Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

STUDI HADIST DIKALANGAN ORIENTALIS

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ulumul Hadits

Dosen Pengampu : A.M. Ismatullah S. TH.I., M.S.I

Disusun Oleh:

1. Fina Zakiah 214110201095


2. Ana Aminatuz Zahroh 214110201098
3. Desti Fitriyanti 214110201268
4. Mayfi Eka Putri 214110201271

KELAS 1 EKONOMI SYARIAH D

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UIN PROF. K.H. SAIFUDDIN ZUHRI PURWOKERTO

2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hadis merupakan sumber hukum, ajaran dan pemikiran Islam sejak dari masa awal
Islam. Namun, pada abad ke-19 diskusi tentang hadits mulai berkembang dikalangan
sarjana baik muslim ataupun non muslim (barat). Diantaranya ada pemikiran Ignaz
Goldziher (1850-1921) yang mengkritik hadis dengan kritik historis-sistematis dan
menganggap hadis sebagai hasil pergumulan dari konflik sosial politik oleh generasi
setelahnya.Studi hadis dalam perspektif Barat skeptis semakin berkembang setelah Joseph
Schacht menulis buku The Origins of Muhammadan Jurisprudence yang melahirkan teori
projecting back dan common link. Seperti halnya Goldziher dia berpendapat bahwa hanya
beberapa hadis saja yang bisa dibuktikan berasal dari nabi, bahkan sudah dipalsukan oleh
para ahli fikih pada era tabi’in.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian orientalis
“Orientalisme” berasal dari kata-kata Perancis “Orient” yang berarti “timur”. Kata
“orientalisme” berarti ilmu-ilmu yang berhubungan dengan dunia timur. Orang-orang
yang mempelajari atau mendalami ilmu-ilmu tersebut disebut “orientalis” atau ahli
ketimuran.1 Orientalis ialah segolongan sarjana-sarjana Barat yang mendalami bahasa-
bahasa dunia timur dan kesusasteraannya, dan mereka juga menaruh perhatian besar
terhadap agama-agama dunia timur, sejarahnya, adat istiadatnya dan ilmu-ilmunya.2
Dalam melakukan kajian terhadap dunia timur, kajian para orientalis cenderung
dihinggapi subyektivitas, yaitu tidak terlepas dari fanatik agama atau fanatik rasial.
Sehingga emosional dan latar belakang sangat menntukan kajian yang telah dilakukan.
Baik itu dalam bentuk penelitian, sastra ataupun sejarah. Oleh karena itu pembahasan –
pembahasan mereka penuh kekeliruan dan bahkan kebohongan – kebohongan yang
disengaja, dimana para pembacanya harus berhati – hati. Bahkan banyak persoalan –
persoalan bahasa dan kesusastraan serta sejarah yang disalahgunakan dari kebenaran.
Dalam pembahasan – pembahasan di Encyclopedia of islam kesalahan – kesalahan
mereka lebih menonjol lagi, terutama dalam hal – hal yang berhubungan dengan soal –
soal keagamaan murni.3
Edward Said sendiri menyatakan bahwa orientalisme sebagai bentuk penggambaran
tentang tradisi timur, baik dilakukan oleh para akademisi maupun oleh para seniman.
Dalam hal ini, Said menyatakan “Anyone who teaches, writes about, or researches the
Orient – and this applies wheter the person is an anthropologist, sociologist, historian, or
philologist—eithe in its specisfic or its general aspects, is an Orientalist, and what he or
she says does is Orientalism” (setiap orang yang mengajar, menulis atau sebagai peneliti
tentang ketimuran, hal ini berlaku pada setiap orang baik sebagai seorang antropolog,
sosiolog, sejarawan atau pengkaji masalah filologi –dari aspek umum atau sepesifik
1
A. Hanafi, Orientalisme Ditinjau Menurut Kacamata Agama ( Quran dan Hadits ), (Jakarta: Pustaka al
Husna, 1981), hlm.9
2
A. Hanafi, Orientalisme Ditinjau Menurut Kacamata Agama ( Quran dan Hadits ), (Jakarta: Pustaka al
Husna, 1981), hlm.9
3
A. Hanafi, Orientalisme Ditinjau Menurut Kacamata Agama ( Quran dan Hadits ), (Jakarta: Pustaka al
Husna, 1981)
merupakan seorang orientalis, dan siapapun orangnya, apa yang dilakukan oleh pria
maupun wanita tersebut dinamakan sebagai orientalis). Sehingga cakupan orientalisme
sangat luas.4

B. Latar Belakang, awal kemunculan, dan motivasi kaum Orientalis


Sejarah orientalisme pada masa-masa pertama adalah pertarungan antara dunia barat
Nasrani abad pertengahan dengan dunia timur Islam, baik dalam keagamaan maupun
ideologi. Bagi dunia barat Nasrani, Islam merupakan problema masa depan secara
keseluruhan di Eropa. Dalam perkembangannya, orientalisme menjadi cabang ilmu
pengetahuan yang subyektif, karena intervensi kolonial serta kecenderungan-
kecenderungan emosional. Akibatnya, orientalisme tidak lebih dari alat kekuasaan
kolonial atau ekspressi emosional belaka. Para orientalis dengan dukungan penjajah
telah berhasil memalsukan dan memutarbalikkan ajaran-ajaran Islam. Dengan kata lain
orientalisme merupakan sebuah bentuk eksplorasi dunia timur yang dilakukan oleh
Barat. Tidak hanya pada karya ilmiah, melainkan kepada beragam corak seni, sastra,
maupun hasil tulisan –tulisan penelitian yang dilakukan oleh orang barat. Sedangkan
orientalis merujuk pada subyek orang Barat peneliti.
Ada beberapa hal yang melatarbelakangi orientalisme. Pertama perang salib, hal ini
mengakibatkan bangsa barat menaruh dendam terhadap dunia Islam. Kedua,
persentuhan barat dengan perguruan tinggi Islam. Seperti perguruan tinggi kairawan
pada masa keemasannya antara abad ke-12 sampai ke-15 Masehi yang menarik minat
mahasiswa Eropa. Ketiga, adanya kepentingan penjajahan dan misionarisme seperti
orientalis yang memecah perjuangan rakyat Aceh, Snouck Hurgronje dari belanda
dengan bukunya Revre Coloniale Internationale tahun 1886M. Al-Al-Sibā‘ī menyebut
dua faktor utama, faktor religius yang merupakan motif utama dan faktor politis-
kolonialis. Imperialis Akkase Teng menambahkan adanya motif ekonomi. Namun dalam
perkembangan belakangan, kajian terhadap Islam tidak semata-mata diwarnai dengan
kebencian, tapi sudah lebih netral dan objektif.5

Motivasi - motivasi orientalis :

1. Motivasi Aqidah dan Keagamaan.

4
http://eprints.ums.ac.id/13437/2/BAB_I_PENDAHULUAN
5
http://prasetyo-teguh.blogspot.com/2011/11/orientalisme-dan-motivasinya.html?m=1
Faktor utama yang mendorong orang-orang Barat mempelajari dunia Timur adalah
faktor agama terlebih dahulu. Usaha-usaha selanjutnya yang dilakukan oleh kaum
orientalis setelah mempelajari Islam:
a. Berusaha mencemarkan dan mengaburkan nilai-nilai kebenaran Islam, agar umat
Islam mengalami kebimbangan dalam beragama.
b. Melindungi kaum Nasrani dari bahaya Islam.
c. Berusaha mengkristenkan orang-orang Islam.
d. Menumbuhkan keragu-raguan atas kerasulan Muhammad SAW dan menganggap
hadits Nabi sebagai perbuatan ummat Islam selama tiga abad pertama.

2. Motivasi Ekonomi dan Perdagangan.


Motivasi Orientalis adalah dalam kerangka menerobos pasar perdagangan di dunia
Timur. Mereka bekerja - sama dengan dunia Timur untuk membuka pasar - pasar,
menggali sumber-sumber alam, pertambangan, dan lain-lain. Mereka kemudian
mendirikan pabrik-pabrik di wilayah Timur, tetapi belakangan mereka berusaha
membunuh atau mematikan kegiatan produksi dan lalulintas perdagangan yang dikuasai
oleh orang-orang Timur (Islam), sehingga lambat laun usaha-usaha yang dimiliki oleh
orang-orang itmur mengalami kemunduran, dan sebaliknya milik orang - orang Barat
yang mengalami kemajuan pesat.

3. Motivasi Ilmiah dan Kebudayaan.


Peradaban Islam pernah mencapai puncak kemajuan di dua kota besar Islam, yaitu
Bagdad dan Andalusia. Dari kedua kota besar inilah kemudian berpengaruh pada kota-
kota disekitarnya. Pada masa - masa jayanya tersebut, banyak bangsa Eropa berduyun-
duyun menuntut ilmu di sekolah - sekolah islam. Mereka melihat kemajuan dan
perkembangan peradaban dunia Islam; mereka pun kemudian menyaksikan betapa tinggi
perkembangan ilmu dan filsafat sehingga banyak digandrungi oleh para cendikiawan.

4. Motivasi Politik dan Penjajahan.


Perang Salib merupakan peperangan yang pada dasarnya memperebutkan kekuasaan
daerah yang semula dikuasai oleh kaum Kristen yang selanjutnya direbut oleh orang
Islam. Karena merasa daerah kekuasaannya direbut oleh orang Islam, maka timbullah
keinginan orang Kristen (Barat) untuk meraihnya kembali sebagai daerah yang semula
menjadi miliknya.6

C. Hadis Dalam Pandangan Orientalis: Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht


1. Ignaz Goldziher
Ignaz Goldziher, bukanlah orang yang pertama kali memberi kritik terhadap
hadis, namun demikian dirinya dianggap sebagai orang yang paling berpengaruh
dalam mengembangkan kajian hadis di Barat. Secara umum pemikiran Goldziher
tentang sunnah dan hadis tersimpul kepada tiga topik yakni; asal-usul hadis,
perkembangan dan pemalsuan hadis, dan keberadaan literatur hadis. Ketiga topik
tersebut mengarah kepada meragukan keotentikan hadis dan menolak bahwa hadis
layak dijadikan sumber pengetahuan dan hukum. Keraguan Goldziher akan hadis
bermula dari penolakannya bahwa hadis bukanlah sebagai dokumen sejarah awal
Islam, melainkan sebagai peninggalan dari berbagai refleksi tendensius umat
Islam yang hidup belakang setelah kehidupan Nabi.
Goldziher mengartikan hadis secara bahasa sebagai berita yang berlaku di
kalangan kelompok penganut kerohanian, catatan sejarah baik sekuler maupun
keagamaan dari masa ke masa. Sementara sunnah dipahami sebagai tradisi dan
kebiasaan yang ada di masyarakat baik setelah Islam datang ataupun sebelumnya,
diikuti secara terus menerus dan dianggap sebagai peninggalan berharga yang
mesti diikuti.7
Goldziher menilai bahwa kemunculan hadis berangkat dari keseriusan umat
Islam awal yang memberitakan hal ihwal dari sang Nabi atas segala apa yang
dihadapi dalam kehidupan. Menurut Goldziher, Islam seperti halnya agama
Yahudi, hukum agama dapat lahir di luar kitab suci yakni berdasarkan sunnah
Nabi.8
Goldziher tampak sepakat dengan pandangan sementara pemikir muslim yang
menyatakan bahwa penulisan hadis telah dilakukan sejak generasi pertama Islam.
Bentuk dari hasil penulisan tersebut adanya naskah-naskah yang dinisbahkan
kepada beberapa sahabat yang disebut sahifah. Kesepakatan Goldziher terletak
pada pengakuan adanya naskah-naskah tersebut yang memuat hadis-hadis yang
6
http://prasetyo-teguh.blogspot.com/2011/11/orientalisme-dan-motivasinya.html?m=1
7
Ignaz Goldziher, Muslim Studies, trj. S.M, Stern & C.R. Barber, (London: George Allen & Unwin, 1971), h. 17-
26
8
H.A.R Gibb & J.H. Kramers, Shorter Encyclopedia. H. 116
disandarkan kepada Nabi. Akan tetapi penulis awal dari naskah tersebut menjadi
sesuatu yang perlu diragukan, apakah memang para sahabat itu yang melakukan
penulisan ataukah orang-orang yang datang sesudahnya lalu untuk mendapatkan
legitimasi naskah itu dinisbatkan kepada diri sahabat.9
Bagaimanapun, Goldziher mengakui keberhasilan umat Islam dalam menyusun
kitab-kitab hadis yang merupakan hasil upaya kritik hadis yang dilakukan para
ulama terwujud dalam kutub as-Sittah. Termasuk Malik bin Anas dengan kitab
muwata’nya yang memuat hadis-hadis fikih secara sistematis. Meskipun menurut
Goldziher kandungan di dalam kitab Malik bin Anas tersebut tidak lain memuat
tradisi kebiasaan masyarakat Madinah, sebagai tempat munculnya sunnah.10

2. Joseph Schacht
Joseph schacht bersama Ignaz Goldzhier barangkali dianggap dua diantara
sekian banya orientalis yang sering diungkap dalam perdebatan hadits dan sunnah.
Riset Schacht terhadap hadits agak berbeda dengan para pengkaji hadits pada
umumnya. Lazimnya riset hadits menyoal dua aspek utama yang menyusun
hadits, yakni Matan dan Sanad. Dalam prakteknya, Schacht justru lebih banyak
menyoroti aspek sanad daripada matan (redaksi) hadits. Dalam risetnya Schacht
menggunakan literatur ajaran Islam, diantaranya kitab Al-Muwatta karya Imam
Malik, kitab al-Muwatta ditulisannya Imam Muhammad al-Syaibani, serta dua
magnum opusnya Imam Syafii: al-Umm dan al Risalah. Dari ziarahnya terhadap
kitab-kitab populer di atas, Schacht kemudian mengemukakan sebuah konklusi
perihal hukum Islam "Hukum Islam baru hadir setelah masa al-Sya'bi (110 H).
Dengan demikian jika didapati hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum Islam,
dapat dipastikan bahwa hadits tersebut adalah karya-karya orang orang sesudah al-
Sya'bi, tegas Schacht. Argumentasi tersebut berdasarkan pada fakta, bahwa
hukum Islam secara kronologis historis baru dikenal setelah penetapan para Qadhi
(hakim Islam). Sementara dalam sejarah awal Islam yakni masa para Khalifah,
tidak dijumpai praktek serta peristiwa pengangkatan Qadhi.11

D.Respon Terhadap Pandangan Ignaz Goldzhier dan Joseph Schacht


9
Ignaz Goldziher, Muslim Studies..., h. 82.
10
Ignaz Goldziher, Introduction..., h. 39
11
Joseph Schacht, Pengantar Hukum Islam, (Jogjakarta, Islamika, 2003, hlm 47) (pnterj. Joko Supomo)
Di samping banyak diikuti, tesis Goldzhier dan Joseph mendapat sanggahan dan
bantahan dari para sarjana barat sendiri maupun sarjana muslim kontemporer, seperti Fuat
Sezgin, Nabia Abbot, Gregor Schoeler, Azami dan Sibā’ī. Dalam dinamika keilmuan,
sanggaha- sanggahan ini sebagai anti-tesis dari tesis yang disimpulkan oleh Goldziher.

Di Indonesia para pengkaji dan peneliti studi hadis juga melakukan kajian terhadap
pemikiran hadis Goldziher sebagai respon terhadap perdebatan akademik dalam dinamika
studi hadis kontemporer.Menurut Azami, para orientalis yang meragukan adanya sis-tem
isnad, disebabkan karena terjadi kesalahan metodologi dalam meneliti materi studi sanad
itu sendiri. Mereka umumnya meneliti sanad bukan dari kitab hadis asli, melainkan dari
kitab sirah atau kitab fiqih, yang cara penyusunanya berbeda sekali dengan penyusu-nan
kitab hadis. Lebih parah lagi, kesimpulan dari hasil kajian terse-but lalu digeneralisir,
sehingga mereka berkesimpulan bahwa teori sisitem isnad adalah ahistoris.

Otentisitas hadis sesungguhnya dapat dibuktikan secara ilmiah melalui metodologi


kritik hadis, antara lain dengan : (1) memban-dingkan hadis-hadis dari berbagai murid
seorang syeikh (guru). (2) memperbandingkan pernyataan-pernyataan dari seorang
ulama’yang dikeluarkan pada waktu yang berlaian. (3) memperbandingkan pembacaan
lisan dengan dokumen tertulis. (4) memperbandingkan hadis-hadis dengan ayat al-Qur’an
yang berkaitan dengannya.12

BAB III

12
https://jurnal.iainponorogo.ac.id/index.php/tahrir/article/download/33/35
PENUTUP

A.KESIMPULAN

Dikarenakan perkembangannya yang pesat, maka studi tentang hadits tak hanya dikaji
oleh orang muslim saja, bahkan yang non muslim pun ikut mengkajinya, dan orang orang ini
disebut orientalis. Ada 2 tokoh yang terkenal akan gagasan atau konsep pemikirannya tentang
hadits yaitu Ignaz Goldzhier dan Joseph Schacht. Inti pemikiran Goldzhier adalah meragukan
kebenaran hadis, sebab asal muasal hadis bukan benar - benar berasal dari Nabi Muhammad
SAW. Melainkan dari kebiasaan dan tradisi masyarakat Islam pada masa awal. Sedangkan
Joseph Schacht menegaskan bahwa Hukum Islam belum eksis pada masa al-Sya'bi (w. 110
H). penegasan ini memberikan pengertian bahwa apabila ditemukan Hadits -Hadits yang
berkaitan dengan hukum Islam, maka hadits -hadits itu adalah buatan orang-orang yang hidup
sesudah al-Sya'bi.

Sebagai respon, Azami mengatakan bahwa para orientalis yang meragukan adanya sistem
isnad, disebabkan karena terjadi kesalahan metodologi dalam meneliti materi studi sanad itu
sendiri. Mereka umumnya meneliti sanad bukan dari kitab hadis asli, melainkan dari kitab
sirah atau kitab fiqih, yang cara penyusunanya berbeda sekali dengan penyusunan kitab hadis.
DAFTAR PUSTAKA

A. Hanafi, Orientalisme Ditinjau Menurut Kacamata Agama ( Quran dan Hadits ), (Jakarta: Pustaka al
Husna, 1981), hlm.9

A. Hanafi, Orientalisme Ditinjau Menurut Kacamata Agama ( Quran dan Hadits ), (Jakarta: Pustaka al
Husna, 1981), hlm.9

A. Hanafi, Orientalisme Ditinjau Menurut Kacamata Agama ( Quran dan Hadits ), (Jakarta: Pustaka al Husna,
1981)
http://eprints.ums.ac.id/13437/2/BAB_I_PENDAHULUAN

http://prasetyo-teguh.blogspot.com/2011/11/orientalisme-dan-motivasinya.html?m=1

Ignaz Goldziher, Muslim Studies, trj. S.M, Stern & C.R. Barber, (London: George Allen & Unwin, 1971), h. 17-26
H.A.R Gibb & J.H. Kramers, Shorter Encyclopedia. H. 116

Ignaz Goldziher, Muslim Studies..., h. 82.

Ignaz Goldziher, Introduction..., h. 39

Joseph Schacht, Pengantar Hukum Islam, (Jogjakarta, Islamika, 2003, hlm 47) (pnterj. Joko Supomo)

Joseph Schacht, Pengantar Hukum Islam, (Jogjakarta, Islamika, 2003, hlm 47) (pnterj. Joko Supomo)

Anda mungkin juga menyukai