Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

KONTEKS MODERASI BERAGAMA


Disusun untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah : Islam Moderasi Beragama

Oleh :
Ahmad Rifki Hidayat (2202036091)
Nadila Asya AS (2202036149)
Inayah Azahro (2202036071)

KELAS HES C1
HUKUM EKONOMI SYARI’AH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN WALISONGO SEMARANG

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayahNya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah konteks moderasi
beragama ini.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas pada mata kuliah moderasi beragama. Selain itu,makalah ini juga bertujuan
untuk menambah wawasan tentang konteks moderasi beragama bagi para
pembaca dan juga bagi penulis
Saya mengucapkan terima kasih kepada bapak dosen ,yang telah
memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan
sesuai dengan bidang studi yang di tekuni.
Semoga laporan konteks moderasi beragama ini bias menambah
wawasan para pembacadanbisa bermanfaat untuk perkembangan dan peningkatan
ilmu pengetahuan.

Semarang, 31 Agustus 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang 1
B. Rumusan masalah 1
C. Tujuan pembahasan 1
BAB II PEMBAHASAN
1. Kontaks global 2
2. Kontaks local 11
3. Urgensi moderasi 18
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan 22
B. Saran 22
BAB IV DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah


Dunia sedang di goncang dengan isu-isu kekerasan yang di analisir
timbulnya dari gerakan gerakan radikal, Pemahaman yang terlalu ekstrim
serta kelompok-kelompok puritan dalan pemahaman tertentu atau kelompok
tertentu. Islam merupakan agama Allah SWT yang diwahyukan kepada Nabi
Muhammad SAW, untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia, demi
tercapainya keharmonisan hubungan antara manusia dan Tuhannya juga
hubungan manusia dengan sesamanya. Nabi Muhammad SAW tidak hanya
diutus kepada umat tertentu saja, melainkan terhadap seluruh umat di muka
bumi

B. Rumusan masalah
1. Bagaimana konteks global dalam hal radikalisme yang mengarah pada
terorisme,liberalism,islamofobia,sekularisme?
2. Bagaimana koteks local dalam hal berkembangnya gerakan yang
mebawa idiologi internasional dan radikialisme atas nama agama yang
membahayakan Negara?
3. Bagaimana urgensi beragama pentingnya membawa harmoni dlm
beragam ?

C. Tujuan
1. mendiskripsikan konteks global dalam hal radikialisme yang mengarah
pada terorisme dll.
2. Mendriskripsikan konteks local dlm hal berkembangnya gerakan yang
membawa idiologi internasional dan berkembangnya radikialisme atas
nama agama yg membahayakan Negara.
3. Mendriskripsi urgensi moderasi beragama pentingnya membawa harmoni
dalam beragama.
BAB II
PEMBAHASAN

1. KOTEKS GLOBAL
a. Berkembangnya Radikalisme Beragama Yang Mengarah Pada
Terorisme, Liberalisme, Sekularisme, Islamfobia
Radikalisme merupakan paham atau aliran yang mengingikan
perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan
atau drastis. Esensi radikalisme adalah konsep sikap jiwa dalam
mengusung perubahan. Sementara itu Radikalisme Menurut Wikipedia
adalah suatu paham yang dibuat-buat oleh sekelompok orang yang
menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik secara
drastis dengan menggunakan cara-cara kekerasan.
Pengertian Terorisme Secara etimologi terorisme berasal dari kata
“to Terror” dalam bahasa inggris. Semntara dalam bahasa latin disebut
Terrere yang berarti “gemetar” atau menggetarkan. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia terror merupakan suatu usaha untuk menciptakan
ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan
tertentu (Depdikbud, 2013). Teorisme dalam pengertian perang memiliki
definisi sebagai serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan
membangkitkan perasaan terror (takut), sekaligus menimbulkan korban
massif bagi warga sipil dengan melakukan pengeboman atau bom bunuh
diri. Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat 1,
menyebutkan bahwa Tindak Pidana Terorisme adalah segala perbuatan
yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan
dalam Undang-Undang ini.
Sejarah kemunculan gerakan radikalisme dan kelahiran kelompok
fundamentalisme dalam islam lebih di rujuk karena dua factor, yaitu:

2
1. Faktor internal
Faktor internal adalah adanya legitimasi Teks keagamaan, dalam
melakukan “perlawanan” itu sering kali menggunakan legitimasi
teks (baik teks keagamaan maupun teks “cultural”) sebagai
penopangnya. untuk kasus gerakan “ekstrimisme islam” yang
merebak hampir di seluruh kawasan islam(termasuk indonesia) juga
menggunakan teks-teks keislaman (Alquran, hadits dan classical
sources- kitab kuning) sebagai basis legitimasi teologis, karena
memang teks tersebut secara tekstual ada yang mendukung terhadap
sikap-sikap eksklusivisme dan ekstrimisme ini. Seperti ayat-ayat
yang menunjukkan perintah untuk berperang seperti; Perangilah
orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula)
kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang
diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan
agama yang benar (agama Allah), (Yaitu orang-orang) yang
diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah
dengan patuh sedang mereka dalam Keadaan tunduk.
(Q.S. Attaubah: 29).16 Menurut gerakan radikalisme hal ini adalah
sebagai pelopor bentuk tindak kekerasan dengan dalih menjalankan
syari’at , bentuk memerangi kepada orang-orang yang tidak beriman
kepada Allah dan lain sebagainya. Tidak sebatas itu, kelompok
fundamentalis dengan bentuk radikal juga sering kali menafsirkan
teks-teks keislaman menurut “cita rasa” merka sendiri tanpa
memperhatikan kontekstualisasi dan aspek aspek historisitas dari
teks itu, akibatnya banyak fatwa yang bertentangan dengan hak-hak
kemanusiaan yang Universal dan bertentangan dengan emansipatoris
islam sebagai agama pembebas manusia dari belenggu hegemoni.
Teks-teks keislaman yang sering kali di tafsirkan secara bias itu

3
adalah tentang perbudakan, status non muslim dan kedudukan
perempuan.

2. Faktor Eksternal
Faktor eksternal terdiri dari beberapa sebab di antaranya: pertama,
dari aspek ekonomipolitik, kekuasaan depostik pemerintah yang
menyeleweng dari nilai-nilai fundamental islam. Itu artinya, rejim di
negara-negara islam gagal menjalankan nilai-nilai idealistik islam.
Rejim-rejim itu bukan menjadi pelayan rakyat, sebaliknya berkuasa
dengan sewenang-wenang bahkan menyengsarakan rakyat.
Penjajahan Barat yang serakah, 16 Ahmad Norma Permata, Agama
dan Terorisme, (Muhammadiyah University Press: 2005), hal.78
Radikalisme, Liberalisme dan Terorisme A Faiz Yunus Jurnal Studi
Al-Quran, P-ISSN: 0126-1648, E-ISSN: 2239-2614 89
menghancurkan serta sekuler justru datang belakangan, terutama
setelah ide kapitalisme global dan neokapitalisme menjadi
pemenang. Satu ideologi yang kemudian mencari daerah jajahan
untuk dijadikan “pasar baru”. industrialisasi dan ekonomisasi pasar
baru yang dijalankan dengan cara-cara berperang inilah yang
sekarang mengejawantah hingga melanggengkan kehadiran
fundamentalisme islam. Karena itu, fundamentalisme dalam islam
bukan lahir karena romantisme tanah (seperti Yahudi), romantisme
teks (seperti kaum bibliolatery), maupun melawan industrialisasi
(seperti kristen eropa). Selebihnya, ia hadir karena kesadaran akan
pentingnya realisasi pesan-pesan idealistik islam yang tak dijalankan
oleh para rejim-rejim penguasa dan baru berkelindan dengan faktor-
faktor eksternal yaitu ketidakadilan global.
Terkait hal ini. Bahwa radikalisme agama tumbuh sebagai dampak
dari politik global dunia Islam yang terus 'menerus menjadi obyek
adu domba, penindasan dan kesewenang-wenangan. Palestine

4
misalnya, selaln dipandang sebagai wajah dunia Islam yang begitu
kuat dicengkraman para kapitalisme. Bahwa rasa solidaritas atas
penderitaan umat Islam eli beberapa belahan dunia telah melahirkan
semangat berbagi rasa.
Pada titik inilah kernudian lahir gerakan-gerakan yang
mengatasnamakan agama untuk berada di garis konfrontasi dengan
dunia Barat. Radikalisme tidak sesuai degan ajaran Islam sehingga
tidak patut untuk ditujukan dalam agama Islam karena sesungguhnya
dalam Islam tidak ada yang namanya radikalisme. Dalam Al Qur’an
dan Hadits sendiri memerintahkan umatnya untuk saling
menghormati dan menyayangi serta bersikap lemah lembut kepada
orang lain meskipun orang itu penganut agama lain. Kekerasan
dalam bentuk perang atau bentuk kekerasan yang lain bukan dimulai
oleh umat Islam sendiri. Begitu pula dalam sejarah perjungan nabi
Muhammad SAW, perang badar, uhud, dan lainnya bukanlah umat
Islam yang mengundang kaum kafir, akan tetapi sebaliknya. Umat
Islam justru diperintahkan untuk tetap berbuat baik kepada siapa
pun, termasuk kepada non-muslim yang dapat hidup rukun.
Mengenai hal ini, Allah juga berfirman dalam surah Al Mumtahanah
ayat 09:

Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan


sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama
dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk
mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan,
maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Mumtahanah:
09)

5
Liberalisme merupakan ideologi yang berasal dari pemikiran filsafat.
Penerapan prinsip liberalisme dapat dilihat dalam tata cara
pemerintahan sebuah negara, terutama bagi negara yang demokratis. 

Berbicara mengenai sumber radikalisme, maka sebahagian para ahli


menuding bahwa kekuasaanlah yang menjadi akarnya, baik yang
direpresentasikan oleh negara maupun penguasanya. Mengapa
Amerika Serikat begitu kuat melakukan radikalisasi atas radikalisme,
sebagai contoh rekayasa politiknya menuding bahwa terorisme itu
berbahaya bagi keamanan dan perdamaian, oleh karena itu harus
dihancurkan, maka ia sesungguhnya sudah melampaui perilaku
teroris yang dia tuduhkan. Maka dapat ditegaskan kekuasaannya atas
PBB-lah yang menjadi musabab radikalisme Amerika, Yahudi dan
Barat itu. Hal ini dikarenakan, kekuasaan sebagai suatu konsep
memberikan kepada orang untuk mewujudkan segala keinginan, dan
tujuan dari orang yang memiliki kekuasaan tersebut.
Oleh karena itu, dalam perspektif politik, radikalisme yang terjadi
Konfirmasi lebih jauh, Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori
Sosial Modern Suatu Analisa Karya Tulis Marx, Durkheim dan Max
Weber, (Jakarta : UI Press, 1986). Gafna Raiza Wahyudi dkk
(Penerjemah), Antonio Gramsci: Catatan-Catatan Politik,
(Surabaya : Penerbit Pustaka Promethean, 2001).h. 29. M. Sidi
Ritaudin 396 Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam
menempatkan faktor kekuasaan sebagai inti persoalannya, sehingga
radikalisme juga sering dimaknai sebagai bentuk dan cara perebutan
kekuasaan. Jika diperhatikan lebih jauh perilaku politik adikuasa
Amerika Serikat, Yahudi dan sekutu-sekutunya agaknya tidak
berlebihan kalau Machiavelli berpendapat bahwa penyelenggaraan
kekuasaan negara yang dispotik berkohesif menyatu dengan kepura-
puraan, kemunafikan, kelicikan, kejahatan, penghianatan, demi
kepentingan negara, yang penyelenggaraannya tidak boleh

6
dipengaruhi oleh nilainilai etis, kultural, dan religius.Hal demikian
ini, agaknya telah membelakangi warisan keagamaan Amerika
Serikat yang mana pada abad-18 terkenal selogannya adalah bahwa
agama merupakan suatu faktor penting yang menyatu dengan
peristiwa-peristiwa politik.
Di sinilah letak kemunafikan yang ditampakkan dengan dan atas
nama negara dan kekuasaan politik yang bertolak belakang dengan
nilainilai rigius, terlepas dari agama apapun yang mereka anut.
Dewasa ini, apakah orang itu taat beragama ataupun sekuler, ketika
ia memegang kekuasaan cenderung mengikuti pandangan
Machiavelli yang mengatakan bahwa salah satu aspek kunci dari
kekuasaan adalah radikalisme. Para penguasa politik yang enggan
menggunakan radikalisme tidak akan pernah memperoleh
kekuasaan, atau akan kehilangan kekuasaan yang pernah diraihnya.
Namun, penggunaan radikalisme yang berlebihan akan menimbulkan
kebencian pada rakyat dan mungkin. akan digulingkan. Oleh karena
itu, bagi Machiavelli lebih menyukai pemerintahan berbentuk
republik sebagai sebuah rezim yang non-monarkhis. Hal ini
dikarenakan, republik merupakan sistem pemerintahan yang didasari
pada kesepakatan antara rakyat dengan penguasa, kesepakatan ini
akan memperkuat kedudukan para penguasa, sehingga membatasi
dilakukannya radikalisme.
b. Membendung Arus Radikalisme Politik Global
Arus radikalisme politik global sangat deras dan cukup membahayakan
kemakmuran dan kedamaian dunia. Oleh sebab itu, secara teoritis muncul
beberapa analisis yang menawarkan upaya membendung arus deras
radikalisme politik global yang mengerikan itu. Mark R. Woodward
menyarankan agar menutup akses terhadap media massa seperti internet,
surat kabar ataupun media lain yang dicurigai berbau radikal, atau paling
tidak, dapat menyulut radikalisme global di berbagai belahan dunia ini.
Pendapatnya ini kemudian dipatahkannya sendiri dengan mengatakan

7
bahwa langkah tersebut bukanlah cara yang benar, sebab informasi tidak
akan bisa di bendung. Kemudian ia lebih lanjut menawarkan dua cara
yang bisa dilakukan untuk membendung arus deras pengaruh globalisasi
politik dan radikalisme Islam.
c. Pengertian sekularisme
Sekulerisme merupakan sebuah ideologi yang menyatakan bahwa sebuah
institusi atau badan negara harus berdiri terpisah dari agama atau
kepercayaan. Dengan hal ini kita mengetahui bahwa tinjauan sekulerisme
berarti berkaitan dengan pemurusan antara politik dan agama.
Sekularisme sendiri menentang suatu agama diberi hak istimewa sebagai
suatu pengambil keputusan bernegara.
Gagasan tentang Sekularisme Istilah “sekularisme”, dalam pengertian
modern yakni doktrin tentang moralitas, pendidikan, negara dan hukum
tidak berdasarkan kepada prinsipprinsip agama, tetapi pada “nalar
universal” atau “nalar positivisme”, merupakan hal baru yang dikenal
masyarakat Muslim, termasuk di Indonesia. Pengertian itu
mengindikasikan bahwa ranah agama mesti dipisahkan dari politik, sains
dan hukum.
Pengetahuan agama dianggap pengetahuan subjektif, sebab tidak
memiliki basis epistemologi yang bersifat netral dan terukur, seperti
halnya, sains yang dibangun di atas dasar empirisme yang bisa dialami
semua manusia tanpa memandang latar belakang keyakinan. Agama
tidak bisa dijadikan landasan bersama dalam kehidupan publik, maka
agama hanya bisa ditempatkan pada wilayah pribadi. Pengertian istilah
“sekularisme” yang baru ini dikenal di negara-negara Muslim, umumnya,
ketika orang-orang Eropa berhasil menaklukan bangsabangsa Muslim
melalui proses kolonialisme.Pemerintah kolonial Belanda yang berhasil
menaklukan kekuasaan kerajaan dan kesultanan yang ada di Nusantara
melalui kekuatan militerisme, kemudian mengenalkan dan menerapkan
sistem kekuasaannya pada masyarakat Nusantara seperti sistem
kekuasaan yang telah berkembang di negeri Eropa, yakni sistem sekular.

8
Namun demikian bukan berarti bahwa di bangsa-bangsa Muslim
sebelumnya tidak ada sesuatu yang dianggap sekular, tetapi munculnya
suatu kesadaran ada entitas sekular yang menjadi dasar kesadaran
berpikir dalam menata kehidupan beriringan dengan terjadi perubahan
politik. Munculnya kesadaran baru tersebut membuat institusi hukum,
etika dan otoritas keagamaan mengalami transformasi.

d. Pengertian islamfobia
Adalah istilah kontroversial yang merujuk pada prasangka dan
diskriminasi pada Islam dan Muslim. Istilah ini sudah ada sejak tahun
1980-an, tetapi menjadi lebih populer setelah peristiwa serangan 11
September 2001.
Islamofobia tumbuh terutama di Eropa dan AS karena salah paham
tentang Islam. Yang mereka ketahui, imigran pada beberapa kelompok
begitu eksklusif. Ada beberapa pula yang ke Afghanistan, Irak. Artinya,
informasi sedikit membuat persepsi sempit. Sementara, wajah yang
dipertontonkan kebetulan oleh (kelompok) radikal itu. Apalagi, mereka
kelompok radikal ini sangat banyak beredar di internet. Alqaidah,
misalnya, mereka menyebar di beragam media. Ini dibaca oleh
policemaker dan masyarakat umum. Sehingga, digambarkan dari sana,
Islam seperti ini (yang digambarkan Alqaidah). Info yang kurang ini
ditambah wacana kelompok ekstrem.
Secara global, kelompok ekstremis Islam mengalami ketidakadilan
global. Orang tidak pernah mendapat jawaban mengapa AS menyerang
Afghanistan dan mengapa terus berkepanjangan. Kalau berdasarkan
demokrasi, ya nggak akan ditumpas seperti itu. Ketidakadilan ini pun
dirasa harus dibalas. Kemudian, di Yaman, Suriah, ada strategi di mana
rezim harus diturunkan. Melindungi kelompok Muslim yang teraniaya
sangat diterapkan oleh kelompok (teroris) ini.

9
Ada secuil sejarah yang luput dibicarakan, bahwa Muslim juga pernah
berjuang bersama militer Nasrani untuk membabat habis musuh. Curtis
mencontohkan, saat periode Taifa dari sejarah Spanyol abad ke-11
hingga ke-13—ketika ada beberapa kerajaan kecil yang bersaing untuk
memperebutkan kontrol politik Semenanjung Iberia—orang-orang
Kristen dan Islam mesra melawan musuh bersama.
Masalahnya, bab sejarah tersebut sengaja dilupakan atas nama narasi
imperial tentang supremasi Barat. Ada ambisi dari masyarakat kulit putih
untuk “menghapus sejarah” lantaran mendambakan kehidupan yang
homogen, di mana mereka menjadi satu-satunya anasir yang penting.
Sayangnya, penghapusan sejarah itu dirawat sedemikian rupa hingga
sekarang, mewujud dalam kebencian bernama Islamofobia. Itu mungkin
jadi jawaban yang masuk akal untuk menjelaskan mengapa masyarakat
Muslim Hui dan Uighur ditindas oleh pemerintah China. Mengapa
perempuan Rohingya di Myanmar diperkosa, rumah mereka dibakar
habis, dan para suami dibunuh. Pun, mengapa para pemimpin di Eropa
termasuk Presiden Prancis Emmanuel Macron keras hati ingin
menyingkirkan imigran Muslim di negaranya.
Kendati saban negara punya sejarahnya masing-masing, tapi kebencian
terhadap Islam bisa ditarik benang merah yang sama. Muslim dimusuhi
setidaknya karena beberapa hal, yakni faktor politik di mana otoritas non-
Muslim ingin sejarah Muslim dilenyapkan; karakteristik Muslim
dipandang berbeda dan cenderung kaku; serta terorisme yang diusung
Muslim puritan global sekaligus bergesernya corak politik makin ke
kanan.
Di China misalnya, ketidaksukaan terhadap Islam sudah dicicil sejak era
kedinastian. Sejak era dinasti Yuan (1271–1368) di mana muslim banyak
menduduki jabatan penting pemerintahan, mereka kerap dijadikan
sebagai bahan olok-olok berbau rasisme. Historia mengutip Jilid 28
Catatan Sehabis Bertani (Chuo Geng Lu) karangan Yuan Tao Zongyi,
orang China sering mencemooh Muslim yang didominasi keturunan

10
Arab, Persia, dan Asia Tengah dengan sebutan si “belalai gajah” (xiang
bi) dan si “mata kucing” (mao jing). Muslim juga dihina karena punya
tradisi berbeda dan kaku yang menolak makan babi, seperti orang China
kebanyakan. Di masa dinasti Qing (1636–1912), minoritas Muslim lebih
dibenci lagi, dan dianggap sebagai kelompok marjinal, bengis, barbar,
brutal, dan kaku.
Khusus untuk Muslim Uighur, kebencian terhadap Muslim di sana selain
disebabkan faktor ekonomi–mengingat Xinjiang menyimpan cadangan
minyak dan mineral cukup besar–juga karena ada gerakan separatis
seperti East Turkestan Islamic Movement (ETIM) yang sudah eksis sejak
1990-an. Beijing mengategorikan ETIM sebagai kawanan teroris yang
berafiliasi dengan Al-Qaeda, sehingga laik diperangi.
Anggapan senada soal Muslim juga terjadi di Eropa yang arah politiknya
memang lebih condong ke kanan. Mengutip Tirto, Majalah Sayap Kanan
Polandia, wSieci atau The Network menyebut, imigran Muslim
menciptakan neraka dan merupakan invasi dari kebudayaan, tata nilai,
dan norma masyarakat Eropa. Islam dalam hemat mereka disebut-sebut
tak bisa menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tata nilai, dan
kebudayaan Eropa. Beberapa media dan kelompok sayap kanan
menyebut jika imigran Muslim mau ke Eropa, mereka yang mesti
menyesuaikan diri dengan Eropa dan bukan sebaliknya.

2. KONTEKS LOKAL
a. BERKEMBANGNYA GERAKAN YANG MEMBAWA IDEOLOGI
TRANSNASIONAL
Kearifan lokal termanifestasikan dalam kebiasaan ritualistik,
pengetahuan, dan bagaimana suatu komunitas berinteraksi dengan
kebudayaan dari luar komunitas tersebut. Kearifan lokal telah mengalami
berbagai interaksi dengan kebudayaan diluarnya tanpa harus kehilangan
cirinya sebagai identitas kultural suatu komunitas budaya tertentu.
Namun belakangan muncul ketakutan terhadap terkikisnya kearifan lokal

11
di Indonesia akibat gencarnya persebaran informasi dari seluruh dunia.
Persebaran informasi turut membawa pemikiran-pemikiran yang sering
diistilahkan sebagai ideologi transnasional. Pradipto B., Rommel U. P.,
Syarifuddin 114 ~ Vol. 1 | No. 2 | Oktober 2019 Ciptaan disebarluaskan
di bawah Lisensi Creative Commons Atribusi-BerbagiSerupa 4.0
Internasional. Ideologi transnasional dianggap dapat semakin mengikis
kebiasaan-kebiasaan yang resiprok antar individu. Secara umum, ideologi
transnasional berpijak pada kepastian pemahaman tentang cara pandang
terhadap manusia dan sekitarnya.
Jika kearifan lokal berasal dari pengalaman sehari-hari yang terkumpul
dalam struktur kehidupan bersama yang cenderung tidak tertulis, ideologi
transnasional memiliki teks tertentu yang dipandang sah sebagai cara
pandang utama untuk melihat segala hal. Demikian pula kondisi
Indonesia yang dipandang memprihatinkan baik dari sisi sosial, politik,
maupun ekonomi, kemudian menjadi lahan subur bagi berkembangnya
ideologi transnasional. Ideologi tersebut menawarkan jalan keluar praktis
dari semua masalah tanpa perlu banyak berpikir. Hal itu jelas menjadi
tantangan bagi kearifan lokal yang mempertimbangkan interaksi individu
dengan alam, individu lain, maupun masyarakat. Kearifan tersebut
berpikir bagaimana caranya mewujudkan keselarasan tanpa menyakiti
pihak lain. Ideologi transnasional adalah sebaliknya dengan bersifat top-
down, bersifat mengikat, bahkan benar tanpa harus diragukan sedikitpun.
Globalisasi pada era digital saat ini memungkinkan persebaran informasi
yang tunggang-langgang bahkan tidak terkendali.
Beberapa pihak menyebut bahwa saat ini dunia memasuki era ‘post-
truth’, yakni era dimana kebenaran diperlakukan secara ekonomis,
sehingga batas antara yang benar dan bohong, fiksi dan non-fiksi,
menjadi kabur (Keyes, 2004). Pada sisi lain, informasi mengenai paham-
paham yang belum dikenal sebelumnya dapat masuk dan dikonsumsi
secara leluasa. Globalisasi memungkinkan informasi tersebar melampaui
batas negara. Kebaruan informasi sendiri menjadi sebuah kebutuhan,

12
dimana ketertinggalan terhadap informasi dapat berakibat pada kerugian
ekonomi dan keterasingan sosial. Konsumsi informasi yang tidak
terkendali itulah yang lalu memberikan jalan bagi ideologi transnasional
untuk menemukan pasarnya yang lebih luas. Selain sebagai media untuk
penyebaran informasi, globalisasi dimanfaatkan pula untuk menunjuk
kondisi yang tanpa arah sehingga membutuhkan kepastian secara
ideologis. Apa yang secara filosofis dipahami dalam interaksi antar
manusia ingin digeser oleh pandangan tekstual murni yang pasti benar
sekaligus baik bagi siapapun.
Ideologi transnasional secara longgar dapat dipahami sebagai paham atau
pemikiran yang disebarkan secara lintas batas negara. Paham-paham
yang masuk ke Indonesia juga datang bersama identitas yang
mewakilinya. Hal yang dikhawatirkan sebagian masyarakat saat ini
adalah kearifan lokal menjadi semakin inferior dari dalam kontestasinya
dengan modernitas dan arus informasi yang secara gencar datang dari
luar. Berbagai kalangan yang identitasnya terintegrasi dalam kearifan
lokal tadi khawatir bahwa melemahnya daya saing kearifan lokal dapat
mengikis identitas nasional masyarakat Indonesia, untuk kemudian
tergantikan dengan ideologi transnasional yang masuk. Ketakutan
terhadap apa yang datang dari luar tidak hanya berlaku pada ranah paham
dan ajaran saja. Ketakutan terhadap ideologi transnasional secara tidak
langsung diiringi pula dengan sentimen anti asing.
Sejak kerusuhan 1998, sentimen anti-asing kembali muncul di antara
masyarakat dan mendapatkan momentumnya dengan tersedianya media
sosial. Sebagian kalangan menekankan permusuhan ini kepada etnis
Tionghoa, dengan membedakan antara pribumi dan non-pribumi. Terma
‘transnasional’ pada ideologi transnasional sendiri pada dasarnya
mencerminkan alienasi terhadap paham-paham selain Pancasila yang
telah dibakukan oleh Pemerintah. Turunannya, ideologi transnasional
secara umum dipersepsikan sebagai ancaman bagi nasionalisme dan
kearifan lokal, dianggap tidak sesuai dengan kepribadian bangsa, dan

13
mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Dari sinilah titik problematis
muncul, yakni bahwa istilah ideologi transnasional sebenarnya
bermasalah ketika ia dimaknai sebagai persepsi ancaman terhadap
Pancasila sebagai cerminan kearifan lokal Pancasila Dalam Interaksi
Kearifan Lokal dan Ideologi Transnasional Ciptaan disebarluaskan di
bawah Lisensi Jurnal Inovasi Ilmu Sosial dan Politik (JISoP) ~ 115
Creative Commons Atribusi-BerbagiSerupa 4.0 Internasional.
Indonesia. Gencarnya ideologi transnasional yang tersebar di ruang
publik, dan perbincangan yang menyertainya belakangan ini tidak serta
merta menggerus keberadaan kearifan lokal. Dua dari banyak ideologi
transnasional yang paling mengemuka saat ini adalah neoliberalisme dan
fundamentalisme agama (Santosa, 2016). Neoliberalisme bertumpu pada
kondisi pasar modern yang bukan hanya mengacu pada liberalisasi pasar
dan investasi melainkan juga tren informasi dan teknologi modern yang
merasuk ke dalam tiap sendi kehidupan sehari-hari. Neoliberalisme
adalah ideologi untuk mewujudkan kebijakankebijakan pro-pasar dan
kompromi terhadap kapital, di mana dasar premisnya adalah bahwa
kompetisi merupakan satu-satunya cara yang masuk akal sebagai dasar
aktivitas manusia.
Fundamentalisme merujuk pada istilah untuk menggambarkan
karakteristik yang diberikan kepada gerakan-gerakan relijius modern.
Gerakan fundamentalis tidak serta merta tradisional, konservatif, dan
ortodoks, namun gerakan ini cenderung reaktif terhadap konsep-konsep
modernitas (E. Marty, 2015). Fundamentalisme merupakan gejala
keagamaan yang bisa lahir dari semua agama dimana dan kapan saja.
Dalam fundamentalisme Kristen misalnya, muncul untuk membendung
modernisme yang dianggap menodai agama dan memilih kembali pada
kemurnian teks kitab suci. Begitu pula dalam fundamentalisme Islam,
diartikan sebagai usaha-usaha mempertahankan ajaran dasar Islam sesuai
teks kitab suci yang murni tanpa konsep-konsep kebudayaan lain yang
dianggap takhayul dan bid’ah (Zainuddin, 2015).

14
b. BERKEMBANGNYA RADIKIALISME/TERORISME ATAS NAMA
AGAMA YANG MENGANCAM AGAMA DAN DISHARMONI
ATAR UMAT BERAGAMA
Pada masa pasca reformasi yang ditandai dengan titik balik terbukanya
demokratisasi di Indonesia,yang dimana pada masa itu menjadi lahan
tumbuhhnya kelompok-kelompok radikal yang mengatas namakan
agama. Fenomena radikalisme ini sering kali disandarkan dengan paham-
paham keagamaan, sekalipun hal ini dapat lahir dari berbagai sumbu,
seperti politik,ekonomi, social dan sebagai hal lainnya.
Dalam konstelasi politik di Indonesia, permasalahan radikalisme telah
makin membesar dikarenakan dukungan dari beberapa pihak yang juga
semakin meningkat. Akan tetapi, gerakan-gerakan radikal ini terkadang
berbeda pandangan serta tujuannya, yang mengakibatkan tidak memiliki
pola yang seragam. Ada golongan yang sekedar mempejuangkan
implementasi syariat islam tanpa untuk mendirikan “Negara Islam
Indonesia”, namun ada pula yang memperjuangkan berdirinya Negara
Islam Indonesia.
Bila mana dilihat dari sejarah, gerakan ini telah muncul pada masa
kemerdekaan Indonesia bahkan dapat dikatakan sebagai akar dari
gerakan pada era reformasi. Gerakan yang dimaksud adalah DI/TII
(Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) dan Negara Islam Indonesia (NII)
yang mulanya bergerak di Jawa Barat, Aceh dan Makassar. Gerakan-
gerakan ini disatukan oleh visi misi untuk menjadikan syariat islam
sebagai dasar Negara Indonesia. Gerakan DI ini berhenti setelah para
pemimpinnya terbunuh pada tahun 1960-an. Sekalipun demikian, hal
tersubut bukan berarti gerakan yang semacam itu lenyap dari Indonesia.
Pada tahun 1970-an dan 1980-an gerakan yang semacam itu muncul
kembali, seperti Ali Imron, Komando Jihad , yang dimana untuk
mendririkan Negara islam dan semacamnya.
Pada awalnya, alasan bermunculan utama dari gerakan radikalisme
agama tersebut adalah dilatarbelakangi oleh politik local dari ketidak

15
puasan politik dan semacamnya. Namun setelah terbentuknya gerekan
tersebut, dimana pada awalnya agama bukan sebagai pemicunya,
kemudian berkembang menjadi factor legitimasi maupun perekat gerakan
islam garis keras. Meskipun begitu, radikalisme yang dilkukan
sekelompok yang mengatas namakan agama tidak dapat dijadikan alas an
untuk menjadikan islam sebagai biang dari radikalisme.
Gerakan radikalisme yang awalnya muncul sebagai perlawanan terhadap
komunisme yang berkembang di Indonesia . selain itu, perlawanan
mereka terhadap penerapan pancasila sebagai asas tunggal dalam politik.
Bagi kaum radikalis agama system demokrasi pancasila tidak sejalan
dengan ideology yang mereka pegang. Oleh sebab itu mereka bersama
kelompoknya, untuk mempromosikan syariah sebagai solusi dalam
kehidupan bernegara.
Peran pancasila masih dibutuhkan dalam menumpasradikalisme agama
yang berkembang di Indonesia. Pancasila sebagai ideology berarti suatu
pemikiran yang memuat pandangan dasar dan cita-cita mengenai
masyarakat dan Negara Indonesia yang bersuber dari kebudayaan
Indonesia, oleh karena itu pancasila dalam pengertian ideology ini sama
artinya dengan pandangan hidup bangsa atau falsafah hidup bangsa
(Rukiyati,M.Hum,dkk,2008:89).
Pancasila adalah penjelmaan falsafah bangsa Indonesia yang paling
relistis karena berpijak dari proses perjalanan pembentukan nusantara.
Sebagai Negara kepulauan terbesar di dunia yang membujur di titik
strategis persilangan antar benua dan antar samudra, dengan daya tarik
kekayaan sumbeer daya yang melimpah, Indonesia sejak lama menjadi
titik temu penjelajahan bahari yang membawa berbagai arus paradaban
(Yudi Latif,2011:03). Keselarasan pancasila dengan ajaran islam juga
tercemin dari kelima silanya yang selaras dengan ajaran agama islam.
Gerakan radikalisme yang berkembang di Indonesia dapat merugikan
ketatanegaraan NKRI dan juga tidak sesuai dengan pancasila.
Radikalisme dapat menjadikan Negara dipandang rendah oleh bangsa

16
lain sehingga mempengaruhi segala sesuatu dalam pemerintahaan
Indonesia, selain itu radikalisme bertentangan dengan sila pertama , yang
dimana tidak ada satupun agama yang mengajarkan radikalisme untuk
mencapai tujuan dari suatu umat beragama. Sebagai bangsa yang
sebagian besar orang muslim Indonesia pun menggenggam komitmen
yang amat kuat untuk memulai inisiatif perdamaian. 
Gerakan radikalisme agama bagaikan musuh dalam selimut. Hal itu
dikarenakan selain dapat membahayakan kehidupan bernegara juga
berpengaruh pada umat islam sendiri. Dalam bernegara kekayaan budaya
dan tradisi akan tereduksi dengan hadirnya formalisasi agama ini. Bagi
umat islam sendiri hal ini berarti menyempitkan pemahaman dari agama.
Radikalisme yang berujung pada terorisme menjadi permasalahan yang
sangat penting bagi umat islam di Indonesia. Dimana isu itu telah
menyababkan pengecapan islam adalah sebagai agama terror dan umat
islam diaangap munyukai jalan kekerasan dalam menyebarkan
agamanya. Meskipun anggapan itu mudah dimentahkan, namun fakta
bahwa pelaku terror di Indonesia adalah seorang muslim dan targetnya
selalu non muslim hal ini membebani psikologis umat islam secara
keseluruhan.
Gagasan yang mengubah pandangan islam kedalam Negara disebabkan
oleh tujuan yang berlebihan tanpa dibarengi dengan pengetahuan agama
yang memadai. Pandangan yang berbeda dan bersebrangan harus
diberangus dan dianggap sesat. Yang dimana agama dijadikan dalih
terhadap pemahaman tersebut sehingga tanpa mereka sadari apa yang
diperjuangkan adalah bukan atas nama agama itu sendiri malainkan
ideology mereka. Dalam meyelamatkan NKRI dari keterpecah belahan
seluruh masyarakat Indonesia sedarinya perlu bersama mewujudkan
islam yang lebih moderat ,terbuka, dan tidak meneriakkan kekerasan
terhadap kekayaan budaya nusantara.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan bahwa agama bukanlah
sumber ketidakrukunan, perpecahan, dan disintegrasi dalam kehidupan

17
bangsa ini. Berbagai konflik yang sering digambarkan sebagai konflik
antarumat beragama di Indonesia, sesungguhnya bersumber dari
sempitnya pemahaman keagamaan, masalah timpangnya kesejahteraan
sosial serta banyaknya tindakan pemangku kekuasaan yang
mencerminkan ketidakjujuran dan ketidakadilan. Ini ditegaskan Slamet
Effendi Yusuf, Ketua Komisi Kerukunan Antar-Umat Beragama MUI
usai Rapat Koordinasi Nasional Komisi Kerukunan Antar-Umat
Beragama MUI di jakarta, selasa (22/12).
Diakui Slamet bahwa realitas kehidupan belakangan ini, disamping
terdapat kemajuan pada pelaksanaan demokrasi politik dan ekonomi,
masih banyak aspek kehidupan yang mengkhawtirkan. ''Kondisi tersebut
ditandai dengan mencuatnya beberapa kondisi negatif berupa adanya
gangguan atas kedaulatan negara, krisis multidimensional, rendahnya
tingkat kesejahteraan rakyat, rendahnya tingkat kesejahteraan rakyat,
belum terwujudnya keadilan sosial serta masih adanya disharmoni antar
dan intern umat beragama,'' kata Slamet.
Ditambahkan Manager Nasution, Sekretaris Komisi Kerukunan antar
Umat beragama MUI, bahwa pihaknya menilai perlu dibangun horizon
baru hubungan antar umat beragama dengan mewujudkan kerjasama
konkret di bidang ekonomi dan pemberdayaan masyarakat. ''Untuk itu
kami akan mengintensifkan pertemuan dan dialog yang berkejujuran
bersama para pimpinan, tokoh cendekiawan, majelis-majelis agama serta
angkatan muda agama-agama dari tingkat pusat sampai daerah,'' tandas
Manager.
Menurut Manager, MUI juga menyerukan pada umat beragama untuk
tidak mudah terpancing untuk melakukan tindakan-tindakan yang
didasarkan pada pemahaman dan sikap keagamaan yang eksklusif dan
emosional. ''Juga liberalisme dan fundamentalisme yang berpotensi
mengganggu kerukunan umat beragama dan merongrong keutuhan
bangsa dan negara,'' tambahnya.
3. URGENSI MODERASI BERAGAMA

18
a. Pentingnya membawa harmoni dalam beragama dengan menerapkan cara
beragama yang moderat/wasathiyyah yang tidak berpihak pada
pemahaman teks tapi mengkombinasikan pemahaman yang kontekstual.
Dalam masyarakat Indonesia yang multibudaya, sikap keberagamaan
yang ekslusif yang hanya mengakui kebenaran dan keselamatan secara
sepihak, tentu dapat menimbulkan gesekan antar kelompok agama.
Konflik keagamaan yang banyak terjadi di Indonesia, umumnya dipicu
adanya sikap keberagamaan yang ekslusif, serta adanya kontestasi antar
kelompok agama dalam meraih dukungan umat yang tidak dilandasi
sikap toleran, karena masing-masing menggunakan kekuatannya untuk
menang sehingga memicu konflik.
Konflik kemasyarakatan dan pemicu disharmoni masyarakat yang pernah
terjadi dimasa lalu berasal dari kelompok ekstrim kiri (komunisme) dan
ekstrim kanan (Islamisme). Namun sekarang ini ancaman disharmoni dan
ancaman negara kadang berasal dari globalisasi dan Islamisme, yang oleh
Yudi (2014 : 251) disebutnya sebagai dua fundamentalisme : pasar dan
agama. Dalam kontek fundamentalisme agama, maka untuk menghindari
disharmoni perlu ditumbuhkan cara beragama yang moderat, atau cara
ber-Islam yang inklusif atau sikap beragama yang terbuka, yang disebut
sikap moderasi beragama. Moderasi itu artinya moderat, lawan dari
ekstrem, atau berlebihan dalam menyikapi perbedaan dan keragaman.
Kata moderat dalam bahasa Arab dikenal dengan al-wasathiyah
sebagaimana terekam dari QS.al-Baqarah [2] : 143. Kata al-Wasath
bermakana terbaik dan paling sempurna.
Dalam hadis yang juga disebutkan bahwa sebaik-baik persoalan adalah
yang berada di tengah-tengah. Dalam melihat dan menyelesaikan satu
persoalan, Islam moderat mencoba melakukan pendekatan kompromi dan
berada di tengahtengah, dalam menyikapi sebuah perbedaan, baik
perbedaan agama ataupun mazhab, Islam moderat mengedepankan sikap
toleransi, saling menghargai, dengan tetap meyakini kebenaran
keyakinan masing-masing agama dan mazhab, sehingga semua dapat

19
menerima keputusan dengan kepala dingin, tanpa harus terlibat dalam
aksi yang anarkis. (Darlis, 2017) Dengan demikian moderasi beragama
merupakan sebuah jalan tengah di tengah keberagaman agama di
Indonesia.
Moderasi merupakan budaya Nusantara yang berjalan seiring, dan tidak
saling menegasikan antara agama dan kearifan lokal (local wisdom).
Tidak saling mempertentangkan namun mencari penyelesaian dengan
toleran. Dalam kontek beragama, memahami teks agama saat ini terjadi
kecenderungan terpolarisasinya pemeluk agama dalam dua kutub
ekstrem. Satu kutub terlalu mendewakan teks tanpa menghiraukan sama
sekali kemampuan akal/ nalar. Teks Kitab Suci dipahami lalu kemudian
diamalkan tanpa memahami konteks. Beberapa kalangan menyebut kutub
ini sebagai golongan konservatif. Kutub ekstrem yang lain, sebaliknya,
yang sering disebut kelompok liberal, terlalu mendewakan akal pikiran
sehingga mengabaikan teks itu sendiri. Jadi terlalu liberal dalam
memahami nilainilai ajaran agama juga sama ekstremnya. Moderat dalam
pemikiran Islam adalah mengedepankan sikap toleran dalam perbedaan.
Keterbukaan menerima keberagamaan (inklusivisme). Baik beragam
dalam mazhab maupun beragam dalam beragama. Perbedaan tidak
menghalangi untuk menjalin kerja sama, dengan asas kemanusiaan
(Darlis, 2017). Meyakini agama Islam yang paling benar, tidak berarti
harus melecehkan agama orang lain. Sehingga akan terjadilah
persaudaraan dan persatuan anatar agama, sebagaimana yang pernah
terjadi di Madinah di bawah komando Rasulullah SAW. Moderasi harus
dipahami ditumbuhkembangkan sebagai komitmen bersama untuk
menjaga keseimbangan yang paripurna, di mana setiap warga
masyarakat, apapun 493 Jurnal Diklat Keagamaan, Vol. 13, no. 2,
Pebruari - Maret 2019 suku, etnis, budaya, agama, dan pilihan politiknya
mau saling mendengarkan satu sama lain serta saling belajar melatih
kemampuan mengelola dan mengatasi perbedaan di antara mereka.
Untuk mewujudkan moderasi tentu harus dihindari sikap inklusif.

20
Menurut Shihab bahwa konsep Islam inklusif adalah tidak hanya sebatas
pengakuan akan kemajemukan masyarakat, tapi juga harus
diaktualisasikan dalam bentuk keterlibatan aktif terhadap kenyataan
tersebut.
Sikap inklusiv-isme yang dipahami dalam pemikiran Islam adalah
memberikan ruang bagi keragaman pemikiran, pemahaman dan perpsepsi
keislaman. Dalam pemahaman ini, kebenaran tidak hanya terdapat dalam
satu kelompok saja, melainkan juga ada pada kelompok yang lain,
termasuk kelompok agama sekalipun. Pemahaman ini berangkat dari
sebuah keyakinan bahwa pada dasarnya semua agama membawa ajaran
keselamatan. Perbedaan dari satu agama yang dibawah seorang nabi dari
generasi ke generasi hanyalah syariat saja (Shihab, 1999). Jadi jelas
bahwa moderasi beragama sangat erat terkait dengan menjaga
kebersamaan dengan memiliki sikap ‘tenggang rasa’, sebuah warisan
leluhur yang mengajarkan kita untuk saling memahami satu sama lain
yang berbeda dengan kita. Seruan untuk selalu menggaungkan moderasi,
mengambil jalan tengah, melalui perkataan dan tindakan bukan hanya
menjadi kepedulian para pelayan publik seperti penyuluh agama, atau
warga Kementerian agama namun seluruh warga negara Indonesia saja
dan seluruh umat manusia, sehingga tidak sampai menimbulkan peristiwa
sebagai penembakan di masjid Selandia Baru yang menewaskan 50
jamaah salat jum’at. Berbagai konflik dan ketegangan antar umat
manusia dalam keragaman agama, suku, faham dan sebagainya telah
memunculkan ketetapan internasional lewat Perserikatan Bangsa Bangsa
yang menetapkan tahun 2019 ini sebagai ”Tahun Moderasi Internasional”
(The International Year of Moderation). Penetapan ini jelas sangat
relevan dengan komitmen Kementerian Agama untuk terus
menggaungkan moderasi beragama.
Agama menjadi pedoman hidup dan solusi jalan tengah (the middle path)
yang adil dalam menghadapi masalah hidup dan kemasyarakatan, agama
menjadi cara pandang dan pedoman yang seimbang antara urusan dunia

21
dan akhirat, akal dan hati, rasio dan norma, idealisme dan fakta, individu
dan masyarakat. Hal sesuai dengan tujuan agama diturunkan ke dunia ini
agar menjadi tuntunan hidup, agama diturunkan ke bumi untuk
menjawab berbagai persoalan dunia, baik dalam skala mikro maupun
makro, keluarga (privat) maupun negara (publik).

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran
Demikian makalah yang kami buat,semoga dapat bermanfaat bagi
kita semua. Apabila ada saran dan kritik yang ingin disampaikan,silahkan di
sampaikan kepada saya.
Apabila ada kesalahan mohon dimaafkan dan dimaklumi,sekian
makalah yang dapat saya tulis sekian dan terimakasih.

22
DAFTAR PUSTAKA

 Yusuf Qardhawi, Islam Radikal: Analisis terhadap Radikalisme dalam


Berislam dan Upaya Pemecahannya, (terj.) Hamin Murtadho, (Solo: Era
Intermedia, 2014), hal. 127
 Jurnal Studi Al-Qur’an; Vol. 13 , No. I , Tahun. 2017 Membangun Tradisi
Berfikir Qur’ani doi.org/10.21009/JSQ.013.1.06
 Konfirmasi lebih jauh, Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial
Modern Suatu Analisa Karya Tulis Marx, Durkheim dan Max Weber,
(Jakarta : UI Press, 1986). 7 Gafna Raiza Wahyudi dkk (Penerjemah),
Antonio Gramsci: Catatan-Catatan Politik, (Surabaya : Penerbit Pustaka
Promethean, 2001).h. 29
 Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888 (Jakarta: Pusataka
Jaya, 1984), h. 15.
 https://www.matamatapolitik.com/islamofobia-dan-sejarah-penindasan-
muslim-di-dunia-historical/
 https://www.kompasiana.com/sudutjalan/590170a199937312048b4567/
radikalisme-agama-dalam-politik-mengancam-persatuan-nkri
 https://republika.co.id/berita/97522/mui-agama-bukan-sumber-disharmoni
 http://riset.unisma.ac.id/index.php/JISoP/article/view/4806
 Jurnal Diklat Keagamaan, Vol. 13, no. 2, Pebruari - Maret 2019

Anda mungkin juga menyukai