Anda di halaman 1dari 41

PROTAP

MANAJEMEN FISIOTERAPI GERIATRI


PEMERIKSAAN MOTORIK & SENSORIK, BALANCE & POSTUR,
DAN GAIT ANALYSIS PADA LANSIA

DISUSUN OLEH:

NAMA
NIM

HALAMAN SAMPUL

PROGRAM STUDI FISIOTERAPI


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Pengasih dan
Penyayang atas berkat dan anugerah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan
protap mengenai “pemeriksaan sensorik & motorik pada lansia, pemeriksaan
postur & balance pada lansia serta pemeriksaan gait analysis pada lansia” ini. Dan
tak lupa saya kirimkan salawat kepada Nabi kita Muhammad S.A.W. yang telah
menunjukkan kepada kita semua jalan yang lurus berupa ajaran agama Islam yang
sempurna bagi alam semesta.
Dengan adanya penulisan protap ini, saya berharap dapat membantu dalam
pembelajaran, dan dapat melakukan pemeriksaan fungsi fisik pada lansia terkait
sensorik & motorik, balance & posture serta gait analysis.
Saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan protap
ini, baik dari materi maupun teknik penyajiannya, dikarenakan kurangnya
pengetahuan dan pengalaman saya. Oleh karena itu kritik dan saran yang
membangun sangat saya harapkan.

Makassar, 18 November 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN SAMPUL.............................................................................................i
KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR.............................................................................................iiv
DAFTAR TABEL....................................................................................................v
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................1
1.3 Tujuan........................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................3
2.1 Pemeriksaan Motorik pada Lansia............................................................3
2.2 Pemeriksaan Sensorik pada Lansia.........................................................10
2.3 Pemeriksaan Balance pada Lansia..........................................................15
2.4 Pemeriksaan Posture pada Lansia...........................................................18
2.5 Pemeriksaan Gait Analysis......................................................................29
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................36

iii
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 2.1. Pola Jalan pada Lansia (Double Support)
Gambar 2.2. Pola Jalan pada Lansia (Single Support)
Gambar 2.3. Postur Normal...................................................................................19
Gambar 2.4. Postur Tampak dari Samping............................................................19
Gambar 2.5. Postur pada Lansia Tampak dari Belakang.......................................20
Gambar 2.6. Lembar Pemeriksaan Postur pada Lansia (Skor REEDCO).............20
Gambar 2.7. Lordosis Servikalis............................................................................21
Gambar 2.8. Kifosis Torakalis...............................................................................22
Gambar 2.9. Lordosis Lumbalis.............................................................................22
Gambar 2.10. Sway Back.......................................................................................23
Gambar 2.11. Flat Back.........................................................................................24
Gambar 2.12. Pelvis Rotasi ke Anterior................................................................24
Gambar 2.13. Pelvis Rotasi ke Posterior................................................................25
Gambar 2.14. Fleksi Sendi Lutut...........................................................................25
Gambar 2.15. Penyimpangan Kepala dan Leher ke Lateral..................................26
Gambar 2.16. Rotasi Kepala..................................................................................26
Gambar 2.17. Abduksi Scapula..............................................................................27
Gambar 2.18. Skoliosis..........................................................................................27
Gambar 2.19. Pelvis Miring ke Lateral..................................................................27
Gambar 2.20. Abduksi Sendi Panggul...................................................................28
Gambar 2.21. Genu Varum....................................................................................28
Gambar 2.22. Genu Valgum..................................................................................29
Gambar 2.23. Stance dan Swing.............................................................................30

iv
DAFTAR TABEL

Halaman
Table 2.1. Nilai Normal Time Up and Go Test......................................................16
Table 2.2 Skala Keseimbangan Berg.....................................................................17

v
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Secara alami, fungsi fisiologi dalam tubuh lansia menurun seiring
pertambahan usianya. Penurunan fungsi ini tentunya menurunkan
kemampuan lansia tersebut untuk menanggapi rangsangan baik dari luar
tubuh maupun dari dalam tubuh lansia itu sendiri. Perubahan fungsi fisiologis
yang terjadi pada lansia meliputi penurunan kemampuan sistem saraf, yaitu
pada indera penglihatan, pendengaran, peraba, perasa, dan penciuman.
Selanjutnya perubahan ini juga melibatkan penurunan sistem pencernaan,
sistem saraf, sistem pernapasan, sistem endokrin, sistem kardiovaskular,
hingga penurunan kemampuan musculoskeletal.
Usia lanjut berkaitan juga dengan penurunan kemampuan input
proprioseptif, proses degeneratif pada sistem vestibula, reflek yang melambat,
dan melemahnya kekuatan otot. Kombinasi berbagai gangguan ini
mengakibatkan waktu yang dibutuhkan untuk memulai langkah kaki setelah
mengalami gangguan keseimbangan lebih lama dibandingkan dengan orang
yang normal.
Keseimbangan dapat dicapai karena adanya kerjasama dari otot-otot anti
gravitasi, alat sensoris pada kulit, otot dan sendi. Seiring bertambahnya usia,
kekuatan otot akan mengalami penurunan secara bertahap. Perubahan struktur
pada otot menyebabkan perubahan fungsional otot, yaitu terjadinya
penurunan kekuatan otot, elastisitas otot dan fleksibilitas otot, kecepatan
waktu reaksi dan rileksasi, dan kinerja fungsional. Penurunan fungsi dan
kekuatan otot akan mengakibatkan yaitu penurunan kemampuan
mempertahankan keseimbangan tubuh, hambatan gerak duduk ke berdiri,
peningkatan resiko jatuh, dan perubahan postur.

1.2 Rumusan Masalah


a. Bagaimana pemeriksaan motorik dan sensorik pada lansia?
b. Bagaimana pemeriksaan balance dan posture pada lansia?

1
c. Bagaimana pemeriksaan gait analysis pada lansia?
1.3 Tujuan
a. Untuk mengetahui bagaimana pemeriksaan motorik dan sensorik pada
lansia.
b. Untuk mengetahui bagaimana pemeriksaan balance dan posture pada
lansia.
c. Untuk mengetahui bagaimana pemeriksaan gait analysis pada lansia.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pemeriksaan Motorik pada Lansia


Pemeriksaan motorik pada lansia meliputi pemeriksaan kekuatan otot,
tonus otot, luas gerak sendi, postur, pola jalan, dan koordinasi.
a. Pemeriksaan Kekuatan Otot
Pemeriksaan kekuatan otot dapat dilakukan dengan menggunakan
pengujian otot secara manual (manual muscle testing, MMT).
Pemeriksaan ini ditujukan untuk mengetahui kemampuan
mengontraksikan kelompok otot secara volunter. Lansia yang mampu
mengontraksikan ototnya secara aktif dan volunter, tidak tepat apabila
diberikan MMT standar.
Prosedur Pelaksanaan MMT:
1) Lansia diposisikan sedemikian rupa sehingga otot mudah
berkontraksi sesuai dengan kekuatannya. Posisi yang dipilih harus
memungkinkan kontraksi otot dan gerakan mudah diobservasi.
2) Bagian tubuh yang dites harus terbebas dari pakaian yang
menghambat.
3) Berikan penjelasan dan contoh gerakan yang harus dilakukan.
4) Lansia mengontraksikan ototnya dan stabilisasi diberikan pada
segmen proksimal.
5) Selama terjadi kontraksi, gerakan yang terjadi diobservasi, baik
palpasi pada tendon atau perut otot.
6) Memberikan tahanan pada otot yang dapat bergerak dengan luas
gerak sendi penuh dan dengan melawan gravitasi.
7) Melakukan pencatatan hasil MMT.
Kriteria Hasil Pemeriksaan MMT (Lovet, Daniel, dan Worthingham)
1) Normal (5); mampu bergerak dengan luas gerak sendi penuh,
melawan gravitasi, dan melawan tahanan maksimal.
2) Good (4); mampu bergerak dengan luas gerak sendi penuh, melawab
gravitasi, dan melawan tahanan sedang (moderat).

3
3) Fair (3); mampu bergerak dengan luas gerak sendi penuh dan
melawan gravitasi tanpa tahanan.
4) Poor (2); mampu bergerak dengan luas gerak sendi penuh tanpa
melawan gravitasi.
5) Trace (1); tidak ada gerakan sendi, tetapi kontraksi otot dapat
dipalpasi.
6) Zero (0); kontraksi otot tidak terdeteksi dengan palpasi.
b. Pemeriksaan Tonus Otot
Tonus otot adalah ketegangan minimal suatu dalam keadaan
istirahat. Tonus otot dapat diperiksa dengan beberapa cara, yaitu dengan
palpasi, gerakan pasif, dan vibrasi. Palpasi dilakukan pada perut otot
(muscle belly) yang diperiksa. Dengan palpasi kita akan mendapatkan
informasi tentang tonus otot dalam keadaan normal, hipotonus, atau
hipertonus.
Gerakan pasif dapat dilakukan pada anggota gerak (sendi) secara
berulang-ulang dan cepat sehingga otot yang diperiksa diregangkan dan
dikendorkan berulang-ulang. Pada saat yang sama, kita akan merasakan
adanya sedikit tahanan (normal). Bila tidak dirasakan adanya tahanan
berarti hipotonus dan apabila tahanan yang dirasakan cukup kuat
berarti hipertonus.
Vibrasi diberikan pada otot yang diperiksa dengan menggunakan
vibrator. Otot tersebut diposisikan memendek, diberi vibrasi, dan pada
waktu yang sama diminta mengontraksikan otot antagonisnya untuk
menggerakan sendi kea rah fungsi otot antagonis. Apabila tidak mampu
menggerakkan sendi kea rah antagonisnya berarti otot yang diperiksa
dalam keadaan hipertonus. Cara tersebut harus didahului dengan
pemeriksaan gerak aktif pada antagonis dan hasil pemeriksaan
tersebut menunjukkan bahwa gerakan tersebut dapat dilakukan dengan
baik.
Tonus otot pada lansia cenderung mengalami penurunan. Bila lansi
mengalami gangguan sistem saraf, dapat terjadi peningkatan tonus otot

4
(hipertonus) seperti pada keadaan spastik. Sebaliknya, dapat terjadi
penurunan tonus otot (hipotonus) seperti dalam keadaan flaksid.
c. Pemeriksaan LGS Menggunakan Goniometer
Luas gerak sendi (LGS) merupakan luas gerak sendi yang dapat
dilakuan oleh suatu sendi. Tujuan pemeriksaan LGS adalah untuk
mengetahui besarya LGS suatu sendi dan membandingkannya
dengan LGS sendi yang normal, membantu diagnosis, dan
menentukan fungsi sendi. Hasil pengukuran LGS dapat digunakan
untuk menentukan tujuan dan rencana terapi dalam mengatasi gangguan
LGS. Selain itu, dalam pemeriksaan LGS, terapis harus
mempertimbangkan penyebab dari keterbatasan gerak seperti nyeri,
spasme, perlengketan jaringan, dan kualitas gerak.
Prosedur Pengukuran LGS menggunakan Goniometer:
1) Posisi awal adalah posisi netral/anatomis, yaitu tubuh tegak, lengan
lurus di samping tubuh, lengan bawah dan tangan menghadapt ke
depan.
2) Sendi yang diukur harus terbuka, bebas pakaian.
3) Berikan penjelasan dan contoh gerakan yang harus dilakukan.
4) Berikan gerakan pasif dua atau tiga kali untuk menghilangkan
gerakan substitusi dan ketegangan karena kurang bergerak.
5) Berikan stabilisasi pada segmen bagian proksimal.
6) Tentukan aksis gerakan baik secara aktif atau pasif, dengan jalan
melakukan palpasi bagian tulang di sebelah lateral sendi.
7) Letakkan tangkai goniometer yang statik paralel dengan aksis
longitudinal pada garis tengah segmen/tubuh yang statik.
8) Letakkan tangkai goniometer yang bergerak paralel terhadap aksis
longitudinal segmen/tubuh yang bergerak.
9) Pastikan aksis goniometer tepat pada aksis gerakan sendi.
10) Baca dan catat hasil pemeriksaan LGS.
Metode perekaman pengukuran LGS dengan menggunakan
sistem notasi 0-180o disebut metode perekaman SFTR (sagittal,
frontal, transversal, dan rotasi). Pencatatan dimulai dengan menuliskan

5
bidang gerak di tempat gerakan tersbut terjadi. Semua gerakan ditulis
dalam 3 kelompok angka. Gerakan yang menjauhi tubuh atau rotasi ke
kiri ditulis pertama, gerakan yang mendekati tubuh atau rotasi ke kanan
ditulis terakhir, posisi awal dituliskan di tengal. Posisi awal normal
dituliskan dengan angka 0o, tetapi bila dalam keadaan patologis akan
berubah. Semua posisi mengunci atau tidak ada gerakan sama sekali
(ankilosis) hanya ditulis dengan 2 kelompok angka.
d. Pemeriksaan Postur
Pemeriksaan postur dilakukan dengan cara inspeksi pada posisi
berdiri. Pada posisi tersebut, postur yang baik/normal dapat terlihat
dengan jelas. Dari arah samping, tampak telinga, acromion, trunk,
trokantor mayor, patella bagian posterior, dan malleolus lateralis ada
dalam satu garis lurus.
e. Pemeriksaan Pola Jalan
Dalam pola jalan lansia ada beberapa perubahan yang mungkin
terjadi, diantaranya sebagai berikut:
1) Sedikit ada rigiditas (tahanan yang sama kuatnya) pada anggota
gerak, terutama anggota gerak atas lebih dari anggota gerak bawah.
Rigiditas akan hilang apabila tubuh bergerak.
2) Gerakan otomatis menurun, amplitudo dan kecepatan berkurang,
seperti hilangnya ayunan tangan saat berjalan.

Gambar 2.1 Pola jalan pada lansia Gambar 2.2 Pola jalan pada lansia
(double support) (single support)
Sumber: Pudjiastuti dan Utomo (2002)

6
Tujuan pemeriksaan pola jalan:
1) Mengetahui ada tidaknya gangguan keseimbangan saat berjalan
2) Mengetahi ada tidaknya gangguan koordinasi gerakan saat berjalan.
Syarat pemeriksaan pola jalan:
1) Lansia sebaiknya menggunakan celana pendek serta tidak memakai
alas kaki sehingga tungkai dapat diobservasi dengan jelas
2) Observasi dilakukan dari berbagai sudut pandang yaitu depan,
belakang, samping kanan, dan samping kiri.
3) Saat berjalan, lansia diusahakan bersikap wajar,berjalan sesuai
kemampuannya
4) Pemeriksa memperhatikan dengan saksama masing –masing
peristiwa dari fase jalan lansia
Pemeriksaan pola jalan
1) Pelaksanaan pemeriksaan
a) Lansia diminta untuk berjalan biasa, Pemeriksa mengamati
dengan saksama bergantian dari arah samping, depan, dan
belakang. Selanjutnya dicatat, adakah ayunan lengan; adakah
rotasi badan; apakah irama dan kecepatan gerakan berlangsung
dengan baik dan sinkron; apakah saat menumpu/mengayun,
tungkai kanan dan kiri seimbang; apakah terjadi perubahan
ekspresi wajah lansia.
b) Lansia diminta untuk berjalan biasa, pengamatan lebih
ditunjukkan untuk fase menumpu (hill strike, mid stance, push
off) dan fase mengayun (ascleration, mid swing, decelaration).
Selanjutnya dicatat, adakah rasa nyeri; apakah peristiwa pada
fase menumpu dan fase mengayun berlangsung lengkap dan
sempurna; luas gerak sendi panggul,serta sendi lutut dan
pergelangan kaki tungkai kanan dan kiri, untuk masing – masing
fase menumpu dan fase mengayun apakah sama.
2) Interpretasi umum pemeriksaan pola jalan
a) Apabila ekspresi wajah berubah seperti orang kesakitan saat
menumpu, hal itu menunjukkan adanya nyeri pada persendian.

7
Bila terjadi saat fase mengayun, kemungkinan nyerinya terletak
pada otot, sendi, atau jaringan sekitar persendian
b) Berjalan dengan perlahan kemungkinan diakibatkan oleh adanya
pemendekan otot atau penurunan luas gerak sendi, instabilitas
persendian atau kekuatan otot menurun.
c) Gerakan yang terjadi berlangsung kasar/patah-patah
kemungkinan diakibatkan oleh adanya gerakan koordinasi.
d) Bidang tumpu melebar kemungkinan karena gangguan
keseimbangan
e) Fase menumpu berlangsung singkat, hal itu menunjukkan
adanya nyeri pada persendian/letak kerusakan pada persendian.
Juga diakibatkan oleh adanya kekuatan otot yang menurun
f) Fase mengayun memendek, kemungkinan disebabkan adanya
penurunan kekuatan otot, keterbatasan luas gerak sendi serta
nyeri pada otot
3) Interpetasi khusu pemeriksaan pola jalan pada setiap fase jalan
a) Heel strike
(i) Apabila heel strike tidak terjadi dengan baik,kemungkinan
terdapat kelemahan otot dorsal fleksor pergelangan kaki
atau pemendekan otot plantar fleksor pergelangan kaki
(ii) Apabila lutut tidak dapat lurus, kemungkinan ada
kelemahan otot ekstensor lutut atau pemendekan otot
fleksor lutut
(iii) Apabila sendi panggul tidak dapat fleksi,
kemungkinan terdapat penurunan kekuatan otot fleksor
sendi panggul atau pemendekan otot ekstensor panggul
b) Mid Stance
(i) Apabila tidak terjadi dengan baik,kemungkinan terdapat
nyeri pada sendi panggul,lutut dan pergelangan
kaki,kelemahan otot tungkai,terutama ekstensor
panggul,ekstensor lutut dan plantar fleksor pergelangan

8
kaki,atau pemendekan otot fleksor panggul,serta fleksor
lutut dan dorsal fleksor pergelangan kaki
(ii) Apabila posisi goyang,kemungkinan terdapat gangguan
stabilitas sendi panggul,lutut dan pergelangan kaki atau
nyeri pada sendi panggul, lutut, dan pergelangan kaki
(iii) Apabila panggul jatuh ke arah homolateral,
kemungkinan terdapat kelemahan otot abduktor panggul
c) Push off
Apabila push off tidak berlangsung dengan
baik,kemungkinan terdapat kelemahan plantar fleksor
pergelangan kaki,pemendekan plantar fleksor pergelangan kaki,
atau pemendekan fleksor panggul
d) Ascelerasi
Apabila ascelerasi tidak berlangsung dengan
baik,kemungkinan terdapat kelemahan fleksor lutut,kelemahan
fleksor panggul,pemendekan ekstensor lutut,atau pemendekan
ekstensor panggul
e) Mid Swing
Apabila mid swing tidak berlangsung dengan
baik,kemungkinan terdapat kelemahan fleksor
panggul,kelemahan fleksor lutut,kelemahan dorsal fleksor
pergelangan kaki,pemendekan ekstensor panggul,pemendekan
ekstensor lutut,atau pemendekan plantar fleksor pergelangan
kaki
f) Desclerasi
Apabila desclerasi tidak berlangsung dengan
baik,kemungkinan terdapat kelemahan fleksor
panggul,kelemahan ekstensor lutut,pemendekan ekstensor
panggul,pemendekan fleksor lutut,dan penumpuan berat
badan.Penumpuan berat badan dapat berbeda antara tungkai
kanan dan kiri apabila ada kelainan pada sistem locomotor

9
f. Pemeriksaan Koordinasi
Pemeriksaan koordinasi dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan
ekuilibrium dan pemeriksaan non-ekuilibrium. Pemeriksaan ekuilibrium
mengacu pada pemeliharaan keseimbangan dan koordinasi tubuh secara
keseluruhan termasuk didalamnya adalah ters Romberg, sedangkan
pemeriksaan non ekuilibrium menilai kemampuan pasien dalam
melakukan gerakan yang berlainan, seringkali relative baik, gerakan
disengaja dengan ekstremitas yaotu finger to nose test, disdiaddokinesia,
heel to knee test.

2.2 Pemeriksaan Sensorik pada Lansia


a. Sensasi Taktil / Raba
Sebagai peransangan dapat digunakan sepotong kapas, kertas atau
kain dan ujungnya diusahakan sekecil mungkin. Hindarkan adanya
tekanan atau pembangkitan rasa nyeri. Periksa seluruh tubuh dan
bandingkan bagian – bagian tubuh secara simetris. Thigmestesia berarti
rasa raba halus. Bila rasa raba ini hilang disebut dengan thigmanesthesia.
Peralatan : Kapas, kertas, atau kain
Pelaksanaan :
1) Pemeriksa menjelaskan terlebih dahulu pemeriksaan apa yang akan
dilakukan agar pasien mengerti
2) Pasien diminta untuk menutup kedua matanya
3) Area yang akan diperiksa bebas dari pakaian
4) Pemeriksa akan meminta pasien menjawab “ya” atau “tidak” jika
merasakan atau tidak merasakan adanya ransangan
b. Sensasi Nyeri Superfisial
Benda yang berujung runcing dan tumpul diaplikasikan secara acak
pada daerah yang akan diperiksa. Tujuannya untuk memperoleh respon
dari pasien yang akurat. Abnormalitas sensasi nyeri superfisial yaitu :
 Hipalgesia yang dikaitkan dengan penurunan kepekaan terhadap
ransangan

10
 Hiperalgesia yang dikaitkan dengan peningkatan kepekaan terhadap
ransangan
 Alganesthesia atau analgesia yang digunakan untuk area yang tidak
sensitif terhadap ransangan
Peralatan : Benda yang mempunyai ujungnya runcing dan tumpul
Pelaksanaan :
1) Pemeriksa menjelaskan terlebih dahulu pemeriksaan apa yang akan
dilakukan agar pasien mengerti
2) Pasien diminta untuk menutup kedua matanya
3) Pemeriksa melakukan pemeriksaan dengan benar menggunakan
benda yang ujungnya runcing dan tumpul secara acak
4) Pemeriksa meminta pasien menjawab mengenai tingkat ketajaman
atas ransangan yang diberikan
5) Jika ditemukan kelainan turunnya intensitas sensasi, pemeriksa harus
mengulang dari area yang intensitas sensasinya menurun hingga ke
area yang normal begitupun sebaliknya
c. Pemeriksaan Sensasi Suhu
Terdapat dua macam sensasi suhu, yaitu suhu panas dan suhu dingin.
Ransangan sensasi suhu yang berlebihan akan mengakibatkan rasa nyeri.
Abnormalitas sensasi suhu yaitu :
 Thermanesthesia yang berarti tidak merasakan sensasi suhu
 Thermhypesthesia yang berarti kurang merasakan sensasi suhu
 Thermhyperesthesia yang berarti lebih merasakan sensasi suhu
Peralatan : Benda yang mempunyai ujung runcing dan tumpul
Pelaksanaan :
1) Pemeriksa menjelaskan terlebih dahulu pemeriksaan apa yang akan
dilakukan agar pasien mengerti
2) Pasien diminta untuk menutup kedua matanya
3) Pemeriksa harus mencoba terlebih dahulu sensasi panas dan dingin
pada diri sendiri

11
4) Pemeriksa menggunakan alat yaitu tabung logam yang diisi dengan
air panas dengan suhu 400 – 500C dan air dingin dengan suhu 50 –
100C
5) Pemeriksa melakukan pemeriksaan dengan benar menggunakan
tabung logam secara acak
6) Pemeriksa meminta pasien menjawab atas ransangan yang diberikan
d. Pemeriksaan Rasa-Gerak dan Rasa-Posisi
Rasa gerak biasanya disebut dengan “sensasi kinetik” yang dirasakan
saat tubuh atau bagian tubuh digerakkan secara aktif atau pasif. Rasa
gerak menggambarkan bahwa seseorang mengetahui bagian dari
tubuhnya yang digerakkan sedangan rasa posisi menggambarkan bahwa
seseorang mengetahui bagaimana sikap tubuh atau bagian dari tubuhnya.
Biasanya rasa-gerak dan rasa-posisi diperiksa secara bersamaan.
Pengetahuan kita tentang sikap bagian tubuh kita pada suatu waktu
merupakan hasil integratif dari impuls yang datang dari berbagai
reseptor. Impuls ini dihantarkan ke sentral melalui susunan funikulus
dorsalis dan selanjutnya ke talamus oleh susunan lemniskus medialis.
Peralatan : Tidak memerlukan alat khusus
Pelaksanaan :
1) Pemeriksa menjelaskan terlebih dahulu pemeriksaan apa yang akan
dilakukan agar pasien mengerti
2) Pasien diminta untuk menutup kedua matanya
3) Bagian tubuh yang akan diperiksa harus rileks
4) Pasien akan ditanya oleh pemeriksa mengenai arah gerakan yang
diberikan
e. Pemeriksaan Sensasi Getar
Sensasi getar terjadi karena suaru ransang (impuls) pada reseptor
mekanis yang terletak agak dalam dan dangkal, yang terjadi secara
bergantian. Hal tersebut didasari atas pengalamn klinik bahwa pada lesi
saraf perifer, rasa-getar dan rasa raba halus selalu terganggu secara
bersamaan.

12
Sensasi getar juga disebut dengan “palesthesia” yang
menggambarkan kemampuan merasakan setiap pergerakan atas getaran.
Sedangkan ”pallanesthesia” menggambarkan hilangnya kemampuan
merasakan rasa getaran. Biasanya area yang diperiksa ialah jari kaki I,
maleolus medial dan lateral, os tibia, os spina iliaca anterior superior, os
sakrum, proc. spinosus vertebra, os sternum, os klavikula, proc.
mastoideus, dan proc. stiloideus radius ulna.
Peralatan : Garputala
Pelaksanaan :
1) Pemeriksa menjelaskan terlebih dahulu pemeriksaan apa yang akan
dilakukan agar pasien mengerti
2) Pasien dalam keadaan posisi duduk
3) Getarkan garputala dengan memukulkan ke benda yang keras
4) Tempatkan garputala sesegara mungkin ke area yang akan diperiksa
5) Amati intensitas dan lama getarannya
f. Pemeriksaan Sensasi Tekan
Istilah “piesthesia” digunakan untuk menyatakan adanya rasa tekan
Peralatan : Tidak menggunakan alat khusus
Perlaksanaan :
1) Pemeriksa menjelaskan terlebih dahulu pemeriksaan apa yang akan
dilakukan agar pasien mengerti
2) Pasien diminta untuk menutup kedua matanya
3) Tekan pada otot atau tendon pasien dengan menggunakan ujung jari
4) Pasien diminta untuk memberitahu kepada pemeriksa apakah ia
merasakan tekanan tersebut atau tidak
g. Pemeriksaan Rasa Diskriminasi (Dua titik)
Pada pemeriksaan ini memiliki tujuan agar pasien mampu
mengetahui apakah ia di tekan satu atau dua titik dengan ujung jari
pemeriksa. Semakin dekat area yang ditekan, biasanya pasien sulit untuk
membedakannya. Bila pasien memiliki ggangguan pada tes rasa
diskrimanis tetapi sensasi rabanya baik, hal ini menunjukkan bahwa
adanya lesi di lobus parietalis.

13
Peralatan : Tidak menggunakan alat khusus
Pelaksanaan :
1) Pemeriksa menjelaskan terlebih dahulu pemeriksaan apa yang akan
dilakukan agar pasien mengerti
2) Pasien diminta untuk menutup kedua matanya
3) Kemudian pemeriksa, menekan satu lalu dua titik secara bergantian
4) Pasien diminta untuk memberitahu kepada pemeriksa apakah ia
dapat merasakan jumlah titik yang ditekan oleh pemeriksa
h. Pemeriksaan Sensasi Stereognosia
Stereognosia merupakan kemampuan untuk mengenal bentuk benda
dengan cara meraba tanpa melihat benda tersebut. Bila kemampuan ini
terganggu atau hilang, penderita disebut dengan asterognosia, atau
agnosia-taktil.
Astereognosia hanya dapat ditentukan bila rasa eksteroseptif dan
proprioseptif baik. Jika hal ini terganggu, rangsangan atau impuls tidak
sampai ke korteks untuk disadari dan diinterpretasikan.
Peralatan : Menggunakan benda yang ada dalam kehidupan sehari -
hari
Pelaksanaan :
1) Pemeriksa menjelaskan terlebih dahulu pemeriksaan apa yang akan
dilakukan agar pasien mengerti
2) Pasien diminta untuk menutup kedua matanya
3) Pemeriksa menempatkan bermacam benda ke dalam tangan pasien
4) Benda yang ditempatkan ialah benda yang biasa digunakan sehari –
hari misalnya uang logam, gelas atau arloji
5) Kemudian pasien diminta untuk menyebutkan benda apa yang
sedang dipegangnya
i. Pemeriksaan Sensasi Grafestesia
Grafestesia merupakan kemampuan untuk mengenali huruf – huruf
atau angka yang ditulis pada kulit tanpa melihat. Hilangnya kemampuan
ini disebut dengan grafanestesia. Jika perasaan eksteroseptif dan

14
proprioseptif baik, sedangkan penderita tidak mengenali angka atau huruf
yang ditulis, hal ini biasanya menunjukkan adanya lesi di korteks.
Peralatan : Tidak menggunakan alat khusus
Pelaksanaan :
1) Pemeriksa menjelaskan terlebih dahulu pemeriksaan apa yang akan
dilakukan agar pasien mengerti
2) Pasien diminta untuk menutup kedua matanya
3) Pemeriksa menuliskan angka atau huruf pada area kulit yang akan
diperiksa
4) Lalu pasien diminta untuk menyebutkan angka atau huruf yang
ditulis oleh pemeriksa

2.3 Pemeriksaan Balance pada Lansia


a. Time Up and Go Test (TUGT)
TUGT (time up and go test) merupakan salah satu alat ukur pada
gangguan keseimbangan. Pelaksanaanya ialah lansia berjalan sesuai
dengan kemampuannya menempuh jarak 3 meter menuju dinding,
kemudian berbalik tanpa menyentuh dinding dan berjalan kembali
menuju kursi dan kemudian duduk kembali bersandar. Waktu dihitung
sejak aba-aba “mulai” hingga lansia duduk bersandar kembali terhitung
10 detik sampai 3 menit.
Peralatan : Kursi dengan penyangga lengan, meteran, stopwatch,
penanda.
Pelaksanaan :
1) Penanda diletakkan dengan jarak 3 meter dari kursi.
2) Pada saat aba-aba “GO” pasien akan berdiri, berjalan ke arah yang
telah disiapkan, kemudian berputar di sekitar cone/penanda lain dan
berjalan kembali ke kursi dan duduk. Berjalan dengan kecepatan
biasa.
3) Waktu dihitung mulai saat aba-aba “GO”, dan berhenti saat pasien
duduk kembali di kursi.

15
Kursi 3 meter Penanda
Nilai rerata pada TUGT dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Table 2.1 Nilai Normal Time Up and Go Test
Sumber: Nilai normal Time Up and Go Test (Jacobs & Fox, 2008)
Nilai rata-rata Nilai normal
Umur Jenis Kelamin
(detik) (detik)
60-69 Laki-laki 8 4-12
60-69 Perempuan 8 4-12
70-79 Laki-laki 9 5-13
70-79 Perempuan 9 5-15
80-89 Laki-laki 10 8-12
80-89 Perempuan 10 5-17

Jika skor < 14 detik; 87% tidak ada resiko tinggi untuk jatuh, dan
Jika skor ≥ 14 detik; 87% resiko tinggi untuk jatuh.
b. Uji Keseimbangan Berg (Berg Balance Test)
Berg Balance Scale digunakan sebagai pengukuran yang berorientasi
pada keseimbangan lansia. BBS menilai keseimbangan dari dua dimensi,
yaitu kemampuan untuk mempertahankan postur tegak dan penyesuaian
yang tepat pada gerakan yang dikehendaki (gerakan volunter). Uji ini
merupakan uji aktivitas dan keseimbangan fungsional yang menilai
penampilan mengerjakan 14 tugas, diberikan angka 0 (tidak mampu
melakukan) sampai 4 (mampu mengerjakan dengan normal sesuai
dengan waktu dan jarak yang ditentukan) dengan skor maksimum 56.
BBS mengukur aspek keseimbangan statis dan dinamis. BBS
memiliki tingkat kepercayaan 95% dalam mendeteksi perubahan
signifikan secara klinis pada keseimbangan, walaupun pada beberapa
orang yang mengalami perubahan keseimbangan tingkat sedang tidak
dapat terdeteksi dengan pemeriksaan ini.
Table 2.2 Skala Keseimbangan Berg
No
Pemeriksaan Keseimbangan Nilai (0-4)
.
1 Berdiri dengan postur normal
2 Berdiri dengan postur normal, mata tertutup

16
3 Berdiri dengan kaki rapat
4 Berdiri pada satu kaki
5 Berdiri, fleksi trunk dan kembali ke posisi netral
6 Berdiri, lateral fleksi trunk
Berjalan, tempatkan tumit salah satu kaki didepan
7
jari kaki yang lain
8 Berjalan sepanjang garis lurus
9 Berjalan mengikuti tanda gambar pada lantai
10 Berjalan menyamping
11 Berjalan mundur
12 Berjalan mengikuti lingkaran
13 Berjalan pada tumit
14 Berjalan dengan ujung kaki
Total Nilai
Kriteria penilaian:
Nilai 4 : Mampu melakukan aktivitas dengan lengkap.
Nilai 3 : Mampu melakukan aktivitas dengan sedikit bantuan untuk
mempertahankan keseimbangan.
Nilai 2 : Mampu melakukan aktivitas dengan bantuan sedang untuk
mempertahankan keseimbangan.
Nilai 1 : Mampu melakukan aktivitas dengan bantuan maksimal untuk
mempertahankan keseimbangan.
Nilai 0 : Tidak mampu melakukan aktivitas
Interpretasi:
Skor 0 sampai 20 mewakili gangguan keseimbangan,
Skor 21 sampai 40 mewakili keseimbangan diterima, dan
Skor 41 sampai 56 mewakili keseimbangan yang baik.
c. Uji Menggapai Fungsional (Functional Reach Test)
Functional Reach Test (FRT) merupakan pemeriksaan yang menilai
kontrol postural dinamis dengan mengukur jarak terjauh seseorang yang
berdiri mampu menggapai atau mencondongkan badannya ke depan
tanpa melangkah. Pada individu yang berusia 70 tahun atau lebih, nilai 6
inci kurang berhubungan dengan kecepatan berjalan dan resiko jatuh. Uji
ini mudah dilakukan, namun hanya mengukur satu komponem
keseimbangan dinamik (Setiati & Laksmi, 2009).
Prosedur pemeriksaan FRT:
1) Tandai garis di lantai,

17
2) Jelaskan kepada peserta tentang prosedur test,
3) Pasien di intruksikan untuk berdiri disamping, tetapi tidak
menyentuh dinding dan posisi lengan yang lebih dekat ke dinding
pada 900 dari fleksi bahu dengan kepalan tangan tertutup atau seperti
tinju.
4) Posisi tungkai kanan dan kiri sejajar dengan bahu, pandangan lurus
ke depan,
5) Tempatkan garis horizontal berupa kayu atau mid-line di dinding
dengan aman dan tepat,
6) Satu orang pendamping mengamati pergerakan tangan dan 1 orang
pendamping bertugas mencatat posisi awal di kepala metacarpal ke-3
pada garis horizontal tersebut
7) Score Functional Reach Test <17,5cm menandakan bahwa pasien
tersebut membutuhkan bantuan, adanya keterbatasan activity daily
living. < 18,5cm menandakan bahwa pasien tersebut mempunyai
risiko jatuh. 29 cm menandakan bahwa pasien tersebut
keseimbangannya bagus.

2.4 Pemeriksaan Postur pada Lansia


Pemeriksaan postur dilakukan dengan cara inspeksi pada posisi berdiri.
Pada posisi tersebut, postur yang baik/normal dapat terlihat dengan jelas. Dari
arah samping, tampak telinga, acromion, trunk, trokantor mayor, patella
bagian posterior, dan malleolus lateralis ada dalam satu garis lurus, seperti
yang terlihat pada gambar 2.3

18
Gambar 2.3 Postur Normal
Sumber: Pudjiastuti dan Utomo (2002)

Gambar 2.4 Postur tampak dari samping


Sumber: Pudjiastuti dan Utomo (2002)

19
Gambar 2.5 Postur pada lansia tampak dari belakang
Sumber: Pudjiastuti dan Utomo (2002)

Gambar 2.6 Lembar pemeriksaan postur pada lansia menggunakan skor REEDCO
Sumber: Pudjiastuti dan Utomo (2002)
Interpretasi pemeriksaan postur menurut Palmer dari pandangan
lateral/samping:
1) Kepala fleksi ke depan, kepala condong ke depan dan telinga terletak
di depan garis vertical tubuh. Hal tersebut dapat disebabkan:
a) Kurva lordosis yang berlebihan.

20
b) Peningkatan ketegangan otot ekstensor servikal, trapezius atas,
dan levator scapula
c) Terulurnya otot fleksor servikal.

Gambar 2.7 Lordosis servikalis


Sumber: Pudjiastuti dan Utomo (2002)
2) Kurva lordosis servikalberkurang/datar, korpus vertebra servikal
terletak di depan garis vertical tubuh. Hal tersebut dapat disebabkan
oleh:
a) Terulurnya ligamen posterior servikal dan ekstensor servikal
b) Fleksor servikal menegang.
3) Kifosis torakalis, terjadi peningkatan konveksitas vertebra torakalis.
Hal tersebut disebabkan:
a) Penekanan diskus intervertebral ke arah anterior
b) Terulurnya otot ekstensor toraks, otot trapezius tengah & bawah,
dan ligament longitudinal posterior.
c) Pengerasan ligament longitudinal anterior, otot abdominal atas,
dan otot dada bagian anterior.

21
Gambar 2.8 Kifosis torakalis
Sumber: Pudjiastuti dan Utomo (2002)

4) Lordosis lumbalis, terjadinya hiperekstensi vertebra lumbal. Hal


tersebut disebabkan:
a) Pelvis rotasi ke anterior
b) Penekanan pada vertebra bagian posterior
c) Terulurnya ligament longitudinal anterior dan otot perut bagian
bawah
d) Pengerasan ligament longitudinal posterior, otot ekstensor
punggung bawah, dan fleksor sendi panggul.

Gambar 2.9 Lordosis lumbalis


Sumber: Pudjiastuti dan Utomo (2002)

5) Sway back, merupakan manifestasi dari fleksi lumbal dengan


asosiasi pelvis rotasi ke posterior, ekstensi sendi panggul, kifosis
torakalis, dan pelvis bergeser ke anterior. Hal tersebut disebabkan:
a) Kifosis torakalis
b) Pelvis rotasi ke posterior
c) Terulurnya ligament sendi panggul bagian anterior dan sendi
panggul hiperekstensi.

22
d) Penekanan vertebra ke arah posterior.
e) Terulurnya ligament longitudinal posterior, otot-otot ekstensor
punggung bawah, dan otot fleksor sendi panggul.

Gambar 2.10 Sway back


Sumber: Pudjiastuti dan Utomo (2002)
6) Flat back, terjadi kurva vertebral lumbal mendatar. Hal tersebut
disebabkan:
a) Pelvis rotasi ke posterior
b) Pengerasan otot hamstring
c) Kelemahan otot fleksor sendi panggul
d) Terulurnya ligament longitudinal posterior

23
Gambar 2.11 Flat back
Sumber: Pudjiastuti dan Utomo (2002)
7) Pelvis rotasi ke anterior, SIAS rotasi ke anterior menuju simfisis os
pubis. Hal tersebut disebabkan:
a) Peningkatan kurva lordosis lumbal dan kifosis torakalis
b) Penekanan vertebra ke arah posterior
c) Terulurnya otot-otot abdomen, ligament sakrotuberosum,
ligament sakroilika dan ligament sakrospinosum
d) Pengerasan otot fleksor sendi panggul.

Gambar 2.12 Pelvis rotasi ke anterior


Sumber: Pudjiastuti dan Utomo (2002)
8) Pelvis rotasi ke posterior, simfisi os pubis berada lebih posterior
disbanding SIAS. Hal tersebut disebabkan oleh:
a) Sway back dengan kifosis torakalis
b) Penekanan vertebra ke arah anterior
c) Terulurnya fleksor sendi panggul, otot abdomen bagian bawah
dan kapsul sendi
d) Pengerasan otot hamstring

24
Gambar 2.13 Pelvis rotasi ke posterior
Sumber: Pudjiastuti dan Utomo (2002)
9) Fleksi sendi lutut, aksis sendi lutut berada di anterior garis tegak
tubuh. Hal tersebut disebabkan oleh:
a) Pengerasan otot popliteus dan hamstring
b) Terulurnya otot quadriceps dan pengerasan otot gastrocnemius
c) Penekanan pada bagian posterior sendi lutut

Gambar 2.14 Fleksi lutut


Sumber: Pudjiastuti dan Utomo (2002)
Interpretasi pemeriksaan postur menurut Palmer dari pandangan
antero-posterior:
1) Penyimpangan kepala dan leher ke lateral. Hal tersebut disebabkan:
a) Pengerasan otot lateral fleksor leher pada salah satu sisi
b) Terulurnya otot lateral fleksor kontralateral
c) Kompresi vertebra pada sisi lateral yang terkena
2) Rotasi kepala. Hal tersebut disebabkan:
a) Pengerasan otot SCM, trapezius atas, scaleni pada satu sisi
b) Pemanjangan otot rotator kontralateral
c) Kompresi dan rotasi vertebra servikalis

25
Gambar 2.15 Penyimpangan kepala dan
leher ke lateral Gambar 2.16 Rotasi kepala
Sumber: Pudjiastuti dan Utomo (2002)
3) Rotasi medial sendi bahu. Hal tersebut disebabkan oleh:
a) Pembatasan gerak lateral rotasi sendi bahu
b) Pengerasan otot medial rotasi sendi bahu
4) Wing scapula, ketika margo medial scapula menjauh dari kosta.
Disebabkan oleh kelemahan otot serratus anterior.
5) Abduksi scapula, ketika scapula menjauhi garis tengah vertebra
torakalis.
6) Skoliosis, prosesus spinosus vertebra berada di sebelah lateral garis
tengah batang tubuh.

Gambar 2.17 Abduksi scapula Gambar 2.18 Skoliosis

26
Sumber: Pudjiastuti dan Utomo (2002)
7) Pelvis miring ke lateral, salah satu pelvis lebih tinggi dibanding sisi
yang lain. Disebabkan oleh:
a) Skoliosis
b) Perbedaan panjang tungkai
c) Pemendekan otot quadratus lumborum kontralateral
d) Kelemahan otot abduktor kontralateral.

Gambar 2.19 Pelvis miring ke lateral


Sumber: Pudjiastuti dan Utomo (2002)
8) Abduksi sendi panggul, trokantor mayor lebih tinggi pada bagian
yang terkena. Disebabkan oleh:
a) Pengerasan otot abductor sendi panggul
b) Pengerasan otot adductor kontralateral sendi panggul
c) Kelemahan otot abductor kontralateral dan adductor ipsilateral
sendi panggul.

Gambar 2.20 Abduksi sendi panggul

27
Sumber: Pudjiastuti dan Utomo (2002)
9) Genu varum/bowleg, pusat sendi lutut berada di lateral garis tengah
tubuh. Disebabkan oleh:
a) Pengerasan otot medial rotasi sendi panggunl dengan
hiperekstensi sendi lutut, pengerasan otot quadriceps
b) Kompresi pada bagian medial sendi lutut
c) Penguluran otot lateral rotasi sendi panggul, popliteus, dan
tibialis posterior.

Gambar 2.21 Genu varum


Sumber: Pudjiastuti dan Utomo (2002)
10) Genu valgum, pusat sendi lutut bergeser medial garis tengah tubuh.
Disebabkan oleh:
a) Pengerasan traktus iliotibialis dan struktur lateral sendi lutut
b) Pemanjangan struktur medial sendi lutut
c) Kompresi pada bagian lateral sendi lutut.

Gambar 2.22 Genu valgum

28
Sumber: Pudjiastuti dan Utomo (2002)

2.5 Pemeriksaan Gait Analysis pada Lansia


a. Gait Analysis
Gait atau berjalan adalah suatu proses perpindahan seseorang dari
satu tempat ke tempat yang lainnya. Salah satu gerak tubuh yang
dilakukan manusia setiap harinya adalah berjalan. Berjalan merupakan
gerak lokomosi yang melibatkan dua kaki, untuk mendukung propulsi
dengan salah satu kaki kontak atau bersentuhan dengan tanah. Berjalan
meskipun terlihat sederhana namun melibatkan berbagai mekanisme
yang bisa menimbulan gerak kompleks. Gaya berjalan merupakan hasil
integrasi antara tulang, sistem saraf (sistem saraf pusat dan perifer), otot,
dan factor lingkungan (sepatu, permukaan tempat pijakan). Secara
mekanis, gaya berjalan atau gait membutuhkan kerjasama antara
ekstremitas atas dan bawah pada kedua sisi. Ketika satu kaki menyentuh
tanah sebagai penahan, pendukung gerak, dan pendorong, kaki lainnya
mengayun untuk membuat satu langkah. Hal tersebut menimbulkan gait /
gaya berjalan sebagai gerakan bergantian yang ritmis antara kaki, lengan
dan badan untuk membuat gerak maju. Syarat terbentuknya suatu gait
adalah balance (keseimbangan), weight bearing, dan forward propultion
(dorongan kedepan).
b. Gait Cycle
Gait atau gaya berjalan merupakan suatu fenomena siklik yang bisa
dibagi dalam segmen atau fase. Berdasarkan terminologi tradisional, gait
digambarkan sebagai proses heelstrike, heel rise, dan toe off. Sedangkan
menurut terminologi Rancho Los Amogis (RLA) yang populer di awal
1990-an, lebih menekankan pada lamanya segmen atau proses, seperti
loading response, terminal stance, dan preswing. saat berjalan salah satu
ekstremitas akan berperan memberikan support bagi ekstremitas lainnya
yang berpindah maju / berganti gerakan. Ekstremitas akan bergerak
bergantian hingga seseorang mencapai tempat yang dituju. Urutan
tunggal fungsi tersebut oleh satu ekstremitas disebut gait cycle yang

29
diatur menjadi gerakan secara ritmik tejadi secara berurutan oleh sistem
reticulospinal.

Gambar 2.23 Stance dan swing


Sumber: Protokinetics
Gaya berjalan dapat diukur dari setiap peristiwa gaya berjalan ke
peristiwa selanjutnya yang sama pada kaki yang sama, tetapi model
diam-diam konvensional menganggap siklus gaya berjalan diukur dari
satu gerakan kaki ke gerakan kaki berikutnya dari kaki yang sama. Aspek
kuantitatif dari siklus berjalan, seperti waktu dan tindakan spasial,
memungkinkan untuk analisis simetri gaya berjalan, variabilitas dan
kualitas.
Siklus gait cycle dapat dibagi menjadi dua fase utama, yaitu fase
stance and fase swing yang bergantian untuk setiap ekstremitas bawah.
1) Fase stance: Terdiri dari seluruh waktu saat kaki berada di tanah.
2) Fase swing: Terdiri dari seluruh waktu saat kaki berada di udara.
Pengamatan karakteristik spasial dan temporal dari dua tungkai
bawah memungkinkan untuk memperkenalkan fase komplementer.
Ketika kedua anggota secara bersamaan dalam fase berdiri, kita berbicara
tentang dukungan bipedal atau dukungan ganda (2 kali 10%); ketika
hanya satu yang berada dalam fase dukungan, seseorang berbicara
tentang dukungan unipedal atau dukungan tunggal (40%), yang kedua
kemudian berada dalam fase berosilasi (Perry & Burnfield, 2010).
c. Faktor Gait Analysis
Menurut (Srivastava & Sural, 2007) hal yang mempengaruhi gait
analysis adalah sebagai berikut :

30
1) Gender, dalam beberapa penelitian ditemukan adanya perbedaan
cara jalan seorang wanita dengan pria, dimana wanita terkadan
melangkah dengan langkah kecil dan pria memiliki langkah yang
lebih besar.
2) Walking Speed, kecepatan berjalan mempengaruhi beberapa
parameter gait, seperti cadence, step length, dan stride. Seiring
bertambahnya kecepatan, parameter-parameter tersebut ikut
meningkat, juga berubah seiring menurunnya kecepatan.
Bertambahnya walking speed nampaknya juga mempengaruhi
peningkatan step width. Hal lain yang ikut terpengaruh adanya
perubahan kecepatan ini adalah ground reaction activity, pola
aktivitas otot, joint moment, jount reaction forces yang ikut
meningkat bersamaan dengan peningkatan walking speed.
3) Usia Seiring bertambah usia, gait berkembang, mulai dari masa
kanak-kanak hingga usia lanjut. Usia diatas 60 tahun samapi lebih
dari 100 tahun menunjukkan perubahan gait. Umumnya semakin
lanjut usia kecepatan berjalan juga berkurang, sementara
menurunnya walking speed mengakibatkan berkurangnya step
length, joint excurtion, dan
4) ground reaction forces. Oleh karena itu, perubahan gait yang terjadi
karena usia umumnya sebagai efek sekunder turunnya walking
speed. Selain itu, faktor usia berhubungan dengan berkurangnya
kekuatan otot quadriceps, m. Plantar flexors, dan hip flexor, range
of motion, dan oxygen uptake. Oxygen uptake berhubungan dengan
pengurangan walking speed. Usia juga berhubungan dengan
ketajaman pengelihatan. Semakin tinggi usia, ketajaman
pengelihatan akan berkurang, hal tersebut mempengaruhi gait pada
lansia, selain karena pengaruh ekstensi lutut yang berkurang.
Ekstensi lutut dan nyeri sendi lutut terutama mempengaruhi
parameter gait dari segi jarak dan waktu.
5) BMI Beberapa studi menunjukkan adanya hubungan antara obesitas
dan kelainan spinal dengan kelemahan dan kekakuan otot lumbar

31
yang dapat mempengaruhi berdiri, berjalan, dan berlari. Pola gait
pada orang obesitas perbedaan perbedaan mekanik gerak tubuh
dibanding orang normal. Bentuk tubuh dipengaruhi oleh timbunan
lemak. Orang obesits memiliki ground reaction forces, stance-phase
sagital-plane net muscle moment¸ dan step width lebih besar
dibanding orang tanpa obesitas. Kecepatan berjalan orang tanpa
obesitas sekitar 1,4 m/s sedangkan pada obesitas sekitar 1,2 m/s,
kecepatan berjalan berbanding terbalik dengan BMI. Pada anak-
anak, walking speed tergantung pada usia, meskipun anak dengan
obesitas memiliki kecepatan berjalan 10%-15% lebih lambat
daripada anak tanpa obesitas. Pengaruh obesitas pada walking speed
juga mempengaruhi peningkatan fase stance dan berkurangnya fase
swing, step width juga meningkat.
6) Jenis sepatu atau footwear juga bisa mempengaruhi gait. Pada anak-
anak, sepatu dapat memperpanjang langkah dengan meningkatnya
sudut dan gerak lutut serta meningkatya aktivitas tibialis anterior.
Saat berlari, sepatu mengurangi swing phase, meskipun belum
diketahui dengan jelas pengaruh jangka panjangnya bagi
pertumbuhan dan perkembangan. Sepatu dengan berbagai jenis
ketinggian juga mempengaruhi gait. Sepatu hak tiggi meningkatkan
plantarfleksi kaki, perubahan struktur tulang dari sendi ankle,
midtarsal, dan metatarsophalangeal. Perubahan anatomi
menimbulkan perubahan fungsional termasuk ground reaction
forces telapak kaki medial, berkurangnya pronasi kaki saat
midstance, dan meningkatnya vertical ground reaction force saat
heel strike. Penelitian terhadap sepatu hak tinggi dengan dasar sol
berbeda menunjukkan adanya perbedaan distribusi tekanan kaki.
Semakin luas alas permukaan hak sepatu, tekanan tumit juga
berkurang. Jika menggunakan sepatu hak tinggi, lebih baik
menggunakan alas hak yang lebih lebar, karena tekanan kaki yang
akan timbul lebih kecil dibanding alas runcing. Perbedaan distribusi

32
tekanan plantar sering dikaitkan dnegan keluhan pemakaian sepatu
hak tinggi akan menimbulkan nyeri.
d. Tes Gait Analysis dan Keseimbangan
1) Tes Keseimbangan Statik (Tinetti gait and balance assessment Tool
Test)
a) Tinetti gait assessment Tool Test adalah tes untuk mengukur
gaya berjalan pada keseimbangan postural statik (Duthie,
Cervenka, & Waller, 2007)
Prosedur pemeriksaan:
Instruksikan berjalan segera setelah aba-aba “Mulai”.
Kemudian amati respon lansia (berjalan ± 3 meter) dan berilah
skor sesuai kategori berikut :
- Bimbang / beberapa kali usaha untuk memulai (skor 0)
- Tidak bimbang untuk memulai (skor 1)
- Langkah panjang (rata-rata 78 cm) (skor 0)
- Langkah kaki kanan (skor 1)
- Langkah kaki kiri (skor 1)
- Menjatuhkan / menghentakkan kaki (skor 0)
- Kaki kiri terbuka (>450) (skor 1)
- Kaki kanan terbuka (>450) (skor 1)
- Langkah kaki kanan dan kiri tidak simetri (skor 0)
- Langkah kaki kanan dan kiri simetri (skor 1)
- Langkah terhenti / terhenti diantara beberapa (skor 0)
- Langkah berlanjut (skor 1)
- Jalan kecil (diperkirakan jarak kaki dengan lantai 12 inci) (skor
0)
- Jalan kecil (diperkirakan jarak kaki dengan lantai 12 inci) (skor
1)
- Berjalan mantap tanpa bantuan (skor 2)
- Kaki tidak berayun tapi lutut ditekuk (skor 1)
- Waktu berjalan kedua tumit renggang (> 10 cm) (skor 0)
- Waktu berjalan kedua tumit dekat (≤ 10 cm) (skor 1)

33
- Menggunakan bantuan untuk berjalan (memegang lutut) (skor 0)
- Berjalan dengan mantap (skor 2)

Gait score =............. / 12

b) Tinetti Balance Assessment Tool Test adalah tes untuk


mengukur keseimbangan postural statik (Duthie, 2007).
Peralatan:
Satu buah kursi tanpa penahan lengan dan lembar observasi.
Prosedur:
Instruksikan lansia untuk duduk di kursi yang telah
disediakan dan melakukan manuver-manuver berikut :
- Keseimbangan saat duduk
Bersandar / lengser dari kursi (skor 0)
Mantap / aman (skor 1)
- Bangkit berdiri
Tidak mampu jika tanpa bantuan (skor 0)
Mampu dengan menggunakan lengan untuk bantuan (skor 1)
Mampu tanpa menggunakan lengan untuk bantuan (skor 2)
- Usaha untuk bangkit berdiri
Tidak mampu tanpa bantuan (skor 0)
Mampu dengan usaha > 1x (skor 1)
Mampu dengan usaha 1 x (skor 2)
- Keseimbangan setelah berdiri (5 detik pertama)
Tidak mantap (kaki bergerak-gerak) (skor 0)
Mantap tapi menggunakan bantuan (skor 1)
Mantap tanpa menggunakan bantuan (skor 2)
- Keseimbangan saat berdiri (setelah 5 detik pertama)
Tidak mantap (goyah) (skor 0)
Mantap tapi sikap kaki lebar (tumit-tumit medial
terpisah >10 cm) dan menggunakan bantuan (skor 1)
Mantap dengan sikap kaki sempit (skor 2)
- Berputar 3600

34
Goyah (skor 0)
Berhenti sesaat (skor 1)
Mantap (skor 2)
- Duduk kembali
Tidak aman (tejatuh sendiri ke kursi) (skor 0)
Menggunakan lengan untuk bantuan (skor 1)
(gerakan tidak halus)
Aman (gerakan halus) (skor 2)
Balance score = ........./ 16
Total skor Tinetti Gait and Balance Assessment tool Test = 28
Makna skor :
- LRF (Low Risk of Fall) = 25-27
- MRF (Moderat Risk of Fall) = 19-24
- HRF (High Risk of Fall) = ≤ 18

DAFTAR PUSTAKA

35
Duthie, J., Cervenka, K., & Waller, S. T. (2007). Environmental justice analysis:
challenges for metropolitan transportation planning. Transportation Research
Record, 2013(1), 8-12.

Lumbantobing, S. M. (2016). Neurologi Klinik (Pemeriksaan Fisik dan Mental).


Jakarta: FKUI.

Perry, J., & Burnfield, J. (2010). Gait analysis: normal and pathological function.
2nd. Thorofare, NJ: Slack Incorporated.

Pudjiastuti, S. S., & Utomo, B. (2003). Fisioterapi pada lansia. Jakarta: EGC.

Setiati, S., & Laksmi, P. W. (2009). Gangguan keseimbangan, jatuh, dan


fraktur. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen IPD FKUI, 812-25.

Srivastava, S., & Sural, S. (2007). Human gait recognition using temporal slices.
Paper presented at the International Conference on Pattern Recognition and
Machine Intelligence.

36

Anda mungkin juga menyukai