Anda di halaman 1dari 14

Pergeseran Kajian Orientaslisme ke Antropologi

Yuliana (21200012094)
Artikel-Uas
Mahasiswa Kosentrasi Kajian Timur Tengah

Abstrak: orientalisme dari masa ke masa telah mengalami perkembangan dalam kajiannya,
Dimulai dari upaya untuk menguasai islam dan ujaran kebencian terhadap islam, namun pada
pada akhir abad ke19 M dan seperempat awal abad 20 M mulai mengalami perubahan dalam
kajiannya, menuju pada kajian tentang ilmu-ilmu sosial terutama antropologi peradaban dan
sosiologi kebudayaan, dan mecoba pada hasil kajian yang lebih obyektif dan netral. Penelitian ini
menggunakan metode kualitatif-deskriptif. Dewasa ini, kajian orientalisme lebih pada kajian-
kajian antropologi dan sosiologi budaya. Melihat kajian-kajian orientalisme saat ini yang
membahas peradaban manusia, sejarah, dan lainnya

Kata Kunci: orientalisme, antropologi, transformasi, Islam

Pendahuluan
Hubungan antara Timur dan Barat pada umumnya tidak lepas dari kajian orientalisme
dan pada dasarnya bahwa orientalis memahami Timur sebagai suatu pemahaman yang tidak
berimbang dan tidak netral, serta cendrung menyudutkan bangsa Timur. Politik penjajahan yang
dilakukan Barat sangat berpengaruh kuat dalam membentuk citra Barat tentang dunia Timur,
khususnya Islam, dan analitis mereka tentang masyarakat Timur. Dapat dikatakan, bahwa
orientalisme mengungkapkan ciri-ciri progresif Barat dan menujukkan kemandekan sosial
masyarakat Timur khusunya Arab.1 Orientalisme merupakan studi yang mempelajari tentang
dunia Ketimuran baik dari sejarah, agama, budaya, ataupun masyarakatnya. Sarjana orientalis
berasal dari kalangan sosiologi, filologi, antropologi, dan lainnya. Seperti halnya orientalisme,
antropologi tumbuh dari dorongan keingintahuan Barat tentang pola budaya bangsa Timur.

Orientalis berasal dari bahasa Romawi, orient secara bahasa berarti “Timur”. Dalam
kajian geografis istilah orient dimaknai dengan dunia Timur.2 Istilah orient telah menyerap

1
H. Muhammad bahar Akkase Teng. Orientalis Dan Orientalisme Dalam Perspektif Sejarah. Jurnal Ilmu Budaya,
Vol.4 no. 1 Juni 2016.
2
Rahman Ambo Masse. Kajian Islam Perspektif Orientalisme. (dalam Syamsudin Arif, 2008:16)
kedalam bahasa-bahasa Eropa, termasuk bahasa Inggris, yang kemudia istilah “oriental” suatu
hal yang bersifat ketimuran.

Menurut Edward Said, orientalisme adalah suatu cara untuk memahami dunia Timur
berdasrakan pandangan Barat.3 Dalam pengertia yang lebih luas lagi, Said mengatakan bahwa
orientalisme adalah suatu gaya berpikir yang berdasar pada pembedaan ontologism dan
epistemologis yang dibuat antara Timur dab Barat. Said menyatakan para sarjana orientalis
berasal dari kalangan politikus, sosiolog, filolog, antrpologi, ekonom, dan sebagainya. Kajian
mereka berlandaskan pada teori-teori yang dibangun melalui pemahaman yang mendalam
tentang pembedaan antara Timur dan Barat.4

Orientalisme melalui perkembangan sejarahnya, secara bertahap mengalami perubahan


dalam kajiannya yaitu kajian yang lebih ilmiah dan netral terhadap Islam. Orientalisme awal
abad ke-20 hingga saat ini penelitiannya lebih beorientasi pada ilmu-ilmu sosial seperti
antropologi dan sosiologi, serta banyaknya didirikan studi keislaman di Barat. Munculnya
kesadaran dari orientalis untuk melakukan penelitian yang obyektif dan netral terhadap Islam,
meskipun kenyataannya masih ditemukan dalam beberapa penelitian orientalis yang
merendahkan Islam, skeptisisme serta subyektif. Sehingga munculnya kritik dari beberapa
sarjana Islam atau Timur, dan bahkan sarjana Barat terhadap orintalisme. Dari deskripsi diatas,
tulisan ini berusaha mendeskripsikan orientalisme dalam pandangan, kritik-kritik terhadap kajian
orientalisme, dan transformasi orientalisme menuju antropologi melalui gagasan dari Ridwan
Sayyid.

Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah penelitian kualitati-deskriptif.
Metode yang digunakan adalah studi kepustakaan. Teknik pengumpulan data dengan melakukan
penelaahan terhadap buku, literatir, catatan serta berbagai laporan yang berkaitan denga masalah
yang ingin dijelaskan.

3
Rahman Ambo Masse. Kajian Islam Perspektif Orientalisme. (dalam Edward W. Said. Orientalisme, 1996:3)
4
Rahman Ambo Masse. Kajian Islam Perspektif Orientalisme.
Hasil dan Pembahasan
Orientalisme dalam Pandangan
Mengutip joesoef Sou’yb, orientalisme dalam pengertian sempit ialah kegiatan
penyelidikan ahli Ketimuran di Barat tentang agama-agama di Timur, khususnya agama Islam.
kegiatan ini telah berlangsung lama secara sporadik, tetapi baru melihatkan intensitasnya secara
luar biasa sejak abad ke-19 M. Pandangan terhadap agama Islam ini berbeda-beda sesuai dengan
sikap mental sarjana orientalis itu sendiri.5 Dalam pandangan Muslim konservatif, orietalisme
dianggap sebagai konflik antara orang non-Muslim dengan orang Muslim yang dilakukan
melalui berbagai macam motivasi, seperti motivasi agama, politik, ekonomi, dan budaya. Pada
abad ini juga didirikan sekolah-sekolah tentang studi keislaman atau Ketimuran yang beralih
pada kajian yang lebih obyektif dan netral dalam memandang Islam.

Pandangan di atas berbeda dengan pembela tradisi Islam yang pada umumnya sadar akan
fakta, bahwa Islam muncul dalam konteks sejarah dan memandang bahwa dirinya berkaitan
dengan kepercayaan lain serta dengan peristiwa-peristiwa dunia. Dengan demikian, dalam
wacana islam atau dalam al-Quran terdapat bentuk dialog dengan sistem keagamaan lain,
termasuk juga orientalis.6 Ismail Nadjib mengatakan, sejak orang-orang Eropa pertama yaitu
terdiri dari golongan agama dan pendeta Katolik pergi belajar agama Islam dan ilmu
pengetahuan Islam di Andalusia mereka kurang tepat dikategorikan sebagai orientalis. Karena
menurut Nadjib, orientalis adalah orang yang ahli tentang masalah Ketimuran, terutama negeri
Arab dan Islam.7 Jadi, kalua ada orang Barat yang mempelajari Islam maka ia tidak dapat disebut
orientalis, karena yang dipelajari bukan masalah-masalah negerinya. Pada hakikatnya orientalis
bukanlah orang yang tepat dan patut dalam mengkaji ilmu-ilmu Islam sebagai kajian ilmiah,
karena mereka kehilangan sifat obyektifitas dalam mengkaji Islam. Melihat dari latar belakang
mereka yang bukan berasal dari Islam, akan adanya representasi Islam dalam subjektif Barat atau
orientalis.

Banyak pandangan negatif yang disematkan umat Islam terhadap orientalisme, akibat
dari motif atau tujuan mereka dalam mempelajari Islam, adanya kepentingan lain terhadap Islam.
mengutip Nurcholis Majid, ada tiga akar prasangka Barat kepada Islam yang kemudian
5
Nurcholis Majid. Islam Agama Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 2000), hlm.249.
6
Akhmad Muzakki. Dekontruksi Orientalisme (Telaah atas Pemikiran Leonard Binder). Jurnal Ulul Albab, Vol. 6
No. 1, 2005.
7
Isma’il Yakub. Orientalisme dan Orientalisten, (Surabaya: C.V. Faizan, t,t), hlm.83.
direfleksikan dalam berbagai tulisan dan ulasan sarjana orientalis terhada agama Islam dan orang
Muslim. Pertama, tingkat paham keagamaan. Meskipun agama Islam sendiri mengajarkan
sendiri tentang dirinya sebagai kelanjutan dan perkembangan agama Kristen atau Yahudi, namun
kedua agama ini tidak dapat menerimanya, dan tetap menganggap Islam sebagai agama yang
sama sekali baru dan tampil sebagai tantangan kepada Kristen. 8 Ada juga anggapan bahwa Islam,
merupakan Kristen sesat atau Yahudi sesat.

Kedua,tingkat sosial-politik. Hampir seluruh kawasan Islam Timur Tengah ini, kecuali
Jazirah Arabia dan Iran adalah bekas kawasan kolonialisme dan agama Kristen, bahkan pusat
perkembangan agama itu pada masanya yang paling menentukan. Ketiga, tingkat budaya.
Budaya Barat merupakan kelanjutan dari budaya Yunani-Romawi, meskipun orang Barat
sekarang ini beragama Kristen, namun kekristenan mereka disebut “Kristen Barat” yang
dikontraskan dengan “Kristen Timur”. Kristen Barat adalah Kristen yang telah banyak
kehilangan keaslian akar budaya Semitiknya, sebab telah di-Barat-kan. Jadi konfrontasi Islam
dengan Barat dapat ditafsirkan sebagai konfrontasi antara dua pola budaya. Sementara hubungan
Islam dengan “Kristen Timur” sepanjang sejarah berlangsung cukup lancer dan penuh toleransi
karena berasal dari budaya yanh relatif sama. Hal ini tidak seperti hubungan Islam dengan
Kristen Barat yang penuh rasa permusuhan dan kebencian.9

Sama halnya dengan pendapat Maryam Jamilah, orientalisme memang bukan kajian yang
obyketif, dan tidak memihak kepada Islam maupun kebudayaannya. Usaha yang dilakukan
nukan mendapatkan hasil kajian yang orisinal, melainkan adanya rencana lain yang terorganisir
untuk menghasut generasi muda agar mereka memberontak terhadap agamanya. Selain itu, para
orientalis mendiskreditkan semua warisan sejarah Islam dan kebudayaannya sebagai warisan
yang tak berguna. Maksudnya adalah ingin menciptakan pandangan yang keliru terhadap Islam
dengan melakukan pembiasan terhadap hasil kajian tersebut10 sehingga memunculkan kebencian
dan permusuhan dari orang non-Islam.

Orientalisme secara umum adalah sebuah disiplin ilmu yang berupaya untuk
mengartikulasikan interprestasi tentang Islam. Orientalisme berpendapat, bahwa Islam itu

8
Akhmad Muzakki. Dekontruksi Orientalisme (Telaah atas Pemikiran Leonard Binder).
9
Nurcholis Majid. Islam Agama Peradaban, hlm.250.
10
Akhmad Muzakki. Dekontruksi Orientalisme (Telaah atas Pemikiran Leonard Binder). (dalam Maryam Jamilah,
1997:173)
universal karena itu tidak bisa diberi tafsiran tunggal. 11 Sedangkan dalam istilah Hassan Hanafi,
orientalisme meihat Timur merupakan sesuatu yang lain (the other). Orientalisme klasik lahir
dan mencapai kematangannya dalam kekuatan ekspansi imperialism Eropa yang mengumpulkan
informasi sebanyak-banyaknya tentang rakyat yang dikuasai.12 Usaha orientalisme membagi
dunia Timur dan Barat merupakan usaha untuk menciptakan “geografi imajinatif” dimana
bangsa Barat senantiasa menempatkan bangsa Timur dalam sudut pandang yang bertentangan
(oposisi biner). Dimana Barat menganggap dirinya superior dan Timur sebagai inferior.

Clifford Geerzt, tidak sependapat bahwa Islam merupakan sutu yang tunggal transhistoris
yang diabadikan dalam teks al-Quran. Menurutnya, bahwa Islam memiliki bentuk dan penekanan
yang khas sesuai dengan situasi sejarahnya. Islam bukanlah fenomena yng selalu sama dalam
tiap konteks sejarah. Kondisi sejarah membimbing manusia untuk memahami Islam terhadap
dunia dengan cara yang sangat berbeda. Dalam sejarahnya, orang Muslim tidak terikat oleh apa
yng tertulis dalam teks al-Quran, namun mereka juga tidak secara bebas menafsirkan naskah itu
sendiri sesuai dengan kecendrungan perseorangan. Kendati pada kenyataannya Islam bukanlah
fenomena tuggal, sebagaimana yang diyakini oleh sarjana orientalis, bahwa agama tidak
mengalami perubahan yang berlawanan dengan wacana antropologi13 agama merupakan suatu
yang dinamis. Oleh karena itu, Edward Said, memuji Geertz atas pendapatnya tersebut.

Kritik terhadap Kajian Orientalisme

Sebagai respon dari kaian atau gerakan orientalisme, muncul beberapa ilmuwan yang
menyampaikan kritik mereka terhadap orientalisme. Beberapa diantaranya, Anwar Abdul-Malek
seorang Palestina. Dalam karyanya Orientalism in Crisis (1963), menyatakan bahwa
kemerdekaan paska Perang Dunia II menghasilkan krisis terhadap kajian orientalisme sebab
materinya sangat Eropa sentris dan perlu di revisi. Anwar juga menjelaskan bahwa masalah
orientalisme ada dua. Pertama, kritik kolonial yang menganggap orientalisme dengan metode
filologis dan historisnya sebagai warisan zaman colonial, dan kedua, berasal dari kritik ilmiah
yang menganggap orientalisme tidak mendapat manfaat dari perubahan yang terjadi dalam ilmu-

11
Leonard Binder. Islam Liberal: Kritik Terhadap Ideologi-Ideologi Pembangunan. Ter. Imam Muttaqin
(Yogyakarta: Pustakan Belajar, 2001), hlm.142.
12
Akhmad Muzakki. Dekontruksi Orientalisme (Telaah atas Pemikiran Leonard Binder).
13
Leonard Binder. Islam Liberal: Kritik Terhadap Ideologi-Ideologi Pembangunan, hlm. 148.
ilmu sosial dan sejarah.14 Kajian orientalis pada umumnya menganggap orang Timur sebagai
obyek kajian yang diwarnai oleh sikap otherness.

A.L Tibawi dalam karyanya “English Speaking Orientalists” (1964), dan “Second
Critique of the English Speaking Orientalist” (1979), menyatakan bahwa ciri utama orientalis
adalah menolak untuk mengakui bahwa komunitas Muslim Nabi Muhammad sebagai nabi
terakhir yang membawa risalah bagi umat manusia dan membenarkan agama sebelumnya.
Orientalis menyerang karena motif missionaris dan akademik tapi masih tetap diwarnai oleh
distornasi dan interpretasi yang salah terhadap Islam. Asumsi umum para orientalis berpikir agar
Islam disesuaikan dengan perspektif Barat dan tidak memikirkan bagaimana menyesuaikan
dengan realitas Islam yang sesungguhnya. Materi tentang Islam yang ditulis dan diajarkan oleh
orientalis masih jauh dari memenuhi kebutuhan diplomat, missionaris, dan otoritas kekuasaan.
Hasil kajian dari orientalis masih banyak yang anti-Islam dan anti-Arab khususnya dalam isu-isu
kontemporer.15 Banyak hasil dari kajian orientalis menampilkan hal negatif terhadap Islam yang
tidak sesuai dengan sebenarnya, sehingga sering kali sarjana yang belajar dari orientalis terkait
orang Islam dan Arab mendapati realitas yang berbeda.

Tokoh Edward W. Said tidak bisa ditinggalkan apabila membahas soal orientalisme
secara akademis. Ia merupakan orang yang pertama kali membahas orientalisme secara
komprehensif dalam bukunya “Orientalism: Western Conceptions of the Orient.” Dalam buku
tersebut, Said menyatakan bahwa orientalisme merupakan gambaran tentang pengalaman orang
Barat ketimbang orang Timur ya ng merupakan obyek dari kajian ini. Orientalisme yang telah
menghasilakan kajian yang keliru tentang kebudayaan Arab dan Islam. Meskipun saat itu
orientalisme tampak obyektif dan tanpa adanya kepentingan lain, namun ia berfungsi sebagai
tujuan politik. Apa saja yang disampikan orientalis tentang Islam tetap saja rasial, skeptik, sinis,
imperialism, dan etnosentris. Sebab, Barat memandang Timur dengan sikap superioritas yang
tinggi, bahwa Timur merupakan sesuatu yang berbeda dengan mereka kuno, mistis, inferior, dan
lain-lain. Sikap seperti ini memengaruhi kajian lingusitik, sejarah, teologi, filologi, filsafat, dan
antropologi hingga abad ke-19 M. Singkatnya, kajian Timur yang berasaskan ilmu Barat telah di

14
Ridwan sayyid. al-Shira’ ‘Ala al-Islam: Ushuliyyah wal Ashlah Wa Siyasat ad-Dauliyah. Lebanon: Darul Kitab
Arabi, 2004, hlm.109.
15
H. Muhammad Bahar Akkase Teng. Orientalis dan Orientalisme Dalam Perspektif Sejarah. Jurnal Ilmu Budaya,
Vol. 4 No. 1 Juni 2016.
frame atau dibingkai oleh pengalamaan imperialisme dan pertengkaran budaya antara Barat dan
Timur.

Sedangkan Bryan S. Turner, merupakan sosiologi Inggris dalam karyanya “Marx and the
End of Orientalism” (1978). Menyatakan bahwa kajian orientalis memisahkan antara Timur dan
Barat dan menganggap Timur sebagai bangsa inferior. Hal ini didasarkan pada kultur modern,
meskipun mereka beranggapan ilmu sosial itu netral.16

Kritik terhadap orientalisme tidak hanya berasal dari beberapa sarjana Islam atau Timur
saja, bahkan sarjana Barat pun mengkritik terhadap kajian orientalisme. kritik dari sarjana diatas
cendrung sama hanya saja menggunakan diksi yang berbeda, yaitu keahlian dan kecakapan
mereka hanya terbatas pada aspek eksternal dari agama sehingga pemahaman atas Islam terbatas
dan dnagkal. Mereka tidak memahami wilayah internal dari agama yang diteliti. Ketika para
sarjana diatas melakukan kritik terhadap orientalisme, bahwa mereka berusaha menghancurkan
orientalisme dengan dalih imperialisme, kekurangannya, atau keduanya. Bahwa sebenarnya
orientalisme telah menuju perubahan dalam kajiannya, berorientasi pada kajian ilmu-ilmu sosial
terutama antropologi peradaban dan sosiologi kebudayaan. Menurut Ridwan Sayyid dalam
tulisannya orientalisme bertransformasi ke antropologi dan dikombinasikan kajian filologi atau
linguistik.

Transformasi Orientalisme Menuju Antropologi

Melalui perkembangan sejarahnya, orientaslime telah mengalami perubahan dalam


gagasannya dab beralih pada kajian ilmu-ilmu sosial seperti antropologi. Antropologi di Timur
tengah berkembang melalui empat fase, yaitu fase dominasi orientalis, antropolog amatir,
antropolog profesional, dan antropolog lokal.17 Dalam tulisan ini akan berfokus pada antropologi
yang perkembangannya di dominasi oleh para antropolog orientalis. Orientalisme merupakan
sumber utama dalam memahami Timur Tengah, dimana dari awal perkembangannya hingga
pertengahan abad ke-19 merupakan sarjana perjanjian lama dan pernjanjian baru atau
misionasris. Pada bad ke-19 fase orientalisme dimana terjadinya revolusi paradigma riset ilimiah
atau aliran politik yang diusung sebegai kecendrungan utama. Sedangkan pada abad yang sama
antropologi merupakan disiplin ilmu yang berkaitan dengan ilmu positivisme, dimulai dengan

16
H. Muhammad Bahar Akkase Teng. Orientalis dan Orientalisme Dalam Perspektif Sejarah.
17
Ridwa sayyid. al-Shira’ ‘Ala al-Islam: Ushuliyyah wal Ashlah Wa Siyasat ad-Dauliyah, hlm.106.
pengumpulan informasi di Amerika Utara dan Selatan. Edward Said menyatakan bahwa
hubungan antara antropologi dan orientalisme bukan pada perkembangan ilmu dari keduanya
melainkan dari kajian yang mereka adopsi dan merupakan dua ilmu kolonial. Pandangan awal
antropologi dalam perkembangannya disiplin ilmu yang lahir di tangan ilmuwan Barat terutama
kalangan missionaris dam pegawai adminitrasi kolonial.

Orientalisme pada awal perkembangannya adalah upaya untuk mengetahui lebih banyak
tentang Islam hingga pada abad ke 20 kajian orientalisme mengalami perubahan menuju kajian
tentang ilmu-ilmu kemanusiaan terutama antropologi peradaban dan sosiologi kebudayaan.18
Banyaknya sarjana orientalis memperlajari teks-teks Arab atau Islam, sejarah, arkeologi, filologi,
dan lain-lain. Antropologi dalam perkembangannya didominasi oleh sarjana orientalsis sehingga
memengaruhi kajian antropologi, dimulai dari periode kolonial menghasilkan beberapa materi
mengenai etnografis yang informatif tentang masyarakat “beradab” versus “primitive”.
Pandangan Barat lebih unggul dari Timur sehingga pendekatannya menggunakan dualitas
tersebut. Pendekatan otentik yang menjelaskan kesamaan antara manusia dengan simbol, fakta
sejarah.

Bukti terbaik untuk hal ini adalah penelitian Marshall Hodgson “The Adventure of Islam:
Awarness and History in a Global Civilization”, Fernan Braudel “The Mediterranean in the
Reign of Philip II dan Janet Abu Lugod “Sebelum Hegemoni Eropa” mereka merupakan seorang
sejarawan dan sosiolog. Para peneliti ini telah mempelajari peradaban dan sejarah Islam dalam
konteks sejarah global yang sinkron, yaitu antara abad ke-13 dan ke-18 Masehi.19

Perubahan orientalisme ke antropologi untuk mewujudkan kajian ilmiah yang lebih


obyektif dan netral, namun kenyataannya masih terdapat kepentingan lain dalam mengkaji
tentang Islam. Menimbulkan stigma negatif terhadap Islam hasil dari karya orientalisme, meski
tidak dipungkiri masih ada sarjana yang memandang Islam secara obyektif dan netral. Fakta dari
perubahan kajian orientalisme telah di telusuri oleh Ridwan Sayyid dalam tiga dekade terakhir
hingga tahun 2002. Bahwa orientalisme mengalami perubahan menuju kajian ilmu-ilmu sosial
terutama antropologi dan sosiologi kebudayaan. Hubungan pendekatan baru untuk membaca teks

18
Kurdi Fadal. Pandangan Orientalis Terhadap Al-Qur’an (“Teori Pengaruh” Al-Qur’an Theodor Noldeke). Jurnal
Religia, Vol. 14 No. 2 Oktober 2011. (dalam Hassan Hanafi. 2000:27-28)
19
Ridwan sayyid. al-Shira’ ‘Ala al-Islam: Ushuliyyah wal Ashlah Wa Siyasat ad-Dauliyah, hlm.108.
dan memahami hubungan antara teks-teks dan pemahaman yang maju dan pemahaman lama
telah meninggalkan jejak yang dalam terhadap studi sejarah, perkembangan sejarah.

Pengaruh pemikiran orientalis terhadap kajian antropologi dalam melihat bangsa Timur
cukup besar. Sehingga tak jarang pandangan yang dihasilkan oleh orientalis terhadap kajian
masyarakat Timur tampak buram atau adanya pengkaburan. Dalam buku Orientalism, Edward
Said menyatakan tentang masyarakat Timur atau bangsa Timur adalah bangsa yang tidak logis,
terbelakang, dan berbeda dari kita (dalam perspektif Barat). Sementara Barat merupakan bangsa
yang bermoral tinggi, maju, stabil, dan tidak memiliki kekurangan. 20 Banyak orientalis dalam
melihat Islam, lebih senang menyebutnya sebagai Muhammedanisme. Hal itu tampak pada judul
buku H.A.R.Gibb Muhammedanisme.21

Tahun 1977, muncul dua studi orientalis yang membuka tahap baru dan melampaui orientalisme
klasik. Kajian-kajian yang lebih berorientasi pada antropologi peradaban atau pun berkaitan
dengan sosiologi budaya. Pertama, Jhon Wansbourough berjudul “Studi Quran” menurutnya teks
al-quran tunduk pada prinsip dan mekanisme “kritik teks” dalam perjanjian lama dan baru.
Sedangkan dalam buku keduanya “Lingkungan Terbagi” ia menyimpulkan bahwa dalam dua
abad pertama hijriah tidak ada al-quran atau teks islam dalam bentuk apapun. Kedua, Patricia
Crone dan Michael Cook berjudul “al-Hajariyya” mereka tidak percaya apapun pada sumber-
sumber islam tentang dua abad pertama hijrah nabi, mengingat teks-teks al-quran dan hadis,
dipalsukan dan dibuat oleh kaum sunni setelah mereka menjadi kerajaan (kerajaan Arab
membuat agama islam beserta teks-teksnya) dan adanya partispasi ulama. 22 Oleh karena itu, para
peneliti menggunakan sumber Yahudi dan Kristen untuk mempelajari tentang agama islam dan
sejarah pertama islam. Mengutip dari Max weber, ia mengatakan kekuatan negara dan
kelemahan masyarakat dan budaya dalam islam sebagaimana yang diusung Gellner
fundamentalisme dan tekstualitas islam yaitu ketidakmampuan umat islam untuk berubah.

Kajian–kajian yang dilakukan oleh sarjana orientalis telah menimbulkan kerugian bagi
islam. Pertama, dari kritik radikal yaitu memudarnya presentasi yang serius dan komprehensif

20
Abdul halim Mukhtar. Rekonstruksi Antropologi Islam. Jurnal Tribakti, Vol. 20 No. 2 Juli 2009. (dalam Edward
Said, 1978:40)
21
H.A.R.Gibb, Muhammedanisme. Oxford University Press, 1980.
22
Ridwan Sayyid. al-Shira’ ‘Ala al-Islam: Ushuliyyah wal Ashlah Wa Siyasat ad-Dauliyah, hlm.112.
dari periode awal islam. Isu-isu yang ditelaah dari abad pertama, zaman nabi, ulama, dan dua
dekade terakhir akurat dan rinci bergantung pada sanggahan dan dekonstruksi. Bukan hanya
karena perkembangan studi tekstual dan sejarah, bahkan ada sarjana yang mengatakan tidak ada
yang perlu diperbaiki dari zaman itu dan semuanya harus dipertimbangkan kembali. Kedua, dari
ucapan dan artikel dari para sarjana: mengajarkan kaum muda untuk meremehkan teks-teks
penting seperti Tharikh al-Tabari, Tabaqat Ibn Saad, Sahih al-Bukhari, karena salah dalam
menafsirkan teks-teks tersebut. Oleh karena itu, Para sarjana ahli strategi, spesialis timur tengah
kontemporer serta komentator surat kabar dan majalah menggunakan pernyataan dekonstruktif
dan fundamentalis sebagai studi dan pernyataan ilmiah.

Ketika Edward Said mulai mengumpulkan bahan untuk studinya tentang orientalisme,
disini muncul salah satu antropolog yang membahas tentang masyarakat islam yaitu Ernest
Gellner. Menurut gellner bahwa esensi asli islam adalah agama tekstual eskatologis yang
ditandai dengan pemurnian yang kuat atau membaca ulang teks untuk memperbarui tradisi dan
memasuki zaman. Kesucian ini dibentuk oleh tradisi Sunnah dalam bentuk keseimbangan antara
norma perkotaan,otoritas, dan ulama. Jika terjadi krisis sosial, poltik dan budaya, maka teks
kembali menonjol dan munculnya para sarjana radikal menggunakan teks untuk melakukan
pembaruan tradisi. Kajian gellner memunculkan pandangan yang kontradiktif di antara para
antropolog lain seperti Clifford Geertz, Gilsenan dan Erickelman, sedangkan Libre School, Talal
Asad, Gerard Clark, Frea Halliday, dan Sami Zubaydah terus menganggap antropologi sebagai
ilmu kolonial.

Berbeda dengan Gellner, Geertz memiliki pandangan tersendiri tentang islam. menurut
Gertz, tidak ada perubahan yang dapat terjadi di masyarakat atau budaya jika kita mengambil
visi Gellner tentang siklus berulang pada teks dan satu masyarakat dengan esensi yang tetap
konstan seperti yang dia klaim. Sebaliknya, lebih tepat mengatakan jika masyarakat muslim
seperti masyarakat lainnya sangat dinamis dan berubah. Tidak ada komunitas Muslim global,
sebaliknya ada masyarakat islam dan berbagai tradisi yang hanya dipersatukan oleh simbol dan
kesucian tertinggi, yang menunjukkan kesatuan dalam kesadaran. Pada kenyataannya tidak ada
hubungan antara apa yangg terjadi di Maroko dengan yang terjadi di Indonesia, serta
perkembangan sosial dan budaya yang terjadi di masyarakat islam juga terjadi di masyarakat lain
yang tidak menganut islam.
Gellner dan Geertz adalah dua tokoh antropologi islam dalam tiga dekade terkahir.
Beberapa orientalis muda lebih cendrung mengadopsi visi Geertz atau Claster, Clark, dan Talal
Asad, dan sebagian mengadopsi visi Gellner karena mereka beranggapan teori ini dapat
digunakan dengan cepat dalam penilaian tentang islam. Alasan inilah mengapa antropologi tidak
hanya merambah pada orientalisme saja tapi pada semua ilmu sejarah dan hermeneutik, karena
antropologi memiliki teori yang komprehensif dan dapat menjelaskan segala sesuatu dalam suatu
fenomena, agama, dan budaya.

Menurut Ridwan Sayyid penggunaan metode antropologi tidak selalu atau harus
menandakan sebuah revolusi lebih lanjut dalam melawan islam, sehingga antropologi telah
berkembang secara luas di barat dan membebaskannya dari pernyataan-pernyataan paling
mendasar yang muncul pada masa kolonial. Antropologi memberikan pendekatan-pendekatan
baru untuk membaca teks, memahami teks yang meninggalkan jejak yang dalam studi sejarah,
gambaran sejarah, konsep kebenaran realitas, dan studi islam tidak akan tinggal diam dalam
berbagai situasi dan metode.

Disini Ridwan Sayyid mengemukakan satu poin penting dari Foucault terkait
pengetahuan dan kekuasaan. Menurutnya ada perjuangan besar selama beberapa dekade atas
citra islam baik masa kini maupun masa depan. Orang-orang Arab dan Muslim kini telah
mencapai puncaknya dan segala cara dilakukan termasuk islam dan kesadarannya, arabisme,
makna budaya dan politiknya. Dalam kurun waktu antara 1957 dan 1967 ketika bangsa Arab
tampak mampu bangkit dan bersatu, hal-hal positif muncul dalam kajian sejarah islam dan
kemampuan bangsa Arab dan Muslim untuk memperbarui tradisi.mereka dan memasuki dunia
kontemporer.23 Hamilton Gebb, Von Greenbaum, Frizt Stebat, Leonard Binder dan Bernard
Lewis. Bernard lewis telah menulis dalam bukunya “The Arabs in History” tentang inisiatif
orang-orang arab dan muslim untuk sukses seperti adanya perkawinan, modernitas, dan tradisi.
Adapun Michael Hudson, yang mengabdikan dirinya untuk menulis tentang “Memperbarui
Legitimasi” dalam sistem pemerintahan Arab di luar pernyataan Max Weber terkait perubahan
dan pembaruan, dan hubungan lain antara publik dan kekuasaan.

23
Ridwan Sayyid. al-Shira’ ‘Ala al-Islam: Ushuliyyah wal Ashlah Wa Siyasat ad-Dauliyah, hlm.118.
Sebaliknya, ekspresi hubungan timbal balik antara pengetahuan dan kekuasaan adalah
munculnya antropolog yang memandang islam secara negatif karena melihat masa lalu islam.
Fouad Ajami yang mendorong ke arah neo-konservatif yang kampanyenya berfokus pada
kegagalan ideologi nasionalis arab, tidak ada orang arab disana. Kemudiam, ketika ia diminta
untuk mengomentari tesis Huntington tentang “benturan Peradaban”, dia meyakinkan bahwa
islam tidak berbahaya, karena terpecah-pecah, runtuh, di hapadan badai modernitas. Sedangkan
Basaam Tibi, seseorang yang berpihak pada konservatif Eropa-Amerika dan bekerja sebagai ahli
dalam urusan islam. ia menulis pengantar untuk terjemahan Jerman dari buku Clifford Gerzt
berjudul “Islam antara Maroko dan Indonesia”, yang dikritiknya menggunakan tesis Gellner dan
secara berlebihan menafsirkannya. Ia mengatakan bahwa kehancuran islam karena stagnansinya
dan tidak mampu untuk berubah dan memperbarui.

Ridwan sayyid mengatakan cara yang efektif dalam menangani doktrin sejarah dan
budaya yang dilakukan para orientalis maupun antropologi yaitu umat muslim ikut berpatisipasi
secara aktif dan penuh semangat dalam studi kontemporer dan kurikulum kontemporer.
Meskipun hal ini membutuhkan pengetahuan lebih banyak tentang dunia dan zaman, fakta
modernitas, postmodernitas, dan ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Faktanya, studi islam dan arab
di barat tidak berjalan dengan baik dalam pandangan historisisme orientalis sehingga kita dapat
mengklaim tenggelamnya orientalisme dalam pengertian lama.

Kesimpulan

Orientalisme pada dasarnya merupakan kajian untuk mengartikulasikan interpretasi


tentang Islam atau kajian yang membahas tentang dunia Ketimuran baik dari segi budaya,
masyarakat, ataupun agama, yang terdapat pembiasan dalam kajiannya. Meskipun para orientalis
menunjukkan sebuah disiplin ilmu yang ilmiah dan obyektif, tapi realita yang ditemukan
orientalisme sarat akan kepentingan koloniasasi atau imperialisme. Dengan demikian, banyak
dari sebagian besar Muslim memiliki pandangan negatif terhadap kajian orientalisme maupun
orientalis karena penilaian mereka yang tidak adil dan obyektif terhadap Islam. Mereka
mendeskreditkan semua warisan sejaraj Islam dan kebudayaannya, yang kemudian melahirkan
pandangan skeptisisme tentang Islam.

Beberapa sarjana melakukan kritik terhadap studi ini, mereka beranggapan orientalisme
telah memberikan kerugian terhadap Islam, adanya kritik radikal dari antropolog orientalis
terhadap Islam sehingga memudarkan presentasi yang serius dan komprehensif sejarah awal
Islam, mereka tidak percaya sejarah hijrah nabi, kenabian nabi, dan lainnya. Serta hasil dari
kritik dari, ucapan, pernyataan, dan hasil penelitian orientalis menyebabkan kaum muda atau
orientalis kontemporer untuk meremehkan naskah-naskah penting seperti Tharikh al-Tabari,
Tabaqat Ibn Saad, dan Sahih al-Bukhari, karena salah dalam menafsirkan naskah tersebut.

Melalui perkembangan zaman, kajian orientalis secara bertahap mengalami perubahan


pada kajian yang berorientasi dalam ilmu-ilmu sosial terutama dalam kajian atropologi
peradaban dan sosiologi kebudayaan. Dimana orientalis mencoba untuk menghasilkan yang lebih
obyektif, simpatik, dan netral terhadap Islam. Meskipun kenyataannya masih didapati motif lain
dari beberapa para orientalis. Ada yang melihat Islam secara obyektif dan ada juga yang melihat
secara obyektif tapi dibarengi dengan motif tersebumnyi dari orientalis tersebut.

Daftar Pustaka

Akkase Teng, Muhammad Bahar. (2016). Orientalis Dan Orientalisme Dalam Perspektif
Sejarah. Jurnal Ilmu Budaya, Vol. 4 No. 1 Juni 2016.

Binder, Leonard. (2001). Islam Liberal: Kritik Terhadap Ideologi-Ideologi Pembangunan. Ter.
Imam Muttaqin. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Gibb. (1980). Muhammedanisme. Oxford University.

Halim Mukhtar, Abdul. (2009). Rekonstruksi Antropologi Islam. Jurnal Tribakti, Vol. 20 No. 2
Juli 2009.

Majid, Nurcholis. (2000). Islam Agama Peradaban. Jakarta: Paramadina.


Muzakki, Ahmad. (2005). Dekontruksi Orientalisme (Telaah atas Pemikiran Leonard Binder.
Jurnal Ulul Albab, Vol.6 No.1 2005.

Nasir, St. Magfirah. (2021). Sejarah Perkembangan Orientalisme. Al-Mustafa: Jurnal Ilmu-Ilmu
Keislaman dan Kemasyarakatan, Vol. 3 No. 2 Desember 2021.

Sayyid, Ridwan. (2004). al-Shira’ ‘Ala al-Islam: Ushuliyyah wal Ashlah Wa Siyasat ad-
Dauliyah. Lebanon: Darul Kitab Arabi.

Yakub, Isma’il. Orientalisme dan Orientalisten. Surabaya: C.V. Faizan, t.t.

Anda mungkin juga menyukai