Anda di halaman 1dari 10

AKAR PRASANGKA BARAT TERHADAP ISLAM:

Evolusi Sikap Barat dan Implikasinya dalam Pendekatan Studi Islam

Yusuf Hanafi
Universitas Negeri Malang (UM)
yusuf.hanafi.fs@um.ac.id

Abstrak: Terdapat beberapa asumsi dasar atau “dogma” dalam interaksi intelektual
dunia Barat dengan Islam. Antara lain dogma yang menyatakan bahwa ciri dunia
Barat adalah rasional, berpikiran maju, berperikemanusiaan, dan karenanya lebih
unggul dari dunia orient (Timur, termasuk Islam) yang disebut memiliki ciri statis,
irasional dan terbelakang. Tulisan ini bermaksud memberikan gambaran selintas
tentang akar-akar prasangka Barat kepada Islam yang kemudian memantul dalam
berbagai tulisan dan ulasan kaum orientalis terhadap agama Islam dan kaum
Muslim. Untuk mempertajam uraian, tulisan ini juga akan mengeksplorasi lebih jauh
masalah evolusi sikap Barat terhadap Islam, dan implikasinya dalam pendekatan
studi Islam yang berkembang di sana. Temuan yang diperoleh, citra dan studi Barat
atas Timur, khususnya Timur Islam, yang cukup memadai dan obyektif sebenarnya
sudah muncul sejak awal-awal kontak kaum Muslim dan orang-orang Eropa,
terutama di kalangan pengemban ilmu pengetahuan dan filsafat. Tetapi benih ini
mati dilibas oleh kecenderungan besar rivalitas ideologis Islam-Eropa, terutama
Islam-Kristen, yang dipelopori terutama oleh para politisi, agamawan berwawasan
dangkal, dan awam yang militan.

Kata kunci: Prasangka Barat, evolusi sikap Barat, studi Islam.

Pendahuluan
Di hampir seluruh belahan dunia Islam, termasuk Indonesia, istilah
“orientalisme” dan “kaum orientalis” kuat sekali terasosiasikan dengan bentuk-bentuk
persepsi yang negatif terhadap Islam dan kaum Muslim oleh orang-orang Barat. Secara
keseluruhan, adanya asosiasi itu cukup beralasan, meskipun secara detail perlu dilihat
kasusnya yang lebih tertentu. Edward Said, cendekiawan Arab-Kristen dan pengarang
buku Orientalism, lebih jauh menjelaskan bahwa terdapat beberapa asumsi dasar atau
“dogma” dalam interaksi intelektual mereka dengan Islam. Antara lain dogma yang
menyatakan bahwa ciri dunia Barat adalah rasional, berpikiran maju,
berperikemanusiaan, dan karenanya lebih unggul dari dunia orient (Timur, termasuk
Islam) yang disebut memiliki ciri statis, irasional dan terbelakang (Said, 1994: 36).
Di samping buku Said, sederetan karya tulis di dunia Islam, khususnya dalam
bahasa Arab yang bertemakan istisyraq dan mustasyriq (orientalism), memperingatkan
umat Islam bahwa orientalisme yang berlindung dalam “selimut objektifitas ilmiah” dan
“penelitian yang bersifat rasional” tidak jarang menyisipkan agenda utamanya, yakni
untuk membendung pengaruh Islam. Dalam konteks keindonesiaan, kita tentunya akrab
dengan nama-nama orientalis, seperti Hendrik Kraemer dan C. Snouck Hurgronje, yang
memandang rendah ajaran Islam. Keduanya meragukan efektifitas agama Islam dalam
mengantarkan Indonesia ke dunia Modern (Ali, 1997: 30-38).
Contoh lain dari hasil kajian orientalis yang bias dan dipengaruhi oleh sikap
antipati terhadap Islam adalah buku Religion of Java, karya dari Clifford Geertz. Target
pokok Geertz dalam bukunya itu ialah memisahkan kebudayaan Jawa dari Islam,
mengucilkan peran Islam di bumi Nusantara, dan menganggap bahwa Islam hanya
merupakan lapisan tipis yang tidak melekat dalam darah daging masyarakat Islam
Indonesia (Hodgson, 1974: 392).

759
Tanpa mengesampingkan kekhawatiran para intelektual muslim akan bahaya
agenda orientalisme yang terselubung, perlu dicatat bahwa pada dasawarsa terakhir
abad ini telah muncul beberapa nama besar dari kalangan orientalis yang menunjukkan
kecenderungan yang positif terhadap Islam dan masyarakat Islam. Salah satu dari
mereka adalah W. Montgomery Watt, yang berusaha menggugat mispersepsi,
prasangka, serta citra keliru Kristen Barat terhadap Islam. Karya-karyanya di seputar
tema tersebut adalah Muslim Christian Encounter: Perception and Misperception dan
the Influence of Islam in the Medieval Europe. Louis Massignon, orientalis asal Perancis
yang meneliti tentang Tasawuf Islam, termasuk dalam kategori orientalis yang menaruh
simpati terhadap Islam. Ia secara aktif ikut berperan memberikan masukan positif
tentang Islam kepada dunia Katolik, yang membuahkan Konsili Vatikan II (Shihab,
1999: 289).
Penilaian negatif terhadap Islam, yang selama ini berkembang di Barat,
merupakan kelanjutan dari mentalitas abad pertengahan Kristen yang antipati terhadap
Islam, demikian Norman Danied dalam bukunya, Islam and The West: The Making of
an Image dan Robert W. Southern dalam bukunya, Western Views of Islam in The
Middle Ages (Shihab, 1999: 290).
Tulisan ini bermaksud memberikan gambaran selintas tentang akar-akar
prasangka Barat kepada Islam yang kemudian memantul dalam berbagai tulisan dan
ulasan kaum orientalis terhadap agama Islam dan kaum Muslim. Untuk mempertajam
uraian tentang topik di atas, tulisan ini juga akan mengeksplorasi lebih jauh masalah
evolusi sikap Barat terhadap Islam, dan implikasinya dalam pendekatan studi Islam
yang berkembang di sana.

Pembahasan
A. Akar Prasangka Barat Kepada Islam
Orang-orang Kristen abad pertengahan mengalami kesulitan luar biasa untuk
memahami dan menyikapi Islam dan kaum Muslim. Mereka bertanya-tanya, apakah
orang Islam itu diperangi saja menurut model Perang Salib, ataukah dikristenkan,
ataukah diajak hidup berdampingan, ataukah dibina hubungan dagang yang saling
menguntungkan?. Mereka juga bingung menentukan penilaian apakah Islam itu
penyelewengan dan pecahan dari agama Kristen, ataukah sebuah agama baru?.
(Mereka orang Kristen Barat itu tidak menyadari bahwa Islam merupakan kelanjutan
dan perkembangan agama Nabi ‘Isa al-Masih).
Mereka ingin memperoleh jawaban atas semua pertanyaan itu, tetapi mereka
enggan mempelajari dan meneliti fakta tentang Islam: pertama karena halangan
kebahasaan; kedua karena sikap mereka yang tertutup, penuh prasangka, dan malah
tidak mau tahu karena takut terpengaruh oleh Islam. Orang-orang Kristen Barat
semakin bingung dengan prasangka yang semakin tebal terhadap Islam karena
mereka temukan bahwa Islam merupakan sumber ancaman bahaya yang permanen,
yang sukar diramalkan dan diukur, dan mereka tidak punya akses untuk mengetahui
sumber penggerak Islam (Madjid, 2000: 252-253).
R.W. Southern menjelaskan bahwa kesulitan orang-orang Kristen Barat
memahami Islam dan terhalang dari penilaian yang adil terhadap kaum Muslim
merupakan akibat dari jurang perbedaan tingkat kemajuan antara Eropa dan dunia
Islam. Menurut Southern, dunia Kristen dan dunia Islam tidak saja mewakili
pandangan keagamaan yang berbeda, tapi juga menampilkan sistem sosial yang
sangat lain. Selama masa abad pertengahan itu, Barat merupakan masyarakat yang

760
ciri utamanya adalah agraris, feodal, dan bersemangat kerahiban (monastik).
Sementara dunia Islam, kata southern, memiliki pusat-pusat kekuatan di kota-kota
besar, lingkungan istana yang kaya dan jaringan komunikasi yang luas. Berlawanan
dengan pandangan hidup Kristen Barat yang pada esensinya selibat (hidup semuci
tanpa kawin), bersemangat sistem kependetaan, hirarkis, Islam menampilkan sikap
hidup orang umum (tidak kenal sistem kependetaan) yang terang-terangan
mengizinkan kesenangan duniawi, pada prinsipnya bersemangat persamaan manusia
(egaliter), menikmati kebebasan spekulasi (pemikiran) yang luar biasa, tanpa pendeta
dan tidak ada biara (Madjid, 2000: 253-254).
Perkembangan dua masyarakat yang berbeda prinsip dan kesempatan itu
mengakibatkan bahwa, di satu pihak, yaitu pihak Kristen Barat, terdapat perjuangan
melewati masa kemunduran yang panjang sampai dengan akhir zaman pertengahan;
dan di pihak lain, yaitu pihak Islam, tercapai kekuasaan, kekayaan dan kematangan
secara hampir-hampir seketika, yang sampai sekarang belum terulang lagi. Dalam
jangka waktu empat abad Islam berhasil mencapai tingkat kemajuan ilmiah dan
intelektual yang oleh Kristen Barat baru dicapainya setelah melewati proses yang
jauh lebih panjang dan sulit.
Segi lain yang membedakan antara dunia Islam dengan dunia Kristen berkenaan
dengan hubungan timbal balik antara kedua sistem keagamaan itu ialah bahwa kaum
Muslim mengenal agama Kristen sejak dari penuturan Kitab Suci al-Qur’an,
sementara kaum Kristen sama sekali tidak memiliki sumber memahami Islam dari
perbendaharaan keilmuan klasik mereka sendiri. Gabungan dari berbagai faktor
situasi Kristen Barat saat itu membuat orang-orang Barat sulit sekali memahami
Islam, apalagi menerima kehadirannya secara positif. Sumber prasangka mereka
kepada Islam tidak saja berasal dari rasa takut kepadanya sebagai ancaman, tapi juga
karena mereka tidak berdaya memahaminya melalui empati.
Demikianlah gambaran tentang akar-akar prasangka Kristen Barat terhadap
Islam dan kaum Muslim. Dan perlu dicatat bahwa prasangka itu sedikit-banyak
masih bertahan sampai sekarang. Setelah melewati masa-masa imperialisme dan
kolonialisme Barat terhadap dunia Islam, prasangka tersebut semakin mendapatkan
dorongan dan perlindungan, antara lain karena sejalan dengan kepentingan politik
kaum penjajah itu sendiri.
Dorongan untuk mempelajari Islam guna kemudian “mengatasi” masalah Islam
oleh kaum sarjana kalangan Kristen Barat itu lambat laun berkembang ke arah
penerapan metodologi yang lebih jujur, obyektif dan ilmiah, serta lebih terkait
dengan pengalaman nyata daripada dengan prasangka Kristen Barat terhadap ajaran
Islam dan Nabi Muhammad Saw. Memang proses-proses itu belum seluruhnya
rampung, dan masih banyak di sana-sini sisa-sisa orientalisme yang penuh
prasangka (Said, 1994: 28).
Bukti atas pergeseran pola interaksi intelektual Kristen Barat dengan Islam
adalah mulai munculnya lembaga-lembaga kajian Islam seperti Institute of Islamic
Studies di McGill University, Montreal, Kanada (yang menjadi almamater banyak
tokoh “teknokrat keagamaan Islam” Indonesia). Bahkan sekarang ada gejala
munculnya pimpinan atau tokoh lembaga kajian Islam di Barat serupa itu yang terdiri
dari orang-orang Muslim, seperti Fazlur Rahman di Chicago, John Woods (seorang
Muslim Amerika) juga di Chicago, Robert Bianci (seorang Muslim Amerika) juga di
Chicago, Muhsin Mahdi di Harvard, Mahmud Ayub di Temple, Ismail Raji al-Faruqi
juga di Temple, Sayyed Hossein Nasr di Georgetown, Hamid Algar (seorang Muslim

761
Inggris) di Barkeley, Ismail Purnawala di Los Angeles, Uiner Turgay di McGill, dan
seterusnya (Madjid, 2000: 261).
Lebih dari itu, kini agama Islam berkembang pesat di Barat, mula-mula terdiri
dari kaum imigran yang berasal dari negeri-negeri Islam tapi kemudian meliputi pula
penduduk setempat yang berpindah ke Islam. Maka mulailah tampil tokoh-tokoh
Islam dari kalangan orang-orang Barat modern yang mengambil peran sebagai
pemikir Islam mutakhir seperti Muhammad Marmaduke Pickthal, Muhammad Asad
(Leopold Weiss), Fritjof Schuon, Martin Lings, Roger Garaudi, T.B. Irving, Maurice
Bucaille, Yusuf Islam, dan lain-lain (Madjid, 2000: 261-262).

B. Evolusi Sikap Barat Terhadap Islam


Dalam sub pembahasan ini akan dikemukakan kecenderungan-kecenderungan
baru dalam citra dan studi Barat atas Islam pada setiap kurunnya secara sepintas.
Obyek kajiannya bukan saja pandangan para sarjana, melainkan juga kesan-kesan
dan persepsi-persepsi kalangan awam yang mengenalinya.
1. Abad Pertengahan: Citra Islam Yang Didistorsi
Menurut Maxime Rodinson, orang-orang Kristen sudah mengenal orang-
orang Arab (Sarasen, Inggris: Saracen), lama sebelum Islam tampil kira-kira sejak
abad ke-4. Namun citra Barat mengenai dunia Islam baru menjadi lebih jelas
fokusnya pada abad ke-11, seiring dengan semakin kokohnya perkembangan
internal di dunia Kristen (Bangsa Norman, Hungaria, dan sebagian Slav sudah
terkonversikan ke dalam agama Kristen). Satu-satunya musuh dunia Kristen
tinggallah kaum Muslim (Rodinson, 1976: 3).
Perlu dicatat bahwa citra Kristen Eropa mengenai dunia yang dimusuhinya
tidaklah bulat. Menurut Rodinson, pemahaman orang-orang Eropa itu dapat
ditelusuri dari tiga wilayah umum. Dunia Islam, pertama-tama dan terutama,
adalah sistem politik dan ideologi yang asing bagi dan membahayakan mereka;
tetapi –kedua- juga merupakan peradaban yang benar-benar lain, dan –ketiga-
wilayah ekonomi yang jauh terpencil dan asing. Terlepas dari itu semua bahwa
rivalitas Barat dan Islam pada abad pertengahan telah menyebabkan terkuburnya
citra Barat mengenai Islam yang agak akurat, yang sebenarnya sudah mulai
tumbuh lewat kontak-kontak langsung (Watt, 1972: 73-77).
Satu-satunya sudut pandang yang obyektif mengenai Islam dan kaum
Muslim masa itu, ditemukan di kalangan pengemban ilmu pengetahuan.
Pelopornya adalah Gerbert dari Aurilac (belakangan adalah Paus Sylverter II, 999-
1003). Dari tempatnya belajar di Spanyol, ia mulai menyebarkan informasinya ke
Inggris, Lorraine, Salerno, dan—terutama—Spanyol sendiri (Rodinson, 1976: 11).
Semenjak itu, upaya penerjemahan manuskrip-manuskrip Arab mengenai ilmu
Alam dan pengetahuan teoritis tentang dunia dan manusia mulai diorganisasikan
secara besar-besaran. Lewat jalur inilah pengetahuan lebih pasti mengenai dunia
Islam sampai ke Eropa. Minat dunia Kristen Barat akan filsafat juga dipandang
berperan dalam membentuk citra mengenai Islam yang jauh berbeda. Mereka
menemukan apa yang mereka cari dalam terjemahan-terjemahan Arab. Ibn Sina
memperoleh tempat khusus di lingkungan ini. Karangan termasyhurnya, Kitab al-
Syifa’, sudah mulai diterjemahkan saat itu. Seorang filsuf Inggris, Roger Bacon
(1214-1292), menulis: “Di Yunani, filsafat terutama dihidupkan kembali oleh
Aristoteles; sedang dalam bahasa Arab oleh Ibn Sina” (Fauzi, 1999: 181-182).

762
2. Mempersempit Citra Yang Polemis: Relatifnya Ideologi
Sudah dikemukakan di atas sejumlah faktor yang mempengaruhi
berubahnya citra Barat mengenai dunia Islam: bertambahnya informasi faktual
mengenai Islam dan kaum Muslim; kontak-kontak langsung yang terus meningkat
lantaran hubungan politik dan perdagangan; apresiasi yang tinggi terhadap
prinsip-prinsip keilmuan dan filsafat yang berakar dalam di dunia Timur; dan
perkembangan gradual kesadaran Barat sendiri.
Tetapi, menurut Rodinson, unsur kunci dalam perkembangan ini adalah
transformasi dunia Kristen sendiri. Ini amat berkaitan dengan proses “sekularisasi
ideologi”, yang berlangsung sejalan dengan tumbuhnya konsep yang disebutnya
“relativitas ideologi” (Rodinson, 1976: 24-25). Konsep ini tidak populer, bahkan
pendukungnya merupakan pengecualian kecil saja, tetapi ini sangat berimplikasi
pada terbentuknya citra baru mengenai Islam dan kaum Muslim di Barat.
Bersamaan dengan itu, selama berabad-abad, Ibn Sina, Ibn Rusyd dan al-Ghazali
dalam bidang Filsafat, juga Ibn Sina, Haly bin ‘Abbas dan al-Razi dalam bidang
kedokteran, serta sejumlah nama lain dalam bidang pengetahuan lain, menjadi
milik dunia. Karya-karya mereka disalin, dicetak ulang, dikomentari dan dikaji.
3. Merambah Jalan Baru: Koeksistensi dan Rekonsiliasi
Dari akhir abad ke-14, tampilnya Turki Utsmani mengalahkan orang-orang
Kristen Balkan memunculkan minat baru akan agama Islam. Sementara semangat
Perang Salib sulit dihidupkan kembali, para teolog Kristen pun mulai meragukan
efektifitas kekerasan senjata atau kegiatan misionaris yang damai. Mereka mulai
mempertimbangkan kemungkinan dialog intelektual untuk mencari dan
mempererat misi bersama Islam dan Kristen. Sambil mengutip ungkapan Robert
W. Southern, Rodinson menyebut masa ini sebagai moment of vision. Ini terutama
berlangsung sekitar masa jatuhnya Konstantinopel, antara 1450-1460 (Rodinson,
1976: 24-25).
4. Era Renaissance: Dari Koeksistensi ke Obyektivitas
Studi mengenai Timur Islam yang obyektif menjadi lebih mudah dengan
adanya kontak-kontak politik yang erat, hubungan-hubungan ekonomi yang
meningkat, serta jumlah pengelana dan misionaris ke Timur yang makin banyak.
Dan dengan runtuhnya dominasi ideologi agama Kristen di Eropa, para negarawan
dan pedagang sangat membutuhkan studi yang obyektif ini. Kini, Timur tidak lagi
dilihat dari sudut pandang dekat-jauhnya perbedaannya dengan moralitas Kristen.
Sistem politik, administrasi, dan militer Turki Utsmani menjadi bahan studi
mendalam. Sebagiannya dikritik dan sebagian lainnya malah dipuji. Secara
keseluruhan, Timur Islam dipandang sebagai wilayah yang kaya dan makmur,
dengan tingkat peradaban yang tinggi, arsitektur yang indah, dan istana-istana
kerajaan yang mempesonakan (Rodinson, 1976: 24-25).
Selain itu, ruh kosmopolitanisme dan ensiklopedisme era Renaissance juga
mendukung studi-studi atas Timur Islam dan Timur Dekat. Tapi, ini belum
menjurus ke eksotisme, baik dalam seni maupun cara menjalani hidup. Eksotisme
baru muncul pada abad ke-17, dan membanjiri bidang seni pada abad ke-18.
Sejauh ini, indikasi ke arah eksotisme sama sekali baru di permukaan, misalnya
ketika beberapa orang yang baru kembali dari Timur mengenakan pakaian-
pakaian ala Turki (Rodinson, 1976: 24-25).

763
5. Lahirnya Orientalisme
Dalam upaya untuk menemukan budaya berlingkup dunia, juga karena
dorongan kepentingan-kepentingan politik dan ekonominya, Humanisme dan
Renaissance memperlebar studi-studi awal ini kepada studi-studi atas Muslim
secara luas. Guillaume Postel (1540-1581), yang oleh Rodinson dipandang
sebagai “benar-benar tipikal seorang sarjana Renaissance”, berperan besar dalam
memperkaya studi atas bahasa-bahasa dan orang-orang Timur Islam ini. Ia juga
berjasa dengan koleksi naskah ketimurannya yang penting (Rodinson, 1976: 45).
Ikatan-ikatan dan minat-minat yang mulai berkembang saat itu, dengan
banyak contoh lainnya, ditambah dengan kecenderungan umum untuk mulai
mengorganisasikan penelitian-penelitian ilmiah, berujung pada munculnya
jaringan kaum “orientalis” yang mulai bersemi. Kursi untuk pengajaran bahasa
Arab pertama-tama diadakan di College de France pada 1539, dan dipercayakan
kepada Guillaume Postel. Koleksi-koleksi manuskrip penting di perpustakaan
mulai tersedia. Spesialis-spesialis lahir, dengan pertama-tama mensuplai karya-
karya dalam “ilmu bantu”: tata bahasa, kamus-kamus dan naskah-naskah
suntingan. Yang paling menonjol adalah dua sarjana Belanda: Thomas van Erpe
(1584-1624), yang antara lain menerbitkan karya pertama mengenai Arabic
gramatical, dan muridnya Jacob Golius (1596-1667). Sementara itu, kursi untuk
pengajaran soal-soal ketimuran semakin bertambah. Francis van Revelingen
(1539-1597) mengajar bahasa Arab di Leiden pada 1593. Paus Urban VII, pada
tahun 1627 di Roma, mendirikan College of Propaganda, satu pusat studi yang
hidup. Sedang Edward Pecock diberi kepercayaan menduduki kursi pengajaran
bahasa Arab di Oxford pada 1638. Puncaknya, untuk sementara, adalah ketika B.
d’Herbelot (1625-1695) memanfaatkan bahan-bahan yang sudah ada untuk
menulis ensiklopedi Islam pertama di Barat. Karyanya itu diterbitkan oleh A.
Galland pada 1697 (sesudah ia wafat), dengan judul Bibliotheque Orientale
(Fauzi, 1999: 186).
6. Abad Pencerahan: Islam Yang Rasional
Barat kini mulai dapat melihat agama yang berbeda dengan Kristen dalam
sudut pandang yang tidak berat sebelah dan malah simpati. Sejalan dengan makin
kuatnya kecenderungan rasionalisme yang kala itu mengarah kepada pertentangan
dengan agama Kristen. Barat mulai mencari nilai-nilai pokok yang sejalan dengan
kecenderungan rasionalisme itu. Pada abad ke-17, sejumlah penulis mulai
menanggalkan praduga dan ciri polemis pandangan abad pertengahan tentang
Islam dan kaum Muslim seperti Ricard Simon (1638-1712), melalui bukunya
Histoire critique des nations du Levant. Dan karena itu pula, ia dituduh Antoine
Arnauld (1612-1694) sebagai orang yang “terlalu obyektif” terhadap Islam. Arah
yang ditempuh oleh Simon terus berlanjut bahkan generasi berikutnya mulai
bergeser dari obyektivitas kepada kekaguman. Alhasil, abad ke-18 ditandai oleh
keinginan untuk melihat Timur Islam dari sudut pandang yang lebih memadai
(Fauzi, 1999: 187-188).
7. Abad ke-19: Eksotisme, Spesialisasi, dan Imperialisme
Pada awal abad ke-19, terdapat tiga kecenderungan yang menonjol: rasa
superioritas Barat yang ditandai oleh pragmatisme, imperialisme, dan penghinaan
terhadap peradaban-peradaban selainnya: eksotisme romantis yang terpesona oleh
Timur yang magis dan yang kemiskinannya –yang mulai tumbuh- tiada lain
kecuali menambah “keanehannya”; dan kesarjanaan yang terspesialisasi dengan

764
perhatian utama pada abad-abad lampau. Ketiga kecenderungan ini saling kait-
mengkait satu sama lain.
Eksotisme romantis, di mana “daya tarik” Timur (Oriental mystique) tidak
muncul lantaran perubahan dalam hubungan Timur-Barat, melainkan dari
transformasi internal masyarakat Barat yang peka dengan hal-hal asing. Kalau
sebelumnya semua apa yang dianggap asing menarik perhatian, kini yang paling
anehlah yang disukai. Yang perlu digarisbawahi dari pertumbuhan eksotisme
romantis ini adalah dukungannya kepada bertambah populernya studi-studi
ketimuran. Johann Herder (1744-1803), orang Jerman peminat berat kesusastraan
Timur, dalam esai-esainya mengenai sejarah universal, menempatkan kontribusi
kaum Muslim di tempat pertama. Baginya, orang-orang Arab adalah “guru orang-
orang Eropa” (Rodinson, 1976: 60).
Kolonisasi Eropa dimulai dengan Perancis memasuki Aljazair pada 1830,
dan Inggris memasuki Aden pada 1839. Kontrol Inggris atas India dan Malaysia
hanya langkah lanjutan dari kontrol Belanda atas Indonesia. Timur kini dilihat
sebagai lahan reruntuhan peradaban besar. Kemungkinannya untuk sehat kembali
(recovery) dan menggalakkan modernisasi tidak mengundang gairah Eropa.
Alasannya, Timur akan kehilangan eksotismenya. Jika pada abad pertengahan,
Timur dipandang sebagai rekanan Barat yang setingkat, maka pada abad
pencerahan, Timur dipandang sebagai “orang lain”. Dan pada abad ke-19, Timur
menjadi sesuatu yang agak lain, yang terkunci dalam kekhasannya sendiri. Dari
sinilah muncul gagasan homo islamicus di Barat.
Akhirnya, sejak pertengahan abad ke-19, satu fenomena besar lebih dari
fenomena mana pun, mempengaruhi citra Barat atas Timur: imperialisme. Ini mau
tidak mau memperkuat Eurosentrisme yang sudah mapan sebelumnya pada abad
ke-18, yang ditunjang oleh ideologi universalis abad pencerahan. Rodinson
menyebut Eurosentisme ini sebagai Eurosentrisme yang “tak sadar”. Semenjak
abad ke-19, bergandengan dengan imperialisme, yang berkembang adalah
Eurosentrisme yang “sadar”, yang secara intelektual memang sengaja
dikembangkan dan mengarah kejurusan yang destruktif (Rodinson, 1976: 73).
Mundurnya Timur juga menjadi target empuk upaya-upaya missionaris
Kristen yang berjalan seiring dengan imperialisme. Opini populer pun tumbuh:
mundurnya Timur disebabkan karena basisnya Islam, sementara gemilangnya
Eropa tiada lain sebab sokongan agama Kristen. Persepsi yang tumbuh pun
begini: kalau Kristen secara inhern sangat mendukung kemajuan, maka Islam –
sejak awalnya- tidak mendukung apa pun kecuali perkembangan dan kebudayaan
stagnan. Karenanya, resistensi atas dominasi Barat dipandang sebagai konspirasi
keji. Tidak heran, jika Pan-Islamisme dilihat sebagai hantu yang menakutkan,
meskipun lingkupnya masih sangat lokal.
8. Eurosentrisme Ditantang
Sebagaimana juga terhadap berbagai bidang sosial-budaya, Perang Dunia I
membawa pengaruh pada bidang studi ketimuran. Jelasnya, ia telah berhasil
memporak-porandakan kepercayaan diri –atau malah etnosentrisme- Eropa, yang
sebelumnya begitu yakin akan keberlangsungan dan ketakterbatasan kemajuan
kebudayaan mereka. Supremasi mereka kini ditantang oleh berbagai fenomena
kebangkitan di kalangan bangsa-bangsa Timur bekas jajahan mereka:
nasionalisme Arab, Kemalisme Turki, kebangkitan India dan Indonesia melawan

765
imperialisme, hingga berbagai gerakan bangsa-bangsa yang semula tunduk di
bawah kekaisaran Rusia.

C. Pendekatan Studi Islam di Barat


Tidak mudah untuk mengidentifikasi pola-pola pendekatan studi Islam yang
berkembang di kalangan kaum orientalis. Pasalnya, orientalisme memiliki sejarah
panjang yang selalu mengalami transformasi sikap terhadap Islam, mempunyai jaringan
yang besar dan luas (bukan sebuah institusi yang baku), serta kaya akan tokoh-tokoh
dan naskah-naskah yang tidak jarang berseberangan pandangan bahkan saling
berbenturan satu sama lain. Terlebih lagi, banyak sarjana Muslim berlatar belakang
pendidikan Barat yang terpengaruh oleh pola-pola kajian kaum orientalis yang menjadi
“ustad” mereka, sehingga mereka pun layak untuk ditempatkan dalam jajaran tokoh
orientalis (Jameelah, 1982: 129-148).
Namun demikian, ciri khas kajian kaum orientalis terhadap sumber utama ajaran
Islam (al-Qur’an dan Hadis) adalah penerapan analisa yang sangat luas dan tidak
terbatas terhadap keduanya, dengan menggunakan metode sejenis higher cristicism
yang telah digunakan kaum skeptis Kristen terhadap Bibel. Di sini, al-Qur’an
diposisikan sama dengan kitab suci agama-agama lainnya yang telah mengalami
perubahan dan modifikasi seiring dengan aliran waktu. Kaum orientalis itu, melalui
pseudo-ilmiah riset, berani menyatakan bahwa kitab suci al-Qur’an serta Hadis,
keduanya merupakan rekayasa dan bukan merupakan wahyu yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad Saw (Jameelah, 1982: 129).
Dalam mengutak-atik historisitas beberapa kejadian yang dituturkan al-Qur’an,
banyak di antara para intelektual Barat yang memandang al-Qur’an sebagai buku
sejarah yang interpretatif, kasuistis dan temporal (Shihab, 2000: 295). Konsekuensinya
adalah harus dibedakan secara tegas antara bagian-bagian sejarah dalam kitab suci
tersebut yang hanya sesuai dengan masyarakat Arab primitif pada masa Nabi, dan
aspek-aspek ajaran serta prinsip-prinsip moral yang berlaku universal dan abadi
(Jameelah, 1982: 130).
Menarik kiranya mencermati uraian Mark R. Woodward tentang pola
pendekatan studi para sarjana Barat terhadap wacana dan prilaku keagamaan umat
Islam. Menurutnya, para intelektual Barat itu hanya menawarkan analisis-analisis yang
tidak bersifat teologis, yang dapat difahami kaum Muslim sebagai penegasan akan
kebenaran iman mereka, atau sebaliknya, sebagai penolakan atasnya. Memang,
mengingat corak kontroversial yang secara inhern ada dalam studi-studi Barat mengenai
Islam dalam wacana kaum Muslim, maka pretensi untuk bersikap obyektif dan netral
secara teologis sulit untuk dipertahankan. Terlepas dari seruan intrinsik dalam penelitian
dan penulisan ilmu-ilmu sosial dan humaniora, ada batas-batas yang mengatur hingga
tingkat mana kalangan non-Muslim (baca; orientalis) dapat berpartisipasi dalam wacana
kaum Muslim (Woodward, 1999: 17-18).
Para penulis Barat dapat memaparkan atau mendeskripsikan corak wacana kaum
Muslim dan mengembangkan teori-teori tentang asal-usul historis dan teologis berbagai
klaim dan kontraklaim yang dicakupnya, tanpa penelitian etis apa pun. Mereka dapat
menunjuk bagaimana wacana dibentuk oleh konteks sosial, budaya, politik dan
ekonomi. Para sarjana yang “netral”, yakni yang tidak menganut agama yang sedang
ditelitinya, dapat pula mengajukan kritik-kritik terhadap wacana kaum Muslim, namun
mereka harus menahan diri untuk tidak mengemukakan pernyataan atau penilaian
teologis. Sebagai orang luar, mereka harus hati-hati agar tidak tergoda untuk

766
mengemukakan kritik terhadap wacana Islam dari paradigma sekular. Mereka dapat
memaparkan atau mendeskripsikan Islam, tetapi tidak mendefinisikannya.
Lebih lanjut Woodward menandaskan bahwa sangat penting untuk disadari
bahwa klaim kebenaran dalam ilmu sosial dan humaniora yang sekular itu, tidak boleh
dicampuradukkan dengan klaim kebenaran teologi Islam. Jika analisis historis
dicampuradukkan dengan pencarian akan kebenaran agama, maka kedua upaya itu akan
menemui kegagalan. Sudah terlalu sering para sarjana Muslim dan publik pembaca
Muslim pada umumnya mencampuradukkan upaya para sarjana Barat untuk memahami
sejarah Islam dengan “konspirasi orientalis” untuk menghancurkannya. Serupa dengan
itu, para sarjana Barat juga sering menerima pernyataan-pernyataan kaum Muslim
mengenai apa yang Islam dan apa yang bukan Islam begitu saja, sehingga mereka
dengan tidak hati-hati menyertakan kriteria teologis ke dalam analisis historis atau
sosiologis (Woodward, 1999: 19).
Dalam hal ini, di antara isu yang paling kontroversial bagi kaum Muslim
maupun bagi sarjana yang mengambil jarak adalah pertanyaan yang kelihatannya sangat
sederhana, yakni: “Apakah Islam itu?.” Bagi para sarjana yang mengambil jarak dan
dididik dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora, pertanyaan itu terkait dengan akar-akar
historis dan tekstual dari sistem kepercayaan, praktik dan wacana; sedang bagi seorang
Muslim, pertanyaan itu berkaitan dengan apa yang oleh umat Islam dipandang sebagai
Islami dalam pemahaman yang imbang. Kesulitan mulai muncul ketika di antara kaum
Muslim sendiri, yakni di antara sesama pemeluk Islam, terjadi perbedaan mendasar
mengenai apa itu Islam dan bahkan seringkali pihak-pihak yang berbeda pandangan itu
bersikap saling mengkafirkan.
Bagi para sarjana Muslim, pertanyaan “Apa itu Islam?,” memiliki makna
teologis yang sangat penting. Dalam salah satu pengertian teologis, Islam artinya
“tunduk kepada Allah.” Seseorang yang tunduk kepada Allah adalah seorang Muslim.
Maka, seseorang yang tidak melakukan hal itu berarti berada di luar komunitas kaum
Muslim. Ketika para sarjana Muslim mencirikan seseorang sebagai “non-Muslim” atau
“Muslim sekadarnya”, itu artinya mereka sedang berbicara dalam bahasa teologi dan
sedang mengajukan pertanyaan-pertanyaan serius mengenai kemungkinan orang itu
memperoleh keselamatan dalam kehidupan ini.

Penutup
Penting untuk ditarik sebagai kesimpulan dari paparan di atas bahwa citra dan
studi Barat atas Timur, khususnya Timur Islam, yang cukup memadai dan obyektif
sebenarnya sudah muncul sejak awal-awal kontak kaum Muslim dan orang-orang
Eropa, terutama di kalangan pengemban ilmu pengetahuan dan filsafat. Tetapi benih ini
mati dilibas oleh kecenderungan besar rivalitas ideologis Islam-Eropa, terutama Islam-
Kristen, yang dipelopori terutama oleh para politisi, agamawan berwawasan dangkal,
dan awam yang militan.
Terkait dengan studi terhadap ajaran Islam, komitmen terhadap obyektivitas
keilmuan yang dituntut oleh para akademisi, sama sekali tidak berarti bahwa komitmen
keagamaan dapat ditanggalkan. Bagi seorang muslim yang melakukan studi al-Qur’an,
dia dituntut untuk tidak melepaskan dirinya dari komitmen keagamaan akan kebenaran
al-Qur’an. Pasalnya, ketika seorang muslim lalai atau dengan sengaja tidak
membentengi dirinya dengan prinsip dasar ini, ia dikhawatirkan akan larut dalam arus
deras “obyektifitas ilmiah yang bersifat kritis terhadap teks keagamaan” yang sedang
dikembangkan oleh dunia akademis Barat.

767
Dalam iklim akademis yang cenderung menelaah secara kritis hingga ke tingkat
dekonstruksi terhadap teks-teks keagamaan, kaum Muslim harus waspada dan hati-hati
untuk tidak ikut arus hanya demi mencapai pengakuan dari dunia akademis Barat.
Sayangnya, beberapa cendekiawan muslim di Barat tanpa sadar ikut menari seiring
dengan irama kendang yang menghanyutkan, yang ditabuh para cendekiawan Barat ini.

BIBLIOGRAPHY
Hodgson, Marshall G.S. 1974. The Venture of Islam 3. Chicago: The University of
Chicago Press.
Rodinson, Maxime. 1976. Europe and The Mystique of Islam. Ter. Roger Veinus.
Seattle, Washington: George Washington University Press.
Said, Edward. 1994. Orientalisme. ter. Asep Hikmat. Bandung: Pustaka.
Shihab, Alwi. 1999. Islam Inklusif. Bandung: Mizan.
Watt, W. Montgomery. 1972. The Influence of Islam on Medieval Europe. Edinburgh:
Edinburgh University Press.
Madjid, Nurcholish. 2000. Islam Agama dan Peradaban. Jakarta: Paramadina.
Jameelah, Maryam. 1982. Islam dan Moderenisme. ter. A. Jainuri dan Syafiq A.
Mughni. Surabaya: Usaha Nasional.
Woodward, Mark. R. 1999. “Indonesia, Islam dan Orientalisme: Sebuah Wacana Yang
Melintas.” Dalam Jalan Baru Islam: Memetakan Paradigma Mutakhir Islam
Indonesia. ed. Mark R. Woodward. Bandung: Mizan.
Ali, Mukti. 1997. Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia. Bandung: Mizan.
Fauzi, Ihsan Ali. 1999. “Orientalisme Di Mata Orientalis.” Dalam Dekonstruksi Islam
Madzhab Ciputat. Ed. Edy A. Effendi. Bandung: Zaman.

768

Anda mungkin juga menyukai