Rumusan Masalah
Dari uraian yang telah disampaikan pada latar belakang di atas, adapun rumusan
masalah yang dapat di susun ialah:
1. Apa yang dimaksud dengan Jurnalistik Islam?
2. Bagaimana Perkembangan, Problematika, dan Urgensitas Jurnalistik Islam?
3. Apa criteria utama Jurnalis Muslim?
Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui pengertian Jurnalistik Islam.
2. Untuk mengetahui perkembangan, problematika, dan urgensitas jurnalistik Islam.
3. Untuk mengetahui kriteria utama Jurnalis Muslim.
PEMBAHASAN MASALAH
Retorika
Pada abad ke lima Sebelum Masehi untuk pertama kali dikenal suatu ilmu yang
mengkaji proses pernyataan antarmanusia sebagai fenomena sosial tadi. Ilmu ini
dinamakan dalam bahasa Yunani “rhetorike” yang dikembangkan di Yunani Purba,
yang kemudian pada abad – abad berikutnya dimekarkan di Romawi dengan nama
dalam bahasa Latin “rhetorika” (dalam bahasa Inggris “rhetoric” dan dalam bahasa
Indonesia “retorika”).
Di Yunani, negara asal yang mengembangkan retorika dipelopori oleh Georgias
(480 – 370) yang dianggap sebagai guru retorika pertama dalam sejarah manusia yang
mempelajari dan menelaah proses pernyataan antar manusia.
Dimulainya perngembangan retorika sebagai seni bicara di Yunani itu, adalah
ketika kaum sofis di saat mengembara dari tempat satu ke tempat lain, mengajarkan
pengetahuan mengenai politik dan pemerintahan. Kaum sofis menyatakan bahwa
pemerintah harus berdasarkan suara rakyat terbanyak atau demokrasi yang berarti
pemerintahan rakyat. Untuk itu diperlukan pemilihan. Maka berkembanglah seni pidato,
yang demi tercapainya tujuan kadang membenarkan pemutarbalikan kenyataan, yang
penting khalayak tertarik perhatiannya dan terbujuk.
Filsafat sofisme yang dicerminkan oleh Georgia situ berlawanan dengan
pendapat Protagoras (500 – 432) dan Socrates (469 – 399). Protagoras mengatakan
bahwa kemahiran berbicara bukan demi kemenangan, melainkan demi keindahan
bahasa. Sedangkan bagi Socrates, retorika adalah demi kebenaran dengan dialog
sebagai tekniknya, karena dengan dialog, kebenaran akan timbul dengan sendirinya.
Para pakar retorika lainnya adalah Isocrates dan Plato yang keduanya
dipengaruhi oleh Georgias dan Socrates. Mereka ini berpendapat bahwa retorika
berperan penting bagi persiapan seseorang untuk menjadi pemimpin. Plato yang murid
utama Socrates menyatakan bahwa pentingnya retorika adalah sebagai metode
pendidikan dalam rangkai mencapai kedudukan dalam pemerintahan dan dalam rangka
mempengaruhi rakyat.
Puncak peranan retorika sebagai ilmu pernyataan antar manusia ditandai oleh
munculnya Demosthenes dan Aristoteles. Demosthenes (384 – 322) di zaman Yunani
itu termasyur karena kegigihan mempertahankan kemerdekaan Athena dari ancaman
raja Philipus dari Macedonia. Pada waktu itu telah menjadi anggapan umum bahwa di
mana terdapat sistem pemerintahan yang berkedaulatan rakyat, di situ harus ada
pemilihan berkala dari rakyat dan oleh rakyat untuk memilih pemimpinnya. Di mana
demokrasi menjadi sistem pemerintahan, di situ masyarakat memerlukan orang – orang
yang mahir berbicara di depan umum.
Di Yunani, retorika dikembangkan oleh Marcus Tulius Cicero (106 – 43) yang
menjadi termasyur karena bukunya berjudul “de Oratore” dan penampilannya sebagai
orator. Gaya retorika ala Cicero sendiri sebagai berikut:
a. Investio
Investio berarti mencari bahan dan tema yang akan dibahas. Bahan yang telah
diperoleh disertai bukti – bukti pada tahap ini dibahas secara singkat dengan menjurus
pada upaya – upaya :
1) Mendidik
2) Membangkitkan kepercayaan
3) Menggerakan persaan
1. Qaulan Sadida
Qaulan Sadidan berarti pembicaran, ucapan, atau perkataan yang benar, baik
dari segi substansi (materi, isi, pesan) maupun redaksi (tata bahasa). Dari segi
substansi, komunikasi Islam harus menginformasikan atau menyampaikan kebenaran,
faktual, hal yang benar saja, jujur, tidak berbohong, juga tidak merekayasa atau
memanipulasi fakta. Pernyataan tersebut sesuai dengan QS. 4:9 dan QS. Al-Hajj:30.
2. Qaulan Baligha
Kata baligh berarti tepat, lugas, fasih, dan jelas maknanya. Qaulan Baligha
artinya menggunakan kata-kata yang efektif, tepat sasaran, komunikatif, mudah
dimengerti, langsung ke pokok masalah (straight to the point), dan tidak berbelit-belit
atau bertele-tele. Agar komunikasi tepat sasaran, gaya bicara dan pesan yang
disampaikan hendaklah disesuaikan dengan kadar intelektualitas komunikan dan
menggunakan bahasa yang dimengerti oleh mereka. Hal ini sesuai dengan QS An-
Nissa :63 dan QS.Ibrahim:4.
3. Qaulan Ma’rufa
Kata Qaulan Ma`rufan disebutkan Allah dalam QS An-Nissa : 5 dan 8, QS. Al-
Baqarah : 235 dan 263, serta Al-Ahzab : 32. Qaulan Ma’rufa artinya perkataan yang
baik, ungkapan yang pantas, santun, menggunakan sindiran (tidak kasar), dan tidak
menyakitkan atau menyinggung perasaan. Qaulan Ma’rufa juga bermakna pembicaraan
yang bermanfaat dan menimbulkan kebaikan (maslahat).
4. Qaulan Karima
Qaulan Karima adalah perkataan yang mulia, dibarengi dengan rasa hormat dan
mengagungkan, enak didengar, lemah-lembut, dan bertatakrama. Dalam ayat tersebut
perkataan yang mulia wajib dilakukan saat berbicara dengan kedua orangtua. Kita
dilarang membentak mereka atau mengucapkan kata-kata yang sekiranya menyakiti
hati mereka. Qaulan Karima harus digunakan khususnya saat berkomunikasi dengan
kedua orangtua atau orang yang harus kita hormati. Dalam konteks jurnalistik dan
penyiaran, Qaulan Karima bermakna mengunakan kata-kata yang santun, tidak kasar,
tidak vulgar, dan menghindari “bad taste”, seperti jijik, muak, ngeri, dan sadis. Hal ini
sesuai dengan QS. Al-Isra : 23.
5. Qaulan Layina
Qaulan Layina berarti pembicaraan yang lemah-lembut, dengan suara yang enak
didengar, dan penuh keramahan, sehingga dapat menyentuh hati. Dalam Tafsir Ibnu
Katsir disebutkan, yang dimaksud layina ialah kata kata sindiran, bukan dengan kata
kata terus terang atau lugas, apalagi kasar. Ayat di atas adalah perintah Allah SWT
kepada Nabi Musa dan Harun agar berbicara lemah-lembut, tidak kasar, kepada
Fir’aun. Dengan Qaulan Layina, hati komunikan (orang yang diajak berkomunikasi)
akan merasa tersentuh dan jiwanya tergerak untuk menerima pesan komunikasi kita.
6. Qaulan Maysura
Qaulan Maysura bermakna ucapan yang mudah, yakni mudah dicerna, mudah
dimengerti, dan dipahami oleh komunikan. Makna lainnya adalah kata-kata yang
menyenangkan atau berisi hal-hal yang menggembirakan. Komunikasi dilakukan oleh
pihak yang memberitahukan (komunikator) kepada pihak penerima (komunikan).
Komunikasi efektif tejadi apabila sesuatu (pesan) yang diberitahukan komunikator dapat
diterima dengan baik atau sama oleh komunikan, sehingga tidak terjadi salah persepsi.
Publizistik Wissenschaft
Lama sudah ilmu yang mengkaji pernyataan antarmanusia hanya sekitar
pernyataan secara lisan dan secara tatap muka, baik dalam bentuk dialog di antara dua
orang, maupun dalam bentuk kepada sekelompok hadirin. Dan itulah retorika yang
telah dibicarakan di muka.
Pada tataran selanjutnya, komunikasi antar manusia dikembangkan dalam bentuk
media. Hal ini sesuai dengan metode dakwah yang selama ini dikenal. Pertama,
berdakwah dengan lisan (bil lisan) seperti berceramah, pengajian dan sebagainya.
Kedua, dengan tulisan (bil qalam) atau disebut juga dengan dakwah bittadwin.
Berdakwah dengan tulisan ini bisa melalui surat kabar, majalah, buletin atau brosur.
Jika ditengok dari sejarahnya, komunikasi melalui media ini berkembang sejak
zaman Romawi Kuno. Tetapi belum dapat dinilai sebagai ilmu, baru merupakan
fenomena atau gejala. Ini terjadi ketika Gaius Julius Caesar (100 – 44 SM), kaisar
Romawi yang termasyur mengeluarkan peraturan agar kegiatan – kegiatan Senat
setiap hari diumumkan kepada masyarakat dengan cara ditempel pada papan
pengumuman yang dinamakan Acta Diurna.
Kegiatan pemberitaan melalui Acta Diurna ini merupakan cikal bakal yang kita
kenal sekarang sebagai kegiatan jurnalistik, yang dalam buku ini akan dikupas lebih
jauh pada bab tentang pers dan jurnalisitik.
Sampai abad satu Masehi pernyataan antarmanusia untuk jarak jauh masih
dilakukan dengan menggunakan papyrus atau daun lontar, kulit binatang, logam tipis,
dan lain – lain. Setelah ditemukannya kertas oleh bangsa Cina bernama Ts’ai Lun pada
tahun 105 M, kegiatan itu baru menggunakan kertas. Apabila setelah seorang
berkebangsaan Jerman, Johannes Gunteberg (1400 – 1469) menemukan mesin cetak,
yang mampu melipatgandakan tulisan tercetak, saling menyampaikan pernyataan di
antara manusia semakin banyak.
Fenomena jurnalistik yang sudah tampak pada Acta Diurna tadi ternyata tidak
berkembang disebabkan kekaisaran Romawi mengalami masa gelap (dark ages).
Baru tahun 1609 muncul di Jerman surat kabar pertama dalam sejarah dengan
menyandang nama “Avisa Relation Oder Zeitung” disusul oleh “Weekly News” yang
diterbitkan di Inggris pada tahun 1622.
Perkembangan surat kabar dalam bidang penyebaran informasi itu, ternyata
menunjukkan pengaruhnya yang tidak kecil terhadap pemerintah dan masyarakat,
sehingga mengundang perhatian para cendikiawan untuk mempelajarinya. Lebih – lebih
setelah muncul ungkapan Napoleon Bonaparte yang terkenal yakni menyatakan bahwa
ia lebih takut pada empat surat kabar yang terbit di Paris daripada seratus serdadu
dengan sangkur terhunus. Kegentara kaisar Napolepn yang terpaksa itu karena surat
kabar itu tidak hanya menyebarkan informasi, tetapi juga opini yang dengan tajam
sering mengeritik pemerintah.
Sebagai hasil telaah para cendikiawan terhadap perkembangan dan pengaruh
surat kabar itu, muncullah di Inggris “Science of the Press”, di Perancis “Science de la
Presse”, di Nederland “Dagbladwtenschap” dan di Jerman Zeitungswissenschaft”, yang
kesemuanya berarti “Ilmu Persuratkabaran”. Ini terjadi pada abad ke 19.
Jelas bahwa pada waktu itu, persuratkabaran oleh para cendikiawan Eropa
sudah dianggap ilmu (science, wetenschap, wissenschaft). Sarjana – sarjana yang
dikenal giat melibatkan diri dalam ilmu persuratkabaran itu, antara lain Dr Friedrich
Nedebach, Prof Dr N Devolder, Prof Dr Karl d’Ester, Prof Df Kurt Baschwitz, Dr Maarten
Scheiner, Dr Theo Luykx, AJ Lievegood, Dr HJ Prakke, Wilhelm Bauer, Dr Hanstraub,
Prof Dr Emil Dovivat, dan banyak lagi.
Pada International Congress of University Teacher of the Science of the Press
yang diadakan di Amsterdam Nederland bulan Mei 1933, Prof Dr Walter Hagemann,
guru besar dalam publisistik di Munster dalam pidatonya mengenai ilmu pers antara lain
mengatakan sebagai berikut:
“Di Jerman yang dianggap sebagai bapak Zeitungwissenschaft, jadi juga dari
publizistik sebagai perkembangan dari Zeitungwissenschaft, adalah Prof Dr Karl
Bucher, yang namanya sudah tidak asing lagi bagi siapa saja yang pernah mempelajari
dasar – dasar ilmu ekonomi. Adalah Prof Bucher yang pertama kali mengajarkan ilmu
mengenai persuratkabaran pada tingkat universitas, yakni di Universitas Bazel dalam
tahun 1884 yang dikuliahkannya ialah sejarah pers, organisasi pers, dan statistic pers.
Kuliah kemudian dilanjutkan di Universitas Leipzig sesudah tahun 1892. Di sini ilmunya
semakin dikembangkan sehingga meliputi:
- Geschichte des Zeitungswesens
- Organization und Technik des Modernen Zeitungswesens
- Presspolitik (Marbangun:24)
Di atas telah disinggung bahwa publisistik merupakan perkembangan dari
Zeitungwissenschaft. Perkembangan tersebut disebabkan:
Pertama : Khalayak membutuhkan ilmu pernyataan umum. Kebutuhan tersebut
semakin terasa mendesak ketika radio dan film tampil ke muka sebagai alat pernyataan
publisistik baru.
Kedua : Meskipun memang Zeitungwissenschaft telah berhasil menjadi suatu
ilmu yang disipliner dengan menggunakan gejala surat kabar sebagai objek
penyelidikannya, namun satu hal yang tak terpang itu – inti daripada segala pernyataan
umum yakni fungsi sosial daripada kata dan makna yang seluas – luasnya. Dan fungsi
sosial ini ialah bahwa alat – alat komunikasi mendukung dan menyatakan segala isi
kesadaran (Bewustseininhalten) yang disampaikan kepada orang – orang lain dengan
tujuan bahwa sikap rohaniah dari dia yang menerima menjadi sama arah dengan dia
yang menyatakannya.
Penyelidikan dan ajaran secara khusus memperhatikan masalah umum
mengenai pengarahan, penghimpunan dan pemberian pengaruh secara tohaniah,
merupakan sebuah ilmu yang disebut publisistik.
Prof Dr Walter Hageman yang namanya telah disebut – sebut di muka
mendefinisikan publisistik secara singkat saja, yakni: ajaran tentang pernyataan umum
mengenai isi kesadaran yang actual (die Lehre von der offentichen Aussage aktueller
Bewustseinsinhalte).
Publisistik mengajarkan bahwa setiap pernyataan kepada umum dengan
menggunakan media apa pun menciptakan suatu hubungan rohaniah antara sis
publisis dengan khalayak. Hubungan rohaniah itu merupakan suatu proses yang
menurut Prof Dr Walter Hagemann terdiri dari tiga fase: das Ereignis, der Empfanger,
dan die Wirkung (Marbangun : 60). Penjelasannya sebagai berikut:
a. Das Ereignis (peristiwanya):
Yang dimaksud engan das Ereignis adalah prosese kegiatan seorang publisis
mulai dari peliputan suatu peristiwa di masyarakat melalui pengolahan di redaksi
sampai penyebaran kepada khalayak. Dalam hubungan ini, peristiwa sebagai fase
pertama dari proses publisistik itu diklasifikasikan sebagai peritiwa primer dan peristiwa
sekunder atau dengan ungkapan lain : peristiwa lagir dan peristiwa batin. Peristiwa lahir
adalah suatu yang dapat ditangkap oleh indera penglihatan yang bersifat kausal,
mengandung sebab dan akibat. Sebaliknya peristiwa batin adalah peristiwa yang
abstrak psikologis, yang terhubungkan dengan kognisi, afeksi, dan konasi. Situasi
rohaniah ini apabila ini apabila diwujudkan ke dalam berita, menjadi informasi dan opini
di mana interpretasi berperan penting.
b. Der Empfanger (penerimanya)
Yang dimaksud dengan der Empfanger adalah orang – orang atuh khalayak
yang dijadikan sasaran penyebaran informasi dan opini tadi. Berita – berita termasa
atau actual terjadi secara bersinambung, yang secara universal mengenai apa saja,
kapan saja, dan di mana saja, sejauh peristiwa itu berkaitan dengan kepentingan
manusia.
Penawaran informasi dan opini kepada khalayak jauh melebihi daya kemampuannya
untuk dapat menerima seluruhnya. Isi kesadaran yang baru mendesak isi kesadaran
yang lama. Ini berarti di antara berita – berita yang menerpa khalayak, ada yang
diterima, tetapi ada juga yang dipertanyakan, disanggah, atau ditolak.
Daya terima publisistik berbeda antara orang yang satu dengan orang yang lain, yang
dipengaruhi bahkan ditentukan oleh berbagai factor, seperti jenis kelamin, usia,
ideology, dan sebagainya.
c. De Wirkung (daya pengaruhnya)
Sebagai komponen ketiga dari proses publisistik, die Wirkung menunjukkan
sejauh mana efek yang timbul pada khalayak yang dijadikan sasaran publisistik.
Menurut Hagemann setiap terpaan publisistik yang menimbulkan sikap tertentu
pada der Empfanger yang kemudian berwujud perilaku, disebabkan terutama oleh
perasaannya yang tersentuh keitmbang oleh perasaannya yang tersentuh ketimbang
oleh pikirannya. Sifat emosional ini memungkinkan khalayak bersikap setuju atau tidak
setuju, emnerima atau menolak. Dalam hubungan ini mereka tidak menyelidiki
kebenaran pernyataan yang menerpanya. Mereka belum menjadi subjek yang bergiat
mereka telah meninggalkan kesadaran rasionalnya. Hal ini terutama berlaku jika suatu
pernyataan publisistik memihak secara terang – terangan, yang mengancam
kepentingan rohaniahnya atau kepentingan materialnya, mengajak khalayak untuk
melakukan sesuatu.
Pengaruh publisistik berlangsung dalam dua dimensi rangkap, meluas dan
mendalam.
Ada pernyataan publisistik yang tersiar dengan cepat, tetapi pernyataan yang
sesaat menggemparkan dapat dibuat tidak berarti oleh pembuktian. Bisa juga
pernyataan itu disusul oleh pernyataan – pernyataan lain yang membuktikan
kebalikannya.
Ada pernyataan yang berdaya pengaruh ke dalam. Maknanya tidak dikenal oleh
khalayak secara keseluruhan. Hanya sekelompok kecil yang tertarik yang karena
kemampuan dan kesungguhannya dalam melakukan pertimbangan, mereka memahami
benar makna pernyataan tersebut, lalu meneruskannya kepada orang lain yang
diperkirakan akan memahami maknanya.
Pernyataan itu tidak cemerlang, tidak menggelora, dan tidak menimbulkan gerak
dinamika massa, tetapi bergerak maju secara perlahan, luwes, dan halus, sedangkan
yang ditimbulkan adalah kebenaran – kebenaran baru.
Daya pengaruh publisistik menjadi penting, oleh karena akan mampu
memobilisasi opini public kea rah yang dikehendaki si publisis.
Communication Science
Jika retorika sebagai ilmu pertama mengenai pernyataan antarmanusia yang
berkembang di Yunani dan Romawi satu arah menuju ke Jerman menjadi
publizistikwissenschaft yang disingkat publisistik, maka arah lain menuju Amerika
Serikat. Di benua ini namnya communication science atau ilmu komunikasi.
Seperti halnya ilmu publisistik yang pada mulanya adalah ilmu persuratkabaran,
ilmu komunikasi pun berasal dari aspek persuratkabaran, yakni journalism atau
jurnalisme, suatu pengetahuan (knowledge) tentang seluk beluk pemberitaan mulai dari
peliputan bahan berita, melalui pengolahan, sampai penyebaran berita.
Yang mula – mula mendambakan adanya sekolah jurnalistik sebagai lembaga
pendidikan untuk meningkatkan pengetahuan para wartawan dan calon wartawan
adalah Joseph Pulitzer pada tahun 1903. Gagasan Pulitzer ini mendapat tanggapan
positif dari Charles Eliot dan Nicholas Murray Butler, masing – masing rektor Harvard
University dan Columbia University. Oleh karena disiarkan media surat kabar itu,
ternyata tidak hanya informasi hasil kegiatan jurnalistik semata – mata maka
berkembanglah penyiaran pernyataan manusia tersebut menjadi “mass media
communication” (media komunikasi massa) yang untuk memudahkannya sering
disingkat menjadi komunikasi massa.
Yang oleh pakar dianggap “mass media” (media massa) adalah surat kabar,
radio, televise, dan film, oleh karena memiliki ciri – ciri khas yang tidak dimiliki oleh
media komunikasi lainnya seperti poster, pamphlet, surat, telepon, dan sebagainya.
Dalam perkembangan selanjutnya akibat pengaruh kemajuan teknologi
komunikasi, istilah mass communication dianggap tidak tepat lagi karena ternyata tidak
lagi merupakan proses yang total. Penelitian yang dilakukan oleh Paul Lazarsfeld,
Bernard Berelson, Hazel Gaudet, Elihu Katz, Wilbur Schramm, dan lainnya
menunjukkan bahwa fenomena sosial akibat terpaan media massa hanya merupakan
satu tahap saja; ada tahap kedua, ketiga dan tahap – tahap berikutnya yang
meneruskan pesan – pesan dari media massa dari mulut ke mulut yang justru
dampaknya sangat besar. Pengambilan keputusan banyak dilakukan atas dasar
komunikasi antar pribadi secara tatap muka.
Dalam proses komunikasi secara total, komunikasi melalui media massa hanya
merupakan satu dimensi saja; ada dimensi – dimensi lainnya yang menjadi objek studi
suatu ilmu. Dan ilmu mempelajari dan menelitinya bukan Mass Communication
Science, melainkan Communication Science yang lebih luas yang menelaah mass
communication, group communication, dan lain – lain.
Pada tahun 1960 Carl I Hovland dalam karyanya “Social Communication”
munculah istilah “science of communication” yang ia definisikan sebagai: suatu upaya
yang sistematis untuk merumuskan dengan cara yang setepat – tepatnya asas – asas
pentransmisian informasi serta pembentukan opini dan sikap.
Pada decade 1960 – an itu tidak sedikit ilmuan – ilmuan disiplin ilmu lain yang
menganggap bahwa komunikasi itu bukan ilmu dengan alas an komunikasi belum
memenuhi persyaratan sebagai ilmu.
Tetapi pakar komunikasi tidak mempedulikan kritik pakar disiplin ilmu lain, sebab
komunikasi dianggapnya sudah menjadi ilmu. Yang lebih penting bagi para pakar
komunikasi adalah apakah komunikasi itu mampu memecahkan masalah sosial atau
tidak. Pada tahun 1967 terbit buku berjudul “The Communicative Arts of Science of
Speech” yang ditulis oleh Keith Brooks, yang menampilkan paparannya mengenai
komunikologi secara luas. Mengenai komunikologi (ilmu komunikasi) Brooks
menyatakan sebagai berikut:
Pada tahun terakhir ini banyak cendikiawan komunikasi dari berbagai disiplin
ilmu yang mengkontribusikan kepada pemahaman kita landasan proses serta tipe – tipe
dan bentuk – bentuk aktivitas komunikasi. Komunikologi berkaitan dengan integrasi
asas – asas komunikasi dari para cendikiawan itu. Juga komunikologi berarti filsafat
komunikasi yang realistis, program penelitian yang sistematis yang menguji teori –
teorinya, menutupi kesenjangan – kesenjangan dalam pengetahuan, menafsirkan dan
mengabsahkan penemuannya ke dalam disiplin dan penelitian yang khusus. Ia
menyajikan program yang luas yang meliputi tetapi tidak membatasi dirinya
kepentingan – kepentingan atau teknik – teknik setiap disiplin ilmu.
Dalam pada itu Joseph A Devito juga seperti halnya Keith Brooks
mengetengahkan istilah komunikologi untuk ilmu komunikasi itu. Dalam bukunya
“Communicology: An Introduction to the Study of Communication” ia menjelaskan
pengertian komunikologi sebagai berikut:
Komunikologi adalah suatu studi tentang ilmu komunikasi, secara khusus
subseksinya berkaitan dengan komunikasi oleh dan diantara manusia – manusia.
Komunikolog mengacu kepada mahasiswa – peneliti – teoritikus, atau untuk lebih
ringkasnya, cendikiawan komunikasi.
Anggapan bahwasannya komunikasi itu sudah menjadi ilmu terbukti dengan
terbitnya buku berjudul “Message Effect in Communication Science” pada tahun 1989
dengan James J Bradac sebagai editor.
Dalam buku tersebut sebelas pakar komunikasi dari berbagai universitas
kenamaan di Amerika Serikat memberikan kontribusinya mengenai aspek pesan dan
efek dari proses komunikasi.
Uraian di atas menunjukkan kepada para peminat komunikasi bahwa komunikasi itu
tanpa harus diragukan lagi adalah memang ilmu, dan mereka yang bukan orang
komunikasi tidak perlu mempertanyakannya lagi.
Jurnalistik Islam
Beberapa tokoh mendefinisikan jurnalistik Islam antara lain:
Emha Ainun Nadjib menyatakan bahwa jurnalistik islam adalah tekhnologi dan
sosialisasi informasi ( dalam kegiatan penerbitan tulisan) dan mengabdikan diri pada
nilai agama islam bagaimana dan kemana semestinya manusia, masyarakat,
kebudayaan dan peradaban mengarahkan dirinya.
Sedangkan A. Muis mengatakan bahwa jurnalistik Islam adalah menyebarkan
atau menyampaikan informasi kepada pendengar,pemirsa, atau pembaca tentang
perintah dan larangan Allah Swt ( Al-Qur’an dan Al-Hadist).
Sementara itu Dedy Djamaluddin Malik mendefinisikan jurnalistik Islam sebagai
proses meliput, mengolah dan menyebarluaskan berbagai peristiwa yang menyangkut
umat Islam kepada khalayak. Jurnalistik Islami adalah crusade journalism, yaitu
jurnalistik yang memperjuangkan nilai-nilai tertentu, yakni nilai-nilai Islam.
Menurut Asep Syamsul M. Romli jurnalis muslim adalah sosok juru dakwah (da’i)
di bidang pers, yakni mengemban dakwah bil qolam ( dakwah melalui tulisan). Ia adalah
jurnalis yang terikat oleh nilai-nilai, norma, dan etika Islam.
Jurnalis Muslim
Jurnalis muslim laksana “penyambung lidah” para nabi dan ulama. Karena itu,
iapun dituntut untuk memiliki sifat-sifat kenabian, seperti shidiq, amanah, Tabligh, dan
Fathonah.
Shidiq artinya benar, yakni menginformasikan yang benar saja dan membela
serta menegakkan kebenaran itu. Standar kebenarannya tentu saja kesesuaian dengan
ajaran Islam al-Qur’an dan As-Sunnah.
Amanah artinya terpercaya, karenanya tidak boleh berdusta, memanipulasi atau
mendistorsi fakta, dan sebagainya.
Tabligh artinya menyampaikan,yakni menginformasikan kebenaran, tidak
menyembunyikannya.
Fathonah artinya cerdaas dan berwawasan luas. Jurnalis muslim dituntut
mampu menganalisis dan membaca situasi, termasuk membaca apa yang diperlukan
umat.
PENUTUP
Kesimpulan
Berdaasarkan dari pembahasan di atas maka kita dapat menyimpulkan bahwa
jurnalistik Islam merupakan proses pemberitaan atau pelaporan tentang berbagai hal
yang sarat dengan muatan nilai-nilai Islam.
Dari pengataman penulis, perkembangan jurnalistik Islam masih kalah dengan
jurnalistik pada umumnya. Beberapa penyebab diantaranya adalah kurang atau
lemahnya dukungan dana, lemahnya manajemen akibat kurang/tidak profesionalnya
para pengelola, serta masih lemahnya kesadaran informatif umat islam akan masalah-
masalah ke-Islaman.
Hal ini tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi Jurnalis Muslim. Maka dari itu,
dalam menjalankan tugaskan, para Jurnalis Muslim diharapkan mampu menjalankan
perannya sebagai pelurus informasi (Musaddid), sebagai pembaharu (Mujaddid),
sebagai pemersatu (Muwahid), dan sebagai pejuang (Mujahid).
Saran
Saran yang penulis rekomendasikan adalah mengemas produk dan aktivitas
jurnalistik sebaik mungkin sehingga dapat terlaksana fleksibel dan mampu mengisi
setiap ruangan yang berhubungan dengan dunia jurnalistik pada umumnya, seperti
hubungan baik dengan pemerintah, pemirsa, maupun pengiklan.
Dengan begitu, produk jurnalistik Islami yang ditawarkan pada masyarakat akan
digemari dan agenda dakwah menebarkan nilai – nilai kebaikan juga dapat terpenuhi.
Diposkan oleh Astri Dwi Andriani di 05.24
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Poskan Komentar
Blog Archive
► 2016 (11)
► 2014 (2)
▼ 2013 (64)
o ▼ November (32)
Arti Pers
Pengertian Jurnalistik
Media Komunikasi Massa Pertama
Macam - Macam Proses Komunikasi
Komponen Profesionalisme
Pengertian Komunikasi
ETIKA KOMUNIKASI : Seni dalam Hidup
Kode Etik Jurnalistik
Etika Komunikasi dalam Al-Qur'an
Filsafat Komunikasi
FILSAFAT KOMUNIKASI: KAJIAN AWAL
Mazhab - Mazhab dalam Filsafat
Teori - Teori dalam Filsafat
Pengertian Filsafat
Teknik Penelitian Komunikasi
Sumber Data dalam Penelitian
Rubrik dan Pengertiannya
Pers Sebagai Kegiatan Bisnis
Fungsi Pers
Teori Pers
Perbedaan antara Jurnalistik dan Pers
Jurnalistik Media Cetak
Dua Sisi Mata Uang Pers: Idealisme dan Komersialis...
Bahasa Populis dalam Media Massa
Idelisme, Komersialisme, dan Profesionalisme Pers
Filsafat, Ilmu, dan Islam
Rekam Jejak Penyadapan Australia di Indonesia
PELANGGARAN ETIKA KOMUNIKASI
JURNALISTIK ISLAMI
SEJARAH KEBERADAAN ILMU KOMUNIKASI
KODE ETIK JURNALISTIK
FILSAFAT KOMUNIKASI
o ► Oktober (16)
o ► April (16)
► 2012 (10)
Mengenai Saya
Astri Dwi Andriani
Hallo! Nama saya astri, saat ini saya aktif sebagai dosen mata kuliah ilmu komunikasi di
beberapa universitas swasta. Tulisan yang ada di dalam blog ini adalah rangkaian essai,
artikel yang pernah dimuat di koran, atau tugas semenjak kuliah pascasarjana dulu.
Silahkan di copy jika bermanfaat. Untuk yang ingin kontak langsung atau berbagi ide
soal ilmu komunikasi, silahkan follow instagram saya: astri_albasrie, facebook: Astri
Dwi Andriani, atau email di astridwiandriani@gmail.com Terimakasih! ^_^
Lihat profil lengkapku
Template Simple. Diberdayakan oleh Blogger.