Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH

KEBUTUHAN KHUSUS PADA PERMASALAHAN FISIK


Ditulis Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
Asuhan Kebidanan Pada Perempuan Dan Anak Kondisi Rentan
Dosen Pembimbing
Yuliyanti, SST., M. Keb

Disusun Oleh:

1. Ayu Pratiwi (020619021)


2. Cucu Ipah (020619022)
3. Dewi Khoirunisa (020619024)
4. Dila Padilah (121050043)
5. Elsa Cahya Safitri (020619025)
6. Erna Damayanti (020619026)
7. Fitri Nur Pajrianti (020619028)
8. Fitria Sholihah (121050044)
9. Hany Luthfiany (020619029)

Program Studi S1 Kebidanan


INSTITUT MEDIKA Drg. SUHERMAN
Jl. Raya Industri Pasir Gombong Jababeka, Cikarang-Bekasi
Telp. 021 89111110, Fax. 021 8905196
Email: Info@imds.ac.id Website: www.imds.ac.id

1
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh


Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah
ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda
tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan syafa’atnya di
akhirat nanti.
Kami mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat
sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga kami mampu
menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah Asuhan
Kebidanan Pada Perempuan Dan Anak Kondisi Rentan dengan judul
“KEBUTUHAN KHUSUS PADA PERMASALAHAN FISIK”.
Kami tentunya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan didalamnya.
Untuk itu, Kami mengharapkan kritik serta salam dari pembaca untuk makalah
ini, agar makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi.
Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini kami mohon maaf
yang sebesar-besarnya.
Kami juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak khususnya
kepada dosen mata kuliah Asuhan Kebidanan Pada Perempuan Dan Anak Kondisi
Rentan yang telah membimbing dalam menulis makalah ini.
Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terimakasih.

Cikarang, 19 Maret 2022


Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................ii
DAFTAR ISI........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................4
1. 1...................................................................................................................
Latar Belakang...........................................................................................4
1. 2...................................................................................................................
Rumusan Masalah.....................................................................................7
1. 3...................................................................................................................
Tujuan........................................................................................................7
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................8
2. 1...................................................................................................................
Penyandang Disabilitas Di Indonesia........................................................8
2. 2................................................................................................................... K
onvensi PBB Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas.......................10
2. 3................................................................................................................... Pr
insip-Prinsip Utama Mengenai Penyandang Disabilitas...........................13
2. 4...................................................................................................................
Pengertian Kelainan Genetik.....................................................................19
2. 5...................................................................................................................
Klasifikasi Genetik....................................................................................19
2. 6...................................................................................................................
Kelainan Genetik
...................................................................................................................
20
2. 7...................................................................................................................
Penyebab Kelainan Genetik
...................................................................................................................
21

3
2. 8...................................................................................................................
Penyakit Kelainan Genetik Dan Kromosom
...................................................................................................................
22
2. 9...................................................................................................................
Peran Bidan Dalam Kebutuhan Khusus Pada Permasalahan Fisik
...................................................................................................................
25
BAB III PENUTUP
31
3. 1...................................................................................................................
Kesimpulan
...................................................................................................................
31
3. 2...................................................................................................................
Saran
...................................................................................................................
31
DAFTAR PUSTAKA

4
BAB I
PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang
Manusia memiliki keinginan untuk lahir dengan kondisi fisik yang normal
dan sempurna, namun pada kenyataannya ada manusia yang tidak dapat
mendapatkan kesempurnaan yang diinginkan karena adanya keterbatasan fisik
yang tidak dapat dihindari seperti kecacatan fisik. Menurut WHO, disabilitas
adalah suatu ketidakmampuan melaksanakan suatu aktifitas/kegiatan tertentu
sebagaimana layaknya orang normal, yang disebabkan oleh kondisi kehilangan
atau ketidakmampuan baik psikologis, fisiologis maupun kelainan struktur atau
fungsi anatomis. Disabilitas adalah ketidakmampuan melaksanakan suatu
aktivitas/kegiatan tertentu sebagaimana layaknya orang normal yang disebabkan
oleh kondisi impairment (kehilangan atau ketidakmampuan) yang berhubungan
dengan usia dan masyarakat (Glosarium Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial |
2009).
Disabilitas dikenal dengan sebutan penyandang cacat. Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on the
Rights of Persons with Disabilities (Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang
Disabilitas) tidak lagi menggunakan istilah penyandang cacat, diganti dengan
penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas adalah orang yang memiliki
keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama,
dimana ketika ia berhadapan dengan berbagai hambatan, hal ini dapat 2
menyulitkannya untuk berpartisipasi penuh dan efektif dalam masyarakat
berdasarkan kesamaan hak. Berdasarkan hasil Susenas Modul Sosial Budaya dan
Pendidikan (MSBP) 2012, persentase perempuan penyandang disabilitas secara
nasional sebesar 2,55% terhadap total penduduk. Menurut daerah tempat tinggal,
perempuan penyandang disabilitas di perkotaan relatif lebih rendah dibandingkan
di perdesaan, yaitu 2,28% berbanding 2,81%. Jika dibandingkan dengan
perempuan, persentase laki-laki penyandang disabilitas relatif lebih rendah, baik
di perkotaan maupun di perdesaan. Menurut provinsi, persentase tertinggi

5
perempuan penyandang disabilitas terdapat di Gorontalo sebesar 4,75%
sedangkan laki-laki di Bengkulu sebesar 4, 20%. Sementara itu, persentase
terendah baik untuk perempuan maupun laki-laki penyandang disabilitas terdapat
di Papua, masing-masing sebesar 0, 86% dan 1, 21%.
Berdasarkan definisi yang diterbitkan oleh Kementerian Sosial Tahun
2005, penyebab disabilitas dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu disabilitas akibat
kecelakaan (korban peperangan, kerusuhan, kecelakaan kerja/industri, kecelakaan
lalu lintas serta kecelakaan lainnya), disabilitas sejak lahir atau ketika dalam
kandungan, termasuk yang mengidap disabilitas akibat penyakit keturunan, dan
disabilitas yang disebabkan oleh penyakit (penyakit polio, penyakit kelamin,
penyakit TBC, penyakit kusta, diabetes dll). Hasil Susenas 2012 menunjukkan
bahwa secara umum penyebab disabilitas perempuan adalah karena penyakit
lainnya sebesar 64,98%, kemudian bawaan sejak lahir sebesar 14,56%, dan
kecelakaan/bencana alam sebesar 13,64%.
Menurut daerah tempat tinggal, perempuan penyandang disabilitas di
perdesaan yang disebabkan oleh bawaan sejak lahir, kekurangan gizi, dan tekanan
hidup/stres lebih tinggi dibandingkan di perkotaan. Seperti halnya perempuan,
laki-laki penyandang disabilitas paling banyak disebabkan oleh penyakit lainnya
sebesar 53,79%, sedangkan penyebab lainnya adalah kecelakaan/bencana alam
sebesar 19,45%, dan bawaan sejak lahir sebesar 19,09%. Timbulnya disabilitas
dapat dilatarbelakangi masalah kesehatan yang timbul sejak lahir, penyakit kronis
maupun akut, dan cedera yang dapat diakibatkan oleh kecelakaan, perang,
kerusuhan, bencana, dan sebagainya. Seiring meningkatnya populasi lanjut usia,
ditengarai akan meningkatkan jumlah penyandang disabilitas akibat meningkatnya
gangguan kesehatan akibat penyakit kronis degeneratif. Menurut hasil Survey
Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilaksanakan Biro Pusat Statistik (BPS)
tahun 2012, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia sebanyak 6.008.661
orang. Dari jumlah tersebut sekitar 1.780.200 orang adalah penyandang disabilitas
netra, 472.855 orang penyandang disabilitas rungu wicara, 402.817 orang
penyandang disabilitas grahita/intelektual, 616.387 orang penyandang disabilitas
tubuh, 170.120 orang penyandang disabilitas yang sulit mengurus diri sendiri, dan
sekitar 2.401.592 orang mengalami disabilitas ganda.

6
Penyandang cacat tubuh yang mempunyai ciri ciri mempunyai hambatan
fisik/mobilitas, mempunyai masalah mental psikologis, rasa rendah diri, kurang
percaya diri, isolatif, mengalami kecanggungan dalam melaksanakan fungsi
sosialnya, tidak mampu bergaul secara wajar, tidak mampu berkomunikasi secara
wajar, tidak mampu berpartisipasi di dalam kegiatan pembangunan,
ketergantungan kepada orang lain yang sangat besar, mengalami rintangan di
dalam melakukan ketrampilan kerja produktif yang diakibatkan kecacatannya,
rawan sosial ekonominya.
Individu yang mengalami cacat tubuh biasanya mempunyai hambatan
dalam bersosialisasi dengan orang lain ataupun disekitarnya. Dan mempunyai rasa
percaya diri yang rendah , sehingga memiliki subjective well-being yang rendah.
Hal ini sesuai dengan hasil wawancara terhadap subjek AS yang mengatakan
“saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi semenjak saya lulus SD(Sekolah Dasar)
karena saya merasa malu dengan keadaan saya..”. Subjek AS mengalami cacat
tubuh semenjak subjek dari lahir. Kegiatan subjek semenjak lulus dari SD adalah
dirumah saja “iya dirumah aja mbak, bantu ibu, dirumah. Saya jarang pergi keluar
karena malu.”
Kepuasan hidup dianggap konsep global, mengacu kehidupan secara
keseluruhan daripada aspek-aspek tertentu dari itu (Bowling, 1997). Perbedaan
antara kepuasan hidup dan kualitas hidup tidak jelas dan konsep kadang-kadang
digunakan secara bergantian. Namun, kepuasan hidup pada dasarnya dianggap
sebagai kesejahteraan subjektif ukuran kualitas hidup (MANNEL dan Dupuis,
1996). Kesejahteraan subjektif paling sering mengacu pada orientasi positif
terhadap kehidupan dan umumnya didasarkan pada perasaan seperti kebahagiaan,
semangat dan positif mempengaruhi (Ni Mhaolain, 2011).
Subjective well- being adalah hasil evaluasi mengenai kualitas hidup
dengan mengakumulasikan dinamika emosi yang ada di dirinya.Hal ini bertujuan
untuk menyadari seberapa baik sirkulasi kehidupan.Subjective well being
memiliki tiga komponen yaitu pleasant affect, unpleasant affect, dan life
satisfaction. Life satisfaction adalah hasil dari evaluasi kognitif, sedangkan
pleasant affect dan unpleasant affect adalah hasil dari evaluasi afektif. Raeburn
dan Rootman (1996) menyatakan bahwa kualitas hidup adalah representasi dari

7
seberapa baik hidup bagi seseorang.Sementara definisi kehidupan yang baik dapat
bervariasi dari individu ke individu, kualitas hidup yang baik adalah konsep yang
sangat penting bagi kebanyakan orang, termasuk individu dengan cacat.
Pentingnya mengalami kehidupan yang baik telah diakui oleh berbagai model
cacat yang merangkul konsep yang terkait dengan "Subjective well being" atau
"kepuasan hidup" (Lee dan McCormick, 2004)
Subjective well being bisa dialami oleh siapa saja. Tak terkecuali oleh para
penyandang cacat atau tuna daksa. Namun tidak jarang para penyandang
cacat(disabilitas) tidak semuanya mengalami subjective well being, seperti para
penyandang cacat harus tersingkir dari pergaulan karena pandangan negatif
masyarakat sehingga membuat para penyandang cacat tubuh menjadi rendah diri,
minder, merasa tak berguna dan menjadi konsumen saja ketimbang menjadi
penyumbang aktif dalam kegiatan masyarakat. Fakta di atas menunjukkan bahwa
orang yang menderita cacat tubuh mengalami masalah dalam dirinya, hal ini
karena adanya persepsi negatif dari masyarakat sehingga akan memuncutkan
perasaan tidak yakin dapat diterima pada lingkungan orang-orang yang normal.

1. 2 Rumusan Masalah
Berdasarkan materi yang kami bawa, kami merumuskan beberapa rumusan
masalah antara lain sebagai berikut :
1. Bagaimana masalah disabilitas dalam kebutuhan khusus pada permasalahan
fisik?
2. Bagaimana kelainana genetik dalam kebutuhan khusus pada permasalahan
fisik?

1. 3 Tujuan
1. Untuk mengetahui tentang masalah disabilitas dalam kebutuhan khusus
pada permasalahan fisik
2. Untuk mengetahui tentang kelainana genetik dalam kebutuhan khusus pada
permasalahan fisik

8
BAB II
PEMBAHASAN

2. 1 Penyandang Disabilitas Di Indonesia


Selama beberapa tahun terakhir, wilayah Asia Pasifik telah menunjukkan
upaya yang signifikan dalam mengakui disabilitas sebagai sebuah isu hak asasi
manusia dan dalam menangani tantangan yang dihadapi oleh para penyandang
disabilitas dalam upayanya berkontribusi secara ekonomis, sosial dan politis
kepada masyarakat. Kemajuan yang ditunjukkan oleh Indonesia dalam melibatkan
penyandang disabilitas dapat dilihat dalam upaya mereka menandatangani
Konvensi PBB mengenai Hak-hak Penyandang disabilitas (UNCPRD), dan
membuat Rencana Aksi Nasional untuk Meningkatkan Kesejahteraan Sosial dari
Penyandang disabilitas di indonesia (2004-2013) dan meratifikasi Konvensi ILO
No. 111 mengenai Diskriminasi (Pekerjaan dan Jabatan). Langkah awal untuk
meratifikasi Konvensi ILO No.159 mengenai Rehabilitasi dan pelatihan
Keterampilan (bagi Penyandang disabilitas) telah juga dilakukan.(Tarsidi, 2011)
Landasan konstitusional bagi perlindungan penyandang disabilitas di
Indonesia, dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 28 Huruf (A) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Tahun 1945, yakni : "Setiap orang berhak untuk hidup
serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya". Hak untuk hidup
adalah hak asasi yang paling dasar bagi seluruh manusia. Hak hidup merupakan
bagian dari hak asasi yang memiliki sifat tidak dapat ditawar lagi (non
derogable rights). Hak hidup mutlak harus dimiliki setiap orang, karena tanpa
adanya hak untuk hidup, maka tidak ada hak-hak asasi lainnya.
Hak-hak dasar manusia disebut sebagai Hak Asasi Manusia (HAM). HAM
adalah hak dasar atau hak yang bersifat mutlak dan merupakan anugerah dari
Yang Maha Kuasa. HAM diperoleh berdasarkan martabatnya sebagai manusia,

bukan diberikan oleh masyarakat dan kebaikan dari Negara. HAM adalah bentuk
keutuhan manusia menuju kehidupan yang beradab, sehingga pelanggaran atas
HAM merupakan kejahatan peradaban yang paling berbahaya. Setiap orang
memiliki kehormatan yang berdasar pada keadilan sehingga seluruh masyarakat

9
sekalipun tidak bisa membatalkannya.
Hak-hak fundamental berikut kewajiban penyandang disabilitas juga
ditegaskan dalam Pasal 41 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM), yang menyebutkan bahwa : "Setiap
penyandang cacat, orang yang berusia lanjut, wanita hamil dan anak anak,
berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus". Begitu pula dengan
Pasal 42 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM yang berbunyi :
"Setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat mental
berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas
biaya negara, untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan martabat
kemanusiaannya, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan
berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara".
Penyandang Disabilitas memiliki kedudukan, hak dan kewajiban yang
sama dengan warga negara non disabilitas. Penyandang disabilitas memiliki hak
untuk hidup, dan mempertahankan kehidupnya. Selain hak hidup, apabila
membicarakan isu-isu mengenai hak asasi manusia, kita juga dapat menemukan
bahwa manusia sebagai warga negara memiliki hak sipil dan politik, serta
memiliki hak ekonomi, sosial dan budaya. Hak Sipil dan politik dipandang
sebagai hak-hak yang bersumber dari martabat dan melekat pada setiap manusia
yang dijamin dan dihormati keberadaannya oleh negara agar manusia bebas
menikmati hak-hak dan kebebasannya dalam bidang sipil dan politik yang
pemenuhannya menjadi tanggung jawab Negara. (Khairiyah Ar-Rasily & Kusuma
Dewi, 2016)
Pada prinsipnya, Indonesia terikat secara moral terhadap Deklarasi
Universal tentang Hak-hak Manusia (Universal Declaration of Human Rights)
dan perjanjian-perjanjian internasional tentang hak-hak manusia (international
bill human rights) termasuk diantaranya penyandang disabilitas. Dalam ikatan
moral ini, Indonesia mempunyai kewajiban untuk menghormati (to respect),
melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfil) atas hak-hak dasar tersebut.
Indonesia menandatangani konvensi tentang penyandang disabilitas pada
bulan Maret 2007. Pada bulan Oktober 2011, Pemerintah Indonesia telah
meratifikasi konvensi tentang hak penyandang disabilitas atau United Nations

10
Convention on the Rights of Persons with Dissabilities (UNCRPD) melalui
Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention On The
Rights of Persons With Disabilities (Konvensi mengenai Hak-hak Penyandang
Disabilitas) dan pada tahun 2016, Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang
No.08 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Pada kenyataannya, penyandang disabilitas masih di anggap sebagai
bagian dari ketidaknormalan dalam suatu masyarakat. Anggapan miring dan
perilaku diskriminatif tersebut masih dianggap sebagai suatu kepatutan dalam
suatu masyarakat. Tidak dapat dipungkiri bahwa praktik kehidupan sehari-hari di
masyarakat masih menegaskan stigma negatif terhadap penyandang disabilitas
dengan dianggap sebagai orang yang tidak produktif, tergantung pada orang
lain, dan tidak cakap atas dirinya (Winarsih et al., 2013).
Proses diskriminasi ini bisa kita lihat dalam berbagai bidang, baik dari
aspek, pendidikan, politik, sosial dan ekonomi. Dari aspek pendidikan,
penyandang disabilitas dikelompokkan kedalam sekolah luar biasa (SLB) karena
dianggap mereka tidak normal atau cacat. Wacana tentang pendidikan inklusif
yang menyatukan anak berkebutuhan khusus atau disabilitas dengan non
disabilitas tidak massif dilaksanakan oleh praktisi pendidikan baik sekolah dan
madrasah. Padahal sejatinya pendidikan inklusif merupakan mandat dari
UUDNRI Tahun 1945 (amandemen) Pasal 31 Ayat (1): Setiap warga negara
berhak mendapat pendidikan. Ayat (2): Setiap warga negara wajib mengikuti
pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya, diperkuat
Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 1 Ayat (1):
Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan
yang bermutu. Diskriminasi dari espek ekonomi pada penyandang disabilitas
juga terlihat pada aspek tenaga kerja. Sangat sedikit sekali lapangan pekerjaan
yang menerima penyandang disabilitas. Padahal hak ekonomi, sosial, dan budaya,
dipandang sebagai hak dasar manusia yang harus dilindungi dan dipenuhi agar
manusia terlindungi martabat dan kesejahteraannya.

2. 2 Konvensi PBB mengenai Hak-hak Penyandang disabilitas


Konvensi PBB mengenai Hak-hak Penyandang disabilitas (UNCRPD,

11
2007) sangatlah unik karena di dalamnya terkandung instrumen kebijakan hak
asasi manusia dan pembangunan. Konvensi ini lintas jenis disabilitas, lintas
sektoral dan mengikat secara hukum. Tujuannya adalah untuk mempromosikan,
melindungi dan memastikan para penyandang disabilitas dapat menikmati secara
penuh dan setara semua hak asasi manusia dan kebebasan fundamental serta
mempromosikan penghargaan terhadap harkat dan martabat mereka. Konvensi ini
menandai sebuah „pergeseran paradigma‟ dalam perilaku dan pendekatan terhadap
para penyandang disabilitas. Para penyandang disabilitas tidak dilihat sebagai
obyek kegiatan amal, perlakuan medis, dan perlindungan sosial, namun dilihat
sebagai manusia yang memiliki hak yang mampu mendapatkan hak-hak itu serta
membuat keputusan terhadap hidup mereka sesuai dengan keinginan dan ijin yang
mereka berikan seperti halnya anggota masyarakat lainnya (Sari & Yendi, 2018).
Konvensi PBB tidak secara eksplisit menjabarkan mengenai disabilitas.
Pembukaan Konvensi menyatakan: Disabilitas merupakan sebuah konsep yang
terus berubah dan disabilitas adalah hasil interaksi antara orang yang penyandang
disabilitas/mental dengan hambatan perilaku dan lingkungan yang menghambat
partisipasi yang penuh dan efektif di tengah masyarakat secara setara dengan
orang lain.Disabilitas merupakan hasil interaksi antara masyarakat yang sifatnya
tidak inklusif dengan individual, contohnya:
 Seseorang yang menggunakan kursi roda bisa saja mengalami kesulitan
dalam mendapatkan pekerjaan, bukan karena ia menggunakan kursi roda
namun karena ada hambatan-hambatan lingkungan misalnya bis atau
tangga yang tidak bisa mereka akses sehingga menghalangi akses mereka
ke tempat kerja.
Seseorang yang memiliki kondisi rabun dekat ekstrim yang tidak memiliki
akses untuk mendapatkan lensa korektif mungkin tidak akan dapat melakukan
pekerjaan sehari-harinya. Orang yang sama yang memiliki resep untuk
menggunakan kacamata yang tepat akan dapat melakukan semua tugas itu tanpa
masalah Konvensi ini memberikan pengakuan universal terhadap martabat
penyandang disabilitas. Prinsip-prinsip umum yang dicakup dalam Konvensi
termasuk partisipasi dan pelibatan penuh dan efektif, kesempatan yang sama,
pelibatan, non-diskriminasi dan aksesibilitas. Konvensi UNCRPD tidak

12
mendefinisikan “disabilitas” atau “orang dengan disabilitas” seperti demikian,
tetapi pernyataan bahwa disabilitas adalah “konsep yang berkembang yang
dihasilkan dari interaksi antara penyandang gangguan dan sikap, dan hambatan
lingkungan yang menghalangi partisipasi penuh dan efektif mereka di dalam
masyarakat atas dasar kesetaraan dengan orang lain”. Selain itu, UNCRPD (Pasal
1) menyatakan bahwa “Orang dengan disabilitas termasuk mereka yang memiliki
gangguan jangka panjang secara fisik, mental, intelektual, atau sensorik yang
dalam interaksinya dengan berbagai hambatan dapat menghalangi partisipasi
penuh dan efektif mereka di dalam masyarakat atas dasar kesetaraan dengan yang
lainnya”.
Sangatlah penting untuk mengakui bahwa disabilitas bukan dianggap
sebagai kondisi medis melainkan merupakan hasil dari interaksi manusia. Oleh
sebab itu, sikap negatif atau lingkungan yang diskriminasi harus dihilangkan, dan
penyandang disabilitas seharusnya tidak dianggap sebagai “orang yang perlu
diperbaiki” terkait dengan disabilitas mereka. Penyandang disabilitas tidak
memerlukan perlakuan khusus di dalam fasilitas yang sudah disesuaikan. Mereka
layak diperlakukan seperti semua orang untuk dapat berpartisipasi penuh di
masyarakat kita. Memiliki gangguan tidak berarti sakit atau dipengaruhi oleh satu
penyakit tertentu.
Seiring dengan terjadinya perubahan yang sangat dinamis tentang
paradigma pemberdayaan masyarakat dalam konteks Welfare State maka pola
penanganan juga mengalami pergeseran paradigma (paradigm shift).
Perubahan dimaksud mencakup pergeseran dari paradigma pelayanan dan
rehabilitasi (charity based)menjadi pendekatan berbasis hak (right based).
Dalam hal ini, penanganan penyandang disabilitas tidak hanya menyangkut pada
aspek kesejahteraan social sebagaimana yang menjadi ciri undang-undang
sebelumnya, tetapi semua aspek, terutama pemeliharaan dan penyiapan
lingkungan yang dapat mendukung perluasan aksesibilitas pelayanan terhadap
penyandang disabilitas. Gagasan tersebut, tentu merupakan hal yang perlu terus
diperjuangkan sedemikian rupa oleh segenap komponen bangsa. Komitmen
pemerintah sendiri tentang gagasan luhur tersebut sudah sampai pada kebulatan
tekad untuk mewujudkannya. Apalagi dengan perubahan paradigma dari charity

13
based menjadi right based, memberikan harapan cerah bagi upaya perwujudan
hak penyandang disabilitas secara sistematis, terarah, menyeluruh, sungguh-
sungguh dan berkesinambungan. Hal ini selaras dengan CRPD yang diadopsi
Majelis Umum PBB pada tanggal 13 Desember 2006 dan menjadi hukum positif
di Indonesia (Ius Constitutum) berdasarkan UU Nomor 19 Tahun 2011. Hal
yang relevan dengan penegasan ini adalah statement CRPD yang disadur dari
kantor PBB di New York, yaitu:
The Convention marks a "paradigm shift" in attitudes and
approaches to persons with disabilities. It takes to a new
height the movement from viewing persons with disabilities as
"objects" of charity, medical treatment and social protection
towards viewing persons with disabilities as "subjects" with
rights, who are capable of claiming those rights and making
decisions for their lives based on their free and informed
consent as well as being active members of society.The
Convention is intended as a human rights instrument with an
explicit, social development dimension. It adopts a broad
categorization of persons with disabilities and reaffirms that
all persons with all types of disabilities must enjoy all human
rights and fundamental freedoms.
Isi konvensi penyandang disabilitas tersebut memberikan dasar atau
jaminan bahwa penyandang disabilitas memiliki hak untuk mengembangkan diri
dan berdaya. Sebagai anggota masyarakat, lingkungan perlu memberikan
kesempatan untuk pemenuhan hak -hak tersebut. Namun demikian baik keluarga
maupun penyandang disabilitas itu sendiri tetap memegang peranan yang sangat
penting untuk mempercepat penyempurnaan cita-cita tersebut. Oleh karena itu
keluarga yang hendaknya memiliki kemampuan pengasuhan dan perawatan
sekaligus pendampingan yang dibutuhkan bagi penyandang disabilitas untuk
mengembangkan diri melalui penggalian potensi sesuai kemampuan, minat dan
bakat agar dapat menikmati, berperan, dan berkontribusi secara optimal, leluasa,
dan tanpa diskriminasi dalam segala aspek kehidupan berbangsa, bernegara dan
bermasyarakat.

14
2. 3 Prinsip-prinsip Utama Mengenai Penyandang disabilitas
Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) memberikan definisi disabilitas ke
dalam 3 kategori, yaitu: impairment, disability dan handicap. Impairment
disebutkan sebagai kondisi ketidaknormalan atau hilangnya struktur atau fungsi
psikologis, atau anatomis. Sedangkan disability adalah ketidakmampuan atau
keterbatasan sebagai akibat adanya impairment untuk melakukan aktivitas dengan
cara yang dianggap normal bagi manusia. Adapun handicap, merupakan
keadaan yangmerugikan bagi seseorang akibat adanya imparment, disability,
yang mencegahnya dari pemenuhan peranan yang normal (dalam konteks usia,
jenis kelamin, serta faktor budaya) bagi orang yang bersangkutan. Secara singkat
World Health Organization (WHO) memberikan definisi disabilitas sebagai
keadaan terbatasnya kemampuan untuk melakukan aktivitas dalam batas-batas
yang dianggap normal.
Menurut Kamus Bahasa Indonesia, kata disabilitas dapat diartikan dalam
berbagai makna, seperti: 1) kekurangan yang menyebabkan mutunya kurang baik
atau kurang sempurna (yang terdapat pada badan, benda, batin atau ahlak); 2)
Lecet (kerusakan, noda) yang menyebabkan keadaannya menjadi kurang baik
(kurang sempurna); 3) Cela atau aib; 4 ) Tidak (kurang sempurna). Dari
pengertian tersebut dapat diperhatikan bahwa disabilitas dalam Bahasa Indonesia
selalu dikonotasikan dengan kemalangan, penderitaan atau hal yang patut disesali/
dikasihani. Anggapan ini dengan sendirinya membentuk opini publik bahwa
penyandang cacat yang dalam bahasa Inggris disebut disabled person itu
adalah orang yang lemah dan tak berdaya (Bunay, n.d.).
1. Aksesibilitas
Pasal 9 dari UNCRPD menyatakan bahwa aksesibilitas
merupakan hal penting dalam memberikan kesempatan bagi mereka
yang memiliki disabilitas untuk dapat hidup secara mandiri dan
berpartisipasi penuh dalam kehidupan. Aksesibilitas sangatlah
berhubungan dengan berbagai hal:
• Aksesibilitas fisik – bangunan, transportasi, dan lain-lain. Akses
ke sarana pendidikan, akses masuk ke pengadilan, akses masuk
ke rumah sakit dan akses ke tempat kerja merupakan hal penting

15
bagi seseorang sehingga bisa menikmati hak asasi manusianya.
Ini termasuk di dalamnya: ramp (selain atau sebagai tambahan
dari tangga).
• Aksesibilitas informasi dan komunikasi – aksesibilitas pada
dunia maya sangatlah penting melihat begitu pentingnya internet
dalam mengakses informasi, namun juga aksesibilitas kepada
dokumentasi (Braille) atau informasi aural (bahasa isyarat).
2. Dukungan dan Penyesuaian yang Sewajarnya (Reasonable
Accomodation)
Dukungan dan Penyesuaian yang Sewajarnya menjadi bagian dari
Prinsip Umum Non-Diskriminasi Pasal 2 dari UNCRPD. Dukungan dan
penyesuaian yang sewajarnya harus diberikan bagi para penyandang
disabilitas dan djabarkan sebagai „modifikasi dan penyesuaian yang
dibutuhkan dan tepat tidak memaksakan beban yang berlebihan atau tidak
dapat dilakukan, dimana dibutuhkan pada kasus tertentu, untuk
memastikan penyandang disabilitas dapat menikmati atau menjalankan
kebebasan dan hak asasi manusia mereka secara setara dengan orang lain‟.
Misalnya, penyesuaian yang sewajarnya bisa berupa perubahan fisik di
tempat kerja, memodifikasi jadwal kerja atau memodifikasi kebijakan di
tempat kerja. Penyesuaian yang sewajarnya tidak mengharuskan
melakukan penurunan kinerja atau menghilangkan fungsi-fungsi penting
dari pekerjaan seseorang.
3. Memiliki Kesempatan yang Sama
Dengan pengesahan Konvensi Hak Penyandang Disabilitas,
diharapkan negara mampu mengutamakan pemenuhan perlindungan HAM
bagi penyandang disabilitas. Sangat dibutuhkan dukungan yang kuat dari
pemerintah sehingga pengesahan Konvensi ini tidak hanya menjadi
pelengkap peraturan hukum yang sudah ada. Pemerintah harus mempunyai
standar yang kuat dalam perlindungan, dan pemenuhan hak-hak
penyandang disabilitas. Tentu saja perlindungan dan pemenuhan HAM
bagi para penyandang disabilitas bukan hanya tugas dan kewajiban
pemerintah melainkan kewajiban semua elemen masyarakat di

16
Indonesia.Perlindungan HAM bagi penyandang disabilitas (penyandang
cacat) masih menjadi persoalan di negeri ini.
Kurangnya pemahaman masyarakat umum mengenai disabilitas
seperti menggolongkan penyandang disabilitas sebagai orang yang lemah,
terbelakang, dan tidak bisa mandiri mengakibatkan banyak bentuk
diskriminasi yang dialami oleh penyandang disabilitas. Tidak dapat
dipungkiri bahwa penyandang disabilitas belum mendapatkan
perlindungan Hak Asasi Manusia yang maksimal.
Beberapa bentuk diskriminasi yang dialami penyandang disabilitas
dapat dilihat dari kurangnya pemenuhan fasilitas dan akses-akses
pendukung bagi penyandang disabilitas di tempat umum, penolakan secara
halus maupun keras pada saat melamar pekerjaan, penolakan di bidang
pendidikan seperti masih banyaknya sekolah dan perguruan tinggi yang
menolak calon murid dan mahasiswa penyandang disabilitas karena dirasa
tidak mampu untuk menerima pelajaran yang diberikan. Padahal dalam
Undang-Undang Nomer 4 Tahun 1997 terdapat poin mengenai
aksesibilitas yaitu kemudahan yang disediakan bagi penyandang cacat
guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan
dan penghidupan.
Peran serta pemerintah sebagai pelaksana hukum dan penegak
keadilan di dalam lingkungan sosial masyarakat seharusnya lebih
ditekankan pula kepada aspek kesataraan dan usaha untuk merubah secara
perlahan-lahan paradigma masyarakat mengenai penyandang disabilitas
yang selama ini telah tercipta meskipun dalam praktiknya hal itu memang
memerlukan waktu yang tidak mungkin sebentar dan sekejap mata.
Pensosialisasian dan pendekatan berbeda perlu dilakukan guna
menyelesaikan disabilitas sosial masyarat yang sudah mulai mengakar ini.
Pendekatan tidak lagi dilakukan satu arah yakni hanya dengan
mengarahkan, melatih seta memberi semangat kepada para penyandang
disabilitas semata. Lebih dari itu, segala proses akan menjadi sia-sia
apabila tidak dibarengi dengan usaha dari pemerintah serta masyarakat
luas dan orang tua yang awalnya awam dan tidak mengerti mengenai

17
disabilitas dan segala bentuknya untuk menyadari betapa dibutuhkannya
usaha dan dukungan untuk turut serta menyatu dengan para penyandang
disabilitas dan menciptakan kesetaraan dan kesejahteraan nyata yang tidak
hanya sekedar bersifat teoritis dan hanya menjadi peraturan yang
tercantum dalam undang- undang semata tanpa dibarengi usaha dan
realisasi yang tepat sasaran dan efektif, tapi juga mampu mewujudkan
keadilan hukum dan kehidupan yang layak tidak hanya bagi para
penyandang disabilitas, tetapi juga untuk semua lapisan masyarakat tanpa
terkecuali.
Berdasarkan beberapa prinsip tersebut maka sudah saatnya
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat perlu
disempurnakan untuk mengakomodir pengaturan yang lebih tepat bagi
penyandang disabilitas. Ini tidak hanya bertujuan untuk menjamin
pemenuhan hak dan kebutuhan penyandang disabilitas, tetapi juga
memberikan tanggung jawab pada pemerintah dan masyarakat untuk lebih
berperan serta dalam meningkatkan harkat dan martabat mereka.
Penyempurnaan tersebut mencakup beberapa pokok sebagai berikut:
a. Perubahan terminologi “penyandang cacat’ menjadi
“penyandang disabilitas”.
Hal pertama yang harus diubah adalah istilah “penyandang cacat”,
yang bermakna negatif sehingga mempunyai dampak yang sangat
luas pada penyandang disabilitas sendiri, terutama dalam kaitannya
dengan kebijakan publik yang sering memposisikan penyandang
disabilitas sebagai objek dan tidak menjadi prioritas. Istilah
“penyandang cacat” dalam perspektif Bahasa Indonesia
mempunyai makna yang berkonotasi negatif dan tidak sejalan
dengan prinsip utama hak asasi manusia, yakni kesamaan harkat
dan martabat semua manusia, dan sekaligus bertentangan dengan
nilai- nilai luhur bangsa kita yang menjunjung tinggi harkat dan
martabat manusia.
b. Perubahan konsep dari charity-based ke Human Rights-
based

18
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat
memuat pengaturan yang didasarkan pada konsep charity atau
perlakuan atas dasar belas kasihan, tidak sebagai upaya melindungi
hak asasi manusia dan meningkatkan pengembangan diri
penyandang dsabilitas.Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997
memposisikan penyandang disabilitas sebagai objek, bukan subjek,
yang sebenarnya memiliki kreativitas dalam pengembangan
karakter. Penyempurnaan yang harus dilakukan adalah merubah
konsep bahwa penyandang disabilitas hanya membutuhkan
bantuan saja, tetapi lebih dari itu bahwa penyandang diasbilitas
juga memiliki hak- haknya sebagai seorang manusia. Upaya untuk
memprioritaskan penyandang disabilitas dalam pemberdayaan baik
di bidang pendidikan maupun pekerjaan serta aspek kehidupan
lainnya harus lebih ditingkatkan.
Persepsi keliru masyarakat tentang penyandang disabilitas, yang
antara lain disebabkan dan dibentuk oleh budaya serta mitos-
mitos, hinga kini juga masih sangat dirasakan. Banyak keluarga
yang malu memiliki anak dengan disabilitas, akibatnya mereka
disembunyikan saja di rumah. Sudah dapat dibayangkan,
penyandang disabilitas yang tumbuh di lingkungan semacam ini
akan menjadi beban keluarga karena mereka tidak berpendidikan,
tidak mandiri, dan tentu tidak produktif. Namun demikian, jika
pemerintah dan masyarakat melakukan investasi yang cukup
melalui alokasi dana untuk pemberdayaan, maka penyandang
disabilitas akan menjadi manusia yang lebih cerdas, mandiri, dapat
berfungsi di masyarakat dengan bekerja, produktif dan menjadi
pembayar pajak. Ini merupakan langkah awal dalam pemenuhan
hak-hak penyandang disabilitas yaitu dipandang sebagai manusia
dan diberikan kesempatan yang sama dengan yang tidak
mengalami disabilitas.
c. Peningkatan tanggug jawab negaraterhadap
perlindungan penyandang disabilitas

19
Peningkatan kesadaran masyarakat dan tanggung jawab
Negara untuk mengatasi disabilitas menjadi tugas penting sehingga
setiap orang, terlepas dari jenis dan keparahan disabilitas yang
dimiliki mampu menikmati hak-hak mereka yang paling mendasar.
Kekhawatiran atas perlakuan yang diskriminatif terhadap
penyandang disabilitas bukanlah perkara yang mengada-ada.
Meskipun UUD 1945 memuat pernyataan yang jelas yang
mendorong non-diskriminasi, kesamaan di hadapan hukum, dan hak
untuk memperoleh perlakukan yang sama di hadapan hukum,
peraturan perundang- undangan terkait penyandang disabilitas
belum mewujudkan perlindungan-perlindungan tersebut. Ada juga
aturan KUHP dan KUHAP yang memandang penyandang disabilitas
sebagai orang-orang yang tak cakap hukum. Belum lagi bangunan-
bangunan yang tidak aksesibilitas bagi penyandang disabilitas saat
berhadapan dengan hukum, misal Kantor Kepolisian dan Pengadilan
yang tidak ramah atas kebutuhan mereka.

2. 4 Pengertian Kelainan Genetik


Kelainan genetika (genetic abnormally) adalah sebuah kondisi kelainan
oleh satu atau lebih gen yang menyebabkan sebuah kondisi fenotipe klinis
atau merupakan penyimpangan dari sifat umum/sifat rata - rata manusia
Penyakit Genetika (genetic disorder) adalah penyakit yang muncul karena tidak
berfungsinya faktor-faktor genetik yang tidak mengatur struktur dan fungsi
fisiologi tubuh manusia. Penyakit genetika disebabkan oleh adanya kelainan gen
yang di turunkan saat terjadinya pembuahan sel sperma terhadap ovum . Penyakit
genetika bisa saja diturunkan dari orang tua yang sehat , namun memiliki gen
yang rusak sehingga si anak memiliki gen yang rusak juga .
Selain itu , bisa juga disebabkan oleh adanya ketidak normalan jumlah
kromosom antara kromosom X dan Y . Juga bisa karena kerapuhan sindrom X
yang disebabkan adanya mutasi gen berulang . Ketidak normalan jumlah
kromosom dapat dilihat dari standar disasi jumlah krosom pada manusia . Pada
manusia , formula kromosom kaum pria yakni 46,XY atau dapat ditulis 44+xy ,

20
sedangkan kaum wanita yakni 46,xx , atau dapat di tulis 44+ xx . Kelebihan atau
kekurangan jumlah kromosom , bisa menyebabkan penyakit genetic.

2. 5 Klasifikasi Genetik
Penyakit genetik dapat di klasifikasikan menjadi 4 macam , yakni karena
kelainan kromosomal , single gene atau kelainan mendel , kelainan multifaktorial ,
dan mitokondrial .
 Kelainan kromosomal, Kelainan kromosomal ditandai dengaan kelainan
jumlah atau struktur kromosom , bisa pada autosom maupun gonosom
(kromosom kelamin) . penyakit genetik yang disebabkan kelainan autosom
ialah sindroma down (mongolid syndrome) , slidroma patau , slidroma
edwars , dan sidroma “cri-du-chat”. Sementara yang disebabkan kelainan
gonosom ialah sidroma turner . kelainan gonosom inilah yang saat ini
banyak menjadi pemberitaan di media , dengan di eksposnya seseorang
yang di anggap memiliki kelamin ganda .
 Single gene, Kelainan genetik lainnya yakni single gene atau
monogeneticdisorders . kelainan genetik ini bisa menyebabkan penyakit
huntington dan cystice vibrosis . hanya saja , jenis penyakit memang agak
jarang ditemui meskipun ada juga beberapa manusia yang menderita
penyakit huntingtong.
 Kelainan multi fektoral, Kelaianan genetik multivectorial disebabkan
bukan hanya oleh kelainan gen saja , melainkan melibatkan juga
lingkungan dan interaksi antara gen dengan lingkungan tersebut .
 Kelainan mitokondria, Kelainan ini disebabkan adanya mutasi pada
kromosom sitoplasma mitokondria . penurunan kelainan mitokondria
diturunkan secara internal.

2. 6 Kelainan Genetika
Kelainan genetika terbagi pada beberapa jenis antara lain :
1) Kelainan Dominan Autosomal
ciri dominan dalam keadaan heterozigot penderita mempunyai salah satu
orang tua yang sakit maka setengah anaknya akan terkena juga.

21
2) Kelainan resesif autosomal
Penurunan resesif autosomal hanya dapat dilihat jika terdapat defek alel
atau mutan alel pada kedua orang tuanya. Kedua orang tuanya dapat sehat
tetapi membawa gen mutan atau dapat juga menderita penyakit tersebut.
Biasanya orang tua tidak memiliki genotipe homozigot pelacakan
suatu gangguan ini dalam keluarga biasanya tidak mungkin di
lakukan karena semua individu yang terkena berada dalam generasi yang
sama, misalnya kakak dan adik . Pada penyakit yang jarang, sering
yang di dapatkan orangtua yang mempunyai hubungan keluarga
sehingga memiliki banyak gen yang sama . jika penyakit ini sering
terjadi seperti halnya fibrisis kristik , terdapa insiden gen yang lebih besar
di populasi umum dan signifikasi kedua orangtua yang merupakan sepupu
tinggkat pertama menjadi minimal .
3) Kelainan Resesif Autosom, Ciri dominan dalam keadaan homozigot.
4) Kelainan Intermedia, Disebut juga dominan tidak lengkap (kodominan)
5) Kelainan Terpaut, Kromosom SeksTerangkai seks parsial (x dan y).
6) Kelainan resesif, terangkai x pada kromosom xBerikut adalah pola
penurunan resesif autosomal dan fibrosis kristik .
7) Fibrosis Kristik
Fibrosis kristik adalah penyakit multisistem dengan karakteristik
produksi mukus (lendir) yang kental di paru paru dan pankreas .
anank anak dalam penyakit ini rentang terinfeksi . terutama terinfeksi
bakteri kronik . Anak anak yang lahir dengan penyakit ini memiliki
orang tua dengan gen heterozigot . kemungkinan memiliki anak yang
terkena penyakit ini adalah 1 berbanding 4 , dengan anak karier adalah 1
banding 2 , dan anak yang sehat adalah 1 banding 4

2. 7 Penyebab Kelainan Genetik


Beberapa penyebab kelainan dan penyakit genetik antara lain:
a) Disebabkan oleh mutasi gen . Mutasi gen adalah perubahan susunan
gen yang umumnya tidak sempurna atau cacat . Oleh karena itu ,

22
alel mutan bersifar resesif , sedangkan alel normalnya dominan .
Namun adajuga mutasi yang bersifat dominan .
b) Ketidaknormalan jumlah kromosom seperti dalam sindrome down (adanya
ekstra kromosom 21) dan sindrom klinefelter (laki-laki dengan 2
kromosom x)gen rusak yang diturunkan dari orang tua, dalam kasus
ini, penyakit genetik juga dikenal dengan istilah penyakit keturunan.
Kondisi ini terjadi ketika individu lahir dari dua individu sehat pembawa
gen rusak tersebut, tetapi dapat juga terjadi ketika gen yang rusak
tersebut merupakan gen yang dominan.

2. 8 Penyakit Kelainan Genetik Dan Kromosom


Beberapa kelainan gen atau kromosom utama:
a. Phenylketonuria (PKU)

Adalah suatu kelainan


genetic yang menyebabkan
individu tidak dapat secara
sempurna
memetabolismekan
protein. Pku dewasa ini mudah dideteksi, tetapi kalau tetap tidak
tersembuhkan, dapat menyebabkan keterbelakangan mental dan hiperaktif.
Bila terdeteksi, kelainan disembuhkan dengan diet untuk menjaga zat
racun yang masuk ke dalam system saraf. Pku melibatkan suatu gen resesif
dan terjadi kira-kira sekali pada setiap 10.000 hingga 20.000 kelahiran
hidup.
b. Down Syndrome

Down Syndrome
yang dibawa sejak bayi lahir, dimana hal
tersebut terjadi ketika saat masa embrio,
kemudian terjadi kesalahan dalam
pembelahan sel yang disebut
"nondisjunction" embrio yang biasanya

23
menghasilkan dua salinan kromosom 21, pada kelainan Down Syndrome
merupakan suatu kondisi dimana adanya kelainan genetik yang dibawa
sejak bayi lahir, dimana hal tersebut terjadi ketika saat masa embrio,
kemudian terjadi kesalahan dalam pembelahan sel yang disebut
"nondisjunction" embrio yang biasanya menghasilkan dua salinan
kromosom 21, pada kelainan down syndrome akan menghasilkan 3
kromosom 21 akibatnya bayi yang harusnya memiliki 46 kromosom
menjadi memiliki 47 kromosom tidak seperti lazimnya (Info Datin, 2019).
Anak dengan down syndrome biasanya mengalami keterbelakangan
perkembangan mental dan fisik yang diakibatkan adanya kekurang dalam
perkembangan kromosom. Kemandirian pada anak umumnya dipengaruhi
oleh keluarga dan pola asuh yang diberikan orang tua. Proses berkembang
kemandiriam anak berawal Dari masa anak-anak dimana pada masa
tersebut orang tua sebaik mungkin memberikan pemahaman dan
kesempatan anak untuk bereksplorasi dan belajar dari lingkungan
sekitarnya. (Nurprikhatin, 2019).
Anak down syndrome mempunyai tingkat kemandirian yang kurang
mandiri karena disebabkan dari keterbelakangan yang dimiliki anak
tersebut. Tujuan akhir dari setiap perkembangan adalah terciptanya
kemandirian sehingga anak dengan down syndrome membutuhkan lebih
banyak bimbingan baik dari orang tua maupun guru dalam mencapai
kemandirian anak.
Pola asuh otoritatif orang tua dengan tingkat kemandirian anak down
syndrome sangat erat kaitannya. Pola asuh otoritatif merupakan salah
satu jenis pola asuh yang memberikan kebebasan pada anak, perhatian
dan kasih sayang namun orang tua masih menetapkan control dan
batasan atas apa tindakan yang akan dilakukan anak sedangkan tingkat
kemandirian anak down syndrome merupakan hasil dari pengaplikasian
pola asuh otoritatif dimana kemandirian anak dapat dilihat dari cara anak
tersebut dapat bertanggung jawab, mampu mengambil keputusan,
percaya diri, disiplin, kreatif dan dapat menyelesaikan masalah tanpa
bantuan dari orang lain. Berdasarkan penelitian Rohimah (2019)

24
menunjukan bahwa terdapat hubungan pola asuh otoritatif terhadap
kemandirian anak usia 5-6 tahun di Pekon Sukamarga.
c. Anemia Sel Sabit (Sickle-cell anemia),
Merupakan kelainan
tubuh. Dapat
menyebabkan
pembengkakan tulang
persendian, krisis sel sabit,
kegagalan jantung dan
ginjal. Sel darah merah
biasanya berbentuk seperti cakram atau piringan hitam. Sel-sel ini
mati dengan cepat sehingga terjad
Merupakan kelainan darah yang menghambat pasokan oksigen
tubuh.
Dapat menyebabkan pembengkakan tulang persendian, krisis sel
sabit, kegagalan jantung dan ginjal. Sel darah merah biasanya
berbentuk seperti cakram atau piringan hitam. Sel-sel ini mati
dengan cepat sehingga terjadi anemia dan kematian individu secara dini
d. Turner Syndrome

Turner Syndrom
membuatnya tidakakan pernah
mengalami menstruasi. Sedangkan
Mosaic Turner Syndrome hanya
proporsi kromosomnya yang tidak
normal dan ini menjelaskan mengapa mereka masih mengalami
menstruasi.Mosaic Turner Turner Syndrome menyebabkan gadis
kehilangan satu kromosom X yang membuatnya tidakakan pernah
mengalami menstruasi. Sedangkan Mosaic Turner Syndrome hanya
proporsi kromosomnya yang tidak normal dan ini menjelaskan
mengapa mereka masih mengalami menstruasi. Mosaic Turner
Syndrome (MTS) merupakan suatu kondisi genetik yang berarti
seorang wanita kehilangan kromosom X (kromosom seks), yang

25
merupakan kromosom dalam beberapa sel dan mempengaruhi
perkembangan seksual. Penyembuhan bisa menggunakan terapi hormone.
e. Spina Bifida

Spina Bifida
belakang (vertebra), yang terjadi
karena bagian dari satu atau
beberapa vertebra gagal
menutup atau gagal terbentuk
secara utuh.Resiko melahirkan
anak dengan spina bifida
berhubungan erat dengan kekurangan asam folat, terutama Spina Bifida
(Sumbing Tulang Belakang) adalah suatu celah pada tulang belakang
(vertebra), yang terjadi karena bagian dari satu atau beberapa
vertebra gagal menutup atau gagal terbentuk secara utuh. Resiko
melahirkan anak dengan spina bifida berhubungan erat dengan
kekurangan asam folat, terutama yang terjadi pada awal kehamilan.
Penonjolan dari korda spinalisdan meningensmenyebabkan kerusakan
pada korda spinalis dan akar saraf, sehingga terjadi penurunan atau
gangguan fungsi pada bagian tubuh yang dipersarafi oleh saraf
tersebutatau di bagian bawahnya. Gejalanya tergantung kepada letak
anatomis dari spina bifida. Kebanyakan terjadi di punggung
bagian bawah, yaitu daerah lumbalatau sakral, karena penutupan
vertebra di bagian ini terjadi paling akhir.
f. Anencephaly

Anencephaly
selama awal kehamilan, yang dapat
menyebabkan kerusakan jaringan yang nantinya
akan membentuk otak dan tulang yang
melindungi massa tulang.Sayangnya,
diperkirakan bahwa 75 persen dari janin
yang memiliki cacat ini gagal Anencephaly

26
adalah cacat pada jaringansaraf primitif, yang terjadi selama awal
kehamilan, yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang nantinya
akan membentuk otak dan tulang yang melindungi massa
tulang.Sayangnya, diperkirakan bahwa 75 persen dari janin yang
memiliki cacat ini gagal untuklahir, dan 25 persen sisanya
meninggal dalam beberapa jam setelah lahir. Untuk alasan ini, maka
hal ini dianggap sebagai malformasi paling parah kedua, berhubungan
dengan kelainan tabung saraf.
Gejala utama selama kehamilan polihidramnion, yaitu terdapat cairan
ketuban dalam jumlah besar.dan jika kehamilan berlangsung hingg
melahirkan, maka akan terjadi hal berikut pada bayi:Tidak adanya
kubah tengkorakTidak adanya otak (belahan otak dan otak)Cacat
jantungJika semua wanitapada usia subur, mendapatkan tambahan
vitamin asam folat sebanyak 0,4 mg setiap harinya sampai dengan
kehamilannya pada trimester pertama, maka tingkat kejadian
anencephaly dan spina bifida pada kasus yang rawan dapat ditekan
hingga 50 –70%.

2. 9 Peran Bidan
Masalah kesehatan mental di Indonesia memprihatinkan. Tingginya angka
prevalensi gangguan jiwa tidak sebanding dengan tersedianya jumlah profesi yang
menangani dan fasilitas pelayanan yang memadai. Sofia Retnowati, Guru Besar
Fakultas Psikologi UGM, memaparkan bahwa hanya ada psikiater sejumlah 600
orang dan psikolog klinis sekitar 365 orang dari penduduk Indonesia yang
berjumlah sekitar 241 juta jiwa pada tahun 2011, jumlah. Sofia melanjutkan,
ketidakseimbangan kapasitas layanan kesehatan jiwa mengindikasikan tingginya
treatment gap. “Permasalahan kesehatan jiwa ini menyebabkan penderitaan yang
berkepanjangan bagi individu, keluarga, masyarakat, dan negara,” paparnya.
Menurut Sofia, salah satu strategi yang harus dilakukan adalah dengan
memasukkan layanan kesehatan jiwa ke pelayanan primer. Caranya dengan
menempatkan psikolog di Puskesmas-Puskesmas Indonesia. (Pramesti, 2011)

27
Akhirnya dibuatlah suatu kebijakan agar hambatan-hambatan yang sudah
terjadi di masa lampau dapat tertangani dengan baik yakni terus melanjutkan
pelatihan terhadap tenaga kesehatan di tingkat puskesmas seperti dokter dan
perawat dengan fokus pelatihan pada kelainan fisik yang didasari oleh kelainan
mental. Kondisi tersebut seringkali dilewatkan oleh dokter maupun perawat.
Kemudian dilakukanlah pendekatan agar kebijakan yang telah dibuat yakni
pelayanan kesehatan mental harus tersedia di puskesmas. Tanggung jawab
pelayanan terletak pada dokter, perawat, bidan di puskesmas ataupun penyedia
jasa kesehatan yang bukan berasal dari puskesmas namun dengan kompetensi
yang sesuai. Kantor kesehatan yang berada di suatu daerah wajib mengadakan
pelatihan terhadap SDM (Sumber Daya Manusia) yang terdapat di Puskesmas di
mana materi pelatihan dititikberatkan pada deteksi dini, memberikan
penjelasan/konseling dasar sebagai prioritas utama, dan penanganan serta
pengobatan yang tepat guna dan tepat sasaran. (Pramesti, 2011)
Penyedia jasa pelayanan kesehatan yang berasal dari pusat pelayanan
kesehatan mental seperti psikiatris, psikolog, dan perawat kesehatan mental hanya
berperan sebagai konsultan dan pengawas sehingga tidak terjadi ketergantungan
terhadap ahli-ahli kesehatan mental yang berada di pusat. Para ahli tersebut sulit
dijangkau oleh masyarakat di daerah perifer. Prioritas penanganan pertama tetap
berada di pundak tenaga kesehatan di tingkat puskesmas dan diizinkan untuk
merujuk jika terdapat kasus yang sulit ataupun berada di luar kompetensinya.
Menkes mengatakan, upaya lain yang tidak kalah pentingnya adalah
Pemberdayaan ODGJ, agar dapat hidup mandiri, produktif, dan percaya diri di
tengah masyarakat umum, bebas dari stigma, diskriminasi atau rasa takut, malu
serta ragu-ragu. Upaya ini sangat ditentukan oleh kepedulian keluarga dan
masyarakat di sekitarnya. (Pusat Komunikasi Publik Sekretariat Jenderal
Kementerian Kesehatan RI, 2014)
ODGJ dengan disabilitas seharusnya memperoleh pelayanan kesehatan
dan pelayanan umum agar tujuan kemandirian dapat tercapai.Menkes
mengharapkan agar seluruh jajaran Pemerintah dan lapisan masyarakat, tokoh
agama, tokoh adat, tokoh masyarakat, organisasi masyarakat, organisasi profesi,
dan dunia usaha dan swasta, dapat mendukung upaya Pemerintah dalam

28
memberikan pelayanan kesehatan jiwa terbaik kepada Masyarakat. Stigmatisasi
dan diskriminasi terhadap siapa pun juga harus dihapuskan dari bumi Indonesia
karena bertentangan dengan hak asasi manusia dan berdampak pada munculnya
berbagai masalah sosial, ekonomi, dan keamanan di masyarakat. (Pusat
Komunikasi Publik Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI, 2014)
Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang
memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonmis.
Pengertian sehat menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 1948 yaitu
“suatu keadaan fisik, mental, dan sosial kesejahteraan dan bukan hanya ketiadaan
penyakit atau kelemahan”. Kesehatan mental adalah kemampuan untuk
menyesuaikan diri dengan diri sendiri, dengan orang lain, dan dengan masyarakat
di mana dia hidup. Penyesuaian diri dengan diri sendiri dapat dilakukan bila
seseorang dapat menerima dirinya sebagaimana adanya, dengan segala
kekurangan dan kelebihannya. Di samping itu, orang harus berusaha mengenal,
memahami dan menilai orang lain secara objektif. Seseorang harus menyadari
bahwa dirinya tidak hidup terlepas dari masyarakat atau lingkungan tempat ia
hidup, sehingga harus mengetahui dan hidup dengan norma-norma, peraturan-
peraturan, adat istiadat, yang dimiliki masyarakat atau lingkungan itu. Jadi orang
yang bermental sehat adalah orang yang dapat menguasai segala faktor dalam
hidupnya sehingga ia dapat mengatasi kekalutan mental sebagai akibat dari
tekanan-tekanan perasaan dan situasi yang menimbulkan frustasi (John W
Santrock, 1995).
Gangguan jiwa merupakan satu dari tiga penyebab disabilitas dan
mempengaruhi seluruh komunitas. Mereka yang mengalami disabilitas psikiatrik
menghadapi masalah yang besar, mulai dari hambatan institusional, legal, sikap
lingkungan ketika mencari pekerjaan, sampai reintegrasi dengan masyarakat
setelah sembuh. Kondisi kesehatan dan kesehatan jiwa bersifat tidak terpisahkan
(inseparable) dan berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga di 11 kota pada
tahun 1995, ditemukan 185 penderita gangguan jiwa dalam populasi 1.000
penduduk Indonesia. Ditinjau menurut kelompok umur, persentase gangguan
penglihatan dan pendengaran semakin meningkat dengan semakin bertambahnya
umur. Gangguan mental emosional, tinggi pada kelompok umur 20–24 tahun, 35–

29
39 tahun dan 40–44 tahun. ART dengan gangguan 2 atau lebih cenderung
meningkat dengan bertambahnya umur. Persentase tinggi ditemukan pada
kelompok lansia (> 60 tahun) (SKRT, 2004). Jenis gangguan mental emosional
tidak berbeda menurut jenis kelamin, hanya pada 2 gangguan tau lebih,
persentasenya sedikit lebih tinggi pada perempuan dibanding laki-laki.
Badan litbangkes mengadakan riset kesehatan dasar (Riskesdas) pada
tahun 2007 dan 2013 yang menghasilkan data morbiditas, disabilitas, kesehatan
mental dan gaya hidup. Kesehatan fisik diukur berdasarkan morbiditas penyakit
menular dan tidak menular serta disabilitas/ketidakmampuan yang meliputi
penilaian terhadap kemampuan melihat, mendengar, gangguan nyeri, gangguan
emosi, gangguan tidur, gangguan bergerak dan gangguan pernafasan.
Kebutuhan difabel akan pelayanan kesehatan pada tingkat pelaksanaan di
lapangan dapat dilihat dari tiga faktor (Kurniawan dkk, 2013).
1. Fasilitas kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan difabel. Difabel dengan
keterbatasan fisiknya membutuhkan fasilitas tambahan untuk menunjang
pelayanan kesehatan. Fasilitas tersebut antara lain adalah tenaga medis
atau nonmedis yang dapat berkomunikasi dengan difabel sehingga
memudahkan proses anamnesa dan pembuatan diagnosa, dan fasilitas-
fasilitas pendukung yang lain.
2. Organisasi sosial atau yayasan pendamping dan pendidikan inklusif.
Dibutuhkan oleh difabel dalam proses pencarian pelayanan kesehatan
melalui proses pendampingan.
3. Keluarga. Peran keluarga difabel tidak hanya dalam tahap pencarian
pelayanan kesehatan, namun juga pendampingan selama proses
pengobatan, pengambil keputusan yang berhubungan dengan kebutuhan
pengobatan, dan sebagai mediator antara difabel dengan tenaga medis.
Difabel sebagai pihak pemanfaat utama memiliki dua karakteristik, yaitu difabel
mandiri dan tidak mandiri. Difabel mandiri dapat mengakses fasilitas kesehatan
tanpa dampingan dari pihak lain dan menyesuaikan diri dengan aksesibilitas
fasilitas kesehatan yang standard. Di sisi lain, terdapat pula difabel yang sangat
bergantung pada bantuan orang lain. Kedua karakteristik difabel tersebut tetap

30
membutuhkan perhatian khusus dalam hal perancangan akses pelayanan
kesehatan, baik aksesibilitas fisik maupun nonfisik. (Paramita, 2015)
Menjadi difabel ditengah masyarakat yang menganut paham ‘normalisme’,
paham pemuja kenormalan, di mana semua sarana umum yang ada didesain
khusus untuk ‘orang normal’ tanpa adanya fasilitas bagi difabel adalah sangat
sulit. Dipandang kasihan atau tidak dianggap dalam bermasyarakat adalah sesuatu
yang acap kali kita lihat di lingkungan difabel. Bahkan pusat rehabilitasi sekalipun
diciptakan menjadikan mereka ‘berbeda’ dengan orang lain. Terlebih dengan
sebutan ‘rehabilitasi’ difabel disetarakan dengan para pecandu narkotika dan obat
obatan terlarang seolah mengalami kecacatan adalah sebuah penyakit yang harus
segera diobati. (Khairiyah Ar-Rasily & Kusuma Dewi, 2016)
Akan tetapi benarkah menjadi difabel adalah setara dengan digerogoti
penyakit? Seseorang yang memang diciptakan dengan satu ‘perbedaan’ oleh Sang
Pencipta mungkin tidaklah membutuhkan rehabilitasi melainkan lebih
membutuhkan persamaan derajat dan pengakuan dari lingkungannya. Data World
Health Organization (2011) menunjukkan jumlah difabel adalah sekitar 15% dari
seluruh penduduk dunia, yang 2–4% di antaranya mengalami permasalahan fisik
yang signifikan. Data Riskesdas (2013) menunjukkan bahwa prevalensi nasional
disabilitas (usia > 15 tahun) adalah 11,0%, dengan masalah yang menonjol adalah
sulit berjalan jarak jauh (6,8%), sulit berdiri lama (5,8%), dan sulit mengerjakan
kegiatan rumah tangga (4,6%). Data jumlah difabel tersebut tampaknya belum
sepadan dengan perhatian yang seharusnya diberikan pada mereka (Paramita,
2015).
Persoalan difabel tampaknya masih kurang menarik dibandingkan dengan
masalah-masalah sosial yang lain. Kurangnya dukungan sarana fisik untuk difabel
di fasilitas kesehatan, kurangnya kemampuan petugas kesehatan dalam
berkomunikasi dengan mereka, berikut pemahaman para pelayan kesehatan pada
hak-hak dan kebutuhan difabel seringkali menjadi sebuah kendala. Hal ini dapat
dilihat pada kurangnya dukungan sarana umum, termasuk pelayanan kesehatan
yang dapat diakses oleh difabel (Nurkolis, 2002).
Kenyataan di lapangan menunjukkan, minimnya sarana pelayanan sosial
dan kesehatan serta pelayanan lainnya yang dibutuhkan oleh para difabel,

31
termasuk aksesibilitas terhadap pelayanan umum yang dapat mempermudah
kehidupan difabel di mana sebagian besar hambatan aksesibilitas tersebut berupa
hambatan arsitektural, membuat difabel kehilangan haknya dalam mendapatkan
pelayanan yang baik (Khairiyah Ar-Rasily & Kusuma Dewi, 2016).

Peran bidan dalam upaya pencegahan dengan deteksi dini kelainan bawaan
antara lain :
1. Deteksi pada masa sebelum kehamilan
Pada masa ini dilakukan deteksi melalui riwayat kesehatan
keluarga, apakah ada risiko penyakit tertentu dalam keluarga atau apakah
salah satu dari orangtua merupakan pembawa (carrier) terhadap penyakit
tertentu. Deteksi ini penting dilakukan di daerah yang banyak kejadian
perkawinan antar-keluarga.
2. Deteksi Dini masa Kehamilan
Kondisi kesehatan ibu hamil menjadi salah satu risiko yang dapat
meningkatkan terjadinya kelainan bawaan, seperti usia ibu hamil, perilaku
konsumsi alkohol, perilaku merokok, dan lainnya. USG
dapatmendeteksi kelainan struktur organ dan Sindrom Down pada
trimester pertama dan kelainan organ yang lebih berat tingkat
keparahannya pada trimester berikutnya.
Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan ibu hamil, dalam
upaya pencegahan kelainan bawaan. Ibu hamil sebaiknya segera
berkonsultasi dengan tenaga kesehatan setelah mengetahui dirinya hamil.
Kunjungan antenatal dilakukan rutin setiap bulan atau minimal empat
kali selama kehamilan untuk memantau perkembangan janin dan
sebagai deteksi dini jika terjadi kelainan pada organ dan infeksi lainnya.
3. Deteksi pada saat kelahiran

32
Beberapa kelainan bawaan seperti Anensefali, Celah bibir, dan
Talipes/Club foot dapat dideteksi secara langsung. Sedangkan kelainan
bawaan lain seperti gangguan pendengaran dan kelainan

33
BAB III
PENUTUP
3. 1 Kesimpulan
Disabilitas adalah ketidakmampuan melaksanakan suatu aktivitas/kegiatan
tertentu sebagaimana layaknya orang normal yang disebabkan oleh kondisi
impairment (kehilangan atau ketidakmampuan) yang berhubungan dengan usia
dan masyarakat (Glosarium Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial | 2009).
Berdasarkan definisi yang diterbitkan oleh Kementerian Sosial Tahun
2005, penyebab disabilitas dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu disabilitas akibat
kecelakaan (korban peperangan, kerusuhan, kecelakaan kerja/industri, kecelakaan
lalu lintas serta kecelakaan lainnya), disabilitas sejak lahir atau ketika dalam
kandungan, termasuk yang mengidap disabilitas akibat penyakit keturunan, dan
disabilitas yang disebabkan oleh penyakit (penyakit polio, penyakit kelamin,
penyakit TBC, penyakit kusta, diabetes dll).
Kelainan genetika (genetic abnormally) adalah sebuah kondisi kelainan
oleh satu atau lebih gen yang menyebabkan sebuah kondisi fenotipe klinis
atau merupakan penyimpangan dari sifat umum/sifat rata - rata manusia.
Penyakit Genetika (genetic disorder) adalah penyakit yang muncul karena tidak
berfungsinya faktor-faktor genetik yang tidak mengatur struktur dan fungsi
fisiologi tubuh manusia. Penyakit genetika disebabkan oleh adanya kelainan gen
yang di turunkan saat terjadinya pembuahan sel sperma terhadap ovum . Penyakit
genetika bisa saja diturunkan dari orang tua yang sehat , namun memiliki gen
yang rusak sehingga si anak memiliki gen yang rusak juga.

3. 2 Saran
Penulis menyadari sepenuhnya jika makalah ini masih banyak kesalahan
dan jauh dari sempurna. Oleh karena itu untuk memperbaiki makalah tersebut
penulis meminta kritik yang membangun dari para pembaca.

34
DAFTAR PUSTAKA
Bunay. (n.d.). Disabilitas fisik. 2018, 2(1), 1–25.

Khairiyah Ar-Rasily, O., & Kusuma Dewi, P. (2016). Faktor - Faktor Yang
Mempengaruhi Tingkat Pengetahuan Orang Tua Mengenai Kelainan Genetik
Penyebab Disabilitas Intelektual Di Kota Semarang. Diponegoro Medical
Journal (Jurnal Kedokteran Diponegoro), 5(4), 1428–1430.

Sari, I. P., & Yendi, F. M. (2018). Peran Konselor dalam Meningkatkan


Kepercayaan Diri Siswa Disabilitas Fisik. SCHOULID: Indonesian Journal
of School Counseling, 3(3), 80. https://doi.org/10.23916/08408011

Tarsidi, D. (2011). Telaah ♦ Kendala Umumyang


dihadapiPenyandangDisabilitas* Didi Tarsidi Kendala Umum yang
Dihadapi Penyandang Disabilitas dalam Mengakses Layanan Publik. 10,
201–205.

Winarsih, S., Hendra, J., Idris, F. H., & Adnan, E. (2013). Panduan penanganan
nak berkebutuhan khusus bagi pendamping (orang tua, keluarga, dan
masyarakat). Kementerian Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan
Anak Republik Indonesia, 1–17.
https://www.kemenpppa.go.id/lib/uploads/list/b3401-panduan-penanganan-
abk-bagi-pendamping-_orang-tua-keluarga-dan-masyarakat.pdf

https://pusdatin.kemkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/infoda
tin/infodatin-kelainan-bawaan.pdf

35

Anda mungkin juga menyukai