Anda di halaman 1dari 11

ISLAM DI JAWA DALAM KAJIAN ORIENTALIS DAN MISIONARIS

Dibuat sebagai tugas dalam mata kuliah


Islam dan Budaya Jawa

Dosen Pengampu: Susiyanto, M. Ag


Penyusun :

PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SURAKARTA
2015
PEMBAHASAN

1. Pengertian Orientalisme dan Misionarisme Serta Motifnya

A. Definisi Orientalisme
Orientalisme adalah sebuah studi/penelitian yang dilaukan oleh selain orang timur
terhadap berbagai disiplin ilmu ketimuran,baik bahasa, agama,sejarah,dan permasalahan
sosio-kultural bangsa Timur.1

B. Definisi Orientalis
Pada perkembangannya kata orientalis identik ditujukan kepada orang Kristen yang
sangat berkeinginan untuk melakukan studi terhadap Islam dan bahasa Arab. 2

C. Definisi Misionarisme
Misionarisme merupakan suatu usaha untuk mempersiapkan para misionaris.Misionaris
atau penginjil adalah orang – orang yang mensifati agama Kristen dengan hal-hal yang
indah dan senantiasa mengajak manusia masuk Kristen. Perbedaan antara misionaris dan
penginjil terletak pada strategi pergerakan mereka. Misionaris bergerak di ranah
propaganda halus, sedangkan penginjil mengajak untuk masuk agama mereka secara
paksa dengan berbagai kekuatan.

D. Orientalisme dan Misionarisme


Dr. Muhammad Zaqzuq berpendapat : Pada awalnya memang bukan perkara yang
mudah untuk memisahkan orientalisme dari misionarisme. Gerakan orientalisme pada
awalnya terbatas pada keinginan mempelajari bahasa-bahasa bangsa sebagai alat untuk
mengkaji keyakinan dan peradaban bangsa Timur. Sedangkan misionaris berkeinginan
agar bangsa Timur memeluk agama Nasrani. Misionaris merumuskan materi menegenai
perang budaya melalui budaya dan perumusan ini tidak akan sempurna tanpa didukung
oleh produk pemikiran kaum orientalis. 3
1
Lihat Dr. Abdurrahman Hasan el-Maidani, Ajnihatu-l Mukr ats-Tsalatshah, Dimsuq Beirut, Dar el-qalam,1980 M.,
cet.II, h.83
2
Muhammad Izzat tahtawiy, At-Tabsyir wa-l Istisyraq, Serangan Terhadap Nabi Muhammad SAW dan Dunia Islam,
Kairo, Majma’ Buhuts Islam, th.1977 . h. 35
3
Dr. Hasan Abdul Rauf M. el-Badawy, Orientalisme dan Misionarisme, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, th.2008,
cet.II, h.133
Dalam perkembangannya, perang pemikiran (ghawazul fikr) telah mengaitkan
misionarisme dengan orientalisme. Posisi orientalisme sebagai titik tolak yang mengatur
rencana dan menghasilkan produk-produk pemikiran berakhir kepada misionarisme
sebagai geraknnya.
Umat Islam dalam pandangan para orientalis adalah objek studi. Sedang menurut
pandangan para Misionaris, kaum muslim adalah sasaran studi itu sendiri. Walau
terkadang sebagian orientalis mengambil peran misionaris, begitupun sebaliknya.4
Lebih jelasnya, bahwa orientalisme dengan gerakan-gerakan pemikirannya telah
membentangkan jalan bagi aksi-aksi misionarisme dan menaburkan benih di tanah Islam.
E. Motif Orientalisme dan Misionarisme
 Motif Agama
Gerakan orientalisme ini dimulai oleh rahib gereja kemudian berlanjut para
pendeta dimana dimana mereka hanya memikirkan bagaimana menyerang agama
Islam dan memutarbalikkan fakta kebenaran ajaran Islam. Terlebih setelah mereka
menyaksikan dan merasakan hasil dari peristiwa Futuhat Islamiyyah , perang Salib,
dan penaklukan-penaklukan pada masa Utsmaniah di eropa, disinyalir sangat
mempengaruhi kondisi jiwa bangsa Barat, berupa rasa takut (syndrome) terhadap
kekuatan Islam sampai mereka membenci penganutnya. Sehingga dari kondisi
psikologis seperti ini timbul keinginan dan usaha untuk melakukan studi tentang
Islam.
Dewasa ini, kebencian mereka makin menjadi-jadi setelah mereka
menyaksikan bahwa pesatnya peradaban modern malah menggoncangkan keyakinan
orang-orang Barat itu sendiri atas ajaran-ajaran agama Nasrani yang telah mereka
dapatkan dari para leluhur mereka.

4
Contohnya seperti L.Massinyon, seorang orientalis yang pada fase akhir berpaling kepada pendalaman ilmu
tentang misiionarisme, karena misionarisme adalah alat untuk memperbudak orang Muslim menukar agama
mereka. Kendati , setelah mengetahui Islam, sebagian misionaris berpaling kepada ladang
orientalisme,sebagaimana yang dilakukan oleh William Boostel tahun 1510-1581 M. Dinukil dari Dr. Abdul Jalil
Syalabiy, Perhelatan Misionarisme terhada Islam, h.81
 Motif Kolonialisme
Setelah bertubi- tubi mengalami kekalahan dalam peperangan Salib, bangsa
Barat tidak berputus asa untuk kembali menjajah negara - negara Arab dan seluruh
negara islam dengan berbagai cara guna mewujudkan cita-cita bangsa Barat untuk
menguasai negara - negara Arab dan seluruh negara islam .
Gerakan orientalisme menjadi pengganti strategi kaum salibis, dari perang fisik
berganti menjadi perang pemikiran. Sebagaimana wasiat Louis IX ( raja Perancis IX
dan pemimpin pasukan salib ke-8 yang mengalami kekalahan dan kegagalan ) : “
Bahwa tidak ada jalan lain untuk menguasai kaum muslim kecuali setelah menghapus
pemahaman dan ajaran di kalangan mereka. Ini tidak akan terealisasi kecuali dengan
mempelajari akar sejarah dan ajarnnya, mengkonsentrasikan diri terhadap pemikiran
Islam serta memindahkan poin utama dan tujuannya sehingga pemahaman jihad bias
diselewengkan. Dengan itu diharapkan mudah untuk menguasai mereka.”. Oleh
karena itu, para cendekiawan Barat berbondong – bonding mempeljari Islam untuk
dijadikan senjata dalam memerangi Islam.
 Motif Ekonomi
Di antara motif kuat orang Barat melakukan gerakan orientalisme adalah
keinginannya menguasai perekonomian negara Islam dengan menguasai pasar
perdagangan, lembaga-lembaga keuangan, dan kekayaan alam.
 Motif Politik
Setelah negara Islam terlepas dari penjajahan yang zalim, kekuatan dan taktik
kolonialisme terus berjalan , antara lain dengan menempatkan orang-orang pilihan
yang berpengalaman dan luas pengetahuannya megenai dunia islam di kedutaan-
kedutaan dan konsulat-konsulat mereka untuk memenuhi kepentingan politik
kolonialismenya di negara-negara Islam.5Diantara berbagai motif di atas , motif yang
paling dominan bagi para penggerak orientalisme adalah agama. Mereka berupaya
bagaimana caranya melemahkan Islam dan menciptakan keraguan di kalangan umat
islam atas ajaran agamnya sendiri.6

5
Dr. Hasan Abdul Rauf M. el-Badawy, Orientalisme dan Misionarisme, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, th.2008,
cet.II, h.12-15

6
Dr. Muhammad Bahiy, Pemikiran Islam Kontemporer dan hubungannya Dengan Kolonialisme Barat, h.431
2. Tokoh Orientalis dalam Kajian Tentang Islam dan Jawa

Biodata Clifford Geertz

Clifford Geertz dilahirkan di San Francisco, California, Amerika Serikat pada tanggal
23 Agustus 1926. Dia merupakan ahli antropologi budaya yang beberapa kali melakukan
penelitian lapangan di Indonesia dan Maroko. Dia menulis esai tentang ilmu-ilmu sosial serta
merupakan pelopor pendekatan “interpretif” dalam bidang antropologi. Karir Geertz diawali
dari dunia militer, dimana dia melayani Angkatan Laut Amerika selama Perang Dunia II.
Adapun karir akademiknya dimulai ketika dia menerima gelar sarjana dalam bidang filsafat
dari Antioch College, Ohio, pada tahun 1950. Dari Antioch ia melanjutkan studi antropolgi di
Harvard University. Pada tahun keduanya di Harvard ini, ia bersama isterinya, Hildred, pergi
ke Pulau Jawa dan tinggal di sana selama dua tahun untuk mempelajari masyarakat
multiagama, multiras yang kompleks di sebuah kota kecil –
Mojokuto. Setelah kembali ke Harvard, Geertz pada tahun 1956
memperoleh gelar doktor dari Harvard’s Departement of Social
Relations dengan spesialisasi dalam antropologi.7

Sebelum bergabung dengan Institute for Advanced Study,


sebuah lembaga penelitian yang pernah menjadi rumah bagi para
pemikir besar seperti Albert Einstein, Geertz mengajar di
Universitas Chicago, sebagai profesor antropologi dan kajian perbandingan negara-negara
baru. Ia juga pernah mengajar sebagai profesor tamu di Universitas Oxford, dan sejak 1975
sampai 2000, ia menjadi profesor tamu di Universitas Princeton yang kampusnya hanya
berjarak sekitar 2 kilometer dari Institute for Advanced Study. Tahun 2000, Geertz pensiun
dari Institute for Advanced Study, tetapi tidak mengurangi produktifitasnya untuk terus
menulis.

Adapun tema yang dibicarakan Geertz dalam berbagai esai dan buku yang telah
diterbitkan meliputi seluruh spekturm kehidupan sosial manusia: dari pertanian, ekonomi,
dan ekologi hingga ke pola-pola kekeluargaan, sejarah sosial, dan politik dari bangsa-bangsa
berkembang; dari seni, estetika, dan teori sastra hingga ke filsafat, sains, tehnologi, dan
7
Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion; dari Animisme E.B. Taylor, Materialisme Karl Marx
hingga Antropologi Budaya C. Geertz, terj. Ali Noer Zaman, Yogyakarta: Qalam, 2001, hlm. 397
agama. Namun begitu, perhatian utama Geertz lebih ditekankan pada pemikiran kembali
secara serius terhadap hal-hal pokok di dalam praktek antropologi dan ilmu sosial yang lain –
pemikiran kembali yang secara langsung berhubungan dengan usaha memahami agama.8

Sebagai seorang antropolog, Clifford Geertz menjadi terkenal dan populer di


Indonesia setelah melakukan penelitian di Jawa dan Bali, yang menghasilkan beberapa buku
penting tentang Indonesia. Dan yang paling pokok, khususnya yang berkaitan dengan kajian
Penulis, adalah kajiannya tentang agama Jawa dan politik aliran (abangan, santri dan
priyayi).9

Geertz adalah salah seorang generasi pertama Indonesianis yang selalu menaruh
perhatian besar tentang perkembangan yang terjadi di Indonesia. Ia memang tak pernah
memiliki murid dari Indonesia, tak seperti Indonesianis lain misalnya Daniel Lev atau
Benedict Anderson yang telah menghasilkan banyak anak didik dari Indonesia. Tetapi,
perhatian Geertz yang besar terhadap Indonesia sangat mempengaruhi perkembangan
diskursus ilmu sosial di negeri ini.

Sebagaimana dituturkan oleh Ignas Kleden, Geertz telah menghabiskan waktu selama
10 tahun lebih dalam penelitian lapangan (di Jawa, Bali, dan Maroko) dan 30 tahun
digunakannya untuk menulis tentang hasil-hasil penelitiannya, dengan tujuan menyampaikan
pesona studi kebudayaan kepada orang-orang lain.

Clifford Geertz meninggal dunia di kediamannya di Pennsylvania, setelah menjalani


operasi jantung di Rumah Sakit Universitas Pennsylvania, Amerika Serikat, Pada hari Selasa
tanggal 31 Oktober 2006 dalam usia 80 tahun dengan meninggalkan banyak karya penting
seperti The Interpretation of Cultures, Islam Observed: Religious Development in Morocco
and Indonesia,Available Light, Local Knowledge, Works and Lives: The Anthropologist as
Author, After The Fact: Two Countries, Four Decades, One Anthropologist, The Religion of
Java, Peddlers and Princes, The Social History of an Indonesian Town, Kinship in
Bali, Negara: The Theater State in 19th Century Bali, danAgricultural Involution.10

3. Apresiasi Terhadap Kajian Orientalis

8
Daniel L. Pals, Op. Cit., hlm. 396
9
ihat Ignas Kleden, “Clifford Geertz, Teori Kebudayaan, dan Studi Indonesia” dalam
http://mirifica.net/wmview.php?ArtID=3527 tanggal 16 Nopember 2006
10
Daniel L. Pals, Op. Cit., hlm. 402 et. seq.
Agama Masyarakat Jawa Menurut Geertz

Setelah Clifford Geertz melakukan penelitian lapangan di Mojokuto dari bulan Mei 1953
sampai bulan September 1954, yang kemudian hal tesebut diajukan sebagai disertasi doktoral
dan kemudian diterbitkan dengan judul The Religion of Java. Mojokuto merupakan nama
samara dari “kota Pare” di Kediri. Kota ini dipilih sebagai objek penelitian oleh Clifford
Geertz karena daerah ini merupakan pusat kekuasaan Hindu-Jawa, dari kerajaan Daha hingga
Singosari dan memiliki hubungan historis dengan kerajaan Majapahit yang berpusat di
Mojokerto. Kediri merupakan salah satu derah santri (hijau) dan sekaligus nasionalis (merah) .

Diakui, “Mojokuto” ini memang merupakan suatu kota kecil di Jawa Timur yang tak bisa
mewakili kebudayaan Jawa secara keseluruhan. Namun bagi Geertz, “Mojokuto” merupakan
suatu tempat di mana makna “kejawaan” itu dibumikan. “Mojokuto”
begitu complicated akibat benturan budaya, dimana Islam, Hinduisme, dan tradisi animisme
pribumi “berbaur” dalam satu sistem sosial.11

Adapun mengenai metode kerja yang digunakan Geertz dalam penyusunan buku The
Religion of Java ini, sebagaimana yang diungkapkan oleh Geertz sendiri, meliputi tiga
tahapan.

Tahap Pertama, Persiapan intensif dalam Bahasa Indonesia di Universitas Harvard,


yang kemudian dilanjutkan dengan mewawancarai sarjana-sarjana Belanda yang ahli tentang
Indonesia di Universitas Leiden dan di Tropical Institute, Amsterdam, pada bulan Juli sampai
Oktober 1952.

Tahap Kedua, dari bulan Oktober 1952 sampai Mei 1953 mempelajari bahasa Jawa di
Yogyakarta dengan mempergunakan mahasiswa-mahasiswa UGM sebagai media untuk
memperoleh pengetahuan umum mengenai kebudayaan dan kehidupan kota Jawa. Pada tahap
ini juga dilakukan wawancara dengan pemimpin-pemimpin agama dan politik di Jakarta,
sekaligus mengumpulkan statistik dan menyelidiki organisasi birokrasi pemerintah pada
umumnnya dan Departemen Agama pada khususnya.

Tahap Ketiga, antara Mei 1953 sampai September 1954, yang merupakan masa
penelitian lapangan yang sesungguhnya, dan dilakukan di Mojokuto. Dalam tahap ini, Geertz
beserta istrinya tinggal di rumah seorang buruh kereta api di ujung kota.
11
Daniel L. Pals, Op. Cit., hlm. 399
Selama berada di Mojokuto ini, Geertz mengaku bahwa pengumpulan data dalam
penelitiannya –sebagian besar- tidak dilakukan melalui wawancara resmi dengan informan
khusus, tetapi lebih sering dilakukan dengan kegiatan observasi-partisipasi. Hal ini dibuktikan
dengan pengakuan Geertz yang sering mengikuti perayaan umum, rapat-rapat organisasi,
upacara-upacara dan sebagainya.

Kemudian ringkasan isi dari buku tersebut yaitu :

1. Agama sebagai fakta budaya

Clifford Geertz dalam antropologi budaya kehidupan Jawa, ia melihat agama


sebagai fakta budaya –bukan semata-mata sebagai ekspresi kebutuhan sosial, ketegangan
ekonomi atau neurosis tersembunyi --meskipun hal-hal ini juga diperhatikan—melalui
simbol, ide, ritual, dan adat kebiasaanya. Agama juga bukan hanya berkutat dengan wacana
kosmis tentang asal-usul manusia, surga, dan neraka, tetapi juga merajut perilaku politik
saat memilih partai, jenis perhelatan, dan corak paguyuban. Praktik-praktik beragama
seperti itulah yang memberi semacam “peta budaya” untuk melacak jaringan sosial yang
dibentuk oleh warga. Realitas keagamaan dalam keseharian, menurut perspektif Geertz,
sangat pluralistis daripada doktrin formal yang menekankan wacana standar yang global.

Selain itu, menurut Geertz, agama tidak hanya memainkan peranan yang integratif
dan menciptakan harmoni sosial tapi juga peranan memecah masyarakat. Dengan demikian
ketiga varian agama “Jawa” di Mojokuto itu mempunyai peranan yang saling kontradiksi.

2. Trikotomi budaya (agama?) “Jawa”

Dalam buku Abangan, Santri, Priyayi dalam masyarakat Jawa, Geertz juga
menyuguhkan fenomena agama “Jawa” ke dalam tiga varian utama: abangan, santri, dan
priyayi. Trikotomi agama “Jawa” itulah yang sampai sekarang terus disebut-sebut dalam
wacana sosial, politik, dan budaya di Indonesia dan menjadikannya referensi induk atas
upaya ilmuwan sosial di belakangnya yang membedah tentang Jawa.

“Tiga golongan itu terpisah dan perbedaannya nyata. tetapi akhir – akhir ini, sesudah
tanah gaji amat dalem dihapus, perbedaan – perbedaan mulai hilang. Priyayi tidak
lagi mriyayi (berpriyayi). Jika seorang priyayi tidak punya tanah gaji atau tidak ada
orang di bawahnya, apa gunanya mriyayi? Demikianlah seterusnya apabila dia tidak
punya pangkat dan kekayaan. Sama halnya dengan santri. Sekarang ini banyak orang
sembahyang seperti santri. Perkawinan dan kematian dilaksanakan oleh KUA ( Kantor
Urusan Agama). Jadi tidak ada lagi golongan khusus santri. Sama halnya
dengan wong cilik. Jika dididik dengan baik, bahkan dia bisa punya ilmu agama lebih
banyak daripada santri kolot. Jadi perbedaan – perbedaan dulu sudah hilang.
Sekarang ini siapa – siapa bisa menjadi apa – apa saja. Yang penting adalah
bagaimana seseorang bersikap, berpriyayi, bersantri atau berabangan.12

berangkat dari teori trikotomi Clifford Geertz yang menyebut bahwa terdapat 3
jenis agama di orang – orang jawa, yaitu abangan, santri dan priyayi. Abangan, yang
mewakili suatu titik berat pada aspek animistis dari sinkretisme Jawa yang melingkupi
semuanya, dan secara luas dihubungkan dengan elemen petani; santri, yang mewakili suatu
titik berat pada aspek Islam dari sinkretisme itu dan umumnya dihubungkan dengan elemen
dagang ( dan kepada elemne tertentu di kalangan tani juga ) ; dan priyayi, yang
menekankan pada aspek – aspek Hindu dan dihubungkan dengan elemen birokratik. 13
Pendek kata, Clifford Geertz membagi ketiganya berdasar pada hal – hal yang paling
ditonjolkan. Abangan merupakan sinkretisme namun lebih menitikberatkan pada ritual –
ritual animisme dan dinamisme yang sangat kental di kebudayaan jawa. Santri juga
merupakan sebuah sinkretisme, namun kalangan santri lebih menonjol pada ritual – ritual
islam yang puritas. Islam sebagai agama yang murni dan fundamental. Sedangkan Priyayi
lebih menitikberatkan pada elemen – elemen Hindu pada ritual keagamaannya.Ritual –
ritual Hindu dalam hal ini kesenian sangat erat dengan kehidupan priyayi. Dikarenakan
cukup luasnya trikotomi ini, cakupan hanya akan dibatasi pada abangan sebagai bagian tak
terpisahkan dari sistem kepercayaan orang – orang jawa.
Golongan abangan diduduki oleh kelompok – kelompok petani desa yang masih
konservatif dan sangat kolot dalam kebudayaan dan tata cara hidup mereka. Golongan jawa
yang menerima islam hanya sebagai keyakinan, yang jarang sekali menjalankan ibadah
menurut agama Islam dan masih berpegang teguh pada kepercayaan Buddha – Hindu dan
kepercayaan asli.14 Hal ini ditandai dengan ritual – ritual agama yang mereka jalankan.
12
Pernyataan Mitsuo Nakamura dalam bukunya “ Bulan Sabit Muncul Dari Balik Pohon Beringin : Studi Tentang
Pergerakan Muhammadiyah di Kotagede, Yogyakarta “ sebagai sebuah tanggapan (lebih ke penolakan) terhadap
tesis Clifford geertz mengenai trikotomi agama jawa.
13
Clifford Geertz, The Religion of Java, terj. Aswab Mahasin (Jakarta : Pustaka Jaya, 1989), hlm. 8.
14
Zaini Muchtarom, Santri dan Abangan di Jawa (Jakarta : INIS, 1988), hlm. 7.
Dilihat dari sisi agama islam, mereka memang masih menggunakan apa yang terdapat
dalam islam sebagai salah satu elemen ritual, namun intensitas keberadaan islam ini sangat
kecil. Hal ini tercermin dalam slametan, kepercayaan terhadap roh halus, dan sistem
pengobatan yang masih menekankan pada tradisi – tradisi animisme. Intinya adalah sikap
terhadap dunia luar yang dialami sebagai kesatuan kepercayaan uhkrowi antara alam,
masyarakat dan alam adikodrati yang keramat, serta dilaksanakan dalam kegiatan ritual
tanpa refleksi eksplisit terhadap dimensi batin sendiri ( secara kental dan kuat dalam
lapisan masyarakat desa ). Abangan lebih memiliki kedekatan yang erat dengan unifikasi
antara agama, masyarakat dan alam daripada dengan Tuhan sebagai simbol tertinggi.

Kritik terhadap trikotomi Clifford Geertz


Trikotomi Clifford Geertz menuai banyak kritikan salah satunya seperti yang
disampaikan Profesor Harsja W. Bachtiar dalam tulisannya.15 Beliau mengidentifikasi
terdapat beberapa kritik terhadap trikotomi Clifford Geertz. Pertama mengenai pengertian
tentang agama. Geertz sangat kabur membedakan agama dengan kepercayaan. Trikotomi
ini juga tidak merepresentasikan seluruh agama orang jawa karena hanya daerah Mojokuto
(nama samaran untuk kota Pare, Kediri) sebagai obyek penilitian. Selain itu, agama kristen
dan katolik ( yang juga diimani oleh sebagian minoritas orang – orang jawa ) tidak
dijelaskan pada tesisnya ini.
Kritik yang kedua mengenai dasar pembagian ketiga varian ini. Terdapat
ketidaksamaan dasar pembagi untuk ketiga varian yang disampaikan oleh Geertz. Di satu
sisi, abangan dan santri dikategorikan dengan dasar yang sama yaitu pola kesalehan dan
keimanan mereka, namun di sisi lain, priyayi dikategorikan dengan pola yang lain.
Kuntowijoyo pun sependapat dengan hal ini. Untuk priyayi, Geertz memberi monopoli
terhadap kesenian klasik dan populer, hal yang tidak diberikannya kepada varian lain,
abangan dan santri. Untuk abangan hanya disebutkan simbol – simbol berupa magis,
mitologi, dan ritual, sedangkan untuk santri pembicaraan terutama berkisar pada soal
organisasi sosial dari agama.16

15
Harsja W. Bachtiar. “The Religion of Java, a Commentary”, Majalah Ilmu – Ilmu Sastra Indonesia no. 1 Januari
1973, jilid V dalam Clifford Geertz, ibid., hlm. 521 – 551.
16
Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1987) hlm. .51.
Kritik yang ketiga mengenai harus terdapatnya perbedaan mengenai adat dan
agama. Dalam teorinya, Geertz agaknya kurang jeli untuk mendiskripsikan mengenai apa
yang disebut dengan adat dan apa yang disebut dengan agama.
Selanjutnya kritik mengenai varian abangan. Geertz mengelompokkan abangan
sebagai tradisi kelompok – kelompok tani dan kebudayaan wong cilik. Pernyataan ini tidak
sepenuhnya benar. Beberapa tradisi dan ritual abangan sebenarnya juga dilakukan oleh
santri dan priyayi, walaupun konteksnya berbeda. Selain itu, slametan yang diidentikkan
dengan abangan sebenarnya juga dilakukan oleh santri dan priyayi. Santri melakukannya di
masjid dan priyayi melakukannya di keraton.
Kritik lain juga disampaikan Mitsuo Nakamura dalam bukunya mengenai
pergerakan Muhammadiyah di Kotagede seperti yang telah disampaikan di atas. Beliau
berpendapat bahwa trikotomi Clifford Geertz tidak relevan karena peletakan struktur
masyarakat jawa, khususnya anggota Muhammadiyah sangat sulit karena batas – batas dari
kategori – kategori ini semakin kabur.
Zaini Muchtarom dalam bukunya ”Santri dan Abangan di Jawa” juga sependapat
dengan hal ini. Akan sangat sulit membatasi pengkotakan kepercayaan agama jawa berdasar
pada kategori – kategori seperti itu. Santri maupun abangan terdapat pada setiap lapisan
masyarakat jawa, mulai dari wong cilik sampai ndara17.

17
Zaini Muchtarom, Santri dan Abangan di Jawa (Jakarta : INIS, 1988), hlm. 8.

Anda mungkin juga menyukai