Anda di halaman 1dari 48

MAKALAH

PENGARUH LATIHAN BEBAN TERHADAP KEKUATAN OTOT


LANSIA DAN PENGARUH LATIHAN JALAN TANDEM TERHADAP
KESEIMBANGAN LANJUT USIA

Disusun Oleh :

Nama : Firnan Dini Fae

Nim : 1810301010

Kelas : 2A

Jurusan : Fisioterapi

UNIVERSITAS ‘AISYIYAH YOGYAKARTA


( UNISA )
2019

1
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Shalawat serta
salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi
Muhammad SAW yang kita nanti-natikan syafa’atnya di akhirat nanti.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT,karena penulis mampu


untuk menyelesaikan pembuatan makalah dengan judul “PENGARUH LATIHAN
BEBAN TERHADAP KEKUATAN OTOT LANSIA DAN PENGARUH
LATIHAN JALAN TANDEM TERHADAP KESEIMBANGAN LANJUT
USIA”.

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu,
penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya
makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian
apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang
sebesar-besarnya.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya


kepada guru Bahasa Indonesia kami yang telah membimbing dalam menulis
makalah ini.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................ 1


KATA PENGANTAR .............................................................................. 2
DAFTAR ISI ............................................................................................ 3
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 5
1.1 Latar belakang .................................................................. 5
1.2 Rumusan Masalah............................................................. 8
1.3 Tujuan .............................................................................. 8
BAB I TINJAUAN PUSTAKAI ............................................................. 9
2.1 Konsep Dasar Jalan Tandem ............................................... 9
2.1.1 Pengertian Jalan Tandem ....................................... 9
2.1.2 Tujuan Jalan Tandem ............................................... 9
2.1.3 Indikasi dan Kontraindikasi Jalan Tandem ............... 9
2.1.4 Mekanisme Latihan Jalan Meningkatkan
Keseinbangan Tubuh ........................................... 10
2.1.5 Teknik Penatalaksanaan Latian Jalan Tandem ........ 11
2.2 Konsep Dasar Pengertian Keseimbangan Tubuh................ 13
2.2.1 Pengertian Keseimbangan Tubuh......................... 13
2.2.2 Fisiologi Keseimbangan ........................................ 14
2.2.3 Pusat Keseimbangan Tubuh ................................... 16
2.2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keseimbangan 18
2.2.5 Gangguan Keseimbangan ...................................... 21
2.2.6 Penyebab Gangguan Keseimbangan ...................... 21
2.2.7 Tes Keseimbangan ................................................ 21
2.3 Konsep Dasar Lansia ...................................................... 22
2.3.1 Pengertian Lansia .................................................. 22

3
2.3.2 Batasan-batasan Lanjut Usia.................................. 23
2.3.3 Proses Menua ........................................................ 25
2.3.4 Teori-teori Proses Penuaan .................................... 26
2.3.5 Perubahan Perubahan pada Lansia ......................... 29
BAB III PEMBAHASAN ...................................................................... 37
3.1 Gambaran Umum dan Lokasi Penelitian ......................... 37
3.2 Hasil Penelitian ............................................................... 37
3.2.1 Karakteristik Responden ........................................ 37
3.2.2 Data Umum........................................................... 38
3.2.3 Penyajian Data Khusus ........................................ 39
3.3 Data Keseimbangan Tubuh Lansia Sebelum Latihan Jalan
Tandem........................................................................... 41
3.4 Data Keseimbangan Tubuh Setelah dilakukan Latihan Jalan
Tandem........................................................................... 42
3.5 Tabel Hasil dan Pembahasan .............................................. 45
BAB IV PENUTUP ................................................................................ 46
4.1 Kesimpulan ....................................................................... 46
4.2 Saran ................................................................................. 46
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 48

4
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Lanjut usia (lansia) merupakan proses alami yang tidak dapat dihindari oleh
setiap individu. Penuaan (menjadi tua: aging) adalah suatu proses penghilangan
secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti
diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga dapat bertahan
terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita.Pada
tahun 2000, Indonesia merupakan negara urutan ke-4 dengan jumlah lansia paling
banyak sesudah Cina, India, dan USA.

Perkembangan penduduk lansia di Indonesia menarik untuk diamati,


dimana cenderung terjadi peningkatan jumlah lansia dari tahun ke tahun. Kantor
Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat (KESRA) melaporkan, jika tahun
1980 usia harapan hidup 52,2 tahun dan jumlah lansia 7.998.543 orang (5,45%),
maka pada tahun 2006 menjadi 19 juta orang (8,90%) dan usia harapan hidup juga
meningkat (66,2 tahun). Pada tahun 2010 perkiraan penduduk lansia di Indonesia
akan mencapai 23,9 juta atau 9,77 % dan usia harapan hidup sekitar 67,4 tahun.
Badan kesehatan dunia WHO menyatakan bahwa penduduk lansia di Indonesia
pada tahun 2020 mendatang diperkirakan mencapai angka 28,8 juta orang atau
tercatat 11,34%, dengan usia harapan hidup 71,1 tahun.

Peningkatan jumlah lansia di dunia akan bertambah dengan cepat, malahan


akan relatif lebih besar di negara-negara sedang berkembang termasuk di Indonesia.
Menurut data Bureau of the Cencus USA, dilaporkan bahwa Indonesia akan
mengalami kenaikan jumlah lanjut usia sebesar 414% pada tahun 1990-2025.
Angka ini merupakan angka tertinggi di dunia dan menunjukkan bahwa angka
harapan hidup di Indonesia meningkat pesat. Peningkatan angka harapan hidup
lansia menimbulkan berbagai masalah polemik, seperti masalah sosial, psikologis,
dan psikis akibat proses degeneratif pada lansia.

5
Pada lansia terjadi penurunan kapasitas fisik yang ditandai dengan
penurunan massa otot serta kekuatannya, laju denyut jantung maksimal, toleransi
latihan, dan terjadi peningkatan lemak tubuh.2,5Perubahan fisik karena perubahan
komposisi tubuh yang menyertai pertambahan umur umumnya bersifat fisiologis,
misalnya turunnya tinggi badan, berat badan, daya lihat, daya dengar, kemampuan
berbagai rasa, toleransi tubuh terhadap glukosa, fungsi otak, dan kekuatan otot.6
Kualitas fisik yang kurang baik akan menjadi penghambat dalam melaksanakan
aktivitas sehari-hari serta massa otot dan kekuatan otot akan menjadi lemah.
Kelemahan otot pada lansia akan berdampak pada keseimbangan yang berimplikasi
terhadap timbulnya gangguan menjalankan mobilitas fungsional sehingga
meningkatkan risiko tejadinya jatuh yang menyebabkan ketergantungan dalam
menjalankan aktivitas sehari-hari. Sebesar 28-35% lansia di atas 65 tahun
setidaknya jatuh satu kali dalam satu tahun dan meningkat pada usia di atas 75 tahun
sebesar 32-42%. Jadi, sangat penting bagi lansia untuk menjaga dan memelihara
kekuatan otot.

Olahraga merupakan alternatif yang efektif dan aman untuk meningkatkan


atau mempertahankan kebugaran dan kesehatan jika dikerjakan secara
benar.12Salah satu komponen dari kebugaran yang terkait dengan kesehatan umum
ialah kekuatan otot. Penelitian yang dilakukan tahun 2011 pada lansia (usia di atas
60 tahun) yang melakukan latihan kekuatan menyatakan bahwa latihan kekuatan
meningkatkan kekuatan otot dengan meningkatkan massa otot. Massa otot dapat
ditingkatkan melalui pelatihan intensitas 60% sampai 85% dari kekuatan
maksimum. Latihan kekuatan memiliki efek positif terhadap gangguan
kardiovaskuler, diabetes dan osteoporosis. Penelitian yang dilakukan oleh Lee dan
Park tahun 2013 menyatakan bahwa latihan kekuatan tidak hanya meningkatkan
kekuatan tetapi juga meningkatkan keseimbangan lansia. 9,10Berdasarkan uraian
di atas, peneliti tertarik untuk mengetahui pengaruh latihan beban terhadap
kekuatan otot lansia.

6
Lanjut usia (lansia) memiliki banyak penurunan pada fisiologis tubuh,
terutama pada pengontrol keseimbangan seperti perubahan pada postur, penurunan
kekuatan otot, penurunan visual, penurunan propioseptif, gangguan sistem tubuh
dan kadar lemak yang menumpuk pada daerah tertentu (World & Organitation,
2015). Perubahan pada lansia tersebut dapat mengakibatkan kelambanan dalam
bergerak sehingga cenderung mudah goyah dan beresiko jatuh saat beraktifitas.
Dengan bertambahnya usia pada lansia juga akan meningkatkan resiko jatuh karena
mengalami gangguan keseimbangan dan pertambahan usia yang dapat
mengakibatkan lansia rentan mengalami berbagai penyakit.

Keseimbangan bisa dicapai dengan adanya kontrol postural yang baik


dalam kondisi statis dan dinamis. Keseimbangan dipengaruhi oleh pusat gravitasi
Center of Grafity (COG), Line of Gravity (LOG) dan Bidang Tumpu Base of
Support (BOS). Gangguan keseimbangan pada lansia membutuhkan pendekatan
dengan latihan keseimbangan berupa jalan tandem.

Jalan tandem (Tandem Stance) adalah suatu tes dan juga latihan
keseimbangan yang dilakukan dengan berjalan dalam satu garis lurus dengan posisi
tumit kaki menyentuh jari kaki yang lainya dengan berjalan sejauh 3-6 meter,
latihan tersebut dapat meningkatkan keseimbangan postural di bagian lateral, yang
berperan dalam mengurangi resiko jatuh pada lansia. Latihan ini salah satu dari
jenis latihan keseimbangan (balance exercise) dengan melibatkan propioseptif
kestabilan tubuh (Batson, 2009).

3 Latihan jalan tandem ini bertujuan untuk melatih posisi tubuh atau sikap
tubuh, gerak pada tubuh dan koordinasi serta pengontrol keseimbangan (World &
Organitation, 2015). Latihan ini melatih sistem visual dengan cara melihat ke depan
serta memperluas arah pandangan mata untuk dapat berjalan lurus dan juga
mengaktifkan sistem vestibular dan sistem somatosensoris untuk mempertahankan
posisi pada tubuh agar tetap tegak selama berjalan dan melakukan pola jalan yang
benar.

7
Berdasarkan jumlah lansia yang berada di Desa Luwang terdapat 55 yang
ditemui. Lansia dengan berbagai rentang usia dan penyakit akut maupun kronis,
lansia di Desa Luwang banyak yang mengalami LBP, postur lansia yang kifosis dan
mayoritas penduduk di Desa Luwang lansianya masih bekerja sebagai petani. Dari
studi pendahuluan melalui observasi dan wawancara didapatkan 10 orang lansia
yang ditemui, semuanya mengalami gangguan keseimbangan dan 3 diantaranya
mempunyai riwayat jatuh. Sehubungan dengan peningkatan keseimbangan pada
lansia, peneliti tertarik untuk mengetahui pengaruh latihan jalan tandem terhadap
keseimbangan lanjut usia di Desa Luwang, Gatak, Sukoharjo. Dengan pengukuran
untuk menetapkan tingkat keseimbangan dinamis pada lansia menggunakan alat
ukur Time Up and Go Test (TUG). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui pengaruh latihan jalan tandem terhadap keseimbangan lanjut usia di
Desa Luwang, Gatak, Sukoharjo

1.2 Rumusan Masalah


a. Apakah penatalaksanaan jalan tendem pada lansia dapat melatih otot
mereka?
b. Apakah pengaruh latihan beban dapat membuat otot lansia melemah?
c. Apakah latihan beban yang tepat untuk lansia?
1.3 Tujuan
Tujuan dari Makalah ini adalah untuk ;

a. Mengetahui manfaat penatalaksanaan jalan tendem terhadap lansia.

b. Mengetahui manfaat latihan beban terhadap peningkatan otot pada


lansia.

c. Mengetahui pengaruh apa yang terjadi setelah lansia melalukan


latihan beban.

8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Jalan Tandem


2.1.1 Pengertian Jalan Tandem
Latihan Jalan Tandem merupakan suatu tes dan juga latihan yang
dilakukan dengan cara berjalan menentukan garis lurus dalam posisi tumit
kaki menyentuh jari kaki yang lainnya sejauh 3-6 meter (Batson et al., 2009).
Merupakan salah satu metode untuk menumbuhkan kebiasaan dalam
mengontrol postur tubuh langkah demi langkah yang dilakukan dengan
bantuan kognisi dan koordinasi otot trunk, lumbal spine, pelvic, hip, otot-otot
perut hingga ankle (Batson et al., 2009).
2.1.2 Tujuan Jalan Tandem
Jalan tandem merupakan salah satu latihan yang bertujuan melatih
sikap atau posisi tubuh, mengontrol keseimbangan, koordinasi otot dan
gerakan tubuh. Latihan jalan tandem digunakan pula untuk melatih
parameter yang terkait dengan keseimbangan individu, kontrol mutlak atas
mobilitas dan ketepatan mobilitas (Batson et al., 2009).
Selain digunakan sebagai latihan, jalan tandem juga digunakan
sebagai tes dalam membantu diagnosa pada ataksia terutama ataksia trunkal
yang disebabkan oleh kerusakan vermisserebelar atau jaringan yang terkait,
karena penderita gangguan ini memiliki pola jalan yang goyah dan memiliki
basis yang lebar (Batson et al., 2009).

Jalan tandem juga digunakan sebagai tes untuk menentukan


kemampuan individu untuk mengkoordinasikan gerakan motoriknya.
Individu dengan masalah koordinasi gerak motoriknya tidak akan lulus
dalam tes ini (Batson et al., 2009).
2.1.3 Indikasi dan Kontraindikasi Jalan Tandem

9
Indikasi jalan tandem adalah : Orang yang mengalami gangguan
keseimbangan tubuh yang disebabkan oleh fraktur extremitas inferior,
dislokasi extremitas inferior, HNP, LBP, stroke, vertigo (Batson et al, 2009)

Kontraindikasi jalan tandem yaitu seseorang dengan kondisi ataksia


cebellar tidak mampu menjaga keseimbangan bahkan dengan kondisi mata
terbuka, bahkan ketika langkah pertamanya. Orang yang mengalami suatu
kelumpuhan pada ekstremitas bawah (Batson et al, 2009)
2.1.4 Mekanisme Latihan Jalan Meningkatkan Keseinbangan Tubuh
Keseimbangan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti sistim
informasi sensoris yang meliputi visual, vestibular, somatosensoris, respon
otot postural yang sinergis, kekuatan otot, lingkup gerak sendi dan sistim
adaptif. Latihan keseimbangan adalah latihan yang mengupayakan agar
terciptanya keseimbangan postural dan bagian lateral dengan melibatkan
proprioseptif. Latihan jalan tandem melatih posisi tubuh, koordinasi otot dan
gerakan tubuh. Latihan jalan tandem ini melatih secara visual dengan melihat
ke depan serta memperluas arah pandangan agar memperluas arah
pandangan untuk dapat berjalan lurus. Latihan jalan tandem juga
mengaktifkan somatosensoris dan vestibular (proprioceptive) yang
mempertahankan posisi tubuh tetap tegak selama berjalan, serta melakukan
pola jalan yang benar. Jalan tandem dilihat dari gerakan kaki dan dimana
letak tekanan pada area telapak kaki dan cara bergerak maju. Dalam
gangguan cerebellar atau kelemahan vestibular dapat menghasilkan gerakan
yang condong kesisi yang terkena. Gerakan-gerakan korektif kecil
merupakan hal yang normal, itu menunjukkan bahwa seseorang dapat
merasakan input proprioseptif yang diterima.
Latihan proprioseptif melibatkan gerakan lambat dalam setiap
perpindahan gerak dan posisi sehingga nuclei subcortical dan basal ganglia
untuk menganalisis sensasi posisi dan mengirimkan umpan balik berupa
kontraksi otot yang diharapkan.Selanjutnya latihan ini diadaptasi sebagai
stabilitas fungsional yang baru.

10
Latihan proprioseptif bermanfaat meningkatkan keseimbangan pada
usia lanjut dikarenakan menurunnya fungsi motorik pada sistem saraf pusat,
sehingga dengan aktivasi motorik tersebut meningkatkan respon
proprioseptif yang dapat meningkatkan stabilitas sendi dan meningkatkan
keseimbangan pada usia lanjut. Latihan proprioseptif yang hanya
menghasilkan neural adaptasi dapat dilatih selama 2-4 minggu, namun
proprioseptif yang adekuat dihasilkan dengan latihan yang dilakukan selama
4-8 minggu, karena pada waktu tersebut telah terjadi adaptasi neural dan
adaptasi serabut otot. Keseimbangan yang adekuat dicapai ketika
proprioseptif yang didukung oleh rekruitmen motor unit yang meningkatkan
dan adanya hipertropi (adaptasi serabut otot) yang membantu dalam stabilitas
sendi dan kekuatan otot dengan dosis yang dianjurkan untuk dapat
menghasilkan keseimbangan yang adekuat adalah 4-8 minggu (Batson et al.,
2009).
2.1.5 Teknik Penatalaksanaan Latian Jalan Tandem
Tehnik Pelaksanaan Latihan Jalan Tandem menurut Batson et al.,
2009 adalah :
1. Teknik pertama: Kedua kaki bersampingan ditujukan untuk melatih
keseimbangan kaki yang dilakukan dengan cara merapatkan kedua
kakinya dan berdiri tegak selama 10 detik atau semampunya. Selama 10
detik klien dapat sambil menggerak-gerakkan kepala ke kiri, kanan, atas,
dan bawah. Selanjutnya, teknik yang sama dilakukan namun dengan
kondisi mata tertutup
Gambar 2.1

11
(Sumber : Batson, 2009)
Teknik kedua: Semi tendem standing adalah gerakan untuk melatih
keseimbangan kaki yang dilakukan dengan cara meletakan tumit kaki di
sebelah ibu jari kaki sebelahnya dan bertahan selama 10 detik atau
semampunya. Selama 10 detik klien dapat sambil menggerak-gerakkan

Gambar 2.2

(Sumber : Batson et al, 2009)


2. Teknik ketiga: full tendem standing adalah gerakan untuk melatih
keseimbangan kaki yang dilakukan dengan cara meletakkan tumit kaki
di ujung ibu jari kaki sebelahnya. Selama 10 detik klien dapat sambil
menggerak-gerakkan kepala ke kiri, kanan, atas, dan bawah. Subjek
diminta untuk berjalan maju pada jalur (satu garis lurus) dengan
menempatkan kaki kanan menyentuh tumit kaki kiri dan berjalan sejauh
3-6 meter. Lakukan sebanyak 10 kali kemudian istirahat.
Gambar 2.3

(Sumber : Batson et al, 2009


3. kepala ke kiri, kanan, atas, dan bawah.

12
Latihan Jalan Tandem dapat dilakukan dengan mata terbuka dan
tertutup. Latihan Jalan Tandem yang dilakukan dengan mata yang terbuka
akan lebih mudah untuk dilakukan karena adanya korelasi visual terhadap
vestibular dan propriseptif. Sedangkan Jalan Tandem yang dilakukan dengan
mata tertutup dilakukan untuk menguji fungsi vestibular. Latihan dan tes ini
akan berhasil dilakukan jika input dari cerebelar dan proprioseptif normal.
Dosis yang dianjurkan untuk dapat menghasilkan keseimbangan yang
adekuat adalah 2-4 minggu (Batson et al., 2009).

2.2 Konsep Dasar Pengertian Keseimbangan Tubuh


2.2.1 Pengertian Keseimbangan Tubuh
Keseimbangan adalah kemampuan untuk mempertahankan
equilibrium baik statis maupun dinamis tubuh ketika di tempatkan pada
berbagai posisi (Delitto, 2003). Equilibrium adalah kemampuan tubuh untuk
mempertahankan posisi pada waktu bergerak. Keseimbangan adalah
kemampuan untuk mempertahankan pusat gravitasi atas dasar dukungan,
biasanya ketika dalam posisi tegak.
Menurut Gezt (1991, dalam Setiawan, 2008) bahwa keseimbangan
dikatakan sebagai “satu keluarga penyesuaian” yang bertujuan untuk
mempertahankan kepala dan tubuh terhadap gravitasi dan kekuatan dari luar
lainnya ,mempertahankan tegak dan seimbangannya pusat masa tubuh dalam
bidang tumpu, dan menstabilkan bagian tubuh tertentu sementara bagian
tubuh lainnya bergerak. Keseimbangan terbagi menjadi 2 yaitu statis dan
dinamis (Abrahamova & Hlavacka, 2008).

Keseimbangan statis adalah kemampuan untuk mempertahankan


posisi tubuh dimana Center of Gravity (COG) tidak berubah. Contoh
keseimbangan statis saat berdiri dengan satu kaki, menggunakan papan
keseimbangan. Keseimbangan dinamis adalah kemampuan untuk
mempertahankan posisi tubuh dimana (COG) selalu berubah, contoh saat
berjalan.

13
2.2.2 Fisiologi Keseimbangan
Banyak komponen fisiologis dari tubuh manusia memungkinkan kita
untuk melakukan reaksi keseimbangan. Bagian paling penting adalah
proprioception yang menjaga keseimbangan. Kemampuan untuk merasakan
posisi bagian sendi atau tubuh dalam gerak (Brown et al., 2011). Beberapa
jenis reseptor sensorik di seluruh kulit, otot, kapsul sendi, dan ligamen
memberikan tubuh kemampuan untuk mengenali perubahan lingkungan baik
internal maupun eksternal pada setiap sendi dan akhirnya berpengaruh pada
peningkatan keseimbangan. Konsep ini penting dalam pengaturan ortopedi
klinis karena fakta bahwa meningkatkan kemampuan keseimbangan pada
atlet membantu mereka untuk mencapai kinerja atletik yang unggul
(Riemann et al., 2012). Proprioception dihasilkan melalui respon secara
simultan, visual, vestibular, dan sistem sensorimotor, yang masing-masing
memainkan peran penting dalam menjaga stabilitas postural. Paling
diperhatikan dalam meningkatkan proprioception adalah fungsi dari sistem
sensorimotor. Meliputi integrasi sensorik, motorik, dan komponen
pengolahan yang terlibat dalam mempertahankan homeostasis bersama
selama tubuh bergerak, sistem sensorimotor mencakup informasi yang
diterima melalui reseptor saraf yang terletak di ligamen, kapsul sendi, tulang
rawan, dan geometri tulang yang terlibat dalam struktur setiap sendi.
Mechanoreceptors sensorik khusus bertanggung jawab secara kuantitatif
terhadap peristiwa hantaran mekanis yang terjadi dalam jaringan menjadi
impuls saraf (Riemann et al., 2012). Mereka yang bertanggung jawab untuk
proprioception umumnya terletak di sendi, tendon, ligamen, dan kapsul sendi
sementara tekanan reseptor sensitif terletak di fasia dan kulit (Riemann et al.,
2012).
Empat jenis utama dari mechanoreceptors yang membantu dalam
proprioception yaitu, termasuk reseptor Ruffini, reseptor Pacinian, Golgi-
tendonorgan (GTO), dan muscle spindle. Ruffini dan Pacinian reseptor
berhubungan dengan sensasi sentuhan dan tekanan pada umumnya terletak

14
di kulit (Shier et al., 2014). Reseptor Ruffini dianggap sebagai reseptor statis
dan dinamis berdasarkan ambang rendahnya, reseptor ini lambat-
mengadaptasi karakteristik. Melalui perubahan impuls tekanan terjadi
perubahan tarik statis dan dinamis pada kulit dan sangat sensitif terhadap
peregangan (Rieman et al., 2012). Reseptor Pacinian, agak cepat beradaptasi,
namun reseptor dengan ambang batas rendah yang dianggap reseptor lebih
dinamis (Rieman et al., 2012). Sementara juga sensor tekanan, reseptor
Pacinian mendeteksi tekanan berat dan mengenali perubahan percepatan dan
perlambatan gerak (Shier et al., 2014). Golgi tendon Organ dan muscle
spindle mempunyai yang lebih besar untuk mengetahui posisi sendi selama
gerak. Pertama GTOs berada di persimpangan musculotendinous dan
bertanggung jawab untuk memantau kekuatan kontraksi otot untuk
mencegah otot dari kelebihan beban (Brown et al., 2011). Terhubung ke
satu set serat otot dan diinervasi oleh neuron sensorik, GTOs memiliki
ambang batas yang tinggi dan dirangsang oleh ketegangan otot yang
meningkat.
Keseimbangan tubuh dipengaruhi oleh system indera yang terdapat
di tubuh manusia bekerja secara bersamaan jika salah satu system mengalami
gangguan maka akan terjadi gangguan keseimbangan pada tubuh
(imbalance), system indera yang mengatur/mengontrol keseimbangan
seperti visual, vestibular, dan somatosensoris (tactile & proprioceptive).

Gambar 2.4 Proses Fisiologi Terjadinya Keseimbangan

(Sumber: Hanes DA 2006)

15
2.2.3 Pusat Keseimbangan Tubuh
1. Sistem Vestibuler
Komponen vestibular merupakan sistem sensoris yang berfungsi
penting dalam keseimbangan, kontrol kepala, dan gerak bola mata.
Reseptor sensoris vestibular berada di dalam telinga. Reseptor pada
sistem vestibular meliputi kanalissemisirkularis, utrikulus, serta
sakulus. Reseptor dari sistem sensoris ini disebut dengan sistem
labyrinthine. Sistem labyrinthine mendeteksi

perubahan posisi kepala dan percepatan perubahan sudut. Melalui


refleks vestibuleoccular, mereka mengontrol gerak mata, terutama
ketika melihat objek yang bergerak. Mereka meneruskan pesan melalui
saraf kranialis VIII ke nukleus vestibular yang berlokasi di batang otak.
Beberapa stimulus tidak menuju nukleus vestibular tetapi ke serebelum,
formatioretikularis, thalamus dan korteks serebri .
Nukleus vestibular menerima masukan (input) dari reseptor
labyrinth, retikular formasi, dan serebelum. Keluaran (output) dari
nucleus vestibular menuju ke motor neuron melalui medulaspinalis,
terutama ke motor neuron yang menginervasi otot-otot proksimal,
kumparan otot pada leher dan otot- otot punggung (otot-otot postural).
Sistem vestibular bereaksi sangat cepat sehingga membantu
mempertahankan keseimbangan tubuh dengan mengontrol otot-otot
postural (Watson et al, 2008)
Gambar 2.5 Sistem Vestibular

(Sumber : Komala, 2014)

16
2. Sistem Somatosensori
Sistem somatosensoris terdiri dari taktil atau proprioseptif serta
persepsi- kognitif. Informasi proprioseptif disalurkan ke otak melalui
kolumna dorsalis medulla spinalis. Sebagian besar masukan (input)
proprioseptif menuju serebelum, tetapi ada pula yang menuju ke korteks
serebri melalui lemniskusmedialis dan thalamus (Irfan, 2010).
Kesadaran akan posisi berbagai bagian tubuh dalam ruang sebagian
bergantung pada impuls yang datang dari alat indra dalam dan sekitar
sendi. Alat indra tersebut adalah ujung-ujung saraf yang beradaptasi
lambat di sinovial dan ligamentum. Impuls dari alat indra ini dari
reseptor raba di kulit dan jaringan lain, serta otot di proses di korteks
menjadi kesadaran akan posisi tubuh dalam ruang (Irfan, 2010).
Gambar 2.6 Sistem Somatosensori

(Sumber : Jensen dan Eric, 2005)

3. Sistem Visual
Visual memegang peran penting dalam sistem sensoris. Cratty &
Martin (1969) dalam Irfan 2010, menyatakan bahwa keseimbangan akan
terus berkembang sesuai umur, mata akan membantu agar tetap fokus
pada titik utama untuk mempertahankan keseimbangan, dan sebagai
monitor tubuh selama melakukan gerak statik atau dinamik. Penglihatan
juga merupakan sumber utama informasi tentang lingkungan dan tempat
kita berada, penglihatan memegang peran penting untuk
mengidentifikasi dan mengatur jarak gerak sesuai lingkungan tempat

17
kita berada. Penglihatan muncul ketika mata menerima sinar yang
berasal dari obyek sesuai jarak pandang.
Dengan informasi visual, maka tubuh dapat menyesuaikan atau
bereaksi terhadap perubahan bidang pada lingkungan aktivitas sehingga
memberikan kerja otot yang sinergis untuk mempertahankan
keseimbangan tubuh (Irfan, 2010).
Gambar 2.7 Sistem Visual

mber : Prasad And Galleta, 2011)


2.2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keseimbangan
Faktor-faktor yang mempengaruhi keseimbangan menurut
Suhartono (2015), adalah :
1. Pusat Gravitasi (Center of Gravity – COG)
Pusat gravitasi terdapat pada semua objek, pada benda, pusat
gravitasi terletak tepat di tengah benda tersebut. Pusat gravitasi adalah
titik utama pada tubuh yang akan mendistribusikan massa tubuh secara
merata. Bila tubuh selalu ditopang oleh titik ini, maka tubuh dalam
keadaan seimbang. Pada manusia, pusat gravitasi berpindah sesuai
dengan arah atau perubahan berat. Pusat gravitasi manusia ketika berdiri
tegak adalah tepat di atas pinggang diantara depan dan belakang vertebra
sakrum kedua. Derajat stabilitas tubuh dipengaruhi oleh empat faktor,
yaitu : ketinggian dari titik pusat gravitasi dengan bidang tumpu, ukuran
bidang tumpu, lokasi garis gravitasi dengan bidang tumpu, serta berat
badan (Nugroho, 2011).
2. Garis Gravitasi (Line of Gravity – LOG)

18
Garis gravitasi merupakan garis imajiner yang berada vertikal
melalui pusat gravitasi dengan pusat bumi. Hubungan antara garis
gravitasi, pusat gravitasi dengan bidang tumpu adalah menentukan
derajat stabilitas tubuh .
3. Bidang Tumpu (Base of Support – BOS)
Bidang tumpu merupakan bagian dari tubuh yang berhubungan
dengan permukaan tumpuan. Ketika garis gravitasi tepat berada di
bidang tumpu, tubuh dalam keadaan seimbang. Stabilitas yang baik
terbentuk dari luasnya area bidang tumpu. Semakin besar bidang tumpu,
semakin tinggi stabilitas.

Misalnya berdiri dengan kedua kaki akan lebih stabil dibanding


berdiri dengan satu kaki. Semakin dekat bidang tumpu dengan pusat
gravitasi, maka stabilitas tubuh makin tinggi. Posisi tubuh ketika berdiri
dapat dilihat kesimetrisannya dengan kaki selebar sendi pinggul, lengan
di sisi tubuh, dan mata menatap ke depan. Walaupun posisi ini dapat
dikatakan sebagai posisi yang paling nyaman, tetapi tidak dapat bertahan
lama, karena seseorang akan segera berganti posisi untuk mencegah
kelelahan. Pada posisi berdiri seimbang, susunan saraf pusat berfungsi
untuk menjaga pusat massa tubuh (center of body mass) dalam keadaan
stabil dengan batas bidang tumpu tidak berubah kecuali tubuh
membentuk batas bidang tumpu lain, misalnya : melangkah . Hubungan
pusat gravitasi dengan luas bidang tumpu dalam berbagai posisi yang
mempengaruhi stabilitas tubuh dapat dilihat pada gambar dibawah ini :
Gambar 2.8 Bidang Tumpu

(Sumber : Dhaenkpedro, 2009)

19
4. Kecepatan Reaksi
Kecepatan reaksi adalah waktu yang diperlukan untuk memberikan
respon kinetik setelah menerima suatu stimulus atau rangsangan, karena
melalui stimulus reaksi tersebut mendapat sumber dari : visual,
vestibular, rabaan maupun gabungan antara pendengaran dan rabaan
(Wahjoeadi, 2010).
5. Koordinasi Neuromuskular
Koordinasi neuromuskular merupakan kemampuan untuk
mengintegrasi indera (visual, auditori, dan proprioceptive untuk
mengetahui jarak pada posisi tubuh) dengan fungsi motorik untuk
menghasilkan akurasi dan kemampuan gerak .
6. Kekuatan otot
Kekuatan otot adalah kemampuan otot atau group otot
menghasilkan tegangan dan tenaga selama usaha maksimal baik secara
dinamis maupun secara statis. Kekuatan otot dihasilkan oleh kontraksi
otot yang maksimal. Otot yang kuat merupakan otot yang dapat
berkontraksi dan rileksasi dengan baik, jika otot kuat maka
keseimbangan dan aktivitas sehari-hari dapat berjalan dengan baik
seperti berjalan, lari, bekerja ke kantor, dan lain sebagainya.
7. Usia
Letak titik berat tubuh berkaitan dengan pertambahan usia. Pada
anak- anak letaknya lebih tinggi karena ukuran kepala anak relatif lebih
besar dari kakinya yang lebih kecil. Keadaan ini akan berpengaruh pada
keseimbangan tubuh, dimana semakin rendah letak titik berat terhadap
bidang tumpu akan semakin mantap atau stabil posisi tubuh.
8. Jenis Kelamin
Meski banyak sumber yang menyatakan bahwa jenis kelamin tidak
berpengaruh pada keseimbangan, ada yang harus dipertimbangkan
terkait pengaruh jenis kelamin pada keseimbangan. Perbedaan
keseimbangan tubuh berdasarkan jenis kelamin antara pria dan wanita

20
disebabkan oleh adanya perbedaan letak titik berat. Pada pria letaknya
kira-kira 56% dari tinggi badannya sedangkan pada wanita letaknya
kira-kira 55% dari tinggi badannya. Pada wanita letak titik beratnya
rendah karena panggul dan paha wanita relatif lebih berat dan
tungkainya pendek
9. Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik adalah suatu gerakan fisik yang dapat menyebabkan
terjadinya kontraksi otot. Aktivitas fisik dapat meningkatkan kebugaran
jasmani, koordinasi, kekuatan otot yang berdampak pada perbaikan
keseimbangan tubuh.
2.2.5 Gangguan Keseimbangan
Sebuah gangguan yang menyebabkan seseorang merasa pusing,
goyang, dan seperti berpindah tempat, dan seakan akan dunia terasa berputar.
Sebuah organ telinga bagian dalam yaitu labyrinth merupakan organ yang
berperan dalam mengatur keseimbangan da ini merupakan system yang
bekerja didalam tubuh yaitu sistem vestibular. Sistem vestibular berinteraksi
dengan sistem tubuh seperti visual dan sceletal system, untuk menjaga
keseimbangan posisi tubuh yang mana sistem ini berhubungan dengan otak
dan sistem saraf, dapat menjadi masalah keseimbangan .
2.2.6 Penyebab Gangguan Keseimbangan
Penyebab gangguan keseimbangan adalah disebabkan oleh infeksi
virus, bakteri, kegemukan, trauma kepala (Head Injury), gangguan sirkulasi
darah yang mempengaruhi telinga bagian dalam atau otak, faktor usia, dan
gangguan vestibular pada bagian tepi yaitu gangguan pada lybrinth,
gangguan vestibular pada bagian tengah yaitu sebuah problem pada otak dan
saraf yang menghubungkannya.
2.2.7 Tes Keseimbangan
TUGT (Time Up and Go Test) merupakan salah satu alat ukur pada
gangguan keseimbangan. Pelaksanaannya adalah subjek berjalan sesuai
dengan kemampuannya menempuh jarak 3 meter menuju ke dinding,

21
kemudian berbalik tanpa menyentuh dinding dan berjalan kembali menuju
kursi dan kemudian duduk kembali bersandar.
Waktu dihitung sejak aba-aba “mulai” hingga subjek duduk
bersandar kembali terhitung 10 detik sampai 3 menit. Nilai Rerata pada
TUGT dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 2.1. Penilaian Keseimbangan
Interprestasi Status
≤10 detik Mobilitas bebas
≤ 20 detik Mobilitas baik
≤ 30 detik Mobilitas tidak stabil
Lebih dari 30 detik Resiko jatuh tinggi
Sumber : Nilai Normal Time Up and Go Test (Podsiadlo,1991
dalam Darmojo 2012 )

Subjek tidak diperbolehkan mencoba atau berlatih lebih dulu,


stopwatch mulai menghitung setelah pemberian aba-aba mulai dan berhenti
menghitung saat subyek kembali pada posisi awal atau duduk. Bila kurang
dari 10 detik, maka subjek dikatakan normal. Bila kurang dari 20 detik, maka
dapat dikatakan baik. Subjek dapat berjalan sendiri tanpa membutuhkan
bantuan. Namun bila lebih dari 30 detik, maka subjek dikatakan memiliki
problem dalam berjalan dan membutuhkan bantuan saat berjalan. Sedangkan
pada subjek yang lebih lama dari 40 detik harus mendapat pengawasan yang
optimal karena sangat beresiko untuk jatuh (Shumway, 2000). Nilai normal
pada usia lanjut sehatumur 75 tahun, rata- rata waktu tempuh yang
dibutuhkan adalah 8,5 detik (Podsiadlo et.al., 1991 dalam Darmojo 2009).

2.3 Konsep Dasar Lansia


2.3.1 Pengertian Lansia
Lansia adalah seseorang yang telah mencapai umur 60 tahun ke atas.
Menurut WHO dan Undang – Undang No 13 tahun 1998 tentang
kesejahteraan lanjut usia pasal 1 ayat 2 yang menyebutkan bahwa umur 60

22
tahun adalah usia permulaan tua. Organisasi kesehatan dunia (WHO)
mengatagorikan ada 4 golongan lansia yaitu : 1. Usia pertengahan (middle
age) 45 – 59 tahun, 2. Lanjut usia (elderly) 60 – 74 tahun 3. Lanjut usia tua
(old) 75 -90 tahun, 4. Usia sangat tua (very old) yaitu yang lebih dari 90
tahun.
Proses penuaan adalah siklus kehidupan yang ditandai dengan
tahapan- tahapan menurunnya berbagai fungsi organ tubuh, yang ditandai
dengan semakin rentannya tubuh terhadap berbagai serangan penyakit yang
dapat menyebabkan kematian misalnya pada sistem kardiovaskuler dan
pembuluh darah, pernafasan, pencernaan, endokrin dan lain sebagainya. Hal
tersebut disebabkan seiring meningkatnya usia sehingga terjadi perubahan
dalam struktur dan fungsi sel, jaringan, serta sistem organ. Perubahan
tersebut pada umumnya mengaruh pada kemunduran kesehatan fisik dan
psikis yang pada akhirnya akan berpengaruh pada ekonomi dan sosial lansia.
Sehingga secara umum akan berpengaruh pada activity of daily living
(Fatma, 2010).
Menua atau menjadi tua adalah suatu keadaaan yang terjadi di dalam
kehidupan manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak
hanya dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak permulaan
kehidupan. Menjadi tua merupakan proses alamiah yang berarti seseorang
telah melalui tiga tahap kehidupan, yaitu anak, dewasa dan tua (Nugroho,
2006).
2.3.2 Batasan-batasan Lanjut Usia
Usia yang diajasikan patokan untuk lanjut usia berbeda-beda
umumnya berkisaran antara 60 – 65 tahun. Beberapa pendapat para ahli
tentang batasan usia adalah sebagai berikut : (Padila, 2013)
1. Menurut WHO ada 4 tahap yaitu :
a. Usia pertengahan (middle age) usia 45 – 59 tahun
b. Lanjut usia (elderly) usia 60 -74 tahun
c. Lanjut usia tua (old) usia 75 – 90 tahun

23
d. Usia sangat tua (very old) usia > 90 tahun
2. Menurut Hurlock :
a. Early old age (usia 60 – 70 tahun)

b. Advanced old age (usia > 70 tahun)


3. Menurut Burnsie (1979) :
a. Young old (usia 60 – 69 tahun)
b. Middle age old (usia 70 -79 tahun)
c. Old – old usia 80 -89 tahun)
d. Very old – old (usia > 90 tahun)
4. Menurut bee :
a. Masa dewasa muda (usia 18 -25 tahun)
b. Masa dewasa awal (usia 25 – 40 tahun)
c. Masa dewasa tengah (usia 40-65 tahun)
d. Masa dewasa lanjut (usia 65 – 75 tahun)
e. Masa dewasa sangat lanjut (usia > 75 tahun)
5. Menurut Prof. Dr. Koesoemanto Setyonegroho :
a. Usia dewasa muda (elderly adulthood) usia 18/20 – 25 tahun
b. Usia dewasa penuh (midlle years) atau maturitas usia 25 – 60/65 tahun
c. Lanjut usia (geriatric age) usia > 65/70 tahun , terbagi atas :
1) Young old (usia 70 – 75 tahun)
2) Old (usia 75 – 80 tahun)
3) Very old (usia > 80 tahun)
6. Menurut sumber lain :
a. Elderly (usia 60-65 tahun)
b. Junior old age (usia > 65 – 75 tahun)
c. Formal old age (usia > 75 – 90 tahun)

d. Longevity old age ( usia > 90-120 tahun )


7. Menurut DEPKES RI :
a. Kelompok usia dalam masa virilitas (45-54 tahun), merupakan
kelompok yang berada dalam keluarga dan masyarakat luas.

24
b. Kelompok usia dalam masa pra-senium (55-64 tahun), merupakan
kelompok yang berada dalam keluarga, organisasi usia lanjut dan
masyarakat pada umumnya.
c. Kelompok usia masa senecrus (>65 tahun), merupakan kelompok yang
umumnya hidup sendiri, terpencil, hidup dalam panti, penderita
penyakit berat
Menurut BKKBN 1998, penduduk lansia adalah penduduk yang
mengalami proses penuaan secara terus menerus, ditandai dengan penurunan
daya tahan fisik dan rentan terhadap penyakit yang mengakibatkan kematian.
Secara ekonomi lansia dianggap sebagai beban sumber daya. Lansia
merupakan kelompok umur yang mengalami berbagai penurunan daya tahan
tubuh dan berbagai tekanan psikologis (Murwani ,2010 dalam Padila 2013).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa lansia adalah kelompok orang
yang berumur lebih dari 50 tahun yang secara fisiologis mengalami
kemunduran baik dari segi biologis, ekonomi maupun sosial secara bertahap
hingga akhirnya sampai pada kematian.
Di Indonesia batasan usia lanjut adalah 60 tahun ke atas , terdapat
dalam UU no 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia . Menurut UU
tersebut diatas lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke
atas , baik pria maupun wanita .
2.3.3 Proses Menua
Merupakan proses yang normal terjadi pada setiap manusia dan
bukan merupakan suatu penyakit. Penuaan juga dapat didefenisikan sebagai
suatu proses menghilangnya secara perlahan kemampuan jaringan untuk
memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya
sehingga lebih rentan terhadap infeksi dan tidak dapat memperbaiki
kerusakan yang dideritanya. Penuaan merupakan proses ilmiah yang terjadi
secara terus-menerus dalam kehidupan manusia. Proses menua merupakan
proses sepanjang hidup. Menjadi tua merupakan proses alamiah, yang berarti
seseorang telah melalui tiga tahap kehidupan yaitu anak, dewasa dan tua

25
(Nugroho, 2008).
Menjadi tua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan
kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri dan
mempertahankan struktur dan fungsi normalnya. Keadaan ini menyebabkan
jaringan tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan
memperbaiki kerusakan yang diderita. Disimpulkan bahwa manusia secara
perlahan mengalami kemunduran struktur dan fungsi organ. Kemunduran
struktur dan fungsi organ pada lansia dapat mempengaruhi kemandirian dan
kesehatan lanjut usia (Nugroho, 2008).
Menjadi tua merupakan proses alami yang berarti seseorang telah
melalui tahap – tahap kehidupannya yaitu neonatus, toodler, pra school,
school, remaja, dewasa dan lansia. Tahap berbeda ini dimulai baik secara
biologis maupun psikologis. Proses penuaan terdiri atas teori – teori tentang
penuaan pada tingkat sel, proses penuaan menurut sistem imun, dan aspek
psikologis pada proses penuaan (Padila, 2013).
2.3.4 Teori-teori Proses Penuaan
Menurut Kholifah (2016) teori proses menua dibedakan menjadi dua
yaitu:
1. Teori-teori Biologi
a. Teori genetik dan mutasi (somatic mutatie theory)
Menurut teori ini menua telah terprogram secara genetik untuk
spesies- spesies tertentu. Menua terjadi sebagai akibat dari perubahan
biokimia yang diprogram oleh molekul-molekul/ DNA dan setiap sel
pada saatnya akan mengalami mutasi. Sebagai contoh yang khas adalah
mutasi dari sel- sel kelamin (terjadi penurunan kemampuan fungsional
sel)
b. Pemakaian dan rusak
Kelebihan usaha dan stres menyebabkan sel-sel tubuh lelah (rusak).
August Weilssman berpendapat bahwa sel somatik normal memiliki
kemampuan yang terbatas dalam bereplikasi dan menjalankan fungsinya.

26
Kematian sel terjadi karena jaringan yang sudah tua tidak beregenerasi.
Teori wear and tear mengungkapkan bahwa organisme memiliki energi
tetap yang tersedia dan akan habis sesuai waktu yang diprogramkan.
Teori ini terjadi karena kelebihan usaha dan stress yang menyebabkan
sel-sel tubuh menjadi lelah (pemakaian). Hal ini berkaitan dengan
kekuatan otot, sendi dan tulang pada lansia, karena pertambahan usia,
maka kekuatan otot berkurang, sehingga lansia cenderung mengalami
gangguan keseimbangan sehingga beresiko jatuh (Jusnimar, 2013).
c. Reaksi dari kekebalan sendiri (auto immune theory)
Di dalam proses metabolisme tubuh, suatu saat diproduksi suatu zat
khusus. Ada jaringan tubuh tertentu yang tidak tahan terhadap zat
tersebut sehingga jaringan tubuh menjadi lemah dan sakit. Seiring
bertambahnya usia maka imunitas menjadi menurun, pada lansia
kekebalan terhadap penyakit akan menurun sehingga lansia rentan
terhadap penyakit. Penyakit yang dialami lansia akan berpengaruh pada
kesehatannya (Jusnimar, 2013).
d. Teori “immunology slow virus” (immunology slow virus theory)
Sistem immune menjadi efektif dengan bertambahnya usia dan
masuknya virus kedalam tubuh dapat menyebabkan kerusakan organ
tubuh.
e. Teori stres
Menua terjadi akibat hilangnya sel-sel yang biasa digunakan tubuh.
Regenerasi jaringan tidak dapat mempertahankan kestabilan lingkungan
internal, kelebihan usaha dan stres menyebabkan sel-sel tubuh lelah
terpakai.
f. Teori radikal bebas
Radikal bebas dapat terbentuk dialam bebas, tidak stabilnya radikal
bebas (kelompok atom) mengakibatkan osksidasi oksigen bahan-bahan
organik seperti karbohidrat dan protein. Radikal bebas ini dapat
menyebabkan sel- sel tidak dapat regenerasi. Normalnya radikal bebas

27
akan dihancurkan oleh enzim pelindung, namun beberapa berhasil lolos
dan berakumulasi di dalam organ tubuh. Radikal bebas yang terdapat
dilingkungan seperti kendaraan bermotor, radiasi, sinar ultraviolet,
mengakibatkan perubahan pigmen dan kolagen pada proses penuaan
(Setiabudhi & Hardiwinoto dalam Suhartin, 2010).
g. Teori rantai silang
Sel-sel yang tua atau usang, reaksi kimianya menyebabkan ikatan
yang kuat, khususnya jaringan kolagen. Ikatan ini menyebabkan
kurangnya elastis, kekacauan dan hilangnya fungsi.
h. Teori program
Kemampuan organisme untuk menetapkan jumlah sel yang
membelah setelah sel-sel tersebut mati.
i. Teori Umur Panjang dan Penuaan
Palmore (1987) mengemukakan dari beberapa hasil studi, terdapat
faktor- faktor tambahan berikut yang dianggap berkontribusi untuk umur
panjang: tertawa, ambisi rendah, rutin setiap hari, percaya pada Tuhan,
hubungan keluarga baik, kebebasan dan kemerdekaan, terorganisir,
perilaku yang memiliki tujuan, dan pandangan hidup yang positif (Carlo
dalam Suhartin, 2010).
j. Teori Harapan Hidup Aktif dan Kesehatan Fungsional
Penyediaan layanan kesehatatan juga tertarik dalam masalah ini
karena kualitas hidup tergantung secara signifikan berkaitan dengan
tingkat fungsi. Pendekataan fungsional perawatan pada lansia
menekankan pada hubungan yang kompleks antara biologis, sosial, dan
psikologis mempengaruhi kemampuan fungsional seseorang dan
kesejahteraannya (Carol dalam Suhartin, 2010)
k. Teori Medis
Teori medis geriatrik mencoba menjelaskan bagaimana perubahan
biologis yang berhubungan dengan proses penuaan mempengaruhi
fungsi fisiologis tubuh manusia. Biogerontologi merupakan

28
subspesialisasi terbaru yang tujuan menentukan hubungan antara
penyakit tertentu dan proses penuaan. Metode penelitan yang lebih
canggih telah digunakan dan banyak data telah dikumpulkan dari subyek
sehat dalam studi longitudinal, beberapa kesimpulan menarik dari
penelitian tiap bagian berbeda (Carol dalam Suhartin, 2010).
2. Teori kejiwaan sosial
a. Aktivitas atau kegiatan (activity theory)
Lansia mengalami penurunan jumlah kegiatan yang dapat
dilakukannya. Teori ini menyatakan bahwa lansia yang sukses adalah
mereka yang aktif dan ikut banyak dalam kegiatan sosial.
b. Ukuran optimum (pola hidup) dilanjutkan pada cara hidup dari lansia.
Mempertahankan hubungan antara sistem sosial dan individu agar
tetap stabil dari usia pertengahan ke lanjut usia.
c. Kepribadian berlanjut (continuity theory)
Dasar kepribadian atau tingkah laku tidak berubah pada lansia. Teori
ini merupakan gabungan dari teori diatas. Pada teori ini menyatakan
bahwa perubahan yang terjadi pada seseorang yang lansia sangat
dipengaruhi oleh tipe personality yang dimiliki.
d. Teori pembebasan (disengagement theory)
Teori ini menyatakan bahwa dengan bertambahnya usia, seseorang
secara berangsur-angsur mulai melepaskan diri dari kehidupan
sosialnya. Keadaan ini mengakibatkan interaksi sosial lanjut usia
menurun, baik secara kualitas maupun kuantitas sehingga sering terjaadi
kehilangan ganda (triple loss), yakni :
1) Kehilangan peran
2) Hambatan kontak sosial
3) Berkurangnya kontak komitmen
2.3.5 Perubahan Perubahan pada Lansia
Semakin bertambahnya umur manusia, terjadi proses penuaan secara
degeneratif yang akan berdampak pada perubahan-perubahan pada diri

29
manusia, tidak hanya perubahan fisik, tetapi juga kognitif, perasaan, sosial
dan sexual (Azizah dan Lilik M, 2011). Perubahan yang terjadi adalah
sebagai berikut :
1. Perubahan Fisik
a. Sistem Indra
Sistem pendengaran; Prebiakusis (gangguan pada pendengaran) oleh
karena hilangnya kemampuan (daya) pendengaran pada telinga
dalam, terutama terhadap bunyi suara atau nada-nada yang tinggi,
suara yang tidak jelas, sulit dimengerti kata-kata, 50% terjadi pada
usia diatas 60 tahun.

b. Sistem Intergumen:

Pada lansia kulit mengalami atropi, kendur, tidak elastis kering dan
berkerut. Kulit akan kekurangan cairan sehingga menjadi tipis dan
berbercak. Kekeringan kulit disebabkan atropi glandula sebasea dan
glandula sudoritera, timbul pigmen berwarna coklat pada kulit
dikenal dengan liver spot.
c. Sistem Muskuloskeletal
Perubahan sistem muskuloskeletal pada lansia: Jaaringan
penghubung (kolagen dan elastin), kartilago, tulang, otot dan sendi..
Kolagen sebagai pendukung utama kulit, tendon, tulang, kartilago
dan jaringan pengikat mengalami perubahan menjadi bentangan yang
tidak teratur. Kartilago: jaringan kartilago pada persendian menjadi
lunak dan mengalami granulasi, sehingga permukaan sendi menjadi
rata. Kemampuan kartilago untuk regenerasi berkurang dan
degenerasi yang terjadi cenderung kearah progresif, konsekuensinya
kartilago pada persendiaan menjadi rentan terhadap gesekan. Tulang:
berkurangnya kepadatan tulang setelah diamati adalah bagian dari
penuaan fisiologi, sehingga akan mengakibatkan osteoporosis dan
lebih lanjut akan mengakibatkan nyeri, deformitas dan fraktur. Otot:
perubahan struktur otot pada penuaan sangat bervariasi, penurunan

30
jumlah dan ukuran serabut otot, peningkatan jaringan penghubung
dan jaringan lemak pada otot mengakibatkan efek negatif. Sendi;
pada lansia, jaringan ikat sekitar sendi seperti tendon, ligament dan
fasia mengalami penuaan elastisitas.

d. Sistem kardiovaskuler
Perubahan pada sistem kardiovaskuler pada lansia adalah massa
jantung bertambah, ventrikel kiri mengalami hipertropi sehingga
peregangan jantung berkurang, kondisi ini terjadi karena perubahan
jaringan ikat. Perubahan ini disebabkan oleh penumpukan lipofusin,
klasifikasi SA Node dan jaringan konduksi berubah menjadi jaringan
ikat.
e. Sistem respirasi
Pada proses penuaan terjadi perubahan jaringan ikat paru, kapasitas
total paru tetap tetapi volume cadangan paru bertambah untuk
mengkompensasi kenaikan ruang paru, udara yang mengalir ke paru
berkurang. Perubahan pada otot, kartilago dan sendi torak
mengakibatkan gerakan pernapasan terganggu dan kemampuan
peregangan toraks berkurang.
f. Pencernaan dan Metabolisme
Perubahan yang terjadi pada sistem pencernaan, seperti penurunan
produksi sebagai kemunduran fungsi yang nyata karena kehilangan
gigi, indra pengecap menurun, rasa lapar menurun (kepekaan rasa
lapar menurun), liver (hati) makin mengecil dan menurunnya tempat
penyimpanan, dan berkurangnya aliran darah.
g. Sistem perkemihan
Pada sistem perkemihan terjadi perubahan yang signifikan. Banyak
fungsi yang mengalami kemunduran, contohnya laju filtrasi, ekskresi,
dan reabsorpsi oleh ginjal

h. Sistem saraf
Sistem susunan saraf mengalami perubahan anatomi dan atropi yang

31
progresif pada serabut saraf lansia. Lansia mengalami penurunan
koordinasi dan kemampuan dalam melakukan aktifitas sehari-hari.
i. Sistem reproduksi
Perubahan sistem reproduksi lansia ditandai dengan menciutnya
ovary dan uterus. Terjadi atropi payudara. Pada laki-laki testis masih
dapat memproduksi spermatozoa, meskipun adanya penurunan
secara berangsur- angsur.
2. Perubahan Kognitif
a. Memory (Daya ingat, Ingatan)
b. IQ (Intellegent Quotient)
c. Kemampuan Belajar (Learning)
d. Kemampuan Pemahaman (Comprehension)
e. Pemecahan Masalah (Problem Solving)
f. Pengambilan Keputusan (Decision Making)
g. Kebijaksanaan (Wisdom)
h. Kinerja (Performance)
i. Motivasi
3. Perubahan mental
Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mental :
a. Pertama-tama perubahan fisik, khususnya organ perasa.
b. Kesehatan umum

c. Tingkat pendidikan
d. Keturunan (hereditas)
e. Lingkungan
f. Gangguan syaraf panca indera, timbul kebutaan dan ketulian.
g. Gangguan konsep diri akibat kehilangan kehilangan jabatan.
h. Rangkaian dari kehilangan , yaitu kehilangan hubungan dengan
teman dan famili.
i. Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik, perubahan terhadap
gambaran diri, dan perubahan konsep diri.

32
4. Perubahan spiritual
Agama atau kepercayaan makin terintegrasi dalam kehidupannya.
Lansia semakin matang (mature) dalam kehidupan keagamaan, hal ini
terlihat dalam berfikir dan bertindak sehari-hari.
5. Perubahan Psikososial
a. Kesepian
Terjadi pada saat pasangan hidup atau teman dekat meninggal
terutama jika lansia mengalami penurunan kesehatan, seperti
menderita penyakit fisik berat, gangguan mobilitas atau gangguan
sensorik terutama pendengaran.
b. Duka cita (Bereavement)
Meninggalnya pasangan hidup, teman dekat, atau bahkan hewan
kesayangan dapat meruntuhkan pertahanan jiwa yang telah rapuh
pada lansia. Hal tersebut dapat memicu terjadinya gangguan fisik dan
kesehatan.
c. Depresi
Duka cita yang berlanjut akan menimbulkan perasaan kosong, lalu
diikuti dengan keinginan untuk menangis yang berlanjut menjadi
suatu episode depresi. Depresi juga dapat disebabkan karena stres
lingkungan dan menurunnya kemampuan adaptasi.
d. Gangguan cemas
Dibagi dalam beberapa golongan: fobia, panik, gangguan cemas
umum, gangguan stress setelah trauma dan gangguan obsesif
kompulsif, gangguan gangguan tersebut merupakan kelanjutan dari
dewasa muda dan berhubungan dengan sekunder akibat penyakit
medis, depresi, efek samping obat, atau gejala penghentian mendadak
dari suatu obat.
e. Parafrenia
Suatu bentuk skizofrenia pada lansia, ditandai dengan waham
(curiga), lansia sering merasa tetangganya mencuri barang-barangnya

33
atau berniat membunuhnya. Biasanya terjadi pada lansia yang
terisolasi/diisolasi atau menarik diri dari kegiatan sosial.
f. Sindroma Diogenes
Suatu kelainan dimana lansia menunjukkan penampilan perilaku
sangat mengganggu. Rumah atau kamar kotor dan bau karena lansia
bermain- main dengan feses dan urin nya, sering menumpuk barang
dengan tidak teratur. Walaupun telah dibersihkan, keadaan tersebut
dapat terulang kembali.
Perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia tersebut menimbulkan
berbagai masalah . Adapun utama masalah pada lansia (Geriatric
Giant) yaitu : (Brocklehurst et al dalam Darmojo, 2009)
6. Gangguan otak besar (syndrom serebral)
Adalah kumpulan gejala yang terjadi akibat dari perubahan aliran darah
otak . Pada lansia terjadi penurunan otak besar yang dalam batas tertentu
dianggap normal. Aliran darah dewasa kurang dari 50cc/100gr/menit.
Apabila aliran darah kurang dari itu akan menimbulkan gejala gejala
gangguan otak besar. Gangguan sirkulasiini dapat diakibatkan dari
penyakit hipertensi, mengerasnya pembuluh darah, penyempitan akibat
proses pengerasan yang dipercepat dengan tingginya kolestrol darah
(artheroklerosis), kencing manis, merokok dan darah tinggi.
7. Bingung (Konfius)
Adalah suatu akibat gangguan menyeluruh pada fungsi pengertian
(kognisi). Meliputi derajat kesadaran, kewaspadaan, dan terganggunya
proses berfikir. Bingung tersebut meliputi bingung waktu, tempat dan
orang yang merupakan istilah lain dari gagal otak akut. Gangguan
memori dapat berupa gangguan jangka pendek, maupun jangka panjang.
Ada gangguan angan-angan misalnya melihat sesuatu yang tidak ada
(halusinasi) atau salah penglihatan. Adanya enam ciri dari konfius antara
lain derajat kesadaran yang menurun, gangguan cipta (persepsi),
terganggunya siklus bangun tidur yaitu sulit tidur (insomnia). Aktivitas

34
fisik bisa meningkat atau menurun, bingung, gangguan memori, tidak
mampu belajar materi baru.
8. Gangguan saraf mandiri pada lansia yang perlu diperhatikan adalah
terjadinya perubahan aliran listrik saraf ke pusat mandiri yang
mengakibatkan tekanan darah rendah pada posisi tegak, gangguan-
gangguan pengaturan seperti pada pengaturan suhu, gerak kandung
kemih, saluran makanan di leher dan usus besar .
9. Inkontentsia
Merupakan keluhan utama pada penderita lanjut usia. Batasan
inkontenansia adalah pengeluaran urin (atau feses) tanpa disadari, dalam
jumlah dan frekuensi yang cukup sehingga mengakibatkan masalah
gangguan kesehatan atau sosial. Inkontinensia urin mempunyai dampak
medik, psikososial, dan ekonomik. Dampak medik atara lain dikaitkan
dengan ulkus dekubitus, infeksi saluran kemih, gagal ginjal, dan
mortalitas yang meningkat. Sedangkan dampak psikososial dari
inkontinensia urin kehilangan percaya diri, depresi, pembatasan aktivitas
sosial.
10. Mudah Jatuh
Jatuh pada lanjut usia merupakan masalah yang sering terjadi. Jatuh
adalah suatu kejadian yang dilaporkan penderita atau saksi mata yang
melihat kejadian, yang mengakibatkan seseorang mendadak
terbaring/terduduk di lantai atau di tempat yang lebih rendah dengan
atau tanpa kehilangan kesadaraan atau luka.

Secara singkat, faktor resiko jatuh pada lanjut usia itu dapat
digolongkan menjadi 2 yaitu :
a. Faktor intrinsik, misalnya :
• Gangguan jantung dan atau sirkulasi darah
• Gangguan sistem susunan saraf
• Gangguan sistem anggota gerak
• Gangguan penglihataan dan pendengaran

35
• Gangguan psikologis
• Gangguan gaya berjalan
b. Faktor ekstrinsik (penyebab dari lingkungan sekitarnya), misalnya :
• Cahaya ruangan yang kurang terang
• Lingkungan yang asing bagi lansia
• Lantai yang licin
• Obat-obatan yang diminum (diuretik, antidepresan,
sedatif, anti- psikotik, alkohol, dan obat hipoglikemik)
Jatuh pada lansia menimbulkan komplikasi-komplikasi seperti yang
disebutkan dibawah ini : (Kane, 1994 ; Van-der-Cammen, 1991 dalam
Darmojo, 2009)
a. Perlukaan (injury)
Rusaknya jaringan lunak yang terasa sangat sakit berupa robekan atau
tarikan jaringan otot, robeknya arteri dan vena. Selain itu dapat terjadi
patah tulang (fraktur) serta hematoma subdural.

b. Perawatan Rumah Sakit


Komplikasi akibat tidak dapat bergerak (immobilisasi).
c. Disabilitas
Perubahan mobilitas yang berhubungan dengan perlukaan fisik dan
penurunan mobilitas akibat jatuh, kehilangan kepercayaan diri dan
pembatasan gerak.
d. Resiko untuk dimasukan dalam rumah perawatan (nursing home)
e. Mati
11. Dekubitus
Dekubitus adalah kerusakan/kematian kulit sampai jaringan di bawah
kulit, bahkan menembus otot sampai mengenai tulang akibat adanya
penekanan pada suatu area secara terus menerus sehingga mengakibatkan
gangguan sirkulasi darah setempat

36
BAB III
PEMBAHASAN

Dalam bab ini peneliti menyajikan hasil dan pembahasan tentang pengaruh
latihan jalan tandem terhadap keseimbangan tubuh lansia .Hasil [ pembahasan yang
diuraikan secara one group pre-post test sesuai dengan tujuan penelitian.
Pengambilan data pada 29 April – 12 Mei 2018 dengan menyeleksi calon
responden sesuai dengan kriteria sampel yang telah ditetapkan. Jumlah responden
yang diperoleh dalam penelitian ini sebanyak 19 responden. Penyajian data ini yaitu
data khusus dan data umum. Data khusus terdiri atas data berdasarkan tingkat
keseimbangan tubuh sebelum dan sesudah dilakukan latihan jalan tandem pada
lansia di UPT PSTW Ponorogo. Sedangkan data umum terdiri dari jenis kelamin,
pekerjaan, pendidikan, usia. Data-data hasil disajikan dalam bentuk tabel.
3.1 Gambaran Umum dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di UPT PSTW Kabupaten Ponorogo yang berlokasi di
Jalan Raya Batoro Katong No 14 Ponorogo. Jumlah lansia di panti tersebut
sebanyak 35 orang. Kegiatan sehari-hari dipanti bermacam-macam seperti senam,
olahraga, pengajian, kesenian, bimbingan dan masih banyak lagi aktivitas lainya.
Interaksi antar lansia di panti cenderung cukup baik karena saling membantu satu
sama lain, mereka berbaur sudah seperti keluarga sendiri. Interaksi antara petugas
panti dengan lansia juga cukup baik.
3.2 Hasil Penelitian
3.2.1 Karakteristik Responden
Pengaruh latihan jalan tandem terhadap keseimbangan tubuh lansia, dengan
jumlah sampel sebesar 19 responden. Pemilihan responden dilaksanakan dengan
memilih lansia sesuai dengan kriteria inklusi, kemudian diberikan penjelasaan
tentang penelitian meliputi tujuan, manfaat, dan resiko yang ada dalam penelitian
yang akan dilakukan, apabila lansia tersebut bersedia menjadi responden penelitian
ini maka menandatangani lembar persetujuan (inform consent). Adapun hasil
penelitian disajikan dalam deskriptif data, tabel yang meliputi karakteristik
responden, analisa univariate dan hasil analisa bivariat sebagai berikut :

37
3.2.2 Data Umum
1. Karakteristik Berdasarkan Jenis Kelamin
Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Responden UPT
PSTW Kab Ponorogo tahun 2018.
No Jenis Kelamin Frekuensi Presentase (%)
1 Laki – laki 0 0
2 Perempuan 19 100
Jumlah 19 100
Sumber : Data Primer 2018
Berdasarkan tabel 5.1 diatas, menunjukan bahwa sebagian besar
responden berjenis kelamin perempuan sebanyak 19 orang (100%).

2. Karakteristik Berdasarkan Pendidikan


Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Pendidikan Responden UPT
PSTW Kab Ponorogo tahun 2018.
No Pendidikan Frekuensi Presentase (%)
1 Tidak sekolah 8 42.1
2 SD 11 57.9
Jumlah 19 100
Sumber : Data Primer, 2018
Berdasarkan tabel 5.2. dijelaskan bahwa sebagian besar pendidikan
terakir responden adalah lulusan SD sebanyak 11 orang (57.9%), dan
sebagian kecil responden tidak sekolah sebanyak 8 orang (42.1%) .
3. Karakteristik Berdasarkan Pekerjaan
Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Pekerjaan Responden UPT PSTW Kab
Ponorogo tahun 2018.
No Pekerjaan Frekuensi Presentase (%)
1 Tidak bekerja 19 100
2 Bekerja 0 0
Jumlah 19 100
Sumber : Data Primer, 2018
Berdasarkan tabel 5.3 diatas, menunjukan bahwa semua responden

38
tidak bekerja sejumlah 19 orang atau 100%.
4. Karakteristik Berdasarkan Usia
Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Usia Responden UPT PSTW Kab Ponorogo
tahun 2018.
No Usia Frekuensi Presentase (%)
1 60-65 2 10.5
2 66-70 13 68.4
3 71-75 4 21.1
Jumlah 19 100
Sumber : Data Primer, 2018
Berdasarkan tabel 5.4 diatas, menunjukan bahwa sebagian besar
responden yang berusia 66-70 tahun berjumlah 13 orang (68.4%) , dan
sebagian kecil responden berusia 60-65 tahun berjumlah 2 orang (10.5%).

5. Karakteristik Berdasarkan Aktifitas Olahraga


Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi aktifitas olahraga Responden UPT PSTW
Kab Ponorogo tahun 2018.
No Olahraga Frekuensi Presentase (%)
1 Rutin 11 57.9
2 Tidak rutin 8 42.1
Jumlah 19 100
Sumber : Data Primer, 2018
Berdasarkan tabel 5.5 diatas, menunjukan bahwa sebagian besar
responden yang rutin melakukan olahraga adalah 11 orang (57.9%) , dan yang
tidak mengikuti olahraga secara rutin adalah 8 orang (42.1%).
3.2.3 Penyajian Data Khusus
Setelah dilakukan uji normalitas data diketahui tidak berdistribusi
normal, sehingga dalam menganalisis data menggunakan uji non parametrik
yaitu dengan menggunakan uji wilcoxon untuk mengetahui pengaruh latihan
jalan tandem terhadap keseimbangan tubuh pada lansia.
1. Data Keseimbangan Tubuh Lansia Sebelum Dilakukan Latihan
Jalan Tandem

39
Tabel 5.6 Deskriptif keseimbangan tubuh lansia sebelum diberi latihan jalan
tandem di UPT PSTW Kabupaten Ponorogo.
Tingkat Standart Min-
N Mean Median Modus CI-95%
Keseimbangan Devisiasi Max
tubuh sebelum 19 21.53 19.00 18 6.363 14-33 18.46 – 24.59
jalan tandem
Sumber : Olahan Data Primer dengan SPSS 16.0.
Dari tabel 5.6 dapat diketahui bahwa rata-rata skor keseimbangan tubuh
sebelum melakukan adalah 21.53. Median skor keseimbangan tubuh sebelum
melakukan latihan jalan tandem adalah 19.00 skor keseimbangan tubuh sebelum
melakukan latihan jalan tandem paling banyak adalah 18, standart devisiasi 6.363
skor keseimbangan tubuh sebelum melakukan latihan jalan

tandem terendah adalah 14 dan tertinggi 33 dengan tingkat kepercayaan


95% diyakini dengan rentan 18.46 – 24.59.
2. Data Keseimbangan Tubuh Setelah dilakukan Latihan Jalan
Tandem
Tabel 5.7 Distribusi frekuensi keseimbangan tubuh lansia setelah diberi latihan
jalan tandem di UPT PSTW Ponorogo.
Tingkat Standart Min-
N Mean Median Modus CI-95%
Keseimbangan Devisiasi Max
tubuh sebelum 19 19.89 18.00 14 6.172 13-31 16.92 – 22.87
jalan tandem
Sumber : Olahan Data Primer dengan SPSS 16.0.
Dari tabel 5.7 dapat diketahui bahwa rata-rata skor keseimbangan tubuh
sebelum melakukan adalah 19.89 . Median skor keseimbangan tubuh sebelum
melakukan latihan jalan tandem adalah 18.00 skor keseimbangan tubuh sebelum
melakukan latihan jalan tandem paling banyak adalah 14, dengan standart devisiasi
6.172 skor keseimbangan tubuh sebelum melakukan latihan jalan tandem terendah
adalah 13 dan tertinggi adalah 31 dengan tingkat kepercayaan 95% diyakini dengan
rentan 16.92 sampai dengan 22.87.
3. Pengaruh Latihan Jalan Tandem terhadap Keseimbangan Tubuh di

40
UPT PSTW Kab Ponorogo
Tabel 5.8 Analisa Pengaruh Latihan Jalan Tandem terhadap Keseimbangan
Tubuh di UPT PSTW Kab Ponorogo Bulan Mei 2018.
Uji Wilcoxon Mean Sum Of Z pValue
Rank Rank
Pengaruh latihan jalan
tandem terhadap keseimbangan tubuh 8.80 132.00 -3.361 0.001
Sumber : Olahan Data Primer dengan SPSS 16.0.
Berdasarkan tabel 5.8 penelitian ini dianalisis menggunakan uji wilcoxon
dengan menggunakan derajat kemaknaan α = 0.05. Setelah dilakukan uji statistik
dengan bantuan SPSS diperoleh nilai p value = 0.001. Yang berarti p value < α
(0.001 < 0.005), artinya ditolak dan diterima. Maka dapat

diartikan ada pengaruh yang signifikan antara latihan jalan tandem terhadap
keseimbangan tubuh lansia di UPT PSTW Kabupaten Ponorogo.
3.3 Data Keseimbangan Tubuh Lansia Sebelum Latihan Jalan Tandem
Hasil penelitian terhadap 19 responden di UPT PSTW Kabupaten Ponorogo,
didapatkan rata-rata skor keseimbangan sebelum dilakukan latihan jalan tandem
adalah 21.53 detik, nilai median 19.00 detik, nilai keseimbangan yang banyak 18
detik, nilai terendah 14 detik dan nilai tertinggi mencapai 33 detik. Pertama kali
dilakukan TUGT ( Time up and go test) hasil tertinggi adalah 33 detik yang bisa
dikatakan waktu berjalan lansia lama. Hal ini disebabkan ketika memberikan
instruksi langkah awal TUGT ( Time up and go test) lansia tampak bingung karena
baru pertama kali melakukan TUGT ( Time up and go test), selain itu terdapat faktor
lain yaitu pada lansia banyak yang mengalami penurunan pendengaran sehingga
informasi yang peneliti berikan menjadi kurang dipahami. Dalam menanggapi
masalah tersebut peneliti ikut serta atau mendampingi lansia berjalan bersama-
sama. Sehingga waktu yang dibutuhkan dalam melakukan TUGT( Time up and go
test) lebih lama. Waktu berjalan lansia mempengaruhi pada hasil pengukuran
keseimbangan tubuh. Semakin lama waktu yang lansia butuhkan maka semakin
tidak baik hasil dari pengukuran keseimbangan tubuh lansia. Hal ini sependapat

41
dengan Irfan (2010) bahwa keseimbangan yang baik berpengaruh terhadap
kecepatan berjalan lansia semakin baik keseimbangan tubuh maka semakin baik
pula kecepatan tubuh lansia.

Hasil penelitian berdasarkan usia yang dijelaskan pada tabel 5.4 dapat
diketahui bahwa usia terbanyak adalah 66-70 tahun terdapat 13 lansia (68.4%), 71-
75 tahun terdapat 4 lansia (21.1%) dan 60 – 65 tahun terdapat 2 lansia (10.5%).
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa dapat diketahui bahwa semakin
bertambahnya usia pada seseorang maka keseimbangan tubuh akan semakin
berkurang. Hal ini sejalan dengan (Darmojo, 2009) setiap lansia akan mengalami
proses penuaan yang mengakibatkan perubahan-perubahan pada usia lanjut. Semua
perubahan tersebut dapat mengakibatkan kelambanan dalam bergerak, langkah kaki
yang pendek, kekuatan otot menurun. Penurunan fungsi dan kekuatan otot akan
mengakibatkan penurunan kemampuan untuk mempertahankan keseimbangan
tubuh lansia.
3.4 Data Keseimbangan Tubuh Setelah dilakukan Latihan Jalan Tandem
Hasil penelitian terdapat 19 responden di UPT PSTW Kab Ponorogo,
menunjukan adanya peningkatan nilai keseimbangan tubuh dari sebelum dilakukan
latihan jalan tandem didapatkan rata-rata keseimbangan tubuh setelah melakukan
latihan jalan tandem adalah 19.89. Skor keseimbangan setelah dilakukan jalan
tandem terendah adalah 13 detik dan skor tertinggi 31 detik. Hal ini menunjukan
bahwa ada pengaruh latihan jalan tandem terhadap keseimbangan tubuh lansia.
Aktivitas fisik termasuk mobilitas yang tinggi diidentifikasi merupakan salah
satu kegiatan yang dapat meningkatkann keseimbangan (Darmojo, 2012). Salah
satu aktivitas fisik adalah latihan jalan tandem. Hasil penelitian yang dilakukan oleh
peneliti pada tanggal 29 April sampai 12 Mei 2018 didapatkan

hasil bahwa terdapat perubahan tingkat keseimbangan tubuh sebelum dan


sesudah latihan jalan tandem. Peneliti menerapkan dengan cara melakukan latihan
jalan dalam satu garis lurus sejauh 3 meter dengan posisi tumit kaki menyentuh jari
kaki yang lainnya, hal ini dilakukan tiga kali dalam dua minggu. Lansia yang sudah
melakukan latihan jalan tandem secara teratur terdapat 15 lansia yang mengalami

42
peningkatan keseimbangan tubuh, 3 lansia yang tidak mengalami perubahan yang
dikarenakan oleh kurang konsisten dalam melakukan latihan jalan tandem serta 1
lansia yang mengalami penurun tingkat keseimbangan tubuh karena lansia selalu
menolak ketika diberi latihan jalan tandem. Hal ini sependapat dengan teori dari
Batson (2009) bahwa latihan jalan tandem juga mengaktifkan somatosensoris dan
vestibular (proprioceptive) yang mempertahankan posisi tubuh tetap tegak selama
berjalan, serta melakukan pola jalan yang benar. Latihan proprioseptif yang hanya
menghasilkan neural adaptasi dapat dilatih selama 2-4 minggu dalam satu kali
latihan dilakukan 10x jalan , namun proprioseptif yang adekuat dihasilkan dengan
latihan yang dilakukan selama 4-8 minggu, karena pada waktu tersebut telah terjadi
adaptasi neural dan adaptasi serabut otot .

Berdasarkan uraian diatas dapat peneliti simpulkan bahwa latihan jalan


tandem merupakan salah satu latihan yang dapat diberikan untuk meningkatkan
keseimbangan tubuh dan akan mengurangi resiko jatuh pada lansia. Sebagian besar
skor sesudah diberikan latihan mengalami peningkatan. Pengaruh Latihan Jalan
Tandem terhadap Keseimbangan Tubuh Untuk Mengurangi Resiko Jatuh Pada
Lansia di UPT PSTW Kab Ponorogo
Dari hasil uji statistik mengunakan uji wilcoxon nilai (p) yang diperoleh yaitu
0.001 kurang dari nilai α yaitu 0.05, maka dapat dikatakan hipotesa diterima. Hal
ini menyatakan bahwa terdapat peningkatan yang siginifikan antara sebelum dan
sesudah pemberian latihan jalan tandem. Dilihat dari hasil penelitian yang
menunjukan terdapat 15 responden mengalami peningkatan keseimbangan setelah
dilakukan latihan jalan tandem.
Hasil penelitian dari 19 responden tingkat keseimbangan tumbuh mengalami
peningkatan. Skor sebelum dilakukan latihan jalan tandem rata-rata keseimbangan
tubuh adalah 21.53 detik, dengan skor terendah yaitu 14 detik dan skor tertinggi 33
detik. Sedangkan skor setelah dilakukan jalan tandem rata-rata skor adalah 19.89
detik dengan nilai terendah 13 detik dan nilai tertinggi adalah 31 detik. Dari hasil
tersebut peneliti berpendapat bahwa terdapat perubahaan pada tingkat
keseimbangan tubuh sebelum dan sesudah dilakukan latihan jalan tandem.

43
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nugrahani
(2014) didapatkan hasil bahwa latihan jalan tandem lebih baik daripada latihan
swiss ball, terbukti dengan adanya hasil penurunan rata-rata kecepatan berjalan atau
adanya peningkatan kecepatan berjalan sebesar 33,17% sedangkan latihan swiss
ball mendapatkan hasil peningkatan kecepatan berjalan sebesar 15,64%. Latihan
jalan tandem ini melatih secara visual dengan melihat ke depan serta memperluas
arah pandangan agar memperluas arah pandangan untuk dapat

berjalan lurus. Latihan jalan tandem juga mengaktifkan somatosensoris dan


vestibular (proprioceptive) yang mempertahankan posisi tubuh tetap tegak selama
berjalan. Latihan proprioseptif melibatkan gerakan lambat dalam setiap
perpindahan gerak dan posisi sehingga nuclei subcortical dan basal ganglia untuk
menganalisis sensasi posisi dan mengirimkan umpan balik berupa kontraksi otot
yang diharapkan. Selanjutnya latihan ini diadaptasi sebagai stabilitas fungsional
yang baru (Batson et al., 2009).
Pada lansia yang mempunyai mobilitas fisik yang tinggi akan meningkatkan
kontrol keseimbangan fisiknya, sehingga resiko jatuh sangat rendah. Keseimbangan
yang baik berpengaruh terhadap kecepatan berjalan, semakin baik
keseimbangannya maka, semakin baik pula kecepatan berjalannya. Dan
keseimbangan berpengaruh pada besar resiko jatuh pada lansia karena adanya
perubahan fisiologis. Perubahan fisiologis berupa meningkatnya ambang rangsang
vestibular, memburuknya persepsi, adanya degenerasi penglihatan, berkurangnya
masa otot dan kekuatan otot, berkurangnya lingkup gerak sendi, berubahnya pusat
gravitasi pada lansia, respon postural yang melambat, yang merupakan komponen
utama pengontrol keseimbangan (Irfan, 2010).
Dari hasil penelitian yang peneliti lakukan menyimpulkan bahwa ada
pengaruh yang signifikan melakukan latihan jalan tandem terhadap keseimbangan
tubuh untuk mengurangi resiko jatuh pada lansia di UPT PSTW Kabupaten
Ponorogo.

44
3.5 Tabel Hasil dan Pembahasan
No Judul Karya Ilmiah Sistematik Analisis
1 Pengaruh latihan 1. Abstrak Pada jurnal ini penulis
jalantandem terhadap 2. Pendahuluan mejelaskan tentang
keseimbangan lanjut 3. Tinjauan lansia,perubahan yang
usia ( Penulis : Sri pustaka terjadi pada tubuh lansia
Rejeki, Jurnal 4. Pembahasan sehingga keseimbangan
http://eprints.ums.ac.id, 5. Simpulan dan tubuh lansia mudah goyah
Maret 2018 saran dan beresiko jatuh saat
6. Daftar pustaka beraktifitas.
Penulis melakukan uji coba
dengan cara jalan tendem,
latihan ini merupakan salah
satu dari jenis latihan
keseimbangan.
2 Pengaruh Latihan Beban 1. Abstrak Pada jurnal ini penulis juga
Terhadap Kekuatan otot 2. Pendahuluan menjelaskan tentang lansia
Lansia (penulis : sylviA 3. Tinjauan dan perubahan fungsi otot
marunduh,Jurnal pustaka pada lansia. Dimana pada
e-Biomedik 4. Pembahasan jurnal ini penulis
(eBm), Volume 3, Nomor 5. Simpulan dan melakukan uji coba dengan
1, Januari-April 2015 saran sampel penelitian pada
6. Daftar pustaka lansia yang memenuhi
kriteria inklusi dan ekslusi.
Yaitu lansia di umur 60
tahun keatas yang memiliki
penyakit pada sendi.
Latihan dilakukan 3x
seminggu dalam sebulan.

45
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan serta diuraikan pada
pembahasan di bab 5, maka penulis dapat memberikan beberapa kesimpulan
sebagai berikut :
1. Tingkat keseimbangan tubuh pada lansia sebelum dilakukan latihan
jalan tandem di UPT PSTW Kabupaten Ponorogo rata-rata
keseimbangan tubuh lansia adalah 21.53 ,dengan skor terendah yaitu
14 detik dan skor tertinggi adalah 33 detik.
2. Tingkat keseimbangan tubuh pada lansia setelah dilakukan latihan jalan
tandem di UPT PSTW Kabupaten Ponorogo rata-rata keseimbangan
tubuh lansia adalah 19.89 dengan skor terendah 13 detik dan skor
tertinggi adalah 31 detik.
3. Ada pengaruh latihan jalan tandem terhadap keseimbangan tubuh
lansia di UPT PSTW Kabupaten Ponorogo dengan signifikasi p value =
0.001 < α = 0.05.

4.2 Saran
Dari hasil penelitian yang penulis lakukan, maka penulis ingin
menyampaikan saran sebagai berikut :
1. Bagi Perawat dan Pengurus UPT PSTW Kabupaten Ponorogo diharapkan
para lansia memliki jadwal yang rutin dalam melakukan aktivitas fisik
seperti olahraga ataupun senam. Selain itu pihak panti diharapka
memberikan lingkungan yang baik seperti pencahayaan yang cukup, lantai
yang tidak licin serta dinding yang dipasang pegangan untuk berjalan para
lanjut usia.
2. Bagi Mahasiswa/Mahasiswi Stikes Bhakti Husada Mulia Madiun Penelitian
ini diharapkan dapat menambahkan referensi yang ada dan dapat

46
meningkatkan pengetahuan mahasiswa di bidang keperawatan gerontik
khususnya mahasiswa program studi ilmu keperawatan.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya dapat dijadikan data dasar dan pembanding untuk
peneliti selanjutnya dalam melaksanakan penelitian yang berhubungan
dengan latihan jalan tandem terhadap keseimbangan tubuh lanjut usia.

47
DAFTAR PUSTAKA

http://eprints.ums.ac.id/61377/11/NASKAH%20PUBLIKASI.pdf, di akses pada


hari kamis tanggal 13 juni 2019.

file:///C:/Users/Compaq/Downloads/8075-15945-1-SM%20(8).pdf, di akses
pada hari kamis tanggal 13 juni 2019.

48

Anda mungkin juga menyukai