Disusun Oleh:
2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadis merupakan sumber hukum, ajaran dan pemikiran Islam sejak dari masa awal
Islam. Namun, pada abad ke-19 diskusi tentang hadits mulai berkembang dikalangan
sarjana baik muslim ataupun non muslim (barat). Diantaranya ada pemikiran Ignaz
Goldziher (1850-1921) yang mengkritik hadis dengan kritik historis-sistematis dan
menganggap hadis sebagai hasil pergumulan dari konflik sosial politik oleh generasi
setelahnya.Studi hadis dalam perspektif Barat skeptis semakin berkembang setelah Joseph
Schacht menulis buku The Origins of Muhammadan Jurisprudence yang melahirkan teori
projecting back dan common link. Seperti halnya Goldziher dia berpendapat bahwa hanya
beberapa hadis saja yang bisa dibuktikan berasal dari nabi, bahkan sudah dipalsukan oleh
para ahli fikih pada era tabi’in.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian orientalis
“Orientalisme” berasal dari kata-kata Perancis “Orient” yang berarti “timur”. Kata
“orientalisme” berarti ilmu-ilmu yang berhubungan dengan dunia timur. Orang-orang
yang mempelajari atau mendalami ilmu-ilmu tersebut disebut “orientalis” atau ahli
ketimuran.1 Orientalis ialah segolongan sarjana-sarjana Barat yang mendalami bahasa-
bahasa dunia timur dan kesusasteraannya, dan mereka juga menaruh perhatian besar
terhadap agama-agama dunia timur, sejarahnya, adat istiadatnya dan ilmu-ilmunya.2
Dalam melakukan kajian terhadap dunia timur, kajian para orientalis cenderung
dihinggapi subyektivitas, yaitu tidak terlepas dari fanatik agama atau fanatik rasial.
Sehingga emosional dan latar belakang sangat menntukan kajian yang telah dilakukan.
Baik itu dalam bentuk penelitian, sastra ataupun sejarah. Oleh karena itu pembahasan –
pembahasan mereka penuh kekeliruan dan bahkan kebohongan – kebohongan yang
disengaja, dimana para pembacanya harus berhati – hati. Bahkan banyak persoalan –
persoalan bahasa dan kesusastraan serta sejarah yang disalahgunakan dari kebenaran.
Dalam pembahasan – pembahasan di Encyclopedia of islam kesalahan – kesalahan
mereka lebih menonjol lagi, terutama dalam hal – hal yang berhubungan dengan soal –
soal keagamaan murni.3
Edward Said sendiri menyatakan bahwa orientalisme sebagai bentuk penggambaran
tentang tradisi timur, baik dilakukan oleh para akademisi maupun oleh para seniman.
Dalam hal ini, Said menyatakan “Anyone who teaches, writes about, or researches the
Orient – and this applies wheter the person is an anthropologist, sociologist, historian, or
philologist—eithe in its specisfic or its general aspects, is an Orientalist, and what he or
she says does is Orientalism” (setiap orang yang mengajar, menulis atau sebagai peneliti
tentang ketimuran, hal ini berlaku pada setiap orang baik sebagai seorang antropolog,
sosiolog, sejarawan atau pengkaji masalah filologi –dari aspek umum atau sepesifik
1
A. Hanafi, Orientalisme Ditinjau Menurut Kacamata Agama ( Quran dan Hadits ), (Jakarta: Pustaka al
Husna, 1981), hlm.9
2
A. Hanafi, Orientalisme Ditinjau Menurut Kacamata Agama ( Quran dan Hadits ), (Jakarta: Pustaka al
Husna, 1981), hlm.9
3
A. Hanafi, Orientalisme Ditinjau Menurut Kacamata Agama ( Quran dan Hadits ), (Jakarta: Pustaka al
Husna, 1981)
merupakan seorang orientalis, dan siapapun orangnya, apa yang dilakukan oleh pria
maupun wanita tersebut dinamakan sebagai orientalis). Sehingga cakupan orientalisme
sangat luas.4
4
http://eprints.ums.ac.id/13437/2/BAB_I_PENDAHULUAN
5
http://prasetyo-teguh.blogspot.com/2011/11/orientalisme-dan-motivasinya.html?m=1
Faktor utama yang mendorong orang-orang Barat mempelajari dunia Timur adalah
faktor agama terlebih dahulu. Usaha-usaha selanjutnya yang dilakukan oleh kaum
orientalis setelah mempelajari Islam:
a. Berusaha mencemarkan dan mengaburkan nilai-nilai kebenaran Islam, agar umat
Islam mengalami kebimbangan dalam beragama.
b. Melindungi kaum Nasrani dari bahaya Islam.
c. Berusaha mengkristenkan orang-orang Islam.
d. Menumbuhkan keragu-raguan atas kerasulan Muhammad SAW dan menganggap
hadits Nabi sebagai perbuatan ummat Islam selama tiga abad pertama.
2. Joseph Schacht
Joseph schacht bersama Ignaz Goldzhier barangkali dianggap dua diantara
sekian banya orientalis yang sering diungkap dalam perdebatan hadits dan sunnah.
Riset Schacht terhadap hadits agak berbeda dengan para pengkaji hadits pada
umumnya. Lazimnya riset hadits menyoal dua aspek utama yang menyusun
hadits, yakni Matan dan Sanad. Dalam prakteknya, Schacht justru lebih banyak
menyoroti aspek sanad daripada matan (redaksi) hadits. Dalam risetnya Schacht
menggunakan literatur ajaran Islam, diantaranya kitab Al-Muwatta karya Imam
Malik, kitab al-Muwatta ditulisannya Imam Muhammad al-Syaibani, serta dua
magnum opusnya Imam Syafii: al-Umm dan al Risalah. Dari ziarahnya terhadap
kitab-kitab populer di atas, Schacht kemudian mengemukakan sebuah konklusi
perihal hukum Islam "Hukum Islam baru hadir setelah masa al-Sya'bi (110 H).
Dengan demikian jika didapati hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum Islam,
dapat dipastikan bahwa hadits tersebut adalah karya-karya orang orang sesudah al-
Sya'bi, tegas Schacht. Argumentasi tersebut berdasarkan pada fakta, bahwa
hukum Islam secara kronologis historis baru dikenal setelah penetapan para Qadhi
(hakim Islam). Sementara dalam sejarah awal Islam yakni masa para Khalifah,
tidak dijumpai praktek serta peristiwa pengangkatan Qadhi.11
Di Indonesia para pengkaji dan peneliti studi hadis juga melakukan kajian terhadap
pemikiran hadis Goldziher sebagai respon terhadap perdebatan akademik dalam dinamika
studi hadis kontemporer.Menurut Azami, para orientalis yang meragukan adanya sis-tem
isnad, disebabkan karena terjadi kesalahan metodologi dalam meneliti materi studi sanad
itu sendiri. Mereka umumnya meneliti sanad bukan dari kitab hadis asli, melainkan dari
kitab sirah atau kitab fiqih, yang cara penyusunanya berbeda sekali dengan penyusu-nan
kitab hadis. Lebih parah lagi, kesimpulan dari hasil kajian terse-but lalu digeneralisir,
sehingga mereka berkesimpulan bahwa teori sisitem isnad adalah ahistoris.
BAB III
12
https://jurnal.iainponorogo.ac.id/index.php/tahrir/article/download/33/35
PENUTUP
A.KESIMPULAN
Dikarenakan perkembangannya yang pesat, maka studi tentang hadits tak hanya dikaji
oleh orang muslim saja, bahkan yang non muslim pun ikut mengkajinya, dan orang orang ini
disebut orientalis. Ada 2 tokoh yang terkenal akan gagasan atau konsep pemikirannya tentang
hadits yaitu Ignaz Goldzhier dan Joseph Schacht. Inti pemikiran Goldzhier adalah meragukan
kebenaran hadis, sebab asal muasal hadis bukan benar - benar berasal dari Nabi Muhammad
SAW. Melainkan dari kebiasaan dan tradisi masyarakat Islam pada masa awal. Sedangkan
Joseph Schacht menegaskan bahwa Hukum Islam belum eksis pada masa al-Sya'bi (w. 110
H). penegasan ini memberikan pengertian bahwa apabila ditemukan Hadits -Hadits yang
berkaitan dengan hukum Islam, maka hadits -hadits itu adalah buatan orang-orang yang hidup
sesudah al-Sya'bi.
Sebagai respon, Azami mengatakan bahwa para orientalis yang meragukan adanya sistem
isnad, disebabkan karena terjadi kesalahan metodologi dalam meneliti materi studi sanad itu
sendiri. Mereka umumnya meneliti sanad bukan dari kitab hadis asli, melainkan dari kitab
sirah atau kitab fiqih, yang cara penyusunanya berbeda sekali dengan penyusunan kitab hadis.
DAFTAR PUSTAKA
A. Hanafi, Orientalisme Ditinjau Menurut Kacamata Agama ( Quran dan Hadits ), (Jakarta: Pustaka al
Husna, 1981), hlm.9
A. Hanafi, Orientalisme Ditinjau Menurut Kacamata Agama ( Quran dan Hadits ), (Jakarta: Pustaka al
Husna, 1981), hlm.9
A. Hanafi, Orientalisme Ditinjau Menurut Kacamata Agama ( Quran dan Hadits ), (Jakarta: Pustaka al Husna,
1981)
http://eprints.ums.ac.id/13437/2/BAB_I_PENDAHULUAN
http://prasetyo-teguh.blogspot.com/2011/11/orientalisme-dan-motivasinya.html?m=1
Ignaz Goldziher, Muslim Studies, trj. S.M, Stern & C.R. Barber, (London: George Allen & Unwin, 1971), h. 17-26
H.A.R Gibb & J.H. Kramers, Shorter Encyclopedia. H. 116
Joseph Schacht, Pengantar Hukum Islam, (Jogjakarta, Islamika, 2003, hlm 47) (pnterj. Joko Supomo)
Joseph Schacht, Pengantar Hukum Islam, (Jogjakarta, Islamika, 2003, hlm 47) (pnterj. Joko Supomo)