Anda di halaman 1dari 9

Analisis Metodologi Studi Islam Terhadap Orientalisme Dan Oksidentalisme

PAPER
Diajukan Kepada Bapak Asep Maulana Rohimat , S.H.I., M.S.I

Oleh:

1. Finisha Lucky Prasnanta Putri (225211247)


2. Lathifah Shoufa Luthfianingsih (225211257)
3. Tsaqif Fathurrahman (225211279)
4. Muhammad Fahrizal Ardhan (225211280)

KELAS 2 G
MANAJEMEN BISNIS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN MAS SAID SURAKARTA
TAHUN 2023
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Islam adalah agama yang diwahyukan oleh Allah SWT untuk manusia melalui Nabi
Muhammad SAW, yang menunjukkan manusia menuju keselamatan. Islam selalu
berkembang pesat dari zaman ke zaman, Seiring berkembangnya zaman, maka berkembang
pula lah ilmu pengetahuan, sehingga membuat kita yang asalnya tidak tahu menjadi tahu.
Oleh karena itu, pemikiran pun harus berkembang, sebagai umat Rasulullah SAW, haruslah
bersumber pada Al-Quran, As-Sunnah, dan ijtihad. Adapun latar belakang dari orientalisme
dan oksidentalisme sendiri yaitu terdiri dari tiga unsur antar lain islam sebagai sebuah
disiplin ilmu, perkembangan agama islam di dunia, dan persaingan komunitas agama.

Adapun rumusan masalah yang akan kita bahas dalam paper ini yaitu antara lain,
orientalisme dan oksidentalisme yang merupakan bagian penting dan hampir tak
terpisahkan dengan materi-materi terhadap kajian metodologi studi islam serta tujuan
dibuatnya paper ini yaitu untuk mengetahui pentingnya orientalisme dan oksidentalisme
terhadap kajian metodologi studi islam.

Oleh karenanya, penulis berpendapat disinilah letak signitifikan pembahasan tentang


analisis metodologi studi islam terhadap orientalisme dan oksidentalisme. Paper ini
berupaya untuk memaparkan beberapa hal yang berkaitan dengan metodologi studi islam
terhadap orientalisme dan oksidentalisme.

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Orientalisme
1. Pengertian Orientalisme

Orientalisme berasal dari bahasa prancis yaitu “orient” yang berarti timur.
Sedangkan secara istilah orientalisme berarti ilimu-ilmu yang berhubungan dengan
dunia timur dalam semua aspeknya seperti agama, bahasa, ilmu, sastra, seni, dan lain-
lain. Orang-orang yang mempelajari ilmu tersebut disebut orientalis atau ahli
ketimuran. Orientalis ialah segolongan sarjana barat yang mendalami bahasa-bahasa
dunia timur dan kesusasteraannya dan mereka juga menaruh perhatian besar terhadap
agama-agama dunia timur serta sejarah, adat istiadat, dan ilmu-ilmunya (Zaman, 2019).

2. Tujuan atau motif orientalisme


a. Ilmiah yaitu terjadinya dialog atau diskusi tentang keilmuan-keilmuan dunia
islam yang menjadikan islam sebagai sumber ilmu itu sendiri, seperti mengkaji
pada abad-abad pertengahan dalam masa keemasan para ilmuan muslim yang
kemudian menghasilkan karya-karya ilmiah tentang studi islam missal seperti
buku History of Arab yang ditulis oleh Philip Khuri Hitti (Said, 2018).
b. Kristenisasi yaitu perkembangan dakwah atau persaingan agama yang mana
orang-orang barat atau mayoritas agama Kristen mengajakan umat muslim
untuk masuk agama Kristen. Ada 2 cara dalam kristenisasi yaitu:
• Positif yaitu kita semakin termotivasi karena persaingan dakwah antar umat
kristen dan umat muslim, yang menjadikan umat muslim lebih semangat
untuk berdakwah.
• Negatif yaitu bagaimana umat kristen mencari titik lemah umat muslim
yang bertujuan untuk mengajak atau mengkristenkan umat muslim agar
memeluk agamanya (Said, 2018).
c. Kolonialisasi yaitu mengkaji ajaran-ajaran islam yang bersifat politik yang
bertujuan untuk menjajah wilayah-wilayah muslim seperti contoh daerah
muslim minoritas di Pakistan, Mesir, dan Afrika (Said, 2018).

2
3. Contoh dan Dampak Orientalisme
perang salib (the crusades) merupakan perang antara dua kekuatan, Islam dan
Kristen dengan delapan gelombang penyerbuan terhadap umat Islam selama
hampir dua abad dan berakhir pada kekalahan di pihak Kristen. Akibat dari tragedi
dahsyat ini, dunia Barat (Kristen dan Yahudi) termasuk Amerika mendendam
kemarahan dan dendam kesumat untuk menghancurkan Islam (Reichenbach, 2019).
Fenomena di atas memotivasi para orientalis dengan orietalismenya untuk
mengkaji bahasa Arab dan umat Islam yang diarahkan untuk melemahkan jiwa, rasa
percaya diri umat Islam agar tunduk kepada penguasa Barat dan mengikuti ajaran
mereka. Mereka terus bergerak di bidang karya tulis, ceramah, muktamar,
penerbitan, pengumpulan dana, mendirikan organisasi, kristenisasi, sekelarisme,
serta memasuki lapangan pendidikan dan pengajaran dengan Al-Ghazwu Al-Fikri-
nya untuk merusak otak generasi muda Islam yang pada akhirnya meninggalkan
ajaran dan nilai-nilai Islam (Reichenbach, 2019).
Menyingkap masalah orientalisme secara tuntas, terutama sikap para orientalis
terhadap Islam dan umatnya memang disadari tidaklah mudah. Karena sikap
tersebut bukanlah masalah baru dan merupakan kesinambungan strategi dan taktik
musuh-musuh Islam yang dewasa ini lebuh berkembang dengan pola dan
metodenya yang beragam (Reichenbach, 2019).
Para orientralis ini pada hakikatnya bukanlah orang-orang yang tepat dan patut
untuk mengkaji ilmu-ilmu Islam dengan kajian ilmiah. Karena mereka kehilangan
sifat pokok objektivitas ilmiah, yaitu sifat terbuka dan kejujuran intelektual. Bahkan
dengan terang-terangan mereka bersikap memusuhi Islam, bersikeras dan fanatik
menentangnya, membenci al-Qur’an, dengki terhadap Rasulullah saw. Dan terhadap
Islam umumnya serta berbuat tipu daya dengan berbagai cara (Reichenbach, 2019).

B. Oksidentalisme
1. Pengertian Oksidentalisme

Istilah Oksidentalisme dipopulerkan oleh Hasan Hanafi, seorang pemikir Mesir


yang membuat karya mega proyek atTurats Wa al-Tajdid (Tradisi dan Pembaharuan).
Oksidentalisme merupakan salah satu karya dari mega proyek tersebut dengan judulnya
al-Muqaddimah Fi Ilmi al-Istighrab (pengantar menuju Oksidentalisme). Melalui karya

3
tersebut, selanjutnya topik Oksidentalisme lebih dikenal sebagai buah karya pemikiran
Hasan Hanafi (Ahmad, 2022).

Terminologi Oksidentalisme berasal dari kata dasar occident yang berarti “barat”.
Kemunculan istilah ini, dimaksudkan bagi Hasan Hanafi sebagai respon atas maraknya
westernisasi/eurosentrisme dan penilaian kaum orientalis yang memandang dunia
Timur dalam posisi yang tidak seimbang. Oleh sebab itu, untuk memberikan pengertian
yang tepat terhadap istilah Oksidentalisme ini, Hasan Hanafi mendudukkannya sebagai
lawan dari Westernisasi dan Orientalisme (Ahmad, 2022).

a. Vis a vis Westernisasi

Menurut Hasan Hanafi, Oksidentalisme diciptakan untuk menghadapi westernisasi


yang memiliki pengaruh luas tidak hanya budaya dan konsepsi kita tentang alam, tetapi
juga mengancam kemerdekaan peradaban kita, bahkan merambah pada gaya hidup
sehari-hari; bahasa, manifestasi kehidupan umum dan seni bangunan. 4 hal ini
mengakibatkan hilangnya identitas dunia Timur yang selama ini dikenal mempunyai
kearifan lokal tersendiri, solidaritas yang kuat, sopan, relegius, dan lain sebagainya.
Nilai-nilai luhur ini diwariskan dari masa lalu kita, bukan dari Barat. Tetapi, saat ini
nilai-nilai ke-timuran malah teracam berganti menjadi, individualistic, amoral, sekuler
dan lain sebagainya (Ahmad, 2022).

b. Dari Orientalisme menuju Oksidentalisme

Oksidentalisme dapat didefinisikan sebagai suatu kajian kebaratan atau suatu kajian
komprehensif dengan meneliti dan merangkum semua aspek kehidupan masyarakat
Barat. Kendati istilah Oksidentalisme adalah lawan kata dari Orientalisme, tetapi ada
perbedaan lain, Oksidentalisme tidak memiliki tujuan hegemoni dan dominasi
sebagaimana orientalisme. Para Oksidentalis hanya ingin merebut kembali ego Timur
yang telah dibentuk dan direbut Barat (Ahmad, 2022).

4
2. Tujuan Oksidentalisme
Hadirnya oksidentalisme sebagai suatu konsep berpikir dan bertindak dalam
menyikapi relasi Islam dengan Barat tidak terlepas dari berbagai tujuan yang
ditegaskan oleh Hasan Hanafi antara lain sebagai berikut:
1. Kontrol atau pembendungan atas kesadaran Eropa dari awal
sampai akhir, sejak kelahiran hingga keterbentukannya.
2. Mempelajari kesadaran Eropa dalam kapasitas sebagai sejarah bukan sebagai
kesadaran yang berada di luar sejarah.
3. Membebaskan ego dari kekuasaan the other pada tingkat peradaban agar ego
dapat memposisikan diri sebagai dirinya sendiri.
4. Membuka jalan bagi terciptanya inovasi bangsa non Eropa dan
membebaskannya dari “akal” Eropa yang menghalangi nuraninya, sehingga
bangsa non Eropa dapat berpikir dengan “akal” dan kerangka lokalnya sendiri.
Menciptakan Oksidentalisme.
5. Menciptakan Oksidentalisme sebagai ilmu pengetahuan yang akurat. Karena
gejala Oksidntalisme sebanarnya telah ada dalam generasi kita. Hanya saja
gejala tersebut tidak mampu menghasilkan sebuah disiplin ilmu (Nata, 2015).

3. Keraguan dan Protes terhadap Oksidentalisme


a. Keraguan
Ketika kita terbiasa membaca tradisi masa lalu, akan muncul keraguan yang
dilontarkan menanggapi munculnya sikap terhadap tradisi Barat. Hasan Hanafi
merumuskan keraguan tersebut menjadi 5 bagian, yakni sebagai berikut :
• Seringkali digunakan argumentasi yang memojokkan dan sulit dijawab. Dan
seandainya dijawab, maka penolak argumentasi akan dianggap anti
modernitas, menolak aksioma dan realitasnya. Dengan kata lain, menolak
Barat berarti menolak ilmu pengetahuan, teknologi, dan temuan modern
yang digunakan manusia setiap hari, seperti listrik, alat elektronik, sarana
transportasi, sarana komunikasi dan lain-lain.
• Oksidentalisme lebih pantas disebut ideologi daripada ilmu pengetahuan,
lebih dekat ke emosi daripada rasio, lebih dekat ke antusiasme daripada
analisa ilmiah yang baik, lebih dekat ke diskursus psolitik daripada analisa
sosial dan diskripsi sejarah.Oksidentalisme hanya mencerminkan krisis

5
pihak yang kalah, dan keinginan seorang hamba untuk membebaskan diri
dari tuannya (Nata, 2015).
b. Sanggahan-Sanggahan atau Kritik Oksidentalisme.
Jika keraguan dan kekhawatiran di atas berkaitan dengan gagasan proyek
ini sebagai satu kesatuan, maka sanggahan dan reaksi atas Oksidentalisme
berkutat di seputar kemampuan merealisasikan gagasan tersebut (Nata,
2015).

4. Contoh dan Dampak Oksidentalisme


Dalam berbagai analisa intelektual oksidentalisme, barat menjadikan Islam
begitu negatif dan buruk, sehingga pencitraan ini menjadikan public image Islam di
mata masyarakat barat. Beberapa pencitraan itu di antaranya :
1. Islam sebagai agama yang memutar balikkan fakta kebenaran Yesus Kristus
2. Islam diajarkan dengan peperangan (ayat perang dan konsep dar al-harb)
3. Permulaan filsafat baru yang dimulai dari Timur
4. Muhammad adalah anti kristus (Haryono, 2022).
Oksidentalisme ingin menuntut pembebasan diri dari cengkeraman
kolonialisme orientalis. Oksidentalisme sebagaimana dikenalkan oleh Hanafi lebih
bersih, objektif, dan netral dibandingkan dengan orientasi orientalisme.
Oksidentalisme sekadar menuntut keseimbangan dalam kebudayaan, dalam
kekuatan, yang selama ini memposisikan Barat sebagai pusat yang dominan.
Oksidentalisme berharap mitos Barat yang dianggap sebagai satu-satunya
representasi dunia dapat diakhiri dan sekaligus diruntuhkan. Selama ini kita
dikungkung pemahaman semu bahwa barat adalah pusat kekuatan dunia, pusat ilmu
pengetahuan, pusat gaya hidup, pusat ekonomi, pusat peradaban, dan karenanya
menjadi sandaran peradaban lain (Haryono, 2022).
Namun perlu dicatat bahwa kajian oksidentalisme harus independent dan
objektif sesuai dengan tujuan semula. Tidak adanya independensi dan objektifitas
akan membawa oksidentalisme padanan dari orientalisme yang bias dan hegemonic
(Haryono, 2022).

6
BAB III

KESIMPULAN

Orientalisme berasal dari bahasa prancis yaitu “orient” yang berarti timur. Sedangkan
secara istilah orientalisme berarti ilimu-ilmu yang berhubungan dengan dunia timur dalam
semua aspeknya seperti agama, bahasa, ilmu, sastra, seni, dan lain-lain. Sedangkan
Oksidentalisme berasal dari kata dasar occident yang berarti “barat”. Kemunculan istilah ini,
dimaksudkan bagi Hasan Hanafi sebagai respon atas maraknya westernisasi/eurosentrisme dan
penilaian kaum orientalis yang memandang dunia Timur dalam posisi yang tidak seimbang.

Tujuan atau motif orientalisme dibagi menjadi tiga yaitu Ilmiah, Kristenisasi, dan
Kolonialisasi. Sedangkan tujuan oksidentalisme antara lain yaitu Kontrol atau pembendungan
atas kesadaran Eropa dari awal sampai akhir sejak kelahiran hingga keterbentukannya dengan
begitu teror kesadaran Eropa akan berkurang. Karena, kesadaran Eropa tidak lagi menjadi
pihak yang berkuasa , Mempelajari kesadaran Eropa dalam kapasitas sebagai sejarah bukan
sebagai kesadaran yang berada di luar sejarah, dan Membebaskan ego dari kekuasaan the other
pada tingkat peradaban agar ego dapat memposisikan diri sebagai dirinya sendiri.

Dampak orientalisme dan oksidentalisme, kajian oksidentalisme harus independent dan


objektif sesuai dengan tujuan semula. Tidak adanya independensi dan objektifitas akan
membawa oksidentalisme padanan dari orientalisme yang bias dan hegemonic.

7
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Said, H. (2018). Potret Studi Alquran Di Mata Orientalis. Jurnal At-Tibyan: Jurnal
Ilmu Alquran Dan Tafsir, 3(1), 27.

Haryono, S. D. (2022). Sikap Terhadap Tradisi Barat : Telaah Eurosentrisme Max Weber (
Analisis Oksidentalisme Hassan Hanafi ). Aqlania, 13(1), 37.

Hasani Ahmad, W. O. F. (2022). Orientalisme dan Oksidentalisme: Kajian Keotentikan Al-


Qur’an Hasani Ahmad, Mardiyah Nur Batubara, Widya Oktavia Fakultas Ushuluddin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Al-Bayan: Jurnal Ilmu Al-Qur’an Dan Hadist, 5, 206–
225.

Komaru Zaman. (2019). Urgensi Dan Signifikansi Studi Islam Dalam Perspektif Orientalis-
Oksidentalis. El-Faqih : Jurnal Pemikiran Dan Hukum Islam, 5(2), 114–132.

Nata, Y. Y. (2015). Oksidentalisme. Jurnal Penelitian Dan Pemikiran Keislaman, 2(1), 118–
130.

Reichenbach, A., Bringmann, A., Reader, E. E., Pournaras, C. J., Rungger-Brändle, E., Riva,
C. E., Hardarson, S. H., Stefansson, E., Yard, W. N., Newman, E. A., & Holmes, D.
(2019).

Anda mungkin juga menyukai