MAKALAH
Oleh:
Icha Fitriyah
(227720255)
(227720274)
Anisah
(227720243)
MALANG
Oktober 2022
BAB Ⅰ
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Allah SWT telah menetapkan Muhammad SAW sebagai Rasul nya
yang terakhir dialah penyempurna Agama Islam dan penutup para Nabi
sebagai khalifah di bumi. Al-quran adalah kitab suci yang di turunkan kepada
Nabi Muhammad SAW, sebagai mukjizat dan jalan penerang bagi semua
umat islam di dunia, sebagai pedoman yang benar dan tuntunan menuju
keridhaan Allah SWT. Sebagai umat yang taat tentunya akan selalu berbuat
baik, adapun dasar hukum perbuatan baik adalah Al-quran dan Hadis. Namun
seiring dengan perkembangan zaman, munculah interpretasi-interpretasi
mengenai ajaran islam, salah satunya adalah gagasan / paham orientalisme.
B. Rumusan Masalah
A. Paham Orientalisme
1. Hasan Hanafi, Orientalisme berasal dari kata Prancis ‘Orient’ yang berarti
timur, kata Orientalisme berarti ilmu-Ilmu yang berhubungan dengan
dunia timur, Orang-orang yang mempelajari / mendalami ilmu-ilmu
tersebut yang biasa disebut Orientalisme atau ahli ketimuran1
2. Joesoef Sou’yb, Orientalisme berarti suatu paham / aliran yang
berkeinginan menyelidki hal-hal yang berkaitan dengan dengan bangsa-
bangsa di Timur beserta lingkungannya2
3. Edward W Sa’id, Suatu cara untuk membahas dunia Timur, berdasarkan
tempatnya yang khusus dalam pengalaman manusia barat Eropa 3Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa orientalisme adalah suatu aliran atau
paham yang meneliti dan mempelajari orang-orang timur. Kalau yang
dipelajari adalah orangnya, berarti mencakup seluruh aspek kehidupan
yang berkenaan dengan orang tersebut, baik dari segi bahasanya,
agamanya, maupun juga sosial-budayanya.
1
Hanafi, Hasan, Orientalisme di Tinjau Menurut Kacamata Al Qur’an dan Hadist, hal 9
2
Maman Buchori, Menyingkap Tabir Orientalisme, hal 7
3
Edward W Sa’id Orientalisme : Menggugat Hegemoni Barat dan Menundukkan Timur
sebagai subjek, hal 4
yang berbeda-beda, yang mengkonsentrasikan diri dalam berbagai kajian
ketimuran, khususnya dalam hal keilmuan, peradaban, dan agama, khususnya
negara Arab, Cina, Persia, dan India. Selanjutnya, kata orientalis ini ditujukan
kepada orang-orang Kristen yang sangat berkeinginan untuk melakukan studi
terhadap Islam dan Bahasa Arab.
Secara garis besar orientalisme dapat dibagi tiga periode, yaitu: (1)
masa sebelum meletusnya perang salib di saat umat Islam berada dalam
zaman keemasannya (650-1250); (2) masa perang salib sampai masa
pencerahan di Eropa; dan (3) munculnya masa pencerahan di Eropa sampai
sekarang. Dalam suasana inilah muncul orientalisme di kalangan Barat.
Bahasa Arab mulai dipandang sebagai bahasa yang harus dipelajari dalam
bidang ilmiah dan filsafat. Pelajaran Bahasa Arab dimasukkan ke dalam
kurikulum di berbagai pergurun tinggi Eropa, seperti di Bologna (Italia) pada
tahun 1076, Chartres (Perancis) tahun 1117, Oxford (Inggris) tahun 1167, dan
Paris tahun 1170 muncullah penerjemah generasi pertama, Constantinus
Africanus (w. 1087) dan Gerard Cremonia (w. 1187).
Namun begitu, awal abad ke-20 juga ditandai dengan munculnya para
orientalis yang berusaha menulis dunia Islam secara ilmiah dan objektif.
Paham orientalisme dijadikan sebagai usaha pemahaman terhadap dunia
Timur secara mendalam. Dalam tradisi ilmiah yang baru ini, bahasa Arab dan
pengenalan teks-teks klasik mendapat kedudukan utama. Di antara mereka itu
adalah Sir Hamilton A.R. Gibb, Louis Massingnon, W. C. Smith, dan Frithjof
Schuon. Sir Hamilton A. R. Gibb sangat menguasai bahasa Arab dan dapat
berceramah dengan bahasa Arab, sehingga ia diangkat menjadi anggota al-
Majma’ al‘Ilm al-‘Arabi (Lembaga Ilmu Pengetahuan Arab) di Damaskus dan
al-Majma’ al-Lughah al -Arabiyah (Lembaga Bahasa Arab) di Kairo, Mesir.
Ia memandang Islam sebagai agama yang dinamis dan Nabi Muhammad
SAW mempunyai akhlak yang baik dan benar.
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap
orang-orang yang tiada memerangi karena agama dan tidak pula mengusir
kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berlaku Adil. (Q.S. Al-Mumtahinah 8).
Apabila mereka berada dan tinggal bersama ummat Islam di wilayah Islam,
maka bagi mereka kebebasan dalam beragama, dan kita diharamkan memaksa
mereka untuk memeluk Islam, sebagai pengamalan apa yang difirmankan_
Nya dalam( Q.S Al-Baqarah ayat256:) Tidak ada paksaan dalam agama
Islam, sesungguhnya.telah jelas jalan yang benar dan mana jalan salah6.
2 .kajian yang bernuansa imperealis. Hal ini erat kaitannya dengan kekalahan
bangsa Barat oleh Timur ketika perang salib. Hal ini sangat mendorong orang
Barat untuk mempelajari Timur dengan motif-motif tertentu. Tidak heran jika
mereka sangat bersemangat untuk mempelajari tentang ketimuran dengan
cara menerjemahkan karya-karya yang berasal dari bangsa Timur dan
mempelajari bahasa mereka. Seperti dalam bidang bahsa, sastra, kedokteran,
seni, al-Quran, dan Hadis. sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan
sejarah orientalis.
7
Muin Umar, Orientalisme dan Studi Tentang Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 33-40
3.kajian yang bertujuan akademik. Studi akademik tentang al-Quran pada
pertengahan abad ke-19 di Barat distimulasi dan dipengaruhi oleh dua karya
berbahasa Jerman: 1. G. Weil dengan judul buku Historish-kritische
Einleitung (1844) dan 2. Theodor Noldeke dengan judul buku Geschichtedes
Qorans (1860). Dua karya ini berhasil membangun standar baru bagi
penelitian al-Quran yang sebelumnya tidak mendapatkan perhatian.
Dan dalam surat Al-Maaidah ayat 51, Allah befirman:
8
M.nur kholis setiawan, sahiron syamsuddin, dkk., orientalisme al Quran dan hadits,h.vi
ibid., h. X
Kristen, dan lain sebagainya terhadap Islam dan isi kandungan Al-Quran,
baik yang matimatian berusaha mengungkapkan apa saja yang bisa dijadikan
bukti bagi “teori pinjaman dan pengaruh” tersebut seperti dari literatur dan
tradisi Yahudi-Kristen (Abraham Geiger, Clair Tisdall, dan lain-lain) maupun
yang membandingkannya dengan adat istiadat jahiliyah, Romawi, dan lain
sebagainya. Biasanya mereka akan mengatakan bahwa cerita-cerita dalam Al-
Quran banyak yang keliru dan tidak sesuai dengan versi Bible yang mereka
anggap lebih akurat9 ,Ada beberapa hal yang perlu digaris bawahi dan diingat
dalam menghadapi serangan orientalis, sekaligus membuktikan autentisitas
Al-Quran.
Pertama, pada prinsipnya Al-Quran bukanlah “rasm” (tulisan) tetapi
merupakan“qira’at” (bacaan) dalam arti ucapan dan sebutan. Baik proses
turun pewahyuan maupun penyampaian, pengajaran dan transmisinya
dilakukan melalui lisan dan hafalan, bukan tulisan. Dari dahulu, yang
dimaksud dengan “membaca” Al-Quran adalah membaca dari keaslian Al-
Quran sebagaimana diwahyukan oleh Malaikat Jibril kepada Nabi
Muhammad SAW dan diteruskan kepada para sahabatnya, demikianlah
hingga hari ini. Ini berbeda dengan kasus Bible, di mana tulisan (manuscript
evidence) dalam bentuk papyrus, scroll, dan sebagainya memegang peran
utama dan berfungsi sebagai acuan dan landasan.Mereka menyamakan
kejadian Al-Quran dengan Bible, sebagaimana yang diakui sendiri oleh Karl-
Heinz Ohlig, bahwa sejarah Kristen dalam meyakini ajaran dan riwayat hidup
Yesus dibentuk secara pragmatis dan dibangun melalui tradisi yang
berkembang dalam komunitas para pengikutnya selama 40 tahun sampai
munculnya Injil Markus,sehingga sejarah Yesus yang sesungguhnya nyaris
mustahil untuk diketahui, maka bercermin dari kasus ini boleh jadi tradisi
riwayat-riwayat mengenai Al-Quran dan Muhammad SAW diyakini melalui
proses serupa.
Kedua, meskipun pada prinsipnya diterima dan diajarkan melalui
hafalan, Al-Quran juga dicatat dengan menggunakan berbagai medium
9
Taufik Adnan Amal,Rekontruksi Sejarah Al-Quran, (Jakarta: Alvabet, 2005),h.422.
tulisan. Hingga wafatnya Rasulullah SAW, hampir seluruh catatan awal
tersebut milik pribadi para sahabat Nabi,dan karena itu berbeda kualitas dan
kuantitasnya satu sama lain. Karena untuk keperluan masing-masing, banyak
yang menuliskan catatan tambahan sebagai keterangan atau komentar di
pinggir ataupun di sela-sela ayat yang mereka tulis. Baru kemudian,
menyusul berkurangnya jumlah penghafal Al-Quran karena gugur di medan
perang, usaha kodifikasi pun dilakukan oleh suatu tim yang di bentuk atas
inisiatif Umar r.a. yang pada akhirnya disepakati oleh Abu Bakar as-Siddiq
r.a. hingga Al-Qur’an terkumpul dalam satu mushaf berdasarkan periwayatan
langsung dan mutawatir dari Nabi SAW10 Setelah wafatnya Abu Bakar ra,
mushaf tersebut disimpan oleh Khalifah Umar r.a. sampai beliau wafat, lalu
disimpan oleh Hafsah, sebelum kemudian diserahkan kepada Khalifah
Utsman ra. Pada masa inilah, atas desakan permintaan sejumlah sahabat,
suatu tim ahli sekali lagi dibentuk dan mendata kembali semua qira’at yang
ada, serta meneliti dan menentukan nilai kesahihan periwayatannya untuk
kemudian dijadikan standardisasi demi mencegah kekeliruan dan
perselisihan. Hasilnya dibukukan dalam beberapa mushaf standar yang
masing-masing mengandung qira’at mutawatir yang disepakati kesahihan
periwayatannya dari Nabi SAW. Jadi, sangat jelaslah fakta sejarah dan proses
kodifikasi AlQuran. Para orientalis yang ingin mengutak-atik Al-Quran
biasanya akan mulai dengan mempertanyakan fakta ini dan menolak hasilnya.
Mereka menganggap sejarah kodifikasi tersebut hanya kisah fiktif dan
mengatakan bahwa proses kodifikasi baru dilakukan pada awal abad ke-3 H
atau ke-9 M.11
Ketiga, kesalahan mengenai rasm dan qira’at. Sebagaimana diketahui,
tulisan Arab atau khat mengalami perkembangan sepanjang sejarah. Pada
kurun awal Islam, Al-Quran ditulis gundul, tanpa tanda baca sedikit pun.
Sistem vokalisasi baru diperkenalkan kemudian. Meskipun demikian, rasm
Utsmani sama sekali tidak menimbulkan masalah, mengingat kaum Muslimin
10
Abdul Hamid, (2016). Pengantar Studi Al-Qur’an. Jakarta: Kencana.hal.61
saat itu belajar Al-Quran langsung dari para sahabat, dengan cara menghafal
dan bukan tulisan. Mereka tidak bergantung pada manuskrip atau tulisan.
Jadi, orientalis seperti Jeffery dan Puin telah menyimpulkan sendiri bahwa
teks gundul inilah sumber perbedaan bacaan sebagaimana terjadi dalam kasus
Bible, serta keliru menyamakan qira’at dengan cara baca (readings), padahal
qira’at adalah hafalan yang mengandalkan kekuatan ingatan (recitation from
memory) dan bukan bacaan yang berdasarkan teks (reading the text). Mereka
tidak tahu bahwa dalam hal ini kaidahnya adalah bahwa tulisan Al-Quran
harus mengacu pada bacaan yang diriwayatkan dari Nabi SAW dan bukan
sebaliknya. Orientalis juga salah paham mengenai rasm Al-Quran Mereka
berpendapat bahwa munculnya bermacam-macam qira’at disebabkan oleh
rasm Al-Quran tersebut, sehingga setiap pembaca bisa saja berimprovisasi
dan membaca sepengetahuannya. Padahal ragam qira’at telah ada lebih
dahulu sebelum adanya rasm. Mereka juga tidak mengerti bahwa rasm Al-
Quran11 telah disepakati dan di desain sedemikian rupa sehingga dapat
mewakili dan menampung berbagai qira’at yang diterima. Misalnya Kata
ادعونUU )يخyukhadi’una), dengan memanjangkan huruf kha ( ) خberdasarkan
qira’at Nafi’, Ibnu Katsir, dan Abu ‘Amr, dan dengan memendekkan huruf
kha ( ) خmenjadi “ )يخدعون,“yakhda’uuna), mengikut qira’at Ashim, al-Kisa’i,
Ibnu Amir, dan Abu Ja’far. Begitu pula kata “دناUU“ )واعwaa’adna) dengan
memanjangkan huruf waw () وuntuk mengikuti qira’at Ibnu Katsir, ‘Asim,
Al-Kisa’i, dan memendekkan huruf waw )( وuntuk mengikuti qira’at Abu
‘Amr, Abu Ja’far, Ya’qub. Jadi, pada prinsipnya tidak ada qira’at mutawatir
yang tidak terwakili, semuanya telah ditampung oleh standar Utsmani, sebab
para ulama sepakat tentang syarat-syarat diterimanya sebuah qira’at yaitu:
Pertama, isnad qira’at harus mutawatir. Kedua, qira’at, harus sejalan dengan
kaidah-kaidah bahasa Arab, karena qira’at yang tsabitah dan baku akan
menjadi penguat bagi bahasa Arab dan bukan sebaliknya Ketiga, sesuai
dengan rasm (tulisan) mushaf Utsmani atau sesuai dengan salah satu dari
11
Abdul Hamid, (2016). Pengantar Studi Al-Qur’an. Jakarta: Kencana. Hal. 61-62
enam masahif standar Utsmani yang ketika itu dikirim ke Mekkah, Basrah,
Kufah, Dimashq, Madinah, dan yang disimpan oleh Khalifah Utsman r.a.
sendiri. Dengan demikian, secara umum dapat ditegaskan bahwa pendapat
para orientalis seperti Jeffrey, Puin, Luxenberg dana para pengikutnya
dianggap omong-kosong, karena tidak bisa dibuktikan secara ilmiah12
BAB ⅠⅠⅠ
PENUTUP
D. Kesimpulan Orientalis adalah orang-orang non muslim yang mempelajari
islam atau studi keislaman di dunia timur secara mendalam dengan tujuan
untuk menghancurkan Islam dari dalam maupun hanya ingin mempelajari
Islam semata. Bahkan seakan-akan mereka orangorang orientalis seperti
orang islam sendiri. Padahal mereka mempelajari islam dalam keadaan
tanpa iman pada Allah. Para Orientalis orang yang benar-benar tertutup
hati mereka, walaupun telah di tunjukkan kebenaran mereka akan tetap
tidak faham, dunia ini semakin tua semakin menjadi, Islam yang jelas-jelas
adalah agama yang benar tidak pernah di anggap benar oleh mereka.
Orientalis hanya ingin menghancurkan Islam semata.
, DAFTAR PUSTAKA
Menundukkan Timur.
12
Abdul Hamid, (2016). Pengantar Studi Al-Qur’an. Jakarta: Kencana.
Lih. The Cll of The Mirutrate karangan kenneth gragg