Anda di halaman 1dari 14

Kata Pengantar

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Dewasa ini, Indonesia dihadapkan dengan berbagai persoalan dan ancanan
radikalisme, terorisme dan separatism yang semuanya bertentangan dengan nilai-nilai
Pancasila dan UUD’45. Radikalisme merupakan ancaman terhadap ketahanan ideologi.
Jika Ideologi negara sudah tidak kokoh maka akan berdampak terhadap ketahanan
nasional.
Radikalisme bisa diartikan suatu sikap atau paham yang secara ekstrim,
revolusioner dan militant untuk memperjuangkan perubahan dari arus utama yang
dianut masyarakat. Radikalisme tidak harus muncul dalam wujud yang berbau
kekerasan fisik. Ideologi pemikiran, kampanye yang masif dan demontrasi sikap yang
berlawanan dan ingin mengubah mainstream dapat digolongkan sebagai sikap radikal.
Melalui peristiwa-peristiwa kemanusiaan yang kini telah dihadapi oleh seluruh
lapisan masyarakat Indonesia. Meningkatnya radikalisme dalam agama Indonesia
menjadi fenomena sekaligus bukti nyata yang tidak bisa begitu saja diabaikan ataupun
dihilangkan. Radikalisme keagamaan yang semakin meningkat di Indonesia ini ditandai
dengan berbagai aksi kekerasan dan terror. Aksi tersebut telah menyedot banyak
potensi atau energi kemanusiaan serta telah merenggut hak hidup orang banyak
termasuk orang yang sama sekali tidak mengerti mengenai permasalahan ini. Meski
berbagai seminar dan dialog telah digelar untuk mengupas persoalan ini yaitu mulai
dari pencarian sebab hingga sampai pada penawaran solusi, namun tidak juga
kunjungan memperlihatkan adanya suatu titik terang.
Fenomena tindak radikalisme dalam agama memang bisa dipaham secara
beragama, namun secara ensensial, radikalisme agama umunya memang selalu
dikaitkan dengan pertentangan secara tajam anatara nilai-nilai yang diperjuangkan
kelompok agama tertentu dengan tatanan nilai yang berlaku atau dipandang mapan
pada saat itu. Dengan demikian, adanya pertentangan, pergesekan ataupun ketegangan,
pada akhirnya menyebabkan konsep dari radikalisme selalu saja dikonotasikan dengan
kekerasan fisik. Apalagi realitas yang saat ini telah terjadi dalam kehidupan masyarakat
Indonesia sangat mendukung dan semakin memperkuat munculnya pemahaman seperti
itu.

A. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Radikalisme?
2. Apa yang dimaksud dengan Idiologi Pancasila?
3. Bagaimana implementasi nilai-nilai Pancasila dalam menghadapi radikalisme?

B. Tujuan
1. Mengerti yang dimaksud dengan radikalisme
2. Mengerti yang dimaksud dengan idiologi Pancasila
3. Mengerti implementasi nilai-nilai Pancasila dalam menghadapi radikalisme
BAB II
PEMBAHASAN

A. Radikalisme
Radikalisme adalah suatau perubahan sosial dengan jalan kekerasan, menyakinkan
dengan satu tujuan yang dianggap benar tetapi dengan menggunakan cara yang salah.
Radikalisme dalam arti bahasa berarti paham atau aliran yang mengingatkan perubahan
atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis. Namun, dalam
artian lain, ensensi radikalisme adalah konsep sikap jiwa dalam mengusung perubahan.
Sementara itu radikalisme menurut pengertian lain adalah inti dari perubahan itu
cenderung menggunakan kekerasan. Yang dimaksud dengan radikalisme adalah gerakan
yang berpandang kolot dan sering menggunakan kekerasan dalam mengajarkan sikap
berdamai dan mencari perdamaian Islam tidak pernah membenarkan praktek penggunaan
kekerasan dalam menyabarkan agama, paham keagamaan serta paham politik.
Dawinsha mengemukakan definisi radikalisme menyamakan dengan teroris. Tapi ia
sendiri memakai radikalisme dengan membedakan antar budaya. Radikalisme adalah
kebijakan dan terorisme bagaian dari kebijakan radik tersebut. Definisi Dawinsha lebih
nyata bahwa radikalisme itu mengandung sikap jiwa yang membawa kepada tindakan
yang bertujuan melemahkan dan mengubah tatanan kemampuan dan menggantinya
dengan gagasan baru.
Makna yang terakhir ini, radikalisme adalah sebagai pemahaman negatif dan bahkan
bisa menjadi berbahaya sebagai ekstrim kiri dan kanan.
Gerakan radikalisme sesungguhnya bukan sebuah gerakan yang muncul begitu saja
tetapi mempunyai latar belakang yang sekaligurs menjadi faktor pendorong munculnya
gerakan radikalisme.
1. Faktor Sosial-Politik
Gejala kekerasan “agama” lebih tepat dilihat sebagai gejala sosial-politik

daripada gejala keagamaan. Gerakan yang secara salah oleh Barat disebut sebagai

radikalisme itu lebih tepat dilihat akar permasalahannya oleh sudut konteks sosialpolitik
dalam kerangka historisitas manusia yang ada di masyarakat. Secara historis
kita bisa melihat bahwa konflik-konflik yang ditimbulkan oleh kalangan radikal

dengan seperangkat alat kekerasannya dalam menentang dan membenturkan diri

dengan kelompok lainnya ternyata lebih berakar pada masalah sosial-politik.

Dengan membawa bahasa dan simbol serta slogan-slogan agama, kaum radikalis

mencoba menyentuh emosi keagamaan dan menggalang kekuatan untuk mencapai

tujuan “mulia” dari politiknya.

2. Faktor-faktor Emosi Keagamaan

Harus diakui bahwa salah satu penyebab gerakan radikalisme adalah faktor

sentiment keagamaan, termasuk didalamnya adalah solidaritas keagamaan untuk

kawan yang tertindas oleh kekuatan tertentu. Tetapi hal ini lebih tepat dikatakan

sebagai faktor emosi keagamaannya, dan bukan agama (wahyu suci yang obsolut)

walaupun gerakan radikalisme selalu mengibarkan bendera dan simbol agama seperti

dahil membela agama, jihad dan mati syahid. Dalam konteks ini yang dimaksud

dengan emosi keagamaan adalah agama sebagai pemahaman realitas yang sifatnya

interpretative. Jadi sifatnya nisbi dan subjektif.

3. Faktor-faktor Kultural

Ini juga memiliki andil yang cukup besar yang melatar belakangi munculnya

radikalisme. Hal ini wajar karena memang secara kultural didalam masyarakat selalu

ditemukan usaha untuk melepaskan diri dari jeratan jarring-jaring kebudayaan tertentu

yang dianggap tidak sesuai. Sedangkan yang dimaksud faktor kultural disini adalah

sebagai anti tesa terhadap budaya sekularisme. Badaya barat merupakan sumber

sakularisme yang dianggap sebagai musuh yang harus dihilangkan dari bumi.

Sedangkan faktor sejarah memperlihatkan adanya dominasi Barat dari berbagai

aspeknya atas negara-negara dan budaya. Peradaban barat sekarang ini merupakan
ekspresi dominan dan universal umat manusia yang telah dengan sengaja melakukan

proses merjinalisasi seluruh sendi-sendi kehidupan.

4. Faktor-faktor Ideologis Anti Westernisme

Motivasi dan gerakan anti Barat tidak bisa disalahkan dengan alasan keyakinan

keagamaan tetapi jalan kekerasan yang ditempuh kaum radikalisme justru

menunjukkan ketidakmampuan mereka dalam memprosisikan diri sebagai pesaing

dalam budaya dan peradaban.

5. Faktor-faktor Kebijakan Pemerintah

Ketidakmampuan pemerintah di negara-negara Islam untuk bertindak situasi atas

berkembangnya frustasi dan kemarahan sebagai umat Islam disebabkan dominasi

ideologi, militer maupun ekonomi dari negara-negara besar. Dalam hal ini elit-elit

pemerintah di negara-negara belum atau kurang dapat mencari akar yang menjadi

penyebab munculnya tindak kekerasan (radikalisme) sehingga tidak dapat mengatasi

problematika sosial yang dihadapi umat. Disamping itu, faktor media massa (pers)

Barat yang selalu memojokkan umat Islam juga menjadi faktor reaksi dengan

kekerasan yang dilakukan.

B. Ideologi Pancasila

Pancasila ditawarkan Soekarno sebagai philosofische Gronslag (dasar, filsafat, atau

jiwa) dari Indonesia merdeka. Sebelum mengutarakan gagasan mengenai dasar negara,

Soekarno merasa perlu untuk meyakinkan para peserta sidang bahwa mereka tidak perlu

terlalu memusingkan perkara yang kecil-kecil daripada kemauan untuk merdeka.

Kemauan dan hasrat untuk merdeka, menurut Soekarno, harus mendahului perdebatan

mengenai dasar negara. Mengapa? Karena buat apa membicarakan dasar negara jika

kemerdekaan tidak ada? Dari sini dimengerti logika berpikir Soekarno yang terlebih
dahulu menggelorakan semangat untuk merdeka, bahkan ketika rakyat masih miskin,

belum bisa baca tulis, belum bisa mengendarai mobil, dan seterusnya.

Argumentasi Soekarno mengenai dasar negara dibuka dengan suatu pertanyaan,

“Apakah Weltanschauung (dasar dan filsafat hidup) kita, jikalau kita hendak mendirikan

Indonesia merdeka?” Selanjutnya Soekarno menguraikan dasar-dasar apa saja yang perlu

dimiliki bagi bangunan Indonesia merdeka. Dasar-dasar yang ia sebutkan adalah

kebangsaan Indonesia, internasionalisme (kemanusiaan), mufakat/permusyawaratan,

kesejahteraan (keadilan sosial), dan akhirnya Ketuhanan. Kelima prinsip itulah yang dia

namakan Pancasila, dan diusulkannya sebagai Weltanschauung negara Indonesia merdeka.

Ideologi tentu haus memiliki fungsi, khsusunya bagi sekelompok orang yang

meyakininya. Fungsi Pancasila sebagai sebuah ideologi bangsa tentunya sudah dipikirkan

matang-matang sebelum oleh para pendiri bangsa secara formal disepakati. Pada

perkembangannya, fungsi ideologi bangsa bisa makin variatif seiring dengan dinamika

kehidupan bangsa tersebut, bahkan mungkin berfungsi diluar apa yang belum pernah

terpikirkan sebelumnya. Fungsi yang muncul belakangan ini bisa bersifat positif atau

negatif.

Fungsi yang diharapkan tentu saja fungsi positif. Pancasila sebagai ideologi negara

memiliki fungsi dan peranan sebagai berikut :

- Sebagai inspirasi seseorang untuk menemukan identitas dan jati diri

kebangsaannya.

- Sebagai prinsip dasar untuk memahami dan menafsirkaan kehidupannya dalam

konteks berbangsa dan bernegara.

- Sebagai kekuatan yang memotivasi seseorang untuk melaksanakan hak dan

kewajibannya sebagai warga negara.


- Sebagai pedoman seseorang dalam bertindak bagi bangsanya.

- Sebagai inspirasi tumbuhnya jiwa nasionalisme dan patriotisme.

- Sebagai sarana keilmuwan yang menghubungkan warga negara terhadap

pemikiran para pendiri bangsanya.

- Sebagai jalan untuk menemukan jawaban mengapa bangsa Indonesia didirikan.

Selain fungsi yang telah disepakati, Pancasila sebagai ideologi bisa pula dimanfaatkan

sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan. Fungsi ini tentu saja bersifat negatif.

Indonesia pernah mengalami masa dimana Pancasila nyaris kehilangan makna dan hanya

digunakan sebagai instrumen kekuasaan belaka. Pancasila ditafsir oleh rezim berkuasa dan

dimonopoli kebenarannya seabgai alat untuk memberangus mereka yang berbeda

pandangan. Ciri secara tipikal berkaitan dengan rezim berkuasa yang menafsirkan

Pancasila secara sepihak. Sehingga pihak lain yang berbeda pandangan berpotensi

dianggap sebagai tidak mendukung rezim dan akhirnya dicap anti-Pancasila atau radikal.

C. Implementasi Nilai-Nilai Pancasila dalam Menghadapi Radikalisme

Saat ini Pancasila adalah ideologi yang terbuka, dan sedang diuji daya tahannya

terhadap gempuran, pengaruh dan ancaman ideologi-ideologi besar lainnya, seperti

liberalism (yang menjunjung kebebasan dan persaingan), sosialisme (yang menekankan

harmoni), humanisme (yang menekankan kemanusiaan), nihilisme (yang menafsirkan

nilai-nilai luhur yang mapan), maupun ideologi yang berdimensi keagamaan.

Pancasila, sebagai ideologi terbuka pada dasarnya memiliki nilai-nilai yang sama

dengan ideologi lainnya, seperti keberadaban, penghormatan akan HAM, kesejahteraan,

perdamaian dan keadilan. Di era globalisasi, romantisme kesamaan historis zaman lalu

tidak lagi merupakan pengikat rasa kebersamaan yang kokoh. Kepentingan akan tujuan
yang akan dicapai lebih kuat pengaruhnya daripada kesamaan latar kesejahteraan. Karena

itu, implementasi nilai-nilai Pancasila, agar tetap aktual dalam menghadapi ancaman

radikalisme harus lebih ditekankan pada penyampaian tiga massage berikut :

a. Negara yang dibentuk berdasarkan kesepakatan dan kesetaraan, dimana di

dalamnya tidak boleh ada yang merasa sebagai pemegang saham utama, atau

warga kelas satu.

b. Aturan main dalam bernegara telah disepakati, dan negara memiliki kedaulatan

penuh untuk menertibkan anggota negaranya yang berusaha secara sistematis

untuk merubah tatanan, dengan cara-cara yang melawan hukum.

c. Negara memberikan perlindungan, kesempatan, masa depan dan pengayoman

seimbang untuk meraih tujuan nasional masyarakat adil adn makmur, sejahtera,

aman dan berkeadaban dan merdeka.

Nilai-nilai Pancasila dan UUD’45 yang harus tetap diimplementasikan itu adalah :

1. Kebangsaan dan persatuan

2. Kemanusiaan dan penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia

3. Ketuhanan dan toleransi

4. Kejujuran dan ketaatan terhadap hukum dan peraturan

5. Demokrasi dan kekeluargaan

Ketahanan nasional merupakan suatu kondisi kehidupan nasional yang harus

diwujudkan dan dibina secara terus menerus secara sinergis dan dinamis mulai dari

pribadi, keluarga, lingkungan dan nasional yang bermodalkan keuletan dan ketangguhan

yang mengandung kemampuan pengembangan kekuatan nasional.


Salah satu unsur ketahanan nasional adalah Ketahanan Ideologi. Ketahanan Ideologi

perlu ditingkatkan dalam bentuk:

- Pengamalan Pancasila secara objektif dan subjektif

- Aktualisasi, adaptasi dan relevansi ideologi Pancasila terhadap nilai-nilai baru

- Pengembangan dan penanaman nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika dalam seluruh

kehidupan berbangsa dan bermasyarakat.


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Radikalisme adalah suatu perubahan sosial dengan jalan kekerasan, meyakinkan
denngan satu tujuan yang dianggap benar namun dengan menggunakan cara yang salah.
Radikalisme merupakan gerakan yang berpandang kolot dan sering menggunakan kekerasan
dalam mengajarkan sikap, berdamai dan mencari perdamaian. Soekarno menawarkan suatu
ideologi yang sesuai dengan dasar kebiasaan yang ada di Indonesia. Soekarno sepertinya
dapat melihat bahwa akan terjadi berbagai gerakan yang dapat merusak atau mengancam
negara Indonesia salah satunya adalah Radikalisme. Dengan mengamalkan nilai-nilai dalam
ideologi Pancasila, suatu bangsa dapat menjalankan proses hidup dalam berbangsa dan
bernegara tanpa ada ancaman dari Gerakan.
DAFTAR PUSTAKA

Hilmy, M. (n.d.). RADIKALISME AGAMA DAN POLITIK DEMOKRASI DI


INDONESIA PASCA-ORDE BARU, (117), 407–425.
Wisnu Dewantara, A. (2015). PANCASILA DAN MULTIKULTURALISME INDONESIA,
15(2), 1–14.
Wisnu Dewantara, A. (2017). DISKURSUS FILSAFAT PANCASILA DEWASA INI.
Kanisius.
Dewantara, A. (2017). Diskursus Filsafat Pancasila Dewasa Ini.

Anda mungkin juga menyukai