Anda di halaman 1dari 56

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH IBU DENGAN KEJADIAN

STUNTING PADA ANAK PRA SEKOLAH


DI PUSKESMAS BULILI PALU
TAHUN 2023

WINARTI OLGHA
NIM:B2306235

PROGRAM STUDI SARJANA KEBIDANAN ( S-1 )


UNIVERSITAS MEGA BUANA PALOPO
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan

rahmat, karunia serta hidayah-Nya, sehingga penelitian dapat menyelesaikan

penyusunan Proposal yang berjudul “Hubungan Antara Pola Asuh Ibu Dengan

Kejadian Stunting Pada Anak Pra Sekolah Di Puskesmas Bulili Palu Tahun 2023”
DAFTAR ISI

Halaman
SAMPUL DEPAN
KATA PENGANTAR........................................................................... ii
DAFTAR ISI.......................................................................................... iii
DAFTAR TABEL.................................................................................. v
DAFTAR GAMBAR............................................................................. vi
DAFTAR LAMPIRAN......................................................................... vii

BAB 1 PENDAHULUAN...................................................................... 1
1.1 Latar Belakang................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah.............................................................. 4
1.3 Tujuan Penelitian............................................................... 5
1.4 Manfaat Penelitian............................................................. 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA............................................................ 7


2.1 Pola Asuh............................................................................ 7
2.1.1 Pengertian........................................................................... 7
2.1.2 Asuh Makan....................................................................... 7
2.1.3 Asuh Diri............................................................................ 8
2.1.4 Asuh Kesehatan.................................................................. 9
2.1.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh orang tua.... 11
2.2 Stunting.............................................................................. 13
2.2.1 Pengertian........................................................................... 13
2.2.2 Dampak Stunting................................................................ 13
2.2.3 Penyebab Stunting.............................................................. 13
2.2.4 Strategi Intervensi Stunting................................................ 17
2.2.5 Pengukuran Gizi................................................................. 24
2.3 Anak Prasekolah................................................................ 25
2.3.1 Pembagian tahap masa kanak-kanak.................................. 25
2.3.2 Masa prasekolah................................................................. 25
2.3.3 Ciri-ciri Perkembangan Anak Usia Prasekolah................. 27
2.3.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan
dan perkembangan............................................................. 30
2.3 Hubungan antara pola asuh ibu dengan kejadian
Stunting Pada Anak Pra Sekolah........................................ 36
2.4 Penelitian Terdahulu.......................................................... 38

BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS …........... 40


3.1 Kerangka konseptual.......................................................... 40
3.2 Hipotesis penelitian............................................................ 41

BAB 4 METODE PENELITIAN......................................................... 42


4.1 Rancangan Penelitian......................................................... 42
4.2 Populasi, Sampel, Besar Sampel dan Teknik
Pengambilan Sampel.......................................................... 42
4.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ................... 43
4.4 Bahan Penelitian................................................................ 44
4.5 Instrumen Penelitian.......................................................... 44
4.6 Tempat dan Waktu Penelitian............................................ 45
4.7 Prosedur Pengumpulan dan Pengambilan Data................. 45
4.8 Teknik Analisis Data.......................................................... 47
Daftar Pustaka
Lampiran
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu................................................................. 38

Tabel 4.1 Definisi operasional hubungan antara pola asuh ibu


dengan kejadian Stunting Pada Anak Pra Sekolah
di Puskesmas Bulili Palu........................................................... 44

Tabel 3.2 Interpretasi koefisien korelasi................................................... 49


DAFTAR GAMBAR

Halaman

Bagan 2.1 Faktor Penyebab Gizi Kurang....................................................... 16


DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Surat IjinSurvey Awal


Lampiran 2 Surat Balasan Survey Awal
Lampiran 3 Surat Ijin Penelitian
Lampiran 4 Surat Balasan Penelitian
Lampiran 5 Lembar Pengumpul Data
Lampiran 6 Tabel Status Gizi
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Stunting merupakan kondisi kronis yang menggambarkan

terhambatnya pertumbuhan karena malnutrisi jangka panjang. Stunting

menurut World Health Organisation (WHO) Child Growth Standart

didasarkan pada indeks panjang badan dibanding umur (PB/U) atau tinggi

badan dibanding umur (TB/U) dengan batas (z-score) kurang dari -2 SD

(Kusuma dan Nuryanto, 2013). Stunting pada balita perlu menjadi perhatian

khusus karena dapat menghambat perkembangan fisik dan mental anak.

Stunting berkaitan dengan peningkatan risiko kesakitan dan kematian serta

terhambatnya pertumbuhan kemampuan motorik dan mental.

Balita yang mengalami stunting memiliki risiko terjadinya

penurunan kemampuan intelektual, produktivitas, dan peningkatan risiko

penyakit degeneratif di masa mendatang. Hal ini dikarenakan anak

stunting juga cenderung lebih rentan terhadap penyakit infeksi, sehingga

berisiko mengalami penurunan kualitas belajar di sekolah dan berisiko lebih

sering absen. Stunting juga meningkatkan risiko obesitas, karena orang

dengan tubuh pendek berat badan idealnya juga rendah (Kusuma dan

Nuryanto, 2013). Jika kondisi ini terjadi pada masa golden period

perkembangan otak (0-3 tahun) maka otak tidak dapat berkembang dengan

baik. Hal tersebut berakibat pada penurunan kemampuan intelektual dan

produktivitas, peningkatan risiko penyakit degeneratif dan kelahiran bayi


dengan berat badan lahir rendah atau prematur di masa mendatang

(Anugraheni, 2012).

Prevalensi stunting di Indonesia masih tinggi. Berdasarkan Riset

Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menyajikan prevalensi pendek

(stunting) menurut provinsi dan nasional. Prevalensi pendek secara

nasional tahun 2013 adalah 37,2 persen, yang berarti terjadi peningkatan

dibandingkan tahun 2010 (35,6%)dan 2007 (36,8%). Prevalensi pendek

sebesar 37,2 persen terdiri dari 18,0 persen sangat pendek dan 19,2 persen

pendek. Pada tahun 2013 prevalensi sangat pendek menunjukkan penurunan,

dari 18,8 persen tahun 2007 dan 18,5 persen tahun 2010. Prevalensi pendek

meningkat dari 18,0 persen pada tahun 2007 menjadi 19,2 persen pada

tahun 2013. Terdapat 20 provinsi diatas prevalensi nasional berdasarkan

urutan terendah, yaitu: (1) Nusa Tenggara Timur, (2) Sulawesi Barat, (3)

Nusa Tenggara Barat, (4) Papua Barat, (5) Kalimantan Selatan (Riskesdas,

2013).

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan di Desa

Wonosari Kecamatan Ngoro Mojokerto pada 10 anak didapatkan 5 anak

(50%) yang mengalami stunting mendapatkan pola asuh yang kurang terutama

pada pola asuh makan. Anak tersebut kurang mendapatkan makanan yang

bergizi khususnya dari buah-buahan dan sumber protein hewani. Sedangkan 5

anak normal (50%) sudah cukup mendapatkan pola asuh yang baik.

Banyak faktor yang mempengaruhi stunting, diantaranya adalah

panjang badan lahir, status ekonomi keluarga, tingkat pendidikan dan

tinggi badan orang tua. Panjang badan lahir pendek merupakan salah satu
faktor risiko stunting pada balita. Panjang badan lahir pendek bisa

disebabkan oleh faktor genetik yaitu tinggi badan orang tua yang pendek,

maupun karena kurangnya pemenuhan zat gizi pada masa kehamilan

(Kusuma dan Nuryanto, 2013). Panjang badan lahir pendek pada anak

menunjukkan kurangnya zat gizi yang diasup Ibu selama masa

kehamilan, sehingga pertumbuhan janin tidak optimal yang mengakibatkan

bayi yang lahir memiliki panjang badan lahir pendek. Panjang badan lahir

berkaitan erat dengan tinggi badan orang tua. Ibu dengan tinggi badan

pendek lebih berpeluang untuk melahirkan anak yang pendek pula. Selain

panjang badan lahir dan tinggi badan orang tua, status ekonomi keluarga

dan pendidikan orang tua juga merupakan faktor risiko kejadian stunting

pada balita. Status ekonomi keluarga dipengaruhi oleh beberapa faktor,

antara lain pekerjaan orang tua, tingkat pendidikan orang tua dan jumlah

anggota keluarga. Status ekonomi keluarga akan mempengaruhi kemampuan

pemenuhan gizi keluarga maupun kemampuan mendapatkan layanan

kesehatan. Anak pada keluarga dengan tingkat ekonomi rendah lebih

berisiko mengalami stunting karena kemampuan pemenuhan gizi yang

rendah, meningkatkan risiko terjadinya malnutrisi. Tingkat pendidikan orang

tua yang rendah juga disinyalir meningkatkan risiko malnutrisi pada

anak. Tingkat pendidikan orang tua akan berpengaruh terhadap pengetahuan

(Kusuma dan Nuryanto, 2013). Dampak mikro untuk anak bertubuh pendek

(stunting) adalah anak akan mudah sakit, perkembangan tubuh tak optimal.

Sedangkan dampak makro atau lanjutan setelah dewasa nanti akan memiliki

kemampuan daya saing yang akan rendah, dan produktivitasnya kurang baik.
Akibatnya, pendapatan yang diperoleh kurang dan tidak menghindarkan

dirinya dari garis kemiskinan.

Solusi untuk mengatasi masalah gizi, khususnya anak pendek,

diperlukan aksi lintas sektoral. Asupan makanan yang tidak memadai dan

penyakit - yang merupakan penyebab langsung masalah gizi ibu dan anak -

adalah karena praktek pemberian makan bayi dan anak yang tidak tepat dan,

penyakit dan infeksi yang berulang terjadi, perilaku kebersihan dan

pengasuhan yang buruk. Pada gilirannya, semua ini disebabkan oleh faktor-

faktor seperti kurangnya pendidikan dan pengetahuan pengasuh anak,

penggunaan air yang tidak bersih, lingkungan yang tidak sehat, keterbatasan

akses ke pangan dan pendapatan yang rendah (Unicef, 2012).

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk

melakukan penelitian dengan judul “Hubungan Antara Pola Asuh Ibu Dengan

Kejadian Stunting Pada Anak Pra Sekolah Di Puskesmas Bulili Palu Tahun

2023”.

1.2 Rumusan Masalah

Sebagaimana telah dinyatakan dalam latar belakang bahwa peran

orang tua sangat mempengaruhi tumbuh kembang anak, hal tersebut

dikarenakan anak masih tergantung penuh pada orang tua. Salah satu

ketergantungan anak adalah masalah pemenuhan nutrisi, dan nutrisi sangat

diperlukan anak untuk menunjang perkembangan fisiknya dan menghindari

terjadinya Stunting khususnya pada masa prasekolah. Berdasarkan latar

belakang diatas dapat dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut


“Apakah ada hubungan antara pola asuh ibu dengan kejadian Stunting Pada

Anak Pra Sekolah di Puskesmas Bulili Palu Tahun 2023?”.

1.3 Tujuan Penelitain

1.3.1 Tujuan umum

Untuk mengetahui hubungan antara pola asuh ibu dengan kejadian

Stunting Pada Anak Pra Sekolah di Puskesmas Bulili Palu Tahun 2023.

1.3.2 Tujuan khusus

1) Mengedentifikasi pola asuh ibu pada anak pra sekolah di Puskesmas

Bulili Palu Tahun 2023.

2) Mengedentifikasi kejadian Stunting pada anak pra sekolah di

Puskesmas Bulili Palu Tahun 2023.

3) Menganalisis hubungan antara pola asuh ibu dengan kejadian Stunting

Pada Anak Pra Sekolah di Puskesmas Bulili Palu Tahun 2023.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

1) Bagi peneliti

Penelitian ini sebagai aplikasi dari ilmu yang didapatkan di

akademik yang dipergunakan untuk meningkatkan kemampuan di

bidang penelitian dan juga sebagai belajar untuk berperan langsung

dimasyarakat.

2) Bagi ibu hamil


Hasil penelitian dapat dijadikan sumber informasi bagi

masyarakat tentang pentingnya pola asuh orang tua terhadap tumbuh

kembang anak agar anak terhindar dari Stunting.

1.4.2 Manfaat Praktis

1) Bagi tempat penelitian

Hasil penelitian ini memberi masukan bagi tenaga kesehatan

tentang kejadian-kejadian yang terjadi dimasyarakat terutama yang

berkaitan dengan tumbuh kembang anak dan pola asuh orang tua.

2) Bagi penelitian selanjutnya

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan, wawasan dan

ide untuk melakukan penelitian selanjutnya tentang kejadian Stunting pada

anak dilihat dari faktor penyebabnya.


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.4 Pola Asuh

2.2.1 Pengertian

Pada dasarnya pola asuh dapat diartikan seluruh cara perlakuan

orang tua yang diterapkan pada anak. Banyak ahli mengatakan pengasuhan

anak (child rearing) adalah bagian penting dan mendasar, menyiapkan

anak untuk menjadi masyarakat yang baik. Terlihat bahwa pengasuhan

anak menunjuk kepada pendidikan umum yang diterapkan pengasuh

terhadap anak berupa suatu proses interaksi antara orang tua (pengasuh)

dengan anak (yang diasuh). lnteraksi tersebut mencakup perawatan seperti

dan mencukupi kebutuhan makan, mendorong keberhasilan dan

melindungi, maupun sosialiasi yaitu mengajarkan tingkah laku umum yang

diterima oleh masyarakat (Wiwit, 2003 : 126).

2.2.2 Asuh Makan

Pola asuh makan adalah cara pemberian makanan pada anak

bertujuan untuk mendapatkan zat gizi yang cukup yang dibutuhkan untuk

pertumbuhan dan perkembangan. Pemenuhan gizi pada anak diberikan

oleh orang tua atau pengasuh melalui pemberian makan untuk status gizi

anak. Tahap awal, bayi tergantung kepada ibu yaitu asupan ASI dan

makanan pendamping ASI yang diberikan oleh orang tua (Mahlia, 2008).

Kebutuhan nutrisi merupakan kebutuhan yang sangat penting

dalam membantu proses pertumbuhan dan perkembangan pada bayi dan

14
anak. Nutrisi sangat bermanfaat bagi tubuh dalam membantu proses

pertumbuhan dan perkembangan anak serta mencegah terjadinya berbagai

penyakit akibat kurang nutrisi dalam tubuh, seperti kekurangan energi dan

protein, anemia, defisiensi yodium, defisiensi seng (Zn), defisiensi vitamin

A, defisiensi fiamin, defisiensi kalium, dan lain-lain yang dapat

menghambat proses tumbuh kembang anak. Apabila kebutuhan nutrisi

pada bayi dan anak terpenuhi, diharapkan anak dapat tumbuh dengan cepat

sesuai dengan usia tumbuh kembang dan dapat meningkatkan kualitas

hidup serta mencegah terjadinya morbiditas dan mortalitas (Hidayat,

2008 : 41).

Menu pada batita/balita harus variatif dan sisi bahan, teknik

pengolahan dan gizi yang terkandung di dalamnya. ini guna menghindari

kejenuhan, sekaligus mencukupi unsur gizi balita. Orangtua harus cermat

dalam menyusun menu. Jangan selalu menempatkan hidangan yang

disukai anak setiap hari. Namun perkenalkanlah anak dengan beragam

hidangan termasuk jenis hidangan yang kurang disukai anak. Tujuannya

adalah mengenalkan keanekaragaman rasa makanan pada anak dan

menghindari anak kekurangan gizi tertentu akibat mengkonsumsi makanan

yang monoton. Hidangan yang disajikan kepada anak sebaiknya dimasak

sendiri dengan menggunakan bahan alami, bukan makanan isntan atau

kemasan (Hidayat, 2008 : 41).

2.2.3 Asuh Diri

Asuh diri meliputi perilaku ibu memelihara kebersihan rumah,

higiene makanan, kebersihan perseorangan (Anwar, 2000). Pemberian


nutrisi tanpa memperhatikan kebersihan akan meningkatkan risiko bayi

mengalami infeksi, seperti diare. Akibat rendahnya sanitasi dan higiene

pada pemberian MP-ASI memungkinkan terjadinya kontaminasi oleh

mikroba, sehingga meningkatkan risiko atau infeksi yang lain pada bayi.

Sumber infeksi lain adalah alat permainan dan lingkungan bermain yang

kotor.

Kondisi lingkungan anak harus benar-benar diperhatikan agar tidak

merusak kesehatan. Hal-hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan

rumah dan lingkungan adalah bangunan rumah, kebutuhan ruang (bermain

anak), pergantian udara, sinar matahari, penerangan, air bersih,

pembuangan sampah/limbah, kamar mandi dan jamban/ WC dan halaman

rumah. Kebersihan perorangan maupun kebersihan lingkungan memegang

peranan penting bagi tumbuh kembang anak. Kebersihan perorangan yang

kurang akan memudahkan terjadinya penyakit-penyakit kulit dan saluran

pencernaan seperti diare dan cacingan. Sedangkan kebersihan lingkungan

erat hubungannya dengan penyakit saluran pernafasan, saluran

pencernaan, serta penyakit akibat nyamuk. Oleh karena itu penting

membuat lingkungan menjadi layak untuk tumbuh kembang anak sehingga

meningkatkan rasa aman bagi ibu atau pengasuh anak dalam menyediakan

kesempatan bagi anaknya untuk mengeksplorasi lingkungan (Lubis, 2008).

2.2.4 Asuh Kesehatan

Bayi adalah kelompok usia yang rentan terserang penyakit, terkait

dengan interaksi dengan sarana dan prasarana di rumah tangga dan

sekelilingnya. Jenis sakit yang dialami, frekuensi sakit, lama sakit,


penanganan bayi sakit dan status imunisasi adalah faktor yang

mempengaruhi tingkat kesehatan bayi dan status gizi bayi.

Perilaku ibu dalam menghadapi bayi yang sakit dan pemantauan

kesehatan terprogram adalah pola pengasuhan kesehatan yang sangat

mempengaruhi tumbuh kembang bayi. Bayi yang mendapatkan imunisasi

akan lebih rendah mengalami risiko penyakit. Bayi yang dipantau

pertumbuhan di Posyandu melalui kegiatan penimbangan akan lebih dini

mendapatkan informasi akan adanya gangguan pertumbuhan. Sakit yang

lama, berulang akan mengurangi nafsu makan yang berakibat pada

rendahnya asupan gizi.

Kesehatan anak harus mendapat perhatian dari para orang tua yaitu

dengan cara segera membawa anaknya yang sakit ketempat pelayanan

kesehatan yang terdekat. Status kesehatan merupakan salah satu aspek pola

asuh yang dapat mempengaruhi status gizi anak kearah membaik. Status

kesehatan adalah hal-hal yang dilakukan untuk menjaga status gizi anak,

menjauhkan dan menghindarkan penyakit serta yang dapat menyebabkan

turunnya keadaan kesehatan anak. Status kesehatan ini meliputi hal

pengobatan penyakit pada anak apabila anak menderita sakit dan tindakan

pencegahan terhadap penyakit sehingga anak tidak sampai terkena suatu

penyakit. Status kesehatan anak dapat ditempuh dengan cara

memperhatikan keadaan gizi anak, kelengkapan imunisasinya, kebersihan

diri anak dan lingkungan dimana anak berada, serta upaya ibu dalam hal

mencari pengobatan terhadap anak apabila anak sakit. Jika anak sakit
hendaknya ibu membawanya ketempat pelayanan kesehatan seperti rumah

sakit, klinik, puskesmas dan lain-lain (Lubis, 2008).

2.2.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh orang tua

Setiap orang mempunyai sejarahnya sendiri- sendiri dan latar

belakang yang seringkali sangat jauh berbeda. Entah itu latar belakang

keluarga, lingkungan tempat tinggal atau pun pengalaman pribadinya

selama ini.

Perbedaan ini sangat memungkinkan terjadinya pola asuh yang

berbeda terhadap anak. Berikut hal- hal yang mempengaruhi pola asuh

anak (Adinfo, 2009):

1) Pengaruh keluarga asal

Faktor penting yang kelak mempengaruhi kualitas perkawinan

seseorang, menentukan pemilihan pasangan, mempengaruhi pola

interaksi / komunikasi antara suami istri dan anak.Mempengaruhi

persepsi dan sikap terhadap pasangan dan mempengaruhi persepsi

orang tersebut terhadap perannya sendiri. intinya, hubungan orang

tua–anak ikut mempengaruhi seseorang dalam mengarungi kehidupan

perkawinan di masa mendatang.

2) Hubungan orang tua anak

Bila saja hubungan dengan orangtuanya memuaskan dan

membahagiakan, maka kesan emosi positif akan tertanam dalam

memori dan terbawa pada kehidupan perkawinannya

sendiri.Sebaliknya, dari pengalaman emosional yang kurang

menyenangkan bersama orangtua, akan terekam dalam memori dan


menimbulkan stress yang berkepanjangan, baik ringan maupun berat.

Hal ini memungkinkan akan terbawa kelak ketika berumah tangga.

3) Sikap penolakan orang tua

Perhatian orang tua yang tidak konsisten, labil dan tidak tulus,

seringkali menjadi penyebab kurang terpenuhinya kebutuhan anak

akan kasih sayang, rasa aman dan perhatian.Tak urung si anak harus

bersusah payah dan berusaha mendapatkan perhatian dan penerimaan

orangtua, namun seringkali orangtua tetap tidak memberikan respon

seperti yang diharapkan.Sikap penolakan yang dialami seorang anak

pada masa kecilnya akan menimbulkan perasaan rendah diri,merasa

diabaikan, rasa disingkirkan dan rasa tidak berharga.Sikap inilah yang

sangat berbahaya. Tak jarang anak terjerumus dalam pergaulan bebas

karena “penolakan” orangtua dan sikap mereka dalam mencari

perhatian.

4) Figur orang tua

Setiap anak dari mulai bayi hingga kelak dewasa sangat

memerlukan figur dari orang tuanya. Oleh karena itu berikan figur

yang baik dan mendidik kepada anak.

5) Ketergantungan yang berlebihan terhadap orang tua

Kelekatan yang berlebihan dan tidak sehat terhadap salah satu

orang tua (biasanya terhadap orang tua lawan jenis) di masa kecil, jika

tidak berubah/mengalami perkembangan dan jika setelah menikah

masih tetap lengket dengan orang tua, maka hal ini akan menimbulkan

persoalan besar dengan pasangan.


2.4 Stunting

2.3.1 Pengertian

Stunting adalah keadaan di mana tinggi badan anak berada di

bawah standar pada umur tertentu. Standar yang digunakan adalah World

Health Organisation (WHO). Stunting tidak bisa dianggap remeh. Balita

yang mengalami stunting akan terganggu masa pertumbuhannya atau

tumbuh tidak normal setelah melewati usia pertumbuhan. Stunting

bukanlah suatu kondisi kronis yang bisa menyebabkan tingginya angka

kematian, tapi dapat berdampak buruk terhadap prestasi dan kualitas

kesehatan anak di masa depan. Stunting juga bisa dijelaskan sebagai

gangguan tumbuh kembang yang disebabkan kurang gizi kronis atau

menahun. Selain kurang zat gizi makro (karbohidrat, protein, lemak) juga

kurang zat gizi mikro yang terjadi pada waktu lama akan menyebabkan

pertumbuhan fisik dan otak tidak optimal. Misalnya, kurang zat besi, zink,

vitamin A, kalsium, yodium, vitamin, dan mineral lain. Anak yang

mengalami stunting jika sudah dewasa cenderung mengalami

kegemukan/obesitas yang beresiko menderita diabetes, jantung dan

pembuluh darah, dan penyakit degeratif lain (Amura, 2013).

Stunting (tubuh pendek) adalah keadaan tubuh yang sangat pendek

hingga melampaui defisit 2 SD dibawah median panjang atau tinggi badan

populasi yang menjadi referensi. Stunting adalah keadaan dimana tinggi

badan berdasarkan umur rendah, atau keadaan dimana tubuh anak lebih

pendek dibandingkan dengan anak – anak lain seusianya. Stunting terjadi


sebagai akibat dari adanya kurang gizi kronis internasional (Gibney, 2004

dalam Wayan, 2011).

2.3.2 Dampak Stunting

Stunting pun bisa memberikan dampak jangka panjang yang

berpengaruh pada kecerdasan, kemampuan fisik, dan produktivitas yang

rendah. Jika jumlah stunting terus meningkat, jelas menjadi ancaman

karena kita akan makin banyak generasi yang tidak berkualitas (Amura,

2013).

2.3.3 Penyebab Stunting

Masalah stunting sebetulnya sudah terjadi ketika calon ibu masih

remaja. Gangguan gizi saat calon ibu masih remaja bisa berlanjut saat

kehamilan dan menyebabkan bayi terlahir dengan kekurangan asupan

nutrisi. Kekurangan gizi pada remaja putri membuat bayi yang

dilahirkannya kelak beresiko stunting. Karena itu, perlu ada perhatian

sejak calon ibu masih remaja, hingga masa kehamilan. Jangan sampai

mereka mengalami kekurangan gizi yang berakibat melahirkan anak

stunting (Amura, 2013).

Menurut Gibney, 2004 terdapat beberapa hal yang dapat

menyebabkan terjadinya kurang gizi pada balita, yaitu sebagai berikut :

1) Mekanisme fisiologis yang menyebabkan gizi kurang

Ada lima mekanisme yang dapat menyebabkan gizi kurang

yaitu :

a) Penurunan asupan nutrien (bencana kelaparan, anoreksia karena

penyakit kronis)
b) Penurunan absorbsi nutrien (malabsorpsi karohidrat dan asam

amino pada kolera)

c) Penurunan pemakaian nutrien dalam tubuh (penggunaan obat

malaria yang mengganggu metabolism folat)

d) Peningkatan kehilangan nutrien (diare)

e) Peninngkatan kebutuhan nutrien (infamasi kronis yang

menyebabkan meningkatnya laju metabolik)

2) Faktor sosioekonomi

Beberapa faktor sosial dan ekonomi telah diketahu

berhubungan dengan kejadian gizi kurang. Daerah dengan pendapatan

rendah, pendidikan orang tua rendah, rendahnya akses dengan tenaga

kesehatan atau pusat pelayanan kesehatan telah diketahui berhubungan

erat dengan meningkatnya jumlah penderita gizi kurang.

3) Bencana

Munculnya bencana seperti bencana kekeringan yang terjadi di

Ethiopia telah menyebabkan prevalensi stunting dan wasting

meningkat hingga 2 sampai 3 kali lipat. Peperangan atau konflik

daerah juga menimbulkan tingginya prevalensi kasus gizi kurang.

Bencana lain sepeerti banjir, badai, gempa dan sebagainya tidak terlalu

berpengaruh karena durasinya lebih pendek dan kecil kemungkinan

dalam menimbulkan masalah gizi.

4) Aspek sosial dan perilaku

Ibu – ibu bekerja yang tidak memberikan ASI, ketidaktahuan

tentang gizi dan fungsi ASI pada masyarakat berpendidikan rendah,


kebiasaan dan adat istiadat seperti membiarkan balita makan sendiri,

kebiasaan memberi makan balita setelah orang dewasa makan juga

telah diteliti memiliki pengaruh kuat dengan kejadian stunting dan

wasting pada anak – anak.

Menurut Supariasa (2012) Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi)

pada tahun 1999, telah merumuskan faktor yang menyebabkan gizi kurang

Gizi Kurang

Penyebab
Asupan makanan Penyakit Infeksi
langsung

Persediaan Perawatan Pelayanan


Makanan di anak dan ibu kesehatan Penyebab tidak
Rumah hamil langsung

Kemiskinan, kurang
Pokok masalah
pendidikan, kurang
keterampilan

Krisis ekonomi
Akar masalah
langsung

Gambar 2.1 Faktor Penyebab Gizi Kurang


2.3.4 Strategi Intervensi Stunting

Secara global, telah dicanangkan berbagai program untuk

mencegah dan menurunkan prevalensi stunting, diantaranya adalah dengan

menggunakan pendekatan aksi nutrisi essensial (The Essential Nutrition

Actions/ENAs) yang dicanangkan WHO. Program ini mencakup 6 hal

yaitu:

1) Pemberian nutrisi sehat bagi wanita

a. Mencegah anemia defisiensi besi pada wanita hamil

b. Pemberian asupan makanan yang adekuat :

Tenaga kesehatan harus memberikan konseling kepada

seluruh wanita hamil mengenai :

1) Peningkatan intake makanan dengan menambah 1 porsi makan

setiap harinya

2) Mengurangi kinerja (paling tidak memiliki waktu istirahat yang

rutin setiap harinya)

3) Penggunaan garam beryodium setiap hari

4) Memonitor peningkatan berat badan secara rutin selama

kehamilan (berat badan wanita hamil naik 10 – 12 kg selama

kehamilan)

c. Persiapan menyusui

Tenaga kesehatan harus memberikan konseling kepada

seluruh wanita hamil mengenai :

1) Inisiasi menyusui segera dalam 1 jam pertama setelah

melahirkan
2) Pentingnya pemberian kolostrum

3) Memberikan hanya ASI tanpa makanan tambahan apapun

selama 6 bulan

d. Mencegah transmisi HIV/AIDS dari ibu ke anak

e. Nutrisi selama menyusui

Tenaga kesehatan harus memberikan konseling kepada

seluruh wanita hamil mengenai :

1) Mencegah anemia defisiensi besi selama masa nifas

2) Meningkatkan asupan nutrisi dengan menambah porsi makan 2

kali setiap harinya

3) Meningkatkan variasi makanan (makanan berserat, protein

hewani, kacang – kacangan, buah dan sayur)

4) Menurunkan kinerja (menambah pola istirahat)

5) Meneruskan pemberian ASI selama anak sakit

6) Menjaga jarak kehamilan, serta metode kontrasepsi amenorhoe

laktasi bagi ibu menyusui.

2) Pemberian ASI eksklusif pada bayi 0 – 6 bulan

Tenaga kesehatan harus memberikan konseling kepada

seluruh wanita hamil mengenai :

a. Skin to skin contact antara ibu dengan bayi segera setelah

melahirkan

b. Pemberian ASI dalam 60 menit pertama

c. Pemberian kolostrum
d. Mengosongkan satu payudara sebelum memindahkan bayi ke

payudara lainnya

e. Tidak memberikan makanan tambahan apapun termasuk air putih,

air gula atau makanan lainnya.

f. Pemberian ASI secara on-demand, sesuai keinginan bayi siang dan

malam (minimal 8 kali perhari).

g. Mencegah defisiensi vitamin A

h. Mencegah defisiensi zat besi

i. Pemantauan tumbuh kembang bayi secara rutin tiap bulan :

1) Berat badan dan tinggi badan balita ditimbang dan diukur tiap

bulan lalu dicatat dan dimasukkan ke grafik tumbuh kembang

yang telah ditetapkan oleh WHO.

2) Apabila selama 2 bulan balita tidak mengalami kenaikan berat

badan atau berat badannya turun hingga dibawah garis batas

normal maka balita tersebut harus dirujuk ke pelayanan

kesehatan yang lebih kompeten.

3) Pemberian makanan tambahan yang sehat pada bayi usia 6 – 35 bulan

a. Pemberian makanan tambahan untuk balita usia 6 bulan – 1 tahun

Tenaga kesehatan harus memberikan konseling kepada

seluruh wanita hamil mengenai :

1) Memberikan makanan tambahan setelah bayi mencapai usia 6

bulan

2) Tetap melanjutkan pemberian ASI


3) Menyediakan makanan tambahan secara rutin dengan porsi

kecil untuk bayi setiap hari

4) Meningkatkan porsi dan kekentalan makanan seiring dengan

bertambahnya usia bayi

5) Memberikan bayi makanan kaya energy dan makanan yang

telah difortifikasi oleh mikronutrien jika ada

6) Menyiapkan dan menyimpan makanan bayi dengan bersih

b. Pemberian makanan tambahan untuk balita usia 1 – 3 tahun

1) Pemberian ASI dilanjutkan hingga usia balita 2 tahun

2) Lanjutkan pemberian makanan tambahan dengan tetap

memperhatikan kualitas dan kuantitas makanan, berikan

makanan yang bervariasi dan sehat.

3) Hindari memberikan anak makanan yang berpengawet,

mengandung pemanis dan minuman – minuman yang bersoda

4) Ajarkan anak cara makan yang benar dan bersih

c. Mencegah defisiensi vitamin A

d. Mencegah anemia defisiensi besi

e. Pemantauan tumbuh kembang balita

4) Memberikan makanan pada balita yang sakit, dan setelah sakit

a. Periode ASI eksklusif (0 – 6 bulan)

1) Saat bayi sakit, pemberian ASI harus ditingkatkan, demikian

pula setelah bayi sakit untuk menghindari penurunan berat

badan yang berlebihan karena sakit.


2) Jika ada kesulitan menyusui segera konsultasikan dengan

petugas yang kompeten.

3) Balita sakit tidak diberikan minuman apapun kecuali yang

diresepkan, berikan oralit dan suplemen Zinc (10 mg) selama

10 – 14 hari jika balita mengalami diare.

b. Periode pemberian makanan tambahan (6 – 35 bulan)

1) Tingkatkan frekuensi menysusui dan berikan makanan

tambahan untuk mencegah penurunan berat badan yang

berlebihan.

2) Tambah porsi makan dan berikan tambahan makanan yang

kaya energy dan nutrient lain setiap hari setelah bayi sakit

untuk membantu proses penyembuhan.

3) Berikan oralit dan suplemen zinc (20 mg) selama 10 – 14 hari

jika balita mengalami diare

c. Deteksi dini dan rujukan pada bayi yang mengalami malnutrisi

akut

5) Mencegah defisiensi yodium

a. Memonitor kualitas garam beryodium yang beredar di pasaran

b. Mempromosikan konsumsi garam beryodium

1) Bekerjasama dengan sector tertentu untuk menyediakan akses

untuk memasarkan garam beryodium

2) Bekerja sama dengan media dan petugas kesehatan untuk

mempromosikan penggunaan garam beryodium serta fungsinya


6) Mencegah anemia defisiensi besi

a. Mencegah defisiensi besi pada wanita

1) Semua wanita hamil harus menerima 30 tablet zat besi dan

asam folat setiap bulannya selama 6 bula (total 180 tablet).

2) Semua wanita hamil harus mendapatkan konseling mengenai

fungsi, efek samping dan komplikasi zat besi dan asam folat

3) Semua wanita hamil harus dipastikan menghabiskan semua

tablet yang diberikan

4) Wanita menyusui harus tetap melanjutkan konsumsi suplemen

zat besi selama 3 bulan pertama post partum jika prevalensi

anemia mencapai 40% di daerah tersebut.

5) Pemberian asupan mikronutrien yang adekuat

a) Semua wanita harus mendapatkan asupan mikronutrien

dengan mengkonsumsi makanan yang kaya mikronutrien.

b) Wanita miskin harus mendapatkan suplemen mikronutrien

atau makanan yang telah difortifikasi mikrinutrien

b. Mencegah anemia defisiensi besi pada balita

1) Segera setelah lahir

a) Penundaan pemotongan tali pusat paling tidak 2 menit

b) Bayi baru lahir yang premature atau lahir dengan berat

badan lahir rendah harus mendapatkan follow up secara

berkala dan terus menerus

2) Pemberian suplemen besi atau multiple mikronutrien


a) Semua balita dengan berat lahir normal mendapatkan

suplemen mikronutrien sejak usia 6 bulan hingga 12 bulan.

b) Semua balita yang lahir premature mendapatkan suplemen

mikronutrien sejak usia 2 bulan hingga 24 bulan.

c) Semua balita harus diskrining anemia.

3) Asupan mikronutrien yang adekuat

a) Semua bayi harus mendapatkan ASI eksklusif selama 6

bulan kemudian dilanjutkan hingga balita berusia 2 tahun.

b) Setelah 6 bulan bayi diberikan makanan tambahan dari

bahan – bahan yang mengandung mikronutrien sebagai

tambahan ASI

c) Balita yang berasal dari keluarga miskin sebaiknya

mendapatkan suplemen mikronutrien atau makanan

tambahan yang telah difortifikasi mikronutrien.

7) Mencegah defisiensi vitamin A

a. Pemberian suplemen vitamin A post partum

Semua wanita post partum harus mendapat suplemen

vitamin A 200.000 IU selama 8 minggu.

b. Pemberian suplemen vitamin A pada balita

1) Semua balita berusia 6 – 12 bulan mendapaykan 1 dosis

vitamin A 100.000 IU

2) Balita berusia 1 – 5 tahun mendapatkan suplemen vitamin A

dengan dosis 200.000 IU setiap 6 bulan


3) Balita dan orang dewasa yang memiliki masalah dengan sistem

imun, anak – anak yang terkena cacar, campak, diare, infeksi

saluran pernapasan, malnutrisi berat, dan xerophtalmia harus

mendapatkan vitamin A.

c. Pemberian asupan vitamin A melalui buah – buahan dan sayuran

sumber vitamin A, pemberian suplemen dan makanan yang telah

difortifikasi vitamin A pada anak – anak dari kalangan miskin.

(Wayan, 2011).

2.3.5 Pengukuran Gizi

Pengukuran kejadian Stunting pada anak dilakukan dengan

antopometri gizi tinggi badan menurut umur (TB/U). Tinggi badan

merupakan antopometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan

skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan

pertambahan umur. Pertumbuhan badan tidak seperti berat badan, relatif

kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu yang

pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan nampak

dalam waktu yang relatif lama. Penentuan kategori status gizi menurut

ambang batas adalah sebagai berikut :

1) Sangat pendek : <-3 SD

2) Pendek : -3 SD sampai dengan < -2 SD

3) Normal : -2 SD sampai dengan 2 SD

4) Tinggi : > 2 SD

Karena pada penelitian ini hanya menentukan kejadian stunting

maka kategorinya menjadi :


1) Stunting : < -2 SD

2) Tidak stunting : > -2 SD

(Supariasa, 2012)

2.4 Anak Prasekolah

2.4.1 Pembagian tahap masa kanak-kanak

Menurut Akbar (2010 : 3) membagi masa kanak-kanak dalam lima

tahap:

1) Masa prenatal, yaitu diawali dan masa konsepsi sampai masa lahir.

2) Masa bayi dan tatih, yaitu saat usia 18 bulan pertama kehidupan

merupakan masa bayi, di atas usia 18 bulan sampai dengan tiga tahun

merupakan masa tatih. Saat tatih inilah, anak-anak menuju pada

penguasaan bahasa dan motorik serta kemandirian.

3) Masa kanak-kanak pertama, yaitu rentang usia 3-6 tahun, masa ini

dikenal juga dengan masa prasekolah.

4) Masa kanak-kanak kedua, yaitu usia 12 tahun, dikenal pula sebagai

masa sekolah. Anak-anak telah mampu menerima pendidikan formal

dan menyerap berbagai hal yang ada di lingkungannya.

5) Masa Remaja, yaitu rentang menurut usia 12-18 tahun. Saat anak

mencari identitas dirinya dan banyak menghabiskan waktunya dengan

teman sebayanya serta berupaya lepas dan kungkungan orang tua

2.4.2 Masa prasekolah

Masa prasekolah dapat merupakan masa-masa bahagia dan amat

memuaskan dan seluruh masa kehidupan anak. Untuk itulah kita perlu

menjaga hal tersebut berjalan sebagaimana adanya. Janganlah


memaksakan sesuatu karena diri kita sendiri dan mengharapkan secara

banyak dan segera, maupun mencoba untuk melakukan hal-hal yang

memang mereka belum siap. Suatu hal yang tidak mudah untuk mengajari

anak untuk berhitung, membaca ataupun menulis pada masa-masa pertama

kehidupannya. Nikmatilah anak sebagaimana dirinya dan jangan membuat

diri kita dan anak susah hanya karena hal-hal yang ingin kita capai pada

dirinya atau pada hal-hal yang seharusnya anak diharapkan bisa

melakukan.

Perlu diketahui bahwa masa prasekolah adalah masa pertumbuhan.

Masa-masa ini adalah masa menemukan orang seperti apakah anak kita

tersebut, dan teknik apakah yang bisa cocok dalam menghadapinya. Masa

prasekolah adalah masa belajar, tetapi bukan dalam dunia dua dimensi

(pensil dan kertas) melainkan belajar pada dunia nyata, yaitu dunia tiga

dimensi. Dengan perkataan lain, masa prasekolah merupakan time for play.

Jadi, biarkanlah anak menikmatinya

Profesor Charles Wenar dan Ohio State University, dalam bukunya

Personality Development FromInfancytoAdulthood, menekankan bahwa

mengajari keterampilan akademik pada prasekolah sama resikonya dengan

mendidik tentang nilai-nilai pada anak. Perkembangan moral berjalan

lamban dan bergerak sesuai dengan meningkatnya kematangan pada anak

untuk dapat memahami betul-betul nilai kebenaran, kejujuran, dan

tanggungjawab. Dengan demikian, mengajari anak berhitung dan

membaca, tidak dengan sendirinya membuat anak mampu melakukan

fungsi-fungsi aritmatika yang sederhana sekalipun. Dalam keterampilan


membaca, sebaiknya yang ditekankan adalah permainan drama. Hal ini

merupakan kunci bagi hubungan sosial anak semasa prasekolah (Akbar,

2010 : 5-6).

2.4.3 Ciri-ciri Perkembangan Anak Usia Prasekolah

Menurut Akar (2010 : 6-9) ciri-ciri perkembangan anak usia

prasekolah dapat dibagi menjadi beberapa hal, antara lain :

1) Perkembangan Fisik

Pada akhir usia tiga tahun, seorang anak memiliki tinggi tiga

kaki dan 6 inci lebih tinggi saat Ia berusia lima tahun. Berat badannya

kira-kira 15 kg dan diharapkan menjadi 20 kg saat Ia berusia lima

tahun. Tentu ada perbedaan berat dan tinggi badan pada setiap anak,

karena faktor keturunan, efek dan pembenian nutrisi, dan faktor lain

yang dimiliki anak dalam riwayat hidupnya. Anak laki-laki akan lebih

tinggi dan lebih berat daripada anak perempuan, namun hal ini juga

bisa saja berbeda karena bergantung pada perawatan dan

kecenderungan pertumbuhan anak. Dalam usia ini otot-otot anak

menjadi lebih kuat dan tulang-tulang tumbuh menjadi besar dan keras.

Otak pun telah berkembang sekitar 75% dan berat otak usia

dewasa. Gigi masih merupakan gigi susu dan akan berganti pada

perkembangan berikutnya dengan gigi tetap.

2) Perkembangan Motorik

Perkembangan motorik tidak saja mencakup berjalan, berlari,

melompat, naik sepeda roda tiga, mendorong, menarik, memutar dan

berbagai aktivitas koordinasi mata tangan, namun juga melibatkan


hal-hal seperti menggambar, mengecat, mencoret dan kegiatan lain.

Keterampilan motorik berkembang pesat pada usia ini.

Kemampuan keseimbangan membuat anak mencoba berbagai

kegiatan dengan keyakinan yang besar akan keterampilan yang

dimilikinya. Anak mampu memanipulasi objek kecil seperti potongan-

potongan puzzle. Mereka juga bisa menggunakan balok-balok dalam

berbagai ukuran dan bentuk. Anak suka sekali masuk dan keluar kotak

besar, di bawah meja, bersembunyi dan sesuatu. Kegiatan ini

menggunakan bola, permainan ataupun orang. Pada saat anak berusia

lima tahun, belajar permainan lebih melibatkan keterampilan motorik.

Anak amat menyukai gerakan-gerakan yang membangkitkan

semangat. Untuk itu, mereka tidak butuh duduk berlama-lama.

Sehingga yang cocok pada usia ini permainan yang merangsang

kegemaran mereka akan gerakan-gerakan, bukan permainan

kompetisi.

3) Perkembangan Intelektual

Usia tiga-enam tahun merupakan usia yang sangat

temperamental bagi anak. Rasa takut, muncul dan apa saja yang

mengancam ataupun dan hal-hal yang tidak biasa. Dengan

meningkatnya kesadaran diri seorang anak, anak mudah untuk takut.

Rasa takut muncul pada kebanyakan anak usia empat tahun atau lima

tahun dan cerita-cerita tentang hantu, tempat-tempat berbahaya dan

seram, penculikan, kecelakaan dan kematian.


Rasa ingin tahu merupakan kondisi emosional yang baik dan

anak. Ada dorongan pada anak untuk mengeksplorasi dan belajar hal-

hal yang baru. Yang perlu ditekankan bahwa rasa ingin tahu tersebut

terkendali, jangan sampai pada objek-objek yang biasa dikenalnya

serta tentang kejadian-kejadian mekanika yang ada di sekitarnya. Usia

tiga tahun, anak mulai banyak bertanya dan mencapai puncaknya pada

usia sekitar objek yang biasa dikenalnya serta tentang kejadian-

kejadian mekanika yang ada di sekitarnya. Usia tiga tahun, anak mulai

banyak bertanya dan mencapai puncaknya pada usia sekitar 6 tahun.

Untuk itu, usia 3-6 tahun disebut pula sebagai QuestioningAge.

4) Perkembangan Sosial

Pada usia 3-6 tahun, anak belajar menjalin kontak sosial

dengan orang-orang yang ada di luar rumah, terutama dengan anak

sebayanya. Untuk itulah pada rentang usia ml disebut PregangAge.

Guru mendorong anak untuk melakukan kontak sosial dengan anak

lain dengan cara bermain dan bicara bersama.

Pada awalnya, anak bergaul dengan siapa saja yang dipilihnya

untuk bisa bermain bersama. Namun, lama-kelamaan, anak

mempunyai minat yang lebih untuk bermain dengan temannya yang

sama jenis kelaminnya. Pada anak usia prasekolah, teman bermainnya

seringkali orang-orang dewasa di dalam keluarga maupun saudara

sekandungnya sendiri, baru kemudian ia bergaul dengan anak lain.

Biasanya, orang dewasa yang menemani bermain, tidak betul-betul

bermain sehingga bisa dikatakan anak bermain sendiri. Kalaupun ada


anak lain, ia tidak langsung bermain, namun mengamati dulu dengan

cara bermain secara paralel (paralel play), artinya ia tetap bermain

sendiri di samping anak lain itu. Dalam hal ini, teman sebayanya

hanya sebagai associates dan belum playmates.

2.4.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan

Menurut Proverawati (2009 : 131) terdapat 10 faktor yang

mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan balita, antara lain:

1) Genetik

Faktor genetik dan lingkungan mempengaruhi pertumbuhan.

Studi pada anak kembar menunjukkan bahwa bentuk dan ukuran

tubuh, simpanan lemak dan pola pertumbuhan sangat berkaitan

dengan faktor alam daripada pengasuhan. Keturunan tidak hanya

mempengaruhi hasil akhir pertumbuhan tetapi juga kecepatan untuk

mencapai pertumbuhan sehingga umur radiologi, gigi, seksual, dan

saraf dan kembar identik cenderung sama. Sebaliknya pada kembar

non identik dapat berbeda. Hal ini menunjukkan adanya komponen

genetik yang kuat dalam menentukan bentuk tubuh. Ukuran tubuh ml

akan memberikan sedikit gambaran mengenai unsur lemak yang ada

di dalamnya. jika bentuk badanya tinggi dan lebar, maka energi yang

dibutuhkan juga akan banyak untuk mensuplai sel-sel agar tumbuh

dan berkembang dengan baik

2) Saraf

Pusat pertumbuhan dalam otak adalah hipotalamus yang

menjaga anak-anak untuk bertumbuh mengikuti kurva pertumbuhan


normal. Jika terjadi penyimpangan dan kurva pertumbuhan karena

kurang gizi atau sakit terjadi periode yang dirangsang untuk mengejar

pertumbuhan (catch up growth). Fenomena ni menunjukkan adanya

mekanisme pengendalian pusat . pertumbuhan dalam hipotalamus

yang berinteraksi dengan lobus anterior dan kelenjar pituitari dengan

hormon yang mengatur pertumbuhan. Terdapat bukti bahwa sistem

sarat pehperal juga berperan dalam mengatur pertumbuhan. Nafsu dan

keinginan anak untuk makan berbeda-beda. Namun biasanya untuk

tahap perkembangan anak balita cenderung sulit untuk mendapatkan

makanan yang cocok, kerena lebih memilih-milih pada makanan yang

Ia sukai saja

3) Hormon

Kelenjar endokrin dapat mempengaruhi pertumbuhan tubuh.

Kecepatanpertumbuhan maksimum teijadi pada butan keempat

dimana kelenjar pituitari dan tiroid berperan. Lobus anterior dan

kelenjar pituitari menghasilkan polipeptida yang disebut hormon

pertumbuhan atau somatotropin. Hal ini dapat dideteksi dalam janin

pada akhir bulan kedua segera setelah pituitari terbentuk. Pada anak-

anak yang defisiensi somatotropin akan mengalami hambatan

pertumbuhan. Somatotropin mengatur kecepatan normal sintesis

protein dalam tubuh dan juga menghambat sintesis lemak dan oksidasi

karbohidrat. Selain itu somatotropin berperan meningkatkan jumlah

sel dalam tubuh dengan menstimulasi pembelahan sel dan

pembentukan DNA
4) Gizi

Kebutuhan kalori manusia bervaniasi sesuai dengan tahap

perkembangan. Pada tahun pertama bayi membutuhkan kalori 2 kali

dibanding pria dewasa dengan aktivitas sedang. Kelaparan juga dapat

mengubah komposisi tubuh. Pada saat kelaparan protein dipakai

sehingga massa sel tubuh berkurang. Komposisi diet yang cocok

untuk pertumbuhan normal adalah suplai protein yang cukup dimana 9

asam amino sangat esensial untuk pertumbuhan dan tidak adanya

salah satu asam amino ini akan mengganggu pertumbuhan atau

retardasi pertumbuhan. Kekurangan protein adalah faktor utama

kwashiorkor dirnana terjadi pertumbuhan dan kematangan skeletal

yang menurun dan dapat menghambat pubertas.

Zink berperan dalam sintesis protein dan merupakan

komponen enzim tertentu sehingga defisiensi zink menyebabkan

kekerdilan (stunted) dan mempengaruhi perkembangan seksual.

lodium dibutuhkan untuk menghasilkan hormon tiroid. Tulang tidak

dapat tumbuh secara sempuma tanpa suplai kalsium yang cukup,

fosfor, dan komponen anorganik lain seperti magnesium dan mangan.

Sekitar 99% dan total kalsium tubuh terdapat dalam tulang dan gigi.

Pembentukan tulang diawali dalam embrio dan berlangsung selama

hidup. Kalsium berperan dalam mineralisasi tulang, pengenalan sel

dan kontraksi otot. Pada anak-anak yang sedang bertumbuh sekitar

180 mg kalsium ditambahkan pada tulang setiap hari, meningkat 400

mg saat remaja. Fluor dibutuhkan untuk pembentukan enamel gigi


yang sempuma. Fosfor merupakan komponen enzim, metabolik lain,

material genetik (DNA), membran sel, dan tulang yang digunakan

dalam mineralisasi tulang. Sekitar 85% dan fosfor tubuh berada dalam

tulang.

Besi dibutuhkan untuk menghasilkan hemoglobin. Konsumsi

besi menurun pada makanan diet untuk penurunan berat badan

sehingga terjadi anemia defisiensi besi. Infestasi parasit seperti cacing

mempengaruhi pertumbuhan karena menyebabkan berkurangnya

darah dan protein dari dinding usus. Beberapa parasit juga dapat

mempengaruhi absorpsi zat gizi. Tulang mengandung 60% dari

magnesium tubuh dimana lebih dari 300 enzim menggunakan

magnesium dan banyak sel yang menghasilkan energi membutuhkan

magnesium untuk berfungsi secara sempurna. Vitamin A dapat

mengendalikan aktivitas osteoblast dan osteoclast. Vitamin A yang

terlalu banyak dalam diet dapat menyebabkan pertumbuhan skeletal

berkurang. Sebaliknya kekurangan vitamin A menyebabkan cacat

dalam proses pembentukan tulang. Vitamin B2 juga berperan dalam

pertumbuhan. Defisiensi vitamin C, substansi intereluler tulang

dibentuk tidak sempurna dan konstruksi tulang peka terhadap

kekurangan kolagen. Defisiensi vitamin D menyebabkan ricket.

Vitamin D menstimulasi absorpsi kalsium dan usus halus dan

reabsorpsi kalsium oleh ginjal. Jika vitamin D sangat sedikit maka

suplai kalsium dan fosfor dalam aliran ciaran tidak cukup sehingga

tulang yang lunak (softened bones) menjadi distorsi dan berat badan
menurun. Pengaruh defisiensi oksigen terhadap pertumbuhan

disebabkan karena jaringan menerima oksigen yang sangat sedikit

untuk metabolisme normal. Selanjutnya cacat jantung kongenital yang

tidak disebabkan oleh oksigenasi darah yang kurang tetapi juga oleh

gangguan pertumbuhan

5) Kecenderungan sekuler

Terdapat kecenderungan bahwa anak-anak saat ini tumbuh

lebih tinggi dibanding era sebelumnya.. Kecenderungan sekuler dalam

kematangan yang berhubungan dengan kecenderungan sekuler dalam

pertumbuhan adalah umur pertama menstruasi

6) Status sosial ekonomi

Anak-anak usia 3 tahun dan status ekonomi tinggi di Inggris

lebih tinggi 2,5 cm dan lebih tinggi 4,5 cm pada remaja. Faktor

ekonomi terlihat kurang penting dibandingkan penyediaan pangan

dirumah tangga secara teratur, cukup dan seimbang. Selain itu

istirahat dan aktivitas yang cukup. Hal ml merupakan prinsip dasar

kesehatan. Besar keluarga juga penting dimana anak pada keluarga

dengan anggota keluarga banyak biasanya lebih pendek daripada anak

pada keluarga dengan anggota keluarga sedikit. Hal ml dapat

disebabkan anak pada keluarga dengan anggota keluarga banyak

cenderung mendapat perhatian dan perawatan individu yang minim.

7) Cuaca dan iklim

Pertumbuhan dalam panjang badan lebih cepat 2-2,5 kali pada

musim semi daripada musim gugur. Sebaliknya pertumbuhan dalam


berat badan lebih cepat 4-5 kali pada musim gugur daripada musim

semi. Adanya pengaruh perbedaan cuaca terhadap pertumbuhan belum

diketahui secara pasti diduga disebabkan jumlah penyinaran matahari

yang berpotensi menstimulasi setiap jaringan tubuh secara optimal

8) Tingkat aktivitas

Anak-anak dengan tingkat aktivitas yang jarang serta

mempunyai unsur genetik di mana kandungan lemak di dalam

tubuhnya besar dan banyak, maka akan menyebabkan anak

mengalami obesitas. Anak dengan pola makan yang tidak teratur serat

seringnya memilih makanan tanpa kontrol semakin mendukung yang

akhirnya berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan anak

9) Penyakit

Dampak penyakit pada anak-anak sama dengan dampak

kekurangan gizi. Penyakit-penyakit yang spesifik dengan

terganggunya pertumbuhan adalah tuberkulosis, ginjal, cerebral palsi,

dan sistik fibrosis. Asma juga menyebabkan hambatan pubertas. Obat-

obatan dapat mempunyai efek positif atau negatif terhadap selera,

absorpsi, dan metabolisme. Obat-obat yang menstimulasi ekskresi

seperti purgatif dan diuretik berdampak pada rendahnya kandungan

mineral tubuh seperti potasium. Obat-obat yang berpengaruh terhadap

pertumbuhan juga dapat disebabkan terapi steroid jangka panjang.

Pengobatan dengan glukokortikoid akan memperlambat pertumbuhan

dan menyebabkan berkurangnya tulang. Secara umum adanya

penyakit menyebabkan berkurangnya intake pangan karena selera


yang menurun. Selain itu juga menyebabkan berkurangnya sekresi

somatotropin sebagai hasil meningkatnya sekresi kartikosteroid dan

suprarenal korteks

10) Cacat lahir

Anak yang lahir dari ibu pecandu alkohol mempunyai

karakteristik abnormal dari sindrom alkohol fetal. Konsumsi alkohol

sering berhubungan dengan konsumsi tembakau dan terdapat bukti

bahwa ibu yang merokok selama hamil menyebabkan BBLR yang

dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya.

2.4 Hubungan antara pola asuh ibu dengan kejadian Stunting Pada Anak
Pra Sekolah

Pola asuh, terutama pola asuh makan merupakan faktor penyebab

tidak langsung yang berhubungan erat dengan intake makanan yang

langsung mempengaruhi status gizi balita. Semakin baik pola asuh makannya,

semakin baik juga status gizinya. Hasil penelitian di Nigeria, menunjukkan

bahwa pola asuh makan yang diberikan ibu berhubungan positif dan

signifikan dengan status gizi balita. Beberapa studi menunjukkan hubungan

yang signifikan antara care practices atau pola asuh dengan stunting dan

underweight pada anak-anak terutama pola asuh makannya. Perilaku Positive

deviance merupakan sebuah pendekatan yang baru-baru ini digunakan untuk

mengatasi masalah gizi pada balita, terutama masalah gizi kronik karena

perilaku tersebut diharapkan dapat bertahan dalam jangka waktu yang

lama. Positive deviance menjelaskan bagaimana pola asuh seorang ibu


dapat mempengaruhi status gizi anaknya. Ibu dengan positive deviance

dapat memiliki balita dengan status gizi baik meskipun memiliki

pendidikan rendah dan dalam keadaan sosial ekonomi kurang, serta hidup

dalam sanitasi lingkungan yang kurang baik.

BAB 3
KERANGKA KONSEP HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Konseptual

Input Proses output outcame

Faktor yang
mempengaruhi Asupan
kejadian stunting makanan
1. Penyebab langsung kurang
1) Asupan gizi
kurang
Derajat
2) Penyakit dan Pertumbuhan
Kejadian kesehatan
infeksi terhambat
stunting menurun
2. Penyebab tidak
langsung
1) Persediaan Terpapar
makanan kurang penyakit
2) Perawatan anak dan infeksi
dan ibu hamil
kurang
3) Pelayanan
kesehatan
kurang
3. Pokok masalah
1) Kemiskinan
2) Kurang
pendidikan
3) Kurang
keterampilan
4. Akar masalah
1) Krisis ekonomi

= Area diteliti

= Area yang tidak diteliti

Gambar 3.1 Kerangka Konseptual


Berdasarkan gambar 3.1 dapat dijelaskan bahwa input atau penyebab

tidak langsung dari gizi kurang adalah kurangnya persediaan makanan

dirumah, perawatan anak dan ibu hamil (termasuk pola asuh yang kurang

baik), pelayanan kesehatan yang kurang atau tidak memadahi. Semua faktor

tersebut menyebabkan kurangnya asupan makanan pada anak dan juga

menyebabkan akan terpapar penyakit dan infeksi yang pada akhirnya

menyebabkan anak menderita gizi kurang berdasar tinggi badan menurut

umur dalam kategori stunting. Karena kejadian stunting menyebabkan derajat

kesehatan anak menjadi menurun.

3.2 Hipotesis Penelitian

Hipotesis dalam penelitian ini adalah (H 1) Terdapat hubungan antara

pola asuh ibu dengan kejadian Stunting Pada Anak Pra Sekolah di Desa

Wonosari Kecamatan Ngoro Mojokerto

Selanjutnya dirumuskan dalam bentuk hipotesis statistik yang

berbunyi (H0) tidak terdapat hubungan antara pola asuh ibu dengan kejadian

Stunting Pada Anak Pra Sekolah di Desa Wonosari Kecamatan Ngoro

Mojokerto
BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah berdasarkan

lingkup penelitian termasuk jenis penelitian inferensial. Berdasarkan tempat

penelitian termasuk jenis penelitian lapangan. Berdasarkan waktu

pengumpulan data termasuk jenis rancangan yang digunakan Cross Sectional.

Berdasarkan ada tidaknya perlakuan termasuk jenis expos facto. Berdasarkan

cara pengumpulan data termasuk jenis survey. Berdasarkan tujuan penelitian

termasuk jenis analitik korelasional. Berdasarkan sumber data termasuk

penelitian kuantitatif, berdasarkan jenis data penelitian ini termasuk data

sekunder.

4.2 Populasi, Sampel, Besar Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel

4.2.1 Populasi

Populasi studi yaitu semua ibu yang mempunyai anak prasekolah

Puskesmas Bulili Palu Tahun 2023 berjumlah 105 responden.

4.2.2 Sampel

Sampel pada penelitian ini adalah sebagian ibu yang mempunyai

anak prasekolah Puskesmas Bulili Palu Tahun 2023 berjumlah 68

responden.

4.2.3 Besar Sampel

Penentuan besar sampel pada penelitian ini menggunakan formula dari

Isaac dan Michael yaitu penarikan sampel dapat dilakukan dengan cara-

47
cara menghitung besar populasi yang terpilih sebagai sampel.

λ 2 NP (1−P )
S=
d 2 ( N −1) + λ2 P (1−P )

Di mana :

S : Ukuran sampel yang diperlukan

N : jumlah populasi

P : proporsi populasi = 0,50 (maksimal sampel yang mungkin)

d : Tingkat akurasi = 0,001

λ2 : tabel nilai chi-square sesuai tingkat kepercayaan 0,95 = 1,841

λ 2 NP (1−P )
S= 2
d ( N −1) + λ2 P (1−P )
(1 , 841) (105)(0 , 5) (1−0 , 5)
S= = 67 , 09 = 68 responden
(0 , 05)2 (105−1 ) + (1, 841)(0 ,5 ) (1−0 ,5 )

4.2.4 Tehnik Pengambilan Sample

Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan

probability sampling dengan simple random sampling. Pada cara ini

menghitung terlebih dahulu populasi yang akan dipilih sampelnya,

kemudian diambil sebagian dengan menggunakan tabel random

(Notoatmodjo, 2003).

4.3 Variabel Penelitian Dan Definisi Operasional

4.3.1 Variabel Penelitian

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini dibedakan menjadi

variabel bebas dalam penelitian ini adalah pola asuh dan variabel tergantung

adalah kejadian stunting.


4.3.2 Defenisi Operasional

Tabel 4.1 Definisi operasional hubungan antara pola asuh ibu dengan kejadian
Stunting Pada Anak Pra Sekolah di Puskesmas Bulili Palu

NO Variabel Definisi Parameter Alat ukur Skala Kategori


Operasional Ukur
1 Variable Seluruh cara Pembe Kuesioner Ordinal 1. Baik
bebas perlakuan orang tua rian 2. Cukup
Pola Asuh yang diterapkan makan 3. Kurang
pada anak terutama sesuai
dalam hal dengan
pemberian makan kebutu
han
gizi
3 Variable Keadaan di mana 1. Umur Antopometri Ordinal 1. Terjadi
tergantung tinggi badan anak 2. Tinggi gizi TB/U 2. Tidak
Kejadian berada di bawah badan terjadi
Stunting standar pada umur
tertentu

4.4 Bahan Penelitian

Bahan penelitian adalah segala sesuatu yang dipakai untuk membantu

penelitian. Pada penelitian ini bahan penelitian yang digunakan adalah data di

rekam medik di Puskesmas Bulili Palu Tahun 2023

4.5 Instrumen Penelitian

Dijelaskan oleh (Notoadmodjo, 2010) bahwa instrumen penelitian

adalah alat- alat yang akan digunakan untuk pengumpulan data. Instrumen

pengumpulan data dalam penelitian ini dengan menggunakan lembar

pengumpulan data. Data yang di peroleh dari catatan Rekam Medik di

Puskesmas Bulili Palu Tahun 2023.

4.6 Tempat dan Waktu Penelitian

4.6.1 Tempat

Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Bulili Palu Tahun 2024


4.6.2 Waktu

Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Januari 2024

4.7 Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

4.7.1 Pengumpulan Data

Prosedur yang dilakukan oleh peneliti untuk mengumpulkan data

dimulai dari :

1. Peneliti meminta ijin dari kampus untuk melakukan penelitian di

Puskesmas Bulili Palu

2. Peneliti meminta ijin kepada Puskesmas Bulili Palu untuk melakukan

penelitian

3. Setelah mendapatkan data calon responden, dilakukan teknik

pengambilan sampel

4. Selanjutnya peneliti melakukan penelitian dengan mengambil data pola

asuh dan kejadian stunting di Puskesmas Bulili Palu menggunakan

lembar pengumpul data berupa kuesioner dan lembar check list.

4.7.2 Teknik Pengolahan Data

1. Editing

Editing data meliputi peneliti memeriksa kembali data yang

sudah terkumpul secara langsung dan memastikan bahwa data tersebut

lengkap.

2. Coding

Coding data meliputi memberikan kode pada variabel untuk

memudahkan analisis kesimpulan data, kemudian menentukan


tempatnya kedalamcodingsheet atau kedalam kolom yang telah

ditentukan. Pemberian kode hamil adalah sebagai berikut :

a. Data umum :

1) Usia Ibu

a) Usia < 20 tahun kode 1

b) Usia 20 – 35 tahun kode 2

c) Usia > 35 tahun kode 3

2) Pendidikan Ibu

a) Dasar (SD/SMP) kode 1

b) Menengah (SMA) kode 2

c) Tinggi (Perguruan Tinggi) kode 3

d) Tidak Sekolah kode 4

3) Pekerjaan Ibu

a) IRT kode 1

b) PNS kode 2

c) Wiraswasta kode 3

d) Swasta kode 4

b. Data Khusus

1) Pola Asuh

a) Baik Kode 1

b) Cukup Kode 2

c) Kurang Kode 3

2) Kejadian Stunting

a) Terjadi kode 1
b) Tidak terjadi kode 0

3. Tabulating

Tabulasi adalah kegiatan untuk meringkas data yang masuk

kedalam tabel dan kolom yang baru dari data dengan cermat, untuk

mengelompokan data tentang variabel independent dan variabel

dependent dalam rekam medik.

4.8 Teknik Analisa Data

4.8.1 Analisis Univariat

1. Pola Asuh

Untuk menilai pola asuh yang diterapkan ibu pada anaknya

peneliti menggunakan kuesioner dengan 15 soal dengan jawaban “ya”

bernilai 2, “kadang-kadang” bernilai“1 dan “tidak” bernilai 0.

Kemudian pengkategorian berdasarkan persentase jawaban.

Sp
x 100 %
N = Sm

Keterangan :

N : Prosentase (%)

SP : Skor yang didapat dari responden

SM : Skor tertinggi yang diharapkan

Kategori :

a. Baik : >76%

b. Cukup : 56%-75%

c. Kurang : < 56%

2. Kejadian Stunting
Penentuan kategori status gizi menurut ambang batas adalah

sebagai berikut :

a. Sangat pendek : <-3 SD

b. Pendek : -3 SD sampai dengan < -2 SD

c. Normal : -2 SD sampai dengan 2 SD

d. Tinggi : > 2 SD

Karena pada penelitian ini hanya menentukan kejadian stunting

maka kategorinya menjadi :

a. Stunting : < -2 SD

b. Tidak stunting : > -2 SD

(Supariasa, 2012)

4.8.2 Analisis Bivariate

Data dianalisis secara komputerisasi menggunakan perangkat lunak

pengolahan data dengan analisis univariat dan bivariat. Analisis univariat

digunakan untuk mendeskripsikan masing-masing variabel, baik variabel

bebas maupun terikat dari kelompok kasus dan kelompok kontrol dengan

tabel distribusi frekuensi. Sedangkan analisis bivariat digunakan untuk

mengetahui apakah ada hubungan antara dua variabel, atau bisa juga

digunakan untuk mengetahui apakah ada perbedaan antara variabel bebas

dan variabel terikat dengan menggunakan uji spearman’s rho. Untuk

interpretasi hasil menggunakan derajat kemaknaan (α) sebesar 5%, dengan

catatan jika α< 0,05 maka tolak H0, sedangkan bila α > 0,05 maka terima

H0 (Dahlan, 2009).
Untuk memberikan interprestasi terhadap koefisien korelasi

menggunakan tabel berikut :

Tabel 3.2. interpretasi koefisien korelasi.

Interval koefisien Tingkat hubungan


0 Tidak ada korelasi antara dua variabel
>0 – 0,25 Korelasi sangat lemah
>0,25 – 0,5 Korelasi cukup
>0,5 – 0,75 Korelasi kuat
>0,75 – 0,99 Korelasi sangat kuat
1 Korelasi sempurna
(Sarwono, 2014).
DAFTAR PUSTAKA

Adinfo, 2009. Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Pola Asuh. Diakses Di


worldhealth-bokepzz.blogspot.com
Akbar Reni dan Hawadi. Psikologi Perkembangan Anak, Mengenal Sifat, Bakat Dan
Kemampuan Anak. Jakarta. Arca
Amura, 2013. Kurir ASI Jakarta: Mencegah Anak Dari Stunting. Diakses Di Amura-
Courier.Blogspot.Com/2013/10/Mencegah-Anak-Dari-Stunting.Html
Anugraheni, 2012. Stunting. Diakses Di http://mariaulfaa.wordpress.com /2013
/11/23/stunting/
Anwar, 2000. Asuh Diri Meliputi Perilaku Ibu Memelihara Kebersihan Rumah,
Higiene Makanan, Kebersihan Perseorangan. Diakses Di
Repository.Usu.Ac.Id/Bitstream/123456789/6817/1/09e01725.Pdf
Dahlan Sopiyudin, M. 2010. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan (Edisi 5).
Jakarta, Salemba Medika
Gibney. Michael, J. 2004. Gizi Kesehatan Masyarakat. Jakarta. EGC
Hidayat, A. A. 2008. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak Untuk Pendidikan Bidan.
Jakarta. Salemba Medika
Kusuma Dan Nuryanto, 2013. Faktor Risiko Kejadian Stunting Pada Anak Usia 2-3
Tahun (Studi Di Kecamatan Semarang Timur). Thesis. Undip
Lubis, 2008. Pengaruh Karakteristik Ibu Dan Pola Asuh Makan Terhadap
Pertumbuhan Dan Perkembangan Bayi Di Kecamatan Pangkalan Susu
Kabupaten Langkat Tahun 2008. USU
Mahlia, 2008. Hubungan Pola Asuh Anak Dengan Status Gizi. Diakses Di
Repository.Usu.Ac.Id/Bitstream/123456789/6808/1/09e00172.Pdf
Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka
Cipta
Proverawati, Atikah. 2009. Kapita Selekta ASI dan Menyusui. Yogyakarta. Nuha
Medika
Riskesdas, 2013
Sugiyono. 2009. Statistika Untuk Penelitian. Jakarta : Alfabeta
Supariyasa, IDN. 2012. Penilaian Status Gizi. Jakarta. EGC
Unicef, 2012. Gizi Ibu Dan Anak. Diakses Di www.unicef.org/indonesia/id/a6_-
_b_ringkasan_kajian_gizi.pdf
Wiwit Wahyuning, 2003. Mengkomunikasikan Moral Kepada Anak. Jakarta. Pt Elex
Media Computindo

Anda mungkin juga menyukai