Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

SALAH PAHAM KONSEP RADIKALISME DAN


TERORISME
Disusun Untuk Memenuhi Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam

Dosen Pengampu : Dr. Syamhudian Noor, S.H.I, M.Ag

Disusun oleh :

Kelompok 9
Rangga Prawira Gabdin (223020206020)

Cahyo Ramadhan (223010206012)

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


UNIVERSITAS PALANGKA RAYA
2022/2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ........................................................................................................................... i

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang ............................................................................................................. 1

1.2. Rumusan Masalah ....................................................................................................... 1

1.3. Tujuan.......................................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Radikalisme............................................................................................... 1

2.2. Faktor Penyebab Radikaslisme………………............................................................ 2

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan................................................................................................................... 6

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................9

i
BAB I PENDAHULUAN

1. Pendahuluan
Keharmonisan akan tercipta manakala ada keselarasan antar dua pihak atau
lebih. Terciptanya keadaan yang sinergis diantara pihak satu dan pihak lainnya yang di
dasarkan pada cinta kasih, dan mampu mengelola kehidupan dengan penuh
keseimbangan (fisik, mental, emosional dan spiritual) baik dalam tubuh keluarga maupun
hubungannya dengan yang lain, sehingga terciptanya suasana aman, perasaan tentram
dan lain sebagainya juga dapat menjalankan peran-perannya dengan penuh
kematangan sikap, serta dapat melalui kehidupan dengan penuh keefektifan dan
kepuasan batin. Sementara paham yang radikal, ekstrim, dan fundamental akan
melahirkan acaman terhadap dirinya serta sekitarnya yang akan dirasakan dalam jang
waktu yang perlahan sehingga menjadi isu teror dimana-mana sebagaimana yang telah
dan sedang terjadi saat ini.

2. Rumusan Masalah
a. Apa yang dimaksud dengan Radikalisme?
b. Apa faktor yang menyebabkan terjadinya Radikalisme?
c. Apa yang dimaksud dengan Ekstrimisme?

3. Tujuan Penulisan
a. Mengetahui maksud dari Radikalisme

1
BAB II PEMBAHASAN

1. Pengertian Radikalisme
Radikalisme dan terorisme sesungguhnya adalah fitnah terhadap Islam dan umat.
Karena jika ada terorisme maka Islam dapat mendapatkan stigma yang buruk di
masyarakat, dan korban terorisme seringkali adalah umat Islam sendiri. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI), radikalisme berarti (1) paham atau aliran yang
radikal dalam politik; (2) paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau
pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis; (3) sikap
ekstrem dalam aliran politik (Bahasa 2008, 1130). Terminologi radikalisme dalam agama,
apabila dihubungkan dengan istilah dalam bahasa Arab, sampai saat ini belum ditemukan dalam
kamus bahasa Arab. Istilah ini adalah murni produk Barat yang sering dihubungkan dengan
fundamentalisme dalam Islam.
Dalam tradisi Barat istilah fundamentalisme dalam Islam sering ditukar dengan istilah lain,
seperti: “ekstrimisme Islam” sebagaimana dilakukan oleh Gilles Kepel atau “Islam Radikal”
menurut Emmanuel Sivan, dan ada juga istilah “integrisme, “revivalisme”, atau “Islamisme”.
Istilah-istilah tersebut digunakan untuk menunjukkan gejala “kebangkitan Islam” yang diikuti
dengan militansi dan fanatisme yang terkadang sangat ekstrim. Dibandingkan dengan istilah
lainnya, “Islam radikal”, yang paling sering disamakan dengan “Islam fundamentalis”.
fundamentalisme lebih banyak mengekspos liberalisme dalam menafsirkan teks-teks keagamaan,
dan berakhir pada tindakan dengan wawasan sempit, yang sering melahirkan aksi destruktif, dan
anarkis Esposito, seorang pakar tentang Islam, melakukan elaborasi mengenai istilah
“fundamentalisme” dengan mengasosiasikan dengan tiga hal sebagai berikut:
Pertama, dikatakan beraliran fundamentalis, apabila mereka menyerukan panggilan untuk
kembali ke ajaran agama yang mendasar atau fonadasi agama yang murni; Kedua, pemahaman dan
persepsi tentang fundamentalisme sangat dipengaruhi ole kelompok Protestan Amerika, yaitu
sebuah gerakan Protestan abad ke-20 yang menekankan penafsiran Injil secara literal yang
fundamental bagi kehidupan ajaran agama Kristen;
Ketiga, istilah fundamentalisme dan anti Amerika. Esposito, kemudian berpendapat bahwa
istilah fundamentalisme ini sangat bermuatan politis Kristen dan stereotype Barat, serta
mengindikasikan ancaman monolitik yang tidak eksis. Oleh karena itu, Esposito tidak sependapat
dengan kalangan Barat, mengenai istilah “fundamentalisme Islam”, ia lebih cenderung untuk
memakai istilah “revivalisme Islam” atau “aktivisme Islam” yang menurutnya tidak berat sebelah
dan memiliki akar dalam tradisi Islam.
Pendapat yang kurang lebih sama dengan Esposito,al-Asymawi menyatakan bahwa,
penggunaan istilah fundamentalisme, tiada lain bertujuan untuk menjelaskan adanya tindakan
ekstrimisme religious dalam Islam, bukan Islamnya yang fundamentalis. Oleh karena itu, tidak bisa
disamakan atau diidentikkan atau disetarakan dengan ajaran agama Islam. Karena ajaran agama
Islam tidak mereferensikan adanya tindakan kejahatan, radikalisme, ekstrimisme dengan cara-cara
anarkis, seperti membom dan bunuh diri.
Seorang tokoh agama terkemuka, KH. Hasyim Muzadi, yang ditemui ketika mengisi
seminar nasional tentang deradikalisasi agama melalui peran mubalig di Jawa Tengah,
mengatakan bahwa seseorang boleh saja berpikir secara radikal (berpikir secara mendalam
sampai ke akar-akarnya) dan memang seharusnya seseorang seharusnya berpikir secara
radikal (Rokhmad2012, 4). Akan tetapi hasil pemikiran tersebut akan berbahaya jika sudah
menjadi ismeyaitu mazhabatau ideologi, karena jika sudah menjadi mazhab seseorang tersebut

2
akan keras dalam memaksakan hasil pemikirannya terhadap orang lain atau kelompok
lain. Menurut Rokhmad, inilah yang disebut dengan radikalisme (Rokhmad 2012, 4).Fenomena
radikalisme Islam yang sering terjadi di beberapa negara, terutama negara Timur Tengah
bukanlah fenomena yang baru dalam sejarah Islam. Banyak sekali faktor yang melatarbelakangi
munculnya fenomena tersebut, di antaranya adalah faktor budaya, teologi, sosial ekonomi dan
politik. Di Indonesia juga terjadi hal yang demikian meskipun kita tidak boleh menyamakan
antara kaum Khawarij dengan sekelompok orang yang mengadakan pemberontakan terhadap
suatu sistem yang memang sudah ditetapkan oleh pemerintah yang sah karena mereka
mempunyai latar belakang yang bisa dikatakan berbeda. Jihad oleh tokoh-tokoh ekstrimis
didefinisikan sebagai misi suci menegakkan ajaran agama serta cara pintas masuk surga
dengan melakukan aksi bom bunuh diri serta peperangan secara membabi buta kepada target
yang diyakini sebagai orang kafir atau thaghut. Skenario doktrin jihad ini menjadi semakin
efektif dengan cara memboncengi isu-isu ketidakadilan, kesenjangan ekonomi, penistaan agama,
dan pelanggaran HAM. Kondisi seperti ini dapat dikatakan bahwa pada hakikatnya para
ekstrimis telah merobohkan Muhammad Naelul Mubarok bangunan ajaran Islam yang
Rahmatan Lil ‘Alamin, yaitu Islam yang penuh kesantunan, Islam dengan ajaran damainya
adalah rahmat bagi alam semesta.
Ekstrimisme telah mengakibatkan persepsi yang salah terhadap umat Islam, seolah-olah
Islam sebagai penebar teror, kebencian dan permusuhan yang menakutkan. Bahkan di
beberapa Negara terjangkit wabah Islamphobia. Padahal kebrutalan tersebut hanya dilakukan
oleh segelintir kelompok dari orang-orang yang pada prinsipnya telah berseberangan dan jauh
menyimpang dari ajaran Islam itu sendiri. Rubaidi menguraikan lima ciri gerakan radikalisme
Islam. Pertama, menjadikan Islam sebagai ideologi final dalam mengatur kehidupan
individual dan juga politik ketatanegaraan. Kedua, nilai-nilai Islam yang dianut
mengadopsi sumbernya di Timur Tengah secara apa adanya tanpa mempertimbangkan
perkembangan sosial dan politik ketika Alquran dan Hadist hadir di muka bumi ini, dengan
realitas lokal kekinian. Ketiga, karena perhatian lebih terfokus pada teks Alquran dan Hadist,
maka mereka ini sangat berhati-hati untuk menerima segala budaya non-asal Islam (budaya
Timur Tengah) termasuk berhati-hati menerima tradisi lokal karena khawatir mencampuri Islam
dengan bidah. Keempat, menolak ideologi non Timur Tengah termasuk ideologi Barat, seperti
demokrasi, sekularismedan liberalisasi. Sekali lagi, segala peraturan yang ditetapkan harus
merujuk pada Alquran dan Hadis. Kelima, gerakan kelompok ini sering berseberangan dengan
masyarakat luas termasuk pemerintah. Karena itu, terkadang terjadi gesekan ideologis bahkan
fisik dengan kelompok lain, termasuk pemerintah (Rubaidi 2010, 63).
Secara sederhana radikalisme adalah pemikiran atau sikap yang ditandai oleh empat hal
yang sekaligus menjadi karakteristiknya, yaitu: pertama, sikap tidak toleran dan tidak mau
menghargai pendapat atau keyakinan orang lain. Kedua, sikap fanatik, yaitu selalu merasa
benar sendiri dan menganggap orang lain salah. Ketiga, sikap eksklusif, yaitu membedakan
diri dari kebiasaan orang kebanyakan. Keempat, sikap revolusioner, yaitu cenderung
menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan.

2. Faktor Penyebab Radikalisme


Menurut Yusuf al-Qardawi radikalisme disebabkan oleh banyak
faktor antara lain
a. Pengetahuan agama yang setengah-setengah melalui proses belajar
yang doktriner.
b. Literal dalam memahami teks-teks agama sehingga kalangan radikal hanya memahami
Islam dari kulitnya saja tetapi minim wawasan tentang esensi agama.

3
c. Tersibukkan oleh masalah-masalah sekunder seperti menggerak gerakkan jari ketika
tasyahud, memanjangkan jenggot, dan meninggikan celana sembari melupakan
masalah-masalah primer.
d. Berlebihan dalam mengharamkan banyak hal yang justru memberatkan umat.
e. Lemah dalam wawasan sejarah dan sosiologi sehingga fatwa-fatwa mereka sering
bertentangan dengan kemaslahatan umat, akal sehat, dan semangat zaman.
f. Radikalisme tidak jarang muncul sebagai reaksi terhadap bentuk
bentuk radikalisme yang lain seperti sikap radikal kaum sekular
yang menolak agama.
g. Perlawanan terhadap ketidakadilan sosial, ekonomi, dan politik di tengah-tengah
masyarakat. Radikalisme tidak jarang muncul sebagai ekspresi rasa frustasi dan
pemberontakan terhadap ketidakadilan sosial yang disebabkan oleh mandulnya kinerja
lembaga hukum. Kegagalan pemerintah dalam menegakkan keadilan akhirnya
direspon oleh kalangan radikal dengan tuntutan penerapan syari‟at Islam. Dengan
menerapkan aturan syari‟at mereka merasa dapat mematuhi perintah agama dalam
rangka

Salman Rushdie berpendapat, jika ingin mengilangkan terorisme, dunia Islam harus
menjalankan prinsip-prinsip humanis sekuler yang merupakan pijakan bagi dunia modern,
bila tidak maka kebebasan negara-negara Islam akan tetap menjadi mimpi indah yang
masih jauh (Ibn al- Rawandi, “ Akar Terorisme dalam Ajaran Islam”). Pendapat semacam
ini tentu sangat jauh dari solusi yang diharapkan. Islam mengenal dua tradisi tafsir dalam
memahami ajaran agamanya. Pertama mereka yang memahami ajaran agama secara
tekstual (harfiyah), kedua adalah pemahaman ajaran agama secara kontekstual dan ketiga
penggabungan antara keduanya. Kelompok pertama diwakili oleh kelompok Khawarij.
Dunia Islam sejak masa terakhir khulafaur rasyidun, awal perkembangan Islam pasca
Rasulullah wafat, dikejutkan dengan lahirnya pemikirikan “hakimiyah” yang diusung oleh
kelompok Khawarij ketika terjadi kemelut politik yang melibatkan kelompok elite sahabat.
Tidak ada ketentuan untuk taat kepada keputusan yang tidak ada dasar nash secara tekstual
dan murni, termasuk perjanjian kesepakatan perdamaian (tahkim) antara kelompok Ali dan
kelompok Mu’awiyah. Khawarij hanya tunduk kepada hukum Allah (la hukma ila Allah).
Menurut mereka, Ali dan Mu’awiyah telah berperang dan mengakibatkan terbunuhnya
muslimin. Keduanya, serta para elite yang bertanggung jawab atas pertumpahan darah di
kalangan kaum muslimin harus dihukum mati, sebagai balasan bagi siapa yang melakukan
pembunuhan hukumnya harus dibunuh. Perjanjian diantara kelompok Ali dan Mu’awiyah
tidak didasarkan atas Al Qur’an (hukum Allah) tetapi berdasarkan kesepakatan diantara
kedua belah pihak. Padahal menurut kelompok Khawarij siapa saja yang tidak berhukum
dengan hukum Allah adalah kafir ( waman lam yahkum bima anzala Allah faulaika hum
al- kafirun (Q.S. 5: 44). Pandangan seperti ini bersumber pada pemaknaan terhadap teks al
Qur’an secara tekstual yang paling awal. “dan bunuhlah (perangilah) mereka hingga tidak
lagi ada fitnah, dan agama hanyalah bagi Allah” (Q.S.2: 193) dimaknai dan dipahami
secara harfiyah (tekstual).
Gerakan agama yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab (w. 1206
H/1792M) pada abad 18 dengan semboyan “ ar ruju’ ila al Qur’an wa Sunnah” mengajak
kembali umat Islam kepada ajaran yang murni oleh banyak peneliti dibandang sebagai
kelanjutan pemikiran Khawarij. Kelompok ini juga menganut paham absolutisme dan tak
kenal kompromi. Khaled Aboe el Fadl, sebagaimana dikutip Rumadi, menyebut penganut

4
Wahabi sebagai puritan. Mereka cenderung tidak toleran terhadap berbagai cara pandang
yang berkompetisi, dan membandang pluralitas sebagai bentuk kontaminasi atas kebenaran
sejati agamanya (The Great Theft, Wrestling Islam from the Extremist, 2005).
Klaim kebenaran, keaslian dan keabsahan (keshahihan) puritanisme hanya ada pada
kelompoknya (Salaf al shalih). Akibatnya, semua kelompok pandangan dan praktik
keagamaan yang berbeda dianggap bid’ah dan bahkan musyrik atau kafir. Pandangan
takfiriyah inilah yang melahirkan tindakan radikalistik dan subjektif hingga menghalalkan
teror. Teror yang dilakukan oleh Wahabi sangat luar biasa, ratusan ribu umat Islam
dibunuh, puara dan situs Islam dihancurkan. Menurut telaah Rumadi, puritanisme Wahabi
lebih merupakan orientasi teologis, bukan sebuah madzhab pemikiran yang tersusun rapi
sehingga di dalamnya terdapat kecenderungan ideologis.
Ciri utama puritanisme Wahabi adalah ideologi supremasi, merasa paling unggul,
superior sebagai kompensasi dari perasaan kalah, tak berdaya dan keterasingan. Sikap
arogansi disertai dengan selalu merasa benar ketika berhadap dengan yang lain; Barat,
kaum ateis, kaum muslimin yang dianggap bid’ah atau perempuan (“Pandemi Ideologi
Puritanisme Agama” dalam Agama dan Pergeseran Representasi: Konflik dan Rekonsiliasi
di Indonesia, 2009).

5
BAB III PENUTUP

1. Kesimpulan
Radikalisme tidak sesuai degan ajaran Islam sehingga tidak patut untuk ditujukan dalam
agama Islam karena sesungguhnya dalam Islam tidak ada yang namanya radikalisme.
Dalam Al Qur’an dan Hadits sendiri memerintahkan umatnya untuk saling menghormati
dan menyayangi serta bersikap lemah lembut kepada orang lain meskipun orang itu
penganut agama lain. Kekerasan dalam bentuk perang atau bentuk kekerasan yang lain
bukan dimulai oleh umat Islam sendiri. Begitu pula dalam sejarah perjungan nabi
Muhammad SAW, perang badar, uhud, dan lainnya bukanlah umat Islam yang
mengundang kaum kafir, akan tetapi sebaliknya. Umat Islam justru diperintahkan untuk
tetap berbuat baik kepada siapa pun, termasuk kepada non-muslim yang dapat hidup
rukun.

6
DAFTAR PUSTAKA

Baidhowi, B. (2017). ISLAM TIDAK RADIKALISME DAN TERORISME. Law


Research Review Quarterly, 3(2), 197-218. https://doi.org/10.15294/snh.v3i1.20935

Mufid, A. S. (2013). RADIKALISME DAN TERORISME AGAMA, SEBAB DAN


UPAYA PENCEGAHAN. Harmoni, 12(1), 7–17. Retrieved from
https://jurnalharmoni.kemenag.go.id/index.php/harmoni/article/view/190

Dute, Hasrudin. 1. “Pendidikan Toleransi Hidup Beragama Di Yapis Papua”. IQ


(Ilmu Al-qur’an): Jurnal Pendidikan Islam 2 (02), 166-88.
https://doi.org/10.37542/iq.v2i02.31.

Anda mungkin juga menyukai