Anda di halaman 1dari 12

PERBANDINGAN SEJARAH MASUKNYA ISLAM VERSI

ORIENTALIS BARAT DAN SARJANA HUKUM ISLAM DI


INDONESIA

Oleh
Muhammad Arjuna ( 010002000376 )
Marchelino Hizkia ( 010001800281 )
Pramudika Ananda Putra ( 010001900479 )

Fakultas Hukum
Universitas Trisakti
2020/2021
PRAKATA

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan kekuatan
kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat
waktu.

Makalah dengan judul “Perbandingan Sejarah Masuknya Islam Versi Orientalis Barat
dan Sarjana Hukum Islam di Indonesia” disusun untuk melengkapi tugas mata kuliah
Hukum Islam.

Saya ucapkan terimakasih kepada ibu Dr. Hj. Wahyuni Retnowulandari, SH. MH. selaku
dosen mata ajar Hukum islam sekaligus pembimbing penyusunan makalah ini,
orangtua, serta semua pihak yang sudah membantu dalam penyusunan makalah dari
awal hingga selesainya makalah ini. Penulis meyadari bahwa dalam penyusunan
makalah ini masih ada kekurangan, sehingga saran dan kritik sangat diharapkan untuk
perbaikan penulisan dan penyusunan makalah di masa mendatang.

Jakarta, 24 Mei 2021


BAB I
PENDAHULUAN

Agama Islam sebuah agama yang tidak hanya membahas masalah


ketuhanan melainkan juga muamalah. Hal ini yang tidak bisa dibandingkan
dengan agama lain yang masih dibingungkan dengan konsep ketuhanan mereka.
Dengan luasnya ajaran islam sehingga semua hal problematikanya bisa dicari
dalam islam yaitu dengan Al – Qur’an dan juga itjihad para ulama. Berbagai ilmu yang
ada di agama islam semakin banyak munculnya pemahaman secara
komprehensif.
Studi islam juga bisa mencakup dari berbagai ilmu tersebut yang memiliki berbagai
metode, pendekatan dan ilmu bantu lainnya. Studi islam sendiri merupakan kajian
terhadap islam secara ilmiah, melalui beberapa pendekatan melalui beberapa
metodologi dan memperlihatkan secara penuh apa yang dimaksud dengan
beragama dan agama. Sedangkan dalam sisi etimologis, studi islam merupakan
terjemahan dari bahasa arab dirasah islamiyah. Di barat, studi islam disebut dengan
istilah Islamic Studies, yang artinya adalah kajian tentang hal – hal yang berkaitan
dengan keislaman.
BAB II
PEMBAHASAN

SEJARAH MASUKNYA ISLAM VERSI ORIENTALIS BARAT


Kata orientalisme berasal dari kata “orient” yang sederhananya berarti timur.Kata
lainnya yang sering dinisbatkan kepada orientalisme adalah “oriental” yang memiliki arti
berkaitan atau terletak di timur. Timur dalam artian letak geografis yang meliputi Asia
dari Himalaya dan Semenanjung Malaya di sebelah barat wallace. Sedangkan dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), orientalisme dimaknai sebagai sebuah ilmu
pengetahuan tentang ketimuran atau tentang budaya ketimuran.
Tokoh Edward W. Said tidak bisa ditinggalkan apabila membahas soal orientalisme
secara akademis. Ia lah yang pertama kali membahas “orientalisme” secara komprensif
dalam bukunya yaitu Orientalism: Western Conceptions of the Orient. Dalam buku
tersebut, Said mengatakan, bahwa pelaku orientalisme atau biasa disebut orientalis
adalah siapa saja yang mengajar, menulis, atau melakukan penelitian tentang dunia
Timur. Adapun ‘orientalisme’ adalah suatu gaya berpikir bipolar yang membagi dunia ke
dalam dua bagian, yaitu “Timur” dan “Barat” yang berfungsi sebagai pranata-pranata
hukum untuk menghadapi Timur, yang berkepentingan membuat pernyataan tentang
Timur, membenarkan pandangan-pandangan tentang Timur, mendeskripsikannya,
dengan mengajarkannya, memposisikannya, menguasainya: pendeknya, Orientalisme
adalah cara Barat untuk mendominasi, menata kembali, dan menguasai Timur”.
Memang dalam catatan awal sejarahnya, orientalisme adalah produk dari intelektual
barat (terutama Eropa) untuk mengkaji timur tetapi sarat akan kepentingan politis misi
kekuasaan imperialis untuk menaklukkan Timur.
Pendapat lainnya, ada juga yang mengatakan orientalisme adalah kata yang
dinisbatkan kepada sebuah penelitian yang dilakukan oleh orang Barat terhadap
berbagai disiplin ilmu ketimuran, baik bahasa, agama, sejarah dan permasalahan-
permasalahan sosio-kultural bangsa timur. Atau, ada juga yang mengatakan
orientalisme adalah suatu disiplin ilmu yang membahas tentang ketimuran.
Jika dicermati dari banyak pendapat tersebut, hampir semuanya menuju kepada
maksud yang sama walau dengan redaksi yang berbeda. Bahwa orientalisme adalah
aktivitas penyelidikan atau keilmuan yang dilakukan oleh orang Barat terhadap dunia
Timur dalam berbagai aspeknya, termasuk yang paling mencolok adalah agama’. Pada
awalnya bisa disepakati definisi orientalisme begitu, namun dalam perjalanan
sejarahnya definisi ini sedikit bergeser. Bahkan Najb al-‘Aqqy mencantumkan dalam
bukunya tokoh Fazlurrahman, seorang cendikiawan Muslim Pakistan, sebagai salah
seorang orientalis. Sehingga, orientalisme bisa juga dipahami sebagai paham yang
mengkaji dunia ketimuran dalam berbagai aspeknya dengan menggunakan metode
kerangka berpikir Barat yang ilmiah.
Orientalisme pada mulanya berkembang untuk menopang kolonialisasi Barat
terhadap bangsa-bangsa di belahan timur. Untuk memperkokoh kekuasaan mereka dan
meredam gejolak serta konflik, para akademisi atau orientalis dikerahkan untuk
mempelajari dan mendalami seluk beluk bangsa-bangsa Asia dan Timur Tengah.
Mereka mempelajari adat istiadat, budaya, tradisi, norma, karya seni, prilaku, agama,
ras, bahkan hingga geografinya. Dari sini banyak tokoh Muslim yang mencurigai
orientalisme sebagai produk Barat untuk menghancurkan Islam. orientalis hadir sebagai
sebuah studi yang penuh dengan “dendam” dan kebencian terhadap bangsa Timur,
khususnya Islam. Kekalahan Barat terhadap Islam dalam Perang Salib, dianggap
sebagai awal mula lahirnya gerakan kolonialisasi atau penjajahan yang bersamaan
dengan lahirnya orientalisme. Banyaknya teori-teori yang dikemukakan oleh para
orientalis cenderung negatif dan berlawanan dengan keyakinan umat Islam, ini yang
membuat umat Islam semakin mencurigai dan menuduh orientalis dan orientalisme
sebagai upaya untuk merusak Islam.
Pandangan bahwa orientalisme adalah suatu ilmu konspirasi yang bermuatan
negatif banyak dianut oleh akademisi Muslim baik luar dan dalam negeri, Sayyid Qutb,
Dr. Muhammad al-Bahy, dan Abdul Majid Abdussalam Al-Muhasib penulis buku Ittijahat
at-Tafsir Fi al-Aṣri ar-Rahin yng mengatakan bahwa kemunduran Islam dan
kekhalifahan Turki karena masuknya pengaruh barat. Di Indonesia, tokoh Muslim yang
paling gencar menolak orientalisme salah satunya adalah Adian Husaini yang rajin
menulis tentang penolakan terhadap ide orientalisme dan Islam liberal.
Namun pandangan yang terlampau negatif dan penuh kecurigaan terhadap Barat dan
orientalisme, justru seolah menjadi suatu paranoia alias ketakutan atau suatu
kecurigaan yang berlebih-lebihan hingga mendekati tidak masuk akal. Al Makin berkata
bahwa pandangan akademisi dan ulama Islam yang mengatakan bahwa Barat
berkomplot untuk memerangi Islam, sama sekali tidak mempunyai landasan bukti yang
mendasar. Barat bukanlah suatu negara yang utuh, bukan kekuatan tunggal yang
berpikiran monolitik atau seirama. tidak semua yang berbau Barat pasti negatif
terhadap Islam, dan tidak berarti semua orang Barat membenci Islam.

Pandangan kaum orientalis dalam ranah studi Islam cukup menarik, mereka
menawarkan cara pandang yang berbeda dalam mengkaji soal Al-Quran, Hadits,
sejarah Islam, dan teologi Islam. Tak jarang para akademisi Barat tersebut cenderung
kritis dan skeptis pada referensi yang diakui oleh umat Islam. Corpus yang berada di
tangan umat Islam, dianggap oleh mereka bukan sebagai literatur sejarah, namun
sebagai literatur teologi dan ritual agama. Mun’im Sirry menjelaskan keberatan-
keberatan orientalis terhadap sumbersumber Islam klasik disebabkan adanya jarak
yang cukup jauh antara teks sejarah dengan kehidupan Muhammad sang nabi.
Contohnya adalah kitab sejarah tertua mengenai kelahiran Nabi Muhammad dan
Islam adalah kitab Sirah Ishaq karangan Muhammad bin Ishaq bin Yasar. Walau kitab
ini dalam literatur Islam dianggap sebagai kitab tertua, namun jarak antara kitab ini
terbit dengan kehidupan Nabi Muhammad sejauh 100 tahun. Ini berarti antara Ibn Ishaq
dengan Nabi Muhammad memiliki rentang waktu yang jauh. Dan yang lebih
memusingkan, kitab Sirah Ibn Ishāq hingga saat ini tidak ditemui kecuali cuplikan
tentangnya yang dikumpulkan oleh Abu Muhammad bin Abdul Malik Hisyam atau yang
biasa dikenal sebagai Hisyam. Hisyam mengumpulkan data-data sejarah yang
dikumpulkan oleh Ishaq yang kemudian menjadi kitab Sirah Hisham. Dan Hisyam
sendiri tidak bertemu secara langsung dengan Ishaq sang penulis sejarah.Jarak
rentang waktu yang panjang ini membuat para akademisi Barat merasa skeptis dan
tidak yakin akan akurasi sejarah yang tertulis dalam sumber-sumber Islam, lalu
alternatif apa yang mereka tawarkan?
Para orientalis menawarkan untuk mencari sumbersumber tertulis melalui skrip-skrip
sejarah yang ditulis oleh kelompok pendeta Suryani, Yahudi, Majusi dan tulisan-tulisan
sejarah yang ditulis oleh kelompok nonmuslim yang sezaman.
Salah satu orang yang secara radikal menolak sumber-sumber Islam adalah Patricia
Crone. Crone dengan tegas menolak sumber-sumber teks yang dihasilkan oleh sarjana
Islam, bagi Crone teks-teks Islam hanyalah berisi dogma dan sakralisasi Muhammad,
sedangkan secara historis tidak mampu di pertanggung jawabkan. Crone mengatakan
bahwa sumber-sumber Islam terkadang tidak konsisten, contohnya kisah tentang Ami
bin Ash yang datang ke Etiopia, ada riwayat yang menyebutkan Amir pergi ke Etiopia
untuk berdagang, ada yang mengatakan ia datang dengan pakaian perang untuk
mengeksekusi kaum Muslim yang hijrah ke Etiopia, tapi ada riwayat lain yang menyebut
ia kesana untuk mengungsi. Anehnya, meski riwayat-riwayat itu berbeda-beda, namun
penulisnya menjelaskan dengan begitu detail,kemudian membuatnya melihat Islam
secara keseluruhan melalui teks-teks Suryani yang sezaman dengan kehidupan
Muhammad. Kitab-kitab sejarah dan tarikh karya Muslim yang menceritakan tentang
Islam awal biasanya adalah berisi dalā’il nubuwah, dalil-dalil kenabian yang berfungsi
untuk kepentingan dogma dan teologi Islam, berguna melawan tuduhan orang-orang
Kristen dan Yahudi.
Namun bukan berarti penggunaan sumber-sumber nonmuslim itu tanpa kritik dan
masalah. Para penulis dari kalangan Kristen, Yahudi, Sabean, atau Majusi (Zoroaster)
sebagian tentunya memandang Islam secara negatif atau malah mendistorsi berita
yang sesungguhnya tentang agama Islam yang dibawa oleh Muhammad.
SEJARAH MASUKNYA ISLAM VERSI SARJANA HUKUM ISLAM DI
INDONESIA
Hukum Islam masuk ke Indonesia bersama dengan masuknya Islam ke
Indonesia. Menurut kesimpulan Seminar Masuknya Islam di Indonesia di Medan tahun
1963, Islam telah masuk ke Indone sia pada abad I Hijriyah atau abad 7/8 Miladiyah.
Hukum Barat baru diperkenalkan oleh VOC awal abad XVII Miladiyah. Sebelum Hukum
Islam masuk ke Indonesia, rakyat Indonesia menganut hukum adat yang bermacam-
macam sistemnya,sangatmajemuksifatnya. Dapat diduga, pengaruh AgamaHindu
danBudha sangat kuat teihadap hukum adat rakyat Ibnu Batutali, pengembara Arab
asal Maroko yang pada tahun 1345M. singgah di samudera Pasai, dan sempat
beijumpa denga'n Sultan Al-Malik Al-Zahir, melaporkan bahwa Sultan sangat mahir
dalam Fiqih Mazhab Syafi'i. Menurut Hamka, dari sinilah Fiqih Mazhab Syafi'i keinudian
merata di seluruh wilayah Nusantara. Hukum Islam merupakan hukum resmi kerajaan-
kerajaan Islam.
Pada waktu VOC sebagai pedagang dan badan pemerintah, hukum Belanda mulai
diperkenalkan kepada bangsa Indo nesia. Badan peradilan dibentuk dengan maksud
berlaku juga bagi bangsa Indonesia. Tetapi usaha VOC itu tidak berhasil. Akhirnya VOC
membiarkan lembaga-lembaga yang hidup di dalam masyarakat beqalan sebagaimana
keadaan sebelumnya. Dalam statute Jakarta tahun 1642 bahkan disebutkan bahwa
dalam hukum kewarisan bagi bangsa Indonesia tetap diperlakukan hukum kewarisan
Islam. Untuk melegakan perasaan umat lslam, pada tahun 1760 diterbitkan
Compendium Freijer yang menghimpun hukum perrkawinan dan hukum kewarisan
Islam yang diberlakukan di pengadilan pengadilan untuk menyeiesaikan sengketa
dikalangan umat Islam. Terbit pula Kitab Mugharraer untuk pengadilan negeri
Semarang yangg memuat hukum-hukum Jawa, yang mencerminkan hukum
Islam.Terbit pula Kitab Pepakem Cirebon yang berisi kumpulan hukum-hukum Jawa
yang tua-tua. Dibuat pula peraturan untuk daerah Bone dan Goa atas prakarsa B.J.
Qootwijk. Demikian keadaan hukum Islam pada masa VOC yang berlangsung pada
abad lamanya, inulai tahun 1602 hingga 1800.
Setelah masa VOC berakhir, dan pemerintaha nkolonial Belanda benar-benar
menguasai seluruh Nusantara, Hukum Is lam mengalami pergeseran.
Secara berangsur-angsur kedudukan hukum Islam diperlemah. Pada masa Daendeles
(1808- 1811) kedudukan hukum Islam belum mengalami pergeseran. Thomas Raffles
(1811-1816) bahkan masih mengukuhkan hukum Islam sebagai hukum rakyat di Jawa.
Tetapi setelah Inggris, berdasarkan konvensi London tahun 1814, menyerahkan
kembali kekuasaan pemerintahan kepada Belanda oleh pemerintah colonial Belanda
dikeluarkan peraturan perundang-undangan tentan kebijaksanaan pemerintah, susunan
pengadilan, pertanian dan perdagangan di wilayah jajahannya di Asia, hukum Islam
mulai mengalami pergeseran dalam tata hukum Hindia Belanda yang sangat merugikan
eksistensi Hukum Islam.
Pada abad XIX muncul gerakan di kalangan banyak orang Belanda di negeri mereka,
juga di Indonesia (Hindia Belanda) dengan proses Kristenisasi. Mereka berasumsi, jika
banyak pribumi yang berpindah kepada Agama Kristen, maka kedudukan pemerintah
colonial Belanda akan makin kuat, sebab mereka akan loyal lahir batin kepada
pemerintah kolonial Belanda.
Pembaharuan tata hukum Hindia Belanda pun dilakukan. Rakyat di sadarkan agar
menerima Hukum Belanda yang lebih baik, untuk menggantikan hukum asli mereka.
Dibentuklah komisi yang diketahui Mr. Scholten van Dud Haarlem yang bertugas untuk
menyesuaikan Hukum Belanda dengan situasi Hindia Belanda. Komisi Scholten melihat
rakyat yang beragama Islam itu sangat kuat kesadaran Hukum mereka. Akhirnya
dikirim nota kepada pemerintah Belanda, agar kesadaran hukum pribumi terhadap
hukum Islam tidak diganggu. Untuk keuntungan pemerintah Belanda sendiri, sebaiknya
pribumi dibiarkan menggunakan hukum agama dan adat istiadat mereka sendiri-sendiri.

Akhimya dibentuklah Pengadilan Agama pada tahun 1882 di tempat terdapat


Pengadilan Negeri (Landraad). Wewenang pengadilan Agama mencakup hukum
hukum perkawinan dan kewarisan berdasarkan hukum Islam. Dengan didirikanya
Pengadilan Agama itu, Hukum Islam memperoleh pengukuhan.
Lodewijk Willem Cristian van den Berg (1857-1927) dalam penelitiannya sampai
kepadakesimpulan bahwabangsaIndonesia pada hakekatnya telah menerima
sepenuhnya hukuiii Islam sebagai hukum yang mereka anut. Teori van den Berg itu
disebut "theorie receptio in complexu".
Christian Snouck Hurgronje (1857 - 1936), penasehat pemerintah Hindia Belanda
urusan Islam dan, bumi putra, menentang teori van den Berg. Berdasarican
penelitiannya di Aceh di Tanah Gayo, disimpulkannya bahwa umat Islam di dua daerah
tersebut tidak menganut hukum islam tetapi menganut hukum adat masingmasing.
Meskipun hams diakui bahwa hukum adat mereka telah menerima pengamh beberapa
bagian hukum Islam. Dengan demikian, hukum Islam mereka terapkan jika telah
menjadi bagian dari hukum adat mereka. Teori ini kemudian dikenal dengan "theorie
receptie", yang dianut oleh banyak ahli Hukum Belanda seperti Cornelis van Vollen
Hoven dan Bertrand ter Haar, yang di Indonesia pun banyak murid-muridnya yang
mendukung-nya. Teori ini kemudian dikukuhkan dalam Indische Staatsregeling (LS)
Hindia Belanda tahun 1929 pasal 134 ayat (2).
Terhadap teori resepsi ini telah timbul reaksi keras dari kalangan umat Islam.
Pemunculan hukum adat sebagai hukum yang dominan dianut bangsa Indonesia itu di
pandang sebagai usaha pemerintah Hindia Belanda untuk mematikan semangat
perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda yang dijiwai-oleh Hukum Islam: Teori
resepsi tersebut sangat besar pengamalannya terhadap tata hukum Hindia Belanda.
Terjadilah kemudian pengebirian wewenang pengadilan Agama di Jawa dan Madura.
Perkara warisan ditarik dari wewenang Pengadilan Agama, dan dialihkan menjadi
wewenang pengadilan Negeri. Pada tanggal 1 April 1937 diterbitkan Staatsblad 1937
No. 116 yang mencabut wewenang Pengadilan Agama di Jawa dan Madura untuk
menyelesaikan perkara kewarisan. Kedudukan Pengadilan Agama makin diperlemah
dengan ditambahnya dibawah pengawasan Pengadilan Negeri. Keputusan Pengadilan
Agama hanya dapat dieksekusi setelah mendapat persetujuan ketua Pengadilan Negeri
yang di wujudkan dalam"executoire verklaring" (pernyataan dapat dilaksanakan). Umat
Islam memberikan reaksi sangat besar terhadap S. 1937.
Namun pemerintah Hindia Belanda tidak memberikan perhatian juga. Perkara
kewarisan berdasarkan hukum adat menjadi keputusan Pengadilan Negeri. Hukum
Kewarisan Islam dapat menjadi dasar keputusan. Jika memangt elah menjadi bagian
dari Hukum Adat yang berperkara. Pengadilan Agama hanya dapat memberikan fatwa
waris menurut Hukum Islam, tetapi tidak mempunyai kekuatan mengikat menurut
hukum.
Mahkamah Syar'iyah diluar Jawa Madura pada umumnya masih memiliki wewenang
menyelesaikan perkara kewarisan dan wakaf disamping perkara nikah, talak dan rujuk
sebagaimana semula. Di dalam praktek sehari-hari dapat disaksikan pula bahwa
kesadaran hukum Islam masalah-masalah selainperkawinan, kewarisan dan wakaf
terlihat secara nyata. Misalnya dalam mu'amalat,jual beli, utang piutang gadai dan sewa
menyewa. Pada zaman pemerintahan Tentara Jepang keadaan Hukum Islam di
Indonesia tidak mengalami perubahan apapun, berlaku sebagaimana pada zaman
pemerintahan Hindia Belanda.

Kesimpulan
Secara historis, realitas pengkajian Barat terhadap Islam memang pada mulanya
sebagai penopang imperialisme dan kolonialisme Barat. Namun seiring hilangnya
kolonialisme, para orientalis menjadi independen dan tidak lagi terjebak oleh paradigma
politis dan kepentingan dalam mengkaji Timur, khususnya studi Islam. salah satu kajian
yang ditelusuri oleh para orientalis adalah mengenai eksistensi Islam awal. Islam awal
atau Islam lama berarti kajian sejarah mengenai asal mula agama Islam dan
bagaimana kemunculan agama Islam. Mengkaji kembali sejarah Islam awal memang
bisa dikatakan cukup menarik, Apalagi jika terdapat bukti-bukti baru yang hangat untuk
dikaji. Para orientalis seperti Patricia Crone, Wansbourgh, Fred Donner, dan Abraham
Geiger mengemukakan teori Islam awal yang cukup kontroversial dan bertentangan
dengan sumber sejarah yang diyakini oleh umat Islam. Namun sebagaimana suatu
kajian sejarah, suatu teori atau hipotesis yang dikemukakan oleh para orientalis
(sekontroversi apapun) tetaplah merupakan penafsiran subjektif daripada si pengamat.
Sejarah begitu kompleks dan rumit, sebagaimana pandangan Mohammed A. Bamyeh,
Guru Besar di macelester College, bahwa bukti-bukti arkeologis dan filologis dari para
orientalis yang mengkaji sejarah Islam awal masih terlampau sedikit untuk
merekonstruksi suatu peristiwa utuh yang sebenarnya. Karena banyaknya lubang-
lubang kosong dari data-data yang dimiliki oleh para orientalis, akhinya rekonstruksi
sejarah yang mereka lakukan justru malah kerap diisi oleh pemikiran liar dan hayalan
konspirasi.

Anda mungkin juga menyukai