Anda di halaman 1dari 17

STUDI ORIENTALISME TENTANG NABI MUHAMMAD.

SAW
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Orientalisme & Oksidentalisme
Dosen pengampu : Prof Dr. Hj Yeni Huriani M.Hum

KELOMPOK 4

Fauzan Nurfalah 1211020021


Fitriana Aswati 1211020022
Imas Nurmalasari 1211020029

JURUSAN STUDI AGAMA-AGAMA


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2023
BAB I

PENDAHULUAN

Orientalisme dan Oksidentalisme adalah dua konsep yang mencerminkan pandangan dan
representasi budaya Timur dan Barat secara relatif. Sejarah keduanya mencerminkan dinamika
kompleks dalam interaksi antara dunia Timur dan Barat selama berabad-abad. Orientalisme
muncul sebagai konsep pada abad ke-18, ketika Eropa mulai mengembangkan minat yang
mendalam terhadap budaya, bahasa, dan tradisi Timur, khususnya Asia dan Timur Tengah.
Orientalisme tidak hanya mencakup studi akademis, tetapi juga mencakup pandangan dan
interpretasi Barat terhadap dunia Timur. Para orientalis Eropa sering memandang budaya Timur
sebagai eksotis, misterius, atau primitif, sering kali menciptakan citra stereotip dan bias.

Di sisi lain, Oksidentalisme adalah pandangan atau representasi tentang Barat dari
perspektif Timur. Seiring dengan pertumbuhan interaksi antarbudaya, terutama melalui
imperialisme dan kolonialisme, pandangan Timur terhadap Barat berkembang. Beberapa
pandangan ini bisa mencakup pemahaman tentang modernitas, teknologi, atau gaya hidup Barat
sebagai sesuatu yang diidamkan atau, sebaliknya, dianggap sebagai ancaman terhadap nilai-nilai
tradisional. Perjalanan sejarah Orientalisme dan Oksidentalisme mencerminkan ketidaksetaraan
kekuasaan dan hubungan antarbudaya yang kompleks. Pada satu sisi, orientalisme menciptakan
gambaran yang sering kali terdistorsi atau kolonialistik tentang dunia Timur, sementara
oksidentalisme mencerminkan respons terhadap pengaruh Barat di dunia Timur. Seiring waktu,
perdebatan dan kritik terhadap kedua konsep ini terus berkembang, menciptakan pemahaman
yang lebih nuansa tentang keragaman budaya dan kompleksitas hubungan antara Timur dan
Barat.

Perjalanan sejarah Orientalisme dan Oksidentalisme menjadi semakin kompleks seiring


berjalannya waktu, terutama pada abad ke-19 dan ke-20. Pada abad ke-19, Orientalisme semakin
terkait dengan upaya akademis dalam studi bahasa, arkeologi, dan antropologi. Namun, pada saat
yang sama, pandangan politik dan orientalis kolonial juga membentuk pemahaman Barat
terhadap dunia Timur. Imperialisme Eropa di wilayah Timur Tengah dan Asia memperkuat
pandangan stereotip tentang "keunggulan Barat" dan "ketertinggalan Timur." Di sisi lain,
Oksidentalisme di Timur berkembang sebagai respons terhadap penjajahan dan modernisasi
Barat. Beberapa intelektual dan reformis di dunia Timur melihat kemajuan teknologi, ilmu
pengetahuan, dan sistem politik Barat sebagai kunci untuk mengatasi ketertinggalan. Namun, di
saat yang sama, ada pula resistensi terhadap pengaruh Barat, dengan upaya mempertahankan dan
menghidupkan kembali nilai-nilai dan tradisi lokal.

Abad ke-20 melihat pergeseran dinamika antarbudaya ini dengan dekolonisasi yang
menyebabkan munculnya negara-negara baru di Asia dan Afrika. Meskipun terjadi upaya untuk
memahami dan mengatasi stereotip yang ada, warisan Orientalisme dan Oksidentalisme masih
dapat dirasakan dalam politik, budaya populer, dan hubungan internasional hingga saat ini.
Seiring globalisasi dan teknologi informasi, pertukaran budaya antara Timur dan Barat semakin
cepat. Namun, tantangan interpretasi kultural tetap relevan, dan pemahaman yang lebih
mendalam tentang kompleksitas budaya dan sejarah saling ketergantungan antara Timur dan
Barat menjadi semakin penting.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Orientalisme
Orientalisme berasal dari kata orient, bahasa Perancis yang secara harfiah
bermakna timur dan secara geografis memiliki makna belahan dunia bagian timur juga
secara etimologis bermakna bangsa-bangsa dari timur. Kata “orient” telah memasuki
berbagai bahasa di Eropa, termasuk bahasa Inggris. Oriental adalah sebuah kata sifat
yang bermakna hal-hal yang bersifat timur, yang teramat luas ruang lingkupnya.
Orientalis adalah kata nama pelaku yang menunjukkan seseorang yang ahli tentang hal-
hal yang berkaitan dengan “Timur” itu biasanya disingkat dengan sebutan ahli ketimuran.
Sedangkan kata isme (Belanda) maupun ism (Inggris), menunjukkan pengertian tentang
suatu paham. Jadi orientalisme bermakna sesuatu paham atau aliran, yang berkeinginan
menyelidiki hal hal yang berkaitan dengan bangsa-bangsa timur beserta lingkungannya.1
Menurut Lathifah Ibrahim Khadhar, Orientalis adalah mereka yang mengkaji dunia
Timur secara umum, Timur Dekat maupun Timur Jauh, baik dalam bidang bahasa, sastra,
peradaban, maupun agamanya ( jurnal pengertian 2 )1
Orientalisme dalam pengertian sempit adalah kegiatan penyelidikan ahli
ketimuran di Barat tentang agama-agama di Timur, khususnya tentang agama Islam.
Kegiatan penyelidikan dalam bidang tersebut telah berlangsung selama berabad-abad
secara sporadic, tetapi baru memperlihatkan eksistensinya yang luar biasa sejak abad XIX
M. sikap dan pandangan terhadap masing-masing agama di Timur, khususnya agama
Islam, sangat berbeda-beda menurut sikap mental dari kaum orientalis itu. Sikap dan
pandangan kaum Orientalis terhadap agama Islam pada umumnya lebih ditujukan kepada
kenabian Nabi Muhammad Saw, alQur‟an sebagai wahyu, pokok-pokok keyakinan dan
kebaktian di dalam Islam, sekte-sekte di dalam Islam termasuk sekte sufi dan tentang
berbagai hal lainnya. Itulah pengetian sempit dari orientalis. Akan tetapi sebetulnya
orientalisme mempunyai pengertian yang luas sekali, karena langsung berkaitan dengan

1
Agus Akhmadi, “Moderasi Beragama Dalam Keragaman Indonesia Religious Moderation in Indonesia ’ S
Diversity,” Jurnal Diklat Keagamaan 13, no. 2 (2019): 45–55.
hal-hal yang bersangkutan dengan bangsa-bangsa diTimur beserta lingkungannya,
sehingga meliputi seluruh bidang kehidupan dan sejarah bangsa-bangsa di Timur. 2

Beberapa ahli mengemukakan definisi dari orientalisme sebagai berikut:


1. Ismail Yakub misalnya, ia mengatakan bahwa Orientalisme adalah aksentuasi
pada studi mengenai dunia Islam dan Arab. Studi-studi tersebut meliputi
budaya, peradaban, agama, perikehidupan dan lain sebagainya.
2. Mahmud Hamid Zarzuq mengatakan bahwa Orientalisme adalah semua ahli
Barat yang mempelajari dunia Timur yang Islam. Halhal yang dipelajari
meliputi, bahasa, sastra, sejarah, keyakinan-keyakinan, syari’atsyari’at dan
peradabannya.
3. Abdullah Laroui yang mendefinisikan istilah Orientalisme khusus terkait
dengan studi Islam. Ia mengatakan a westerner who takes Islam as a subject of
his research.
Dll.

Dari ketiga para ahli yang mengemukakan definisi tentang orientalisme maka dapat di ambil
hal yang menarik yaitu pada awalnya orientalisme dipahami sebagai suatu paham atau aliran
pemikiran yang dilakukan oleh sarjana-sarjana Barat terhadap perkembangan dan kemajuan
negara-negara Timur, baik dari aspekagama, bahasa, budaya, sejarah maupun aspek lainnya.
Belakangan, sebagian ahli menyebutkan bahwa Orientalisme adalah kajian yang dilakukan oleh
para sarjana Barat tentang dunia Timur terutama yang berkaitan dengan dunia Arab dan Islam.
Pada awalnya, kajian Islam yang dilakukan oleh orang-orang Barat atau ilmuan Barat hanya
ditujukan kepada materi-materi keislaman secara umum seperti bidang sastra dan sejarah.
Namun, dalam perkembangannya kajian tersebut mengalami spesifikasi sehingga lahir berbagai
kajian seperti al-Qur’an, Hadis, akidah, syari'ah, budaya, sejarah, hukum dan lain sebagainya.
( jurnal pengertian 3 )3

B. Sejarah Orientalisme

2
Andreas Fernandez, Djayeng Tirto, and Ichsan Malik, “Perpaduan Nilai Budaya Dan Agama Sebagai Sarana
Resolusi Konflik Kepentingan : Tinjauan Atas Falsafah ‘ Tuan Ma ’ Di Larantuka,” Jurnal Damai Dan Resolusi Konflik
7, no. 2 (2021): 283–305.
3
umam khairul, “Jurnal Penelitian Dan Pemikiran Keislaman,” INTERPRETASI KENABIAN(Peran Ganda Nabi
Muhammad Sebagai Manusia Biasa Dan Rasul) 2, no. 1 (2020): 36–46.
Munculnya gerakan Orientalisme di mulai pada awal abad ke-13. Bertepatan
dengan terbitnya ketetapan (konferensi) Gereja Viena. Tujuan diadakan ketetapan ini
untuk membangun sebuah lembaga penelitian Bahasa Arab di berbagai universitas Eropa.
Pada saat inilah kebanyakan ahli sejarah menyepakati awal mula munculnya
Orientalisme. Namun ada juga yang berpendapat secara umum kemunculannya
disebabkan karena perang antara Barat dan Timur dikarenakan banyaknya perbedaan
dalam ideologi dan agama. Orientalisme memiliki akar dalam periode abad ke-18 dan ke-
19, ketika eksplorasi dan kolonialisme Eropa semakin meluas ke wilayah Timur, seperti
India, Timur Tengah, dan Asia. 4
Cendekiawan Eropa mulai mempelajari budaya Timur, bahasa, agama, dan
sejarah untuk memahami dan menguasai wilayah-wilayah tersebut. Salah satu tokoh
penting dalam perkembangan orientalisme adalah Joseph Scaliger (1540-1609), seorang
cendekiawan Belanda yang mengkhususkan diri dalam studi bahasa dan sejarah Timur
Tengah. Orientalisme mencapai puncaknya pada abad ke-19, ketika banyak universitas
Eropa mendirikan departemen atau kursus orientalisme.5
Jika di urutkan beberapa fase perkembangan atau sejarah orientalisme banyak sekali
referensi yang bisa didapatkan namun berikut adalah beberapa fase dari sejarah
orientalisme:
1. Masa keemasan dunia islam
Pada zaman keemasan dunia Islam, negeri-negeri Islam khususnya Baghdad
sebagai Pusat peradaban Islam bagian Timur dan Andalusia (Spanyol) sebagai pusat
peradaban Islam bagian Barat menjadi pusat peradaban ilmu pengetahuan. Bangsa-
bangsa Eropa yang menjadi penduduk asli Andalusia menggunakan bahasa Arab
sebagai bahasa komunikasi dan adat-istiadat Arab dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam suasana inilah muncul orientalisme dikalangan Barat. Bahasa Arab mulai
dipandang sebagai bahasa yang harus dipelajari dalam bidang ilmiah dan filsafat.
Pelajaran bahasa Arab dimasukan kedalam kurikulum diberbagai perguruan tinggi di
Eropa, seperti di Bologna (Italia) pada tahun 1076, Tujuan orientalisme pada masa ini
adalah memindahkan ilmu pengetahuan dan filsafat dari dunia Islam ke Eropa.

4
Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman, “Al-Mutsla” 3, no. 2 (2021): 96–106, https://doi.org/10.21154/al-tahrir.v11i1.32.1.
5
umam khairul, “Jurnal Penelitian Dan Pemikiran Keislaman.”
Tujuan ini meningkatkan minat mereka dalam mempelajari bahasa Arab di
universitas-universitas. ( jurnal sejarah orientalise 3 )6
2. Masa perang salib sampai masa pencerahan di eropa
Perang Salib antar umat Islam Timur dan Kristen Barat yang menghabiskan
tenggang waktu antara tahun 1096-1291 membawa kekalahan dan kerugian bagi
Kristen. Namun demikian tidak berarti umat Islam tidak menderita. Akibat perang
salib putra-putra terbaik bangsa gugur dimedan tempur. Aset-aset dan kekayaan
negara berupa sarana dan prasarana pada saat itu, banyak mengalami kehancuran.
Kemiskinan, dekadensi moral dan kebodohan terjadi akibat perhatian para pemimpin
terfokus pada pertahanan kekuasaan dari serangan tentara salib. Oleh karena itu, umat
Islam tidak mendapatkan keuntungan apapun dari perang salib, selain kehancuran.
Sebaliknya, meskipun umat Kristen dinyatakan kalah, tetapi kontak Islam-Kristen ini
mempunnyai sumbangsih yang sangat besar terhadap lahirnya renaissance kemajuan
peradaban ilmu pengetahuan di Eropa setelah bangsa Eropa tenggelam dalam
kegelapanPadaperiode awal perang salib ini, dibentuklah studi Islam untuk tujuan
misi pada abad ke-12 pada masa Peter Agung (sekitar 1094-1156), kepala biara pria
Cluny di Prancis yang hingga saat ini menjadi lembaga utama pengetahuan Kristen.
Pada tahun 1142 Peter sebagai kepala lembaga mengadakan perjalanan ke Andalusia
(Spanyol) untuk mengunjungi biarabiara Clunic. Pada saat inilah Peter memutuskan
untuk melakukan sebuah proyek besar untuk melibatkan beberapa penerjemah dan
sarjana, untuk memulai studi sistematis tentang Islam. Ketika Peter memberikan
otoritas untuk penerjemahan dan penafsiran teksteks Islam yang berbahasa Arab
terjadilah cerita-cerita cabul tentang Muhammad. Cerita itu melukiskanMuhammad
sebagai tuhan, pendusta, penggemar wanita, seorang Kristen yang murtad, tukang
sihir dan sebagainya.
Pada masa perang salib inilah atau bisa dikatakan pasca perang salib barulah para
orientalis atau bangsa eropa mulai menerjemahkan ayat-ayat al-qur’an,sirah nabi,dll.
ketika bangsa eropa menerjemahkan itu semua muncul lah narasi yang tidak baik

6
A Tohari, “Konsep Oksidentalisme Hasan Hanafi Di Era Westernisasi Dan Korean Wave,” ULIL ALBAB: Jurnal Ilmiah
Multidisiplin 1, no. 6 (2022): 1653–59, http://ulilalbabinstitute.com/index.php/JIM/article/view/406%0Ahttp://
ulilalbabinstitute.com/index.php/JIM/article/download/406/328.
terhadap nabi Muhammad.saw itu semua didasari karena ketidaksukaan para
orientalis terhadap nabi Muhammad. ( jurnal orientalisme 3 )
3. Masa reneicans
Pada fase ini timbul pada abad ke16, dimana orientalisme bisa disebut sebagai
gerakan anti Islam yang dimotori dua kekuatan agama besar, yaitu Yahudi dan
Kristen. Perang salib telah memicu Eropa Kristen memberi motivasi anti Islam.
Menurut Kristen bahwa Islam adalah agama teroris, perusak dan barbarian. Bahkan
lebih jauh Eropa memandang Islam merupakan sejarah memilukan yang taka da
ujung pangkalnya. Ketegangan antara Kristen dan Islam yang timbul akibat adanya
tulisan-tulisan negatif dari para orientalis yang dialamatkan kepada Islam dan umat
Islam mulai mereda setelah memasuki masa pencerahan (enlightenment) yang diawali
dengan mencari kebenaran. Sikap positif ini muncul akibat adanya perubahan
religius, politik, dan intelektual yang mendalam pada reformasi pada abad ke-16.
Pada masa pencerahan ini kekuatan rasio mulai meningkat, dimana sebuah tulisan
yang dibutuhkan adalah objektif, bukan mengada-ada. Mulailah muncul karya-karya
mengenai Islam mengandung serangan-serangan dan menjelek-jelekan, dan ada juga
penghargaan terhadap nabi Muhammad SAW dan Al-Qur‟an serta ajaran-ajarannya.
Pada abad ke-17-18 M yang merupakan fase penting orientalisme, karena hal ini
bersamaan dengan gerakan yang berbarengan dengan modernisasi Barat. Barat
memiliki kepentingan untuk menimba ilmu bagaimana Islam dapat menjadi
peradaban gemilang selama 7 abad. Dalam periode ini, raja-raja dan ratu-ratu di
Eropa konsnsus untuk mendukung pengumpulan data beekaitan dengan ketimuran.
Walaupun orang Barat sangat memerlukan Islam, tetapi perseteruan masih tetap
membara. Karena itu, selain mengumpulkan informasi tentang Timur, mereka tetap
menyebarkan informasi negatif kepada masyarakat Barat tentang timur atau Islam.
akibatnya, periode ini banyak diterbitkan buku-buku yang berisi mengenai hujatan
terhadap Islam ketimbang mendidskripsikan Islam secara faktual, sebagaimanayang
dilakukan John Wansbroug dengan mempermasalahkan keautentikan al-Qur’an
bukan dianggap wahyu tuhan tetapi mereka berasusmsi bahwa al-Qur’an adalah
buatan Nabi SAW. Sepanjang zaman keemasannya pada abad ke-19, orientalisme
telah melahirkan banyak cendekiawan, telah meningkatkan jumlah bahasa-bahasa
yang diajarkan di Barat dan jumlah manuskripmanuskrip yang disunting,
diterjemahkan, dan ditafsirkan. Dalam banyak hal, orientalisme telah memberikan
(kepada Timur) pengkaji-pengkaji Eropa yang simpatik, yang benar-benar tertarik
pada masalah-masalah seperti tatabahasa sansakerta, huruf paku Funisia, dan Syair
Arab. ( jurnal orientalisme 2 )

C. Pengertian Oksientalisme
Oksidentalisme berasal dari bahasa Inggris, occident, yang berarti negeri barat.
Sehingga oksidentalisme dapat dimaknai sebagai studi tentang Barat dengan segala
aspeknya. Oksidentalisme ini dilawankan dengan orientalisme, namun demikian
oksidentalisme tidak memiliki tujuan hegemoni dan dominasi sebagaimana orientalisme.
Secara ideologis, oksidentalisme versi Hanafi diciptakan untuk menghadapi Barat yang
memiliki pengaruh besar terhadap kesadaran peradaban kita. Asumsi yang dibangunnya
adalah bahwa Barat memiliki batas sosio politik kulturalnya sendiri. Oleh karena itu,
setiap usaha hegemonisasi kultur dan pemikiran Barat atas dunia lain, harus dibatasi.
Dengan demikian, Barat harus dikembalikan pada kewajaran batas-batas kulturalnya.
Hanafi berupaya melakukan kajian atas Barat dalam perspektif historis-
kultural Barat sendiri.7

D. Sejarah Oksidenalisme
Oksidentalisme merujuk pada sudut pandang atau interpretasi terhadap Barat oleh
masyarakat non-Barat, khususnya di dunia Timur. Sejarah oksidentalisme dimulai pada
abad ke-18 dan ke-19 ketika kontak intensif antara dunia Barat dan Timur berkembang
seiring dengan era imperialisme Eropa. Pada masa ini, orientalisme, yang lebih dulu
muncul, menciptakan citra eksotis dan sering kali distorsionis tentang budaya Timur.
Seiring dengan meningkatnya hubungan antara kedua dunia tersebut, muncul pemahaman
yang lebih mendalam tentang realitas dan kompleksitas masyarakat Timur. Namun,
oksidentalisme tetap mempertahankan ketidaksetaraan kekuasaan dan stereotip negatif
terhadap Barat, sering kali sebagai bentuk reaksi terhadap dominasi Barat. Seiring
berjalannya waktu, oksidentalisme telah berubah dan melibatkan berbagai pemikiran

7
“No Title‫بییب‬,” n.d., 51–73.
kritis tentang modernitas, kapitalisme, dan nilai-nilai Barat, mencerminkan dinamika
yang terus berkembang dalam hubungan antara Barat dan dunia non-Barat.8
Pada abad ke-20, oksidentalisme terus berkembang sebagai reaksi terhadap
modernisasi dan globalisasi yang didominasi oleh Barat. Beberapa pemikir postkolonial,
seperti Edward Said, menekankan bahwa oksidentalisme tidak hanya merupakan
pandangan dari Timur terhadap Barat, tetapi juga hasil dari hegemoni kekuasaan dan
pengaruh Barat dalam merancang naratif global. Said, dalam karyanya yang terkenal
"Orientalism" (1978), mengkritik orientalisme sebagai alat legitimasi imperialisme
Barat.9
Selama beberapa dekade terakhir, oksidentalisme juga menjadi semakin terkait
dengan identitas budaya dan politik. Beberapa kelompok di dunia non-Barat
menggunakan oksidentalisme untuk merumuskan resistensi terhadap nilai-nilai Barat
yang dianggap merusak tradisi dan identitas lokal. Namun, penting untuk diingat bahwa
pandangan ini tidak merata dan banyak individu di dunia non-Barat mengadopsi elemen-
elemen budaya Barat tanpa menolak identitas lokal mereka.10
Seiring dengan perkembangan teknologi dan globalisasi, oksidentalisme menjadi
semakin kompleks dan terus berubah. Meskipun terdapat kritik terhadap penggunaan
konsep ini, terutama karena potensi untuk memperkuat stereotip dan konsep-konsep yang
tidak akurat, pemahaman yang lebih kritis dan inklusif terhadap hubungan antara Barat
dan non-Barat terus berkembang. Sejarah oksidentalisme mencerminkan dinamika
kompleks dalam perjalanan budaya, politik, dan intelektual antara kedua belah pihak. 11

E. Pengaruhnya Dalam Studi Islam


Studi Islam di Barat, sulit dipungkiri turut membentuk cara pandang
sarjanasarjana muslim tamatan universitas-universitas Barat terhadap Islam. Dimana
menurut Azyumardi Azra bahwa ada dua pendekatan dalam mengkaji Islam, yaitu

8
Yogi prana Izza, “Oksidentalisme ; Membuka Kedok Imperalisme Barat,” At-Tuhfah 5, no. 9 (2017): 1,
https://doi.org/10.36840/jurnalstudikeislaman.v5i9.46.
9
umam khairul, “Jurnal Penelitian Dan Pemikiran Keislaman.”
10
“Mendidik Mencerdaskan Bangsa.Pdf,” n.d.
11
Abdurrohman dan Umma Farida Kasdi, “Oksidentalisme Sebagai Pilar Pembaharuan,” Fikrah I, no. 2 (2013): 231–
52.
teologis dan sejarah agama-agama. Dari dua pendekatan tersebut pendekatan kedua yakni
sejarah agamalah yang dominan dipakai oleh para pengkaji Islam di Barat berakar dalam
beberapa disiplin traditional. Pertama, adalah mereka yang berakar pada disiplin
humaniora traditional, yang mencakup filologi, filsafat, literature dan sejarah. Kedua,
yang berakar pada disiplin teologi, seperti sejarah kitab suci dam sejarah institusi-institusi
agama. Ketiga, yang berakar pada ilmu-ilmu sosial, khususnya antropologi, linguistic dan
psikologi. Dan Keempat, yang berakar padastudi-studi kawasan yang menjadi salah satu
titik tolak “orientalisme” yakni “dunia Timur” (khususnya kajian Timur Tengah, Asia
Selatan dan Asia Tenggara). Pertumbuhan minat untuk memahami Islam lebih sebagai
“tradisi keagamaan yang hidup”. Yang historis, ketimbang “kumpulan tatanan doktrin”,
yang terdapat dalam Al-Qur’an dan hadits, menemukan momentum kuat dan
pertumbuhan kajian-kajian Islam di beberapa universitas besar dan terkemuka di Amerika
Serikat. Tradisi ini pertamakali tumbuh di Eropa, yang selanjutnya dikembangkan di
Amerika oleh sarjana semacam D.B. Macdonald (1863-1943) dan H.A.R. Gibb.12
Pada umumnya orientalis membahas Islam dengan pendekatan saintifik.
Fenomena Islam dianalisis dengan teori ilmiah tertentu. Misalnya dengan pendakatan
historis, sosiologis, psikologis dan sebagainya.20 Pendekatan tersebut meskipun turut
memberikan kontribusi bagi studi Islam, namun kelemahannya yang besar adalah Islam
ditempatkan sebagai fenomena empirik sensual, fenomena historik dan semata-mata
kontekstual dengan mengabaikan segi tekstual sehingga menghilangkan bahkan
menolak esensi Islam sebagai wahyu.13
Lebih lanjut, mengenai studi di Barat, Asyumardi Azra juga menganalisis bahwa
terdapat beberapa hal yang harus menjadi bahan pertimbangan terhadap studi yang
dilakukan oleh orientalis. Pertama,kajian-kajian tentang Islam yang dilakukan di Barat
cenderung bersifat “esensialis” yakni menjelaskan seluruh fenomena masyarakat dan
kebudayaan muslim dalam rangka konsep tunggal dan tidak berubah. Dengan kata lain
berlaku pada masyarakat dan kebudayaan Islam. Contohnya, terdapatnya radikalisme
kelompok-kelompok muslim tertentu di Timur Tengah, dipandang sebagai berlaku dan
12
H.Muhammad Bahar Akkase Teng, “Orientalis Dan Orientalisme Dalam Perspektif Sejarah,” J U Rna L I Lm U B U
D Aya 4, no. 1 (2016): 48–63.
13
Dian Nurrachman, “Orientalisme Vs Oksidentalisme : Benturan Dan Dialogisme Budaya Global Di Saat
Melemahnya Kekuasaan Daulah Usmaniyah ( Turki Usmani ) Negara-Negara Timur . Dari Sisi Kesejarahan Tersebut ,
Orientalisme,” Jurnal Lecture Keagamaan Vol.15, no. No.2 (2017): 38.
absah juga dalam masyarakat muslim di tempat lain. Kedua, kajian-kajian tentang Islam
di Barat dimotivasi oleh kepentingan-kepentingan politis, dengan menciptakan citra yang
tidak benar dan distortif tentang Islam dan masyarakat muslim.Ketiga, kajian-kajian
tentang Islam di Barat merupakan upaya untuk melestarikan “kebenaran-kebenaran” yang
dicapai atas nama Muhammad Abdul Rauf, sarjana-sarjana barat misalnya, menggunakan
kategori-kategori Marxis untuk menjelaskan perkembangan sejarah tertentu dikalangan
kaum muslim, seraya menolak dan mengabaikan kategori-kategori Islam sendiri.
Tetapi bagaimanapun juga gambaran mengenai tradisi keilmuan tersebut
sebenarnya telah menjadi diskursus atau wacana ilmiah sejak dulu. Dan bila menelusuri
jejak-jejak muncul dan berkembangnya pemikiran dan pemikir modern dalam Islam,
maka akan didapati realitas bahwa semuanya itu muncul setelah bersentuhan dengan
Barat. Hampir tidak ada suatu negara yang mayoritas berpenduduk Islam dimanapun
yang melakukan modernisasi, tanpa sebelumnya mendapat “penetrasi” dari Barat. Suatu
kenyataan lain yang juga tidak bisa diingkari adalah hampir semua pemikir modern Islam
adalah juga produk Barat. Misalnya, Fazlur Rahman, Iqbal, Ali Syari’ati, Sayid Qutub,
Hasan Hanafi, Abdullah an Na’im, Muhammad Arkoun, Riffat Hasa, Seyyed Hossein
Nasr dan juga pemikir dari Indonesia sendiri, misalnya, Nurcholish Madjid, Harun
Nasution, dan lain-lain. Mereka bukan saja menguasai khasanah keilmuan Islam, tetapi
juga keilmuan Barat sekaligus. 14
Kenyataan ini seolah memberikan suatu keniscayaan bahwa seandainya negara
yang berpenduduk muslim dan pemikirnya tidak bersentuhan dengan Barat, maka tidak
akan muncul gerakan dan pemikiran modern.Dengan corak dan karakteristik studi Islam
di Barat, seperti dikemukakan di atas, jelaslah salah satu akar utama cara pandang
sarjana-sarjana muslim yang memperoleh pendidikan lanjutan tentang Islam di
universitas-universitas di Barat. Pendekatan historis terhadap Islam turut membentuk cara
pandang mereka yang sering disebut lebih “liberal” menyangkut Islam. Liberalisme
pandangan itu berkaitan dengan concernmereka pada umumnya yang memang lebih pada
kenyataan historis dan sosiologis Islam ketimbang doktrin Islam itu sendiri. Di sini
mereka kemudian sering dituduh sebagai tidak atau kurang mempunyai “kesetiaan”
kepada Islam, dan sebaliknya menjadi pengikut “orientalis” belaka. Padahal masalahnya

14
Teng, “Orientalis Dan Orientalisme Dalam Perspektif Sejarah.”
terletak bukan pada soal setia atau tidak kepada Islam, melainkan pada pendekatan
semata-mata. 15
Hal ini pula yang menjadi kekhawatiran para umat Islam sebagaimana di tulis
oleh Komaruddin Hidayat, bahwa : “Kajian tentang orientalis sudah memiliki akar
tradisi yang cukup panjang di dunia akademik Barat. Namun orientalisme yang sudah
berkembang berpuluh-puluh atau bahkan ratusan tahun cenderung dijadikan sebagai
alat ideologis Barat untuk melakukan hegemoni dan imperalisme baru terhadap dunia
Timur terutama dunia Islam. Hal ini telah menimbulkan stigma dikalangan umat Islam
bahwa apapun yang dikatakan sarjana Barat tentang Islam lalu dicurigai.”
Lebih dari itu, beberapa sarjana alumni IAIN yang mempeorleh kesempatan
mengambil program lanjutan di perguruan tinggi Barat dan bidang Islamic Studies ketika
kembali ke tanah air seringkali dicurigai sebagai telah terpengaruh atau terkontaminasi
oleh pemikiran orientalis. Karena citra orientalis yang dianggap tidak netral, maka
banyak akademisi barat yang mendalami Islam dan bergerak di dunia kampus lebih
senang disebut sebagai Islamist, bukannya orientalist.Lebih lanjut yang menjadi
persoalan lagi adalah bagaimana dengan sarjana tamatan Timur Tengah?. Dimana
sarjana-sarjana muslim khususnya Indonesia tamatan Timur Tengah sering dipandang
secara beragam sebagai lebih “setia” dan mempunyai “komitmen” yang tinggi terhadap
Islam. Sehingga tamatan Timur Tengah menggunakan pendekatan normatif dalam
berpikir dan tidak liberal, dan bahkan cenderung menjadi fundamentalis, benarkah kesar
seperti itu. 16
Memang mengenai sejauh manakah peran dan pengaruh dua kelompok benar
sarjana terhadap perkembangan Islam mengundang perdebatan yang cukup hangat. Dan
hampir dipastikan perbincangan sekitar masalah ini akan terus berlangsung di masamasa
mendatang. Secara realita ada juga tamatan Timur Tengah yang liberal, seperti yang
disimbolisasikan oleh Mona Abaza dalam figur Abdurrahman Wahid. Dalam sketsa
biografi Wahid, Abaza tidak luput melukiskan kecenderungan kebebasan ekspresi
intelektual di Mesir; termasuk kekaguman Wahid pada penulis-penulis liberal Mesir yang

15
Evayatun NIMAH, “Pengaruh Orientalisme Dalam …,” Majalah Ilmiah Tabuah: Ta’limat, Budaya, Agama Dan
Humaniora, 2021, 22.
16
Izza, “Oksidentalisme ; Membuka Kedok Imperalisme Barat.”
terlibat dalam perdebatan hangat dengan kelompok konservatif dari kalangan Al Azhar. 17
Namun liberalisme Wahid dalam banyak hal tidak dapat diragukan lagi. Tetapi yang
menjadi pertanyaan penting apakah ia merupakan representasi “alumni” Kairo. Corak
kajian Islam, baik dengan pendekatan barat maupun Timur Tengah, adalah bagian yang
absah dan diskursus intelektualisme Islam di dunia Muslim. Kedua corak ini tidaklah
dipertentangkan melainkan harus dipandang sebagai komplementer satu sama lain.
Bahkan kedua pendekatan ini, sebaiknya dipadukan atau diharmonisasikan sedemikian
rupa untuk mendinamisasikan pemikiran di dunia Islam.18

17
Handbuch Der Demographie et al., “Regressionsverfahren in Der Institut f u ¨ r Soziologie M U,” 2011, 1–32.
18
Ariyanti; Danang Adi Utomo; Afra Fadlillah Meylima, “Orientalisme Dan Oksidentalisme,” 2017, 16,
https://danang56.files.wordpress.com/.../orientalisme-oksidentalism.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Orientalisme adalah sarjana barat yang mengkaji kajian timur, sedangkan
oksidentalisme adalah sarjana timur yang mengkaji kajian barat. Tujuan orientalisme
adalah merusaislam dengan argumen-argumen yang melemahkan kekuatan
islam,sedangkan tujuan oksidentalisme adalah mengembalikan kembali egonya islam itu
sendiri dari peradaban barat.
Sejarah Orientalisme, sejak tahun 60-an sehabis perang dunia II (1939-1945)
dikenal sebutan “dunia belahan utara” dan “dunia belahan selatan” yang masing-masing
berarti “negara-negara maju” (industrial countries) dan “negara-negara berkembang”
(developed countries). Tetapi sebelumnya sejak sekian abad lamanya, dipergunakan
sebutan dunia timur dan dunia barat. Dimaksudkan dengan dunia barat dewasa itu ialah
wilayah Eropa dengan penduduknya, dan belakangan mencakup benua Amerika setelah
dunia baru itu di temukan oleh ChristoperColumbus pada tahun 1493 M. Sejarah
Oksidentalisme, Studi oksidentalisme terjadi ketika islam berada pada puncak. kejayaan
dan sebagai pusat peradaban dunia . Pada siklus periode awal sejarah, islam berdialog
dan berhadapan dengan pemikiran asing sepertiYunani,Persia, dan India.Studi yang
dilalkukan oleh para cendekia muslim khususnya terhadap filsafat Yunani merupakan
babak pertama dari studi oksidental
DAFTAR PUSTAKA

Akhmadi, Agus. “Moderasi Beragama Dalam Keragaman Indonesia Religious Moderation in


Indonesia ’ S Diversity.” Jurnal Diklat Keagamaan 13, no. 2 (2019): 45–55.

Ariyanti; Danang Adi Utomo; Afra Fadlillah Meylima. “Orientalisme Dan Oksidentalisme,”
2017, 16. https://danang56.files.wordpress.com/.../orientalisme-oksidentalism.

Demographie, Handbuch Der, Henriette Engelhardt, Axel Franzen, Peter Preisend, Rainer
Winkelmann, Rolf Ziegler, and F Zimmermann. “Regressionsverfahren in Der Institut f u ¨ r
Soziologie M U,” 2011, 1–32.

Fernandez, Andreas, Djayeng Tirto, and Ichsan Malik. “Perpaduan Nilai Budaya Dan Agama
Sebagai Sarana Resolusi Konflik Kepentingan : Tinjauan Atas Falsafah ‘ Tuan Ma ’ Di
Larantuka.” Jurnal Damai Dan Resolusi Konflik 7, no. 2 (2021): 283–305.

Izza, Yogi prana. “Oksidentalisme ; Membuka Kedok Imperalisme Barat.” At-Tuhfah 5, no. 9
(2017): 1. https://doi.org/10.36840/jurnalstudikeislaman.v5i9.46.

Kasdi, Abdurrohman dan Umma Farida. “Oksidentalisme Sebagai Pilar Pembaharuan.” Fikrah I,
no. 2 (2013): 231–52.

Keislaman, Jurnal Ilmu-ilmu. “Al-Mutsla” 3, no. 2 (2021): 96–106. https://doi.org/10.21154/al-


tahrir.v11i1.32.1.

“Mendidik Mencerdaskan Bangsa.Pdf,” n.d.

NIMAH, Evayatun. “Pengaruh Orientalisme Dalam ….” Majalah Ilmiah Tabuah: Ta’limat,
Budaya, Agama Dan Humaniora, 2021, 22.

“No Title‫بییب‬,” n.d., 51–73.

Nurrachman, Dian. “Orientalisme Vs Oksidentalisme : Benturan Dan Dialogisme Budaya Global


Di Saat Melemahnya Kekuasaan Daulah Usmaniyah ( Turki Usmani ) Negara-Negara
Timur . Dari Sisi Kesejarahan Tersebut , Orientalisme.” Jurnal Lecture Keagamaan Vol.15,
no. No.2 (2017): 38.
Teng, H.Muhammad Bahar Akkase. “Orientalis Dan Orientalisme Dalam Perspektif Sejarah.” J
U Rna L I Lm U B U D Aya 4, no. 1 (2016): 48–63.

Tohari, A. “Konsep Oksidentalisme Hasan Hanafi Di Era Westernisasi Dan Korean Wave.”
ULIL ALBAB: Jurnal Ilmiah Multidisiplin 1, no. 6 (2022): 1653–59.
http://ulilalbabinstitute.com/index.php/JIM/article/view/406%0Ahttp://
ulilalbabinstitute.com/index.php/JIM/article/download/406/328.

umam khairul. “Jurnal Penelitian Dan Pemikiran Keislaman.” INTERPRETASI


KENABIAN(Peran Ganda Nabi Muhammad Sebagai Manusia Biasa Dan Rasul) 2, no. 1
(2020): 36–46.

Anda mungkin juga menyukai