Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH RADIKALISME DI TINJAU

DARI IDEOLOGI PANCASILA

Penyusun:
Ahmad Aulia Syahputra
Febri Rahmadani
Lisa Nursyafitri

Dosen Pengampuh:
Ir.Mukhlis Malik

Prodi Ilmu Komputer


TAHUN AJARAN 2016/2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini yang
Alhamdulillah tepat pada waktunya. Tanpa pertolongan-Nya mungkin kami tidak akan sanggup
menyelesaikan dengan baik.

Dengan membuat tugas ini kami diharapkan mampu untuk lebih mengenal tentang
Radikalisme di Tinjau dari Ideologi Pancasila yang kami sajikan berdasarkan informasi dari
berbagai sumber.

Kami sadar, sebagai seorang mahasiswa yang masih dalam proses pembelajaran,
penulisan makalah ini masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu, kami sangat
mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat positif, guna penulisan makalah yang lebih
baik lagi di masa yang akan datang.

Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta
dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhoi
segala usaha kita. Amin.

,
DAFTAR ISI

Halaman Judul.......................................................................................................................
Kata Pengantar......................................................................................................................
Daftar Isi................................................................................................................................
BAB 1. PENDAHULUAN..................................................................................................
a. Latar Belakang
b. Rumusan Masalah
c. Tujuan Penulisan
BAB 2. PEMBAHASAN.....................................................................................................
1. SEJARAH RADIKALISME
a. Definisi Radikalisme
b. Faktor-Faktor Penyebab Munculnya Gerakan Radikalisme
c. Asal Kemunculan Radikalisme
2. RADIKALISME DI TINJAU DARI IDEOLOGI PANCASILA
a. Implementasi Nilai-Nilai Pancasila Dalam Menghadapi Radikalisme
b. Membentengi Pemuda Dari Radikalisme
BAB 3.PENUTUP................................................................................................................
Kesimpulan............................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
a. LATAR BELAKANG
Indonesia dewasa ini dihadapkan dengan persoalan dan ancaman radikalisme, terorisme
dan separatisme yang kesemuanya bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD NRI
1945. Radikalisme merupakan ancaman terhadap ketahanan ideologi. Apabila Ideologi negara
sudah tidak kokoh maka akan berdampak terhadap ketahanan nasional.
Radikalisme dapat diartikan sebagai sikap atau paham yang secara ekstrim, revolusioner
dan militan untuk memperjuangkan perubahan dari arus utama yang dianut masyarakat.
Radikalisme tidak harus muncul dalam wujud yang berbau kekerasan fisik. Ideologi pemikiran,
kampanye yang masif dan demonstrasi sikap yang berlawanan dan ingin mengubah mainstream
dapat digolongkan sebagai sikap radikal.
Melalui peristiwa-peristiwa kemanusiaan yang kini tengah dihadapi oleh seluruh lapisan
masyarakat Indonesia. Meningkatnya radikalisme dalam agama di Indonesia menjadi fenomena
sekaligus bukti nyata yang tidak bisa begitu saja diabaikan ataupun dihilangkan. Radikalisme
keagamaan yang semakin meningkat di Indonesia ini ditandai dengan berbagai aksi kekerasan
dan teror. Aksi tersebut telah menyedot banyak potensi dan energi kemanusiaan serta telah
merenggut hak hidup orang banyak termasuk orang yang sama sekali tidak mengerti mengenai
permasalahan ini. Meski berbagai seminar dan dialog telah digelar untuk mengupas persoalan ini
yaitu mulai dari pencarian sebab hingga sampai pada penawaran solusi, namun tidak juga
kunjung memperlihatkan adanya suatu titik terang.
Fenomena tindak radikalisme dalam agama memang bisa dipahami secara beragam,
namun secara esensial, radikalisme agama umumnya memang selalu dikaitkan dengan
pertentangan secara tajam antara nilai-nilai yang diperjuangkan kelompok agama tertentu dengan
tatanan nilai yang berlaku atau dipandang mapan pada saat itu. Dengan demikian, adanya
pertentangan, pergesekan ataupun ketegangan, pada akhirnya menyebabkan konsep dari
radikalisme selalu saja dikonotasikan dengan kekerasan fisik. Apalagi realitas yang saat ini telah
terjadi dalam kehidupan masyarakat Indonesia sangat mendukung dan semakin memperkuat
munculnya pemahaman seperti itu.
b. RUMUSAN MASALAH
Dari sekian banyak materi yang ada, dalam Makalah ini penyusun mencoba menguraikan
mengenai :
- Sejarah radikalisme,
- Implementasi nilai-nilai pancasila dalam menghadapi radikalisme,
- Pembentengan terhadap pemuda dari radikalisme.

c. TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Pancasila
dan untuk menambah pengetahuan tentang Tinjauan Ideologi Pancasila Terhadap Radikalisme.

BAB II
PEMBAHASAN
1. SEJARAH RADIKALISME
a. Definisi Radikalisme
Radikalisme itu adalah suatu perubahan sosial dengan jalan kekerasan, meyakinkan
dengan satu tujuan yang dianggap benar tapi dengan menggunakan cara yang salah. Radikalisme
dalam artian bahasa berarti paham atau aliran yang mengingikan perubahan atau pembaharuan
sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis. Namun, dalam artian lain, esensi
radikalisme adalah konsep sikap jiwa dalam mengusung perubahan. Sementara itu radikalisme
menurut pengertian lain adalah inti dari perubahan itu cenderung menggunakan kekerasan. Yang
dimaksud dengan radikalisme adalah gerakan yang berpandangan kolot dan sering menggunakan
kekerasan dalam mengajarkan keyakinan mereka. Sementara Islam merupakan agama kedamaian
yang mengajarkan sikap berdamai dan mencari perdamaian Islam tidak pernah membenarkan
praktek penggunaan kekerasan dalam menyebarkan agama, paham keagamaan serta paham
politik.
Dawinsha mengemukakan defenisi radikalisme menyamakannya dengan teroris. Tapi ia
sendiri memakai radikalisme dengan membedakan antara keduanya. Radikalisme adalah
kebijakan dan terorisme bagian dari kebijakan radikal tersebut. defenisi Dawinsha lebih nyata
bahwa radiklisme itu mengandung sikap jiwa yang membawa kepada tindakan yang bertujuan
melemahkan dan mengubah tatanan kemapanan dan menggantinya dengan gagasan baru.
Makna yang terakhir ini, radikalisme adalah sebagai pemahaman negatif dan bahkan bisa
menjadi berbahaya sebagai ekstrim kiri atau kanan.
b. Faktor-Faktor Penyebab Munculnya Gerakan Radikalisme
Gerakan radikalisme sesungguhnya bukan sebuah gerakan yang muncul begitu saja tetapi
memiliki latar belakang yang sekaligus menjadi faktor pendorong munculnya gerakan
radikalisme. Diantara faktor-faktor itu adalah :
Pertama, faktor-faktor sosial-politik. Gejala kekerasan “agama” lebih tepat dilihat sebagai
gejala sosial-politik daripada gejala keagamaan. Gerakan yang secara salah kaparah oleh Barat
disebut sebagai radikalisme Islam itu lebih tepat dilihat akar permasalahannya dari sudut konteks
sosial-politik dalam kerangka historisitas manusia yang ada di masyarakat. Sebagaimana
diungkapkan Azyumardi Azra bahwa memburuknya posisi negara-negara Muslim dalam konflik
utara-selatan menjadi penopong utama munculnya radikalisme. Secara historis kita dapat melihat
bahwa konflik-konflik yang ditimbulkan oleh kalangan radikal dengan seperangkat alat
kekerasannya dalam menentang dan membenturkan diri dengan kelompok lain ternyata lebih
berakar pada masalah sosial-politik. Dalam hal ini kaum radikalisme memandang fakta historis
bahwa umat Islam tidak diuntungkan oleh peradaban global sehingga menimbulkan perlawanan
terhadap kekuatan yang mendominasi.
Dengan membawa bahasa dan simbol serta slogan-slogan agama kaum radikalis mencoba
menyentuh emosi keagamaan dan menggalang kekuatan untuk mencapai tujuan “mulia” dari
politiknya. Tentu saja hal yang demikian ini tidak selamanya dapat disebut memanipulasi agama
karena sebagian perilaku mereka berakar pada interpretasi agama dalam melihat fenomena
historis. Karena dilihatnya terjadi banyak Islam dan Wacana … [Syamsul Bakri] 7
penyimpangan dan ketimpangan sosial yang merugikan komunitas Muslim maka terjadilah
gerakan radikalisme yang ditopang oleh sentimen dan emosi keagamaan.
Kedua, faktor emosi keagamaan. Harus diakui bahwa salah satu penyebab gerakan
radikalisme adalah faktor sentimen keagamaan, termasuk di dalamnya adalah solidaritas
keagamaan untuk kawan yang tertindas oleh kekuatan tertentu. Tetapi hal ini lebih tepat
dikatakan sebagai faktor emosi keagamaannya, dan bukan agama (wahyu suci yang absolut)
walalupun gerakan radikalisme selalu mengibarkan bendera dan simbol agama seperti dalih
membela agama, jihad dan mati syahid. Dalam konteks ini yang dimaksud dengan emosi
keagamaan adalah agama sebagai pemahaman realitas yang sifatnya interpretatif. Jadi sifatnya
nisbi dan subjektif.
Ketiga, faktor kultural. Ini juga memiliki andil yang cukup besar yang melatar belakangi
munculnya radikalisme. Hal ini wajar karena memang secara kultural, sebagaimana diungkapkan
Musa Asy’ari 12 bahwa di dalam masyarakat selalu diketemukan usaha untuk melepaskan diri
dari jeratan jaring-jaring kebudayaan tertentu yang dianggap tidak sesuai. Sedangkan yang
dimaksud faktor kultural di sini adalah sebagai anti tesa terhadap budaya sekularisme. Budaya
Barat merupakan sumber sekularisme yang dianggab sebagai musuh yang harus dihilangkan dari
bumi. Sedangkan fakta sejarah memperlihatkan adanya dominasi Barat dari berbagai aspeknya
atas negeri-negeri dan budaya Muslim. Peradaban barat sekarang ini merupakan ekspresi
dominan dan universal umat manusia yang telah dengan sengaja melakukan proses marjinalisasi
seluruh sendi-sendi kehidupan muslim sehingga umat Islam menjadi terbelakang dan tertindas.
Keempat, faktor ideologis anti westernisme. Westernisme merupakan suatu pemikiran
yang membahayakan Muslim dalam mengaplikasikan syari’at Islam. Sehingga simbol-simbol
Barat harus dihancurkan demi penegakan syari’at Islam. Walaupun motivasi dan gerakan anti
Barat tidak bisa disalahkan dengan alasan keyakinan keagamaan tetapi jalan kekerasan yang
ditempuh kaum radikalisme justru menunjukkan ketidakmampuan mereka dalam memposisikan
diri sebagai pesaing dalam budaya dan peradaban.
Kelima, faktor kebijakan pemerintah. Ketidakmampuan pemerintahan di negara-negara
Islam untuk bertindak memperbaiki situasi atas berkembangnya frustasi dan kemarahan sebagian
umat Islam disebabkan dominasi ideologi, militer maupun ekonomi dari negera-negara besar.
Dalam hal ini elit-elit pemerintah di negeri-negeri Muslim belum atau kurang dapat mencari akar
yang menjadi penyebab munculnya tindak kekerasan (radikalisme) sehingga tidak dapat
mengatasi problematika sosial yang dihadapi umat. Di samping itu, faktor media massa (pers)
Barat yang selalu memojokkan umat Islam juga menjadi faktor munculnya reaksi dengan
kekerasan yang dilakukan oleh umat Islam. Propaganda-propaganda lewat pers memang
memiliki kekuatan dahsyat dan sangat sulit untuk ditangkis sehingga sebagian “ekstrim” yaitu
perilaku radikal sebagai reaksi atas apa yang ditimpakan kepada komunitas Muslim.
c. Asal Kemunculan Radikalisme
Sejarah kemunculan gerakan radikalisme dan kelahiran kelompok fundamentalisme
dalam islam lebih di rujuk karena dua faktor, yaitu:
1. Faktor internal
Faktor internal adalah adanya legitimasi teks keagamaan, dalam melakukan “perlawanan”
itu sering kali menggunakan legitimasi teks (baik teks keagamaan maupun teks “cultural”)
sebagai penopangnya. untuk kasus gerakan “ekstrimisme islam” yang merebak hampir di seluruh
kawasan islam (termasuk indonesia) juga menggunakan teks-teks keislaman (Alquran, hadits dan
classical sources kitab kuning) sebagai basis legitimasi teologis, karena memang teks tersebut
secara tekstual ada yang mendukung terhadap sikap-sikap eksklusivisme dan ekstrimisme ini.
Faktor internal lainnya adalah dikarenakan gerakan ini mengalami frustasi yang mendalam
karena belum mampu mewujudkan cita-cita berdirinya ”negara islam internasional” sehingga
pelampiasannya dengan cara anarkis; mengebom fasilitas publik dan terorisme. Harus diakui
bahwa salah satu penyebab gerakan radikalisme adalah faktor sentimen keagamaan, termasuk di
dalamnya adalah solidaritas keagamaan untuk kawan yang tertindas oleh kekuatan tertentu.
Tetapi hal ini lebih tepat dikatakan sebagai faktor emosi keagamaannya, dan bukan agama.
2. Faktor eksternal
Faktor eksternal terdiri dari beberapa sebab di antaranya :
pertama, dari aspek ekonomi politik, kekuasaan depostik pemerintah yang menyeleweng
dari nilai-nilai fundamental islam. Itu artinya, rezim di negara-negara islam gagal menjalankan
nilai-nilai idealistik islam. Rezim-rezim itu bukan menjadi pelayan rakyat, sebaliknya berkuasa
dengan sewenang-wenang bahkan menyengsarakan rakyat. Penjajahan Barat yang serakah,
menghancurkan serta sekuler justru datang belakangan, terutama setelah ide kapitalisme global
dan neokapitalisme menjadi pemenang. Satu ideologi yang kemudian mencari daerah jajahan
untuk dijadikan “pasar baru”. Industrialisasi dan ekonomisasi pasar baru yang dijalankan dengan
cara-cara berperang inilah yang sekarang hingga melanggengkan kehadiran fundamentalisme
islam.
Kedua, faktor budaya, faktor ini menekankan pada budaya barat yang mendominasi
kehidupan saat ini, budaya sekularisme yang dianggap sebagai musuh besar yang harus
dihilangkan dari bumi.
Ketiga, faktor sosial politik, pemerintah yang kurang tegas dalam mengendalikan masalah
teroris ini juga dapat dijadikan sebagai salah satu faktor masih maraknya radikalisme di kalangan
umat islam.

2. RADIKALISME DI TINJAU DARI IDEOLOGI PANCASILA


a. Implementasi Nilai-Nilai Pancasila Dalam Menghadapi Radikalisme
Dalam masa orde baru, untuk menanamkan dan memasyarakatkan kesadaran akan nilai
nilai Pancasila dibentuk satu badan yang bernama BP7. Badan tersebut merupakan penanggung
jawab (leading sector) terhadap perumusan, aplikasi, sosialisasi, internalisasi terhadap pedoman
penghayatan dan pengamalan Pancasila, dalam kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan
bernegara.
Saat ini Pancasila adalah ideologi yang terbuka., dan sedang diuji daya tahannya terhadap
gempuran, pengaruh dan ancaman ideologi-ideologi besar lainnya, seperti liberalisme (yang
menjunjung kebebasan dan persaingan), sosialisme (yang menekankan harmoni), humanisme
(yang menekankan kemanusiaan), nihilisme (yang menafikan nilai-nilai luhur yang mapan),
maupun ideologi yang berdimensi keagamaan.
Pancasila, sebagai ideologi terbuka pada dasarnya memiliki nilai-nilai universal yang sama
dengan ideologi lainnya, seperti keberadaban, penghormatan akan HAM, kesejahteraan,
perdamaian dan keadilan. Dalam era globalisasi, romantisme kesamaan historis jaman lalu tidak
lagi merupakan pengikat rasa kebersamaan yang kokoh. Kepentingan akan tujuan yang akan
dicapai lebih kuat pengaruhnya daripada kesamaan latar kesejarahan. Karena itu, implementasi
nilai-nilai Pancasila, agar tetap aktual menghadapi ancaman radikalisme harus lebih ditekankan
pada penyampaian tiga message berikut :
a. Negara ini dibentuk berdasarkan kesepakatan dan kesetaraan, di mana di dalamnya tidak
boleh ada yang merasa sebagai pemegang saham utama, atau warga kelas satu.
b. Aturan main dalam bernegara telah disepakati, dan Negara memiliki kedaulatan penuh untuk
menertibkan anggota negaranya yang berusaha secara sistematis untuk merubah tatanan, dengan
cara-cara yang melawan hukum.
c. Negara memberikan perlindungan, kesempatan, masa depan dan pengayoman seimbang
untuk meraih tujuan nasional masyarakat adil dan makmur, sejahtera, aman, berkeadaban dan
merdeka.
Nilai-nilai Pancasila dan UUD NRI 1945 yang harus tetap diimplementasikan itu adalah :
 Kebangsaan dan persatuan
 Kemanusiaan dan penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia
 Ketuhanan dan toleransi
 Kejujuran dan ketaatan terhadap hukum dan peraturan
 Demokrasi dan kekeluargaan
Ketahanan Nasional merupakan suatu kondisi kehidupan nasional yang harus diwujudkan
dan dibina secara terus menerus secara sinergis dan dinamis mulai dari pribadi, keluarga,
lingkungan dan nasional yang bermodalkan keuletan dan ketangguhan yang mengandung
kemampuan pengembangan kekuatan nasional.
Salah satu unsur ketahanan nasional adalah Ketahanan Ideologi. Ketahanan Ideologi perlu
ditingkatkan dalam bentuk :
 Pengamalan Pancasila secara objektif dan subjektif
 Aktualisasi, adaptasi dan relevansi ideologi Pancasila terhadap nilai-nilai baru
 Pengembangan dan penanaman nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika dalam seluruh kehidupan
berbangsa, bermasyarakat.
b. Membentengi Pemuda Dari Radikalisme
Pemuda adalah aset bangsa yang sangat berharga. Masa depan negeri ini bertumpu pada
kualitas mereka. Namun ironisnya, kini tak sedikit kaum muda yang justru menjadi pelaku
terorisme. Serangkaian aksiterorisme mulai dari Bom Bali-1, Bom Gereja Kepunton, bom di JW
Marriot dan Hotel Ritz-Carlton,hingga aksi penembakan Pos Polisi Singosaren di Solo dan Bom
di Beji dan Tambora, melibatkan pemuda. Sebut saja, Dani Dwi Permana, salah satu pelaku Bom
di JW Marriot dan Hotel Ritz-Carlton, yang saat itu berusia 18 tahun dan baru lulus SMA.
Fakta di atas diperkuat oleh riset yang dilakukan Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian
(LaKIP). Dalam risetnya tentang radikalisme di kalangan siswa dan guru Pendidikan Agama
Islam (PAI) di Jabodetabek, pada Oktober 2010-Januari 2011, LaKIP menemukan sedikitnya
48,9 persen siswa menyatakan bersedia terlibat dalam aksi kekerasan terkait dengan agama dan
moral.
Rentannya pemuda terhadap aksi kekerasan dan terorisme patut menjadi keprihatinan kita
bersama. Banyak faktor yang menyebabkan para pemuda terseret ke dalam tindakan terorisme,
mulai dari kemiskinan, kurangnya pendidikan agama yang damai, gencarnya infiltrasi kelompok
radikal, lemahnya semangat kebangsaan, kurangnya pendidikan kewarganegaraan, kurangnya
keteladanan, dan tergerusnya nilai kearifan lokal oleh arus modernitas negatif.
Untuk membentengi para pemuda dan masyarakat umum dari radikalisme dan terorisme, Badan
Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), menggunakan upaya pencegahan melalui kontra-
radikalisasi (penangkalan ideologi). Hal ini dilakukan dengan membentuk Forum Koordinasi
Pencegahan Terorisme (FKPT) di daerah, Pelatihan anti radikal-terorisme bagi ormas, Training
of Trainer (ToT) bagi sivitas akademika perguruan tinggi, serta sosialiasi kontra radikal
terorisme siswa SMA di empat provinsi.

Ada beberapa hal yang patut dikedepankan dalam pencegahan terorisme di kalangan pemuda :
 Pertama, memperkuat pendidikan kewarganegaraan (civic education) dengan menanamkan
pemahaman yang mendalam terhadap empat pilar kebangsaan, yaitu Pancasila, UUD 1945,
NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. Melalui pendidikan kewarganegaraan, para pemuda didorong
untuk menjunjung tinggi dan menginternalisasikan nilai-nilai luhur yang sejalan dengan kearifan
lokal seperti toleransi antar-umat beragama, kebebasan yang bertanggung jawab, gotong royong,
kejujuran, dan cinta tanah air serta kepedulian antar-warga masyarakat.
 Kedua, mengarahkan para pemuda pada beragam aktivitas yang berkualitas baik di bidang
akademis, sosial, keagamaan, seni, budaya, maupun olahraga.
 Ketiga, memberikan pemahaman agama yang damai dan toleran, sehingga pemuda tidak
mudah terjebak pada arus ajaran radikalisme. Dalam hal ini, peran guru agama di lingkungan
sekolah dan para pemuka agama di masyarakat sangat penting.
 Keempat, memberikan keteladanan kepada pemuda. Sebab, tanpa adanya keteladanan dari
para penyelenggara negara, tokoh agama, serta tokoh masyarakat, maka upaya yang dilakukan
akan sia-sia.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Radikalisme itu adalah suatu perubahan sosial dengan jalan kekerasan, meyakinkan dengan
satu tujuan yang dianggap benar tapi dengan menggunakan cara yang salah. Fenomena
meningkatnya tindakan radikalisme dikarenakan dangkalnya pemahaman terhadap Agama dan
Pancasila. Oleh karena itu, dibutuhkan pengimplementasian terhadap nilai-nilai Pancasila dan
pembentengan para pemuda dari radikalisme.
Jumat, 01 Juli 2016
MAKALAH RADIKALISME AGAMA

MAKALAH
RADIKALISME AGAMA

Dibuat oleh:

NAMA : NUR LATIFAH

NIM :156010066

Fakultas: AGAMA ISLAM (PAI E2) smstr 2

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

Kejahatan atau kekerasan adalah suatu fenomena yang sering kita dengar dan lihat, baik di media
massa maupun realitas yang ada di sekitar lingkungan dan masyarakat kita. Kabar terbaru dan yang
hangat dibicarakan, khalayak serta media massa dan elektronik yaitu terorisme. Terorisme selalu identik
dengan teror, kekerasan, ekstrimnitas dan intimidasi sehingga seringkali menimbulkan konsekuensi
negatif bagi banyak orang dan dapat menjatuhkan korban yang banyak. Sebagian para pelaku teroris di
Indonesia menganggap dirinya sebagai mujahid fi sabilillah..

Radikalisme dalam artian bahasa berarti paham atau aliran yang mengingikan perubahan atau
pembaharuan social dan politik dengan cara kekerasan atau drastic. Namun, dalam artian lain, esensi
radikalisme adalah konsep sikap jiwa dalam mengusung perubahan. Sementara itu radikalisme menurut
pengertian lain adalah inti dari perubahan itu cenderung menggunakan kekerasan.
Dawinsha mengemukakan defenisi radikalisme menyamakannya dengan teroris.Tapi ia sendiri memakai
radikalisme dengan membedakan antara keduanya. Radikalisme adalah kebijakan dan terorisme bagian
dari kebijakan radikal tersebut.

Pada kesempatan kali ini, pemakalah akan membahas tentang “Terorisme dan Radikalisme Islam”.
Semoga apa yang pemakalah sajikan dapat bermanfaat bagi pemakalah sendiri dan umumnya untuk kita
semua, hal-hal yang kurang sempurna dan banyak kesalahan baik dalam penulisan maupun
pembahasan, pemakalah memohon maaf yang sebesar-besarnya dan pemakalah menerima setiap
komentar, kritik dan saran untuk dapat memperbaiki makalah ini yang pemakalah sadari penuh dengan
kekurangan.

Radikalisme keagamaan sebenarnya fenomena yang biasa muncul dalam agama apa saja. Radikalisme
sangat berkaitan erat dengan fundamentalisme, yang ditandai oleh kembalinya masyarakat kepada
dasar-dasar agama. Fundamentalisme adalah semacam Ideologi yang menjadikan agama sebagai
pegangan hidup oleh masyarakat maupun individu. Biasanya fundamentalisme akan diiringi oleh
radikalisme dan kekerasan ketika kebebasan untuk kembali kepada agama tadi dihalangi oleh situasi
sosial politik yang mengelilingi masyarakat.

B. RUMUSAN MASALAH

Radikalisme dan Sejarah Kemunculan Radikalisme?

Faktor-faktor Penyebab dan Perspektif islam tentang Radikalisme?

Delegitimasi Islam Politik dan Radikalisme dan Radikalisme didunia Islam

BAB II

PEMBAHASAN
RADIKALISME

Pengertian Radikalisme

Radikal dalam bahasa Indonesia berarti amat keras menuntut perubahan. Sementara itu, radikalisme
adalah paham yang menginginkan perubahan sosial dan politik dengan cara drastis dan kekerasan.

Menurut Horace M Kallen, radikalisme ditandai oleh tiga kecenderungan umum.

Radikalisme merupakan respons terhadap kondisi yang sedang berlangsung. Respons tersebut muncul
dalam bentuk evaluasi, penolakan, atau bahkan perlawanan. Masalah-masalah yang ditolak dapat
berupa asumsi, ide, lembaga, atau nilai-nilai yang dapat bertanggung jawab terhadap keberlangsungan
keadaan yang ditolak.

Radikalisme tidak berhenti pada upaya penolakan, melainkan terus berupaya mengganti tatanan lain.
Ciri ini menunjukkan bahwa di dalam radikalisme terkandung suatu program atau pandangan dunia
(world view) tersendiri. Kaum radikalis berupaya kuat untuk menjadikan tatanan tersebut sebagai ganti
dari tatanan yang sudah ada.

Kaum radikalis memiliki keyakinan yang kuat akan kebenaran program atau ideologi yang mereka bawa.
Dalam gerakan sosial, kaum radikalis memperjuangkan keyakinan yang mereka anggap benar dengan
sikap emosional yang menjurus pada kekerasan.

Kita lihat teori ini sedikit banyak pembenarannya tatkala terjadi konflik atas nama agama dan aksi
terorisme di mana-mana. Secara empirik, radikalisme agama di belahan dunia muncul dalam bentuknya
yang paling konkret, yakni kekerasan atau konflik. Di Bosnia misalnya, kaum Ortodoks, Katolik, dan Islam
saling membunuh. Di Irlandia Utara, umat Katolik dan Protestan saling bermusuhan. Begitu juga di
Tanah Air terjadi konflik antaragama di Poso dan di Ambon. Kesemuanya ini memberikan penjelasan
betapa radikalisme agama sering kali menjadi pendorong terjadi konflik dan ancaman bagi masa depan
perdamaian.

Pandangan ini tetap hidup dalam kelompok sempalan beberapa agama dan semuanya berakar pada
radikalisme dalam penghayatan agama. Secara teoretis, radikalisme muncul dalam bentuk aksi
penolakan, perlawanan, dan keinginan dari komunitas tertentu agar dunia ini diubah dan ditata sesuai
dengan doktrin agamanya.

Karena itulah, bentuk-bentuk radikalisme agama yang dipraktikkan oleh sebagian umat seharusnya tidak
sampai menghadirkan ancaman bagi masa depan bangsa. Pluralisme tetap menjadi komitmen kita
semua untuk membangun bangsa yang modern, yang di dalamnya terdapat banyak agama dan etnis
secara damai. Pluralisme adalah simbol bagi susksesnya kehidupan masyarakat majemuk. Karena itu,
agama yang dimiliki oleh masing-masing umat tetap terjaga sebagai sosok keyakinan yang tidak
melampaui batas. Sebab, bagaimanapun agama sangat diperlukan untuk mengisi kehampaan spiritual
umat, tetapi segala bentuk ekspresinya tidak boleh menghadirkan ancaman bagi masa depan dunia yang
damai. Kalau kaum radikalis agama mengekspresikan keyakinannya dalam bentuk kekerasan maka ini
merupakan ancaman besar bagi pluralisme.

Sejarah Kemunculan Radikalisme

Sesungguhnya, sejarah kemunculan gerakan radikalisme dan kelahiran kelompok fundamentalisme


dalam islam lebih di rujuk karena dua factor, yaitu:

Faktor internal
Faktor internal adalah adanya legitimasi Teks keagamaan, dalam melakukan “perlawanan” itu sering kali
menggunakan legitimasi teks (baik teks keagamaan maupun teks “cultural”) sebagai penopangnya.
untuk kasus gerakan “ekstrimisme islam” yang merebak hampir di seluruh kawasan islam(termasuk
indonesia) juga menggunakan teks-teks keislaman (Alquran, hadits dan classical sources- kitab kuning)
sebagai basis legitimasi teologis, karena memang teks tersebut secara tekstual ada yang mendukung
terhadap sikap-sikap eksklusivisme dan ekstrimisme ini. Seperti ayat-ayat yang menunjukkan perintah
untuk berperang seperti; Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula)
kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya
dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (Yaitu orang-orang) yang diberikan Al-
Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam Keadaan
tunduk. (Q.S. Attaubah: 29).

menurut gerakan radikalisme hal ini adalah sebagai pelopor bentuk tindak kekerasan dengan dalih
menjalankan syari’at , bentuk memerangi kepada orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan lain
sebagainya. Tidak sebatas itu, kelompok fundamentalis dengan bentuk radikal juga sering kali
menafsirkan teks-teks keislaman menurut “cita rasa” merka sendiri tanpa memperhatikan
kontekstualisasi dan aspek aspek historisitas dari teks itu, akibatnya banyak fatwa yang bertentangan
dengan hak-hak kemanusiaan yang Universal dan bertentangan dengan emansipatoris islam sebagai
agama pembebas manusia dari belenggu hegemoni. Teks-teks keislaman yang sering kali di tafsirkan
secara bias itu adalah tentang perbudakan, status non muslim dan kedudukan perempuan.

Faktor internal lainnya adalah dikarenakan gerakan ini mengalami frustasi yang mendalam karena belum
mampu mewujudkan cita-cita berdirinya ”negara islam internasional” sehingga pelampiasannya dengan
cara anarkis; mengebom fasilitas publik dan terorisme.

Harus diakui bahwa salah satu penyebab gerakan radikalisme adalah faktor sentimen keagamaan,
termasuk di dalamnya adalah solidaritas keagamaan untuk kawan yang tertindas oleh kekuatan
tertentu. Tetapi hal ini lebih tepat dikatakan sebagai faktor emosi keagamaannya, dan bukan agama
(wahyu suci yang absolut). Hal ini terjadi pada peristiwa pembantaian yang dilakukan oleh negara Israel
terhadap palestina, kejadian ini memicu adanya sikap radikal di kalangan umat islam terhadap Israel,
yani menginginkan agar negara Israel diisolasi agar tidak dapat beroperasi dalam hal ekspor impor.

Faktor eksternal

Faktor eksternal terdiri dari beberapa sebab di antaranya :

pertama, dari aspek ekonomi-politik, kekuasaan depostik pemerintah yang menyeleweng dari nilai-nilai
fundamental islam. Itu artinya, rejim di negara-negara islam gagal menjalankan nilai-nilai idealistik islam.
Rejim-rejim itu bukan menjadi pelayan rakyat, sebaliknya berkuasa dengan sewenang-wenang bahkan
menyengsarakan rakyat. penjajahan Barat yang serakah, menghancurkan serta sekuler justru datang
belakangan, terutama setelah ide kapitalisme global dan neokapitalisme menjadi pemenang. Satu
ideologi yang kemudian mencari daerah jajahan untuk dijadikan “pasar baru”. industrialisasi dan
ekonomisasi pasar baru yang dijalankan dengan cara-cara berperang inilah yang sekarang
mengejawantah hingga melanggengkan kehadiran fundamentalisme islam. Karena itu, fundamentalisme
dalam islam bukan lahir karena romantisme tanah (seperti Yahudi), romantisme teks (seperti kaum
bibliolatery), maupun melawan industrialisasi (seperti kristen eropa). Selebihnya, ia hadir karena
kesadaran akan pentingnya realisasi pesan-pesan idealistik islam yang tak dijalankan oleh para rejim-
rejim penguasa dan baru berkelindan dengan faktor-faktor eksternal yaitu ketidakadilan global

Kedua, faktor budaya, faktor ini menekankan pada budaya barat yang mendominasi kehidupan saat ini,
budaya sekularisme yang dianggap sebagai musuh besar yang harus dihilangkan dari bumi.

Ketiga, faktor sosial politik, pemerintah yang kurang tegas dalam mengendalikan masalah teroris ini juga
dapat dijadikan sebagai salah satu faktor masih maraknya radikalisme di kalangan umat islam.

Faktor-faktor Penyebab dan Indikasi Radikalisme

Banyaknya gerakan-gerakan radikalisme keagamaan yang akhir-akhir ini muncul ini karena adanya
beberapa faktor yang menjadi penyebab. Antara lain:

Variabel Norma dan Ajaran

Ajaran yang ada mempengaruhi tingkah lakudan tindakan seorang muslim yang berasal dari Qur’an dan
Hadis. (mungkin juga Ijma). Ajaran ini diinterpretasikan dan diinternalisasi. Karan ajaran yang ada sangat
umum, hal ini memungkinkan munculnya beberapa interpretasi. Hal ini juga dimungkinkan karena setiap
anggota masyarakat muslim mengalami sosialisasi primer yang berbeda, disamping pengalaman,
pendidikan dan tingkatan ekonomi mereka juga tidak sama. Dari hasil interpretasi ini memunuclkan apa
yang diidealkan berkaitan dengan kehidupan masyarakt Islam.

Variabel sikap atau pemahaman mengenai tiga isu penerapan syariat Islam, bentuk negara Islam
Indonesia dan Khalifah Islamiyah.

Sikap ini adalah kelanjutan dari penafsiran terhadap ajaran agama Islam. Diasumsikan bahwa ada
beberapa sikap umum yang muncul setelah masyarakat menafsirkan ajaran Islam. Sikap ini tersimbolkan
dalam penerapan pemahaman Muslim terhadap ajaran agama mereka. Dalam hal ini ada tiga golongan :
sekuler atau nisbi, substansialis dan skriptualis.

Variabel sikap yang muncul ketika variabel kedua dihadapkan dengan kondisi sosial nyata dalam
masyarakat. Hal ini termasuk di dalamnya adalah faktor-faktor domestik dan Internasional. Hegomoni
politik oleh negara atau represi yang dilakukan oleh kelompok apapun terhadap umat Islam akan
melahirkan respon yang berbeda dari berbagai kelompok yang ada. Kalnagan nisbi sama sekali tidak
merspon karena mereka benar-benar indifferent. Hanya kelompok skriptualis yangdiasumsikan akan
memperlihatkan sikap radikal. Kelompok substansialis meskipun punya kepedulian terhadap Islam dan
juga umatnya dalam berbagai bidang, akan memperlihatkan sikap moderat. Misalnya mereka akan
kelihatan luwes baik mengenai negara Islam atau Khilafah Islamiyah maupun mengenai (formalisasi)
penerapan syriat Islam.
Secara umum ada tiga kecenderungan yang menjadi indikasi radikalisme. Pertama, radikalisme
merupakan respons terhadap kondisi yang sedang berlangsung, biasanya respons tersebut muncul
dalam bentuk evaluasi, penolakan atau bahkan perlawanan. Masalah-masalah yang ditolak dapat
berupa asumsi, ide, lembaga atau nilai-nilai yang dipandang bertanggung jawab terhadap
keberlangsungan kondisi yang ditolak.

Kedua, radikalisme tidak berhenti pada upaya penolakan, melainkan terus berupaya mengganti tatanan
tersebut dengan bentuk tatanan lain. Ciri ini menunjukan bahwa di dalam radikalisme terkandung suatu
program atau pandangan dunia tersendiri. Kaum radikalis berupaya kuat untuk menjadikan tatanan
tersebut sebagai ganti dari tatanan yang ada. Dengan demikian, sesuai dengan arti kata ‘radic’, sikap
radikal mengandaikan keinginan untuk mengubah keadaan secara mendasar.

Ketiga adalah kuatnya keyakinan kaum radikalis akan kebenaran program atau ideologi yang mereka
bawa. Sikap ini pada saat yang sama dibarengi dengan panafian kebenaran sistem lain yang akan diganti
dalam gerakan sosial, keyakinan tentang kebenaran program atau filosofi sering dikombinasikan dengan
cara-cara pencapaian yang mengatasnamakan nilai-nilai ideal seperti ‘kerakyatan’ atau kemanusiaan .
Akan tetapi kuatnya keyakinan tersebut dapat mengakibatkan munculnya sikap emosional di kalangan
kaum radikalis.

Radikalisme Islam Indonesia lahir dari hasil persilangan Mesir dan Pakistan. Nama-nama seperti Hassan
al-Banna, Sayyid Qutb dan al-Maududi terbukti sangat memengaruhi pelajar-pelajar Indonesia yang
belajar di Mesir dan Pakistan. Pemikiran mereka membangun cara memahami Islam ala garis keras.
Setiap Islam disuarakan, nama mereka semakin melekat dalam ingatan. Bahkan, sampai tahun 1970-
1980-an ikut menyemangati perkembangan komunitas usroh di banyak kampus atau organisasi Islam.
Seperti FPI, HTI dan PKS. Istilah radikalisme Islam kian menguat tak hanya pada matra tekstualitas
agama. Persentuhan dengan dunia kini, menuntut adanya perluasan gerakan. Mulai dari sosio ekonomi,
pendidikan hingga ranah politik.

Perspektif islam tentang Radikalisme

Islam sama sekali tidak membolehkan radikalisme. Karena Islam adalah agama rahmatan lil’alamin.
Islam berasal dari dari kata salam yang berarti selamat, aman, damai. Islam tidak memperkenankan
kekerasan sebagai metode menyelesaikan masalah. Islam menganjurkan agar kita mengajak kepada
kebaikan dengan bijak (hikmah), nasihat yang baik (mau’izah hasanah) dan berdialog dengan santun
(wajadilhum billati hiya ahsan). Radikalisme, apalagi terorisme, hanya akan membuat Islam jauh dari
watak aslinya sebagai agama rahmat, dan bisa membuat kehilangan tujuannya yang hakiki.

Syari’at Islam diturunkan kepada manusia untuk menjaga irama fondasi kehidupan (maqosid asy-
syari’ah) yaitu: pertama untuk melindungi keselamatan fisik atau jiwa manusia dari tindakan kekerasan
di luar ketentuan hukum (hifz an-nafs). Kedua melindungi keyakinan atas suatu agama (hifz ad-din).
Ketiga menjaga kelangsungan hidup dengan melindungi keturunan atau keluarga (hifz an-nasl).
Keempat, melindungi hak milik pribadi atau harta benda (hifz al-mal) dan kelma, melindungi kebebasan
berfikir (hifz al-aql).
Dengan demikian syari’at Islam pada dasarnya melindungi dan menghargai manusia sebagai individu
yang bermartabat. Semua tindakan yang melawan kebebasan dan martabat manusia, bertentangan
dengan syari’at. Untuk mewujudkan itu semua, syari’at Islam selain berfungsi melindungi seluruh
dimensi kemanusiaan, juga diturunkan untuk memudahkan manusia dalam menjalankan hidupnya,
bukan membuat hidup jadi sulit. Islam melindungi hak hidup manusia, karena itu perbuatan melawan
hak ini tidak diperkenankan.

Ayat-ayat al-Qur‘an yang membincangkan tentang jihad kenyataannya juga tidak mengarahkan umat
Islam untuk melakukan kekerasan sehingga memaksa pemeluk agama lain untuk memeluk agama Islam.
Pun jika ada pemaknaan jihad dalam artian boleh melakukan perang, itu hanya sebatas “membela diri”
karena mengalami penindasan yang dilakukan oleh musuh.

Sayangnya pembicaraan mengenai jihad dan konsep-konsep yang dikemukakan sedikit ataupun banyak
telah mengalami pergeseran paradigma dan perubahan sesuai dengan konteks dan lingkungan masing-
masing pemikir. Begitu pentingnya pembicaraan mengenai jihad dalam Islam, sehingga kaum Khawarij
yang cenderung radikal (seperti sudah diuraikan) menetapkannya sebagai “rukun Islam” yang keenam.

Banyak pengertian tentang jihad yang dikemukakan para ahli dengan berbagai penjelasan dan dasarnya
termasuk pengertian jihad dalam pandangan Barat bahwa jihad fi sabilillah adalah perang suci (the holy
war).

Radikalisme Di dunia Islam

Istilah “fundamentalisme” biasa dipakai oleh kalangan akademisi maupun media masa untuk merujuk
pada gerakan-gerakan isalam politik yang berkonotasi negativ seperti: Radikal, ekstrem, dan militan
“serta anti Barat atau Amerika”. Namun, tidak arang pula julukan “fundamentalisme” diberikan kepada
semua orang islam yang menerima Qur’an dan Hadits sebagai alan hidup mereka. Dengan kata lain,
“kebanyakan dari penegasan kembali agama dalam politik dan masyarakat tercakup dalam istilah
“fundamentalisme” islam “.

Salah satu contohnya adalah Organisasi Al-ana’ah Al-Islamiyah di Mesir. Organisasi ini abanyak diminati
dan digerakioleh para pemuda Mesir lahir pada awal 1970-an. Organisasi yang merupakan gerakan Islam
konservatif (sayap mahasiswa dari Ikhwan Al-Muslimin) ini awalnya ditunukan untuk membangun
kembali kekuatan-kekuatan religius konservatif lewat kampus-kampus, pemuda-pemuda dimasid-masid
dan kelompok pemuda lainya.

Ketika pemerintah Sadat mulai mengurangi peran pemerintah dan memeberi kesempatan luas pada
peran swasta di Mesirbanyak bermunculan organisasi-organisasi Islam, organisasi ini didirikan di kota-
kota besar di Kairo, Ikandariyah, Port Said dan Suez yangberlokasi di Mesir Bawah serta Asyut,Al-Fayyum
dan Al-Minya di Mesir bawah. Hal ini pada giliranya uga telah mendorong organisasi-organisasi islam
seperti Alama’ah, al-islamiyah, kegiatan-kegiatanya yang tak terbatas di sekitar kampus ataupun masid,
tetapi mencakup kegiatan-kegiatan sosial ekonomi seperti penyediaaan layanan dalam distribusi pangan
dan sandang.
Al-ama’ah al-islamiyah ini sebenarnya tidak memiliki kepemimpinan tunggal, karenanya gerakan-
gerakan islam memakai bendeanya menajdikan bermacam-macam. Omar Abdel Rahman ia adalah
tokoh kharismatis (setidaknya bagi kelompok Al-ama’ah) yang lewat bukunya berjudul Mitsaq Al-amil al-
islami, mengemukakan gagasan-gagasan islam radikal yang berupaya untuk menumbangkan negara
sekular dan mendirikan negara Islam.

Semakin meluasnya pengaruh Syaikh Omar itu membuat pemerintah mengambil sikap tegas dengan
menekan dan menutup kegitan-kegiatan apa saa yang diyakini berada dibawah bendera Al-ama’ah Al-
islamiyah.

Kelompok Fundamentalis islam yang dalam hal ini di Representasikanoleh organisasi Al-islamiyah
adalah yang paling rentan terhadap tuduhan-tuduhan itu karena mereka sering memperlihatkan sikap
“tidak mempunyai pemerintah” meskipun belum pasti bahwa aksi itu dilakukan oleh Al-ama’ah Al-
islamiyah ini.

Dalam upaya menekan kelompok radikal islam pemerintagh Mesir telah membuat satu undang-undang
baru tentang terorisme(1992). Dengan undang-undang itu pemerintah telah menjaring dan menahan
pemimpin-pemimpin Al-ama’ah Al-islamiyah yang diyakini menadi kekuatan simbolik organisasi ini.para
pemuda maupun mahasiswabak dikampus-kampus maupun di masjid-masjid independen yang
jumlahnya ribuan dan tersebar hingga ke plosok-plosok telah menadi kekuatan grass root yang sulit
untuk ‘dibasmi’.

Sebailknya, pemerintah uga sulit untuk ditumbangkan oleh Al-jama’ah karena ia didukung penuh oleh
militer dan kelompok kelas menengah serta cendekiawan.

Delegitimasi Islam Politik dan Radikalisme

Pengertian islam politik radikalisme mnurut Barat berarti gerakan tindakan berbasis politik massa
melainkan gerakan individu atau komunitas revolusioner- anarkis yang menggunakan instrumen
kekerasan secara acak. Hal ini berarti bahwa islam radikalisme akan selalu menantang norma-norma
dan struktur-strukturyang telah mengalami pengorganisasian secara mendasar. Kalangan barat
berasumsi bahwa islam politik radikalis melakukan kegiatan “pembebasan” dengan menentang
perspektif anarkis yang mendukung tertib peradaban barat (falk 1980:37-39). Pleh karena itu, gerakan
politik islam radikal bahkan mendapat sebutan barat sebagai gerakan teroris, dalam pengertian
kelompok powerles melawan barat yang memiliki kekuatan besar. Gerakan politik islam radikal
memperjuangkan identitas islam dengan memanipulasi doktrin dan strategi bagi pengutan militasi dan
ekstremitasnya.

Gerakan politik islam Radikal di Afrika Utara sebagaimana penuturan Tareq al-Bishri menggambarkan
perorganisasian masyarakat melalui Islamisasi. Gerakan politik islam radikal diwilayah ini , terutama
maroko (maghrib), merupakan gerakan kemerdekaan yang memperuangkan kebebasan tidak hanya dari
dominasi barat tetapi juga kekuasaan elit sekuler.nasionalisme bagi gerakan ini berarti nasionalisme
islam dan bukan nasionalisme Arab karena etnisitas arab telah menyatukedalam islam.

Delegimitasi Islampolitik oleh Barat elas bermaksud melumpuhkan baik dinamika gerakan-gerakan
nasionalis dan anti imperialis maupun politik identitas yang berbasis aaran islam total melalui ekspansi
nilai-nilai demokrasi. Mereka menolak peran sentral Imam Islami dalam politik. Bagi mereka rasionalitas
politik bisa membimbing pembentukan konsesus tentang formulasi kepentingan bersama.perbedaan
iman dalam politik dipandang sebagai sumber pembantaian tanpa henti didalam masyarakat. Tetapi,
dibalik semua agumen itu mungkin tersimpan kecemasan mendalam berupa destabilisasi hegemoni
Barat.

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Radikal dalam bahasa Indonesia berarti amat keras menuntut perubahan. Sementara itu, radikalisme
adalah paham yang menginginkan perubahan sosial dan politik dengan cara drastis dan kekerasan.

Radikalisme bisa menjadi ancaman besar bagi dunia jika mereka melakukannya atau
mengekspresikannya keyakinannya dalam bentuk kekerasan. Akibat dari timbulnya kekerasan tersebut
bisa muncul karena adanya faktor internal dan eksternal. Radikalisme Islam Indonesia lahir dari hasil
persilangan Mesir dan Pakistan. Nama-nama seperti Hassan al-Banna, Sayyid Qutb dan al-Maududi
terbukti sangat memengaruhi pelajar-pelajar Indonesia yang belajar di Mesir dan Pakistan. Pemikiran
mereka membangun cara memahami Islam ala garis keras. Setiap Islam disuarakan, nama mereka
semakin melekat dalam ingatan. Bahkan, sampai tahun 1970-1980-an ikut menyemangati

Anda mungkin juga menyukai