Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

HISTORIOGRAFI ISLAM DAN ORIENTALISME

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Diskusi Kelompok


Mata Kuliah: Historiografi Islam
Dosen Pengampu: Drs. Fajriudin, M.Ag. & Tolib Rohmatillah, M.A.

Disusun Oleh:

HAUNA APRILIA MUMTAHANAH


(1195010057)

PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM


FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2022
KATA PENGANTAR

Segala puji serta syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt. yang telah
memberikan rahmat, taufik, hidayah, serta inayah-Nya, sehingga penulisan makalah ini dapat
selesai dengan baik dan tepat waktunya. Tidak lupa pula, shalawat serta salam semog
senantiasa terlimpah curahkan kepada junjungan alam, yakni Baginda Nabi Muhammad
SAW., yang berkat usaha dan kerja kerasnya kita semua dapat dipersatukan dalam
persaudaraan yang lurus lagi benar. Semoga kita selaku ummatnya selalu berada dalam jalan-
Nya dan mengikuti jalan Nabi Muhammad SAW.

Dalam penyusunan makalah ini, penulis tidak begitu banyak mendapat kesulitan
karena adanya saran dari berbagai pihak tentang pembuatannya. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu
dalam penyusunan makalah ini. Semoga bantuannya mendapat balasan yang setimpal dari
Allah SWT.

Penulis sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan
serta pengetahuan kita mengenai judul yang dibahas dalam makalah ini, yakni Historiografi
Islam dan Orientalisme. Penulis juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini
terdapat banyak kekurangan serta sangat jauh dari apa yang diharapkan. Untuk itu, penulis
berharap adanya kritik, saran, dan usulan yang membangun demi perbaikan di masa yang
akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa adanya sarana yang
membangun. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Aamiin Allahumma
Aamiin.

Bekasi, 11 Mei 2022

Hauna Aprilia Mumtahanah

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. ii

DAFTAR ISI ............................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ........................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan ...................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Orientalisme ........................................................................... 3


B. Latar Belakang Lahirnya Orientalisme ..................................................... 4
C. Historiografi Orientalis dan Karakteristiknya .......................................... 6
D. Metodologi Dalam Historiografi Orientalis ............................................. 7
E. Kontribusi Orientalisme Dalam Dunia Islam ........................................... 9
F. Tokoh-Tokoh Orientalisme ...................................................................... 12

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................................... 16

DAFTAR PUSAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkembangan umat Islam yang dinamis telah memberikan banyak rekonstruksi
kepada sejarawan dan ahli sejarah. Di satu sisi, sejarawan merekonstruksi hal-hal yang
berkaitan dengan keunikan historisitas dalam Islam. Di dalam penulisan sejarah, terdapat
sarana mengkomunikasikan hasil-hasil penelitian yang diungkap, diuji, dan
diinterpretasikan. Sesuai dengan tugas para peneliti sejarah, yaitu merekonstruksi
peristiwa di masa lampau. Penulisan sejarah memiliki perkembangan yang berbeda-beda
setiap periodesasinya. Beberapa hal yang mempengaruhi penulisan sejarah antara lain
lingkungan budaya dan tempat dimana historiografi tersebut dihasilkan. Salah satu
historiografi yang turut memberikan kontribusi bagi peradaban Islam adalah historiografi
yang dilakukan oleh para orientalis.
Penulisan sejarah yang digencarkan oleh para orientalis memiliki kecenderungan
yang berbeda dengan penulisan sejarah yang ditulis oleh kalangan orang Islam itu sendiri.
Sejak pertama kali muncul, agama Islam memang telah menjadi persoalan bagi umat
Kristen di Eropa sana. Sehingga, pasca terjadinya Perang Salib, terjadi perubahan yang
cukup signifikan terhadap studi keislaman. Karena mereka memandang bahwa Islam
bukan hanya sebatas agama, melainkan suatu sumber peradaban yang di masa mendatang
mampu mendominasi kemajuan di berbagai bidang ilmu pengetahuan. Berangkat dari
persoalan tersebut, bangsa Barat mulai memperhitungkan kekuatan Islam dan mulai
melakukan kajian-kajian terhadap dunia Timur. Kajian ketimuran yang dilakukan oleh
para orientalis lebih cenderung pada sikap subyektivitas, yaitu tidak dapat dilepaskan dari
kefanatikan agama atau fanatik rasial. Sehingga dalam melakukan kajian terdapat banyak
sekali kekeliruan dan bahkan kebohongan-kebohongan yang disengaja, terutama dalam
hal-hal yang berkaitan dengan soal-soal keagamaan murni.
Arina Haqan dalam tulisannya Orientalisme dan Islam Dalam Pergulatan
Sejarah, menyimpulkan bahwa adanya gerakan orientalisme ini pada awalnya adalah alat
yang digunakan dengan tujuan untuk menjajah negara dan agama Timur, terutama agama

1
Islam. Tetapi seiring perkembangan zaman, gerakan orientalis pada akhirnya mengalami
perubahan-perubahan, dimana sampai dengan saat ini di antara kalangan orientalis itu
sendiri sudah melakukan kajian/studi mereka murni pada kajian ketimuran secara
obyektif dan independen. Perubahan-perubahan yang terjadi tersebut, telah menggeser
perhatian orientalis, tidak hanya terpusat kepada Islam dan umat Islam semata, namun
sudah meliputi segala aspek yang berhubungan dengan Timur, baik secara bahasa,
budaya tradisi, adat istiadat, wilayah, sejarah dan sebagainya. Maka dari itu, dalam
historiografi orientalis memiliki sisi unik untuk dikaji. Pertama, secara tidak langsung ada
sisi positif dalam kajian orang-orang orientalis, yang menjadi pendorong untuk orang
Islam melakukan kajian terhadap Islam secara komprehensif. Kedua, sisi negatif yang
sering ditemukan ialah kajian-kajiannya kebanyakan berorientasi ingin menjatuhkan
Islam.

B. Rumusan Masalah
1) Apa pengertian dari Orientalisme?
2) Apa yang melatarbelakangi lahirnya Orientalisme?
3) Bagaimana karakteristik dari Historiografi Orientalis?
4) Apa saja metodologi yang digunakan dalam Historiografi Orientalis?
5) Apa saja kontribusi orientalisme dalam dunia Islam?
6) Siapa saja tokoh-tokoh orientalisme?

C. Tujuan Penulisan
1) Untuk mengetahui pengertian dari orientalisme.
2) Untuk mengetahui hal yang melatarbelakangi orientalisme.
3) Untuk mengetahui bagaimana karakteristik dari historiografi orientalis.
4) Untuk mengetahui metodologi yang digunakan dalam historiografi orientalis.
5) Untuk mengetahui kontribusi orientalisme dalam dunia Islam.
6) Untuk mengetahui siapa saja tokoh-tokoh Orientalisme.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Orientalisme
Orientalis atau disebut juga dengan ahli ketimuran, dalam bahasa Arab berarti
mustasyriq, dan gerakannya disebut dengan orientalisme atau istisyraq. Dalam kaidah
bahasa Arab berasal dari kata syaraqa, sebagai contoh: syaraqat al syamsu syarqan,
artinya telah terbit matahari dari timur, kemudian mengalami tashrif menjadi istisyraaq.
Secara penggunaan kata orientalis sendiri berasal dari bahasa Prancis yaitu orient yang
berarti Timur. Orientalis itu sendiri berasal dari perkataan Inggris ‘Orientalist’ yang
mengandung pengertian oran yang mempelajari bahasa, seni dan lain-lain berkenaan
dengan negara-negara Timur. Orientalis adalah orangnya, sedangkan orientalisme adalah
gerakannya.
Beberapa tokoh mencoba untuk menjelaskan orientalis secara istilah, diantaranya
Thaha Amin, menurutnya orientalis adalah orang yang melakukan kajan tentang masalah-
masalah ketimuran, baik sastra, bahasa, antropologi, sosiologi, psikologi, dan agama
dengan menggunakan pendekatan Eurocentris. Denis Sinor membuat definisi
orientalisme sebagai satu cabang kesarjanaan yang menggunakan cara-cara Barat untuk
menjelaskan permasalahan-permasalahan di Timur termasuk wilayah-wilayah yang
berada di Timur dari benua Eropa. Adapaun menurut M. Ibrahim Alfayumy, orientalis
berarti setiap orang yang mendalami bahasa orang Timur dan peradabannya.
Di dalam orientalisme, orient bermaksud semua wilayah yang berada di Timur
dan juga negara-negara yang berada di Afrika Tengah. Adapun yang menjadi titik
penekanan di dalam orientalisme meliputi bidang-bidang yang begitu luas dan
komprehensif sifatnya mengenai ketimuran atau dunia Timur, sedangkan kajian para
sarjana Islam mengenai orientalisme lebih menjurus serta penekanannya e arah
pengkajian keislaman ataupun pengkajian dunia Islam termasuk bahasa, kesustraan Arab
serta budaya dan tradisi kearaban. Oleh karena itu, apa yang dimaksudkan dengan
orientalisme disini adalah mencakup secara khusus kegiatan para orientalis di dalam
mengkaji persoalan-persoalan keislaman ataupun budaya kearaban yang menggunakan

3
kaedah ataupun metode-metode Barat.Tumpuan kajian ini tidak akan melibatkan kegiatan
orientalisme yang bukan menjurus kearah pengkajian keislaman secara khusus.

B. Latar Belakang Lahirnya Orientalisme


Lahirnya orientalisme tidak bisa dipisahkan dari kejayaan Islam dalam
sejarahnya, terutama ketika kegemilangan Islam bertemu dengan komunitas-komunitas
dan masyarakat lain, terutama Kristen. Gustave Le Bon mencatat dalam karyanya The
World of Islamic Civilization bahwa ketika orang-oang Islam Arab tengah berada dalam
puncak supremasi kejayaan peradabannya yang kreatif, pengaruhnya terhadap
masyarakat-masyarakat lain sungguh tidak ada bandingannya dalam sejarah.
Sebagaimana yang telah dimaklumi bahwa hubungan atau kontak antara Timur
dengan Barat telah terjalin sejak ribuan tahun silam yang ditandai dengan perbenturan
kepentingan maupun permusuhan. Sekitar tahun 600-330 SM telah terjadi hubungan
perebutan kekuasaan antara Grik Tua dengan dinasti Achaemendis dari Imperium Parsi
sejak masa pemerintahan Cyrus the Great (550-530 SM). Akibat kepentingan ini
mendorong masing-masing pihak untuk saling mengenal dengan yang lainnya. Hubungan
antara Timur dan Barat ini meninggalkan sebuah karya yang ditulis oleh Xenophon (431-
378 SM) yang berjudul Anabasis yang mengisahkan 10.000 pasukan Grik yang terkepung
di daerah Parsi. Selanjutnya, ketika Yunani dan Romawi berhasil melakukan invasi ke
Mesir, Alexander menguasai kota Alexandria. Kota ini dibangun oleh Alexander Agung.
Di masa ini penduduk yang ditaklukkan diwajibkan berperadaban Yunani, yang
kemudian dikenal dengan hellenisme.
Setelah agama Islam lahir dan berhasil mengembangkan pengaruhnya, bahkan
dapat mendirikan kerajaan di Andalusia (Spanyol pada awal abad ke-8 M, peradaban
Islam menjadi sumber cahaya yang menerangi dunia. Di Andalusia, pendidikan mencapai
peringkat kemajuan tertinggi. Selain daripada itu, pada masa keemasan Islam
perkembangan intelektual di kalangan umat Islam sangat menonjol sehingga berhasil
membangun berbagai perguruan tinggi Islam. Sejarah mencatat ada empat perguruan
tinggi tertua di dunia Islam. Perguruan tinggi tertua di dunia Islam di belahan Timur
berkedudukan di Baghdad (Irak) dan di Kairo (Mesir). Adapun perguruan tinggi di
belahan dunia Barat berkedudukan di Kordova (Andalusia) dan Fes (Maroko). Keempat

4
perguruan tinggi yang dimaksud ialah Nizamiyah, Al-Azhar, Cordova, dan Kairawan.
Keempat perguruan tinggi Islam inilah yang sanngat mempengaruhi minat Barat terhadap
Dunia Timur (Islam).
Sejak masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan (685-705 SM) yang
berkedudukan di Damaskus, diinstruksikan penggantian penggunaan bahasa untuk arsip-
arsip resmi pemerintah dari bahasa setempat (Pahlevi, Kpti, Grik, Latin) ke bahasa Arab,
maka sejak saat itu bahasa Arab telah menjadi linguage prance dalam hubungan-
hubungan diplomatic, dagang, surat menyurat resmi, dunia kesusastraan dan kebudayaan,
dunia ilmiah dan filsafat. Oleh karena itu, sejarah mencatat bahwa pada masa-masa damai
sering terjadi perutusan diplomatik kaisar-kaisar Bizantium ke Bagdad (ibukota Daulah
Abbasiyah) sekitar tahun 750-1258 M di belahan Timur. Demikian pula raja-raja Eropa
mengirimkan utusannya ke Cordova, ibukota Daulah Bani Umayyah (756-1031) di
belahan Barat. Setiap kali utusan itu kembali, mereka senantiasa membawa berita tentang
hal-hal yang menakjubkan yang disaksikannya sendiri di ibukota dunia Islam itu.
Kuat dugaan, awal perkembangan orientalis itu sendiri berawal dari interaksi yang
terjadi antara Barat dengan Umat Islam di Andalusia, keberadaan umat Islam disana
adalah awal dari persentuhan Barat dengan ilmu pengetahuan yang bersifat rasional yang
sudah berkembang di dunia Islam, dimana perkembangan pemikiran Barat sebelumnya
lebih dominan diwarnai oleh pengaruh kekultusan ajaran agama. Adanya persentuhan
Islam dengan Barat ini merupakan titik awal perhatian Barat terhadap Islam, yang pada
akhirnya melahirkan perhatian bagi masyarakat Barat untuk meneliti tentang Islam lebih
jauh, walau dengan motif dan motivasi yang berbeda-beda. Melihat dari perkembangan
waktu dan motivasi yang ada, dapat dijelaskan bahwa studi yang dilakukan oleh Barat
terhadap Islam secara khusus, dan Timur secara luas, pada awalnya berangkat dari sebuah
kekhawatiran terhadap pengaruh Islam yang semakin besar masuk ke Barat. Thaha
Hubasyi menyebutkan terjadinya perubahan tersebut di tengah-tengah masyarakat Barat
setelah mereka mengenal Islam sangat dipengaruhi oleh beberapa hal berikut:
1) Aspek Masa Lalu
Dimana dalam keilmuannya, Barat sangat jauh ketinggalan yang disebabkan oleh
pertentangan antara ilmu dan agama. Dalam masalah ekonomi, dimana rakyat kecil
tidak memiliki kebebasan dalam harta dan kemiskinan merajalela serta penindasan

5
yang terus menerus terjadi. Dalam aspek kesehatan, mereka masih percaya kepada
ramalan-ramalan.
2) Aspek Agama
Kebebasan yang direbut oleh gereja-gereja, doktrin-doktrin agama, tidak adanya
kebebasan berfikir sehingga timbulnya pertentangan antara gereja dan umatnya.
3) Aspek Politik
Dengan berkembangnya daerah kekuasaan Islam dan makin sempitnyadaerah yang
dikuasai oleh gereja.

Menurut Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi setidaknya ada dua motif utama dalam kajian
orientalis; motif agama dan motif politik. Motif agama muncul dikarenakan Barat yang di
satu sisi mewakili Kristen memandang Islam sebagai agama yang sejak awal menentang
doktrin-doktrin keagamaannya. Islam yang mengoreksi penyimpangan-penyimpangan
dan menyempurnakan nilai agama sebelumnya dianggap menabur angina yang
menyebabkan badai perseteruan dengan agama Kristen. Adapun motif politik lebih
disebabkan oleh karena Barat melihat Islam sebagai sebuah ancaman yang sangat nyata.
Sebagai sebuah peradaban baru, Islam bergerak sangat cepat, dan sepertinya Barat sadar
betul bahwa Islam bukan sekedar istana-istana negah, bala tentara yang gagah berani atau
bangunan monumentalnya, namun juga memiliki khazanah dan tradisi keilmuan yang
tinggi. Dalam perkembangan selanjutnya, motif agama diartikan menjadi keagamaan
Kristen dan misionarisme. Sedangkan motif politik akhirnya berkembang menjadi motif
bisnis atau perdagangan yang kemudian berubah menjadi kolonialisme.

C. Historiografi Orientalis dan Karakteristiknya


Sejarah sebagai ilmu terjadi ketika nilai (value) yang terkandung dalam peristiwa
sejarah itu bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah bersadarkan fakta primer yang ada.
Dalam hal ini, historiografi sebagai kajian penulisan sejarah dituntut untuk memegang
peranan yang sangat penting dalam kualitas produk sejarah. Salah satu historiografi yang
memiliki sumbangsih dalam peradaban Islam adalah historiografi yang digiatkan oleh
para orientalis. Historiografi sebagai salah satu aspek kajian dalam ilmu sejarah
(humaniora), telah mengalami beberapa perkembangan dalam struktur dan konsepnya.

6
Historiografi orientalis disebabkan oleh adanya studi-studi yang dilakukan oleh bangsa
Barat tentang ketimuran baik berupa sastra, sejarah, adat istiadat (culture), politik,
lingkungan, maupun agama di Timur Asia termasuk Islam. Minat orang Barat untuk
meneliti masalah-masalah ketimuran ini sudah berlangsung sejak abad pertengahan.
Mereka mulai melahirkan banyak karya-karya yang menyangkut masalah ketimuran,
mulai dari rentang abad pertengahan sampai abad sekarang. Perkembangan historiografi
orientalis tidak dapat dipisahkan dari orientalis itu sendiri, kuat dugaan bahwa
perkembangan historiografi orientalis berawal dari interaksi yang terjadi antara Barat dan
umat Islam di Andalusia, keberadaan Islam pada waktu itu sedang berada di puncak
peradaban. Melihat perkembangan waktu dan motif mereka mengkaji Islam lebih khusus
serta Timur secara luas, berangkat dari kekhawatiran dari pengaruh Islam yang semakin
besar masuk ke Barat.
Historiografi orientalis, dalam penulisannya memiliki perbedaan dengan
historiografi yang berkembang sebelumnya, seperti historiografi pada masa klasik dan
pertengahan. Historiografi orientalis memiliki karakteristik penulisan yang bersifat
analisis-kritis, sedangkan historiografi pada masa-masa sebelumnya lebih dominan
bercorak deskriptif-naratif. Kemudian, letak penggunaan teori dan metodenya. Jika
historiografi masa klasik dan pertengahan menggunakan etode wawancara dan tahu akan
kejadian peristiwa langsung, historiografi orientalis ini lebih condong pada penafsiran-
penafsiran teks atau menggunakan logika yang rasional untuk menuliskan sejarah dan
mengkritisinya. Kemudian letak paling mendasar dari historiografi orientalis ini terlihat
pada ontologis dan epistimologinya. Tokoh orientalis dalam mengkaji ketimuran, mereka
mengesampingkan paham empirisme dan mengedepankan rasionalismenya, sedangkan
tokoh Timur dalam mengkaji Barat, mereka menggunakan keduanya, yaitu
mensinkronisasikan paham empirisme dan rasionalitas.

D. Metodologi Dalam Historiografi Orientalis


Banyak metode yang digunakan oleh tokoh-tokoh orientalis dalam menuliskan sejarah,
mereka memakai berbagai metode (multidimensional). Jadi, tidak hanya satu atau dua
metode saja, melainkan banyak metode yang digunakan untuk mengkaji Islam secara
mendalam. Mulai dari metode sejarah, ekonomi, politik, peran, dan masih banyak yang

7
lainnya. Dalam karyanya, para tokoh orientalis juga memakai berbagai macam
pendekatan dalam mengkaji sejarah, salah satunya adalah William Montgomery Watt.
Dia juga sering mengkaji Hadist dan Al-Qur’an sebagai sumber penulisan karyanya. Ada
2 metode yang sering digunakan tokoh orientalis untuk menuliskan sejarah, diantaranya
adalah:
1) Metode Critical of Historis
Berbagai macam metode yang digunakan oleh para orientalis dalam mengkaji Islam,
salah satunya ialah metode kritis-historis. Metode tersebut digunakan untuk mengkaji
teks-teks Al-Qur’an. Pada dasarnya metode tersebut digunakan untuk menganalisis
atau melakukan studi kritis terhadap Bibel. Persoalan-persoalan yang dikaji dalam
metode kritis-historis ini antara lain seperti: persoalan teks, banyaknya naskah,
redaksi teks, versi teks yang berbeda-beda. Berangkat dari persoalan tersebut dapat
menghasilkan kajian Bibel yang kritis-historis. Pada akhirnya lahirlah kajian kritis
Bibel yang berorientasi pada studi filologi yang mendetail. Kritis-historis memiliki
makna penting untuk menentukan suatu yang diinginkan oelh pengarang. Kajian
filologi tidak hanya menyangkut tentang kosa kata, morfologi, tata bahasa, lebih dari
itu mencakupstudi tentang bentuk-bentuk, signifikansi, makna bahasa dan sastra.
Metode kritis-historis digunakan untuk mengkaji perssoalan yang sangat mendasar,
seperti persoalan teks, redaksi teks, gaya bahasa, teks dan bentuk awal teks. Metode
ini dipakai oleh para tokoh orientalis dalam mengkaji historiografi baik itu Islam
ataupun lainnya.

Asumsi dasar dari metode kritis-historis adalah teks Al-Qur’an. Sebagaimana teks-
teks kitab suci lainnya telah mengalami perubahan-perubahan. Selain tidak memiliki
autografi dari naskah asli, teks asli juga sudah berubah (rusak), sekalipun perubahan
itu demi kebaikan. Salah satu contoh adalah manuskrip-manuskrip awal Al-Qur’an
yang tidak memiliki baris dan titik, serta ditulis dengan khat Kufi yang berbeda jauh
dengan tulisan yang saat ini digunakan. Jadi, teks yang diterima saat ini, bukan asli
Al-Qur’an yang pertama kali. Namun, itu adalah hasil dari berbagai proses perubahan
ketika periwayatannya berlangsung dari generasi ke generasi di dalam komunitas
masyarakat.

8
2) Metode Literary Criticism
Para orientalis menggunakan metode kritik sastra (literary criticism) untuk mengkaji
teks seperti Al-Qur’an yag disebut sebagai studi sumber (source criticism) berasal
dari metodologi Bibel. Kemudian ketika para sarjana Bibel menemukan berbagai
kontradiksi, pengulangan, dan perubahan dalam gaya bahasa, mereka akan lebih
mudah dalam memahaminya. Dalam kajian kritis terhadap Bibel, kritik sastra atau
sumber telah muncul pada abad 17 dan 18 ketika para sarjana Bibel (Barat)
menemukan berbagai kontradiksi, pengulangan, dan perubahan di dalam gaya bahasa,
dan kosa kata Bibel. Mereka membuat kesimpulan bahwa kandungan Bibel dapat
lebih mudah dipahami jika sumber-sumbernya yang melatarbelakangi teks Bibel yang
diteliti. Pendekatan sastra ke dalam studi Al-Qur’an dilakukan oleh para orientalis
dalam mengkajinya. Wansbrough berpendapat bahwa kanoisasi teks Al-Qur’an
terbentuk pada akhir abad ke 2 Hijriyah. Oleh sebab itu, semua hadist yang
menyatakan bahwa himpunan AlQur’an harus dianggap sebagai informasi yang tidak
dapat dipercaya secara historis. Semua informasi tersebut adalah fiktif yang memiliki
maksud tertentu. Semua informasi yang ada kemungkinan besar dibuat oleh Fuqaha
untuk menjelaskan doktrin-doktrin syari’ah yang tidak ditemukan di dalam teks,
ataupun mengikut model periwayatan teks.

E. Kontribusi Orientalisme Terhahap Dunia Islam


Sebenarnya cukup sulit mengakses kontribusi orientalisme terhadap dunia Islam.
Medannya sangat luas sehingga merupakan sebuah pekerjaan berat karena harus masuk
ke dalam belantara literature Barat untuk mengidentifikasi kontribusi positif orientalisme.
Di sisi lain, pandangan positif terhadap orientalisme bagi sebagian kaum Musimin
mungkin tidak bisa diterima. Tetapi juga harus diakui, adalah kenyataan bahwa
kontribusi itu ada dan tidak bisa ditolak.
1) Kekayaan Literatur Islam
Kontribusi pertama yang harus diakui sebagai dampak positif dari orientalisme adalah
produksi teks yang membuat literature Islam mengalami pengayaan luar biasa. Selain
pengayaan dari aspek kuantitas, juga pengayaan kualitas berupa nutrisi studi dari sisi

9
metodologis. Secara apologetic bisa saja kita mengatakan, sebenarnya tanpa
orientalisme pun literatur dunia Islam berkembang luar biasa seperti terjadi pada abad
pertengahan. Pada abad itu karya-karya para ilmuwan Muslim seperti Al-Kindi, Ibn
Sina (Avicenna), Al-Farabi, Al-Khawarizmi, Al-Kimiyya, Al-Jabbar. Ibn Taimiyah,
Al-Ghazali, Ibn Rushd (Averroes), Al-Muwardi, Ibn Khaldun dan lain sebagainya
seungguh luar biasa. Karya-karya mereka bahkan belum ada yang menyamainya di
zaman modern dan tidak ada yang meragukan sumbangsih para ilmuwan Islam,
termasuk dunia Barat. Montgomery Watt dan banyak ilmuwan Barat mengakui
bahwa mereka berhutang besar pada dunia Islam. Ilmu pengetahuan Barat dewasa ini
tidak akan berkembang pesat seperti dewasa ini tanpa peran yang dimainkan oleh
ilmuwan-ilmuwan Muslim abad pertengahan. Namun, harus dinyatakan bahwa karya-
karya mereka yang bergerak di dasar-dasar ilmu pengetahuan sudah menjadi klasik.
Di sisi lain, ilmu pengetahuan terus berkembang dan berubah. Kontribusi ilmuwan
Muslim tidak terbantahkan. Akan tetapi, tanpa pengembangan para ilmuwan modern,
termasuk imuwan-ilmuwan Barat di dalamnya, ilmu pengetahuan tidak akan
berkembang lebih pesat lagi seperti sekarang ini. Sifat ilmu it uterus berkembang,
saling melengkapi dan saling mengisi. Tidak bisa sebuah komunitas menafikkan
kontribusi/jasa-jasa pihak lain yang telah turut ambil bagian.

Produksi dan reproduksi teks dan literature keislaman di zaman modern yang
dihasilkan orientalisme telah menghasilkan jumlah koleksi yang sangat luar biasa.
Bila pada abad pertengahan, karya-karya magnum opus ditulis dan diproduksi oleh
para ilmuwan Muslim, maka di era modern, karya-karya besar itu dihasilkan oleh
orientalisme. Edward Said mencatat, antara tahun 1800 hingan 1950, orientalisme
telah menghasilkan sekitar 60.000 judul buku. Karya-karya tersebut tertulis dalam
bahasa Inggris, Arab, Prancis, Italia, Belanda dan bahasa-bahasa Islam lainnya.
Tahun 2000, yaitu 50 tahun kemudian, Said tidak melaporkan lebih lanjut. Mungkin
produksi itu sudah dua kali lipat jumlahnya. Walau kesan negatif masih mengiringi
karya-karya orientalisme, akan tetapi kuantitas produksi ilmu pengetahuan itu terlalu
berharga untuk diabaikan.

10
Tanpa orientalisme, literature dunia Islam hanya ditulis oleh kaum Muslimin yang
notabene merupakan orang dalam yang subyektif. Dalam konteks ini, orientalisme
harus diakui memberikan banyak keuntungan. Pertama, mengenalkan studi Islam
dengan pendekatan yang lebih akademis dengan menonjolkan analisis. Kedua,
melalui orientalisme pandangan masyarakat non-Muslim atau ilmuwan Barat tentang
Islam bisa diidentifikasi. Ada yang obyektif, simpatik, ilmiah dan akademis, ada juga
yang sinis, tidak akurat dan penuh prasangka. Tetapi tetap saja, pandangan pihak lain
tentang kita sering kita butuhkan sebagai peneguhan asumsi-asumsi atau introspeksi.
Pada dasarnya, pandangan luar adalah masukan dan sebiah cermin untuk berkaca diri.
Tafsir, asumsi, dan tatanan masyarakat yang sudah dibangun oleh kaum Muslimin
tidak berarti sudah sempurna. Inilah makna dari karya-karya para penulis Barat atau
orientalis tentang Islam. Orientalisme bisa dimaknai sebagai penerjemahan dari
perintah Nabi ‘Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina!’. Lebih akuratnya, Nabi jelas-
jelas mengajarkan agar kitabersikap dewasa, bijaksana dan obyektif dalam masalah
ilmu: “Undzur mâ qâla wala tandzur man qâla!” (Lihatlah apa dibicarakan, jangan
melihat siapa yangberbicara).

2) Menjamurnya Institusi Kajian Keislaman


Pada masa kejayaan Islam abad pertengahan, mungkin tidak ada institusi-institusi
non-Muslim yang melakukan kajian-kajian agama (Islam). Studi Islam di Barat pun
baru muncul pada zaman modern seiring dengan kemunculan orientalisme. Di dunia
Islam pun, hanya bisa dihitung dengan jari. Bila pun ada, seperti Baitul Hikmah yang
terkenal, hanyalan lembaga yang melakukan penerjemahan karya-karya filsafat
Yunani ke dalam bahasa Arab. Lembaga ini dibangun oleh Khalifah Harun Ar-Rasyid
dan dilanjutkan oleh penggantinya, Al-Makmun. Lembaga ini melakukan
transformasi ilmu pengetahuan dari filsafat Yunani ke dunia Islam. Pada zaman
modern, kaum Muslimin dapat menemukan banyak sekali pusat-pusat lembaga kajian
Islam di Barat. Apapun kepentingannya, institusi-institusi kajian Islam di Barat
memiliki peranan penting dalam perkembangan Islam di masyarakat.

11
Munculnya institusi-institusi ini pada abad pertengahan di Barat, kemudian tumbuh
dan berkembang menjadi akar-akar studi kawasan atau wilayah tentang Timur di
universitas-universitas Barat zaman modern. Orientalist Congress (Kongres
Orientalis) misalnya, mengganti namanya menjadi International Congress on Asia
and North Africa dan kongres tersebut telah mendirikan pusat-pusat studi ketimuran
seperti Ecoledes Langues Orientalis Vivantes (1975) di Paris. Studi kawasan dan
studi-studi agama sekarang sudah berkembang sangat pesat di universitas-universitas
Barat modern. Beberapa diantaranya misalnya The School of Oriental and African
Studies (SOAS), London University yang didirikan pada 1917; Oosters Intsituut,
Leiden University 1917); Institut Voor het Moderne Nabije Oosten, Amsterdam
University (1956). Intsitusi-institusi kajian ketimuran lain misalnya Siciete Asiatique
(1822) in Paris; American Oriental Society in The United States (1842); Royal Asiatic
Siciety di Inggris dan Oosters Genootschap in Nederland di Leiden (1929). Sejumlah
universitas-universitas besar di Amerika Serikat seperti Harvard University, Clumbia
University, Ohio State of University, UCLA, Wisconsin University, University of
Boston, Syracuse University, Yale University dan lain-lain memiliki program
religious studies dimana buku-buku atau literature tentang Islam dan umat islam
diterbitkan, dipelajari, dan dipelihara dengan sangat baik.

F. Tokoh-Tokoh Orientalisme
Berikut ini secara khusus dikemukakan beberapa tokoh orientalis yang kiranya dapat
mewakili tokoh-tokoh orientalis besar, mereka diantaranya ialah:
a) Christian Snouck Hurgronje (1857-1936)
Di antara tokoh orientalis yang paling banyak dikenal oleh masyarakat Indonesia
adalah C. Snouck Hurgronjeyang hidup pada tahun 1857 sampai 1936, yang berasal
dari Belanda. Setelah belajar di sekolah menengah Hogere Burschool selama lima
tahun di Breda, ia masuk fakultas theology Universitas Leiden. Setelah itu ia masuk
jurusan sastra semitik dan meraih gelar doktor dengan promosi Cum Laude dalam
ilmu sastra tersebut berdasarkan sebuah desertasi tentang perjalanan haji ke Makkah
berjudul He Mekkaanche Feest. Pada tahun 1881, ia mendapat tugas sebagai lektor
pada lembaga kota praja untuk pegawai kolonial Universitas Leiden. Tahun 1884 ia

12
pergi menuju jazirah Arab dan singgah di kota Jeddah hingga 1885 sebagai persiapan
untuk memasuki Makkah. Menyadari sebagai seorang non-Muslim, Hurgronje
berpura-pura masuk Islam dan mengubah nama aslinya menjadi Abdul Ghaffar agar
diizinkan oleh penguasa Turki di Jeddah ketika itu untuk menunaikan ibadah haji,
sehingga ia dapat memasuki kota Makkah meskipun enam bulan kemuadian ia diusir
karena terbongkar jati dirinya.
Ia segera kembali ke negeri asalnya untuk meneruskan tugas sebagai seorang
Lektor di Universitas Leiden hingga tahun 1887. Kemudian pergi ke Hindia Timur
Indonesia yang merupakan wilayah jajahan Belanda dan tinggal di wilayah jajahan ini
selama 17 tahun dengan kedudukan sebagai penasehat pemerintah kolonial Belanda.
Hurgronje menulis karyanya yang berjudul “Makkah” dalam bahasa Jerman terdiri
dari dua jilid pada tahun 1888 hingga 1889. Sedangkan karyanya yang berjudul “De
Atjehers” (penduduk Aceh) juga dalam dua jilid, tahun 1893-1894 selain banyak
menulis, ia juga sering menyampaikan ceramah ilmiah mengenai keislaman. Ia
meninggal di Leiden setelah sekian lama menggeluti dunia orientalis yang ia
persembahkan untuk kepentingan penjajah.

b) Louis Massignon (1883-1963)


Di antara tokoh orientalis Prancis, nama Massignon barangkali menempati
deretan tertinggi. Ia banyak belajar dari tokoh-tokoh orientalis berbahaya seperti
orientalis Belanda, Snock Hurgronje. Selama tiga tahun ia mengadakan studi
mengenai keadaan sosial dan politik Dunia Islam hingga tahun 1954. Kemudian
meneruskan perjalanannya ke Kairo pada tahun 1906-1909 dan belajar di Universitas
Al-Azhar. Pada tahun 1917-1919 ia mengadakan perjalanan ke Hejaz, Kairo dan
tinggal beberapa lama di Yerussalem. Beirut, Aleppo, Damaskus, serta Istanbul yang
merupakan kota-kota penting di dunia Islam kala itu, dengan mengemban tugas yang
diberikan oleh kementrian luar negeri Prancis di Syiria dan Palestina. Setelah itu ia
kembali ke Paris untuk menyelesaikan program doktornya di Universitas Sorbone
pada tahun 1922 dengan disertasi mengenai tasawuf dalam Islam dengan judul “La
Passiond’ al-Hallaj, Martyr Mysique de I’Islam” (Derita al-Hallaj, sang sufi yang

13
syahid dalam Islam). Di samping itu ia juga memimpin majalah Dunia Islam yang
berorientasi pada missionarisme.

c) Williaman Montgomery Watt


W. Montgomery Watt mengajar di Edinburgh, Inggris. Selain dipandang lembut
dan simpatik terhadap Islam, Watt juga dinilai banyak orang sebagai orang yang
sangat teliti dan hati-hati dalam mempelajari sumber-sumber Islam. Walaupun
demikian, kita memeroleh sebuah nasehat yang bagus pada bab terakhir bukunya
yang berjudul Islam and the Integration of Society. Setelah memaparkan analisanya,
Watt cukup besar jiwa mengakui bahwa Islam bisa memiliki peran besar di dunia ini
pada masa mendatang. Namun, cepat menambahkan bahwa Islam “harus bersedia
mengakui asal-usulnya” apa yang dimaksud? tidak lain adalah sesuai dengan tesis
utama semua orientalis. Al-Qur’an tidak lebih dari hotch potch yaitu
pencampurbauran unsur-unsur perjanjian lama dan perjanjian baru, dan berbaga
sumber lain. Logika selanjutnya adalah umat Islam supaya melepaskan Al-Qur’an
kalau ingin punya peranan di masa mendatang. Cara berpikir Watt yang tampak
dingin dan teliti ini bisa saja menggiurkan kaum terpelajar Muslim yang didalam
dadanya sudah bersemi bias-bias sekularisme.

d) Hmilton Alexander Gibb (H. A. R. Gibb)


H.A.R. Gibb adalah seorang orientalis Inggris terkemuka abad ini. Dalam
hidupnya ia pernah menjadi anggota “Academy of Arabic Language” (Akademika
Bahasa Arab) Mesir, juga pernah menjadi guru besar studi Islam dan Bahasa Arab
pada Universitas Harvard, Amerika. Dia juga salah seorang tokoh redaksi dan
penerbit majalah The Encyclopedia of Islam. Diantara karyanya yang terkenal adalah
“Muhammadanisme” (ajaran Muhammad) pada tahun 1947. Dalam bukunya itu ia
mencoba-coba untuk menurunkan derajat kesucian agama Islam dengan mengatakan
bahwa Al-Qur’an hanyalah karangan dan buatan Nabi Muhammad saja, juga ia
mengatakan bahwa Islam adalah agama buatan Muhammad. Dia meninggal pada
tahun 1971.

14
Para orientalis memang kejam dan jahat, tetapi tidak semua orientalis itu jahat,
karena disisi lain orientalis telah banyak juga memberikan sumbangan yang berarti bagi
kajian ketimuran. Sepanjang jaman keemasannya pada abad ke-18 dan 19, dunia
orientalis telah melahirkan sejumlah cendekiawan simpatik yang mengabdikan sebagian
besar hidupnya untuk mengkaji masalah-masalah keislaman semata dengan tujuan ilmiah
murni yang dijiwai semangat dan sikap obyektif. Jika saja bukan karena jasa-jasa mereka,
banyak karya-karya ulama Muslim klasik barangkali tidak bisa ditemukan lagi sekarang,
atau barangkali akan terlupakan, atau bahkan hilang sama sekali.Yang lebih postif lagi,
tidak sedikit diantara mereka yang masuk Islam setelah terlebih dahulu mengadakan
pengkajian. Kemudian mereka menangkis karya-karya kaum orientalis yang diwarnai
sikap bias dan kedengkian dan mengabdikan diri mereka sepenuhnya untuk Islam.

15
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Sejarah historiografi orientalis tidak dapat dilepaskan dari kejadian-kejadian di
abad 13, konflik yang terjadi antara Kristen dan Islam menjadi awal permulaan orientalis
mulai tertarik untuk mengkaji Islam dengan berbagai sudut pandang serta tujuan yang
berbeda. Dapat dipahami yang paling mendasari munculnya gerakan orientlis pada
awalnya adalah aspek masa lalu yang curam dan bentuk persaingan antara gereja Kristen
terhadap Islam terutama di Andalus (Spanyol), termasuk aspek politik dan juga faktor
strategi perang salib yang merubah haluan kepada studi-studi Islam. Jadi secara garis
besar faktor utamanya adalah agama, ideologi dan politik. Berawal dari kekhawatiran
gereja jika harus kehilangan eksistensi agama dari umatnya sendiri, dan bagaimana bisa
menarik orang-orang kembali kepada keyakinan sebelumnya. Studi-studi orientalis ini
tidak hanya ditujukan untuk membentengi Barat dari pengaruh Islam, namun juga
sebaliknya ditujukan kepada umat Islam, berbentuk upaya pendangkalan-pendangkalan
aqidah, serta informasi-informasi yg keliru tentang Islam, baik dari sisi sejarah,
pemikiran dan worldview, serta menjauhkan umat Islam jauh dari agamanya, dan phobia
antar sesama mereka.
Pada akhirnya sejarawan orientalis mengkaji Islam dengan perspektif mereka.
Ada sejarawan orientalis yang memiliki pandangan negatif terhadap Islam, sehingga
dalam menuliskan karya sejarah terjadi pengkaburan peristiwa sejarah, yang tidak sesuai
dan condong menjatuhkan Islam. Akan tetapi tidak semua tokoh orientalis seperti itu, ada
sebagian dari mereka yang murni ingin menambah pengetahuan dan belajar dari Islam.
Jika dilihat dari sisi historis, historiografi orientalis memiliki karakteristik yang berbeda
dalam penulisan sejarah, terutama dalam penulisan sejarah yang bersifat lebih kritis
dibandingkan dengan historiografi masa sebelumnya yang dominan bercorak naratif dan
deskriptif. Metodologi yang digunakan dalam penulisan historiografi juga bersifat
multidimensional.

16
DAFTAR PUSAKA

Ilham Aziz, Muhammad. 2021. Kajian Terhadap Historiografi Orientalis (Studi Atas Karya
William Montgomery Watt Muhammad Prophet And Statesman). Tarikhuna:
Journal Of History And History Education. Volume 3 No. 2. 151-163.
Yurnalis, Syukri al-Fauzi Harlis. 2019. Studi Orientalis Terhadap Islam: Dorongan Dan Tujuan.
Jurnal al-Aqidah. Volume 11, ed. 1, 64-75.
Akkase, Muhammad Bahar. 2016. Orientalis Dan Orientalisme Dalam Perspektif Sejarah. Jurnal
Budaya. Volume 4, No 1. 48-63.
Saifullah. 2020. Orientalisme Dan Implikasi Kepada Dunia Islam. Jurnal Mudarrisuna. Vol. 10
No. 2, 166-189.
Jamilah, Maryam. 1994. Islam dan Orientalisme. cet.1. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Haqan, Arina. 2011. Orintalisme dan Islam Dalam Pergultan Sejarah. Jurnal Mutawatir. Vol. 1
No. 2.
Mahmud, M. N. 2013. Orientalisme: Berbagai Pendekatan Barat dalam Studi Islam. Kudus:
MASEIFA Jendela Ilmu.
Said, E. W. 1979. Orientalism . New York: Library of Congres.

17

Anda mungkin juga menyukai