Anda di halaman 1dari 16

ARTIKEL JURNAL

METODOLOGI STUDI ISLAM


Agama Islam dan Tantangan Radikalisme

Disusun oleh:
Nama : Nurfhira Julia
NIM :2220203860202014
Dosen Pengampu : H.Jumaedi,Lc.,MA

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
IAIN PAREPARE
2022
Abstract

Religion, and the challenge of radicalism are serious problems faced by

Indonesian society. Not only in a country known as an Agrarian country "Indonesia" but

all over the world. This phenomenon occurred at the beginning of the 21st century.

Religion is a person's belief in a god who created it. Radicalism is an understanding or

ideology behind terrorism activities and events. As human, we should think critically

before do something.

Keywords: Radikal, Agama

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Abstrak

Agama, dan tantangan radikalisme adalah permasalahan serius yang dihadapi

masyarakat Indonesia. Bukan hanya ada di negara yang dikenal dengan sebutan negara

Agraris “Indonesia” saja tetapi seluah dunia. Fenomena ini terjadi pada awal abad ke 21.

Agama merupakan suatu keyakinan seseorang kepada tuhan penciptanya. Radikalisme

merupakan suatu paham atau ideologi yang melatarbelakangi kegiatan dan peristiwa

terorisme. Sebagai manusia kita selayaknya harus berfikir kritis sebelum melakukan

Kata Kunci : Radikal, Agama


PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak sekali kebudayaan atau kita
umumnya sebut multi kultur, selain itu Indonesia juga memiliki berbagai keragaman
religious, bahkan negara kita termasuk memiliki keragaman etnis. Setelah runtuhnya
hegemoni orde baru, yang dipimpin oleh Soeharto pada awal abad ke dua puluh satu.
Gerakan sosial secara besar di negara Republik Indonesia ditimbulkan oleh terdorongnya
Gerakan mobilisasi massa secara transparan dalam tempat publik dan dipicu oleh
kesempatan berpolitik yang makin terbuka pada peristiwa Gerakan reformasi Indonesia.
Semakin menguatnya identitas dan Gerakan kelompok keagamaan diluar lazimnya
kelompok keagamaan masyarakat islam diindonesia bisa jadi merupakan akibat dari
perubahan iklim politik setlah orde reformasi.
Selama beberapa abad sebelumnya telah terjadi bermacam Gerakan anti kebijakan
dan peraturan negara tentang agama di negara Indonesia. Akan tetapi, gerakan sosial ini
baru benar-benar berkembang dan dapat terorganisir dengan baik pada awal abad ke-20. 1
Gerakan-gerakan ini memiliki berbagai jenis tujuan dan bermacam asal usul
pembentukkannya, tetapi tujuan mereka sama yaitu menentang suatu program kebijakan
pemerintahan dan system penyelenggaraan negara tersebut. Di antara gerakan gerakan
sosial ini ada yang tidak memiliki iklim politik didalammya, Sebagian ada juga yang bersifat
politis, dan lainnya bercorak gerakan budaya dan agama. Dulu Gerakan-gerakan
keagamaan pada abad ke-19 dan ke-20 lazimnya pernah ada di negara Indonesia,
khususnya ada di jawa. Perubahan sosial kerap kali berhubungan dengan berbagai jenis
pergolakan keagamaan tentang keresahan sosial, mobilitas, dan pertikaian atau
permusuhan (Kartodirdjo, 1984: 12).
Pada arti sebenarnya secara historis agama lazimnya telah berperan besar dalam
menstimulasi dan memicu aksi-aksi sosial keagamaan untuk melawan system kekuasaan,
termasuk politik dan dan konsep ideologi pada negara yang menonjol. Hingga saat ini kita
kerap merasakan akibat dari aksi sosial tersebut sejak zaman colonial. Sejak dulu Agama
telah menjadi simbol perlawanan rakyat dan kritik sosial dari segala bentuk penindasan
agama. Aksi ini sesuai dengan model pemberontakan budaya kontemporer yang
menentang
system pengendalian dan pengawasan oleh negara indonesia terhadap warga Indonesia
(Qodir, 2009: 245).
Adanya gerakan baru di Indonesia didasarkan pada ajaran-ajaran teologi mengenai
akhir zaman seperti hari kiamat kebangkitan segala manusia, dan surga. Gerakan
keagamaan tersebut diantara lain adalah gerakan Imam Mahdiisme Atau gerakan
keagamaan Ratu Adil. Tujuan dari gerakan ini hanya untuk menjadikan sebuah masyarakat
yang ideal, bebas dari ketidak-adilan sosial yang dilakukan negara (Kartodirdjo: 1984).
Sebelum memasuki poin pembahasan, dikarenakan kita haru selalu berfikir kritis
sebelum melakukan maka lebih baik kita perlu memahami pengertian radikalisme itu
sendiri. Menurut Hassan Shadily dalam Ensiklopedi Indonesia, bahwa radikal itu berasal
dari bahasa Latin yaitu radicalis yang berarti akar suatu ikhwal.2 Sedangkan dalam kamus
Bahasa Indonesia modern, kata radikal berarti tak ada undang-undang, tata tertib dan
pemerintahan, kekecau balauan.3 Selanjutnya sejarawan Sartono Kartodirdjo,
menggunakan istilah radikal secara ekstensif dalam berbagai karyanya. Ia memakai istilah
radikalisme untuk menggambarkan gerakan protes para petani yang membawa dan
menggunakan simbol agama dalam menolak seluruh aturan dan tatanan yang ada. Kata
radikal digunakan sebagai parameter, penunjuk atau indikator sikap penolakan total
terhadap seluruh kondisi yang sedang berlangsung.4

PEMBAHASAN

 Pengertian Radikalisme

“akar” merupakan arti dari Bahasa latin radix yang berasal dari kata Radikalisme.
Perombakan dan perubahan besar untuk menggapai kemajuan merupakan paham dalam
hal tersebut. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), radikal mempunyai definisi
secara menyeluruh, amat keras jika menuntut suatu perubahan dan revolusi, dan maju
dalam berpikir atau bertindak. Sedangkan radikalisme di maknai sebagai paham atau
konsep ideologi yang radikal yang menginginkan suatu pembaharuan sosial dan politik
dengan menggunakan cara yang keras, drastis atau secara tiba-tiba.5 Radikalisme sangat
berkaitan
dengan posisi ataupun dengan sikap menginginkan adanya perubahan terhadap status quo
Dalam pandangan perspektif ilmu sosial, dengan cara menghancurkan dan mengganti
status quo secara total dan berbeda.6

radikalisme kerap di anggap merupakan respon atau timbal balik terhadap kondisi yan
sedang berlangsung. Evaluasi, penolakan, bahkan perlawanan menjadi bentuk dari respon
yang muncul dalam kaitan hal tadi. Asumsi, ide, Lembaga, ataupun nilai-nilai yang dapat
sebagai pertanggungjawaban terhadap kontinuitas keadaan yang ditolak merupakan
masalah-masalah yang dapat ditolak.

Secara wajar atau sederhana radikalisme merupakan buah pemikiran maupun sikap
yang dicirikan dan dikaraketirisasikan melalui empai hal, yaitu: Pertama, sikap tidak
terbuka(toleran) dan tidak mau menghargai ide ataupun keyakinan seseorang. Kedua,
Sikap eksklusif, yaitu memisahkan diri dari kebiasaan orang lazimnya. Ketiga, sikap fanatik,
merupakan keyakinan terhadap (politik, agama dan sebagainya) dengan merasa paling
benar sendiri dan selalu berpendapat bahwa orang lain selalu salah. Keempat, sikap
revolusioner, yaitu condong menggunakan kekerasan untuk menggapai suatu tujuan yang
ingin digapai.7

 Radikalisme Agama

Dalam Agama Islam, Radikalisme pertama kali memperlihatkan diri dari kelompok
khawarij. Khawarij merupakan kelompok yang pertama kali meneyebarkan dan
menanamkan benih-benih radikalisme (Tim Aswaja, 2016: 376). Dikarenakan sikap dari
kelompok khawarij yang terlalu berlebihan membenci sayyidina Ali dan beberapa sahabat
sayyidina Ali pada saat perang siffin. Bahkan kelompok khawarij hingga beranggapan
bahwa para sahabat yang menyetujui perdamaian atau gencatan senjata merupakan orang
kafir. Mereka selalu memaksa pendapatnya agar disetujui oleh pihak lain. Pada masa nabi
Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam masih berdakwah, kondisi masih damai, rukun dan
tentram. Namun setelah wafatnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam kondisi
yang baik ini kian menurun. Berbagai pertentangan dan perbedaan antar sesama umat
beragama tauhid atau islam kerap atau berulang-kali terjadi. Hal-hal pertentangan dan
perbedaan semacam ini berlangsung dari khalifah Abu bakar As-shiddiq radhiallahu ‘anhu
hingga titik puncaknya pada pemerintahan Ali bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu. Perang
Jamal Antara Ali dan dan kelompok Thalhah, Zubair, dan Aisyah merupakan tanda dari
pertikaian tersebut, dan dimenagkan oleh sayyidina Ali. Tidak selang beberapa lama
terjadilah perang siffin antara sayyidina Ali dengan kelompok muawiyah, pada saat itu
gubernur yang memimpin di syam adalah kelompok muawiyah. pada ssat perang siffin
berlangsung pasukan sayyidina Ali bin abi thalib hampir memenangkan peperangan.
Namun karena kelicikan Amr bin Ash dari kelompok muawiyah meminta perdamaian
dikala tersudutkan oleh pasukan sayyidina Ali bin abi thalib. Akhirnya perang siffin diakhiri
dengan cara mengangkat Al-Qur’an, dan sayyidina Ali bin abi thalib mengirimkan utusan
untuk membuat perjanjian. Pasukan ali bin abi thalib menerima takhkim atau arbitrase.
Sehingga menimbulkan perpecahan dikarenakan muncullah kelompok khawarij
dikarenakan sayyidina Ali bin abi thalib yang menerima takhkim tersebut. Bahkan
kelompok khawarij menganggap bahwa orang -orang yang menerima tahkim tersebut
adalah kafir. Walaupun begitu ada yang tetap mendukung Sayyidina Ali bin abi thalib yaitu
kelompok Syi’ah. Kelompok Syi’ah sangat menjunjung tinggi Ali, bahkan hingga
mengagungkannya. Awal dari perbedaan pendapat ini adalah masalah politik, akhirnya
mengarah pada teologi, teologi merupakan pengetahuan ketuhanam mengenai
sifat tuhan, dasar kepercayaan tuhan dan agama, terutama berdasarkan
pada kitab suci. (Rofiq dkk.,2019: 3).

Kubu muawiyah akhirnya menjadi pemenang dalam perang siffin dengan


kelicikannya yaitu melalui tahkim. Atau arbitrase, dikarenakan kelompok muawiyah
memiliki sifat materialisme, kelompok muawiyah mendirikan dinasti baru Bernama dinasti
umayyah dan mulai menata kepentingan kekuasaannya. Dikarenakan kelompok muawiyah
yang materialisme, agama tidak menjadi suatu batasan untuk berkepentingan. Mereka
menganut system keturunan. Dari dinasti umayyah ini muncul kelompok baru yakni
jabariyyah yang menyebarluaskan kepada kalangan umat islam bahwa apa yang mereka
Yakini adalah merupakan takdir dari Allah Subhanahu wa ta’ala, termasuk muawiyah
menjadi pemimpin. Kelompok jabariyyah ini sangat dijunjung tinggi dan dianut oleh dinasti
umayyah. Kemudian muncullah kelompok yang berkebalikan dengan kelompok jabariyyah,
yakni kelompok Qodariyah. Kelompok in mengusung paham dan menjunjung tinggi akal
dan merupakan bibit dari kelompok mu’tazilah. Dikala iklim politik sangat kacau dan tidak
menentu dimana orang sulit menemukan sebuah kebenaran, ada beberapa golongan tabi’in
yang diusung dan dipelopori oleh Imam Al-Hasan Al-Bashri, Abu Sufyan Al-Tsauri Fudlalil
ibn Liyadi beserta Abu Hanifah, mereka merespon situasi yang tidak menentu dengan cara
yang menyejukkan dan bijaksana. Dalam menyikapinya beliau selalu denagn cara tetap
pada jalan yang telah ditentukan oleh Al-Qur’an. Golongan inilah yang menjadi pondasi
utama Ahlusunnah wal jama’ah. Setelah hegemoni bani Ummayyah berakhir, maka
hegemoni berpindah kepada bani Abbasiyah. Pada masa hegemoni bani abbasiyah, kaum
rasional atau ilmuwan mendapat tempat yang tinggi. Dari perjalanan Panjang ini, sehingga
menyebabkan munculnya kelompok-kelompok radikal dalam agama islam, dalam
menggapai tujuannya, kelompok radikal seringkali menggunakan berbagai cara ekstrem
seperti kegiatan kekerasan dan kegiatan terror. Hal ini memiliki dampak yang negative
yaitu menimbulkan kerugian pada pihak-pihak target, karena cara kelompok ini lazimnya
terkenal sangat ekstrim dan tidak manusiawi. Radikalisme agama merupakan sebuah
peristiwa kegelisahan yang berlebihan dalam pribadi manusia dikarenakan oleh
pandangan yang pesimis akibat ketidakpahaman pada hukum-hukum agama. Penolakan ini
dilakukan dengan cara yang tidak baik dan tidak manusiawi. (Rofiq dkk.,2019: 4-5).

Menurut Rubaidi, ada lima tanda atau ciri gerakan radikalisme. Pertama,
menjadikan islam sebagai satu-satunya paham atau ideologi yang dianut kehidupan pribadi
orang atau individu dan tata negara. Kedua, membawa atau mengadopsi langsung nilai-
nilai agama islam di timur tengah tanpa melihat perkembangan sosial politik yang ada di
negara yang ditempati atau ditinggali. Ketiga, Mereka kerap kali condong memahami al-
qur’an dan hadist secara tulisan bukan secara makna. Keempat, menolak ideologi yang
bukan dari timur tengah seperti demokrasi, libelarisme, sekularisme. Kelima, kelompok ini
kerap kali berbeda pengertian atau pendapat dengan masyarakat termasuk pemerintah (A.
Rubaidi, 2010: 63)

Fenomena radikalisme pada awal abad ke-21 ini seringkali muncul dengan
Tindakan ekstrem dan tidak manusiawi. Dan lebih miris, kelompok-kelompok radikal
melakukan aksi dengan mengatasnamakan Agama. Tindakan memaksa pendapat,
keinginan, dan cita-cita keagamaan dengan jalan salah yaitu jalan kekerasan adalah
Tindakan radikalisme (Rofiq dkk.,2019: 5).

Menurut Adian(2006), bahwa Penggolongan islam radikal atau kelompok yang


mengatasnamakan “agama” sebagai dasarnya antara lain: Pertama, memiliki keyakinan
ideologis yang tinggi untuk mengganti tatanan nilai dan system yang sedang berlangsung;
Kedua, dalam berbagai kegiatan mereka seringkali menggunakan aksi ekstrem yang keras;
Ketiga, secara budaya sosial, sosial beragama, kelompok radikal memiliki ikartan kelompok
yang kuat dan menmpilkan ciri-ciri yang khas; Keempat, kelompok ini kerap kali bergerak
secara Bersama-sama, menyerbu atau disebut dengan bergerilya, walaupun banayk yang
bergerak dalam terang-terangan atau keramaian.8

 Bentuk-Bentuk Radikalime

Bentuk-bentuk radikalisme terbagi menjadi dua,9 yaitu:

Pertama, Radikalisme agama secara fisik. Yaitu dengan melakukan aksi vandalisme,
melakukan perusakan fasilitas umum dan kantor pemerintahan, selalu membawa dan
menggunakan senjata tajam atau tumpul pada setiap aksi demonstrasi, sebagai contoh
pada tanggal 28 oktober 2011, ratusan anggota FPI atau yang memiki kepanjangan Front
Pembela Islam bentrok dengan anggota Polres Metro Bekasi saat menggelar unjuk rasa di
depan Sekolah Yayasan Mahanaim di Rawalumbu, Bekasi, Jawa Barat. Sejak tahun 2008 FPI
atau front pembela islam telah menilai Yayasan sekolah Mhanaim melakukan pemurtadan
agama terhadap warga Bekasi

Kedua, Radikalisme agama secara ideologi. Radikalisme Agama secara


ideologi/pemahaman ini lebih berbahaya daripada radikalisme agama secara fisik. Hal
tersebut dikarenakan radikalisme ideologi menjadi dasar timbulnya kekerasan fisik.
Sebagai contoh pemahaman untuk memperjuangkan islam secara kaffah (totalistik)
dengan syariat islam sebagai hukum negara, Islam sebagai dasar negara sekaligus Islam
sebagai system politik sehingga bukan demokrasi yang menjadi system politik nasional

 Faktor Pemicunya

Menurut Syamsul Bakri yang merupakan dosen Peradaban Islam STAIN Surakarta, beliau
membagi faktor pendorong munculnya gerakan radikalisme kedalam 5 (lima) faktor.10

Pertama, faktor-faktor sosial-politik. Gejala kekerasan dalam sudut pandang


keagamaan lebih tepat dikaitkan sebagai gejala sosial-politik. Gerakan Radikalisme islam
kerap kali disalah artikan oleh barat, lebih tepatnya Gerakan Radikalisme harus dilihat
dalam konteks sosial politik dalam kerangka sejarah manusia yang ada dalam lingkup
masyarakat. Menurut Azyumardi Azra11 bahwa menurunnya posisi negara-negara yang
dominan muslim dalam pertikaian utara-selatan menjadi penolong utama munculnya
radikalisme. Dalam sejarah kita dapat melihat bahwa konflik atau pertikaian yang
ditimbulkan oleh kelompok radikal dengan segala alat kekerasannya dalam memberturkan
diri ke kelompok lain ternyata berkaitan dengan masalah sosial-politik

Kedua, Merupakan faktor keagamaan. Penyebab dari salah satu gerakan radikalisme
merupakan faktor sentimen keagamaan. Diantaranya termasuk solidaritas keagamaan
untuk teman yang tertindas oleh kekuatan tertentu. Hal ini lebih tepat disebut faktor emosi
keagamaan, dan bukan agama (wahyu suci yang absolut atau total). Meskipun gerakan
radikalisme ini selalu mengibarkan symbol agama dan bendera, sebagai dalih-dalih ingin
membela agama, jihad, dan mati syahid. Emosi keagamaan dalam konteks ini adalah agama
sebagai pemahaman sebenarnya yang bersifat interpretative. Jadi sifatnya nisbi dan
subjektif.

Ketiga, faktor kultural. Latar belakang munculnya radikalisme merupakan salah satu
dari faktor kultural. Hali ini termasuk wajar karena memang dilakukan secara budaya atau
kultural, sebagaimana diungkapkan Musa Asy’ari12 bahwa didalam suatu masyarakat dapat
dipastikan ditemukan adanya usaha-usaha untuk melepaskan diri dari suatu jaring-jaring
kebudayaan atau suatu adat yang dianggap tidak sesuai. Yang dimaksud dalam konteks
faktor kultural ini adalah sebagai anti tesa bagi budaya sekularisme. Sekularisme
merupakan suatu paham yang memisahkan pekerjaan dengan beribadah. Budaya barat
merupakan sumber dari paham sekularis yang dianggap menjadi musuh yang harus
dihilangkan dari bumi. Barat dengan sengaja telah melakukan proses marjinalisasi seluruh
sendi kenidupan umat muslim sehingga umat muslim menjadi tertindas dan terbelakang.
Barat dianggap bahaya terbesar dari kelangsungan moralitas islam.

Keempat, yaitu tentang faktor ideologi dan anti westernisme. Pemikiran atau ide
yang membahayakan Muslim dalam pengaplikasikan Syari’at Islam merupakan suatu
pemikiran westernisme. Demi penegakan Syari’at Islam, simbol-simbol barat harus
dihancurkan. Walaupun motivasi dan gerakan antibarat atau anti westernisme tidak
bisa disalahkan
dengan hal keyakinan keagamaan. Jalan yang ditempuh kelompok radikal justru akan
menunjukkan kettidaksanggupan mereka sebagai pesaing dalam peradaban dan budaya.

Kelima, merupakan faktor kebijakan pemerintah. Dominansi ideologi, militer


maupun ekonomi merupakan penyabab dari ketidaksanggupan pemerintahan di negara-
negara islam untuk memperbaiki situasi atas berkembangnya kekesalan dan kemarahan
Sebagian umat islam. Dalam konteks, hingga saat ini pemerintah di negara-negara
mayoritas muslim kurang dapat menemukan dan mencari penyebab dari munculnya tindak
kekerasan (radikalisme). Hal ini tidak dapat mengatasi problem sosial yang dihadapi umat
islam.

Di lain sisi Muhammad Sofyan13 , memiliki pendapat latar belakang terjadinya kekerasan
antara lain:

Pertama, faktor ekonomi yang menambah beban kehidupan warga masyarakat.


Sebagai contoh kenaikan drastis bahan pokok awal tahun 1998 mengakibatkan
kesejahteraan masyarakat menurun signifikan.
Kedua, kesenjangan sosial ekonomi yang meningkat di dalam ruang masyarakat.
Terlihat indikasi bilamana berbagai konflik radikal hanya pecah di Kawasan perkotaan,
yang dalam konteks tersebut terlihat potret kesenjangan yang tampak mencolok.
Ketiga, law enforcement dan integritas aparat penegak hukum yang kurang
memuaskan mengakibatkan terdegradasinya wibawa hukum. Asas kedaulatan hukum
menjadi suatu idealis atau utopis yang tidak tersentuh dikarenakan adanya Mafia
peradilan, budaya rekayasa, dan penyelewengan oknum-oknum penegak hukum.
Keempat, budaya oportunisme yang terdapat pada kalangan masyarakat.
Oportunisme merupakan suatu pemikiran yang menggunakan kesempatan yang
menguntungkan diri sendiri, grup, atau suatu niat atau maksud tertentu sebaik-baiknya.
Jenis oprtunisme yang merugikan dan dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran hukum
ialah kolusi dan korupsi. Tetapi kegiatan itu sulit dikatakan melanggar hukum. Warga lebih
muak dan kesal terhadap perbuatan nepotisme.
Dengan demikian, terbuktilah bahwa keempat hal tersebut. nyatalah bahwa munculnya
tindakan-tindakan radikal dikalangan umat Islam dipengaruhi oleh keseimbangan politik,
ekonomi, hukum yang terdapat di indonesia. Walaupun, Islam sesungguhnya tidak akan
pernah membollehkan dan mentolerir tindakan radikal yang menjurus pada perbuatan
yang merugikan, adapun mereka (muslim) yang berbuat demikian berarti telah
menyimpang dari ajaran Islam yang sebenarnya. Dikarenakan agama islam merupakan
agama yang rahmatan lil ‘alamin. Walaupun kenyatannya demikian, tentu saja segala
perkara harus dengan dasar secara utuh dan objektif agar tidak terjadi kericuhan
dikarenakan sebatas saling tuding, apakah mereka berbuat kegiatan ini didasarkan
kebencian atau karena keadaan politik yang merugikan. Jika karena faktor kebencian, maka
harus diluruskan niatnya kejalan yang benar, akan tetapi jika karena system politik yang
tidak mendukung, maka harus direspon secara objektif.

 Bahaya Radikalisme Agama

Bahaya Radikalisme agama kerap kali diperbincangkan oleh masyarakat, ini merupakan
dampak dari pemahaman radikalisme salah satunya adalah:

Pertama, Mereka memposisikan diri seolah-olah menjadi “nabi” yang diutus oleh
Tuhan untuk meluruskan Kembali Kembali manusia yang tidak sepaham atau se-ideologi
dengannya. Mereka (kaum radikalis) sering mengklaim kebenaran satu, sehingga mereka
dengan mudah menyesatkan dan mempropaganda orang lain dengan mudah. Mereka juga
lebih condong untuk mempersulit agamanya dengan menganggap ibadah mubah atau
sunnah seakan-akan wajib dan hal makruh seakan-akan haram. Sebagai contoh ialah
fenomena dengan meninggikan celana diatas mata kaki dan memanjangkan jenggot bagi
kaum laki-laki dan menggunkan cadar bagi perempuan. Jadi, yang dimaksud dalam konteks
ini ialah mereka yang melakukan kegiatan ini tanpa didasari pengetahuan yang kuat serta
dalil-dalil yang menyertainya. Jadi mereka hanya focus pada “kulit” nya saja tanpa
mengetahui apa makna ataupun tafsir dari kegiatan tersebut.14
Kedua, Mereka terbiasa mengkafirkan orang lain yang tidak sepaham, seideologi,
bahkan sependapat dengannya. Hal ini berkembang antar kelompok agama. Mereka mudah
berburuk sangka dan salah menilai kepada orang lain yang tidak sepemikiran, aliran,
almamater, atribut dengan mereka. Mereka Selalu berfikiran bahwa dunia ini hanya
terdapat dua warna saja, yaitu warna hitam dan warna putih. Padahal hidup didunia ini
beragam dan berwarna, tidak hanya hitam dan putih saja. Secara ketuhanan atau teologis
mereka memiliki keyakinan bahwa, Setiap pribadi muslim harus mengikuti cara dan gaya
hidup mereka.15

Ketiga. Dikarenakan sifat kelompok radikalis yang jika dalam bersosialisasi dengan
kelompok lainnya telah membuat berbagai tragedi sosial. Dalam konteks ini yaitu
runtuhnya rasa kebersamaan dan saling menghormati. Ketika kelompok lain tidak
sepemikiran ataupun beda dengan kaum radikalis, maka kaum radikalis akan selalu
menggunakan cara kekerasan sebagai penyelesaiannya.16

 Upaya pencegahan

Dengan mengetahui latar belakang dan faktor pemicu terjadinya Tindakan radikalisme di
umat muslim di Indonesia, maka dapat diupayakan dengan antisipasi atau Tindakan
pencegahan Menurut Ruslan (2015). yang harus dilakukan antara lain melalui:

1. penyelarasan dan pemerataan faktor ekonomi dan kesejahtaraan seluruh


masyarakat.
2. Ditegakkannya kekuatan hukum. Seakan-akan hukum hanya merupakan bagian
satu- satunya dari rakyat jika tidak ditegakkan. sedangkan para penguasa dan
pemimpin bagaikan seorang dewa yang memiliki kekebalan hukum.
3. Menormalkan iklim politik karena sangat memengaruhi segala aspek
perkembangan pertumbuhan ekonomi dan aspek hukum.
4. Menjadi lazim bahwa dasar munculnya gerakan radikalisme berasal dari aspek
moral dan lemahnya iman pribadi, jadi perlu dilakunya penanaman nilai agama
sedini mungkin, bisa berawal dari keluarga. Hal ini bertujuan agar semua tingakh
laku pribadi atau individu tersebut dibaluti oleh nilai-nilai agama.

Adapun hal-hal usaha represif atau penaggulangan yang perlu dilakukan antara lain:

Pertama, yaitu menanam kesadaran sedalam-dalamnya kepada masyarakat. Agar


masyarakat befikir bahwa dirinya adalah sebagai makhluk yang berbudaya yang dapat
mengolah akal dan pikiran sehingga memandang Tindakan radikal merupakan suatu
tindakan yang tidak layak. Kegiatan ataupun cara yang paling tepat untuk memberikan
pengarahan usaha ini dapat dibina oleh para tokoh agama. Dengan memberikan
pemahaaman bahwa agama sangat melarang Tindakan yang merugikan orang lain atau kita
sebut Tindakan radikal, Karena hal itu termasuk perbuatan yang dilarang oleh Agama.

Kedua, Memberikan sangsi (hukuman) bagi pelaku Tindakan radikal secara adil
adalah Tindakan selanjutnya. Para penegak hukum dalam konteks ini sangat berperan
dalam hal ini. Hal ini dapat direalisasikan jika para penegak hukum mempunyai sifat adil
serta bertindak tidak ”pandang bulu”.

PENUTUP

Merebaknya Gerakan sosial secara besar di negara Republik Indonesia ditimbulkan


oleh terdorongnya Gerakan mobilisasi massa secara transparan dalam tempat publik dan
dipicu oleh kesempatan berpolitik yang makin terbuka pada peristiwa Gerakan reformasi
Indonesia. Pada arti sebenarnya secara historis agama lazimnya telah berperan besar
dalam menstimulasi dan memicu aksi-aksi sosial keagamaan untuk melawan system
kekuasaan, termasuk politik dan dan konsep ideologi pada negara yang menonjol. Hingga
saat ini kita kerap merasakan akibat dari aksi sosial tersebut sejak zaman colonial. radikal
mempunyai definisi secara menyeluruh, amat keras jika menuntut suatu perubahan dan
revolusi, dan maju dalam berpikir atau bertindak. Sedangkan radikalisme di maknai
sebagai paham atau konsep ideologi yang radikal yang menginginkan suatu pembaharuan
sosial dan politik dengan menggunakan cara yang keras, drastis atau secara tiba-tiba.
Bentuk bentuk radikalisme terbagi menjadi dua, yaitu radikalisme secara fisik, dan
radikalisme secara ideologi. Faktor pemicu radikalisme ada faktor-faktor sosial-politik,
faktor keagamaan,
faktor kultural, faktor ideologi dan anti westernisme, dan faktor kebijakan pemerintah.
Dampak bahaya radikalisme kerap menjadi suatu polemik ataupun isu masyarakat yaitu
munculnya seseorang yang memposisikan diri seolah-olah menjadi “nabi” yang diutus oleh
Tuhan untuk meluruskan Kembali Kembali manusia yang tidak sepaham atau se-ideologi
dengannya. Mereka (kaum radikalis) sering mengklaim kebenaran satu, sehingga mereka
dengan mudah menyesatkan dan mempropaganda orang lain dengan mudah. Mereka juga
lebih condong untuk mempersulit agamanya dengan menganggap ibadah mubah atau
sunnah seakan-akan wajib dan hal makruh seakan-akan haram. Kemudian dampak lainnya
adalah Mereka terbiasa mengkafirkan orang lain yang tidak sepaham, seideologi, bahkan
sependapat dengannya. Hal ini berkembang antar kelompok agama. Mereka mudah
berburuk sangka dan salah menilai kepada orang lain yang tidak sepemikiran, aliran,
almamater, atribut dengan mereka. Mereka Selalu berfikiran bahwa dunia ini hanya
terdapat dua warna saja, yaitu warna hitam dan warna putih. hal-hal demikian ini dapat
kita tanggulangi dengan pemerataan faktor ekonomi dan kesejahtaraan seluruh
masyarakat. Ditegakkannya kekuatan hukum, menormalkan iklim politik, perlu
dilakukannya penanaman nilai agama sedini mungkin, menanam kesadaran sedalam-
dalamnya kepada masyarakat. Agar masyarakat befikir bahwa dirinya adalah sebagai
makhluk yang berbudaya yang dapat mengolah akal dan pikiran sehingga memandang
Tindakan radikal merupakan suatu tindakan yang tidak layak. Kegiatan ataupun cara yang
paling tepat untuk memberikan pengarahan usaha ini dapat dibina oleh para tokoh agama.
Dengan memberikan pemahaaman bahwa agama sangat melarang Tindakan yang
merugikan orang lain atau kita sebut Tindakan radikal, Karena hal itu termasuk perbuatan
yang dilarang oleh Agama dan Memberikan sangsi (hukuman) bagi pelaku Tindakan radikal
secara adil. Dengan demikian Radikalisme yang menyangkut pautkan “agama” akan hilang
dan memudar. Dan kita akan menjadi kuat dan selalu berfikir kritis terhadap tantangan
Radikalisme agama.
DAFTAR PUSTAKA

Kartodirjo, Sartono. Pemberontakan Petani Banten. Jakarta: Pustaka Jaya,1982

Qodir, Zuly. Gerakan Social Islam: Manifesto Kaum Beriman. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2008

Sofyan, Muhammad, Agama dan Kekerasan Dalam Bingkai Reformasi, Yogyakarta: Adikarya,
1999.

JATIM, Tim Aswaja NU Center PWNU. Khazanah Aswaja. Edited by Ahmad Muntaha AM.
Surabaya: ASWAJA NU Center PWNU JATIM, 2016.

Rofiq H. R.,Ridwan A. R.2019.Andragogi.Menangkal Radikalisme Melalui Pendidikan Agama


Islam Berbasis Aswaja Nahdlatul ulama’.1(1): 2-13.

Saifuddin, H. L.2014. Radikalisme Agama & Tantangan Kebangsaan. Jakarta: Direktorat


Jenderal Bimas Islam Kemenag RI.

Ruslan, Idrus.2015.Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam.Islam Dan Radikalisme: Upaya
Antisipasi dan Penanggulangannya.9(2): 215-232.

Anda mungkin juga menyukai