Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

Mata Kuliah : Studi Hadist


Dosen Pengampu : Dr.H. Suhaimi Lc,MA

ORIENTALIS DAN HADIST NABI SAW

DISUSUN OLEH KELOMPOK 9 :

1. Nurhasanah Chan 12310123318


2. Selviana Safitri 12310120837
3. Yumila 12310122340

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS NEGERI SULTAN SYARIF KASIN RIAU
2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur kami ucapkan kehadiran Allah SWT. atas
limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah yang
berjudul,“ORIENTALIS DAN HADIST NABI SAW” ini dapat kami selesaikan
dengan baik. Begitu pula atas limpahan kesehatan dan kesempatan yang Allah
SWT. Karunia kepada kami sehingga makalah ini dapat kami susun melalui
beberapa sumber, yakni melalui kajian pustaka maupun melalui media internet.

Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah memberikan kami semangat dan motivasi dalam pembuatan tugas
makalah ini. Kepada kedua orang tua kami yang telah memberikan banyak
kontribusi bagi kami, dosen pengampu mata kuliah ini. Dan juga kepada teman-
teman seperjuangan yang membantu kami dalam berbagai hal. Harapan kami,
informasi dan materi yang terdapat dalam makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca. Tiada yang sempurna di dunia, melainkan Allah SWT. Tuhan Yang
Maha Sempurna, karena itu kami memohon kritik dan saran yang membangun
bagi perbaikan makalah kami selanjutnya.

Demikian makalah ini kami buat, apabila terdapat kesalahan dalam


penulisan, ataupun adanya ketidaksesuaian materi yang kami angkat pada
makalah ini, kami mohon maaf. Saya pemakalah menerima kritik dan saran
seluas-luasnya dari pembaca agar bisa membuat karya makalah yang lebih baik
pada kesempatan berikutnya.

Pekanbaru, September 2023

Penulis

i
DATAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................

DATAR ISI................................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................................

A. Latar Belakang Masalah..................................................................................................

B. Rumusan Masalah...........................................................................................................

C. Tujuan Masalah...............................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................

A. Pengertian Orientalis.......................................................................................................

B. Sejarah Kajian Hadis di kalangan Orientalis..................................................................

C. Pandangan Orientalis Terhadap Hadist Nabi..................................................................

BAB III PENUTUP..................................................................................................................

A. KESIMPULAN...............................................................................................................

B. SARAN...........................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Perlu diketahui dan diingat bahwa umat Islam, khususnya kaum
berilmu alias 'ulama' dari dahulu (salaf) hingga sekarang (khala), tidak
pernah ada yang meyakini dan mengatakan bahwa seluruh hadits yang ada
itu asli atau sahih semuanya. Sebaliknya, tidak ada pula yang
berkeyakinan bahwa semua hadits yang ada itu palsu belaka. Hanya orang
bodoh dan tak berilmu yang berpendapat dan berkata demikian. Nah, para
orientalis cenderung pada pendapat kedua (wholesale rejection), yang
menyatakan bahwa hadits-hadits itu palsu semua, tidak otentik karena
bukan berasal dari Nabi Muhammad SAW.
Orientalisme adalah tradisi kajian keislaman yang berkembang di
Barat yang bekerja untuk mempelajari masalah ketimuran, baik di bidang
bahasa, etika, peradaban, dan agamanya. Adapun Orientalis adalah
ilmuwan Barat yang mendalami masalah-masalah ketimuran, yang
mencakup tentang sejarah, kesasteraan, peradaban, dan agama.
Bagi para Orientalis, hampir semua kajian tentang keIslaman
menjadi hal yang menarik. Walaupun pada mulanya kajian Orientalis
ditujukan kepada masalah bidang sastra dan sejarah. Selanjutnya mereka
mengarahkan kajian secara khusus kepada bidang hadits Nabawi. Hal ini
bisa kita pahami, karena hadist Nabi merupakan salah satu sumber dari
ajaran Islam. Sehingga jika mau mengkaji masalah kelslaman tidak
terlepas dari kajian mengenai hadits Nabi.
Kajian-kajian yang dilakukan pihak Orientalis terhadap Islam tidak
diragukan lagi, karena menimbulkan sikap pro dan kontra di kalangan
internal Muslim, ada yang memandang positif dan ada pula yang
menilainya negatif. Memang dalam kajian itu terdapat beberapa
kelemahan disebabkan sikap subjekvitas mereka terhadap islam tapi ada
pula yang dinilai masih bisa menjaga sikap objektifitas.

1
Ruang lingkup kajian orientalisme hampir mencakup pada semua
bidang ilmu pengetahuan di Timur, mulai dari kajian tentang kultur
budaya, agama, bahasa-sastra, dan bahkan masuk kepada politik dan
militer. Apalagi, seiring perkembangan zaman ilmu pengetahuan menjadi
sangat meluas. Jika ditelusuri dalam segi historis, ketertarikan para
penjelajah Barat adalah berawal pada bahasa Arab dan merembet pada
bidang- bidang lainnya.
Untuk itulah didalam makalah ini penulis fokus membahas tentang
orientalis dan hadist nabi agar bisa lebih dipahami.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Orientalis?
2. Bagaimana Sejarah Kajian Hadis di kalangan Orientalis?
3. Apa saja pandangan Orientalis terhadap Hadist Nabi?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian Orientalis.
2. Untuk mengetahui Sejarah Kajian Hadis di kalangan Orientalis.
3. Untuk mengetahui pandangan Orientalis terhadap Hadist Nabi.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Orientalis
Kajian tentang orientalis tidak dapat dipisahkan dari studi tentang
orientalisme. Kata "orientalis" menimbulkan perasaan yang bermacam-
macam pada diri kita, bahkan kata itu tidak luput dari prasangka dan
keraguan yang bukanlah buatan kita atau sesuai dengan naluri kita,
melainkan buatan sebagian kaum orientalis yang ekstrem. Mereka tidak
dapat melepaskan diri dari keyahudian, kekristenan, atau keturunan etnis
ketika mereka menulis tentang Arab atau Islam.
Orientalisme berasal dari kata orient dan isme. Dalam bahasa
Inggris, kata orient berarti direction of rising sun (arah terbitnya matahari).
Secara geografis, kata orient berarti dunia timur dan secara etnologis
berarti bangsa-bangsa timur. Secara luas, kata orient juga berarti wilayah
yang membentang dari kawasan Timur Dekat (Turki dan sekitarnya)
hingga Timur Jauh (Jepang, Korea, Cina) dan Asia Selatan hingga
republik-republik muslim bekas Uni Soviet, serta kawasan Timur Tengah
hingga Afrika Utara. Adapun istilah isme berarti aliran, pendirian, ilmu,
paham, keyakinan, dan sistem. Dengan demikian, secara etimologis,
orientalisme dapat diartikan sebagai ilmu tentang ketimuran atau studi
tentang dunia timur.
Secara terminologis, Edward Said memberikan tiga pengertian dasar
orientalisme, yaitu:
 sebuah cara kedatangan yang berhubungan dengan bangsa-bangsa
Timur berdasarkan tempat khusus Timur dan pengalaman Barat Eropa.
 sebuah gaya pemikiran berdasarkan ontologi dan epistemologi Barat
pada umumnya.
 sebuah gaya Barat untuk mendominasi, membangun kembali, dan
mempunyai kekuasaan terhadap Timur.

3
Dari beberapa pengertian ini agaknya pengertian orientalisme
dapat disederhanakan menjadi kajian tentang dunia Timur. Dengan
pengertian ini, maka orientalis berarti orang yang mengkaji dunia
ketimuran, yang dalam perkembangannya mengalami penyempitan
menjadi dunia Islam. Dalam hal ini, ada pendapat yang membatasi
pengertian orientalis itu pada orang-orang Barat saja, di samping pendapat
lain yang tidak membatasinya pada kelompok tertentu.

Berdasarkan analisis terhadap pendapat Edward Said dapat


dikatakan bahwa untuk menentukan seseorang itu orientalis atau bukan
terletak pada cara berpikirnya dalam mengkaji dunia Timur, bukan terletak
pada aspek geografis pengkajiannya. Oleh karena itu, dapat diartikan
bahwa orientalis adalah orang yang mengkaji dunia Timur (Islam)
berdasarkan logika ontologis dan epistemologis Barat, tidak masalah ia
orang Barat atau bukan, muslim atau nonmuslim. Sebaliknya, orang yang
mengkaji dunia Barat dengan menggunakan sudut pandang ketimuran
dinamakan dengan oksidentalis. Dengan demikian, lazimnya predikat
orientalis itu disandangkan kepada orang-orang Barat yang mempunyai
minat mengkaji Islam khususnya dan dunia ketimuran umumnya.

Pada awal pertumbuhannya, kajian orientalis terhadap Islam


bersifat umum. Namun, dalam perkembangannya kajian itu mengalami
spesifikasi sehingga lahir berbagai kajian tentang Islam seperti al-Qur'an,
hadis, hukum, dan sejarah.

Para Orientalis pada umumnya minat di bidang masing-masing,


yang satu tidak mengetahui yang lain, sehingga pendekatan mereka hanya
terbatas pada bidang yag mereka teliti saja. Dan yang pasti para Orientalis
itu tidak mengkaji Islam dengan keimanan di dada. Tapi tidak banyak
cendekiawan Muslim yang mempunyai perhatian yang besar terhadap
kajian keislaman para Orientalis dengan sikap yang kritis. Disini salah satu
tokoh cendekiawan Muslim yang mempunyai perhatian dan sikap yang
kritis terhadap kajian.

4
B. Sejarah Kajian Hadis di kalangan Orientalis
Dari sekian banyak bidang kajian yang menjadi garapan para
orientalis, salah satunya adalah hadis Nabi. Tentang siapa orientalis yang
pertama kali mengadakan kajian di bidang ini, belum ditemukan kepastian
sejarah. Para ahli berbeda pendapat dalam hal ini. Menurut G. H. A
Joynboll sebagaimana dikutip oleh Daniel W. Brown, sarjana Barat yang
pertama kali melakukan kajian skeptik terhadap hadis adalah Alois
sprenger kemudian diikuti oleh Sir Willian Muir dalam karyanya Life of
Muhamet dan mencapai puncaknya pada karya Ignaz Goldziher.

Menurut M. Musthafa Azami, orientalis yang pertama kali


melakukan kajian hadis adalah Ignaz Goldziher, seorang Yahudi kelahiran
Hongaria (1850-1920 M) melalui karyanya berjudul: Muhamedanische
Studien pada tahun 1980 yang berisi pendangannya tentang hadis.
Pendapat ini dibantah oleh A. J. Wensinck bahwa orientalis pertama yang
mengkaji hadis adalah Snouck Hurgronje yang menerbitkan bukunya:
Revre Coloniale Internationale tahun 1886. Jika pendapat ini benar, maka
karya Hurgronje terbit empat tahun lebih dahulu dari karya Goldziher.

Namun demikian, ada pula orientalis yang dimiliki pandangan


yang lebih jernih dan bertentangan dengan kedua ilmuwan di atas.
Freeland Abbott, misalnya, dalam bukunya Islam and Pakistan (1908)
membagi substansi hadis menjadi tiga kelompok besar: (1) hadis yang
menggambarkan kehidupan Nabi secara umum; (2) hadis yang
dipermasalahkan karena hadis-hadis itu tidak konsisten dengan ucapan
Nabi; dan (3) hadis yang menceritakan wahyu yang diterima oleh Nabi.
Meskipun klasifikasi oleh Freeland Abbott ini jauh berbeda dengan
klasifikasi oleh kalangan ulama hadis, secara tidak langsung menunjukkan
bahwa ia mengakui bahwa hadis benar-benar bersumber dari Nabi.

Pengakuan yang lebih tegas diungkapkan oleh Nabila Abbott


dalam bukunya Studies in Literary Papiry: Qur'anic Commentary and
Tradition (1957), menegaskan bahwa hadis-hadis Nabi dapat ditelusuri

5
keberadaannya hingga masa Nabi dan bukan buatan umat Islam setelah
abad pertama Hijriyah. Pandangan ini didasarkan atas manuskrip-
manuskrip yang berhubungan dengan hadist Nabi. Dapat dikatakan bahwa
di kalangan orientalis telah terjadi pergeseran pendapat tentang Hadist.

C. Pandangan Orientalis Terhadap Hadist Nabi


Dalam kajian ilmu hadis, istilah hadis sering disejajarkan dengan
istilah sunnah, walaupun kedua istilah itu tidak selalu identik karena
keduanya juga memiliki perbedaan. Di kalangan ulama hadis, hadis
merupakan sinonim sunnah, namun hadis pada umumnya digunakan untuk
istilah segala sesuatu yang diriwayatkan dari Rasulullah setelah diutus jadi
Nabi (bi'tsah).
Sebagian ulama berpendapat bahwa hadis hanya terbatas ucapan
dan perbuatan Nabi saja, sedang persetujuan dan sifat-sifatnya tidak
termasuk hadis karena keduanya merupakan ucapan dan perbuatan
sahabat. Berbeda dengan ulama hadis, ulama Ushul Fiqh berpendapat
bahwa hadis lebih khusus daripada sunnah sebab hadis, menurut mereka,
adalah sunnah qawliyah.
Dalam pandangan kaum orientalis, hadis juga dipandang berbeda
dengan sunnah. Perbedaan ini antara lain terlihat pada pendapat Goldziher
yang menyatakan bahwa hadis bermakna suatu disiplin ilmu yang bersifat
teoretis, sedang sunnah berisi aturan-aturan praktis. Menurutnya,
kebiasaan-kebiasaan yang muncul dalam ibadah dan hukum yang diakui
sebagai tata cara kaum muslimin periode awal yang dipandang autoritatif
dan telah dipraktikkan dinamakan sunnah, sedangkan pernyataan tentang
tata cara itu disebut hadis. Ia juga menyatakan bahwa hadis bercirikan
berita lisan yang diklaim bersumber dari Nabi, sedangkan sunnah
merupakan segala hal yang menjadi adat kebiasaan yang muncul pada
abad kedua di awal pertumbuhan dan perkembangan Islam, terlepas dari
apakah kebiasaan itu ada hadisnya atau tidak.

6
Para orientalis tidak memahami istilah bahwa istilah hadist itu
berasal dari Nabi, tetapi dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang bersifat
teoritis (hadist) dan peraturan-peraturan praktis (sunnah) yang berasal dari
kebiasaan-kebiasaan umat Islam awal bidang ibadah dan hukum.
Pada kesempatan lain, Ignaz Goldziher menyatakan bahwa
perbedaan antara sunnah dan hadis bukan saja dari maknanya, tetapi
melebar pada adanya pertentangan dalam materi hadis dan sunnah.
Menurutnya, hadis bercirikan berita lisan yang dinilai bersumber dari
Nabi, sedangkan sunnah berdasar kebiasaan yang lazim digunakan di
kalangan umat Islam awal yang menunjuk pada permasalahan hukum dan
keagamaan, baik ada atau tidak ada berita lisan tentang kebiasaan itu.
Suatu kaidah yang terkandung di dalam hadis biasanya dipandang
sebagai sunnah, tetapi tidak berarti sunnah harus mempunyai hadis yang
relevan dan mengukuhkannya. Lebih lanjut Goldziher menyatakan bahwa
sunnah sebenarnya hanyalah sebuah revisi atas adat istiadat bangsa Arab
yang sudah ada. Dengan demikian, menurut Goldziher sunnah bukanlah
suatu yang berasal dari Nabi tetapi merupakan kebiasaan yang sudah
berkembang di kalangan bangsa Arab yang direvisi.
Pendapat senada di kemukakan oleh Joseph Schacht bahwa sunah
merupakan konsep bangsa Arab kuno yang berlaku kembali sebagai salah
satu pusat pemikiran islam. Menurutnya, sunnah merupakan tradiasi Arab
kuno yang kembali mengemuka dalam ajaran Islam. Dalam konteks ini,
Fazlur Rahman menyimpulkan makna sunnah menurut Schalcht sebagai
tradisi dari Nabi yang tidak ada sama sekali sampai Abad Kedua Hijriah
atau Kedelapan Masehi. Kebiasaan sebelum waktu itu dipandang sebagai
sunnah Nabi, tetapi sebagai sunnah masyarakat karena sunnah tersebut
terutama sekali adalah hasil penalaran bebas orang-orang.
Dapat dikatakan bahwa pandangan Goldziher dan Schaht tentang
sunnah relatif sama. Keduanya menganggap sunnah bukan suatu yang
berasal dari Nabi, tetapi hanya kelanjutan dari tradisi bangsa Arab yang
kemudian disandarkan kepada Nabi.

7
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Kata orientalis diartikan dengan berbagai macam definisi, namun
dari situ kita bisa menyimpulkan bahwa orientalis adalah dunia ketimuran
yang dijadikan objek oleh para ilmuwan atau peneliti. Salah satu bidang
yang dikaji para orientalis adalah Hadits. Mereka merasa sangat perlu
untuk mengkaji dan menelitinya, karena itu salah satu bagian penting yang
ada di dunia Timur. Adapun arti dari hadits adalah segala riwayat yang
berasal dari Rasulullah baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan
(taqrir), sifat fisik dan tingkah laku beliau, baik sebelum diangkat menjadi
rasul (seperti tahannut beliau di gua Hira') maupun sesudahnya. Sikap dan
asumsi orientalis terhadap hadits itu bermacam- macam, yaitu: Skeptis,
non-skeptis, dan middle ground.

B. SARAN
Demikian makalah yang kami buat, kami menyadari pasti masih
banyak kekurangan dalam makalah ini, karena itu kami sangat
mengharapkan masukan dan kritikan dari para pembaca.

8
DAFTAR PUSTAKA

Arif, S. (2008). Orientalis dan Diabolisme Pemikiran. Jakarta: Gema Insani.

Assamurai, Q. (1996). Bukti-bukti Kebohongan Orientalis. Jakarta: Gema Insani


Press.

Idri. (2010). Studi Hadist. Jakarta: Prenada Media Group.

Anda mungkin juga menyukai