Anda di halaman 1dari 26

Pengambaran Media Barat Terhadap Muslim dan Islam di Barat

(Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough)

M. Abdulnuur Arroiyan
Bahasa dan Sastra Arab – UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang, Indonesia
Surel: 19310018@student.uin-malang.ac.id

Abstract

This journal is a meta-analysis that investigates how Muslims and Islam are
portrayed by the Western media. It is intended that the Western media often
represents Muslims as killers, traps them as terrorists and also presents
misinformation about Muslims and Islam. this journal also presents pragmatic
evidence of this, then the Western media with Muslims and Islam which follow
certain framing patterns based on their deviance. In this paper secondary data
based on Norman Fairclough's critical discourse analysis have been used to
explore the clear concept of Islamophobia. However, as scientific investigations
on this topic are still relatively numerous and this journal seeks to contribute new
thoughts and ideas about, how to better understand, conceptualizing and further
understanding Islamophobia. The result of research in this journal is a framing
data which describes how the Western media depicts Islam in a discriminatory
manner so that there is a disruption of the mechanism that spreads racism and the
impact of western media reporting on Islam which influences the social condition
of society.

Keyword: Muslims, Islamophic, Western media,


Abstrak

Jurnal ini adalah meta-analisis yang menyelidiki bagaimana umat Islam dan Islam
digambarkan oleh media Barat. Ini bertujuan bahwa media Barat sering
merepresentasikan umat Islam sebagai pembunuh, menjebak sebagai teroris dan
juga menghadirkan informasi yang salah tentang Muslim dan Islam. jurnal ini pun
menyajikan bukti pragmatis tentang hal tersebut, lalu media Barat dengan Muslim
dan Islam yang mengikuti pola pembingkaian tertentu berdasarkan
penyimpangannya. Dalam jurnal ini data sekunder yang berlandaskan pada
analisis wacana kritis Norman Fairclough telah digunakan untuk menggali konsep
yang jelas dari Islamofobia. Namun, sebagai penyelidikan ilmiah tentang topik ini
masih relatif banyak dan jurnal ini pun berusaha untuk berkontribusi pemikiran
dan gagasan baru tentang, bagaimana memahami dengan lebih baik,
mengkonseptualisasikan dan selanjutnya memahami Islamofobia. Hasil dari
penelitian pada jurnal ini adalah sebuah freming data yang mengambarkan
bagaimana media Barat mengambarkan Islam secara diskriminatif sehingga
menyebarkan rasisme serta dampak dari pemberitaan media barat terhadap Islam
yang mempengeruhi keadaan sosial masyarakat.

Kata Kunci: Umat Islam, Islamofobia, media barat

PENDAHULUAN

Islamofobia bukanlah isu kontemporer, jejaknya dapat ditemukan sebelum masuknya


media dan globalisasi. Namun, kata seperti "kita" dan "mereka" di media Barat baik cetak
maupun digital menjadi terlihat setelah peristiwa 9/11, aksi terorisme terkait dengan
Muslim. Serangan 9/11 menyebabkan penggambaran komunitas Muslim sebagai
bertanggung jawab atas terorisme di seluruh dunia, khususnya di Barat. hal tersebut
membuat sikap media Barat mempromosikan sentimen xenofobia dan kebencian terhadap
umat Islam. kata dari "kita" dan "mereka" tidak dapat didefinisikan tanpa merujuk ke
Orientalisme dikarenakan Orientalisme adalah definisi yang baik kritik terhadap narasi
Muslim di Barat. dan Orientalisme adalah ideologi yang mendasari hubungan antara Islam
dan Barat. hal itu relevan untuk menyebutkan bahwa orientalisme bukanlah filosofis atau
entitas linguistik tetapi merupakan produk dari keduanya. Gagasan Orientalisme berasal
dari studi penting Said Orientalisme. Pemikiran Barat tentang dunia Islam diilhami oleh
hubungannya dengan imperialisme, pada prinsipnya. Imperialisme adalah paham yang
memfokuskan diri mengembangkan wilayah kekuasaan di luar teritorialnya dengan cara
merebut wilayah lain (dengan cara berperang atau damai) atau menduduki wilayah-
wilayah yang tidak bertujuan (Mulya, 2012 hal. 8).

Orientalisme juga merupakan keadaan pikiran yang membuat orientasi berbeda dan
"lainnya". Dalam beberapa teks, orientasi juga dianggap sebagai antitesis dari barat atau
Barat seperti dalam karya Poorebrahim. konstruksi ini pun secara ideologis dapat di sketsa
dari ekspansi imperialisme Barat di mana Barat versus Dikotomi 'Timur' dibangun. Selain
itu konstruksi pengertian Barat merupakan hasil dari munculnya sebuah wacana yang
mewakili dunia sebagai terbagi menurut dikotomi sederhana ke arah barat. Oleh karena itu,
hal tersebut mengemukakan alasan bagaimana konsep Islam terutama negatif dan
mengakibatkan Barat secara radikal dan peluang yang membentuk kerangka kerja yang
membatasi pengetahuan tentang Islam. Pada bulan Agustus 2016, seorang Imam dan
muridnya ditembak dan dibunuh di New York City dekat sebuah masjid. Di bulan
Desember sama tahun seorang pria memasuki sebuah masjid di Zurich, Swiss, dan mulai
menembak Tanpa pandang bulu, dua orang tewas termasuk pelakunya.1 Pada bulan Januari
2017 sembilan orang tewas di masjid Quebec City di Kanada 2. Di sana adalah beberapa
contoh lain dari tindakan teroris Islamofobia ini. Di sebagian besar peristiwa ini, tempat

1
https://www.voa-islam.com/read/world-news/2016/08/14/45623/imam-muslim-dan-asistennya-
ditembak-mati-di-new-york-as/
2
https://kumparan.com/kumparannews/rangkaian-aksi-kekerasan-terhadap-umat-islam-di-kanada-
sepanjang-2017-2021-1vv9AnlcDFc
yang akan diserang dipilih sebagai Masjid yaitu tempat ibadah bagi kaum muslimin. Dan
strategi ini yang dipilih untuk implementasi dari peristiwa ini jelas mencerminkan invasi
atau operasi militer. Seringkali xenophobia, yang mempromosikan sentimen anti-Islam,
ditemukan menyebut ujaran kebencian mereka sebagai kebebasan berekspresi. penyebaran
ujaran kebencian dapat menjadi alasan bagi setiap Islamofobia, xenofobia, rasis atau
perilaku menghina lainnya. Baik itu di mana saja di dunia apakah itu adalah Holocaust atau
tindakan Islamofobia apa pun, kekuatan sebenarnya di balik ini tindakan adalah retorika
kebencian Persamaan yang signifikan antara anti-Semitisme pra-Nazi dan pandangan
xenofobik terhadap Muslim.

Masalah dalam jurnal ini pun adalah media dimana media adalah agen sosial yang
memiliki kemampuan untuk mengubah pemikiran komunitas dan persepsinta bahkan
pengaruhnya dapat berdampak serius pada kelompok minoritas dengan membahayakan
keberadaan damai mereka. hal ini pun tergantung dari apa yang media Barat terbitkan,
katakan dan apa yang di bagikan lalu bagaimana orang memandang informasi tentang Islam
dan Muslim. Lebih sering Islamofobia Pandangan media Barat mempengaruhi massa untuk
memiliki sikap anti-Islam pandangan yang menghasilkan aktivitas kekerasan terhadap umat
Islam. Hal ini diamati oleh para ahli bahwa media Barat sering menampilkan umat Islam
sebagai komunitas ortodoks dan teroris atas dasar perbedaan budaya, agama, ideologi,
geografi, gender dan ras Namun, saat ini ketika kejahatan kebencian anti-Muslim telah
mencapai ketinggian baru dari Islamofobia sangat penting untuk menggali akar masalah ini.
Ujaran kebencian bukanlah kebebasan berekspresi jika memicu sentimen kebencian
terhadap kelompok agama atau etnis. Islamofobia dan rasisme atau lainnya yang
berperilaku menghina mungkin merupakan hasil dari propagasi dan diseminasi ujaran
kebencian melalui media tersebut. Dan tujuan dari penelitian ini pun adalah untuk
mengeksplorasi bagaimana kata dari “kami” dan “Mereka‟ dibangun di media Barat.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana Muslim dan Islam terwakili di
media Barat.
Berbagai sumber bacaan dari penelitian terdahulu yang mengkaji kasus yang serupa
akan digunaka pada penelitian ini. Penelitian terdahulu pertama adalah sebuah jurnal karya
Fauzan Novaldy Pratama dan Dadang Sudana yang berjudul “Perspektif Para Akademisi
Pada Artikel Daring The Conversation Terhadap Islamphobia: Analisi Wacana Kritis”
membahas mengenai teks wacana dari para akademisi pada laman daring The Conversation
bertemakan Islamophobia yang bertujuan untuk melihat perspektif ideologi dominan
yang melatar belakangi penulisan wacana tersebut. Penelitian ini mengadopsi pendekatan
kualitatif yang berkutat dengan teks secara langsung. Data berupa dua artikel dengan
penanda khusus Islamohobia.

Penelitian terdahulu kedua adalah sebuah jurnal yang ditulis oleh Yuliana
Rakhmawati yang berjudul “The Muslim Show : Soft Contra “Labeling” Melalui Media
Sosial” Jurnal ini membahas tentang komik TMS yang mengandung nilai-nilai dakwah
yang merupakan sebuah alat penyampayain pesan perdamaian dengan metode komunikasi
teks yang dianalisi secara tanda, makna, bukanlah entitas yang hadir dengan sendirinya
melainkan melalui kontruksi terhadap tanda yang direferensikan. Penelitian terdahulu
ketiga adalah skripsi yang ditulis oleh Selvi Wardany yang berjudul “Representasi
Islamphobia Dalam Film Fitna (ANALISIS SEMIOTIK TERHADAP FILM
DOKUMENTER KARYA GREET WILDER) skripsi ini membahs tentang sebuah film
yang berjudul Fitna yang sangat kontroversi dengan memunculkan simbol-simbol ajaran
islam dan mengarah pada gerakan kebencian dan ketakutan berlebihan terhadap islam,
skripsi ini diteliti dengan penelitian kualitatif dengan pendekatan semiotik teori Roland
Barthes. Data yang digunakan bersumber dari film yakni potongan gambar, kara-kata,
suara, dialog dan narasi. Hal ini untuk mengetahui makna denotasi, konotasi, dan mitos
yang merepresentasikan Islamophobia dalam film Fitna.
Penelitian terdahulu keempat adalah sebuah jurnal yang ditulis oleh Maisi Rafidah
yang berjudul ” Perspektif Islamphobia Pasca Tragedi 11 September 2001” Jurnal ini
membahas tentang Terjadinya peristiwa runtuhnya gedung WTC dan Pentagon pada
11 September 2001 di New York mengakibatkan banyak Muslim mengalami
diskriminasi dari warga non-Muslim Amerika. Ada begitu banyak anggapan salah satunya
di media Barat, bahwa mereka menganggap masyarakat Muslim terkesan radikal dan kerap
melakukan kekerasan serta anti perdamaian. Muslim bahkan dianggap sebagai penganut
Islam konservatif. Penelitian terdahulu kelima adalah skripsi yang ditulis oleh Mundi
Rahayu yang berjudul “Representasi Muslim Arab Dalam Film Hollywood: Analisi
Wacana Kritis Muslim Other dalam Sinema Hollywood” skripsi ini mengkaji tentang
representasi identitas Muslim Arab dalam film-film Hollywood, melalui tiga film yang
diproduksi sebelum dan sesudah peristiwa pemboman 11 September 2001. Disertasi ini
menyodorkan permasalahan representasi identitas Muslim Arab, melalui wacana
barbarisme, polarisasi identitas Muslim Arab dan identitas perempuan Muslim Arab. Kajian
ini bertujuan untuk memahami politik representasi identitas Muslim Arab yang dilakukan
oleh sinema Hollywood.

METODOLOGI PENELITIAN

Jurnal ini menggunakan metodologi kualitatif eksplanatif. Metode kualitatif


eksplanatif akan menghasilkan beberapa penjelasan mengenai bagaimana Media Barat
menggambarkan Muslim dan Islam di Barat. Hal Ini bertujuan untuk melihat media Barat
yang sering menggambarkan Muslim sebagai pembunuh, menjebak sebagai teroris dan juga
menyajikan informasi yang salah tentang kaum muslimin dan Islam.

Secara teoretis yaitu teori framing, media telah diadopsi untuk mengeksplorasi
bagaimana kebencian menimbulkan sentimen kebencian terhadap Muslim dan Islam dan
bagaimana narasi Islam sebagai agama terorisme dibangun oleh media Barat dengan
menggunakan cara cara tertentu. Teknik pengumpulan data dari penelitian ini melalui studi
pustaka berupa kutipan-kutipan dari berbagai media dan data sekunder bersumber dari
refrensi yang terkait dengan topik penelitian melalui pendekatan Analisi wacana Kritis
Norman Fairclough.

KAJIAN TEORI

ANALISIS WACANA KRITIS

Kajian tentang wacana belakangan menjadi popular di kalangan intelektual lintas


disiplin ilmu, baik dalam keilmuan linguistik, sosiologi, psikologi, kajian budaya, dan lain-
lain. Diinisiasi dari kajian linguistik, perkembangan wacana lintas disiplin ini pada
gilirannya menghasilkan beragam konsep dan pemaknaan terhadap wacana tersebut karena
adanya perspektif yang berbeda dari masing-masing disiplin tersebut. Bahkan, sejalan
dengan perkembangan keilmuan yang berubah secara dinamis, konsepsi wacana dalam satu
disiplin ilmu juga berkembang dan beragam. Kelemahan dari konsepsi wacana yang
dikembangkan oleh pemikir sebelumnya dikritik dan direkonstruksi oleh pemikir lainnya.
Ini mengakibatkan konseptualisasi wacana tidak pernah berakhir.

Wacana dipandang sebagai sederetan kalimat yang memiliki hubungan kohesi dan
koherensi. Beberapa definisi wacana di atas memaknai wacana hanya sebatas satuan lingual
yang terbesar dalam hirarki gramatikal. Wacana dalam beberapa pengertian tersebut,
menurut Eriyanto (2012), dimaksudkan untuk menggambarkan tata aturan kalimat, bahasa,
dan pengertian bersama. Kebenaran/ketidakbenaran sebuah wacana diukur berdasarkan
kaidah sintaksis dan semantik. Berbeda halnya dengan Jorgensen dan Phillips (2010), yang
memandang wacana sebagai gagasan umum bahwa bahasa ditata menurut pola-pola yang
berbeda yang diikuti oleh ujaran para pengguna bahasa ketika mereka ambil bagian dalam
domain-domain kehidupan sosial yang berbeda, misalnya domain ‘wacana medis’ dan
‘wacana politik’. Salah satu karakteristik analisis wacana adalah mendeskripsikan teks dan
percakapan dengan menggunakan teori-teori yang berkembang dalam beberapa tingkatan
atau dimensi wacana.

Wacana dalam pengertian ini tidak hanya sekadar satuan lingual yang lebih besar dari
kalimat, tetapi juga wacana memiliki peran dalam domain-domain kehidupan sosial.
Wacana memiliki peran dalam merekonstruksi dan mereproduksi realitas yang ada di
kehidupan sosial, sehingga realitas tersebut tidak bisa lagi ditafsirkan apa adanya melainkan
telah terdistorsi oleh kepentingan tertentu. Tugas utama media massa termasuk media
online adalah mengonstruksi realitas menjadi teks berita. Dalam proses konstruksi realitas,
bahasa menjadi instrumen utama. Media online memanfaatkan bahasa untuk menyebarkan
informasi ke ruang publik. Bahasa dimanfaatkan dalam hal transfer ideologi pemilik media.
Oleh karena itu, berita-berita yang hadir di ruang publik tidak bisa lagi dimaknai apa
adanya, tetapi harus dimaknai secara kritis. Hal ini disebabkan berita-berita tersebut telah
dilumuri oleh berbagai kepentingan, di antaranya kepentingan institusi media, institusi
politik, dan penguasa.Proses pemroduksian dan pemahaman teks, interaksi antarpengguna
bahasa, dan fungsi sosial dan kultural wacana perlu dijadikan sebagai objek kajian. Hal itu
terjadi karena teks hanya merupakan hasil suatu praktik produksi. Oleh sebab itu, dalam
analisis wacana, harus dianalisis juga proses produksi teks sehingga diperoleh pengetahuan
tentang faktor-faktor yang melatarbelakangi lahirnya teks. Dengan demikian, proses
analisis wacana melibatkan proses kognisi sosial, yang sebenarnya diadopsi dari bidang
psikologi sosial.

Menurut Van Dijk, wacana dibangun oleh tiga dimensi, yaitu teks, kognisi sosial, dan
konteks sosial. Inti analisis Van Dijk adalah menggabungkan ketiga dimensi wacana
tersebut ke dalam satu kesatuan analisis. Dalam dimensi teks, yang dianalisis adalah
penggunaan struktur teks dan strategi wacana untuk menegaskan tema tertentu. Dimensi
kognisi sosial, memfokuskan kajian pada proses produksi teks yang melibatkan kognisi
individu penulis. Dimensi konteks sosial, mengkaji bangunan wacana yang berkembang
dalam masyarakat tentang suatu masalah.

Dalam analisis wacana dikenal adanya tiga sudut pandang mengenai bahasa.
Pandangan pertama, bahasa dilihat sebagai jembatan antara manusia dengan objek di luar
dirinya. Jadi analisis wacana digunakan untuk menggambarkan tata aturan kalimat, bahasa,
dan pengertian bersama. Wacana diukur dengan pertimbangan kebenaran/ketidakbenaran
menurut sintaksis dan semantik (Eriyanto,2006:4). Pandangan kedua, subjek sebagai faktor
sentral dalam kegiatan wacana serta hubungan-hubungan sosialnya. Jadi analisis wacana
dimaksudkan sebagai suatu analisis untuk membongkar maksud-maksud dan makna-makna
tertentu (Eriyanto,2006:5). Pandangan ketiga, bahasa dipahami sebagai representasi yang
berperan dalam membetuk subjek tertentu,tema-tema wacana tertentu, maupun strategi-
strategi di dalamnya. Jadi analisis wacana dipakai untuk membongkar kuasa yang ada
dalam setiap proses bahasa. Analisis wacana ini dikenal dengan nama analisis wacana kritis
karena menggunakan perspektif kritis (Eriyanto,2006:6).

ANALISIS WACANA KRITIS NORMAN FAIRCLOUHG

Fairclough mendefiniskan diskursus dengan tiga cara yang berbeda. Pertama, dalam
pengertian yang paling abstrak, diskursus dimaknai sebagai penggunaan bahasa sebagai
praktik sosial. Kedua, diskursus diartikan sebagai sejenis bahasa yang digunakan dalam
bidang tertentu, seperti diskursus politik, diskursus saintifik, dan lain-lain. Dialektika antara
struktur sosial dan diskursus atau praktik sosial ini menjadi poin yang penting dalam
konstruksi analisis wacana kritisnya. Praktik sosial, menurutnya, tidak semata-mata sebagai
refleksi dari realitas dan bersifat independen, namun selalu berada dalam hubungan yang
dialektis dan aktif dengan realitas dan bahkan dapat mentransformasikannya. Begitu pula
sebaliknya, realitas dapat mempengaruhi dan membentuk praktik sosial. Implikasinya
struktur sosial sebagai bagian dari realitas juga berhubungan secara dialektis dengan
diskursus atau praktik sosial.
Fairclough menegaskan bahwa "Social structures not only determines social practice,
they are also a product of social practice. And more particularly, social structures not only
determine discourse, they are also a product of discourse" (Fairclough, 1992:101) Dengan
dialektika ini, maka diskursus memiliki efek terhadap bangunan struktur sosial dan
sekaligus memiliki kontribusi bagi terciptanya kontinuitas sosial atau perubahan sosial.
"Ways of constituting knowledge, together with social practices, forms of subjectivity and
power relations, which inhere in such knowledge, and the relation between them. Definisi
ini menunjukkan bahwa diskursus memproduksi pengetahuan dan praktik sosial serta relasi
kekuasaan yang inheren di dalamnya. Dengan menganggap diskursus sebagai praktik
sosial, Fairclough secara otomatis menolak penyamaan diskursus dengan teks.

Pembedaan antara teks dan diskursus, bagi Fairclough, penting untuk mendukung
konsepsinya tentang diskursus sebagai praktik sosial. Dengan memandang teks hanya
sebagai bagian dari diskursus, maka teks tidak dianggap otonom yang bebas dari
lingkungan sosial, atau mengutip Michael Rifaterre sebagai "self-sufficient text". Menurut
Louis Althusser, teks justru tunduk pada determinasi lingkungan dan diintervensi secara
sosial. Oleh karena itu, Said menyatakan bahwa "text incorporates discourses" dalam
produksinya. Ketika teks tertulis merupakan hasil dari relasi antara pengarang dan medium,
eksistensinya secara otomatis disituasikan dan berada dalam ruang, waktu, dan masyarakat
di mana teks tersebut muncul.

Menurut Jorgensen dan Phillips, pendekatan Fairclough disebut sebagai analisis


diskursus yang berorientasi teks yang berusaha menyatukan tiga tradisi: 1) analisis tekstual
dalam bidang linguistik (termasuk grammar fungsional Michael Halliday; 2) analisis
makro-sosiologis dari praktik sosial termasuk teori-teori Foucault yang tidak menyediakan
metodologi analisis teks; dan 3) tradisi interpretatif mikro-sosiologis dalam disiplin ilmu
sosiologi. Diskursus, menurut Fairclough berperan dalam konstruksi identitas sosial, relasi
sosial, dan sistem pengetahuan dan makna. Oleh karenanya, diskursus memiliki tiga fungsi,
yakni fungsi identitas, fungsi relasional, dan fungsi ideasional. Dalam analisis
diskursusnya, Fairclough menawarkan model tiga dimensi yang mewakili tiga domain yang
harus dianalisis, yakni teks (ucapan, tulisan, image visual, atau kombinasi dari ketiganya),
praktik diskursif yang mencakup produksi dan konsumsi teks, dan praktik sosial. Dimensi
pertama, yakni teks harus dianalisis melalui pendekatan linguistik yang mencakup bentuk
formal seperti kosa kata, tata bahasa, dan struktur tekstual. Masing-masing bentuk formal
tersebut harus dianalisis lebih lanjut dengan menarik nilai-nilai yang ada di dalamnya.
Fairclough membedakan empat nilai yang terdapat dalam bentuk formal. Pertama, nilai
eksperiental yang menunjuk pada jejak ideologis yang digunakan oleh produser teks dalam
merepresentasikan dunia natural atau sosial.

Fairclough menawarkan tiga jenis analisis yang berbeda. Dalam wilayah teks,
deskripsi digunakan untuk melakukan analisis teks untuk mendapatkan gambaran
bagaimana teks dipresentasikan. Pada tahap deskripsi ini, (Fairclough. 1992) juga
menekankan pentingnya investigasi terhadap proses produksi teks yang mencakup konteks
sosial-kultural yang melatarbelakangi lahirnya teks tersebut. interpretasi menjadi tahapan
selanjutnya yang digunakan untuk menganalisis proses, yakni menginterpretasikan teks itu
sendiri dan bagaimana teks dikonsumsi dan diinterpretasikan oleh pembaca.

Tahap analisis ketiga setelah interpretasi adalah eksplanasi yang diorientasikan untuk
menggambarkan diskursus sebagai bagian dari praktik sosial dan menunjukkan determinasi
diskursus terhadap struktur sosial dan efek reproduktifnya terhadap struktur-struktur
tersebut, baik efeknya memapankan ataupun mengubah struktur. Struktur sosial yang
menjadi fokus analisis, Adapun proses-proses dan praktik-praktik sosial yang menjadi
fokusnya adalah proses-proses dan praktik-praktik perjuangan sosial. Dengan demikian,
eksplanasi merupakan persoalan untuk melihat diskursus sebagai bagian dari pertarungan
sosial dalam sebuah matriks, Dalam skema tentang eksplanasi ini, Fairclough menekankan
dua hal yang harus dianalisis yakni determinan dan efek. Dalam hal ini, yang disebut
determinan adalah relasi kekuasaan yang menentukan diskursus dalam proses perjuangan
sosial. Adapun efek menunjuk pada efek yang dihasilkan diskursus. Baik determinan
maupun efek harus dilihat dalam tiga level organisasi sosialnya, yakni level sosial,
institusional dan situasional.

PEMBAHASAN

Media sebagai ruang publik yang menjadi ajang informasi bagai masyarakat memiliki
peranan yag sangat penting dalam mengambarkan sebuah gambaran islam di mata publik
pada umumunya. Media barat menjadi salah satu perbincangan yang sangat menarik yang
akan di bahasa pada jurnal ini, hal ini dikarenakan karena Media Barat menjadi sektor
penting dan juga penentu keharmonisan hubungan Islam dan Barat secara sekarang maupun
di masa yang akan datang, karena jika media Barat mengabarkan Islam secara positif dan
berimbang, masa mendatang hubungan antara islam dan barat pasti akan harmonis.
Sebaliknya. jika gambaran itu negatif dan tidak objektif masa depan hubungan Islam dan
Barat menjadi semakin memburuk.

Gambaran negatif Islam ini sama sekali tidak terkait Islam itu sendiri, tapi juga terkait
dengan sektor utama tertentu yang memiliki kekuasaan (the power) dan kehendak (the will)
untuk mewartakan gambaran Islam yang negatif. Di tangan mereka inilah gambaran negatif
Islam menjadi lebih hadir dan tampak jelas dimata publik Barat dibanding isu-isu yang lain.
Gambaran media Barat terhadap Islam ini hampir tak ada pergeseran yang berarti sejak
ditulisnya buku Edward Said ini tiga puluh dua tahun lalu. Gambaran negatif dan stereotip
terhadap Islam tetap saja mewarnai pemberitaan media-media terkemuka di Barat.

Riset yang dilakukan di UK sebelum peristiwa 9/11 menunjukkan, secara umum


media-media UK menggambarkan umat Islam secara negatif. Islam selalu dihadirkan
sebagai ancaman tidak saja bagi masyarakat Inggris, tapi juga bagi norma-norma
kemasyarakatan mereka (Elizabeth Poole, 2002). Gambaran negatif media Barat terhadap
Islam ini semakin masif, terutama pascaserangan teroris 9/11dan bom London 2005.
Pemberitaan muslim di media Barat banyak didominasi oleh berita-berita seputar isu
keamanan dan terorisme. (Open Society Institute, 2010). Sampai hari ini, sebutan Islamic
terrorist bahkan masih terus dipakai media-media terkemuka di Barat seperti BBC dan
Foxnews. Media-media Barat juga kerap memopulerkan sebutan Islamic bomb, tapi hampir
tidak pernah menggunakan istilah Christian bomb, Jewish bomb, Hindu bomb, atau
Confucian bomb dalam pemberitaan mereka. Pemberian label negatif ini dilakukan untuk
semakin mencitrakan bahwa islam adalah agama yang pemuh dengam kekerasan dan
kebencian.

1. Tragedi 9/11
Berita ini mengenai peristiwa 9/11 atau yang dikenal sebagai serangan 11 September
2001 di AS, dengan headline “U.S. ATTACKED: President Vows to Exact Punishment for
Evil”. Berita ini diterbitkan pada tanggal 12 September 2001 (terbitan digital). Meskipun
penerbitan berita ini sama dengan peristiwa penembakan tiga Muslim di Chapel Hill yakni
diterbitkan sehari setelah kejadian berlangsung namun perbedaan yang mencolok dari
kedua peristiwa di atas ialah, peristiwa 9/11 mendapatkan banyak sorotan publikasi maupun
ulasan dari media massa (bahkan The New York Times menambahkan kalimat A Day of
Terror di tiap headline berita yang terkait dengan peristiwa tersebut pada saat itu) ,
sementara peristiwa penembakan tiga Muslim di Chapel Hill kurang mendapatkan
perhatian dari media massa.
Berita ini kemudian membahas kronologi serta mendeskripsikan peristiwa 9/11 yang
terjadi kurang lebih pukul 08.46 pagi. Para pembajak menabrakkan jetliner ke tiap menara
World Trade Center (WTC) yang berada di New York, merobohkan kedua menara tersebut
dalam badai abu, kaca, dan asap; para korbanpun berlompatan dari kedua menara tersebut.
Tak lama setelah kejadian itu, jetliner ketiga menabrak Pentagon di Virginia. Tidak
diketahui pasti berapa jumlah korban, namun Presiden Bush mengatakan bahwa terdapat
ribuan orang yang tewas. Dengan melihat akibat dari peristiwa ini, maka dengan segera
peristiwa ini dianggap sebagai serangan teror terburuk dan paling berani dalam sejarah AS.
Secara keseluruhan, 266 orang tewas dalam empat pesawat tersebut dan diketahui
bahwa beberapa korban tewas lainnya lebih banyak ditemukan di tempat yang menjadi
target pesawat-pesawat tersebut. Banyak petugas pemadam kebakaran, petugas kepolisian,
dan petugas penyelamat lainnya yang menanggapi bencana awal yang terjadi di Lower
Manhattan itu, tempat di mana terdapat banyak korban tewas maupun terluka akibat
runtuhnya gedung. Ratusan orang pun dirawat karena luka-luka, patah tulang, luka bakar,
dan terlalu banyak menghirup asap.

Tidak ada yang langsung mengaku bertanggung jawab atas serangan tersebut. Namun
melihat dari skala dan kecanggihan operasi tersebut, serta perencanaan luar biasa yang
diperlukan untuk mengadakan pembajakan bersama oleh teroris yang sudah terbiasa dengan
jetliner modern, dan sejarah atas serangan besar terhadap AS dalam beberapa tahun terakhir
membuat para pejabat dan ahli menunjuk Osama bin Ladin, seorang militan Islam yang
diyakini beroperasi di luar Afghanistan. Namun penguasa Afghanistan garis keras, Taliban,
menolak hal tersebut yang kemudian dianggap oleh para pejabat sebagai tindakan
pembelaan.3

Senator Orrin Hatch, seorang republikan dari negara bagian Utah mengatakan kepada
para reporter bahwa AS telah memiliki beberapa bukti terkait peristiwa ini; yaitu orang-
orang yang berhubungan dengan Osama bin Laden telah mengirimkan pesan melalui radio
pribadi mereka dan mengatakan bahwa mereka telah mengenai dua sasaran.

Struktur Elemen Analisis


Makro Tema Pihak As mengklaim bahwa serangan yang
terjadi pada 11 September itu adalah aksi
terosime yang dilakukan oleh Islam
Struktur berita Skematik Berita Pendahulan : Kronologi terjadinya aksi
terorisme tersebut dan Scenarionya

3
http://www.nytimes.com/2001/09/12/us/us-attacked-president-vows-to-exact-punishment-for-evil.html
Isi : Scenario yang sangat terstruktur secara
sistematis mengarah pada Osama bin ladeng
sebagai dalang dibalik peristiwa ini
Penutup : pernyataan dari pihak As
bahwasanya aksi ini dilakukan oleh Osam bin
Laden
Mikro Semantik Latar : 08.46 pagi. Para pembajak menabrakkan
Sintaksis jetliner ke tiap menara World Trade Center
Stilistik (WTC) yang berada di New York.
Retoris Detail : 266 orang tewas dalam empat pesawat
tersebut, petugas pemadam kebakaran, petugas
kepolisian, dan petugas penyelamat lainnya yang
menanggapi bencana awal yang terjadi di Lower
Manhattan itu, tempat di mana terdapat banyak
korban tewas maupun terluka akibat runtuhnya
gedung. Ratusan orang pun dirawat karena luka-
luka, patah tulang, luka bakar, dan terlalu banyak
menghirup asap.
Maksud : WTC sebagai simbol dari kekuatan As
menjadi sasaran dari aksi ini, berdasarkan analsisi
pada berita tersebut aksi ini dilakukan dengan
sangat sistematis melalui pembajakan Jetline
untuk mengambarkan bahwasanya mereka bisa
melawan kekuatan As pada saat itu.
Perangapan : Pernyataan secara terang-terangan
sangat mengarah pada Osama Bin Laden debagai
dalangnya tanpa memaparkan bukti-buktui yang
valid yang mengarah pada Osama bin Laden
Koherensi : menggunakan penanda hubungan
koherensi pertentangan ‘namun’
Bentuk Kalimat : terdapat kalimat aktif
berawalan me- yaitu ‘melakukan’, dan kalimat
pasif berawalan di- yaitu ‘diyakini’
Kata Ganti : menggunakan kata ganti orang
ketiga jamak seperti ’mereka’
Leksikon : terdapat pilihan kata dalam berita
seperti ‘menghancurkan’
Grafis : ditunjukkan dengan foto gedung WTC
yang roboh dan puing-puing jetline yang hancur.

Dari pemberitaan tersebut maka dapat dihasilkan seleski isu dan penonjolan aspek
yang terdapat pada konteks beritanya, yaitu :
Seleksi Isu Penonjolan Aspek
Gedung putih yang merupakan Dalang yang diyakini bisa
simbol dari kekuatan As diserang oleh melakukan skenario yang sangat stuktur ini
militan Islam hanya Osama bin Ladin yang beroprasi di
luar Afghanistan dengan cara melakukan
komunikasi dengan para pembajak melalui
radio pribadi
Pembajakan pesawat oleh militan Para pembajak pesawat dipersenjatai
Islam di bawah pimpinan Osama bin dengan pisau dan alat berbahaya lainnya.
Ladin. Pembajakan pesawat yang dilakukan ini
dikoordinasikan dengan hati-hati. Pesawat
yang dibajak diketahui memiliki tujuan
yang sama

Dari tabel di atas maka terlihat frame yang digunakan ialah Islam sebagai sebuah
ancaman atau lebih dikenal dengan Muslim as terrorism. Hal ini dikarenakan konten
berita yang ditampilkan hanya terpusat pada Muslim yang melakukan aksi ini dan
kekhawatiran akan terjadinya kejadian serupa.

2. Penembakan Tiga Muslim di wilayah Chapel Hill, California Utara


Yusor Muhammad Abu-Salha (21), Deah Barakat (23), dan Razan Muhammad Abu-
Salha (19) adala tiga orng yang menjadi korban penembakan pada peristika tersebut pada
10 Febuari 2015 berita ini di angkat dengan headline ‘In Chapel Hill Shooting of 3
Muslims, a Question of Motive’. Peristiwa sangat menyita ruang publik bagi masyarakat
Islam karna berita ini sangat di batasi dalam ruang publik dan tidak mengatasnakaman
tindakan terorisme pada tragedi ini4.

Melihat desakan dan tekanan dari sosial media, maka dua hari setelah pembunuhan,
peristiwa ini mendapatkan banyak perhatian: The New York Times memuat peristiwa
tersebut di halaman depan Anderson Cooper mewawancarai Suzanne Barakat (kakak dari
Deah Barakat) Mohammad Abu-Salha (ayah dari Yusor dan Razan) muncul di CNN dan
MSNBC. Pada hari itu Presiden Turki, Recep Erdogan menghubungi Presiden Barack
Obama guna membuat pernyataan mengenai pembunuhan di Chapel Hill. Pejabat-pejabat
tinggi Palestina pun menyebut pembunuhan tersebut sebagai bukti dari pertumbuhan
rasisme dan ekstrimisme agamas di AS. Untuk menanggapi hal tersebut, maka pada hari
Jumat, Obama berbicara mengenai pembunuhan yang terjadi dengan mengatakan Tidak
seorang pun di AS yang harus menjadi sebuah sasaran karena siapa mereka, seperti apa

4
https://www.nytimes.com/2015/02/12/us/muslim-student-shootings-northcarolina.htm
mereka, atau bagaimana mereka beribadah5. Berita yang diterbitkan oleh The New York
Times ini kemudian membahas kronologi terjadinya peristiwa pembunuhan tersebut yang
diawali dengan adanya sebuah laporan oleh dua orang perempuan yang mendengar suara
tembakan dan teriakan sekitar kurang-lebih pukul 5 sore di kompleks dekat Universitas
North Carolina. Ketika polisi tiba di tempat kejadian, terdapat tiga korban yang telah
meninggal. sepasang pengantin baru dan adik dari pengantin perempuan. Mereka sendiri
adalah seorang mahasiswa muda, Muslim keturunan Arab, dan tergolong sebagai
mahasiswa yang berprestasi tinggi yang secara teratur menjadi pekerja sukarela di wilayah
tersebut.

Keluarga korban menggambarkan peristiwa ini sebagai sebuah tindakan kejahatan


atas dasar kebencian (hate-crime). Sementara pihak kepolisian mengatakan bahwa
penembakan ini tampaknya telah dimotivasi oleh perselisihan lahan parkir, namun mereka
akan menyelidiki apakah kebencian atas dasar agama telah turut berkontribusi terhadap
tindakan pembunuhan tersebut. Peristiwa pembunuhan ini pun segera memicu perdebatan
di seluruh dunia mengenai apakah para mahasiswa itu dijadikan sasaran karena agama
mereka. para Muslim pun mengambil beberapa bahasa yang digunakan oleh mereka yang
memprotes penembakan polisi di AS, yakni menggunakan ungkapan #muslimlivesmatter.

Tagar #MuslimLivesMatter pun bergema bersamaan dengan tagar #BlackLivesMatter


yang memperoleh kepopuleran setelah kematian Michael Brown dan Eric Garner di tangan
petugas kepolisian. Keduanya mengetuk rasa keluhan di komunitas-komunitas minoritas
yang merasa terpinggirkan dan tidak dihargai.

Struktur Elemen Analisis


Makro Tema Penembakan Tiga Muslim Di California
Utara
Superstruktur Skematik Pendahulan : Kronologi terjadinya

5
http://www.newyorker.com/magazine/2015/06/22/the-story-of-a-hate-crim
penembakan
Isi : kronologi terjadinya peristiwa
pembunuhan tersebut dan penyebab
terjadinya penembakan tersebut
Mikro Semantik Latar : pukul 5 sore di kompleks dekat
Sintaksis Universitas North Carolina.
Stilistik Detail : tiga korban yang telah meninggal –
Retoris sepasang pengantin baru dan adik dari pengantin
perempuan. Mereka sendiri adalah seorang
mahasiswa muda, Muslim keturunan Arab, dan
tergolong sebagai mahasiswa yang berprestasi
tinggi yang secara teratur menjadi pekerja
sukarela di wilayah tersebut.
Maksud : Pengambaran dan pemberitan pada
media di California tidak sedikitpun
mengarahkan aksi ini sebagai tindakan terorisme,
namun apabila scenarionya dibalik, muslim
sebgai pelaku pada peristiwa ini maka akan
dikategorikan pada tindakan terisme.
Peranggapan : dari penjelasan media berita
tersebut tudak sedikitpun mengarahkan peristiwa
ini pada aksi terorisme, seperti media sedang
menutupi kebenaran akan rasisme dan
Islamphobia yang terjadi di sana
Koherensi : terdapat penanda koherensi yang
menunjukkan hubungan sebab-akibat ‘sehingga’
dan koherensi waktu ‘ketika’
Bentuk Kalimat : terdapat kalimat aktif
berawalan me- yaitu ‘menembak’, ‘melakukan’
dan kalimat pasif berawalan di- yaitu
‘dilaporkan’, ‘ditembak’
Kata Ganti : menggunakan kata ganti orang
ketiga yaitu ‘mereka’ dan kata ganti narasumber
atas pernyataan ‘sambungnya’.
Leksikon : terdapat pilihan kata dalam berita
seperti ‘membunuh’
Grafis : ditunjukkan dengan foto para korban
dan bekas penembakan pada tempat kejadian.

Dari kedua media berita di atas (sub-bab 1 dan 2) maka akan menghasilkan framing
dalam penulisan pada kedua media berita onlibe tersebut, yaitu :
Peristiwa 9/11 Peristiwa penembakan
Pendefinisian masalah Aksi terorime Selisih lahan parkir dengan
tetanga
Sumber masalah Muslim Non-Muslim

Pengambaran Bengis, tidak bermoral Insiden, ketidaksengajaan


Penyelesaian Sebagai aksi terorisme dan Bukan aksi terorisme
dikecam sebagai aksi
pembunuhan masal yang
sangat membahayakan
Hasil dari frame di atas menunjukan Islamofobia Pandangan media Barat
mempengaruhi keadaan sosial masyarakat untuk memiliki sikap anti-Islam pandangan
yang menghasilkan aktivitas kekerasan terhadap umat Islam. Media Barat sering
menampilkan umat Islam sebagai komunitas ortodoks dan teroris atas dasar perbedaan
budaya, agama, ideologi, geografi, gender dan ras. Ujaran kebencian bukanlah kebebasan
berekspresi jika memicu sentimen kebencian terhadap kelompok agama atau etnis.
Islamofobia dan rasisme atau lainnya yang berperilaku menghina mungkin merupakan hasil
dari propagasi dan diseminasi ujaran kebencian melalui media tersebut.

3. Dampak pemberitaan Media Barat Terhadap Islam Mempengaruhi Keadaan


Sosial Masyarakat Non-Muslim di Barat

Fairclough menegaskan bahwa "Social structures not only determines social practice,
they are also a product of social practice. And more particularly, social structures not only
determine discourse, they are also a product of discourse" Dengan dialektika ini, maka
diskursus memiliki efek terhadap bangunan struktur sosial dan sekaligus memiliki
kontribusi bagi terciptanya kontinuitas sosial atau perubahan sosial. "Ways of constituting
knowledge, together with social practices, forms of subjectivity and power relations, which
inhere in such knowledge, and the relation between them. Definisi ini menunjukkan bahwa
diskursus memproduksi pengetahuan dan praktik sosial serta relasi kekuasaan yang inheren
di dalamnya. Dengan menganggap diskursus sebagai praktik sosial.

Konflik antara Palestina-Israel, krisis minyak 1973-1974, dan Revolusi Iran adalah
contoh dari beberapa situasi di mana masyarakat barat menyadari akan realita dan
pentingnya dunia Arab serta agama Islam. Pandangan atas realita ini kemudian ditingkatkan
dengan laporan-laporan berita yang dibuat oleh media massa, sebuah kekuatan yang hingga
sekarang masih membentuk dan menginformasikan atas sikap dan opini yang dimiliki oleh
sebagian besar masyarakat barat dalam hal-hal yang berkaitan dengan orang Arab, Muslim,
dan Islam. Tanpa disadari, pola pikir dan pemahaman mereka mengenai dunia Islam telah
terbentuk dan terlihat dari sikap serta perlakuan mereka terhadap hal-hal yang berkaitan
dengan Islam. Kemudian mereka pun harus berhadapan dengan isu terorisme yang
mengatasnamakan Islam sejak terjadinya peristiwa 9/11 pada tahun 2001. Peristiwa 9/11 ini
sebagai gambaran dari bagaimana media massa memengaruhi pola pikir masyarakat Barat
terhadap Islam. Respons masyarakat Non-Islam atau hasil atas efek yang ditanamkan oleh
media mainstream melalui pemberitaan Islam ini, tidak terjadi secara instan.

Surat-kabar The New York Times meningkatkan laporan mereka terhadap dunia
Islam dari 345 artikel (sebelum 9/11) menjadi 1,468 artikel dalam enam bulan pertama
tepat setelah peristiwa penyerangan tersebut. Begitu pula Fox News yang meningkatkan
ulasannya hingga 99% dan CNN yang meningkatkan ulasannya dari 23 ulasan menjadi 203
ulasan. Menariknya, dalam rentang waktu enam bulan setelah peristiwa tersebut, nada
retorik anti-Islam dan anti-Muslim telah menurun dibandingkan beberapa tahun
sebelumnya. Sekitar 42% dari total ulasan atau artikel yang diterbitkan oleh CNN, Fox
News, The New York Times, dan Washington Post dikategorikan sebagai ulasan yang
positif dan mendukung; padahal sebelum terjadinya peristiwa 9/11, hanya sekitar 25% dari
ulasan berita mereka yang mendukung hal-hal yang terkait dengan Islam ataupun Muslim.
Sementara itu, persentase ulasan-ulasan negatif atau kritis dari ulasan berita mereka terkait
dengan Islam ataupun Muslim mengalami penurunan dari 31% ke 22% dalam rentang
waktu enam bulan pasca peristiwa tersebut. (Amiri, hal.5)

KESIMPULAN

Berlandaskan pada dua-sub pembahasan yang telah dikaji dapat disimpulkan bahwa
dimensi pewacanaan pada media masa di barat terjebak pada upaya untuk mendiskriminatif
yang melahirkan tindakan rasisme bahkan phobia terhadap Islam (Islamphobia). Dari kedua
berita yang diangkat sebagai titikfokus penelitian pada jurnal ini sangat menjelaskan
adanya kesenjangan pemberitaan media barat terhadap Islam secara diskiriminatif.

Perbedaan cara pemaparan atau cara media barat dalam mengambarkan kedua
masalah pada dua berita ini sangat jelas setelah adanya hasil freaming dari kedua berita
tersebut dengan landasan dari Analisi Wacana Kritis Norman Fairclough. Perbedaan itu
terletak pada pengambarkan Islam sebagai agama yang radikal, sebagai komunitas
ortodoks dan teroris atas dasar perbedaan budaya, agama, ideologi, geografi, gender dan
ras.

Dampak dari pemberitaan media barat kemudian sangat mempengaruhi keadaan


sosial masyarakat di barat. Pandangan media Barat mempengaruhi massa untuk memiliki
sikap anti-Islam, sebuah pandangan yang menghasilkan aktivitas kekerasan terhadap umat
Islam disana. Kemudian sikap anti-Islam telah mencapai ketinggian baru dari Islamphobia.
Islamofobia dan rasisme atau lainnya yang berperilaku menghina merupakan hasil dari
propagasi dan diseminasi ujaran kebencian melalui media tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

ANALISIS WACANA KRITIS DALAM PERSPEKTIF NORMAN FAIRCLOUGH. Elya


Munfarida.

Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, Lkis, Yogyakarta,2006

Eriyanto. 2012. Analisis Wacana Kritis; Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta. LKIS
Group.

Fairclough, Norman. 1992. Discourse and Social Change. Cambridge: Polity Press.1995.
Critical Discourse Analysis: the Critical Study of Language. London

Jorgensen, Marianne and Phillips, Louise. 2002. Discourse Analysis as Theory and Method.
Los Angeles: Sage.

Jorgensen, Marianne W. & Louise J. Phillips. 2010. Analisis Wacana; Teori dan Metode.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Mohammad Abid Amiri, Muslim Americans and the Media after 9/11.
Multidisciplinary Introduction. (oneline) (www.discourse.org.) diakses 6 April 2008.

Norman Fairclough, Discourse and Social Change (Cambridge: Polity Press, 1992), hlm.
101.

Van Dijk, Teun A. Discource as a Social Interaction: Discourse Studies as

RUJUKAN ONLINE

https://www.voa-islam.com/read/world-news/2016/08/14/45623/imam-muslim-dan-
asistennya-ditembak-mati-di-new-york-as/

https://kumparan.com/kumparannews/rangkaian-aksi-kekerasan-terhadap-umat-islam-di-
kanada-sepanjang-2017-2021-1vv9AnlcDFc

http://www.nytimes.com/2001/09/12/us/us-attacked-president-vows-to-exact-punishment-
for-evil.html

https://www.nytimes.com/2015/02/12/us/muslim-student-shootings-northcarolina.htm

http://www.newyorker.com/magazine/2015/06/22/the-story-of-a-hate-crim

https://www.brookings.edu/blog/markaz/2015/12/09/what-americans-really-think-about-
muslims-and-islam/

https://www.brookings.edu/blog/markaz/2015/12/09/what-americans-really-think-about-
muslims-and-islam/

Anda mungkin juga menyukai