Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

PANCASILA SAAT INI


(Ancaman Radikalisme Terhadap Ideologi Pancasila)

DOSEN PENGAMPU:
Dr. SAKARIA, M. Si

OLEH:
YUSNITA DAMAYANTI
N011191125

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2019
KATA PENGANTAR
           Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat serta karunia-Nya sehingga berhasil menyelesaikan makalah ini yang
Alhamdulillah tepat pada waktunya. Tanpa pertolongan-Nya mungkin penulis
tidak akan sanggup menyelesaikan dengan baik.
           Dengan membuat tugas ini kami diharapkan mampu untuk lebih mengenal
tentang Ancaman Radikalisme Ditinjau dari Ideologi Pancasila yang kami sajikan
berdasarkan informasi dari berbagai sumber.
          Penulis sadar, sebagai seorang mahasiswa yang masih dalam proses
pembelajaran,  penulisan makalah ini masih banyak kekurangannya. Oleh karena
itu, penulis sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat positif,
guna penulisan makalah yang lebih baik lagi di masa yang akan datang.
           Akhir kata, penulis sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berperan serta dalam penyusunan makalah  ini dari awal sampai akhir. Semoga
Allah SWT senantiasa meridhoi segala usaha kita. Amin.

Makassar, 2 Desember 2019

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia dewasa ini dihadapkan dengan persoalan dan ancaman radikalisme,


terorisme dan separatisme yang kesemuanya bertentangan dengan nilai-nilai
Pancasila dan UUD NRI 1945. Radikalisme merupakan ancaman terhadap
ketahanan ideologi. Apabila Ideologi negara sudah tidak kokoh maka akan
berdampak terhadap ketahanan nasional.
Radikalisme dapat diartikan sebagai sikap atau paham yang secara ekstrim,
revolusioner dan militan untuk memperjuangkan perubahan dari arus utama yang
dianut masyarakat. Radikalisme tidak harus muncul dalam wujud yang berbau
kekerasan fisik. Ideologi pemikiran, kampanye yang masif dan demonstrasi sikap
yang berlawanan dan ingin mengubah mainstream dapat digolongkan sebagai
sikap radikal.
Melalui peristiwa-peristiwa kemanusiaan yang kini tengah dihadapi oleh
seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Meningkatnya radikalisme dalam agama di
Indonesia menjadi fenomena sekaligus bukti nyata yang tidak bisa begitu saja
diabaikan ataupun dihilangkan. Radikalisme keagamaan yang semakin meningkat
di Indonesia ini ditandai dengan berbagai aksi kekerasan dan teror. Aksi tersebut
telah menyedot banyak potensi dan energi kemanusiaan serta telah merenggut hak
hidup orang banyak termasuk orang yang sama sekali tidak mengerti mengenai
permasalahan ini. Meski berbagai seminar dan dialog telah digelar untuk
mengupas persoalan ini yaitu mulai dari pencarian sebab hingga sampai pada
penawaran solusi, namun tidak juga kunjung memperlihatkan adanya suatu titik
terang.
Fenomena tindak radikalisme dalam agama memang bisa dipahami secara
beragam, namun secara esensial, radikalisme agama umumnya memang selalu
dikaitkan dengan pertentangan secara tajam antara nilai-nilai yang diperjuangkan
kelompok agama tertentu dengan tatanan nilai yang berlaku atau dipandang
mapan pada saat itu. Dengan demikian, adanya pertentangan, pergesekan ataupun
ketegangan, pada akhirnya menyebabkan konsep dari radikalisme selalu saja
dikonotasikan dengan kekerasan fisik. Apalagi realitas yang saat ini telah terjadi
dalam kehidupan masyarakat Indonesia sangat mendukung dan semakin
memperkuat munculnya pemahaman seperti itu.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah sejarah radikalisme?
2. Bagaimana implementasi nilai-nilai pancasila dalam menghadapi
radikalisme?
3. Bagaimana cara pembentengan terhadap pemuda dari radikalisme?
C. Tujuan

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata
kuliah Pancasila dan untuk menambah pengetahuan tentang Tinjauan Ideologi
Pancasila Terhadap Radikalisme.
BAB II

PEMBAHASAN

1. Sejarah Radikalisme
a. Definisi Radikalisme
Radikalisme itu adalah suatu perubahan sosial dengan jalan kekerasan,
meyakinkan dengan satu tujuan yang dianggap benar tapi dengan menggunakan
cara yang salah. Radikalisme dalam artian bahasa berarti paham atau aliran yang
mengingikan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara
kekerasan atau drastis. Namun, dalam artian lain, esensi radikalisme adalah
konsep sikap jiwa dalam mengusung perubahan. Sementara itu radikalisme
menurut pengertian lain adalah inti dari perubahan itu cenderung menggunakan
kekerasan. Yang dimaksud dengan radikalisme adalah gerakan yang
berpandangan kolot dan sering menggunakan kekerasan dalam mengajarkan
keyakinan mereka. Sementara Islam merupakan agama kedamaian yang
mengajarkan sikap berdamai dan mencari perdamaian Islam tidak pernah
membenarkan praktek penggunaan kekerasan dalam menyebarkan agama, paham
keagamaan serta paham politik.

Dawinsha mengemukakan defenisi radikalisme menyamakannya dengan


teroris. Tapi ia sendiri memakai radikalisme dengan membedakan antara
keduanya. Radikalisme adalah kebijakan dan terorisme bagian dari kebijakan
radikal tersebut. defenisi Dawinsha lebih nyata bahwa radiklisme itu mengandung
sikap jiwa yang membawa kepada tindakan yang bertujuan melemahkan dan
mengubah tatanan kemapanan dan menggantinya dengan gagasan baru.
Makna yang terakhir ini, radikalisme adalah sebagai pemahaman negatif
dan bahkan bisa menjadi berbahaya sebagai ekstrim kiri atau kanan.
b. Faktor-Faktor Penyebab Munculnya Gerakan Radikalisme
Gerakan radikalisme sesungguhnya bukan sebuah gerakan yang muncul
begitu saja tetapi memiliki latar belakang yang sekaligus menjadi faktor
pendorong munculnya gerakan radikalisme. Diantara faktor-faktor itu adalah:

Pertama, faktor-faktor sosial-politik. Gejala kekerasan “agama” lebih


tepat dilihat sebagai gejala sosial-politik daripada gejala keagamaan. Gerakan
yang secara salah kaparah oleh Barat disebut sebagai radikalisme Islam itu lebih
tepat dilihat akar permasalahannya dari sudut konteks sosial-politik dalam
kerangka historisitas manusia yang ada di masyarakat. Sebagaimana diungkapkan
Azyumardi Azra bahwa memburuknya posisi negara-negara Muslim dalam
konflik utara-selatan menjadi penopong utama munculnya radikalisme. Secara
historis kita dapat melihat bahwa konflik-konflik yang ditimbulkan oleh kalangan
radikal dengan seperangkat alat kekerasannya dalam menentang dan
membenturkan diri dengan kelompok lain ternyata lebih berakar pada masalah
sosial-politik. Dalam hal ini kaum radikalisme memandang fakta historis bahwa
umat Islam tidak diuntungkan oleh peradaban global sehingga menimbulkan
perlawanan terhadap kekuatan yang mendominasi.

            Dengan membawa bahasa dan simbol serta slogan-slogan agama kaum
radikalis mencoba menyentuh emosi keagamaan dan menggalang kekuatan untuk
mencapai tujuan “mulia” dari politiknya. Tentu saja hal yang demikian ini tidak
selamanya dapat disebut memanipulasi agama karena sebagian perilaku mereka
berakar pada interpretasi agama dalam melihat fenomena historis. Karena
dilihatnya terjadi banyak Islam dan Wacana … [Syamsul Bakri] 7 penyimpangan
dan ketimpangan sosial yang merugikan komunitas Muslim maka terjadilah
gerakan radikalisme yang ditopang oleh sentimen dan emosi keagamaan.
            Kedua, faktor emosi keagamaan. Harus diakui bahwa salah satu
penyebab gerakan radikalisme adalah faktor sentimen keagamaan, termasuk di
dalamnya adalah solidaritas keagamaan untuk kawan yang tertindas oleh kekuatan
tertentu. Tetapi hal ini lebih tepat dikatakan  sebagai faktor emosi keagamaannya,
dan bukan agama (wahyu suci yang absolut) walalupun gerakan radikalisme
selalu mengibarkan bendera dan simbol agama seperti dalih membela agama,
jihad dan mati syahid. Dalam konteks ini yang dimaksud dengan emosi
keagamaan adalah agama sebagai pemahaman realitas yang sifatnya interpretatif.
Jadi sifatnya nisbi dan subjektif.
            Ketiga, faktor kultural. Ini juga memiliki andil yang cukup besar yang
melatar belakangi munculnya radikalisme. Hal ini wajar karena memang secara
kultural, sebagaimana diungkapkan Musa Asy’ari 12 bahwa di dalam masyarakat
selalu diketemukan usaha untuk melepaskan diri dari jeratan jaring-jaring
kebudayaan tertentu yang dianggap tidak sesuai. Sedangkan yang dimaksud faktor
kultural di sini adalah sebagai anti tesa terhadap budaya sekularisme. Budaya
Barat merupakan sumber sekularisme yang dianggab sebagai musuh yang harus
dihilangkan dari bumi. Sedangkan fakta sejarah memperlihatkan adanya dominasi
Barat dari berbagai aspeknya atas negeri-negeri dan budaya Muslim. Peradaban
barat sekarang ini merupakan ekspresi dominan dan universal umat manusia yang
telah dengan sengaja melakukan proses marjinalisasi seluruh sendi-sendi
kehidupan muslim sehingga umat Islam menjadi terbelakang dan tertindas.
            Keempat, faktor ideologis anti westernisme. Westernisme merupakan
suatu pemikiran yang membahayakan Muslim dalam mengaplikasikan syari’at
Islam. Sehingga simbol-simbol Barat harus dihancurkan demi penegakan syari’at
Islam. Walaupun motivasi dan gerakan anti Barat tidak bisa disalahkan dengan
alasan keyakinan keagamaan tetapi jalan kekerasan yang ditempuh kaum
radikalisme justru menunjukkan ketidakmampuan mereka dalam memposisikan
diri sebagai pesaing dalam budaya dan peradaban.
Kelima, faktor kebijakan pemerintah. Ketidakmampuan pemerintahan
di negara-negara Islam untuk bertindak memperbaiki situasi atas berkembangnya
frustasi dan kemarahan sebagian umat Islam disebabkan dominasi ideologi,
militer maupun ekonomi dari negera-negara besar. Dalam hal ini elit-elit
pemerintah di negeri-negeri Muslim belum atau kurang dapat mencari akar yang
menjadi penyebab munculnya tindak kekerasan (radikalisme) sehingga tidak dapat
mengatasi problematika sosial yang dihadapi umat. Di samping itu, faktor media
massa (pers) Barat yang selalu memojokkan umat Islam juga menjadi faktor
munculnya reaksi dengan kekerasan yang dilakukan oleh umat Islam.
Propaganda-propaganda lewat pers memang memiliki kekuatan dahsyat dan
sangat sulit untuk ditangkis sehingga sebagian “ekstrim” yaitu perilaku radikal
sebagai reaksi atas apa yang ditimpakan kepada komunitas Muslim.

c.       Asal Kemunculan Radikalisme

Sejarah kemunculan gerakan radikalisme dan kelahiran kelompok


fundamentalisme dalam islam lebih di rujuk karena dua faktor, yaitu:
1.      Faktor internal
Faktor internal adalah adanya legitimasi teks keagamaan, dalam
melakukan “perlawanan”itu sering kali menggunakan legitimasi teks (baik teks
keagamaan maupun teks “cultural”) sebagai penopangnya. untuk kasus gerakan
“ekstrimisme islam” yang merebak hampir di seluruh kawasan islam (termasuk
indonesia) juga menggunakan teks-teks keislaman (Alquran, hadits dan classical
sources kitab kuning) sebagai basis legitimasi teologis, karena memang teks
tersebut secara tekstual ada yang mendukung terhadap sikap-sikap eksklusivisme
dan ekstrimisme ini.
Faktor internal lainnya adalah dikarenakan gerakan ini mengalami frustasi
yang mendalam karena belum mampu mewujudkan cita-cita berdirinya ”negara
islam internasional” sehingga pelampiasannya dengan cara anarkis; mengebom
fasilitas publik dan terorisme. Harus diakui bahwa salah satu penyebab gerakan
radikalisme adalah faktor sentimen keagamaan, termasuk di dalamnya adalah
solidaritas keagamaan untuk kawan yang tertindas oleh kekuatan tertentu. Tetapi
hal ini lebih tepat dikatakan sebagai faktor emosi keagamaannya, dan bukan
agama.

2.      Faktor eksternal


Faktor eksternal  terdiri dari beberapa sebab di antaranya :
pertama, dari aspek ekonomi politik, kekuasaan depostik pemerintah yang
menyeleweng dari nilai-nilai fundamental islam. Itu artinya, rezim di negara-
negara islam gagal menjalankan nilai-nilai idealistik islam. Rezim-rezim itu bukan
menjadi pelayan rakyat, sebaliknya berkuasa dengan sewenang-wenang bahkan
menyengsarakan rakyat. Penjajahan Barat yang serakah, menghancurkan serta
sekuler justru datang belakangan, terutama setelah ide kapitalisme global dan
neokapitalisme menjadi pemenang. Satu ideologi yang kemudian mencari daerah
jajahan untuk dijadikan “pasar baru”. Industrialisasi dan ekonomisasi pasar baru
yang dijalankan dengan cara-cara berperang inilah yang sekarang  hingga
melanggengkan kehadiran fundamentalisme islam.
Kedua, faktor budaya, faktor ini menekankan pada budaya barat yang
mendominasi kehidupan saat ini, budaya sekularisme yang dianggap sebagai
musuh besar yang harus dihilangkan dari bumi.
Ketiga, faktor sosial politik, pemerintah yang kurang tegas dalam mengendalikan
masalah teroris ini juga dapat dijadikan sebagai salah satu faktor masih maraknya
radikalisme di kalangan umat islam.

2.      Radikalisme Ditinjau Dari Ideologi Pancasila


a.      Implementasi Nilai-Nilai Pancasila Dalam Menghadapi Radikalisme

Dalam masa orde baru, untuk menanamkan dan memasyarakatkan kesadaran


akan nilai nilai Pancasila dibentuk satu badan yang bernama BP7.  Badan tersebut
merupakan penanggung jawab (leading sector) terhadap perumusan, aplikasi,
sosialisasi, internalisasi terhadap pedoman penghayatan dan pengamalan
Pancasila, dalam kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara.

Saat ini Pancasila adalah ideologi yang terbuka., dan sedang diuji daya
tahannya terhadap gempuran, pengaruh dan ancaman ideologi-ideologi besar
lainnya, seperti liberalisme (yang menjunjung kebebasan dan persaingan),
sosialisme (yang menekankan harmoni), humanisme (yang menekankan
kemanusiaan), nihilisme (yang menafikan nilai-nilai luhur yang mapan), maupun
ideologi yang berdimensi keagamaan.

Pancasila, sebagai ideologi terbuka pada dasarnya memiliki nilai-nilai


universal yang sama dengan ideologi lainnya, seperti keberadaban, penghormatan
akan HAM, kesejahteraan, perdamaian dan keadilan. Dalam era globalisasi,
romantisme kesamaan historis jaman lalu tidak lagi merupakan pengikat rasa
kebersamaan yang kokoh. Kepentingan akan tujuan yang akan dicapai lebih kuat
pengaruhnya daripada kesamaan latar kesejarahan. Karena itu, implementasi nilai-
nilai Pancasila, agar tetap aktual menghadapi ancaman radikalisme harus lebih
ditekankan pada penyampaian tiga message berikut :
a. Negara ini dibentuk berdasarkan kesepakatan dan kesetaraan, di mana di
dalamnya tidak boleh ada yang merasa sebagai pemegang saham utama,
atau warga kelas satu.
b. Aturan main dalam bernegara telah disepakati, dan Negara memiliki
kedaulatan penuh untuk menertibkan anggota negaranya yang berusaha
secara sistematis untuk merubah tatanan, dengan cara-cara yang melawan
hukum.
c. Negara memberikan perlindungan, kesempatan, masa depan dan
pengayoman seimbang untuk meraih tujuan nasional masyarakat adil dan
makmur, sejahtera, aman, berkeadaban dan merdeka.

Nilai-nilai Pancasila dan UUD NRI 1945 yang harus tetap


diimplementasikan itu adalah :
 Kebangsaan dan persatuan
 Kemanusiaan dan penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia
 Ketuhanan dan toleransi
 Kejujuran dan ketaatan terhadap hukum dan peraturan
 Demokrasi dan kekeluargaan

Ketahanan Nasional merupakan suatu kondisi kehidupan nasional yang


harus diwujudkan dan dibina secara terus menerus secara sinergis dan dinamis
mulai dari pribadi, keluarga, lingkungan dan nasional yang bermodalkan keuletan
dan ketangguhan yang mengandung kemampuan pengembangan kekuatan
nasional.

Salah satu unsur ketahanan nasional adalah Ketahanan Ideologi. Ketahanan


Ideologi perlu ditingkatkan dalam bentuk :
 Pengamalan Pancasila secara objektif dan subjektif
 Aktualisasi, adaptasi dan relevansi ideologi Pancasila terhadap nilai-nilai baru
 Pengembangan dan penanaman nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika dalam
seluruh kehidupan berbangsa, bermasyarakat.

b.      Membentengi Pemuda Dari Radikalisme


Pemuda adalah aset bangsa yang sangat berharga. Masa depan negeri ini
bertumpu pada kualitas mereka. Namun ironisnya, kini tak sedikit kaum muda
yang justru menjadi pelaku terorisme. Serangkaian aksiterorisme mulai dari Bom
Bali-1, Bom Gereja Kepunton, bom di JW Marriot dan Hotel Ritz-Carlton,hingga
aksi penembakan Pos Polisi Singosaren di Solo dan Bom di Beji dan Tambora,
melibatkan pemuda. Sebut saja, Dani Dwi Permana, salah satu pelaku Bom di JW
Marriot dan Hotel Ritz-Carlton, yang saat itu berusia 18 tahun dan baru lulus
SMA.

Fakta di atas diperkuat oleh riset yang dilakukan Lembaga Kajian Islam dan
Perdamaian (LaKIP). Dalam risetnya tentang radikalisme di kalangan siswa dan
guru Pendidikan Agama Islam (PAI) di Jabodetabek, pada Oktober 2010-Januari
2011, LaKIP menemukan sedikitnya 48,9 persen siswa menyatakan bersedia
terlibat dalam aksi kekerasan terkait dengan agama dan moral.

Rentannya pemuda terhadap aksi kekerasan dan terorisme patut menjadi


keprihatinan kita bersama. Banyak faktor yang menyebabkan para pemuda
terseret ke dalam tindakan terorisme, mulai dari kemiskinan, kurangnya
pendidikan agama yang damai, gencarnya infiltrasi kelompok radikal, lemahnya
semangat kebangsaan, kurangnya pendidikan kewarganegaraan, kurangnya
keteladanan, dan tergerusnya nilai kearifan lokal oleh arus modernitas negatif.

Untuk membentengi para pemuda dan masyarakat umum dari radikalisme


dan terorisme, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT),
menggunakan upaya pencegahan melalui kontra-radikalisasi (penangkalan
ideologi). Hal ini dilakukan dengan membentuk Forum Koordinasi Pencegahan
Terorisme (FKPT) di daerah, Pelatihan anti radikal-terorisme bagi ormas,
Training of Trainer (ToT) bagi sivitas akademika perguruan tinggi, serta sosialiasi
kontra radikal terorisme siswa SMA di empat provinsi.

Ada beberapa hal yang patut dikedepankan dalam pencegahan terorisme di


kalangan pemuda :
 Pertama, memperkuat pendidikan kewarganegaraan (civic education) dengan
menanamkan pemahaman yang mendalam terhadap empat pilar kebangsaan,
yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. Melalui
pendidikan kewarganegaraan, para pemuda didorong untuk menjunjung tinggi
dan menginternalisasikan nilai-nilai luhur yang sejalan dengan kearifan lokal
seperti toleransi antar-umat beragama, kebebasan yang bertanggung jawab,
gotong royong, kejujuran, dan cinta tanah air serta kepedulian antar-warga
masyarakat.
 Kedua, mengarahkan para pemuda pada beragam aktivitas yang berkualitas
baik di bidang akademis, sosial, keagamaan, seni, budaya, maupun olahraga.
 Ketiga, memberikan pemahaman agama yang damai dan toleran, sehingga
pemuda tidak mudah terjebak pada arus ajaran radikalisme. Dalam hal ini,
peran guru agama di lingkungan sekolah dan para pemuka agama di
masyarakat sangat penting.
 Keempat, memberikan keteladanan kepada pemuda. Sebab, tanpa adanya
keteladanan dari para penyelenggara negara, tokoh agama, serta tokoh
masyarakat, maka upaya yang dilakukan akan sia-sia.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Radikalisme itu adalah suatu perubahan sosial dengan jalan kekerasan,


meyakinkan dengan satu tujuan yang dianggap benar tapi dengan menggunakan
cara yang salah. Fenomena meningkatnya tindakan radikalisme dikarenakan
dangkalnya pemahaman terhadap Agama dan Pancasila. Oleh karena itu,
dibutuhkan pengimplementasian terhadap nilai-nilai Pancasila dan
pembentengan para pemuda dari radikalisme.
DAFTAR PUSTAKA

Afadlal dan M. Riza Sihbudi. 2005. Islam dan radikalisme di Indonesia. Yayasan
Obor Indonesia: Yogyakarta
Azra, Azyumardi. 2016. Transformasi Politik Islam: Radikalisme, Khilafatisme,
dan Demokrasi. Kencana: Jakarta
Harahap, Syahrin. 2005. Upaya Kolektif Mencegah Radikalisme & Terorisme.
Prenada Media: Jakarta
Munaf, Dicky R. 2016. Memahami dan Memaknai Pancasila Sebagai Ideologi
dan Dasar. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta
Ronto. 2012. Pancasila Sebagai Ideologi dan Dasar Negara. PT Balai Pustaka:
Jakarta
Al-Jihad, R. Saddam. 2018. Pancasila Ideologi Dunia: Sintesis Kapitalisme,
Sosialisme, dan Islam. Pustaka Alvabet: Banten.

Anda mungkin juga menyukai