Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

STUDI KAWASAN

TUGAS INI DITUNJUKKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS METODOLOGI STUDI ISLAM

DISUSUN OLEH :

SITI AMINAH NASUTION (0501201058)

SITI ALFAINI SYARIFAH (0501201148)

SUCI RAHMIDA (0501201107)

EKONOMI ISLAM

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

T.A 2020/2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Mempelajari ilmu tentang wilayah keagamaan dapat memahami latar belakang bagaimana
cara berbudaya, berfikir, cara hidup, dan serta ciri khas dari masing-masing daerah atau nilai
region, terutama di era globalisai yang telah meruntuhkan kewilayahan. Dalam beragama
memiliki peratuan yang mutlak dan abadi yang dating dari Allah SWT , menurut Nasution,
(1985) “Studi islam membawa ajaran-ajaran yang tidak hanya mengenai satu segi,tetapi
mengenai berbagai segi dari kehidupan manusia”

Studi islam sering kali di kaji di berbagai negara, seperti di kawasan-kawasan terutama
dikawasan Timur Tengah Asia Tenggara, dan lain-lain. Di Autralia studi Islam tidak hanyadi
kaji di Universitas tetapi juga di kalangan masyarakat. Di negara di tersebut banyaksekali
studi islam salah satunya adalah societye the Victoria, tujuan utama organisasitersebut untuk
mengungkapkan dampak penting keterlibatan komunitas muslim diAustralia.Oganisasi-
organisasi juga terdapat di kawasan-kawasan lain yaitu: di timur tengah,eropa, amerika.
Orang-orang islam yang ada di Negara tersebut aktip dalam organisasi.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Studi Islam di Barat

Islam merupakan penutup semua agama yang telah diturunkan, dengan mengimani
Allah. Pengikut agama Islam biasa disebut muslim. Islam sering dijadikan sebagai sebagai
kajian budaya di kalangan muslim maupun non muslim. Kadang dalam melihat Islam
sering terjadi persepsi berbeda untuk menjelaskan Islam. Jika melihat dari sudut normatif,
Islam merupakan agama di dalamnya mengandung ajaran Allah dengan berkaitan akidah
maupun mu’amalah. Dan jika melihat dari sudut historis di dalamnya terkandung sejarah
maupun budaya dalam masyarakat.

Pasang surut sejarah peradaban dan kebudayaan telah dialami Islam, lain ceritanya
dengan dunia Barat.Mereka mengalami perkembangan yang sangat maju di segala aspek
seperti ilmu pengetahuan maupun teknologi hingga saat ini. Barat mengalami kepesatan
dari sejarah maupun kebudayaan, Padahal saat Islam mengalami kejayaan, Barat malah
sedang mengalami keterpurukan.

Dunia Barat adalah negara seperti Amerika Serikat, Eropa, Belanda, dan lainnya.
Perkembangan studi Islam terutama di Barat terbentuk karena adanya kontak dengan dunia
muslim. Dalam catatan sejarah, kebanyakan warga Amerika dahulu menganut agama
Kristen antara Amerika dengan Kristen seperti halnya antara Islam dengan Timur Tengah
saling terikat. Sehingga penting bagi umat Islam yang tinggal di tempat didominasi oleh
non muslim haruslah senantiasa damai dan menjauhi konflik sehingga tercipta ketentraman
dapat berbaur tanpa melupakan aqidah.Sikap ketidaksukaan Amerika Serikat dari sebagian
dunia Islam cukup tinggi. Rasa kebencian muncul antara lain dari perjalanan sejarah yang
cukup lama dan sudah tidak asing di kalangan umat Islam dan umat Kristen misalnya efek
perang salib dan lainnya.
a) Studi Islam Antara Kebudayaan

Lahirnya kata Studi Islam seperti di dunia Barat disebut kata Islamic Studies, dan
dunia Islam disebutkan kata Dirasah Islamiyah, karena sebelumnya sudah dimulai dan
dikenal sejak abad 19 di dunia Barat. Ini dilihat dari adanya peninggalan karya di bidang
keagamaan. Istilah studi Islam (Islamic Studies). Meliputi kajian Al Quran, Al Hadis,
kalam, akhlaq, fiqh, dakwah, pendidikan, dan tasawuf. Kemudian, ilmu filsafat maupun
politik sekarang ini sedang gencar-gencarnya untuk mendalami wilayah Islamic studies.
Studi Islam, saat nabi dan sahabat ketika masih hidup disebarkan melalui Masjid. Adapun
pusat-pusat Islam yang menurut Ahmad Amin, tokoh Islam kontemporer terletak di
Makkah dan Madinah. Sedangkan di Chicago, studi Islam dilakukan di Chicago
University. Chicago University menyajikan tentang bagaimana sejarahnya Islam,
bagaimana menterjemahkan buku-buku bahasa Arab, dan bagaimana kajian Islam dipantau
maupun diawasi.

b) Periode Kebudayaan Islam

Di dunia Islam banyak ahli-ahli ilmu pengetahuan. Secara umum studi Islam tak dapat
disangkal keberadaannya sejak masa awal, namun para ahli berfikir bahwasannya studi
Islam tidak bisa dimasukkan dalam ilmu pengetahuan. Karena dari segi sifat maupun
karakteristik berbeda. Seperti dalam Islam manusia awalnya dari nabi Adam tetapi dalam
ilmu pengetahuan manusia berawal kera. Ada banyak tahap yang dilalui dalam budaya
pemikiran Islam yakni: (1) masa dinasti umayyah. (2) dinasti abbasiyah. (3) periode
pertengahan. (4) Periode modern. Sejarah singkat dari budaya pemikiran yang dilalui Islam
sebagai berikut:

1. Periode Klasik
Masa ini berawal sejak zaman nabi hingga masa abbasiyah. Masa perluasan
maupun masa perkembangan. Klasik adalah masa lampau karena keberadaannya
diingat sepanjang masa. Periode klasik dalam Islam lain hal periode klasik Barat.
Bagi dunia Islam, masa ini berawal dari zaman Rasulullah, sedangkan masa klasik
Barat berawal dari Yunani. Pusat pembelajaran dan kajian agama langsung dari
sumbernya, yakni mengamalkan dan turut serta menafsirkan Al Qur’an serta
mengambil hikmah dalam Al Qur’an dan Hadis. Pada masa nabi, pertanyaan sulit
belum sebanyak seperti di periode modern. Karena setiap masalah bisa langsung
dipecahkan dengan bertanya langsung kepada Rasulullah maupun kepada para
sahabat. Masa ini dunia Islam sedang membangun dan dimana awal dari kemajuan.

2. Masa Dinasti Umayyah

Masa ini, menurut Harun banyak menghasilkan kontribusi beberapa pemikiran. Hasil
yang didapat Islam dari perkembangan dan perluasan. Diantara perkembangan yang
didapat salah satunya pemikiran di bidang tafsir, hadis, fikih, dan ilmu kalam. Di masa ini
kebudayaan Islam mengalami kepesatan salah satunya dalam kebudayaan, ilmu
pengetahuan teknologi, dan ilmu kajian tentang Islam.Dahulu masjid bukan saja untuk
melakukan ibadah tetapi juga tempat dimana mendapatkan ilmu sama halnya seperti
sekolah. Karena itu muncul beberapa tokoh muslim seperti Hasan Al Basri, Ibn Shihab, Az
Zuhri dan Wasil bin Atha. Sedangkan titik kegiatan-kegiatan ilmiah ini adalah Kufah dan
Basrah di Irak. Tokoh-tokoh intelektualnya adalah Hasan Al Basri dan Ibnu Shihab, Az
Zuhri. Az Zuhri mengkaji hadis-hadis Nabi dan hukum Islam. Sementara Al Basri sendiri
merupakan perawi hadis yang diyakini mengenal 70 pribadi sahabat yang ikut perang
badar.

3. Dinasti Abbasiyah
Masa ini Islam juga disebut masa pembaharuan. Masa abbasiyah merupakan awal
mula terjadinya kontak bagi Islam dengan kebudayaan Barat yaitu kebudayaan
Yunani, bagi Yunani mereka lebih percaya dengan mitos. Salah satu pembaharuan
di masa ini yaitu pembaharuan bidang bahasa. Yaitu ketika bahasa agama atau
bahasa Arab digunakan salah satunya untuk menerjemahkan penemuan-penemuan
atau buku-buku. bahasa Arab melebihi bahasa Yunani dan bahasa Persia sebagai
bahasa penerjemah. bahasa Arab digunakan untuk ilmu pengetahuan karena sumber
dari pengetahuan banyak menggunakan bahasa Arab, filsafat, dan diplomasi. Lain
hal pembaharuan di bidang bahasa, pembaharuan di bidang kebudayaan terjadi dari
Spanyol Barat hingga India Timur juga dari Sudan Selatan hingga Kaukasus Utara.
Ini merupakan ciptaan manusia untuk manusia dipakai sendiri. Dari dulu hingga
sekarang kebudayaan mengalami perubahan. Bahasa Arab merubah kebudayaan
mereka terdahulu meluruskan yang lama. Di sejarah Islam, Islam pernah mencapai
masa kejayaan karena menghasilkan atau menemukan yang sekarang telah
dikembangkan oleh Barat dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi. Di masa ini
para penemu Islam, memberikan penemuan mereka yang masih terikat dengan
aturan Islam. Para khalifah memberi peluang yang bagus bagi para penemu
memiliki kemampuan. Karena negara mempunyai dana yang mencukupi, maka
negara turut ambil membantu proyek menerjemahkan karya klasik dari Yunani dan
Persia. Khalifah Harun Ar Rasyid juga menggunakan dana tersebut untuk
membangun rumah sakit sehingga kesehatan selalu terjaga, dan dalam pendidikan
agar meringankan beban.

4. Periode Pertengahan
Masa ini dimulai dengan runtuhnya Abbasiyah di Bagdad, dimana titik kemajuan
kebudayaan Islam. Dikarenakan serangan tentara Mongol oleh Hulagu Khan tahun
1258. Sehingga membuat Islam surut, wilayah terpecah-pecah karena serangan
musuh maupun pertumpahan darah sesama. Sebagian peninggalan budaya maupun
hasil sejarah masa lalu hancur. Masa ini menurut Islam di mulai sejak abad 13
hingga berakhir abad 18. Menurut sejarah, di abad 18 ini sebagai masa kegelapan
Islam. Karena dimasa ini kemajuan Islam dibidang sains dan teknologi terhenti.

5. Periode Modern
Masa ini berawal abad 18 hingga sekarang atau abad 20. Masa ini muncul
disebabkan oleh rasa tidak ingin mengulangi kesalahan masa lalu, sehingga timbul
kesadaran oleh para tokoh muslim. Kala Islam sedang dalam fase kemunduran atau
kejumudan, Barat mempengaruhi Islam pada abad 19. Masa modern memberi
pembaharuan untuk umat Islam, pembaharuan ini juga mewujudkan sesuatu
manfaat baik untuk dunia maupun akhirat. Salah satu tokoh pembaharuan yaitu
Muhammad Abduh dan Jamaludin Al Afghani. Sebenarnya jika melihat dari
sejarah, Islam juga ikut ambil dalam peradaban. Karena itu para pemikir berupaya
untuk mengembalikan kejayaan seperti dahulu yang sekarang telah ditelan ombak
sejarah. Kemajuan dunia membuat kesadaran tentang Islam semakin diperlukan.
Dan krisis ini membuat kesadaran para pemikir kembali belajar untuk memperbaiki
kesalahan. Kebangkitan Islam untuk memperbaiki apa yang Barat telah pengaruhi.
Ajaran Islam sudah menyimpang dari sumbernya yaitu Al Quran. Budaya Barat
sudah mendominasi peradaban dunia sehingga untuk mengubahnya butuh waktu
yang cukup lama. Ini disebabkan semua aspek mulai bidang sains, politik, ekonomi,
militer, dan yang lainnya telah tercemari oleh budaya Barat. Sebab itu Islam harus
memberantas dan ikut serta meluruskan kaidah-kaidah yang salah.
Untuk meluruskan kaidah yang salah maka perlu ilmu. ilmu adalah rangkaian
dalam penelitian, ilmu merupakan metode, ilmu juga disebut pengetahuan ilmiah,
ilmu pada dasarnya tidak tampak, tetapi akan menjadi nyata jika dijelaskan secara
sistematis semisal di buku pelajaran-pelajaran, majalah-majalah kejuruan, ucapan
yang dilontarkan para ilmuwan di atas mimbar ilmiah.

c) Pendidikan Islam Membentuk Dialog Budaya

Menurut Islam, ilmu sudah ditulis di Al Quran. Beragama yaitu berilmu sama halnya
berilmu yaitu beragama. Karena itulah antara beragama dan berilmu saling berkaitan.
Dalam Islam, ilmu adalah pengetahuan dari pikiran yang didapat dengan sungguh-sungguh
dari para ilmuwan muslim yang mengkaji masalah dunia maupun masalah akhirat dengan
pedoman kepada wahyu Allah.

Yang sedang dialami Islam lain ceritanya dengan yang dialami agama lain, terutama
agama Kristen, dulu antara ilmu dengan agama menolak. Itu dibuktikan dengan
diberikannya hukuman bagi para ilmuwan mengkaji berseberangan dengan pendapat
gereja. Banyak dari para ilmuwan pergi dari Barat karena tolak menolak ilmu dan agama.
Karenanya ilmu di Barat mengalami paradigma antroposentris. Banyak pula ilmuwan yang
tidak melibatkan agama ditemuan-temuan mereka. Karena bagi mereka tidak ada
keterkaitan mereka dan Tuhan dari segi manapun, termasuk dalam hal pencipta dan
pengatur alam semesta
Pendidikan ditujukan agar manusia dapat mengembangkan pengetahuan bermanfaat untuk
memanfaatkan sumber-sumber alam, untuk keluar dari kebodohan, menciptakan
kemakmuran, dan membuat damai.Al Qur’an memerintah bersyukur dengan telah
diberikan alam semesta dan sejarah umat manusia dengan secara mendalam untuk bisa
diambil hikmahnya di pengetahuannya agar dapat bisa diterapkan di kehidupan.
Di masa modern, umat Islam dalam garis keredupan karena terkikisnya ilmu agama
di sekitar umat Islam, dan dunia Barat ikut andil ditengah-tengah ilmu pengetahuan dan
teknologi ini disebabkan karena: (1) Ini dikarenakan kurangnya kesadaran menuntut ilmu,
hingga umat Islam mengalami ketertinggalan dalam ilmu pengetahuan. Sebelumnya di era
klasik, Islam sebagai awal pengkajian ilmu di dunia. (2) Ini dikarenakan Barat yang
sekarang menjadi maju di ilmu pengetahuan maupun teknologi, tak selalu positif dan ada
negatifnya yaitu boros, mengejar kenikmatan, terlalu cinta benda dari pada Allah, yang
mementingkan diri sendiri, pergaulan bebas, dan konsumsi narkoba.

Di masa modern ini, Barat juga membangun misalnya Universitas McGill, Montreal,
Kanada. Di lembaga ini, Barat mendirikan Institute of Islamic Studies yang didirikan
Wilfred Cantwell Smith ia adalah ahli agama yang berpengaruh. Yang terkenal sebagai
Institusi pengkajian Islam di Barat.
Pandangan Nasr, sains Barat merupakan lumrah. Nasr berpendapat, sains Barat berbeda
prinsipnya dengan sains modern. Menurut Nasr, sains Barat seharusnya tidak berada di
sekitar muslim, sebab ikatan-ikatan aturan yang diberlakukan berbeda dalam kemanusiaan
maupun dalam ajaran Islam.Sehingga harus keluar agar kembali maju dan sadar dari
pengaruh Barat, agar bisa menghasilkan penemuan-penemuan sains maupun teknologi.
Hingga saat ini Baratlah menjadi negara terkenal akan majunya ilmu pengetahuan dan
teknologi.Walaupun begitu ilmu pengetahuan dan teknologi harus tetap berpegang dengan
aturan-aturan Islam.

B. Studi Islam di dunia Islam

Sebelum menjelaskan sejarah perkembangan studi Islam di dunia muslim, dirasa


penting untuk lebih dahulu menuliskan dua hal. Pertama,menulis secara singkat sejarah
prestasi umat manusia dalam bidang ilmu pengetahuan. Kedua menulis sejumlah
lembaga intelektual yang berperan dalam kemajuan lembaga pendidikan Islam. Sejarah
singkat prestasi umat manusia dalam bidang ilmu pengetahuan dikemukakan misalnya
oleh
George Stanton sebagai berikut:
Pertama, fase 450-700 SM, yang disebut zaman Platon, yang kemudian diikuti oleh
Aristoteles, Euclides, Archimides, dan seterusnya.
Kedua, tahun 600-700 M, disebut sebagai zaman China, dengan tokoh Hsin dan I Ching

Ketiga, 750-1258, yang disebut zaman kejayaan Muslim Selama 350 tahun pertama
(750-1100M) kejayaan tersebut di- dominasi dan secara mutlak dikuasai sarjana-serjana
Muslim- Jabir, Khawarizmi, al-Razi, Mas'udi, Wafa, al-Biruni, Ibnu Sina, Ibnu Haitam,
Umar al-Khayyam. Setelah itu muncul nama- nama non-Muslim, tetapi tetap bersaing
dengan Muslim. Nama nama yang muncul dari non-Muslim adalah Gerando di Cremona
dan Roger Bacon. Sementara tokoh-tokoh dari Mus- lim adalah Ibnu Rushd, Nasiruddin,
al-Tusi, Ibnu Nafis.

Sementara beberapa pusat kegiatan intelektual pra-Islam di luar Arabia yang berperan
besar memajukan pendidikan di dunia muslim dapat digambarkan berikut. Bahwa
kemajuan pengetahuan dalam Islam tidak mungkin dipisahkan dari tradisi intelektual
peradaban-peradaban terdahulu yang telah maju sebelum dan menjelang munculnya Islam.
Kalau dalam Islam perkembangan ilmu pengetahuan mencapai kejayaan sekitar abad ke-2
H./8 M. sampai abad ke-6 H./12 M., maka jauh sebelumnya bangsa-bangsa; Yunani, India,
Cina, Tibet, Mesir dan Persia telah mengembangkan tradisi keilmuannya sendiri- sendiri.
Secara historis, peradaban Islam adalah pewaris yang kemudian melakukan sintesis dan
penyempurnaan atas pengetahuan dari peradaban-peradaban kuno tersebut.Berikut ini
adalah beberapa kota yang merupakan pusat kegiatn intelektual sebelum dan menjelang
datangnya Islam, yang berperan sebagai jembatan dalam proses penyerapan ilmu
pengetahuan oleh umat Islam.

1.Athena

Sebagai sebuah kota yang berada di bawah kekuasaan kerajaan besar Romawi
Timur,Athena mengalami kemakmur- an dan kemajuan budaya, serta menjadi salah satu
pusat kegiatan intelektual Romawi. Sejumlah pusat pendidikan berdiri, dan filsafat dan
ilmu-ilmu lain berkembang dengan baik. Di kota inilah Plato (w. 347 S.M.) hidup dan
mendirikan sebuah Akademi Filsafat yang belakangan berkembang menjadi Museum
Athena, tempat sejumlah ilmuwan dari berbagai bangsa dan agama mengembangkan ilmu
pengetahuan. Pada tahun 529 M. Kaisar Romawi (Timur), Justiniah I, menutup Museum
Athena dan sekolah-sekolah lain dan menutup Athena bagi filosof dan ilmuwan pagan
yang sebelumnya bebas keluar masuk atau menetap di sana. Penutupan ini dilatarbelakangi
oleh berbagai alasan, termasuk pandangan agama Kaisar yang tidak terlalu menghormati
ilmu pengetahuan dan alasan-alasan ekonomi. Yang paling signifikan dalam pembicaraan
sekarang bukanlah kenyataan ditutup atau runtuhnya pusat-pusat kegiatan intelektual
Athena, tetapi efek yang kemudain ditimbulkannya. Karena kehilangan kebebasan
akademis dan fasilitas di Athena, mengakibatkan banyak filosof dan ilmuwan yang
memutuskan untuk pindah ke kota-kota lain di pantai sebelah Timur Laut Tengah
(Meditteranean), ke daerah-daerah yang sekarang adalah Palestina, Syria, Libanon, dan
bahkan, lebih kedalam, Persia. Eksodus ilmuwan ini membawa mereka lebih dekat ke
Semenanjung Arabia tempat Islam akan lahir dan berkembang.

2. Aleksandria

Seperti halnya Athena, Aleksandria (Al-Iskandariyah sekarang termasuk wilayah


Mesir) adalah sebuah kota kurJ dibangun sekitar abad ke 3 S.M. dan terletak di pantai Laut
Tengah. Sama halnya dengan Athena, kota ini dulunya beradj di bawah kekuasaan Romawi
sampai menjelang datangnya iJ lam. Sejak abad pertama Masehi, Aleksandria telah
menjadi pusat berkembangnya filsafat dan ilmu pengetahuan Yunan bersama-sama dengan
pengetahuan yang berasal dari Timur (India dan Cina) maupun Mesir Kuno sendiri.
Dukungan yang diberikan oleh para aisar di Konstantinopel melatar belakangi kemajuan
Aleksandria yang berlangsung sekitar lirna abad. Kejayaan ini didukung oleh ilmuwan
ilmuwan besai semacam Euclid dan Ptolemy dan sejumlah besar sarjana lair yang berasal
dari beraneka latar belakang bangsa dan agama Fanatisme agama tampaknya berperan
besar dalam prose: kemunduran kegiatan ilmiah di Aleksandria. Sejak awal aba< ke 5 M.,
kegiatan intelektual di kota ini terus mengalami ke munduran, sehingga pada saat
penaklukan Islam (pada tahun 22/643, oleh Jenderal Amrbin Al-Asy), yang tersisa dari Mu
seum Aleksandria

bagian kecil dari lembaga yan dulunya megah dilengkapi dengan ruang-ruang belajar,
perpustakaan besar, dan observatorium raksasa.Dengan mundurnya Aleksandria ditamabah
dengan apresiasi yang rendah terhadap kegiatan ilmiah, sejumlah besar ilmuwan
meninggalkan Ale* sandria dan pindah ke daerah yang berada di bawah naungar kerajaan
Sasaniyah, tempat kebebasan intelektual dijamiJ bagi seluruh ilmuwan tanpa
mempersoalkan afilasi keagam annya.

3. Edessa, Harran, dan Nisibis

Seperti disebut terdahulu, kemunduran Aleksandria mengakibatkan eksodus ilmuwan.


Di antara kota-kota yang menjadi tujuan mereka adalah Edessa dan Harran (dua kota
Mesopotamia Utara) tempat kebudayaan Syria yang paling dominan. Perbedaan mendasar
dari kedua pusat intelektual ini adalah dominasi ilmuwan Kristen Nestoris 49 atas Edessa,
sementara Harran didominasi oleh ilmuwan non Kristen, terutama pagan.Dari Edessa dan
Harran, pusat kegiatan intelektual bergeser ke kota Nisibis, masih di Mesopotamia Utara.
Akademi Edessa ditutup atas perintah Kaisar Romawi pada 489 M.Menurut Nakosteen,
pada paruh pertama abad ke 6 M. Nisibis mempunyai akademi pendidikan tinggi terbaik di
dunia. Di sinilah berlangsung proses penerjemahan besar-besaran dari bahasa Yunani dan
Sansekerta ke dalam bahasa Pahlava (Persia Lama) dan bahasa Syria. Karya-karya yang
diterjemahkan mencakup matematika, kedokteran, astronomi, dan filsafat. Proses ini
melibatkan ilmuwan-ilmuwan Syria, Yahudi dan Persia.

4. Jundi Syapur
Sejarah Jundi Syapur konon kembali ke masa pra sejarah, ketika kota ini masih bernama
Genta Sapairta (Taman nan Indah). Tetapi posisi Jundi Syapur semakin penting pada masa
kekuasaan Sasaniyah, ketika Raja Shapur II (310-379 M) memperluas kota ini dan
membangun sebuah lembaga pendidikan tinggi yang kemudian membuat Jundi Syapur
menjadi kota intelektual terpenting di seluruh daerah kekuasaan Sasaniyah, bahkan juga di
seluruh teritori Kerajaan Romawi. Kota-kota lain adalah Heart, Marw, dan Samarkand.
Perlu diungkapkan bahwa sebelum masa Sasaniyah, bangsa Persia telah berusaha'
megembangkan ilmu pengetahuan yang berasal dari Babilonia! dan India, terutama
matematika dan musik.
Akumulasi pengetahuan dari kegiatan awal ini kemudian menjadi fondasi intelektual
dari Akademi Jundi Syapur yang mencapai puncak kejayaannya pada abad ke 6 M. Sikap
memusuhi ilmu pengetahuan yang tumbuh di daerah kekuasaan Romawi dengan akibat
ditutupnya berbagai pusat kegiatan ilmiah, secara langsung menguntungkan Jundi Syapur.
Banyak ilmuwan Kristen dari Athena yang pindah ke Jundi Syapur dimana kebebasan
ilmiah dijamin, bahkan didorong oleh para raja Sasaniyah. Kondisi ini menarik ilmuwan-
ilmuwan daril berbagai daerah lain untuk datang ke kota ini Meski tak mengecualikan
disiplin-disiplin lain, ilmu kedokteran adalahl bidang yang paling terkenal. Disini, tradisi
pengobatan dari berbagai budaya Yunani, India, Babilonia, dan Persia digabung-] kan dan
dikembangkan secara ilmiah sehingga melahirkan berbagai kemajuan penting. Akademi
Jundi Syapur dilengkapi dengan sebuah rumah sakit yang para dokternya mempraktik- kan
hasil-hasil penelitian teoretis mereka. Kejayaan Jundi Syapur berlangsung untak waktu
yang relatip panjang tanpa gangguanl dan masih tetap merupkan kota ilmiah terpenting
ketika ditaklukkan oleh pasukan Islam pada tahun 15H/636M. Signifikansi kota Jundi
Syapur tetap bertahan sampai tumbuhnya Baghdad sebagai kota ilmiah baru yang lebih
besar. Khalifah-khalifah awal Dinasti Abbasiyyah memanfaatkan dokter-dokter dari Jundi
Syapur sebagai dokter istana.Dalam konteks ini, kejayaan Jundi Syapur berlanjut sampai
akhir abad ke 4/10, dan berfungsi sebagai jalur utama masuknya warisan-warisan
pengetahuan dari peradaban kuno ke dalam peradaban Islam.Di samping kegiatan-kegiatan
di bidang filsafat dan ilmu pengetahuan, Jundi Syuapur juga berperan dalam proses
penerjemahan sastra Hindu (Sansekerta) ke dalam bahasa Pahlavi. Contoh paling terkenal
dari hasil kegiatan ini adalah Kalilah wa Dimmahyang diterjemahkan oleh Ibn Al-Muqaffa’
dari edisi Pahlavinya yang semula diterjemahkan dari bahasa Sansekerta.

5. India dan Timur Jauh


Dibanding dengan pusat-pusat kegiatan ilmiah yang terdapat di daera-daerah Kerajaan
Romawi dan Sasaniyyah, India dan Timur Jauh mempunyai pengaruh yang lebih sedikit
dan tak langsung pada perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam, sebab letak
geografisnya yang relatif lebih jauh dari Arabia. Namun demikian perlu diingat bahwa
daerah ini telah membuat beberapa kemajuan ilmiah sepanjang abad ke 6 M., abad
menjelang datangnya Islam. India membuat kemajuan berharga di bidang matematika
lewat ilmuwannya yang bernama Varahamihira. Kemajuan di bidang ilmu bahasa juga
terjadi di India. Cina terkenal dengan ilmu kedokteran, astronomi, geografi, historiografi,
dan matematika. Pada abad ini, Jepang mulai mempelajari lmu-ilmu Cina melalui para
ilmuwan Korea.Seperti ditulis sebelumnya, studi Islam di dunia Islam sama dengan
menyebut studi Islam di dunia muslim. Dalam sejarah muslim dicatat sejumlah lembaga
kajian Islam (pada tingkat dasar sampai perguruan tinggi) di sejumlah kota (sekarang ada
yan; menjadi negara sendiri). Maka uraian berikut adalah sejarah perkembangan studi
Islam di dunia muslim

Akhir periode Madinah sampai dengan 4 H, fase pertama pendidikan Islam sekolah masih
di masjid-masjid dan rumah- rumah, dengan ciri hafalan, namun sudah dikenalkan logika,
matematika, ilmu alam, kedokteran, kimia, musik, sejarah dan georgafi. Selama abad ke 5
H, selama periode khalifah Abbasiyah, sekolah-sekolah didirikan di kota-kota dan mulai
menempati gedung-gedung besar, bukan lagi masjid, dan mulai bergeser dari matakuliah
yang bersifat spritual ke matakuliah yang bersifat intelektual, ilmu alam dan ilmu sosial.

Namun disebutkan, berdirinya sistem madrasah adalah di abad 5 H/akhir abad 11 M, justru
menjadi titik balik kejayaan Sebab madrasa dibiayai dan diprakarsai negara. Kemudain
madrasah menjadi alat penguasa untuk mempertahankan doktrin-doktrin terutama oleh
kerajaan Fatimah di Kairo. Sebelumnya di sekolah ini diajarkan kimia, kedokteran,filsafad
diganti hanya mempelajari tafsir, kalam, fiqh dan bahasa.Matematika hilang dari kulikulum
al-Azhar tahun 1748.24 Memang pada masa kekhalifahan Abbasiyah, al-Ma‘mun (198-
218/813-833), sebelum hancurnya aliran Mu'tazilah, ilmu-ilmu umum yang bertitik tolak
dari nalar dan kajian-kajian empiris dipelajri di madrasah

Pengaruh al-Ghazali (1085-1111 M) disebut sebagai awal terjadi pemisahan ilmu


agama dengan ilmu umum, bahkan terkesan terjadi dikotomi. Dia penyebut bahwa
menuntut ilmu agama wajib bagi setiap muslim, sementara menuntut ilmu umum adalah
wajib kifayah. Meskipun perlu dicatat bahwa hasil kejayaan muslim di bidang sains dan
teknologi bukanlah capaian kelembagaan, melainkan bersifat individu ilmuwan muslim
yang didorong semangat penyelidikan ilmiah.

Ada beberapa kota yang menjadi pusat kajian Islam di zamannya, yakni Nisyapur,
Baghdad, Kairo, Damaskus, dan Jerussalem. Di Nisyapur ditemukan Madrasah
Nizhamiyah. Di Baghdad ditemukan Madrasah Nizhamiyah, Madrasah Imam Abu
Hanifah, Madrasah a 1- M u s t a n sy i r iya h. Di Kairo ditemukan Madrasah al-
Mansyuriyah. Di Damaskus ditemukan Dar al'Qur’an al-Dilamiyah, Dar al-Qur’an al-
Syabuniyah, Dar al- Hadis al'Nuriyah. Kemudian masih di Damaskus ditemukan lembaga
sufi Ribath al-Bayan. Sedangkan di Jerussalem ditemukan sejumlah lembaga sufi; Zawiyah
al-Wafa’iyah, Zawiyah al-Naqshabandiyah, dan Khanqah al-Shalahiyah.Namun demikian,
pemikir masih berbeda pendapat kapan dan madrasah mana yang pertama berdiri. Untuk
ini dikutipkan apa yang ditulis Azyumardi Azra.
Madrasah pertama didirikan oleh Wazir Nizhamiyyah pada 1064; madrasah ini

terkenal sebagai Madarasah Nizham al-Mulk. Tetapi penelitian lebih akhir misalnya yang
dilakukan Richard Bulliet mengungkapkan eksistensi madrasah-madrasah lebih tua di
kawasan Nisyapur, Iran. Pada sekitar tahun 400 H/1009M terdapat madrasah al-
Bayhaqiyyah yang didirikan Abu Hasan ‘Ali al-Bayhaqi (w. 414/1023M). Bulliet bahkan
lebih jauh menyebut 39 madrasah di Wilayah Persia, yang berkembang dua abad sebelum
madrasah Nizhamiyyah yang tertua adalah madrasah Miyan Dahiya yang didirikan Abu
Ishaq Ibrahim Ibn Mahmud di Nisyapur. Pendapat ini didukung sejarahwan pendidikan
Islam, Naji Ma'ruf, yangmenyatakan bahwa di Khurasan telah berkembang madrasah 165
tahun sebelum kemunculan madrasah Nizhamiyyah. Selanjutnya, ‘Abd al-Al
mengemukakan, pada masa Sultan Mahmud al- Ghaznawi (berkuasa 388-421/998-1030)
juga terdapat Madrasah Sa'idiyyah.

C. Perkembangan Keilmuan Era Kontemporer

1. Hakekat Pemikiran Kontemporer


Pertama, fundamentalis yaitu model pemikiran yang sepenuhnya percayapada doktrin
Islam sebagai satu-satunya alternatif bagi kebangkitan Islam danmanusia. Mereka biasanya
dikenal sangat commited pada aspek religius budaya Islam.Bagi mereka, Islam telah
mencakup segala aspek kehidupan sehingga tidakmemerlukan segala teori dan metode dari
luar, apalagi Barat. Garapan utamanya adalah menghidupkan kembali Islam sebagai
agama, budaya sekaligus peradaban,dengan menyerukan untuk kembali pada sumber asli
(al-Qur'an dan Sunnah) dan mempraktekkan ajaran Islam sebagaimana yang dilakukan
Rasul dan Khulafa' al-Rasyidin. Tradisi dan Sunnah Rasul harus dihidupkan kembali dalam
kehidupan modern sebagai bentuk kebangkitan Islam.

Kedua, tradisionalis (salaf) yaitu model pemikiran yang berusaha berpegan pada
tradisi-tradisi yang telah mapan. Bagi mereka, segala persoalan umat telah diselesaikan
secara tuntas oleh para ulama terdahulu. Tugas kita sekarang hanyalah menyatakan
kembali atau merujukkan dengannya. Perbedaan kelompok ini dengan fundamentalis
terletak pada penerimaannya pada tradisi. Fundamentalis membatasitradisi yang diterima
hanya sampai pada khulafa' al-rasyidin , sedang tradisionali melebarkan sampai pada salaf
al-shalih , sehingga mereka bisa menerima kitab-kitab klasik sebagai bahan rujukannya.
Hasan Hanafi pernah mengkritik model pemikiran ini.Yaitu, bahwa tradisionalis akan
menggiring pada ekslusifisme, subjektivisme dan diterminisme.

Ketiga, reformis yaitu model pemikiran yang berusaha merekonstruksi ulangwarisan


budaya Islam dengan cara memberi tafsiran baru. Menurut mereka, Islamtelah mempunyai
tradisi yang bagus dan mapan. Akan tetapi, tradisi ini tidak dapat langsung diaplikasikan
melainkan harus harus dibangun kembali secara baru dengan kerangka berpikir modern dan
prasyarat rasional, sehingga bisa survive dan diterima dalam kehidupan modern. Karena
itu, mereka berbeda dengan tradisionalis yanmenjaga dan menerima tradisi seperti apa
adanya.

Keempat, postradisionalis yaitu model pemikiran yang berusahamendekonstruksi


warisa Islam berdasarkan standar modern. Model ini sesungguhnya sama dengan reformis
yang menerima tradisi dengan interpertasi baru. Perbedaannya,postadisionalis
mempersyaratkan dekonstruktif atas tradisi, bukan sekedarrekonstruktif, sehingga yang
absolut menjadi relatif dan yang ahistoris menjadi historis.

Kelima, moderinis yaitu model pemikiran yang hanya mengakui sifat rasional ilmiah
dan menolak kecenderungan mistik. Menurutnya, tradisi masa lalu sudah tidakrelevan,
sehingga harus ditinggalkan. Karakter utama gerakannya adalah keharusanberpikir kritis
dalam soal keagamaan dan kemasyarakatan. Mereka ini biasanyabanyak dipengaruhi cara
pandang marxisme. Meski demikian, mereka bukan sekuler.Sebaliknya, mereka bahkan
mengkritik sekuler selain salaf. Menurutnya, kaum sekuler telah bersalah karena berlaku
eklektif terhadap Barat, sedang kaum salaf bersalahmenempatkan tradisi klasik pada posisi
sakral dan shalih likulli zaman wa makan. Sebab, kenyataannya, tradisi sekarang berbeda
dengan masa lalu. Modernismenjadikan orang lain (Barat) sebagai model, sedang salaf
menjadikan masa lalusebagai model. Keduanya sama-sama ahistoris dan tidak kreatif,
sehingga tidak akanmampu membangun peradaban Islam ke depan.

2. Kecendrungan-kecendrungan dalam Model Pemikiran Islam Kontemporer


Kecenderungan-kecendrungan dalam model pemikiran Islam kontemporerantara
lain:
a) Fundamentalis

Sebagai ideologi gerakan Islam kontemporer, fundamentalisme mewujudkandiri


dalam beragam bentuk, dan berkaitan erat dengan orientasi ideologi lain, seperti
revivalisme, Islamisme (neo-fundamentalisme) dan radikalisme. Sekalipun padamulanya
fundamentalisme lebih menunjukkan watak keagamaan, ia kemudian lebihdipahami
sebagai bentuk ekspresi Islam yang berdimensi politik. Hal ini mudahdi pahami karena
dalam perkembangannya fundamentalisme mewujudkan diri dalam bentuk kegiatan atau
gerakan politik, yang bahkan seringkali bersifat radikal ataumilitan, melawan rejim
penguasa sekular, atau berjuang untuk membangun sistemkenegaraan yang didasarkan
pada syari‘ah (Islam).

Meskipun istilah fundamentalisme, revivalisme, Islamisme dan radikalismesering


digunakan secara bergantian untuk maksud penyederhanaan (simplifikasi),kebanyakan
sarjana mencoba melakukan identifikasi terhadap karakteristik masing- masing gerakan
atau orientasi ideologinya. Para sarjana, seperti akan disebutkan,biasanya merujuk kepada
gerakan-gerakan atau pemikir-pemikir Muslim yang memiliki kaitan dan afiliasi dengan
gerakan Islam kontemporer tertentu di dunia Islam, seperti kawasan Timur Tengah, Afrika
Utara, Indo-Pakistan dan Asia Tenggara. Mereka menemukan adanya beberapa
karakteristik umum (common characteristics) sekaligus keunikan (peculiarities) dari
pelbagai gerakan “fundamentalisme” Islam.

b) Fundamentalisme Islam

Istilah fundamentalisme muncul dari luar tradisi sejarah Islam, dan padamulanya
merupakan gerakan keagamaan yang timbul di kalangan kaum Protestan di Amerika
Serikat pada 1920-an. Menilik asal-usulnya ini, kita dapat mengatakan bahwa
fundamentalisme sesungguhnya sangat tipikal Kristen. Namun, terlepas dari latarbelakang
Protestan-nya, istilah fundamentalisme sering digunakan untuk menunjuk fenomena
keagamaan yang memiliki kemiripan dengan karakter dasar fundamentalisme Protestan.
Karena itu, kita dapat menemukan fenomenapemikiran,gerakan dan kelompok
fundamentalis di semua agama, seperti fundamentalisme Islam, Yahudi, Hindu, dan
Budhisme. Dalam hal ini, selain fundamentalisme tidak terbatas pada agama tertentu,
dalam faktanya ia juga tidak hanya muncul di kalangan kaum miskin dan tidak terdidik.
Fundamentalisme dalam bentuk apapun bisa muncul di mana saja ketika orang-orang
melihat adanya kebutuhan untuk melawan budaya sekular(godless), bahkan ketika mereka
harus menyimpang dari ortodoksi tradisi mereka untuk melakukan perlawanan itu.Salah
satu karakteristik atau ciri terpenting dari fundamentalisme Islam ialah pendekatannya
yang literal terhadap sumber Islam (al-Qur’an dan al-Sunnah).Literalisme kaum
fundamentalis tampak pada ketidaksediaan mereka untuk melakukan penafsiran rasional
dan intelektual, karena mereka -kalau-lah membuat penafsiran- sesungguhnya adalah
penafsir-penafsir yang sempit dan sangat ideologis. Literalisme ini berkoinsidensi dengan
semangat skripturalisme, meskipun Leonard Binder membuat kategori fundamentalisme
non-skriptural untuk pemikir fundamentalis seperti Sayyid Qutb.

Olivier Roy membedakan antara fundamentalisme Islam tradisional dan modern.


Fundamentalisme tradisional (‘ulama) dicirikan oleh kuatnya peran ulama atau oligarki
klerikal (clerical oligarchy) dalam membuat penafsiran terhadap Islam,terutama Syi’ah.
Islam Syî‘ah memberikan otoritas sangat besar kepada ‘ulama untuk menafsirkan doktrin
agama. Tafsir mereka pun bersifat absolut. Akibatnya, kebebasan intelektual untuk
menafsirkan teks-teks agama menjadi sangat sempit dan terbatas.Dapat dinyatakan bahwa
salah satu faktor yang mendukung berkembangnya fundamentalisme (tradisional) adalah
kuatnya otoritas ‘ulama, termasuk dalam hal-halyang berkaitan dengan kehidupan sosial
dan politik. Dalam hal ini, tampak adanyakemiripan antara fundamentalisme di satu pihak
dan tradisionalisme di pihak lain.

Sedangkan fundamentalisme modern atau neo-fundamentalisme dicirikanoleh


orientasi yang kuat kepada politik dengan menjadikan Islam sebagai ideologi.Islam tidak
dipahami sebagai agama yang memuat doktrin tentang ritual, tetap ditafsirkan sebagai
ideologi yang diperhadapkan dnegan ideologi modern seperti kapitalisme, liberalisme atau
sosialisme. Roy mengidentifikasi Islamisme sebagaibentuk lebih mutakhir dari neo-
fundamentalisme. Fundamentalisme Islam modern tidak dipimpin oleh ulama (kecuali di
Iran), tetapi oleh “intelektual sekuler” yang secara terbuka mengklaim sebagai pemikir
religius. Mereka berpendapat bahwa karena semua pengetahuan itu bersifat ilahi dan
religius; maka ahli kimia, teknik, insinyur,ekonomi, ahli hukum adalah ulama. Jadi,
terdapat semacam anti-clericalism dikalangan fundamentalisme Islam modern, meskipun
fundamentalisme dalam wajahnyayang lain juga dicirikan oleh adanya oligraki klerikal
seperti disebut terdahulu.

c) Fundamentalisme dan Revivalisme

Yang agak problematik dalam konteks ini adalah korelasi antara fundamentalisme dan
revivalisme. Penulis-penulis seperti Youssef Chouieri, R. Hrair Dekmejian dan John Obert
Voll memiliki perspektif yang beragam dalam melihat fenomena fundamentalisme dan
revivalisme. Chouieri menyatakan bahwa munculnya revivalisme Islam dilatarbelakangi
oleh kemerosotan moral, sosial dan politik umat Islam. Menurutnya, revivalisme Islam
hendak menjawab kemerosotan Islam dengan kembali kepada ajaran Islam yang murni.
Contoh dari gerakan Islam revivalis adalah Wahhabiyyah yang memperoleh inspirasi dari
Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab (1703- 1792) di Arabia, Shah Wali Allah (1703-1762) di
India, Uthman Dan Fodio (1754-1817)di Nigeria, Gerakan Padri (1803-1837) di Sumatra,
dan Sanusiyyah di Libya yang dinisbatkan kepada Muhammad ‘Ali al-Sanusi (1787-1859).
Chouieri melihat adanya kemiripan agenda yang menjadi karakteristik gerakan-gerakan
revivalis Islam tersebut,yaitu: (a) kembali kepada Islam yang asli, memurnikan Islam dari
tradisi lokal danpengaruh budaya asing; (b) mendorong penalaran bebas, ijtihad, dan
menolak taqlid;(c) perlunya hijrah dari wilayah yang didominasi oleh orang kafir (dar al-
kufr); (d)keyakinan kepada adanya pemimpin yang adil dan seorang pembaru.
d) Neo-Fundamentalisme dan Islam Politik (Political Islam)
Mengikuti penjelasan Ayubi dan Roy di atas, fundamentalisme Islam jugasering digunakan
untuk menunjuk Islam politik (political Islam). Ini tidak terlepas dari beberapa agenda
fundamentalis di bidang politik. Watak politis fundamentalisme Islam termanifestasikan
dalam simbol-simbol keagamaan yang mereka gunakan dalam konteks perjuangan politik
atau kekuasaan, misalnya negara Islam, pemerintahan Islam dan formalisasi syari’ah dalam
negara. Salah satu doktrin Islam fundamentalis dan pelbagai varian di dalamnya adalah
bahwa tidak ada pemisahan agama dari politik. Olivier Roy menyebut paham ini sebagai
Islamic political imagination (imajinasi politik Islam). Menurut Roy, fundamentalisme ini
tampak pada Ikhwân al-Muslimîn diMesir yang didirikan oleh Hasan al-Bannâ, dan
Jamâ‘at-i Islâmî di Indo-Pakistan yang didirikan oleh Abû al-A’lâ al-Mawdûdî. Keduanya
mendefinisikan Islam sebagai sistem politik (ideologi) vis-à-vis ideologi-ideologi besar
abad ke-20.

e) Tradisionalis
Ketika berbicara mengenai masyarakat Islam tradisional, yang terbayangadalah sebuah
gambaran mengenai masyarakat yang terbelakang, masyarakat Islam yang kolot,
masyarakat yang anti atau menolak perubahan (anti progresivitas),konservatif (staid
approach), dan diliputi oleh sikap taqlid. Mereka adalah kelompok yang membaca dan
belajar “kitab kuning”, termasuk karya al-Ghazali dan ulama’ fiqh klasik, dan tokoh-tokoh
sufi pada zaman pertengahan Islam.Secara etimologis, tradisional berarti kecenderungan
untuk melakukansesuatu yang telah dilakukan oleh pendahulu, dan memandang masa
lampau sebagai otoritas dari segala bentuk yang telah mapan. Menurut Achamad Jainuri,
kaum tradisionalis adalah mereka yang pada umumnya diidentikkan dengan ekspresi Islam
lokal, serta kaum elit kultur tradisional yang tidak tertarik dengan perubahan dalam
pemikiran serta praktik Islam.

Sementara itu, tradisionalisme adalah paham yang berdasar pada tradisi.Lawannya


adalah modernisme, liberalisme, radikalisme, dan fundamentalisme.Berdasarkan pada
pemahaman terhadap tradisi di atas, maka tradisionalisme adalah bentuk pemikiran atau
keyakinan yang berpegang pada ikatan masa lampau dan sudah diperaktekkan oleh
komunitas Agama. Di bidang pemikiran Islam,tradisionalisme adalah suatu ajaran yang
berpegang pada Sunnah Nabi, yang diikuti oleh para Sahabat dan secara keyakinan telah
diperaktekkan oleh komunitas Muslim.Dalam konteks sosial-budaya, unsur-unsur yang
terdapat pada Islamtradisional Indonesia meliputi adanya lembaga pesantren, peranan dan
kepribadian kyai yang sangat menentukan dan kharismatik. Basis masa kaum tradisionalis
semacam ini pada umumnya berada di pedesaan. Begitu lekatnya Islam tradisionalis
diIndonesia dengan kalangan pedesaan, sampai-sampai dikatakan bahwa Islam tradionalis
adalah Islam pedesaan.

Islam tradisional secara religi bersifat kultural, secara intelektual sederhana,secara


kultural bersifat sinkretik, dan secara politis bersifat oportunis. Meskipun untuk saat ini
banyak kaum tradisionalis yang kontroversial dengan yang konservatif, akan tetapi peran
warna konservatifme sangat kuat sekali di tingkat lokal.Kaum tradisionalis sering
digolongkan ke dalam organisasi sosial keagamaanterbesar bernama NU, sebuah organisasi
keagamaan yang didirikan pada tahun 1926 di Surabaya, oleh beberapa ulama’ pengasuh
pesantren, di antaranya K.H. Hasyim Asy'ari (Tebu Ireng) dan K. Wahab Hasbullah
(Tambak Beras).

f) Reformis
Rejuctionism mewakili sikap apriori absolut Muslim terhadap peradaban Baratdan segala
produk budayanya. Barat diasosiasikan sebagai musuh utama yang mengancam eksistensi
Islam dan umat Islam.Berikutnya respons kemalisme. Istilah ini diadaptasi dari nama
Kemal Attaturk, presiden pertama negara Turki sekuler. Attaturk dianggap tokoh politik
paling bertanggung jawab terhadap suksesnya proyek sekularisasi di dunia muslim.
Kemalisme menerima Barat apa adanya. Peradaban Barat dipandangsebagai solusi instan
sekaligus kompatibel buat memecahkan permasalahan- permasalahan dunia Muslim.Bagi
Attaturk, modernisasi dan westernisasi adalah dua istilah yang sinonim belaka. Dunia
Muslim akan maju bila mengikuti Barat. Sebab,Barat adalah manifestasi dari kemajuan itu
sendiri.Respons selanjutnya adalah respons reformisme. Respons ini mewakili keprihatinan
mendalam sekelompok intelektual Muslim terhadap kondisi keterbelakangan yang mendera
dunia Muslim pada umumnya.Corak utama dari respons reformisme ini adalah sikap
kooperatifnya terhadapproduk-produk budaya Barat. Kendati dibungkus dengan warna
Islam. Sebagian besar,untuk tidak mengatakan semua, gagasan-gagasan pembaruan yang
ditawarkan tokoh-tokoh reformis dapat ditemukan korelasinya dalam tradisi intelektual
yang berkembang di Barat.

g) Postradisionalis
Ketika wacana post tradisionalisme Islam (selanjutnya disebut postra)dimunculkan dalam
belantika pemikiran Islam di Indonesia, dapat diduga akan memunculkan berbagai
tanggapan, mulai dari yang apresiatif, biasa-biasa saja, sampaiyang sinis. Apresiatif karena
wacana itu dianggap dapat menggairahkan kembali dinamika pemikiran Islam di Indonesia
yang diakui atau tidak, seolah "berjalan di tempat", tanpa perkembangan berarti. Biasa-
biasa saja karena postra dianggap belum mapan basis epistimologisnya, bahkan tidak ada
bedanya dengan arus pemikiran yang lain; dan sinis karena wacana ini dianggap sebagai
kelatahan anak-anak muda NU untuk mempertegas identitasnya, bahkan dilihat sebagai
"primordialisme baru" yang dibungkus dengan teori-teori yang canggih. Munculnya
berbagai reaksi itu merupakan hal wajar dan tidak perlu diperdebatkan. Meski demikian-ini
yang agak memprihatinkan-bila wacana postra semata-mata dianggap untuk mempertegas
identitas kelompok, apalagi sebagai kelatahan, hal ini sebenarnya agak keterlaluan,meski
anggapan demikian juga tidak dapat dianggap salah sama sekali.

Ada beberapa alasan yang mungkin dapat dijadikan argumen untukmembenarkan hal ini.
Pertama, wacana postra lebih banyak disuarakan oleh komunitas yang sebagian besar
afiliasi kulturalnya adalah Nahdlatul Ulama (NU).lembaga swadaya masyarakat (LSM)
yang mempunyai perhatian terhadap perkembangan pemikiran dan menyuarakan tema
postra, sebagian besar juga LSM yang afiliasi kulturalnya ke NU, meski juga harus diakui,
banyak aktivis Islam liberal yang afiliasi kulturalnya juga NU.
Kedua, kata "tradisionalisme" telah menjadi cap yang menghunjam kuatsebagai identitas
"orang NU". Karena itu, ketika muncul kata "postra" maka orang akan dengan mudah
mengatakan bahwa "itu milik NU". Ketiga, munculnya wacana postra beriringan dengan
semangat "Islam liberal" yang sedang menjadi gairah intelektualisme Islam belakangan ini
dengan berbagai aktivitas pendukungnya. Dalam suasana demikian, postra mengesankan
seolah ingin membedakan dengan Islam liberal, baik pada tingkat epistemologis maupun
basis gerakannya.Meski prihatin, tetapi itulah realitas kita. Kata "tradisional-modern" dan
segala turunannya bukan saja telah menjadi kategori akademik, tetapi lebih dari itu, telah
menjadi identitas kelompok yang di dalamnya diberi muatan "ideologi" tertentu. Arus
demikian juga begitu kuat terasa ketika muncul arus neomodernisme dan Islam liberal di
satu pihak dan postra di pihak lain. Jika yang pertama dianggap sebagai milik

kalangan "modernis", yang kedua dianggap milik kalangan "tradisionalis" NU. Harus
diakui, ini sebenarnya hal yang tidak sehat dalam konteks perkembangan pemikiran,karena
pemikiran akan menjadi identitas kelompok.
Akibat dari paradigma yang demikian, maka Islam liberal menjadi kurang bisa menghargai
tradisi lokal, kepercayaan lokal, adat istiadat dan seterusnya, karena dianggap bid'ah,
inkretik, "tidak asli", kurang "Islami", bahkan penyimpangan dari Islam itu sendiri. Konsep
ini jelas sekali tergambar dalam pikiran liberalis Islam (via Kurzman) ketika menguraikan
rentetan kelahiran Islam liberal. Menurut pandangan Kurzman, sejarah panjang dalam
Islam diwarnai tiga tradisi.
Tradisi pertama disebut "Islam adat" (customary Islam) yang ditandai pencampuradukan
antara "tradisi lokal" (little tradition) dengan tradisi besar (greattradition) yang diandaikan
sebagai "Islam yang asli" dan "Islam yang murni". Islam yang sudah bercampur dengan
berbagai tradisi lokal dianggap sebagai Islam yang penuh bid'ah dan khurafat.Atas dasar itu
muncul arus tradisi kedua yang disebut "Islam revivalis" (revivalist Islam) yang bisa
mengambil bentuk pada fundamentalisme dan wahabisme. Tradisi ini berupaya melakukan
purifikasi (pemurnian) terhadap Islam yang bercampur tradisi lokal yang dianggap tidak
Islami dan sebagai penyimpangan terhadap doktrin Islam "yang murni" dengan jargon
"kembali kepada Al Quran dan hadis".

h) Modernis
Kata modern, modernisme, modernisasi, modernitas, dan beberapa istilah yang terkait
dengannya, selalu dipakai orang dalam ungkapan sehari-hari. Karena perubahan makna
yang terdapat di dalamnya, istilah-istilah ini seringkali memiliki makna yang kabur.
Modern adalah sebuah istilah korelatif, yang mencakup makna baru lawan dari kuno,
innovative sebagai lawan tradisional. Meskipun demikian, apa yang disebut modern pada
suatu waktu dan tempat, dalam kaitannya dengan budaya, tidak akan memiliki arti yang
sama baik pada masa yang akan datang atau dalam konteks yang lain.
Para peneliti agama, terutama, yang tertarik pada contoh-contoh budaya menurut sebuah
kerangka jangka panjang, tidak harus lupa meletakkan pada persepsi perubahan perspektif
dari apa yang disebut baru dan kuno. Karena penilaian tentang

apa yang disebut modern adalah persoalan perspektif dari orang yang melihat,fenomena
yang kelihatannya sama bisa jadi sangat berbeda tergantung pada konteks yang berbeda.
Oleh karena itu, contoh karya arsitektur modern pada pertengahan abad ke-20 sekarang
sudah terlihat kuno. Dalam bidang intelektual, modernisme Islam muncul karena tantangan
perkembangan yang dihadapi oleh umat. Dalam abad ke-19 dan awal abad ke-20 tantangan
politik yang dihadapi oleh umat Islam bagaimana membebaskan diri dari penjajahan Barat,
tantangan kultural adalah masuknya nilai-nilai baru akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan
modern Barat,tantangan sosial-ekonomi adalah bagaimana mengentaskan kebodohan dan
kemiskinan umat, dan tantangan keagamaan adalah bagaimana meningkatkan wawasan
pengetahuan agama serta mendorong umat untuk bisa memahami ajaran agama secara
mandiri.
Bagi muslim modernis, Islam memberikan dasar bagi semua aspekkehidupan manusia di
dunia, baik pribadi maupun masyarakat, dan yang dipandang selalu sesuai dengan
semangat perkembangan. Oleh karena itu, bagi kaum modernis tugas setiap muslim adalah
mengimplementasikan semua aspek ajaran Islam dalam kehidupan nyata. Dasar pandangan
ini dibentuk oleh satu keyakinan bahwa Islam memiliki watak ajaran yang universal.
Universalitas ajaran Islam ini dilihat dari sapek isi mencakup semua dasar norma bagi
semua aspek kehidupan, baik yang berkaitan dengan persoalan ritual maupun sosial, dari
aspek waktu, Islam berlaku sepanjang masa, dilihat dari aspek pemeluk, Islam berlaku
untuk semua umat manusia tanpa memandang batasan etnik maupun geografis.
Di antara ciri dari gerakan Islam modern adalah menghargai rasionalitas dan nilai
demokratis. Semua anggota memiliki hak yang sama dan semua tingkat kepemimpinan
dipilih tidak diangkat. Tidak ada perbedaan antara warga biasa dan ulama menyangkut hak
dan kewajiban organisasi. Gerakan ini di Indonesia memiliki pengaruh kuat di kalangan
kelas menengah kota, mulai dari pengrajin, pedagang, seniman sampai para professional.
Sebagai sebuah fenomena kota, di antara karakteristik gerakan ini adalah "melek huruf",
yang pada akhirnya ciri ini menuntut adanya pendidikan. Sehingga pendidikan merupakan
program yang paling utama

Secara umum, orientasi ideologi keagamaan modernisme Islam ditandai olehwawasan


keagamaan yang menyatakan bahwa Islam merupakan nilai ajaran yang memberikan dasar
bagi semua aspek kehidupan dan karenanya harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi mereka, pengamalan ini tidak hanya terbatas pada persoalan ritual-ubudiyah, tetapi
juga meliputi semua aspek kehidupan social kemasyarakatan. Dikotomi di atas sering kita
kelompokkan dalam dua organisasi besar yaitu Islam NU dan Islam Muhammadiyyah. NU
sering dilihat sebagai representasi kelompok tradisionalis, sementara Muhammadiyyah
sebagai representasi kelompok modernis. Namun dikotomi ini kemudian dianggap tidak
layak lagi, karena dalam perkembangan selanjutnya, NU bersifat lebih terbuka terhadap
modernitas. Bahkan dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Arbiyah Lubis,
ditemukan bahwa Muhammadiyyah termasuk dalam kelompok tradisionalis modernis.
Menurutnya, Muhammadiyyah tampil sebagai modernis hanya dalam dunia pendidikan,
dan dalam memahami teks al Qur’an dan Hadith sebagai sumber ijtihad, Muhammadiyyah
berada dalam kelompok tradisonalis.
BAB III

PENUTUP

1. KESIMPULAN

Jazirah Arab yang kini lazim disebut sebagai bagian dari wilayah Timur Tengah
(the Middle East) menjadi perhatian para pengkaji Islam. Para orientalis awal sangat
menaruh perhatian pada wilayah ini, di samping, sebagai pusat berkembangnya Islam,
juga karena banyaknya naskah klasik yang dapat dikaji sebagai sumber kajian guna
melacak otentisitas dan informasi tentang Islam.Penganut agama Islam merupakan
minoritas di wilayah Eropa. Di Eropa Timur, setelah Turki Usmani mengakhiri
kekuasaannya, sekian puluh kelompok masyarakat Muslim terabaikan oleh sejarah
dan terputus dari semilyar lebih pemeluk Islam di seluruh dunia.Pesatnya jumlah
penganut agama Islam di Negeri Paman Sam ini lebih banyak melalui penjara-
penjara. Karena di penjara ini, para juru dakwah Islam memenag disengaja untuk
dakwah. Program ini diadakan oleh pengelola penjara dengan merekrut para da’i dan
pendeta untuk menyebarkan ajaran agamanya masing-masing dengan harapan dapat
menginsyafkan para napi.Penetrasi Islam di Asia Tenggara secara umum dapat dibagi
ke dalam tiga tahap: pertama, penetrasi dimulai dengan kedatangan Islam dan ditandai
pula dengan kemerosotan dan kehancuran Kerajaan Majapahit pada abad ke-14 dan
ke-15. Penetrasi Islam kedua dimulai sejak datang dan mapannya kekuasaan
kolonialis di Asia Tenggara. Belanda berkuasa di Indonesia, Inggris di Semenanjung
Malaya, dan Spanyol di Filipina sampai abad ke-19. Penetrasi Islam ketiga bermula
pada awal abad ke-20, ditandai dengan "liberalisasi" kebijakan pemerintah kolonial,
terutama Belanda di Indonesia.

2. Saran

Semoga makalah yang ditulis penulis dapat bermanfaat bagi pembaca dan
menambah pengetahuan sipembaca. Apabila pembaca ingin ingin menulis
mengenai Persamaan Akuntansi dapat menambah sumber tulisan dari karya
ilmiah lainnya.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahib, Pergulatan Pendidikan Agama Islam di Kawasan

Minoritas Muslim Walisongo, Vol. 19, No. 2, (Nov 2011), hlm. 473.

Mokh. Fatkhur Rokhzi, Pendekatan Sejarah dalam Studi Islam,

Vol. 3, No. 1, (Mar 2015), hlm. 86.Mukarom, Pendidikan Islam pada Masa Kerajaan Turki
Usmani 1300-1922 M, Jurnal Tarbiya Vol. 1, No. 1, 2015 hlm. 110

Dr. Khoiruddin Nasution, MA, Pengantar Studi Islam

Anda mungkin juga menyukai