Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

PENDIDIKAN AGAMA

“ ISLAM RADIKAL DI INDONESIA ”

Disusun Oleh :

Ridhwan Rizqulloh

201010250025

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS PAMULANG

KOTA TANGERANG SELATAN

BANTEN
ABSTRAK

Islam Radikal di Indonesia

Oleh :

Ridhwan Rizqulloh

Gerakan radikalisme adalah sikap atau semangat yang membawa kepada Tindakan yang bertujuan

melemahkan dan mengubah tatanan yang mapan dengan menggantinya dengan gagasan atau

pemahaman baru dan gerakan perubahan itu kadang disertai dengan tindak kekerasan (violence).

Bila dilihat dari pemahaman agama, maka gerakan radikalisme agama dapat dimaknai sebagai

gerakan yang berpandangan kolot dan jumud serta kaku (tekstualis) dan sering menggunakan

kekerasan atau memaksakan pendapat dan pandangan keagamaan serta menganggap hanya

pemahaman agamanya saja yang benar dan paling sesuaial Qur’an dan hadis.

Kemunculan radikalisme atau gerakan “altatharruf” disebabkan oleh banyak faktor antara lain:

Pengetahuan agama yang setengah-setengah melalui proses belajar yang doktriner. Literal dalam

memahami teks-teks agama (tekstualis). Berlebihan dalam mengharamkan banyak hal yang justru

memberatkan umat. Lemah dalam wawasan sejarah dan sosiologi sehingga fatwa-fatwa mereka

sering bertentangan dengan kemaslahatan umat, akal sehat, dan semangat zaman. Radikalisme

tidak jarang muncul sebagai reaksi terhadap bentuk bentuk radikalisme yang lain seperti sikap

radikal kaum sekular yang menolak agama.

ii
ABSTRACT

Radical Islam in Indonesia

By :

Ridhwan Rizqulloh

The radicalism movement is an attitude or spirit that leads to actions aimed at weakening and

changing the established order by replacing it with new ideas or understandings and the change

movement is sometimes accompanied by acts of violence (violence). When viewed from the

understanding of religion, the religious radicalism movement can be interpreted as a movement

that has an old-fashioned view and is rigid and rigid (textualist) and often uses violence or imposes

religious opinions and views and considers only its religious understanding to be correct and most

compatible with the Qur'an and hadith.

The emergence of radicalism or the "altatharruf" movement is caused by many factors, including:

Half-assed religious knowledge through a doctrinal learning process. Literal in understanding

religious texts (textualism). Excessive in forbidding many things that actually burden the people.

Weak in historical and sociological insight so that their fatwas often contradict the benefit of the

people, common sense, and the spirit of the times. Radicalism often appears as a reaction to other

forms of radicalism, such as the radical attitude of secularists who reject religion.

iii
DAFTAR ISI

COVER ................................................................................................................................ i

ABSTRAK ........................................................................................................................... ii

DAFTAR ISI ........................................................................................................................ iv

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................................... v

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ........................................................................................................... 1

BAB II GERAKAN ISLAM RADIKAL DI INDONESIA

2.1 Definisi Islam Radikal ............................................................................................... 3

2.2 Sejarah Islam Radikal ............................................................................................... 3

2.3 Perkembangan Islam Radikal di Indonesia ............................................................ 4

2.3.1 Era Orde Lama .............................................................................................. 5

2.3.2 Era Orde Baru ................................................................................................ 7

2.3.3 Era Reformasi ................................................................................................ 8

2.3.4 Gerakan Islam Radikal Saat Ini ................................................................... 10

2.4 Ciri Utama Dakwah Islam yang Radikal ................................................................. 12

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan ................................................................................................................. 15

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Qur’an Surah Al – Ma’idah ayat 44 ................................................................ 13

v
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Islam adalah agama untuk penyerahan diri semata-mata kepada Allah agama semua nabi, agama

yang sesuai dengan fitrah manusia, agama yang menjadi petunjuk manusia, mengatur hubungan

antara manusia dengan Rabbnya dan manusia dengan lingkungannya. Agama rahmah bagi semesta

alam, dan merupakan satu-satunya agama yang diridhoi Allah, agama yang sempurna.1 Dengan

beragama Islam, setiap muslim memiliki landasan tauhidullah, dan menjalankan peran dalam

hidup berupa ibadah (pengabdian vertical) dan khilafah (pengabdian horizontal) dan bertujuan

meraih ridha dan karunia Allah. Islam yang mulia dan utama akan menjadi kenyataan dalam

kehidupan duniawi, apabila benar-benar diimani, dipahami, dihayati, dan diamalkan oleh seluruh

muslimin secara totalitas (Kaffah).2 (QS. Al-Fath: 29, al-Baqarah: 208). Tetapi banyak orang yang

salah dalam dalam memahami dan salah memilih gurunya, sehingga mereka keluar dan melanggar

kaidah – kaidah dalam AL- Qur’an yang disebut islam radikal.

Beberapa kali selama dua dekade terakhir Indonesia menjadi berita utama di dunia karena serangan

teroris yang kejam atau karena kehadiran jaringan teroris (termasuk kamp pelatihan) yang diduga

terhubung dengan organisasi paramiliter fundamentalis Islam Sunni Al-Qaeda, organisasi militan

Islam Jemaah Islamiyah, atau kelompok militan ekstemis Negara Islam Irak dan Syam

(Islamic State).

Serangan teroris tersebut (dan kehadiran kelompok dan sel-sel teroris dalam negeri) menunjukkan

keberadaan sebuah komunitas Muslim radikal di Indonesia mereka tidak hanya percaya bahwa

1
(QS. Ali Imron:19,112).
2
(QS. Al-Fath: 29, al-Baqarah: 208).
Islam harus menjadi satu-satunya pedoman dalam kehidupan (dan dengan demikian menentang

pemerintah sekuler beserta tidak mendukung masyarakat pluralis) tetapi mereka juga bersedia

untuk menggunakan langkah-langkah ekstrem (termasuk kekerasan kejam) dalam upaya untuk

mengubahkan sitkon (situasi kondisi) sekarang. Lewat aksi teror mereka ingin menciptakan

suasana panik, tidak menentu dan mendorong ketidak percayaan masyarakat terhadap kemampuan

pemerintah.

2
BAB II

GERAKAN ISLAM RADIKAL DI INDONESIA

2.1 Definisi Islam Radikal

Radikalisme adalah paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan

politik dengan cara kekerasan. Paham ini juga mengacu pada sikap ekstrem dalam aliran politik.

Radikalisme dianggap sebagai paham yang membahayakan keutuhan NKRI karena tidak hanya

mengancam dari luar tetapi menyusupi ke dalam diri melalui pencucian otak yang dilakukan oleh

kelompok intoleran. Hasil penelitian LIPI menyatakan bahwa ada 4 penyebab berkembangnya

radikalisme di Indonesia yaitu: faktor ekonomi, ideologi, agama dan politik.

2.2 Sejarah Islam Radikal

Radikalisme berasal dari bahasa Latin radix yang berarti akar. Maksudnya yakni berpikir secara

mendalam terhadap sesuatu sampai ke akarakarnya. Merupakan istilah yang digunakan pada akhir

abad ke-18 untuk pendukung gerakan radikal. 3Radikalisme merupakan suatu paham yang

menghendaki adanya perubahan, pergantian, dan penjebolan terhadap suatu sistem di masyarakat

sampai ke akarnya. Radikalisme menginginkan adanya perubahan secara total terhadap suatu

kondisi atau semua aspek kehidupan masyarakat. Tentu saja melakukan perubahan (pembaruan)

merupakan hal yang wajar dilakukan bahkan harus dilakukan demi menuju masa depan yang lebih

baik.

3
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Radikalisme_(sejarah), diakses pada senin 6 Desember 2021
Namun perubahan yang sifatnya revolusioner sering kali “memakan korban” lebih banyak

sementara keberhasilannya tidak sebanding. Sebagian ilmuwan sosial menyarankan perubahan

dilakukan secara perlahanlahan, tetapi kontinu dan sistematik, ketimbang revolusioner tetapi

tergesagesa.4 Beberapa tahun.

2.3 Perkembangan Islam Radikal di Indonesia

Belakangan ini marak terjadi kasus yang berhubungan dengan ISIS (Islamic State of Iraq and

Syiria), JAD (Jamaah Ansharut Daulah), Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), Jemaah Islamiyah (JI).

Problematika tersebut sudah memasuki kancah internasional dan nasional hingga diliput

diberbagai media. Ini semua merupakan salah satu gerakan yang berpaham radikalisme. Orang-

orang yang menganut paham radikalisme menginginkan terbentuknya negara Islam dengan model

tatanan yang berbasiskan nilai-nilai ajaran Islam fundamental, yakni al-Qur’an, hadits, dan praktik

kehidupan sahabat nabi generasi pertama.5 Mereka menolak tatanan yang ada terutama yang

dinilai berasal dari Barat.

Fenomena gerakan Islam radikal di Indonesia belakangan ini, pemicunya sangat kompleks, baik

secara lokal, nasional maupun global. Menurut Giora Eliraz dalam bukunya Bahtiar Effendy dan

Soetrisno Hadi, gerakan radikalisme merupakan respon terhadap lamban atau bahkan kegagalan

proyek modernisasi di dunia Islam. Tidak sedikit umat Islam mengalami kendala teologis,

sosiologis dan intelektual dalam menyikapi modernisasi. Akibatnya mereka menjadi marjinal, baik

secara ekonomi, sosial, pendidikan, maupun politik. Mereka menuduh ada “konspirasi Barat”

sehingga umat Islam tertinggal.6

4
Zuly Qodir, Radikalisme Agama di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014, hlm.116.
5
Bahtiar Effendy dan Soetrisno Hadi, Agama dan Radikalisme di Indonesia, (ttp:t.p,t.t), hlm.228.
6
Bahtiar Effendy dan Soetrisno Hadi, Agama dan Radikalisme…, hlm. 235.
4
Mark Juergensmeyer dalam bukunya "Teror atas nama Tuhan", membandingkan kelompok teroris

dalam beberapa tradisi kepercayaan, ia menyimpulkan bahwa teroris agama berbagi atribut

berikut: Pertama, mereka menganggap bentuk kontemporer agama sebagai versi melemah dari

yang benar, iman yang otentik. Teroris mengajak lebih menuntut, agama "keras" yang

membutuhkan pengorbanan. Kedua, mereka menolak untuk berkompromi dengan lembaga

sekuler, mengkritisi agama "lunak" untuk mudah menampung dengan budaya mainstream.

Pada dasarnya setiap agama mengajarkan tentang kedamaian, bagaimana bersikap dengan baik

terhadap sesama, bagaimana menghargai perbedaan antara satu orang dengan yang lainnya.

Namun terkadang dengan pemahaman terhadap agama yang masih dangkal dan sempit, klaim-

klaim kebenaran yang bersifat sepihak seringkali muncul dari masing-masing golongan. Mereka

menganggap bahwa ajaran mereka atau apa yang mereka percaya itulah yang paling benar.

Merekalah yang paling mengerti isi ajaran dari keyakinannya, orang lain masih belum bisa

mengerti dan akhirnya mereka ajak atau mereka paksa untuk mengikuti mereka.

Dalam perjalanan sejarah manusia, agama seringkali tidak selalu artikulatif, suasana paradoks

sering menyertai kehidupan penganut agama, terlebih jika penganut agama tadi telah mempolitisir

agamanya demi kepentingan sesaat. Bila demikian yang terasa adalah agama sangat rentan dalam

memicu timbulnya prahara.

2.3.1 Era Orde Lama

Kemunculan Islam radikal di Indonesia sendiri bukanlah sesuatu yang baru. Sejak masa Orde

Lama dan Orde Baru, kelompok-kelompok ini telah berkecimpung di Indonesia. Dengan

gamblang, Jamil menguraikan organisasi Islam radikal yang berkecimpung pada masa-masa itu

dan sepak terjangnya masing-masing. Di masa Orde Baru, ketika rezim yang berkuasa dikenal

5
sangat represif dan secara sistematis melakukan depolitisasi Islam, kelompok radikal ini bukannya

tidak ada.

Mereka tetap hidup dan bergerak secara senyap. Penerus atau sayap Darul Islam/Tentara Islam

Indonesia (DI/TII) dan Negara Islam Indonesia (NII) dengan terang-terangan malah melakukan

teror. Misalnya, percobaan peledakan Masjid Nurul Iman di Padang pada 11 November 1976.

Serta masih banyak kasus-kasus teror lain7.

Dasar diturunkannya agama oleh Tuhan seolah-olah tidak lagi sesuai dengan harapan yang ideal.

Sebab sarat dengan muatan sentimen-sentimen sehingga memburamkan salah satu tujuan agama

yakni pembawa kedamaian. Prahara sosial dan politik dengan dalih atas nama agama kerap kali

menonjol dan tidak saja terjadi di Indonesia, melainkan telah menjadi gejala umum dari kehidupan

masyarakat dunia.

Radikalisme agama yang dilakukan oleh gerakan Islam garis keras dapat ditelusuri lebih jauh ke

belakang. Gerakan ini telah muncul pada masa kemerdekaan Indonesia, bahkan dapat dikatakan

sebagai akar gerakan Islam garis keras era reformasi. Gerakan dimaksud adalah DI/TII (Darul

Islam/Tentara Islam Indonesia) dan Negara Islam Indonesia (NII) yang muncul era 1950- an

(tepatnya 1949). Darul Islam atau NII mulanya di Jawa Barat, Aceh dan Makassar. Gerakan ini

disatukan oleh visi dan misi untuk menjadikan syariat sebagai dasar negara Indonesia. Gerakan DI

ini berhenti setelah semua pimpinannya atau terbunuh pada awal 1960- an. Sungguhpun demikian,

bukan berarti gerakan semacam ini lenyap dari Indonesia. Pada awal tahun 1970-an dan 1980-an

gerakan Islam garis keras muncul kembali, seperti Komando Jihad, Ali Imron, kasus Talangsari

oleh Warsidi dan Teror Warman di Lampung untuk mendirikan negara Islam, dan semacamnya8.

7
Islam Radikal dan Moderat, Diskursus dan Kontestasi Varian Islam Indonesia, halaman 52.
8
https://wahidfoundation.org/index.php/news/detail/Akar-Sejarah-Gerakan-Radikalisme-di-Indonesia
6
2.3.2 Era Orde Baru

Perkembangan dan pertumbuhan gerakan radikalisme Orde Baru tidak bisa dilepaskan dari
9
pergantian rezim yang semakin terbuka. Kemunculan gerakan radikalisme Islam, baik Yang

klandestin—seperti Jemaah Islamiyah (JI)—maupun yang terang-terangan—seperti Laskar Jihad,

Laskar Jundulloh, FPI, MMI, HTI, dan lain-lain—merupakan dampak ikutan dari semakin

terbukanya iklim politik dan demokrasi pasca-tumbangnya Orde Baru. Tanpa kehadiran era

Reformasi, hampir dapat dipastikan kelompok-kelompok garis keras tersebut tidak akan berani

muncul ke permukaan akibat represi politik yang dilakukan oleh rezim berkuasa.

Keterbukaan politik yang diintroduksi oleh Presiden Habibie, penerus Presiden Soeharto, terbukti

memberi semangat baru bagi kelompok masyarakat untuk menyuarakan berbagai aspirasi dan

kepentingan politiknya secara bebas dan leluasa. Pada masa ini pula, kelompok budaya dan politik

yang tidak berafiliasi ke aliran kea- gamaan tertentu juga turut meramaikan ruang publik.

Keterbukaan politik sebenarnya tidak saja membuka peluang bagi aliran atau ideologi keagamaan

saja, tetapi juga Gerakan antitesis terhadapnya. Sebagai contoh di Solo muncul kelompok

paguyuban yang diberi nama PANGUNCI, kependekan dari Paguyuban Ngunjuk Ciu (Peguyuban

Peminum Arak Lokal). Kelompok ini jelas bukanlah representasi dari aliran keagamaan. Bahkan,

kemunculan kelompok semacam ini dapat dimaknai sebagai antitesis terhadap gerakan keagamaan

yang marak di kota budaya ini.

Seperti diketahui, kota ini menjadi persemaian bagi berbagai gerakan keagamaan garis keras

seperti JI, Pondok Ngruki pimpinan Abu Bakar Ba’asyir, Jamaah Ansorut Tauhid (JAT) pimpinan

Abu Bakar Ba’asyir, Majlis Tafsir Al-Qur’an (MTA) yang didirikan oleh Abdullah Tufail, dan

9
1Noorhaidi Hasan, Laskar Jihad: Islam, Militancy, and the Quest for Identity in Post-New Order
Indonesia (Ithaca: Cornell Southeast Asia Program Publications, 2006), h. 13-25.
7
10
FPIS (Forum Pemuda Islam Surakarta). Selain keran politik yang semakin terbuka, ada pula

yang mengaitkan kemunculan gerakan radikalisme Islam dengan kondisi negara yang melemah.

Serangkaian peristiwa kekerasan dan konflik bernuansa agama muncul pada saat rezim Orde Baru

tumbang. Peristiwa bom di Jakarta (2000) dan Bali I (2002) juga muncul di awal-awal era

Reformasi. Hal ini menunjukkan, proses delegitimasi kekuasaan negara seringkali memberikan

ruang bagi kemunculan gerakan-gerakan tandingan di luar lembaga kenegaraan yang dimotori

oleh aktor-aktor non-negara.

2.3.3 Era Reformasi

Zakiyuddin Baidhawy dalam Dinamika Radikalisme dan Konϐlik Bersentimen Keagamaan di

Surakarta (2010)11 menegaskan bahwa secara ideologis, Surakarta merupakan basis kelompok-

kelompok Islam radikal, dan aliran kejawen, serta mereka yang masih memegang kuat nilai-nilai

leluhur yang dipengaruhi dua keraton Kasunanan dan Mangkunegaran.

Namun dalam sejarahnya, Surakarta merupakan kota yang diwarnai konflik Cina–Jawa sejak awal

tahun 1910-an. Faktor kultural dalam konϐlik etnik ini adalah permusuhan laten antara kaum

pribumi dan non-pribumi yang tak kunjung selesai. Begitu pula, pada masa Reformasi, kelompok

kelompok Islam baru menunjukkan kecenderungan radikalisasi dalam isu-isu keagamaan. Salah

satu isu penting yang muncul dalam konteks Solo adalah masalah kristenisasi. Kontestasi

islamisasi-kristenisasi pada masa-masa sebelum reformasi umumnya masih berada di bawah

10
Muhammad Wildan, “Mapping Radical Islam: A Study of the Proliferation of Radical Islam in Solo,
Central Java,” dalam Martin van Bruinessen (ed.), Contemporary Developments in Indonesian Islam:
Explaining the “Conservative Turn” (Singapore: ISEAS, 2013), h. 190-223.
11
Zakiyudin Baidhawy, “Dinamika Radikalisme dan Konflik Bersentimen Keagamaan di Surakarta,
Makalah Annual Conference on Islamic Studies ke-10 yang diselenggarakan Diktis Ditjen Pendidikan
Islam, Kementerian Agama pada 1-4 Nopember 2010, h. 10.
8
permukaan. Namun bersamaan dengan merebaknya gerakan radikal itu, kontestasi dan bahkan

konflik Islam-Kristen mulai mengemuka secara terbuka.

Setidaknya ini dapat dilihat dari beberapa peristiwa, antara lain kasus Pendeta Wilson (2000),

kasus pemutaran film oleh LPMI (2001), kasus rumah ibadah Pendeta Syarif Hidayatullah (2005),

dan beberapa peristiwa lain. Ironisnya lagi, wilayah ini sering dijadikan persembunyian dan

perencanaan para tersangka teroris. Badrus Sholeh, dkk. dalam Agama, Etnisitas dan Radikalisme:

Pluralitas Masyarakat Kota Solo12 menegaskan bahwa radikalisasi sosial ’Wong Solo’ terbagi

menjadi dua, yaitu kelompok kiri dan kelompok kanan yang muncul akibat ketimpangan sosial.

Pluralitas masyarakat Solo menjadi tantangan serius bagi kalangan intelektual, tokoh masyarakat

dan pemerintah, bagaimana radikalisasi mereka bisa terarah untuk membangun dan komunikasi

melalui mediasi, pertemuan lintas etnis dan agama serta pembukaan pesantren untuk semua

pemeluk agama memiliki peran positif dalam mengeliminir potensi kemunculan konϐlik sosial

serta mengantisipasi dan menyelesaikan gejolak sosial secara lebih dini.

Muhammad Wildan dalam Pondok Ngruki dan Radikalisme Agama di Indonesia13 mengemukakan

keterlibatan Pondok Pesantren terhadap jaringan terorisme (pemboman Bali 12 Oktokber 2001).

Yakni, keterlibatan Abu Bakar Ba’asyir dalam aksi radikalisme sejak Orde Baru. Wildan berusaha

mengklarifikasi hubungan Pondok Ngruki dengan aksi radikalisme di Indonesia.

Ahmad Bunyan Wahib dalam Gerakan Dakwah Salaϐi Pasca Laskar Jihad membahas gerakan

dakwah Salaϐi di Banyumas, Jawa Tengah. Dakwah Salaϐi adalah dakwah yang dilakukan oleh

kelompok yang menyebarkan faham puritanisme Wahabi. Dakwah tersebut dianalisis dari

perspektif gerakan sosial dengan menfungsikan teori aksi rasional. Penelitian ini menemukan

12
Badrus Sholeh, Agama, Etnisitas dan Radikalisme: Pluralitas Masyarakat Kota Solo, Laporan Penelitian
tidak diterbitkan
13
Muhammad Wildan, Pondok Ngruki dan Radikalisme Agama di Indonesia, Laporan Penelitian tidak
diterbitkan.
9
bahwa pelaku gerakan dakwah Salaϐi di Banyumas membuat jaringan informal untuk

mendiseminasi puritanisme Islam. Merekamendirikan pesantren di wilayah Banyumas, seperti Ibn

Taimiyah, al-Furqan dan al- Manshurah. Pesantren ini mirip kamp latihan untuk menyebarkan

puritanisme Islam. Dalam rangka mendukung gerakan dakwah, para aktivis di daerah ini

kooperatif dengan pemerintah daerah dan terbuka kepada masyarakat.

Gerakan Salafipasca Laskar Jihad di Banyumas bagian tenggara yang meliputi tiga kecamatan

yaitu Sumpiuh, Kemranjen dan Kroya Cilacap adalah gerakan yang lebih kooperatif dengan

negara, yang diperlihatkan dari gerakan ini yang tidak melakukan aksi penolakan terhadap

kebijakan pemerintah seperti yang dilakukan Laskar Jihad. Kelompok ini juga telah membangun

beragam fasilitas untuk mengembangkan ajaran Salaϐi melalui gerakan dakwah mulai dari

mendirikan pesantren, madrasah, penerbitan bulletin, majalah dan buku, serta mendirikan stasiun

radio dakwah dan membuat situs internet.14 peneliti, yang lebih tertarik pada kelompok Islam

transnasional. Kajian Zainuddin Fananie, dkk yang meletakkan kelompokkelompok Islam radikal

di Solo ikut memberi sumbangan bagi penelitian ini dalam upaya menelusuri karakter transformasi

gerakan Islam radikal lokal ke terorisme. Dalam posisi ini, penelitian ini mengambil jarak yang

berbeda dengan penelitian Noorhaidi Hassan dan Khamami Zada, dan sejumlah penelitian lainnya

dalam menjelaskan transformasi gerakan Islam radikal ke terorisme di Indonesia.

2.3.4 Gerakan Islam Radikal Saat Ini

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komjen Pol. Dr. Boy Rafli Amar,

M.H., mengungkapkan tantangan utama penanggulangan terorisme di masa pandemi Covid-19

14
Ahmad Bunyan Wahib dalam “Gerakan Dakwah Salafi Pasca Laskar Jihad”, Makalah tidak diterbitkan,
h. 3.
10
kini muncul di media internet. Selama masa pandemi, grup teroris memaksimalkan aktifitas

daring. Mereka aktif melakukan propaganda, proses rekrutmen anggota bahkan soal pendanaan15.

"Selama pandemi Covid-19 yang merupakan ancaman keamanan dan ketertiban dunia tidak serta

merta menghilang. Justru menciptakan tantangan baru misalnya lewat aktifitas teroris di dunia

maya yang semakin masif," kata Boy saat menjadi pembicara secara virtual pada acara the Second

United Nations High-Level Conference of Heads of Counter-Terrorism Agencies of Member

States di New York”, aktifitas di internet yang dilakukan teroris, sangat mudah dilakukan dan

malah lebih efektif dalam mendoktrin generasi muda untuk mendukung ideologi mereka dan

kemudian ikut melakukan aksi teror. 16


Contohnya, kasus “lone wolf” wanita muda yang

menyerang Mabes Polri beberapa waktu lalu. Diduga ia terpapar ideologi ISIS dari internet.

Kini para teroris juga menggunakan internet dalam melakukan pendanaan untuk mendukung aksi

terorisme. Selama pandemi berlangsung, terdapat kenaikan 101% transaksi keuangan

mencurigakan. "Terdapat aktifitas crowd-funding dalam pendanaan aktifitas teroris. Ini juga jadi

ancaman baru di masa pandemi,"

Kepala BNPT menambahkan, saat ini pula, ada kecendrungan wanita menjadi teroris. Studi dari

Soufan Center menyebut angka dukungan kepada teroris yang dilakukan kaum wanita bertambah

di wilayah Asia Tenggara. "Secara statistik tahun 2015 ada 3 wanita yang ditangkap karena kasus

terorisme sementara dari tahun 2016-2020 sudah mencapai angka 40 orang,". Dalam tiga tahun

terakhir, Indonesia telah menyaksikan aksi terorisme yang dilakukan wanita seperti di Surabaya

(Jawa Timur), Sibolga (Sumatera Utara), dan baru-baru ini di Makassar (Sulawesi Selatan).

15
https://www.bnpt.go.id/bnpt-waspadai-penyebaran-paham-radikalisme-dan-terorisme-di-internet-
selama-masa-pandemi-covid-19
16
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-56579674
11
"Masalah FTF ini juga isu yang penting. Tantangan yang akan dihadapi Indonesia berfokus pada

efektivitas sarana untuk penuntutan (bagi mereka yang melakukan terorisme) kejahatan di Suriah),

serta sarana yang efektif untuk rehabilitasi dan reintegrasi bagi mereka yang menjadi tanggungan

(perempuan dan anak-anak),".

Dalam menghadapi tantangan tersebut, orang nomer satu di BNPT tersebut menyebutkan,

Indonesia telah melakukan penguatan criminal justice response pada isu penanggulangan

terorisme melalui pengesahan dan penerapan beberapa peraturan seperti Undang – Undang Nomor

5 Tahun 2018, PP Nomor 77 Tahun 2019, PP Nomor 35 Tahun 2020, serta Perpres Nomor 7 Tahun

2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Extremisme Berbasis

Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme.

2.4 Ciri Utama Dakwah Islam yang Radikal

Tersangka atau pelaku yang menjadi fenomena dan menarik perhatian dari kehidupan kita di

negara Indonesia ini yaitu ketika dalam kondisi masyarakat Islam dengan berbagai problematika

dakwahnya, maka tak hentihentinya muncul pemikir-pemikir sejak zaman klasik hingga sekarang,

di mana di dalamnya lahir aliran-aliran yang menaruh perhatian besar terhadap pelaksanaan

dakwah Islamiyah. Akan tetapi dalamrealitanya, mereka di dalam penyampaian ajarannya

cenderungortodok, kaku dan kolot, bahkan nilai-nilai ajaran yang disampaikannya terkesan jumud

dan mandeg ditempat tidak bisa sesuai dengan dinamika kehidupan zaman. Dalam menerjemahkan

ayat-ayat Al- Qur’an pun hanya dikaji secara tekstual, tidak mengenal istilah hermeniutika atau

tafsir. Dan yang ironi, tidak berhenti sampai di situ saja, akan tetapi mereka menginginkan ajaran

Islam diterapkan di dalam setiap lini kehidupan (totalistik / kaffah) dengan cara yang mereka

benarkan, tanpa mengambil dari manhaj hukum yang semestinya. Bukankah hal demikian akan

dapat mengganggu keharmonisan dalam kehidupan? Beberapa golongan yang tergabung dalam
12
Islam radikal seperti Darul Islam (DI), Hisbut Tahrir Indonesia (HTI), Negara Islam Indonesi

(NII), dan Ikhwanul Muslimin mereka cenderung bersikap eksklusif dan hanya mengakui

kebenaran mereka sendiri.

Mereka menganggap orang kafir adalah musuh yang harus mereka perangi, tidak hanya itu saja,

orang muslim lain yang tidak sehaluandengan mereka pun tak luput mendapat predikat sebagai

orang-orang yang sesat. Doktrin yang mereka usung adalah “takfir" yaitu sikap yang selalu

mengkafirkan golongan lain yang berada di luar kelompoknya. Salah satu tokoh Ikhwanul

Muslimin yang pemikiranya sangat berpengaruh dalam menyulut radikalisme agama yang ada

adalah Sayyid Qutub. Beliau berpendapat “barang siapa yang memutuskan suatu hukum (termasuk

di dalamnya menjalankan pemerintahan) dengan hukum selain Al- Qur’an berarti ia telah kafir”.

Pemikiran tersebut tentunya berpijak pada interpretasi dari suatu ayat yaitu:

Gambar 2.1 Qur’an Surah Al – Ma’idah ayat 44

Artinya:

“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu

adalah orang-orang yang kafir. (Al- Ma’idah : 5, 44)”

Berawal dari pemikiran tersebut, aliran Islam radikal telah menjustifikasi diri seperti para hakim

dan aparat pemerintahan yang ada, yang tidak menggunakan hukum syari’at adalah halal dibunuh.

Sikap-sikap demikianlah yang tentunya dapat membawa mereka kedalam faham keberagamaan

13
17
yang cenderung kaku dan kolot. Selanjutnya sikap tersebut telah mereka ejawantahkan dalam

praktik kehidupan, sebagai suatu contoh mereka menganggap harta yang dimiliki oleh pihak/orang

lain adalah sah untuk dimiliki organisasinya. Bahkan dengan cara-cara yang tidak Islami seperti

penipuan, pencurian, bahkan dengan cara-cara kekerasan sekalipun, mereka mengklaim bahwa

harta itu adalah milik Allah.18

Radikalisme dalam Islam memberikan gambaran adanya kelompok yang ekslusif dan militan.

Sampai batas tertentu, seperti yang disebutkan di atas, ada kesan bahwa kelompok itu menganggap

orang lain sebagai musuh. Yang dimasukkan dalam golongan musuh itu tidak hanya mereka yang

berbeda agama, melainkan juga orangorang seagama yang mereka anggap telah melakukan banyak

kemaksiatan atau diam saja ketika kemaksiatan ada di sekeliling mereka. Klaim kebenaran tunggal

juga melekat dalam ingatan para golongan ini.

Ciri-ciri dari ormas radikal di Indonesia. Adapun karakter atau ciri-ciri tersebut dalam pandangan

Nash Hamid Abu Zayd sebagai berikut. Pertama, menyatukan antara agama dan pemikiran. Jarak

pemisahan antara agama dengan hasil pemahaman terhadap agama tidak bisa dipisahkan dengan

jelas. Kedua, teologisasi fenomena sosial dan alam.

Hukum kausalitas tidak digunakan lagi. Semua kejadian yang ada di bumi ini dikembalikan kepada

Tuhan selaku pencipta alam. Ketiga, interdependensi (ketergantungan) antara salaf dan tradisi

(turats). Hasil ijtihad ulama terdahulu sudah dipandang cukup dan tugas sekarang hanya dalam

konteks prakteknya saja. Keempat, fanatisme pendapat dan menolak dialog. Kelima, mengingkari

dimensi historis. Semua kejadian di masa lalu bukan ciptaan dari interaksi sosial namun sudah

menjadi kehendak Tuhan bahwa sejarah itu berubah.19

17
Ali Syu’aibi, Meluruskan Radikalisme Islam, (Ciputat: Pustaka Azhary, 2004), 137
18
Endang Turmudzi, Riza Sihbudi (ed), Islam dan Radikalisme di Indonesia, 242- 243
19
Teologi Radikalisme di Indonesia, Menuju Islam Rahmatan / Wahana Akademika, vol. 4, no. 1, April
2017, 4-5.
14
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil makalah diatas, dapat disimpulkan bahwa:

1. Paham radikal di Indonesia sudah ada sejak jaman Pemerintahan Presiden Soeharto, dan

jaman Reformasi hingga sekarang ini telah berkembang dengan pola yang dinamis. Paham

radikal di Indonesia sekarang ini semakin berkembang. Penyebaran paham tersebut telah

dilakukan dimana saja, baik di dunia pendidikan, tempat ibadah hingga kawasan instansi

pemerintah maupun BUMN.

2. Pengaturan mengenai istilah Paham Radikal Terorisme di Indonesia sekarang ini baru

terdapat pada UU No.5 Tahun 2018. Pada UU tersebut tidak dijelaskan secara jelas apa

yang dimaksud dengan paham radikal terorisme. Berdasarkan pada penjelasan Pasal 43D

ayat (2) huruf f serta penjelasan Irfan Idris selaku Direktur Jenderal Deradikalisasi BNPT,

Dapat dipertimbangkan bahwa yang dimaksud dengan istilah paham radikal terorisme

adalah suatu pemikiran yang tertanam pada diri seseorang atau kelompok yang

mengkehendaki aksi tindak pidana terorisme.


DAFTAR PUSTAKA

(QS. Ali Imron:19, 112) & (QS. Al-Fath: 29, Al-Baqarah: 208)
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Radikalisme_(sejarah), diakses pada senin 6 Desember 2021
Zuly Qodir, Radikalisme Agama di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014, hlm.116.
Bahtiar Effendy dan Soetrisno Hadi, Agama dan Radikalisme di Indonesia, (ttp:t.p,t.t), hlm.228.
Bahtiar Effendy dan Soetrisno Hadi, Agama dan Radikalisme hlm. 235.
Islam Radikal dan Moderat, Diskursus dan Kontestasi Varian Islam Indonesia, halaman 52.
https://wahidfoundation.org/index.php/news/detail/Akar-Sejarah-Gerakan-Radikalisme-di-
Indonesia
Noorhaidi Hasan, Laskar Jihad: Islam, Militancy, and the Quest for Identity in Post-New Order
Indonesia (Ithaca: Cornell Southeast Asia Program Publications, 2006), h. 13-25.
Muhammad Wildan, “Mapping Radical Islam: A Study of the Proliferation of Radical Islam in
Solo, Central Java,” dalam Martin van Bruinessen (ed.), Contemporary Developments in
Indonesian Islam: Explaining the “Conservative Turn” (Singapore: ISEAS, 2013), h. 190-223.
Zakiyudin Baidhawy, “Dinamika Radikalisme dan Konflik Bersentimen Keagamaan di Surakarta,
Makalah Annual Conference on Islamic Studies ke-10 yang diselenggarakan Diktis Ditjen
Pendidikan Islam, Kementerian Agama pada 1-4 Nopember 2010, h. 10.
Badrus Sholeh, Agama, Etnisitas dan Radikalisme: Pluralitas Masyarakat Kota Solo,
Muhammad Wildan, Pondok Ngruki dan Radikalisme Agama di Indonesia, Laporan Penelitian
tidak diterbitkan.
Ahmad Bunyan Wahib dalam “Gerakan Dakwah Salafi Pasca Laskar Jihad”, Makalah tidak
diterbitkan, h. 3.
https://www.bnpt.go.id/bnpt-waspadai-penyebaran-paham-radikalisme-dan-terorisme-di-
internet-selama-masa-pandemi-covid-19
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-56579674
Ali Syu’aibi, Meluruskan Radikalisme Islam, (Ciputat: Pustaka Azhary, 2004), 137
Endang Turmudzi, Riza Sihbudi (ed), Islam dan Radikalisme di Indonesia, 242- 243
Teologi Radikalisme di Indonesia, Menuju Islam Rahmatan / Wahana Akademika, vol. 4, no. 1,
April 2017, 4-5.
Lampiran 1. Foto Cover Buku Referensi

Anda mungkin juga menyukai