudah berhasil

menyakinkan tidak ada otentisitas itu, khusus hadits-hadits fiqih.

Sanggahan-sanggahan dilakukan oleh para Ulama hadits untuk merontokkan

teori-teori mereka. Dan ada beberapa catatan yang dapat dikemukakan bahwa

adanya sekumpulan subjektivitas paradoks dari keduanya sebagai orientalis yang

setidaknya menyimpan misi-misi tersendiri untuk menyudutkan Islam dibalik

kacamata orientalisme, yang sesungguhnya merupakan neo-kolonialisme atas

belahan dunia Timur, khususnya kawasan Islam. Kemudian mereka memiliki

kemampuan yang terbatas dalam metodologi dan teknik memahami hadits dengan

tanpa mempertimbangkan hal-hal lain dibalik maksud dari hadits tersebut.


17

DAFTAR PUSTAKA

Sou’yb, Joesoep. Orientalisme dan Islam, Jakarta: PT Bulan Bintang. 1990.

Sumbulah, Umi. Kajian Krtitik Ilmu Hadis Malang: UIN-MALIKI PRES,

2010.

Ash Shiddieqy, M. Hasybi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang:

Pustaka Rizki Putra, 1999.

Arif, Syamsuddin. Orientalis dan Diabolisme pemikiran. Jakarata: Gema

Insani, 2008.

Makalah “Kajian Sanad Hadis, antara Joseph Schacht dan M.M. A’dhami”

oleh Zailan.

Labib Syauqi Akifahadi, “Tanggapan Sarjana Muslim Terhadap Kajian

Hadits Orientalist”, dalam internet website:http://lenterahadits.com. Diakses

Tanggal 30 November 2019 pukul 15.00

Anda mungkin juga menyukai