Anda di halaman 1dari 99

Pengaruh Kesehatan Lingkungan Terhadap Resiko Stunting Pada

Anak di Kabupaten Langkat

SKRIPSI

Oleh

ADE IRMA SURYANI PANE

151101064

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2019

i
ii
iii
Prakata

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas

berkat dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul “Pengaruh Kesehatan Lingkungan Terhadap resiko Stunting Pada Anak

di Kabupaten Langkat kec Secanggang, desa Kota Lama” sebagai Tugas Ahir

meraih Sarjana Keperawatan Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas

Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini tidak terwujud tanpa bantuan dari berbagai pihak. Pada

kesempatan ini, penulis ingin menghanturkan rasa terimakasih yang sebesar –

besarnya kepada:

1. Bapak Setiawan, S.Kp, MNS, Ph.D selaku Dekan Fakultas Keperawatan

Universitas Sumatera Utara

2. Ibu Sri Eka Wahyuni, S.Kep, Ns, M.Kep, selaku Wakil Dekan I Fakultas

Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Cholina T. Siregar, S.Kep, M.Kep, Sp.KMB selaku Wakil Dekan II

Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Dr. Siti Saidah Nasution, S.Kp, M.Kep, Sp. Mat selaku Wakil Dekan

III Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

5. Ibu Evi Karota, S.Kp, MNS selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak

membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi.

6. Bapak DR. Dudut tanjung, S.Kep, Ns, M.Kep selaku dosen penguji 1,

yang telah memberikan masukan perbaikan skripsi ini.

iv
7. dan Iwan Rusdi, S.Kep, MNS selaku Dosen Penguji 2 yang telah

memberikan masukan untuk perbaikan skripsi ini.

8. Ibu Lufthiani S.Kep, Ns, M.Kes yang telah melakukan validasi instrumen

yang di gunakan dalam penelitian ini.

9. Kepada Puskemas Secanggang, Desa Kota lama yang telah memberikan

izin kepada penulis untuk melakukan penelitian ini.

10. Ayahanda Pardomuan Pane, Ibunda Rawati Harahap, Kakak Astria

Ningsih Pane, Romaito Pane, Aidil Putra Pane, Intan Aulia pane, Syahril

Saputra Pane, Nenek Rahmawati Siregar dan abang ipar Edison siagian

yang telah memberikan dukungan, motivasi, dan doa yang tiada henti-

hentinya kepada penulis.

11. Adelina atika hutauruk, Depi lianti, Erida napitupulu, Zakiya nur hasanah,

winda simatupang, Yolanda, Apri lestari yang telah memberikan

dukungan, kawan berjuang, motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih banyak

kekurangan sehingga dengan penuh kerendahan hati penulis menerima kritik

dan saran demi kesempurnaan skripsi ini.

Medan, Agustus 2019

Penulis

v
DAFTAR ISI

BAB 1. PENDAHULUAN ..................................................................... 1


1.1 Latar Belakang........................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................. 6
1.3 Tujuan Penelitian .................................................................... 6
1.4 Manfaat Penelitian .................................................................. 6
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................ 8
2.1 Kesehatan Lingkungan ............................................................ 8
2.1.1. Defenisi Kesehatan Lingkungan ................................... 8
2.1.2. Pemanfaatan Air bersih ................................................ 11
2.1.3. Kepemilikan Jamban .................................................... 18
2.1.4. Infeksi ...................................................... .................... 23
2.2.Stunting ................................................................................. 27
2.2.1. Defenisi Stunting .......................................................... 27
2.2.2. Dampak Stunting .......................................................... 28
2.2.3. Indikator penilaian Stunting ......................................... 30
2.2.4. Faktor yang mempengaruhi Stunting ........................... 33
BAB 3. KERANGKA PENELITIAN ..................................................... 35
3.1. Kerangka Konseptual.............................................................. 35
3.2. Defenisi Operasional .............................................................. 36
3.3. Hipotesa .................................................................................. 38
BAB 4. METODOLOGI PENELITIAN................................................. 39
4.1. Desain Penelitian .................................................................... 39
4.2. Populasi, Sampel dan Tehnik Sampling ................................. 40
4.3. Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................. 41
4.4. Pertimbangan Etik .................................................................. 41
4.5. Instrumen Penelitian ............................................................... 42
4.6. Validitas dan Reabilitas .......................................................... 44
4.7. Pengumpulan Data .................................................................. 45
4.8. Analisa Data............................................................................ 46

vi
BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN.................................................. 47
5.1. Hasil Penelitian ....................................................................... 48
5.2. Karagteristik demografi .......................................................... 50
5.3. Kesehatan Lingkungan ........................................................... 52
5.4. Resiko Stunting....................................................................... 51
5.5. Pembahasan ............................................................................ 52
5.6. Kesehatan Lingkungan ........................................................... 52
5.7. Resiko Stunting ...................................................................... 55
5.8. Pengaruh Kesehatan Lingkungan ........................................... 56
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................. 59
6.1. Kesimpulan ............................................................................. 59
6.2. Saran ....................................................................................... 60
DAFTAR PUSTAKA
Lampiran Inform Consent
Lampiran Kuesioner Penelitian
Lampiran Jadwal Tentatif Penelitian
Lampiran Hasil Uji Reliabilitas
Lampiran Hasil Normalitas
Lampiran Hasil Penelitian
Lampiran Master Data
Lampiran Taksasi Dana Penelitian
Lampiran Riwayat Hidup
Lampiran Bukti Bimbingan
Lampiran Surat penelitian

vii
Daftar Tabel
Halaman

Tabel 3.3 Defensi operasional......................................................... 39

Tabel 5.1 Kriteria penafsiran korelasi............................................. 51

Distribusi demografi ibu berdasarkan umur, agama,

suku bangsa, status perrkawinan, pendidikan

Tabel 5.2 Distrubusi demografi balita berdasarkan usia, jenis

kelamin, dan nilai z score................................................... 52

Tabel 5.2 Kesehatan lingkungan di kabupaten langkat..................... 53

Tabel 5.4 Resiko stunting di kabupaten Langkat................................ 53

Tabel 5.5 Pengaruh kesehatan lingkungan terhadap resiko

stunting di kabupaten langkat............................................. 54

viii
Daftar Skema
Halaman

Skema 3.2 Kerangka Penelitian Pengaruh Kesehatan 37

Lingkungan terhadap Resiko Stunting pada

Anak di Kabupaten Langkat

ix
Judul : Pengaruh Kesehatan Lingkungan Terhadap Resiko
Stunting Pada Anak di Kabupaten Langkat
Nama : Ade Irma Suryani Pane
NIM : 151101064
Program : S1 Keperawatan
Tahun Akademik : 2018 / 2019

ABSTRAK
Stunting merupakan keadaan kekurangan gizi pada anak Balita yang ditandai
dengan pertumbuhan terlambat, tinggi badan tidak sesuai dengan umur, dan dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti nutrisi, infeksi pencernaan, berat badan
lahir rendah, dan kesehatan lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh kesehatan lingkungan terhadap resiko terjadinya stunting pada anak
Balita di Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat. Pengambilan sampel
menggunakan teknik purposive sampling, dengan jumlah sampel 50 balita,
instrumen penelitian berupa kuesioner kesehatan lingkungan. Analisa data
dilakukan menggunakan uji kai kuadrat. Hasil uji kai kuadrat menunjukkan bahwa
terdapat pengaruh yang signifikan antara kesehatan lingkungan terhadap resiko
terjadinya stunting (p= 0,009). Kesehatan lingkungan yang buruk penyebab
terjadinya resiko stunting pada Balita di Kecamatan Secanggang Kabupaten
Langkat. Perlu dilakukan upaya edukasi pemanfaatan sanitasi lingkungan bersih
sebagai upaya pencegahan terjadinya resiko stunting pada Balita.

Kata Kunci : Kesehatan Lingkungan, Stunting, Balita

x
xi
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Stunting merupakan bentuk suatu proses pertumbuhan yang terlambat, dan

merupakan salah satu masalah gizi yang perlu diperhatikan (Picauly, 2013).

Masalah pendek pada anak akan menghambat perkembangan, dampak negatif ini

akan belanjut dalam kehidupan setelahnya. Hal ini sekitar 70% pembentukan sel

otak terjadi sejak janin masih dalam kandungan hingga anak berumur dua tahun.

Jika otak mengalami gangguan pertumbuhan maka jumlah sel otak, serabut sel

dan penghubung sel otak akan berkurang. Hal ini menyebabkan penurunan

intelegensi (Depkes, 2012).

Stunting merupakan indikator keberhasilan, kesejahteraan, pendidikan dan

pendapatan masyarakat (Depkes, 2013). Faktor asupan makanan, pola asuh dan

kesehatan yang di peroleh ibu dan anak anaknya memiliki dampak besar bagi

kesehatan dan kesejahteraan mereka dimasa mendatang (Bappenas, 2013).

Stunting memiliki dampak yang sangat luas mulai dari sisi ekonomi, kecerdasan,

dan kualitas yang berpengaruh terhadap masa depan anak. Studi yang telah di

lakukan menunjukkan bahwa anak yang pendek sangat erat hubungannya dengan

prestasi di sekolah yang buruk. Anak – anak yang pendek memiliki resiko yang

lebih besar untuk tumbuh menjadi orang yang lebih dewasa yang kurang

berpendidikan lebih rentan mengalami penyakit menular (Unicef Indonesia, 2012)

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak pada masa balita

mengalami stunting memiliki tingkat kognitif rendah, prestasi belajar dan

1
2

psikososial buruk (achadi, 2010). Anak yang mengalami stunting di dua

tahun pertama kehidupannya memiliki hubungan sangat kuat terhadap

keterlambatan kognitif di masa kanak kanak nantinya dan berdampak jangka

panjang terhadap mutu sumberdaya (Brinkman, 2010).

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (2013) Prevalensi stunting Nasional

mencapai 37,2 persen. Meningkat dari tahun 2010 (35,6%) dan 2007 (36,8%). Hal

tersebut menunjukkan sekitar 8 jutaan anak Indonesia mengalami pertumbuhan

tidak maksimal. Indonesia menduduki peringkat ke lima dunia untuk jumlah anak

dengan kondisi stunting. Berdasarkan Survei tahun (2017) Dinas Kesehatan

Provinsi Sumatera Utara melporkan bahwa angka Stunting pada anak dibawah

usia 5 tahun mencapai 28,5%, dan angka terbanyak ada di 4 Kabupaten/Kota

yaitu: Langkat, Padang Lawas, Gunung Sitoli, dan Nias Utara. WHO (2013)

menargetkan penurunan prevalensi Stunting mencapai 40% pada tahun 2025,

sementara itu dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN),

pemerintah menargetkan penurunan prevalensi Stunting mencapai 28% pada

tahun 2019. Untuk itu pemerintah menetapkan 100 kabupaten prioritas yang akan

ditangani tahap awal, dan kemudian dilanjutkan 200 kabupaten lainnya.

Beberapa faktor yang berhubungan dengan terjadinya stunting yaitu berat

badan bayi lahir rendah (BBLR), wilayah tempat tinggal, dan status ekonomi

(Fitri.k, 2012). Studi lain menjelaskan ada beberapa faktor yang berhubungan

terhadap kejadian stunting yaitu pendapatan, jumlah anggota rumah tangga,

tinggi badan ayah, tinggi badan ibu, dan pemberian ASI ekslusif (Wagdah, 2012).

Selain itu, faktor hormon genetik dan rendahnya sanitasi lingkungan, rendahnya
3

aksebilitas pangan pada tingkat keluarga terutama pada keluarga miskin,

rendahnya akses keluarga terhadap pelayanan kesehatan dasar, dan masih terjadi

disparitas antar provinsi yang perlu mendapat penangan masalah yang sifatnya

spesifik di wilayah rawan (Raharjo, 2015).

Selain itu Faktor lingkungan merupakan salah satu aspek yang mempengaruhi

proses tumbuh kembang balita dan memberikan resiko terhadap terjadinya

stunting. Buruknya sanitasi lingkungan berdampak secara tidak langsung

terhadap kesehatan balita yang pada akhirnya dapat mempengaruhi status gizinya.

Jika keadaan lingkungan fisik dan sanitasi keluarga baik, maka kondisi kesehatan

orang yang ada di dalamnya akan ikut baik, demikian juga sebaliknya. Selama

kebersihan sumur dan sumber air terjaga dengan baik maka resiko untuk

penyebaran penyakit menular akan semakin kecil. Kepemilikan Jamban yang baik

juga berperan penting untuk mencegah penyakit seperti diare dan cacingan

(Riyadi, 2011). Berdasarkan hasil penelitian Maya adiyanti (2014) menyatakan

bahwa adanya hubungan yang bermakna kesehatan lingkungan seperti jenis

jamban, yang digunakan, sumber air yang terlindungi terhadap stunting. Sanitasi

air berkaitan dengan penyakit infeksi, perhatian harus difokuskan Penyediaan air

bersih, kepemilikan jamban keluarga (sab’atmaja, 2010).

Sanitasi lingkungan dapat menjadi faktor pendukung berkembangnya

penyakit menular (Hidayat, 2011). Prevalensi kesehatan lingkungan yang

mempengaruhi terjadinya stunting pada tahun 2017, (72,04%) rumah tangga yang

memiliki akses air bersih dan kabupaten yang terendah yaitu bengkulu (43, 83%),
4

dan fasilitas sanitas jamban (67,89%) dan Kabupaten yang terendah yaitu papua

(33,06%).

Pada beberapa Anak yang sering mengalami infeksi pencernaan diare

akibat sanitasi air yang buruk meningkatkan keberadaan penyakit diare pada anak

yang menyebabkan malabsorbsi makanan di waktu yang sama akibat diare,

biasanya anak menjadi susah makan sehingga makin memperparah kondisi gizi

balita. Sebaliknya kekurangan gizi dapat menyebabkan anak rentang terserang

penyakit diare karena akibat kurang gizi, daya tahan tubuh anak menjadi

berkurang. Kejadian diare ini kemungkin ini disebabkan oleh beberapa hal yaitu:

beberapa keluarga memamfaatkan sungai yang ada berada di dekat rumah sebagai

air minum, dan tidak ada fasilitas jamban. Mathew (2009), mengemukakan bahwa

penggunaan air dari sumber yang terbuka (sungai) meningkatkan resiko

pemberian makanan balita yang tidak higienes yang ahirnya meningkatkan resiko

diare pada balita. Selain itu kebersihan pribadi juga berkontribusi terhadap

kejadian diare. Faktor higiene dan sanitasi juga dapat memepengaruhi status

imunitas, higiene dan sanitasi yang kurang memenuhi syarat baik dari segi

penyediaan air bersih maupun penggunakan jamban (Ruchaeni, 2016).

Beberapa faktor lingkungan yang beresiko terhadap terjadinya resiko

stunting pada anak adalah balita yang berasal dari keluarga yang mempunyai

fasilitas air bersih memiliki prevalensi diare dan stunting lebih rendah dari anak

anak yang berasal dari keluarga yang tidak memiliki fasilitas air bersih dan

kepemilikan jamban. Pada penelitian ini, resiko anak stunting yang tinggal

dengan kondisi sanitasi lingkungan yang kurang baik lebih tinggi dibandingkan
5

dengan anak yang tinggal keluarga yang memiliki sanitasi air yang baik. Hal ini

terjadi karena sebagian besar tempat tinggal anak belum memenuhi syarat rumah

sehat, ventilasi dan pencahayaan yang kurang, tidak adanya tempat pembuangan

sampah tertutup dan kedap air,tidak memiliki jamban keluarga,serta hal ini di

dukung kondisi ekonomi keluarga yang relatif rendah (Wati, 2015).

Kesehatan lingkungan berdampak pula untuk tumbuh kembang anak,

karena anak di bawah lima tahun rentan terhadap berbagai infeksi dan penyakit.

Paparan seorang anak yang terus menerus terhadap kotoran manusia dan binatang

dapat menyebabkan infeksi bakteri kronis, dimana infeksi tersebut dapat

disebabkan oleh perilaku atau tindakan sanitasi air bersih dan lingkungan yang

kurang baik sehingga membuat gizi kurang di serap oleh tubuh (Unicef Indonesia,

2012). Rendahnya sanitasi lingkungan pun memicu gangguan saluran pencernaan,

yang membuat energi untuk pertumbuhan teralihkan kepada perlawanan

menghadapi infeksi (Izzati, 2016). Sebuah riset menemukan bahwa semakin

sering seorang anak menderita diare dan infeksi pencernaan lainnya maka

semakin besar pula ancaman resiko stunting (Maya, 2016). Selain itu, saat anak

sakit maka selera makan anak berkurang, sehingga asupan gizi semakin rendah.

Maka pertumbuhan sel otak yang seharusnya sangat pesat dalam dua tahun

pertama seorang anak akan menjadi terhambat. Dampaknya anak tersebut

terancam menderita stunting, yang mengakibatkan pertumbuhan mental dan

fisiknya terganggu, sehingga potensinya tak dapat berkembang dengan maksimal.

(Schmidt & Charles, 2014).


6

Tingginya persen angka penyakit infeksi dan penggunaan air bersih serta

ketidakpemilikan jamban berpengaruh pada status gizi pada anak balita dengan

rentang usia paling rawan terkena gizi buruk. Angka gizi buruk buruk di indonesia

berdasarkan kategori sangat pendek 18%, dan pendek mencapai 19,2%

(Riskesdas, 2013). Sanitasi dan perilaku yang buruk serta air minum yang tidak

aman berkontribusi terhadap 88% kematian anak akibat diare diseluruh dunia.

Bagi anak anak yang bertahan hidup, serinnya menderita diare berkonribusi

terhadap masalah gizi, sehinggaa menghalangi anak untuk dapat mencapai potensi

maksimal mereka. Kondisi ini selanjutnya menimbulkan implikasi serius terhadap

kualitas sumber daya manusi dan kemampuan produktif suatu bangsa di masa

yang akan datang ( Unicef united Nation’s children’s fund, 2012).

1.2 Rumusan masalah

Uraian dalam Latar belakang masalah di atas menjadi dasar penelitian

untuk mengetahui tentang apakah ada pengaruh kesehatan lingkungan terhadap

resiko terjadinya stunting pada Balita di Desa Kota lama Kecamatan Secanggang

Kabupaten Langkat

1.3 Tujuan penelitian

Untuk mengidentifikasi pengaruh kesehatan lingkungan terhadap resiko

stunting pada anak di Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat


7

1.4 Manfaat penelitian

1.4.1 Bagi Pelayanan Keperawatan

Hasil penelitian ini dapat di gunakan bagi perawat lainnya sebagai sumber

informasi dalam meningkatkan asuhan keperawatan yang berhubungan dengan

pengaruh kesehatan lingkungan terhadap resiko stunting pada anak.

1.4.2 Bagi Pendidikan Keperawatan

Hasil penelitian ini mampu menambah pengetahuan mengenai pentingnya

kesehatan lingkungan sebagai upaya mengurangi terjadinya resiko stunting pada

balita.

1.4.3 Bagi Penelitian Keperawatan

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai hasil awal dari penelitian selanjutnya

dalam melakukan penelitian khususnya mengenai jumlah anggota keluarga,

pemeriksaan ANC terhadap terjadinya resiko stunting pada balita.

1.4.4 Bagi Pemerintah setempat

Penelitian ini memberikan masukan kepada pemerintah setempat untuk

memperhatikan sarana fasilitas lingkungan di masyarakat.


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kesehatan lingkungan

2..1.1 Defenisi

Kesehatan lingkungan adalah bidang kesehatan yang menyangkut

pelayanan dinamika hubungan interaktif antara sekelompok manusia atau

masyarakat dengan berbagai perubahan komponen lingkungan hidup manusia

yang disiuga dapat menimbulkan gangguan kesehatan pada masyarakat dan

mempelajari upaya untuk penanggulangan dan pencegahannya (Sarudji, 2010).

Menurut Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan Indonesia (HAKLI) Kesehatan

lingkungan adalah suatu kondisi lingkungan yang mampu menopang

keseimbangan ekologi yang dinamis antara manusia dan lingkungan untuk

mendukung tercapainya kualitas hidup manusia yang sehat dan bahagia. Menurut

World Health Organization (WHO), kesehatan lingkungan adalah suatu

keseimbangan ekologi yang harus ada diantara manusia dan lingkungan agar

dapat menjamin keadaan sehat dari manusia (Mudiantum dan Daryanto, 2015).

Ruang lingkup kesehatan lingkungan menurut WHO ada 17 yaitu,

Penyediaan air bersih, pengelolaan air buangan dan pengendalian pencemaran,

pembuangan sampah padat, pengendalian vektor, pencegahan/pengendalian

pencemaran tanah oleh ekskreta manusia, higiene makanan termasuk higiene

susu, pengendalian pencemaran udara, pengendalian radiasi, kesehatan kerja,

pengendalian kebisingan, perumahan dan pemukinan, aspek kesling dan

8
9

transportasi udara, perencanaan daerah dan perkotaan, pencegahan

kecelakaan, rekreasi umum dan pariwisata, tindakan-tindakan sanitasi yang

berhubungan dengan keadaan epidemi/wabah bencana alam dan perpindahan

penduduk, tindakan pencegahan yang perlu dilakukan untuk menjamin

lingkungan (Ghandi, 2010).

Paradigma kesehatan lingkungan adalah, bahwa terjadinya derajat status

kesehatan karena interaksi antara agen dan lingkungan: Ketahanan bakteri

terhadap sinar matahari stabilitas vitamin, interaksi agen dan pejamu: Timbulnya

gejala dan penyebab penyakit, dan interaksi penjamu dengan lingkungan:

ketersediaan fasilitas kesehatan penyiapan makanan keadaan ruangan (panas,

dingin) (Budiman, 2007). Dampak lingkungan yang tidak sehat tidak hanya

berpengaruh pada manusia saja tapi berakibat pada tanaman dan sehat juga, tanah

yang tercemar akan ikut juga mencemari tumbuhan dan sayur- sayuran yang

digunakan oleh masyarakat sehingga berakibat juga untuk masyarakat yang

menggunakannya untuk keperluan keluarga.

Faktor kesehatan lingkungan memiliki potensi dan daya dukung untuk

menciptakan masyarakat yang terbebas dari segala macam penyakit, yang

mempengaruhi kesehatan lingkungan yaitu: Faktor fisik berupa biotik dan abiotik,

dimana faktor tersebut berperan penting bagi masyarakat dalam memperhatikan

dimana tempat tinggal mereka akan dibangun, Faktor sosial: faktor sosial berupa

tingkah laku, kepandaian, adat istiadat, di mana faktor tersebut berperan dalam

hubungan masyarakat dan lingkungan, Faktor ekonomi: Faktor ekonomi berupa

pekerjaan, pendapatan, kemiskinan, dimana umumnya di lingkungan


10

tersebutdisusuki sebagai sebagian besar orang tidak mampu, maka secara tidak

langsung berpengaruh terhadap kesehatan lingkungan terhadap tempat tinggalnya

(Setiyabudi, 2007).

Penyakit yang ditimbulkan oleh lingkungan yang tidak sehat diantaranya

yaitu: Kolera yaitu penyakit saluran cerna yang disalurkan lewat penggunaan air

dalam kehidupan sehari hari, tipus perut yaitu penyakit saluran cerna yang

ditularkan lewat penggunaan air sehari hari, pemakaian air yang tidak sesuai

dengan syarat kesehatan bagi kepentingan rumah tangga dpat menyebabkan

penyakit perut menular, diare, malaria dan DBD, TBC, cacar dan Influenza

(WHO, 2008). Upaya penggulangan kesehatan lingkungan: upaya

penanggulangan lingkungan hidup meliputi ekosistem darata, kawasan pesisir,

dan ekosistem laut, upaya pengelolaan lingkungan buatan meliputi, pengendalian

pencemaran yang berkaitan dengan perlindungan air, tanah, udara, dan

pengelolaan limbah, upanya penanganan lingkungan sosial meliputi,

pembangunan kualitas hidup, dan pembangunan kualitas lingkungan, upaya

pengembangan modal sosial meliputi, kearifan lingkungan, etika lingkungan, dan

pembangunan jiwa sosial (Suparmin, 2001).

Syarat lingkungan yang sehat: Keadaan air yang tidak berbau, tidak

tercemar, dan dapat dilihat kejernihan, jika kebersihannya sudah tepenuhi air

dimasak dengan suhu 100 derajat celcius, sehingga bakteri dalam air tersebut

mati, keadaan udara yang sehat udara yang didalamnya terdapat oksigen yang

tidak tercemar oleh zat zat yang merusak tubuh, keadaan tanah yang sehat tanah

yang bik untuk penanaman suatu tumbuhan, dan tidak tercemar oleh zat zat logam
11

besi, suara kebisingan dimana suatu lingkungan yang kondisi tidak bising yang

daapat mengganggu aktifitas atau kegiatan pendengaran manusia. Cara

memelihara kesehtan lingkungan: tidak mencemari air dengan cara tidak

membuang sampah disungai, mengurangi penggunaan pengendara bermotor,

pengelolaan tanah dengan baik, menanam tumbuhan pada lahan yang kosong

(WHO, 2008).

Kebersihan lingkungan yang buruk berdampak bagi warga yang mendiami

lingkungan tersebut, termasuk anak- anak. Sebab, mereka bisa mengalami

enviromental enteropathy (EE). Karena EE menimbulkan kerusakan pada vili usus

usus besar sehingga susah menyerap nutrisi. Kemudian rentan terjadi diare kronis

pada anak anak sehingga nutrisi yang masuk kedalam tubuh anak anak tersebut

dikeluarkan akibat diare yang dialami anak tersebut,sehingga nutrisi anak tersebut

tidak terpenuhi. penyerapan gizi yang buruk dapat mengganggu berbagai fungsi

tubuh dan membuat anak mengalami malnutrisi atau gangguan terhadap status

gizinya. Infeksi yang terjadi pada anak balita sangat berpengaruh terhadap

perkembangan kognitif serta pencapaian (Sukmasari, 2016). Masalah – masalah

kesehatan lingkungan di indonesia merupakan masalah kompleks yang untuk

mengatasinya dibutuhkan kesadaran individu itu sendiri untuk selalu mencaga

lingkungan disekitar rumahnya agar tetap bersih dan terjaga, masalah kesehatan

lingkungan yaitu: Akses Air bersih dimana masih banyak desa yang tidak

memiliki sumber air bersih untuk kebutuhan sehari hari, Pembungan kotoran atau

tinja dimana anggota keluarga atau masyrakat sering buang air besar disungai atau
12

di sebarang tempat, sehingga banyak penyakit yang terjadi pada masyarakat,

khususnya anak – anak yang sedang aktip pekarangan rumah (WHO, 2008).

2.1.2 Pemanfaatan air bersih

Air bagi manusia adalah kebutuhan yang sangat mutlak, karena air

adalah zat pembentuk tubuh manusia yang terbesar 75% dari bagian tubuh

manusia tanpa jaringan lemak. Seseorang akan mengalami situasi hidup yang

gawat apabila tubuhnya kekurangan air sebesar 5% dari berat tubuhnya (Unicef,

2012). Kekurangan air pada tubuh manusia akan cepat terjadi jika seseorang

terkena suatu penyakit yang berbahaya, seperti sakit muntah berak dan diare.

Jika kekurangan air terjadi dan tidak dapat tertanggulangi maka akan

menyebabkan kematian (Notoatmodjo, 2007). Air yang dibutuhkan manusia

adalah air bersih dan sehat. Persedian air untuk keperluan rumah tangga harus

cukup, baik kualitas maupun kuantitasnya. Air keperluan rumah tangga harus

memenuhi 2 syarat utama, yaitu: Syarat Kuantitas, yang mana Persediaan air

untuk keperluan rumah tangga diperkirakan sekitar 100 liter per kapita per hari

dengan perincian berikut : 5 liter air untuk minum, 5 liter untuk masak, 15 liter

untuk mencuci, 30 liet untuk mandi, dan 45 liter untuk menyirami kakus atau

untuk keperluan rumah tangga lainnya.Jumlahnya 100 liter per hari per kapita

(Sumantri, 2010).

Air bersih adalah air bersih yang digunakan untuk keperluan sehari – hari

yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat diminum apabila telah di

masak. Air bersih merupakan salah satu kebutuhan manusia untuk memenuhi

standar kehidupan manusia secara sehat. Ketersedian air yang terjangkau dan
13

berkelanjutan menjadi bagian terpenting bagi setiap individu baik yang tinggal

diperkotaan maupun di perdesaan (Mulia, 2005).

Ada beberapa cara penyimpanan air bersih, dalam proses air bersih harus

disimpan dalam beberapa tahap tergantung pada penggunaanya, diperlukan tempat

penyimpanan dengan berbagai kapasitas. Air dapat disimpan (Lippsmeier, 1997):

didalam tanah sebagai reservoir alamiah, didalam bak penampung sebelum diolah,

didalam bak penampungan setempat (tangki atau menara air), didalam bak

penampung untuk luas yang diperlukan untuk menyimpan air didapatkan dari

perkiraan konsumsi per orang setiap hari dikaitkan dengan jumlah penduduk

(Hidayati, 2010).

Syarat kualitas, yang mana Air rumah tangga harus memenuhi syarat

supaya layak di konsumsi seperti, Syarat fisik, yaitu air harus jernih, tidak berbau,

tidak berasa, tidak berwarna, Syarat kimiawi, yaitu air tidak mengandung zat

racun (toksin), tidak mengandung mineral,dan Zat organik yang lebih tinggi dari

jumlah yang ditentukan, Syarat bakteriologis, yaitu air tidak boleh mengandung

kuman penyakit menular, antara lain Cholera dan Paracholera Eltor: Typhus

abdominalis dan paratyphus A, B, C : Dysenteri Bacillaris dan Dysentria

Amoebica.Untuk kepentingan air minum, hendaknya air dimasak mendidih, agar

semua bakteri parasit mati (MENKES, 2002). Karena bibit penyakit keluar

bersama feses penderita, maka di syaratkan air rumah tangga tidak boleh di kotori

feses manusia. Sebagai indikator bahwa air telah di kotori feses manusia, adalah

adanya bakteri Escharia coli, karena bakteri ini selalu terdapat dalam feses

manusia baik yang berasa dari orang sakit maupun orang sehat. Juga karena tidak
14

mungkin menyediakan air rumah tangga yang steril, maka air boleh mengandung

bakteri tanah yang tidak patogen dalam batas batas tertentu. Air rumah tangga di

katakan memenuhi syarat bakteriologis bila air tersebut Tidak mengandung

sesuatu bibit penyakit, Tidak mengandung bakteri escherichia coli, dan Bakteri

saprofit (tidak patogen) tidak lebih dari 100 per ml air. Untuk memperoleh air

bersih dan murni, cara yang umum dilakukan adalah dengan cara penyaringan

(Filtrasi), Pengumpulan (Koagulasi), Penyulingan (Destilasi) dan penambahan zat

desinfektan (Sarudji, 2010).

Penyakit yang dapat ditularkan melalui air menurut (Kusnoputranto,

2000), Water Borne Disiase adalah penyakit yang ditularkan langsung melalui air

minum, dimana air minum tersebut mengandung kuman pathogen dan terminum

oleh manusia maka dapat menimbulkan penyakit antara lain adalah penyakit

cholera, Thypoid, Hepatitis infektiosa, Dysentri, Gastroentritis. Water Washed

Disease penyakit yang disebabkan oleh kurangnya air untuk pemeliharaan

hygiene persseorangan dan air bagi kebersihan alat-alat terutama lat dapur daan

alat makan. Dengan terjaminnya kebersihan oleh tersediaanya air yang cukup

maka penularan penyaakit penyakit teertentu pada manusia dapat dikurangi.

Penyakit ini sangat dipengaruhi oleh cara penularan, diantaranya adalah penyakit

infeksi saluran pencernaan. Salah satu penyakit infeksi pencernaan adalah diare,

Water Based Disease adalah penyakit yang ditularkan oleh bibit penyakit yang

sebagian besar ssiklus hidupnya di air seperti Schistosoiasis. Larva schistoma

hidup dala keong air. Setelah waktunya larva ini akan mengubah bentuk menjadi

carcaria dan menembus kulit kaki manusia yang berada didalam air tersebut.
15

Water Related Insec Vectors adalah penyakit yang ditularkan melalui vektor yang

hidup tergantung pada air misalnya malaria, demam berdarah, filariasis, yellow

fever dan sebagainya ( WHO, 2017).

Cara penyaringan dapat membersihkan air dari kotoran yang tidak larut.

Air yang mengandung lumpur dapat dimurnikan dengan saringan pasir, tetapi cara

ini tidak dapat memisahkan zat zat yang terlarut dalam air. Untuk memperoleh air

yang murni yang bebas dari zat zat terlarut, dilakukan dengan cara

penyulingan,yauitu degan mendidihkan air. Uap air yang terbentuk di embunkan

kembali. Air murni yang diperoleh dengan cara penyulingan dikenal dengan nama

akuades tilata atau air suling,yang sering disingkat dengan akuades (Rochhmi,

2016). Air yang tidak sehat akan menyebabkan diare pada anak lebih meningkat

dari sebelumnya dan menurunkan berat badan anak, selain itu, air minum juga

harus dijaga agar tidak tercemar oleh bahan bahan berbahaya, dengan menangani

masalah air minum (Depkes RI, 2011).

Pada umumnya penduduk pedesaan menggunakan sumur sebagai sumber

air utama untuk keperluan rumah tangga.syarat sehat sumur yang sehat, Dinding

sumur bagian atas harus di buat tembok yang tidak tembus air. Pada umumnya

bakteri tidak dapat hidup pada kedalaman tersebut. Dibuat tembok yang tidk

tembus air agar perembesan air permukaan yang telah tercemar tidak terjadi.

Dibagian tembok 3 meter itu, di buat pula dinding tembok yang tidak di lapisi

semen. Tembok ini bertujuan agar dinding sumur tidak runtuh. Pada dasar sumur

di beri kerikil agar tidak keruh. Kemudian kira kira 1 meter di atas tanah di buat

dinding. Sebaiknya dilapisi dengan semen agar kuat. Dinding ini berungsi untuk
16

menjaga agar air disekitar nya tidak masuk kedalam sumur. Dinding ini juga

berfungsi untuk keselamatan penggunanya. Tanah di sekeliling tembok sumur

sebaaiknya disemen miring. Bagian tepinya di buat saluran. Lebar semen

sekelilingnya tembok sumur kira kira 1,5 meter. Tujuannya agar air sekelilingnya

tidak masuk ke dalam sumur. Sebaiknya sumur diberi atap agar para penggunanya

tidak kepanasan di sinar matahari atau agar tidak kemasukan air hujan.

Kedalaman sumur pada daerah dataran rendah kedalaman sumur berkisar antara

5-6 meter. Artinya, pada kedalaman tersebut air tanah telah keluar (Rochmi,

2016).

Hal hal yang perlu diperhatikan dalam penyediaan air bersih seperti,

Mengambil air dari sumber air yang bersih dan menyimpan air dalam tempat yang

bersih dan tertutup, serta menggunakan gayung khusus untuk mengambil air, serta

Memelihara atau menjaga sumber air dari pencernaan oleh binatang, anak anak,

dan sumber pengotoran. Jarak antara sumber air minum dengan sumber

pengotoran (tangki septik), tempat pembuangan sampah dan air limbah air limbah

harus lebih dari 10 meter, selalu menggunakan air yang di rebus terlebih dahulu

ketika ingin mengkonsumsi air, Mencuci semua peralatan masak, makanan

dengan air yang bersih dan cukup air (Depkes RI, 2000)

Masyarakat membutuhkan air untuk keperluan sehari hari, maka

masyarakat menggunakan berbagai macam sumber air bersih menjadi air minum.

Sumber sumber air minum tersebut seperti : Air hujan atau air penampung Air

Hujan (PAH), Air hujan dapat di tampung kemudian di jadikan air minum, Tetapi

air hujan ini tidak mengandung kalsium. Agar dapat di jadikan air minum yang
17

sehat perlu di tambhakan kalsium di dalamnya. Air sungai dan air danau ini juga

dari air hujan yang mengalir melalui saluran saluran ke dalam sungai atau danau.

Kedua sumber air ini sering disebut air permukaan. Mata air yaitu Air yang

keluar dari mata air in i biasanya berasal dari air tanah yang muncul secara

alamiah. Air dari mata air ini, bila belum tercemar oleh kotoran sudah dapat di

jadikan air minum langsung. Air dangkal yaitu Air ini keluar dari dalam tanah,

maka juga di sebut air tanah. Dalamnya lapisan air ini dari permukaan tanah dari

tempat yang satu ke tempat yang lain berbeda beda. Biasanya berkisar antara 5

sampai dengan 15 meter dari permukaan tanah. Air sumur dalam yaitu Air ini

berasal dari lapisan air ke dua di dalam tanah. Dalamnya dari permukaan tanah

biasanya di atas 15 meter (Notoatmodjo, 2007).

Data lain menunjukkan rendahnya akses masyarakat terhadap akses air

bersih dan sanitasi dasar dapat meningkatkan kejadian diare pada anak balita.

Selain itu air minum juga harus dijaga agar tidak mudah tercemar oleh bahan

bahan berbahaya, sehingga bila air minum diragukan keamanannya sebaiknya

direbus sampai mendidih. Dengan menangani akar masalah penyebab tentunya air

minum dan sanitasi dapat mengurangi permasalahan penyakit secara global akibat

lingkungan. Penyakit diare merupakan salah satu penyakit dengan sumber

penularan melalui air (water borne diseases), dan penyakit diare yang terjadi pada

anak balita pada umumnya disertai muntah dan menceret. Kurangnya akses

masyarakat terhadap air bersih atau air minum serta buruknya sanitasi dan

perilaku higiene berkontribusi terhadap kematian 1,8 juta orang pertahun karena

diare (Sumantri, 2010).


18

Pencemaran air juga sering terjadi terutama sungai sungai yang ada di

Indonesia, dimana tercemarnya air tersebut disebabkan oleh adanya makhluk

hidup, atau komponen lain karena ulah manusia sendiri, seperti membuang

sampah ke dalam sungai, sehingga air tidak dapat berpungsi atau tidak dapaat

digunakan masyarakat lagi (PP RI, 2001). Kondisi pencemaran disebagian sungai

perlu diperhatikan, mengingat bnyaknya sungai yang digunakan sumber air baku

untuk keperluan air minum. Bahkan ditemukan bahwa minimal 1,8 milyar

penduduk minum air dri sumber yang terkontaminasi feses (WHO, 2016). Hal itu

memberikan dampak negatif bagi kesehatan masyarakat yang mengkonsumsinya.

Ada banyak penyakit yang ditimbulkan akibat pencemaran air daan resiko

terbesar menjangkit mereka yng memilii sistem imun yang lemah seperti bayi,

wanita hamil, dan lansia. Bahwkan WHO (2015) menyebutkan bahwa dari 133

penyakit, diperhitungkan terdapat 101 yang mempunyai hubungan yang signifikan

dengan lingkungan, diantaranya berkaitan dengan air yang tidak aman (WHO,

2015). Persyaratan air bersih menunjukkan mutu dan dan kondisi yang dikaitkan

dengan keperluannya, namun ada beberapa yang termasuk air bersih menurut

kebutuhannya yaitu: air bersih, air minum, air kolam renang, ataupun air

pemandian umum memiliki indikator kualitas yang berbeda (Wendyartaka, 2016).


19

2.1.3. Kepemilikan jamban

Jamban adalah suatu bangunan yang digunakan untuk tempat membuang

dan mengumpulkan kotoran atau najis manusia, biasanya disebut kakus/wc.

Sehingga kotoran tersebut akan tersimpan dalam suatu tempat tertentu dan tidak

menjadi penyebab atau penyebaran penyakit dan mengotori lingkungan

pemukiman. (Depkes RI, 2003). Pembuangan tinja adalah terkumpulnya kotoran

manusia disuatu tempat untuk menghindari penyakit yang dapat disebabkan oleh

kotoran manusia tersebut, sehingga jamban berguna untuk mencegah

berkembangnya penyakit. (soemarjo, 1999)

Masih banyak keluarga yang belum mempunyai tempat pembuangan feses

sendiri, mereka menggunakan selokan atau sungai sebagai jamban. Cara demikian

adalah tidak sehat dan hal itu akan menimbulkan masalah bagi mereka yang hidup

di hilir sungai. Kotoran kotoran akan tertimbun di suatu tempat yang akibatnya

lebih buruk dari timbunan sampah. Bau busuk yang menusuk hidung juga menjadi

sarang lalat, sehingga wabah penyakit mudah berjangkit. Apalagi bagi mereka

yang menggunakan air sungai tersebut untuk mandi dan untuk minum air.

Pembuangan kotoran manusia merupakan salah satu masalah pokok, sehingga

perlu untuk diatasi sedini mungkin karena kotoran manusia (feses) adalah sumber

penyebaran penyakit. Penyebaran penyakit yang bersumber dari kotoran manusia

dapat melalui berbagai cara seperti melalui air, tangan, serangga dan tanah. Upaya

perbaikan sanitasi lingkungan melalui penggunaan jamban yang memenuhi syarat

kesehatan dapat menurunkan kejadian diare (Azizah 2013).


20

Penyediaaan sarana jamban merupakan bagian dari usaha sanitasi yang

cukup penting peranannya. Ditinjau dari sudut kesehatan lingkungan pembuangan

kotoran yang tidak saniter akan dapat mencemari lingkungan terutama sumber air

bersih. Beberapa penyakit yang dapat disebabkan oleh tinja manusia antara lain;

Thypus, disentri, kolera, dan kecacingan (notoatmodjo, 2003). Untuk mencegah

kontaminasi tinja terhadap lingkungan pembuangan kotoran manusia harus

dikelola dengan baik. Pembuangan kotoran harus sesuai tempat tertentu atau

jamban yang sehat, jamban tersebut harus memenuhi persyaratan – persyaratan

sebagai berikut; Tidak mengotori permukaan tanah disekeliling jamban, tidak

mengotori air permukaan disekitrnya, tidak mengotori air tanah disekitarnya, tidak

dapat terjangkau oleh serangga terutama lalat dan kecoa dan binatanng lainnya,

tidak menimbulkan bau, mudah digunakan dan dipelihara, desainnya sederhana

(Depkes RI, 2004).

Penggunaan septik tank, yaitu dengan cara membuat lubang besar

berbentuk persegi panjang. Dasar dinding di beton supaya tidak mudah di resapi

air dan lubang tersebut di bangun menjadi tiga bagian. Bagian atas di tutup rapat

untuk mencegah bau dan lalat, sementara kotoran mengalir perlahan lahan melalui

ketiga lubang itu. Bakteri pembusuk yang berada dalam tank akan mengadakan

perubahan kimiawi pada kotoran manusia dan ahirnya dapat menghilangkan

bahaya infeksi. Air yang keluar dari septi tank seharusnya jernih dan tidak berbau,

tetapi masih mungkin masih ada kuman kuman yang tertinggal. Septik tank dan

dinding resapan harus jauh dari sumber air (Abdullah, 2010)


21

Kakus yang baik adalah kakus yang mempunyai saluran yang berbentuk

huruf S. Pada lekukannya selalu ada air bersih yang memisahkan kotoran dalam

tangki dengan udara luar. Hal ini penting agar lalat atau lipas tidak hinggap di

sana, bertelu serta bau dari kotoran tidak menyebar kemana mana. Membuat

kakus di luar rumah yaitu dengan membuat lubang sedalam 2,5 meter sampai 8

meter dengan diameter 80-120 cm. Dinding dibuat dari bata agar tidak mudah

ambruk dan jarak anatara sumber air sumur dengan kakus tidak boleh kurang dari

10 meter (Notoatmodjo, 2003)

Oleh sebab itu, Alangkah baiknya apabila setiap keluarga mempunyai

kakus sendiri. Untuk meningkatkan kehidupan yang sehat tersebut masyarakat

harus melakukan higiene dan sanitasi lingkungan. Ada beberapa macam yang

tergolong dalam jenis pembuangan tinja: Kakus sederhana (simple letrine atau pit

privacy) adalah Jenis ini sering di sebut dengan kakus cemplung. Kontruksinya

terdiri atas lubang galian semacam sumuran tetapi dindingnya tidak perlu kedap

air. Dinding bisa terbuat dari anyaman bambu, pasangan batu merah atau bahan

lain untuk memperkuat. Beberapa keuntungan dari jenis ini adalah murah dalam

dalam pembuatannya, dan mudah pemeliharaannya, sehingga di daerah perdesaan

setiap keluarga mampu membuatnya sendiri. Bila sudah penuh lubang galian

cukup di timbun dan di biarkan 3 bulan untuk mengubah kotoran kakus menjadi

humus. Sekalian demikian pemanfaatan pupuk ini harus hati-hati karena

kemungkinan masih terdapat telur cacing geleng. Kakus kolong (vacult privacy)

Yaitu tempat pembungan tinja yang terdiri atas bak berdinding lapis semen kedap

air. Ditanam di dalam tanah (kolong) tetapi tidak berfungsi sebagai bak pembusuk
22

(septic tank), melainkan hanya untuk melindungi bahaya kontaminasi terhadap

tanah di sekitarnya. Kakus pengurai (septic privacy) yaitu dengan Metode

pembuangan tinja ini menggunakan bak pengurai (septic tank) yang kedap air,

hanya saja tidak menggunakan air pengelontor tetapi dalam pengoperasiannya

perlu penambah air untuk mengisi agar dalam bak tersebut tidak kekurangan air

yang dimanfaatkan sebagai media pengurai. Keuntungannya adalah tidak

memerlukan air yang banyak, dapat di bangun di rumah dengan lahan yang

sempit, dan tidak perlu jauh dari sumur (bila tidak menggunakan pipa resapan)

(Entjang, 2000).

Kakus kimia (chemicl toilet) yaitu Jenis ini mahal dalam pengoperasiannya,

kapitasnya terbatas, dan perlu perhatian khusus terutama bila sudah penuh karena

biasanya yang menjadi masalah adalah cara pengosongannya. Dalam

pengoperasiannya menggunakan coustic soda untuk membunuh bakteri dan

menghancurkan padatan fekal, sehingga memiliki keuntungan seperti terhindarnya

pencemaran tanah atau air tanah dan tidak berbau. Kakus parit (trench latrine)

merupakan jenis yang sudah jarang di jumpai, di samping tidak di anjurkan lagi.

Biasanya di pakai di daerah pertaniaan, yaitu dengan menggali parit panjang, pada

parit tersebut kemudiaan di gunakan untuk membuang kotoran dan setelah selesai

berhajat, kotoran di timbun dengan tanah yang diperoleh dari sekitar parit.

Sepanjang tanah tersebut kering maka tidak akan terjadi pencemaran terhadap

tanah atau air tanah oleh bakteri. Humus yang terbentuk sekaligus untuk pupuk

pada tanah tersebut. Khususnya pembuangan kotoran ke badan air/sungai

sebaiknya tidak dilakukan karena untuk perlindungan badan air yang mungkin
23

airnya digunakan untuk berbagai macam keperluan rumah tangga pada bagian

hilirnya. Untuk menghindari bau, melindungi tinja dari jangkauan serangga dan

peletakan bagian untuk berhajat sesuai dengan keinginan pemakaiannya,

pembuangan tinja tanpa air bisa dilengkapi atau kombinasi dengan menambah

leher angsa apabila cukup tersedia air penggelontor. Penyakit yang ditularkan oleh

pencemaran tinja yang mengkontaminasi tanah seperti penyakit Typhus

abdominalis, para typhus, dysentery, dan penyakit cacingan. Infeksi disebabkan

karana adanya penyebab yang mengkontaminasi tanah bersama tinja. Penyakit

cacing tambang dapat menular setelah larva kontak dengan kulit manusia,

biasanya kaki telanjang. Typhoid, para ryphoid dan dysentery adalah contoh

penyakit yang ditularkan melalui sayuran yang dipupuk dengan kotoran manusia

atau disiram dengan air yang terkontaminasi tinja. Selama masyarakat mengambil

air dari sumur dan membuang kotoran di sekitarnya, maka pemamfaatan air dapat

dipertimbangkan (Chayatin, 2009).

Akses untuk fasilitas tempat buang air besar (sanitasi) digunakan kriteria

JMP WHO. Menurut kriteria tersebut, rumah tangga yang meiliki akses terhadap

fasilitas saniatsi improved adalah rumah tangga yang menggunakan fasilitas BAB

milik sendiri, jenis tempat BAB jenis leher angga atau plengsengan, dan tempat

pembungan ahir tinja jenis tangki septik. Berdasarkan karateristik, proporsi rumah

tangga yang menggunakan fasilitas BAB milik sendiri diperkotaan lebih tinggi

(84,9%) dibandingkan dipedesaan (67,3%) .

Menurut Dedi (2013) pemeliharaan jamban yang baik dengan cara yaitu:

lantai jamban hendaknya selalu kering dan bersih, Tidak ada sampah berserakan
24

dan tersedia alat pembersih, tidak ada genangan air dilantai, jika ada bagian

jamban yang rusak segera diperbaiki, hindari pemasuka sampah padat yang sulit

diuraikan (kain bekas, pembalut, logam, gelas) serta bahan kimia beracun bagi

bakteri kedalam lubang jamban (Dedi, 2013).

Upaya pemanfaatan jamban yang dilakukan oleh keluarga akan berdampak

besar pada penurunan penyakit, karena setiap anggota keluarga sudah buang air

besar dijamban, maka perlu diperhatikan oleh kepala keluarga dan setiap anggota

keluarga: jamban keluarga layak digunakan oleh setiap anggota keluarga,

membiasakan diri untuk menyiram menggunakan air bersih setelah menggunakan

jamban, membersihkan jamban dengan alat pembersih minimal 2-3 kali seminggu

(Tarigan, 2008).

Pemanfaatan jamban disertai partisipasi keluarga akan lebih baik, jika

didukung oleh faktor yang berasal dari dalam diri individu tersebut (faktor

internal) antara lain pendidikan, pengetahuan, sikap, tindakan, kebiasaan, umur.

Kemudian faktor dari luar individual (faktor ekternal) seperti kondisi jamban,

sarana air bersih, pengaruh lingkungan (Depkes, 2005).

Sanitasi serta pemanfaatan jamban yang buruk sangat erat kaitan dengan

penyakit yang disebabkan oleh kotoran tinja akibat dari perilaku seseorang yang

tidak memanfaatkan jamban. Penyakit Cholera, hepatitis a, polio adalah suatu

dari antara penyakit menular yang dapat menyebar apabila mikroba penyebab

dapat masuk kedalam sumber air yang digunakan setiap keluarga dalam

memenuhi kebutuhan sehari hari. Tinja yang tidak tertampung dapat

mengakibatkan penyakit menular (Notoatmodjo, 2010).


25

2.1.4. Infeksi

Penyakit infeksi saluran pencernaan dapat disebabkan oleh virus, bakteri,

dan protoa. Infeksi yang disebabkan oleh bakteri dikenal sebagai disentri basiler

yang disebabkan oleh bakteri shigella, sedangkan infeksi yang disebabkan oleh

protozoa dikenal sebagai disentri amuba. Adapun yang dimaksud dengan penyakit

infeksi saluran pencernaan yang dapat menyebabkan diare adalah buang air besar

dengan tinja yang berbentuk cair dan lunak dengan frekuensi lebih dari 3 kali

dalam 24 jam (Anorital, 2011). Penyakit infeksi yang sering diderita oleh anak

balita umumnya adalah diare, thypus, kecacingan terjadi pada anak balita karena

sistem pertahanan tubuh anak rendah (WHO, 2015).

Penyakit infeksi berkaitan dengan tingginya kejadian penyakit menular

terutama diare cacingan dan thypus. Faktor ini banyak terkait mutu pelayanan

kesehatan dasar khususnya imunisasi, kualitas lingkungan hidup dan perilaku

hidup sehat. Kualitas lingkungan hidup terutama adalah ketersediaan air bersih,

sarana sanitasi dan perilaku hidup sehat seperti kebiasaan cuci tangan pakai sabun,

buang air besar dijamban, tidak merokok, sirkulasi udara dalam rumah.

Diare adalah salah satu penyakit paling umum akibat bakteri dan parasit

yang berada di air tercemar. Diare menyebabkan feses encer atau cair yang

menyebabkan penderita mengalami dehidrasi, bahkan kematian pada anak dan

balita. Sejumlah 842 ribu penduduk diperkirakan meninggal setiap tahunnya

karena diare akibat konsumsi air minum yang tidak aman (WHO, 2016).
26

Menurut WHO, diare adalah suatu keadaan buang air besar dengan

konsistensi lembek hingga cair dan frekuensi lebih dari tiga kali sehari. Diare akut

berlangsung selama 3-7 hari. Sedangkan diare persisten terjadi selama ->14 hari.

Secara klinis penyebab diare terbagi menjadi enam kelompok infeksi yaitu

infeksi, malabsorbsi, alergi, keracunan makanan, imunodefisiensi dan penyebab

lain seperti gangguan fungsional dan malnutrisi. Penelitian lain juga menyatakan

anak yang menderita diare dalam 2 bulan terakhir memiliki resiko menjadi

stunting dibandingkan dengan anak yang tidak pernah dalam 2 bulan terakhir

(WHO, 2017).

Diare juga dapat menimbulkan terjadinya gizi kurang begitu juga

sebaliknya. Infeksi mempengaruhi status gizi melalui penurunan asupan makanan,

penurunan absorbsi makanan diusus, meningkatkan katabolisme, dan sintesis

jaringan dan pertubuhan. Disamping itu, gizi kurang bisa menjadi faktor

predisposisi terjadinya infeksi karena menurunkan pertahanan tubuh dan

mengganggu fungsi kekebalan tubuh manusia (Depkes, 2011). Salah satu

penyebab stunting adalah penyakit diare. Penyakit infeksi yang disertai diare dan

muntah dapat menyebabkan anak kehilangan cairan dan sejumlah zat gizi.

Seorang anak yang mengalami diare akan terjadi malabsorbsi zat gizi dan

hilangnya zat gizi bila tidak segera ditindak lanjuti dan diimbangi dengan asupan

yang sesuai maka terjadi gagal tumbuh (Suresh, 2016)


27

Infeksi kecacingan menurut WHO (2011) adalah sebagai infestasi satu

atau lebih cacing parasit usus yang terdiri golongan nematoda usu. Kecacingan ini

umumnya ditemukan di daerah tropis dan subtropis dan beriklim basah dimana

hygiene dan sanitasi buruk. Penyakit ini merupakan penyakit infeksi paling umum

menyerang kelompok masyarakat ekonomi lemah dan ditemukan berbagai

golongan usia (WHO, 2011). Faktor resiko yang berhubungan dengan infeksi

kecacingan antara lain umur, jenis kelamin, imunitas, pembungan tinja, serta

faktor lingkungan, faktor sosial ekonomi meliputi pekerjaan pendidikan, dan

penghasilan (WHO, 2011).

Kecacingan jarang sekali menyebabkan kematian secara langsung, namun

sangat mempengaruhi kualitas hidup penderitanya. Kecacingan dapat

mengakibatkan menurunnya kondisi kesehatan, gizi, kecerdasan, dan

produktivitas penderita sehingga secara ekonomi dapat menyebabkan kerugian

yang pada ahirnya dapat menurunkan kualitas sumber daya manusia. Infeksi

cacing pada manusia dapat dipengaruhi oleh perilaku, lingkungan tepat tinggal

dan manipulasi terhadap lingkungan ( Wintoko, 2014). Infeksi cacing gelang yang

berat akan menyebabkan malnutri dan gangguan pertumbuhan dan perkebangan

pada anak anak (Satari, 2010).

Pada infeksi Trichuris trichiura berat sering dijumpai diare darah,

turunnya berat badan dan anemia. Diare pada umumnya berat sedangkan eritrosit

di bawah 2,5 juta dan hemoglobin 30% dibawah normal. Infeksi cacing tambang

umumnya berlangsung secara menahun, cacing tambang ini sudah dikenal sebagai

penghisaf darah. Seekor cacing tambang mampu menghisaf darah 0,2 ml per hari.
28

Apabila terjadi infeksi berat, maka penderita akan kehilangan darah secara

perlahan dan dapat menyebabkan anemia berat (Margono, 2008).

Disentri basiler merupakan penyakit infeksi usus yang diakibatka oleh

beberapa jenis gra negatif dan genus shigella. Masa inkubasi bakteri shigella

dysentriase ini 1-7 hari. Gejala adalah demam sampai 39-40 derajat celcius, nyeri

perut, tenesmus serta diare beserta lendir dan ,demam, muntah, sakit perut (Tjay,

2013). Faktor faktr yang berhubungan denganresiko epidemic shygella seperti

malnutrisi, dan peningkatan penduduk (Sukandar, 2013).

Thypus adalah penyakit infeksi bakteri pada usus halus dan terkadang

pada aliran darah yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhosa atau

salmonella paratyphi A,B,C. Selain ini dapat juga menyebabkan gastroenteritis

(radang lambung). Dalam masyarakat penyakit ini dikenal dengan nama Tipes

atau Thypus, tetapi dalam dunia kedokteran tersebut Thypiod fever atau Thypus

abdominalis karena berhubungan dengan usus didalam pereut (Widoyono, 2002).

Typhoid disebabkan jenis bakteri bacillus thypus yang masuk melalui

mulut dan menjangkit pada struktur lympha pada bagian bawah usus halus,

kemudian masuk kealiran darah dan terbawa keorgan – organ intenal sehingga

gejala muncul pada seluruh tubuh. Penularan dapat terjadi karena infeksi yang

disebabkan oleh bakteri yang ada didalam tinja penderita melalui air minum,

makanan, atau kontak langsung (Sudoyo, 2009).


29

2.2 Resiko Stunting

2.2.1 Defenisi Stunting

Stunting merupakan suatu kondisi kekurangan gizi yang terjadi pada saat

periode kristis dari proses tumbuh dan kembang mulai janin. Untuk indonesia,

saat ini diperkirakan ada 37,2% dari anak usia 0-59 bulan atau sekitar 9 juta anak

dengan kondisi stunting. Yang berlanjut sampai usia sekolah 6-18 tahun (Depkes,

2012)

Stunting didefenisikan sebagai kondisi anak usia 0-59 bulan, dimana tinggi

badan menurut umur berada dibawah minus 2 Standar Deviasi (<-2 SD) dari

standar median (WHO, 2005). Lebih lanjut dikatakan bahwa stunting akan

berdampak dan dikaitkan dengan proses kembang otak yang terganggu, dimana

dalam jangka pendek berpengaruh pada kemampuan kognitif. Jangka panjang

mengurangi kapasitas untuk berpendidikan lebih baik dan hilangnya kesempatan

untuk peluang kerja dengan pendapatan lebih baik (Bappenas, 2013)

Stunting merupakan reflek jangka panjang dari kualitas dan kuantitas

makanan yang tidak memadai dan sering menderita infeksi selama masa kanak

kanak. Anak anak yang stunting merupakan hasil dari masalah gizi kronis sebagai

akibat dari makanan yang tidak sering berkualitas, ditambah dengan morbiditas,

penyakit infeksi, dan masalah lingkungan (Depkes, 2012). Stunting masalah

kesehatan masyarakat utama hampir di semua provinsi di indonesia, dan

peringatan telah diberikan presiden RI, tantangan untuk mengurangi stunting di

Indonesia (USAID, 2010).


30

2.2.2 Dampak Stunting

Masalah kurang gizi termasuk stunting dapat menyebabkan kerusakan

permanen. Hal ini terjadi bila seorang anak kehilangan berbagai zat gizi yang

penting untuk tumbuh kembangnya, kekebalan tubuhnya, dan perkembangan otak

optimumnya. Anak yang mengalami gizi kurang akan menjadi kurang berprestasi

di sekolah dan kurang produktif pada saat dewasa (Depkes, 2012).

Stunting terjadi akibat kekurangan gizi berulang dalam waktu lama pada

masa janin hingga 2 tahun pertama kehidupan seseorang anak. Tingginya BBLR

akibat tingginya KEK pada ibu hamil. BBLR dapat meningkatkan angka

kematian bayi dan balita, gangguan pertumbuhan fisik dan mental anak, serta

penurunan kecerdasan. Anak yang stunting mempunyai resiko kehilangan IQ 10-

15 poin (Bappenas, 2013). Ancaman rendahnya produktivitas dan kualitas sumber

daya manusia kedepan akibat stunting merupakan hal yang tidak bisa di

remehkan. Namun yang di sayangkan, masyarakat belum menyadari masalah ini

karena anak yang pendek atau stunting terlihat sebagai anak dengan aktivitas yang

normal, tidak seperti anak yang kekurangan gizi (Depkes, 2013).

Dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh masalah gizi periode tersebut,

dalam jangka pendek adalah terganggunya perkembangaan otak, kecerdasan,

gangguan pertumbuhan fisik, dan gangguan metabolisme dalam tubuh.sedangkan

akibat dari jangka panjang akibat buruk yang dapat ditimbulkan adalah

menurunnya kemampuan kognitif dan pretasi belajar, menurunnya kekbalan tubuh

sehingga mudah sakit, resiko tinggi untuk munculnya penyakit diabetes,


31

kegemukan, penyakit jantung dan pembuluh darah, kanker, stroke dan disabilitas

pada usia, serta kualitas kerja yang tidak kopempetitif yang berakibat pada

rendahnya produktivitas ekonomi, (KEMENKES RI, 2016). Menurut Achadi

(2014) bahwa anak yang menderita gizi kurang akan tumbuh cenderung menjadi

dewasa pendek, dan cenderung melahirkan bayi yang kecil yang mempunyai

risiko berprestasi pendidikan yang rendah, dan pada akhirnya mempunyi status

ekonomi yang rendah. Dan kemampuan membaca anak yang pendek lebih rendah

didandingkan anak normal, dan pada saat mereka dewasa produktivitas anak yang

pendek lebih rendah dibandingkan anak yang normal (Ekayanti, 2011).

Mekanisme anak Stunting juga bisa di lihat mulai dari pra-konsepsi ketika

seorang remaja menjadi ibu yang kurang gizi dan anemia. Menjadi parah ketika

hamil dengan asupan gizi yang tidak mencukupi kebutuhan, ditambah lagi ketika

ibu hidup di lingkungan dengan sanitasi yang tidak memadai. Remaja putri

diIndonesia usia 15-19 tahun, kondisinya beresiko kurang energi kronik (KEK)

sebesar 46,6% tahun 2013. Ketika hamil, ada 24,2% wanita usia subuur (WUS) 15

-49 tahun dengan resiko KEK, dan anemia sebesar 37,1%. Ibu hamil yang pada

umumnya juga pendek (<150cm) yang proporsinya 31,3%, berdampak pada bayi

yang dilahirkan mengalami kekurangan gizi, dengan berat badan lahir rendah

<2.500 gram dan juga panjang badan <48 cm.


32

2.2.3 Penilaian Stunting secara Antropometri

Salah satu indikator penilaian stunting, Pendek atau Stunting dengan

indikator TB/PB/U digunakan sebagai indikator gizi salah satu kronik yang

menggambarkan riwayat kurang gizi anak dalam jangka waktu lama. Berdasarkan

keputusan Menteri Kesehatan Nomor : 995/MENKES/SK/XII/2010 tanggal 30

desember 2010 tentang standar anropometri penilaian status gizi anak, pengertian

pendek dan sangat pendek adalah status gizi yang didasarkan pada indeks panjang

badan menurut umur (PB/U) atau Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) yang

merupakan istilah stunting (pendek). Batasan lain tentang stunting keadaan

panjang tubuh yang sangat pendek hingga melampaui defisit referensi

internasional (Gibney, 2008).

Berat dan panjang badan lahir salah satunya indikator status gizi bayi lahir

adalah panjang badan waktu lahir disamping berat badan waktu lahir. Panjang

bayi lahir dianggap normal antara 48 – 52 cm. Jadi panjang lahir <48 cm

tergolong bayi pendek. Namun bila ketika ingin mengaitkan panjang badan lahir

dengan resiko mendapatkan penyakit tidak menular waktu ndewasa nanti, WHO

menganjurkan nilai batas < 50 c. Berat dan panjang badan lahir dicatat atai di

salin dalam berdasarkan dokumen.

Dengan nilai rumus zscore:

Nilai individu subjek – Nilai median buku rujukan


Nilai simpang baku rujukan
33

Klasifikasi status gizi berdasarkan indikator TB/U:

Sangat pendek : Zscore <-3

Pnedek :Zscore -3 s/d <-2 SD

Normal :Zscore -2 s/d 2 SD

Dalam penilaian status gizi anak balita metode antropometri juga

dibedakan berdasarkan sifat penyebab, yakni penyebab yang bersipat kronik dan

penyebab yang bersifat akut. Kronik artinya bahwa status gizi terjadi dalam kurun

waktu yang panjang. Tinggi badan anak yang lebih pendek dari teman sebaya

atau seumurnya menunjukkan telah terjadi perlambatan pertumbuhan yang dalam

waktu lama atau bersifat kronik yang mengakibatkan anak pendek atau stunting

(Wiyono, 2016).

Stunting dapat diketahui bila seorang balita sudah ditimbang berat

badannya dan diukur panjang atau tinggi badannya, lalu dibandingkan dengan

standar, dan hasilnya berada dibawah normal. Jadi secara fisik balita akan lebih

pendek dibandingkan balita seumurnya. Penghitungan ini menggunakan Z score

dari WHO. Normal , pendek dan sangat pendek adalah status gizi yang didasarkan

pada indeks panjang badan menurut umur (PB/U) atau tinggi badan menurut umur

(TB/U) yang merupakan istilah Stunting (Pendek) (Putro, 2017).

Adapun ciri-ciri fisik anak yang mengalami kekurangan gizi: gizi

kurang, kelainan fisik tidak jelas anak hanya tampak kurus, gizi buruk, cengeng,
34

pucat, tidak terlihat adanya lapisan lemak, kwasiorkor, wajah apatis, muka bulat,

pucat, rambut terlihat seperti rambut jagung. Ciri ciri stunting pada anak dapat

dilihat dari perkembangannya, pada usia 8-10 tahun anak menjadi lebih pendiam,

tidak banyak melakukan kontak mata. Fermonya menjadi buruk pada tes perhatian

dan memori belajar. Anak stunting akan mengalami pertumbuhan terlambat, tanda

pubertas terlambat, pertumbuhan gigi terlambat, pertumbuhan tulang tertunta dan

wajah tampak lebih mudah dari usianya (putro, 2017). Anak yang stunting akan

memiliki proporsi tubuh yang cenderung tampak normal namun anak lebih kecil

dari usianya, dan berat bedan anak lebih rendah untuk anak seusianya (Ulty,

2018).

Asupan gizi yang merupakan salah satu penyebab langsung gizi buruk

pada balita, sehingga asupan yang kurang dapat berdampak terhadap pertumbuhan

balita. Asupan Zat gizi yang tidak adekuat dan berlangsung terus menerus dapat

menyebabkan defisiensi zat gizi makro maupun zat gizi mikro. Faktor Fisik

berhubungan dengan genetik dan faktor lingkungan. Mengingat banyaknya

intensitas penggunaan peptisida, maka Faktor penyebab lain yang sangat mungkin

bahan kimia dari lingkungan. Pengaruh peptisida meningkatkan insiden bayi baru

lahir dengan berat badan rendah, prematur serta keterlambatan pertumbuhan di

dalam kandungan. Faktor lingkungan juga mempengaruhi proses tumbuh

kembang balita seperti tidak tersedianya air bersih, pemanfaatan air bersih,infeksi

pencernaan. Perilaku hidup bersih sehat sangat penting untuk diri dan keluarga

khususnya untuk anak dalam upaya untuk menurunkan dan mencegah penyakit

infeksi yang sering di derita anak (Kusumawati, 2015). Tidak tersedianya air
35

bersih yang aman untuk dikonsumsi mengakibatkan kematian anak akibat diare

di seluruh dunia. Bagi anak- anak yang bertahan hidup, sering menderita diare

berkontribusi terhadap masalah gizi, sehingga menghalangi anak anak untuk dapat

mencapai potensi maksimal mereka. Kondisi ini selanjutnya menimbulkan

implikasi serius terhadap kualitas sumber daya manusia dan kemampuan

produktif suatu bangsa di masa yang mendatang. Angka diare pada anak anak dari

rumah tangga yang meenggunakan sumur terbuka untuk air minum lebih tinggi di

bandingkan dengan anak anak yag minum menggunakan air leding (Daryanto,

2015).

Faktor yang lain yang menyebabkan stunting adalah terjadi infeksi pada

ibu, kehamilan remaja, gangguan mental pada ibu, jarak kelahiran anak yang

pendek, dan hipertensi. Selain itu rendahnya akses terhadap pelayanan kesehatan

teramasuk akses sanitasi dan air bersih menjadi salah satu faktor yang

mempengaruhi pertumbuhan anak. Selain itu angka diare juga lebih tinggi pada

anak anak dari keluarga yang melakukan buang air besar di sungai atau selokan

dibandingkan mereka dengan rumah tangga yang mempunyai fasilitas jamban

pribadi dan septik tank. Faktor Lingkungan lainnya yang mempengaruhi stunting

yaitu intensitas penggunaan peptisida, maka Faktor penyebab lain yang sangat

mungkin bahan kimia dari lingkungan. Pengaruh peptisida meningkatkan insiden

bayi baru lahir dengan berat badan rendah, prematur serta keterlambatan

pertumbuhan di dalam kandungan (Istiarti, 2016).


36

BAB 3

KERANGKA KONSEP

3.1 Kerangka Penelitian

Kerangka penelitian merupakan konseptual mengenai bagaimana

bagaimana satu teori berhubungan diantara berbagai faktor yang telah diidentifiksi

penting terhadap masalah penelitian (Noor, 2011). kesehatan lingkungan adalah

suatu keseimbangan ekologi yang harus ada diantara manusia dan lingkungan agar

dapat menjamin keadaan sehat dari manusia (WHO, 1970). Kesehatan lingkungan

berhubungan sanitasi air bersih dengan stunting pada balita (Cahyono, 2016).

3.2. Kerangka Konsep

Resiko Stunting
Faktor kesehatan
lingkungan
Nilai Z-score
 Pemanfaatan air bersih
 Kepeilikan jamban Sangat pendek: <-3 SD
 Infeksi
Pendek : -3,0 s/d <-2 SD

Normal : Zscore -2 s/d 2 SD


37

3.3 Defenisi operasional Variabel penelitian


Tabel 3.3. Defenisi operasional variabel penelitian

Variabel Defenisi operasional Alat ukur Hasil ukur Skala

Kesehatan kesehatan yang Kuesioner Baik Kategori


lingkungan menyangkut kondisi dengan 20 (11-20)
di sekitar manusia pernyataan
yang dapat skala Buruk
mempengaruhi penilaian (1-10)
kesehatan manusia Ya (1) dan
meliputi: tidak (0)
pemanfaatan air
bersih, kepemilikan
jamban, Infeksi
Resiko Bentuk kekurangan Antropometri Sangat Kategori
pendek:
Stunting gizi yang ditandai
<-3 SD
dengan tinggi badan Pendek:
-3s/d<-2SD
tidak sesuai umur.
Normal:
-2 s/d 2 SD

3.3 Hipotesa penelitian

Hipotesa dalam penelitian ini adalah ada pengaruh antara kesehatan


lingkungan terhadap resiko Stunting pada balita di Kecamatan Secanggang
Kabupaten Langkat
38

BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Desain penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan desain penelitian

deskripsi korelasi. Penelitian ini dilakukan bertujuan mengidentifikasi pengaruh

kesehatan lingkungan terhadap Resiko Stunting pada Anak di Kabupaten Langkat,

kec secanggang, desa kota lama.

4.2 Populasi, sampel penelitian dan Teknik Sampling Penelitian

4.2.1. Populasi penelitian

Populasi adalah seluruh elemen atau anggota dari suatu wilayah yang

menjadi sasaran penelitian atau merupakan keseluruhan objek penelitian (Noor,

2011). Populasi dalam penelitian ini adalah ibu yang memiliki balita yang

beresiko terjadinya stunting yang didapatkan dari puskesmas secanggang,

Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat sebanyak 100 orang (Setiadi, 207;

Arikunto, 2013).

4.2.2. Sampel penelitian

Sampel adalah sebagian atau keseluruhan subjek yang diteliti dan

merupakan keterkaitan dari sejumlah populasi. Dalam penelitian ini jumlah

sampel ditetapkan berdasarkan rumusan Slovin (Setiabudi, 2007). Dengan rincian

sebagai berikut ini.


39

Rumus Slovin :

N
𝑛=
1 + N(d)2

Keterangan :

n = Jumlah sampel

N = Jumlah populasi

D = Tinggkat kepercayaan/ketepatan

Jadi sampel pada penelitian ini adalah :

Diketahui =

N = 100

e= 0,1

100
𝑛=
1 + 100x(0,1)2

n = 50 orang responden

Jadi sampel pada penelitian ini adalah 50 orang Anak

4.2.3. Teknik Sampling

Teknik Sampling pada penelitian ini adalah purposive sampling, yaitu

suatu metode pemilihan sampel yang dilakukan berdasarkan maksud dan tujuan

tertentu yang ditentukan oleh peneliti, yaitu pemilihan sampel dilakukan

berdasarkan kriteria yaitu Ibu dengan anak usia balita, dan bersedia untuk

berpartisipasi menjadi responden


40

4.3. Lokasi dan waktu penelitian

4.3.1 Lokasi penelitian

Tempat yang menjadi lokasi penelitian ini adalah puskesmas Secanggang,

desa kota lama, Kabupaten Langkat. Selain itu belum pernah dialakukan

penelitian tentang pengaruh Kesehatan Lingkungan Terhadap Resiko Stunting

pada Anak

4.3.2. Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Mei 2019.

4.4. Pertimbangan etik

Penelitian ini dilakukan setelah penelitian mendapatkan persetujuan dari

komisi etik Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara untuk melakukan

penelitian. Setelah mendapat persetujuan, peneliti melaksanakan penelitian

dengan melakukan pertimbangan etik. Peneliti juga mendapat persetujuan dari

pihak Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara dan Kemudian peneliti

mengajukan permohonan izin etik kepada pemimpin puskesmas secanggang.

Setelah mendapat persetujuan dari pihak terkait maka peneliti mulai

mengumpulkan data. Peneliti ini memiliki pertimbangan etik peneliti (Nursalam,

2011). Peneliti mengakui hak hak responden dalam menyatakan kesediaan atau

ketersediaan untuk dijadikan subjek penelitian dan memiliki hak untuk membuat

keputusan sendiri (Otonomy). Jika calon responden bersedia, maka diberikan

lembar persetujuan (informed Consent). Tujuan untuk memberikan kebebasan


41

kepada responden penelitian untuk menentukan sendiri keikutsertaannya dalam

penelitian. Kuesioner yang digunakan oleh peneliti diberikan kepada responden

yang diteliti dan ditanda tangani secara sukarela/tanpa paksaan dan diisi. Peneliti

menjelaskan tujuan dan manfaat penelitian.

Peneliti melindungi reponden dari kerugian (nonmalefience) baik dalam hal

materi, nama baik, dan resiko bahaya yang timbul akibat penelitian seperti

psikologis dan sosiologi. Peneliti juga menjamin kerahasiaan (confidentiality)

identitas responden dengan tidak mencamtumkan nama, hanya kode tertentu

pada lembar kuesioner, serta tidak mencapuri hal hal yang bersifat pribadi dari

responden. Penelitian ini memberikan manfaat (Binefience) kepada calon

responden dengan mengisi kuesioner maka akan mengetahui apakah ada

pengaruh kesehatan lingkungan terhadap resiko stunting pada anak. Dala

melakukan penelitian, peneliti juga bersikap adil (justice) kepada setiap calon

responden.

4.5. Instrumen penelitian

Instrumen Penelitian ini merupakan alat yang digunakan untuk

pengumpulan data berupa kuesioner. Instrumen dari penelitian ini disusun dan

kueisoner dimodifikasi oleh peneliti berdasarkan tinjauan pustaka (Dharma,

2015). Kuesioner ini adalah informasi dari responden, peneliti menggunakan

alat pengumpulan data berupa kusesioner yang terdiri dari beberapa pernyataan

dari responden. Kuesioner yang digunakan peneliti terbagi menjadi tiga bagian,

yaitu : bagian pertama Data Demografi Responden (DDR), Meliputi Inisial,

Usia, Agama, Suku bangsa, Status perkawinan, pendidikan. Bagian kedua


42

adalah Data Demografi Anak meliputi Inisial, Usia, Jenis kelamin, berat badan,

tinggi badan. Bagian ketiga adalah kuesioner pernyataan tentang kesehatan

lingkungan. Pada Kuesioner Kesehatan Lingkungan tentang pemanfaatan air

bersih terdiri dari 7 pertanyaan (1-7), untuk pertanyaan tentang kepemilikan

jamban terdiri dari 7 pertanyaan (8-14), pertanyaan tentang Infeksi pencernaan

terdiri dari 6 pertanyaan (15-20). Dengan pilihan jawaban ya / tidak. jawaban

benar di beri nilai 1 dan jawaban salah di beri nilai 0. Nilai tertinggi yang di

peroleh adalah 20 dan terendah adalah 1. Berdasarkan Rumus Statistika

menurut Sugiono (2012). Disampaikan rumusan sebagai berikut ini.

rentang kelas
𝑝=
banyak kelas

Dimana p merupakan panjang kelas dengan rentang sebesar 20 (Selisih

nilai tertinggi dan nilai terendah) dan banyak kelas ada 2 (baik, buruk). Maka

didapatkan panjang kelas sebesar 10. Menggunakan p =10 nilai terendah adalah

0 sebagai batas bawah kelas interval sebagai berikut :

1 – 10 = kesehatan lingkungan buruk

11- 20 = Kesehatan lingkungan baik

Pada bagian ketiga adalah Kuesioner tentang resiko stunting pada anak

meliputi : Kode, Inisial, Tinggi Badan, Berat Badan, dan nilai z score.
43

4.6 Uji Validitas dan reliabilitas instrumen

4.6.1. Uji Validitas

Validitas Merupakan indeks yang menunjukkan alat ukur itu benar benar

mengukur apa yang di ukur (Notoadmodjo, 2012). Suatu instrumen yang kurang

valid berarti memiliki validitas yang rendah. Uji validitas instrumen dilakukan

dengan mengajukan proposal penelitian dan kuesioner kepada penguji validitas,

salah seorang dosen dari Departemen Keperawatan Jiwa dan Komunitas

Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara

4.6.2. Uji Reliabilitas

Sebelum dilakukan pengumpulan data, terlebih dahulu peneliti akan

menggunakan uji reliabilitas pada instrumen penelitian. Reliabilitas adalah

konsistensi ketepatan pengukuran yang dilakukan pada target yang dihubungkan,

reliabitas juga mengenai keakuratan pada pengukuran (Polit &Beck, 2012).

Peneliti menggunkan analisis dikotomi saji (KR 20). Untuk mengukur indikator

indikator yang digunakan dalam kuesioner penelian. Untuk dikotomi saji hanya

menggunakan dua macam pilihan. Rentang nilainya berada diantara 0 sampai 1.

semakin mendekati satu maka semakin reliabel. Reliabilitas menggunakan

bantuan komputer untuk mengukur reliabilitas instrumen Kesehatan lingkungan.

Untuk instrumen yang baru akan reliabel jika memiliki reliabilitas >0,70 (Polit &

beck, 2012). Hasil uji reliabiltas instrumen kesehatan lingkungan adalah 0,78.

Intrumen kesehatan lingkungan adalah reliabel.


44

4.7 Pengumpulan data

Pada tahap awal peneliti mengajukan perohonan izin kepada komisi Etik

penelitian kesehatan (KEPK) Fakultas Keperawatan USU. Setelah lulus uji etik,

peneliti mengajukan permohonan ijin pelaksanaan penelitian pada institusi

pendidikan (Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Sumatera Utara),

kemudian permohonan ijin yang telah di peroleh di kirimkan ke tempat penelitian

(desa secanggang di kabupaten langkat). Setelah mendapat ijin, peneliti

melaksanakan pengumpulan data penelitian. Peneliti menetukan responden yang

sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan sebelumnya.

Setelah mendapatkan calon responden, selanjutnya peneliti menjelaskan

pada calon responden tentang tujuan, manfaat dan prosedur pelaksanaan

penelitian. kemudiaan calon responden yang bersedia di minta untuk

menandatangani informed consent dan diberikan kuesioner penelitian. Pada saat

pengisian kuesioner, peneliti mendampingi dan memberi kesempatan responden

bertanya apabila pada saat pengisian kuesioner tidak mengerti maksud dari

pernyataan yang ada. Waktu pengisian kuesioner 30 menit. peneliti kemudian

memeriksa kelengkapan data. Jika ada data yang kurang, dapat langsung di

lengkapi. Selanjutnya data yang terkumpul dianalisa.


45

4.8 Analisa data

Setelah seluruh data terkumpul, maka data yang diperoleh diolah dengan

menggunakan program statistik. Pengolahan dilakukan dengan melewati

beberapa langkah, yaitu Editing, peneliti memeriksa kelengkapan data dan

memastikan bahwa semua pilihan dalam kuesioner telah diisi dengan sesuai

petunjuk; Coding, peneliti memberi kode pada isian kuesioner secara manual

sebelum diolah dengan menggunakan komputer; Scoring dan Entry data,

memberikan penilian terhadap item-item yang perlu diberi penilaian dan

memasukkan data dari hasil isian kuesioner kesehatan lingkungan kedalam

komputer agar dapat di analisis menggunakan program statistik; Tabulating,

peneliti meringkas jawaban dari hasil kuesioner kesehatan lingkungan menjadi

tabel yang memuat jawaban responden. Jawaban responden dikumpul dalam

bentuk kode kode yang dibuat peneliti untuk memudahkan pengelolaan data

selanjutnya. pengolaan data dilakukan dengan cara:

4.8.1 Analisis Univariat

Penelitian dengan metode Analisis Univariat bertujuan untuk

mengetahui gambaran data demografi meliputi, Inisial nama, usia, jenis

kelamin, Agama, Suku bangsa, Pendidikan terakhir, variabel kesehatan

lingkungan dan variabel resiko stunting.


46

4.8.2 Analisis bivariat

Penelitian ini menggunakan dua variabel yang akan dianalisa

menggunakan teknik bivariat. Analissa bivariat merupakan prosedur Statistik

untuk membangdingkan dua kelompok dalam satu variabel atau dua variabel

dalam satu kelompok. Penelitian ini menggunakan analisa bivariat untuk

melihat hubungan antara variabel independen kesehatan lingkungan dan

variabel dependen yaitu stunting. Peneliti akan menganalisis data

menggunakan Chi Square. Untuk membandingkan nilai frekuensi yang

diobservasi (observed/O) pada setiap kategori tabel dengan nilai yang

diharapkan (Expected/E). Dengan syarat jumlah sampel >40.


BAB 5

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini diuraikan hasil penelitian dan pembahasan, berdasarkan hasil

penelitian mengenai pengaruh kesehatan lingkungan terhadap resiko stunting pada

anak di Kabupaten Langkat kec, secanggang, desa kota lama. Penyajian hasil

penelitian ini meliputi karakteristik responden, variabel kesehatan lingkungan,

variabel resiko stunting pada anak dan variabel pengaruh kesehatan lingkungan

terhadap resiko Stunting

5.1 Hasil Penelitian

5.1.1 Karakteristik Demografi Responden

Tabel 5.2 Distribusi frekuensi dan persentasi karakteristik anak berdasarkan data
demografi (n=50).

Karakteristik Anak F %

Usia Anak
1-24 Bulan 24 48
25-35 Bulan 8 16
36-48 Bulan 10 20
49-60 Bulan 8 16

Jenis Kelamin
Laki- laki 23 46
Perempuan 27 54

Nilai zscore
Sangat pendek: <-3 SD
Pendek :-3,0 s/d <-2 SD 24 48
Normal : -2 s/d 2 SD 14 28
12 24

47
48

Pada tabel 5.2 menunjukkan hasil penelitian tentang karakteristik anak

diketahui bahwa mayoritas anak dengan rentang umur 16-30 bulan dengan rata

rata 31 bulan sebanyak 17 orang (34%). Berjenis kelamin perempuan sebanyak 27

orang (54%), dengan nilai Zscore sangat pendek 24 orang (48).

Tabel 5.1 Distribusi frekuensi dan persentasi karakteristik ibu berdasarkan data
demografi (n=50).

Karakteristik Ibu F (%)

Usia Ibu
17-25 tahun 13 26
26-35 tahun 21 42
36-45 tahun 16 32

Agama
Islam 50 100

Suku Bangsa
Batak 1 2
Minang 3 6
Jawa 20 40
Melayu 23 46
Aceh 3 6

Status perkawinan
Menikah 48 94
Janda 2 6

Pendidikan
SD 19 38
SMP 15 30
SLTA 15 30
PT 1 2
49

Pada tabel 5.1 Menunjukkan hasil penelitian tentang karakteristik ibu

diperoleh bahwa sebagian besar responden berada pada rentang umur 26-35 tahun

sebanyak 21 orang (42%), dengan rata- rata umur 32,2. Seluruh responden

beragama beragama Islam (100%). Kemudian bersuku melayu sebayak 23 orang

(46%), dengan status kawin sebanyak 48 orang (96%), dan dengan pendidikan

SD sebanyak 19 orang

5.1.2 Kesehatan Lingkungan di Kabupaten Langkat kecamatan Secanggang

Tabel 5.3 Distribusi frekuensi dan persentase responden Kesehatan Lingkungan di


kabupaten langkat di kec, secanggang, kota lama (n=50)
Kesehatan Lingkungan F (%)

Buruk 26 52
Baik 24 48

Berdasarkan hasil penelitian terhadap kesehatan lingkungan ini,

menggunakan kuesioner untuk mengidentifikasi kesehatan lingkungan, dapat di

lihat pada tabel 5.3 yang menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki

lingkungan yang buruk sebanyak 26 orang (52%), dan yang memiliki lingkungan

yang baik sebanyak 24 orang (48%).


50

5.1.3. Resiko Stunting pada Anak di Kabupaten Langkat Kecamatan Secanggang

Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi dan Persentase responden dengan resiko Stunting
di Kabupaten Langkat, Kabupaten Secanggang, desa kota lama (n=50)

Resiko Stunting F (%)

Sangat pendek: <-3 SD 24 48


Pendek : -3,0 s/d <-2 SD 14 28
Normal : -2 s/d 2 SD 12 24

Hasil Penelitian ini menunjukkan Resiko Stunting yang terjadi pada anak

di kabupaten langkat, kec secanggang, desa kota lama mayoritas sangat pendek

sebayak 24 orang (48%), Anak dengan pertumbuhan pendek sebanyak 14 orang

(28%), dan anak dengan tinggi normal sebanyak 12 orang (24%).

5.2 Hasil Analisa Bivariat

Analisa bivariat yang digunakan adalah uji kai kuadrat, yang dilakukan

untuk mengidentifikasi pengaruh antara variabel independen yaitu kesehatan

lingkungan, dengan variabel dependen yaitu resiko stunting di kab Langkat.

Tabel 5.5 Distribusi pengaruh kesehatan lingkungan terhadap resiko stunting


pada balita di Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat

Kesehatan Resiko Value (p)


lingkungan Stunting
Sangat pendek Pendek Normal
n (%) n (%) n (%)
Buruk 17 (65) 7 (27) 2 (8) 0,009
Baik 7 (29) 7 (29) 10 (42)
51

Berdasarkan tabel 53 dapat dianalisis bahwa ada sebanyak 65% kesehatan

lingkungan yang buruk mengalami resiko stunting pada anak balita. Berdasarkan

hasil uji statistik yang dilakukan dengan uji kai kuadrat dipoleh data yang

signifikasi (p) = 0,009. Oleh karena itu nilai p < 0,05 yang menjelaskan bahwa Ho

ditolak, maka dapat disimpulkan terdapat pengaruh yang signifikasi antara

kesehatan lingkungan yang baik dan buruk terhadap resiko stunting.

5.3 Pembahasan

Pada bab ini akan dibahas tentang Kesehatan lingkungan terhadap resiko

stunting pada anak di Kabupaten Langkat. Penelitian ini dilakukan selama

seminggu dengan membagikan kuesioner kepada ibu dengan mengunjungi rumah

– rumah warga.

5.3.1 Pengaruh Kesehatan Lingkungan terhadap Resiko Stunting pada Anak

Hasil penelitian yang telah dilakukan bahwa kesehatan lingkungan di

Kecamatan Secanggang mayoritas buruk (60%). Pemanfaatan air bersih di desa

kota lama manyoritas menggunakan sumur galih yang tidak disaring, dan ada juga

yang menggunakan air dari sungai untuk kebetuhan sehari hari. Sarana air bersih

termasuk faktor yang mempengaruhi kejadian diare pada balita. Untuk mencegah

terjadinya diare maka harus diambil dari sumber yang terlindungi. Menurut Hasil

penelitian Adiyanti, Bersal (2014) menunjukkan bahwa anak yang berasal dari

keluarga dengan sumber air yang tidak terlindungi dengan jenis jamban yang

tidak layak mempunyai resiko untuk menderita Stunting 1,3 kali lebih tinggi

dibandingkan dengan anak yang berasal dari dari keluarga dengan sumber air
52

telindungi dan jenis jmban yang layak. Penelitian yang lain dilakukan oleh

Milman dkk (2005) menyatakan hal serupa bahwa terdapat hubungan yang

bermakna antara keluarga yang memiliki akses terhadap sumber air terlindungi

dengan kejadian stunting pada anak.

Kepemilikan jamban yang ada di desa kota lama, kebanyakan keluarga

tidak memiliki jamban dirumah, dan mereka sering melakukan aktivitas buang air

besar di sungai, beberapa keluarga lainnya menggunakan jamban cemplung,

sehingga banyak bakteri yang berkeliaran disekitar rumah dibawah oleh lalat dan

binatang lainnya. Keberadaan jamban yang tidak memenuhi standar secara teoritis

berpotensi memicu timbulnya penyakit infeksi yang karena higiene dan sanitasi

yang buruk (misalnya diare dan kecacingan) yang dapat menggangu penyerapan

nutrisi pada proses pencernaan. Jika kondisi ini terjadi dalam cukup waktu yang

lama dan tidak disertai dengan pemberian asupan yang cukup untuk proses

penyembuhan maka dapat mengakibatkan Stunting (Kemkes RI, 2018). Hasil

penelitian sebelumnya menunjukkan hasil sarana pembuangan air limbah dengan

kejadian diare pada balita diwilayah kerja puskesmas Tasikmadu (Dikky, 2013)

hal ini dikaji lebih jauh, munculnya gangguan pada balita akibat gangguan

pertumbuhan makan karena gizi tidak diserap oleh tubuh karena sarana

pembuangan limbah (tinja) yang sangat penting walaupun hubungan tidak terlihat.

Penyakit juga bisa terjadi karena lingkungan yang kurang baik. Salah satu

Penyakit yang sering terjadi pada bayi dan anak anak pada umumnya adalah

penyakit yang timbul berkaitan erat dengan masalah lingkungan adalah diare

(Moehji, 1988). Penyakit infeksi yang parah dan terjadi berulang pada jangka
53

waktu yang lama dapat menyebabkan stunting. Hal ini sejalan dengan penelitian

Adiyanti (2014) menunjukkan bahwa diare adalah penyakit infeksi yang sangat

mempengaruhi pertumbuhan linear 24 pertama.

Penelitian lainnya juga menunjukkan adanya pengaruh PHBS terhadap

kejadian stunting yaitu hasil penelitian Sulifana, (2014) menyatakan adanya

pengaruh perilaku hidup bersih dan sehat keluarga terhadap penyakit diare yang

mempengaruhui stunting. Beberapa penelitian juga telah membuktikan bahwa

kontribusi penyehatan lingkungan terhadap pengetasan masalah stunting cukup

besar, salah satunya tentang teraksesnya air bersih, jamban, serta pasilitas ctps

pertumbuhan tinggi badan 50% bertambah lebih tinggi dibandingkan anak yang

tidak mendapatkan akses tersebut (Lin et.al. 2016).

Penelitian ini sejalan dengan Hastuti et.al. (2010) yang menyatakan

keadaan lingkungan fisik dan kebersihan disekitar rumah sangat mempengaruhi

kesehatan penghuni rumah tersebut. Lingkungan yang tidak memenuhi syarat

kesehatan memungkinkan terjadinya berbagai jenis penyakit antara lain diare,

cacingan, ISPA, dan infeksi saluran pencernaan. Keadaan rumah berpengaruh

signifikan terhadap status gizi balita (Putri & sukandar 2012). Hasil penelitian

Kusumawati (2015) mengungkapkan bahwa pada usia bayi ditemukan tingginya

resiko menderita penyakit infeksi yang disebabkan oleh kesehatan lingkungan

yang kurang baik, kepadatan penduduk, kurangnya sarana pencegahan penyakit,

akibatnya infeksi merupakan salah satu faktor resiko terjadinya gangguan

pertumbuhan.
54

Berdasarkan penelitian Adiyanti (2014) menyatakan bahwa terbukti

masalah stunting bukan merupakan masalah asupan gizi saja tetapi temasuk

didalamnya adalah masalah kesehatan lingkungan yaitu pemanfaatan air bersih,

kepemilikan jamban. Kesehatan lingkungan secara tidak langsung

memepengaruhi gizi balita yaitu jika lingkungan yang tidak bersih maka dikitar

anak terdapat banyak bakteri bakteri yang menyebabkan anak mudah mengalami

infeksi.

Penelitian ini juga sejalan dengan Astari et al (2005) yang menyatakan

bahwa terdapat hubungan antara sanitasi pangan terhadap kejadian stunting pada

balita seperti kebersihan ibu menggunkan air bersih sebelum memasak, dan

memasak air sebelum diminum. Penelitian ini juga sejalan Oktaviana (2016)

adanya hubungan kejadian stunting dengan perilku higiene sanitasi. Penelitian

Spears et al. (2013) di india menyatakan bahwa kesehatan lingkungan yang buruk

dalam kebiasaan buang air besar sembarang menjadi faktor penentu kejadian

stunting. Air yang bersih juga mencegah perekembangan penyakit yang secara

bersamaan degan kesehatan lingkungan memengaruhi status gizi terutama gizi

kurang (Kavosi et al. 2014).

Faktor lingkungan yang beresiko terhadap kejadian stunting pada balita

adalah sanitasi lingkungan, hal ini sejalan dengan penelitian Van der Hoek, yang

menyatakan anak anak yang berasal dari keluarga mempunyai fasilitas air bersih

memiliki prevalensi diare dan stunting lebih rendah dari pada anak anak dari

kelurga yang tanpa fasilitas air bersih dan kepemilikan jamban. Pada penelitian

ini, resiko balita stunting tinggal dengan lingkungan yang yang kurang baik jauh
55

lebih tinggi dari pada balita yang tinggal dilingkungan yang baik. Hal ini bisa

terjadi karena tidak memiliki jamban dan masih sering bab di sungai. Hasil

penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di desa kopandakan

kecamatan kotamobagu selatan mendapatkan bahwa anak yang sering mengalami

diare saat balita memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian stunting.

Dr Imran mengungkapkan, data dari the Effect of Water and Sanitation on

child Health International of epidemoiology tahun 2007 menyembuhkan akses

terhadap sanitasi yang baik berkontrubisi dalam penurunan stunting atau anak

tumbuh pendek sebesar 27%. Dr imran juga menambahkan kepemelikan jamban

dirumah tangga berkaitan dengan penurunan buang air besar sembarangan

sehingga kemungkinan stunting turun 23-44% pada usia balita. Sejalan dengan

penelitian Imran (2016) potensi stunting berkurang jika ada intervensi yang

berfokus pada perubahan perilaku sanitasi dan kebersihan lingkungan.

Pada hasil penelitian Adiyanti (2014) menyatakan bahwa adanya

hubungan yang bermakna kesehatan lingkungan seperti jenis jamban yang

digunakan sumber air yang terlindungi terhadap stunting. Hubungan keterkaitan

antara kebersihan lingkungan terhadap Stunting juga diperkuat dengan hasil

penelitian Schmidt (2014) yang menyatakan bahwa rendahnya kualitas kebersihan

lingkungan dapat memicu terjadinya penyakit gangguan saluran pencernaan

mengakibatkan energi yang dibutuhkan untuk perlawanan tubuh menghadapi

infeksi.
56

Hasil penelitian Riyadi et.al (2011), yang dilkukan di timor tengah utara

menemukan bahwa angka stunting berhubungan signifikansi dan positif dengan

lingkungan fisik rumah (termasuk ketersediaan air bersih) yang baik yang

mengidikasikan baiknya sosial keluarga. Terdapat hubungan yang bermakna

secara statistik antara variabel buang air besar, dan jenis jamban, yang digunakan

dengan kejadian stunting pada anak.dengan nilai OR disimpulkan bahwa keluarga

yang menggunakan fasilitas buang air besar, dan kepemlikan jamban yang tidak

layak, baduta mempunyai resiko menglami stunting (Adiyanti, 2016).

Faktor lain penyebab terjadinya stunting seperti, ekonomi juga berkaitan

dengan resiko terjadinya stunting. Kondisi ekonomi erat kaitannya dengan dengan

kemampuan dalam memenuhi asupan gizi dan pemenuhan kebutuhan lingkungan

rumah, seperti tidak tersedianya air bersih dan jamban karena tidak memiliki uang

untuk membeli air atau memenuhi kebutuhan rumah tangga. berdasarkan data

Joint Child Malnutrition Estimates tahun 2018, negara dengan pendapatan

menengah keatas mampu menurunkan angka stunting hingga 64% , sedangkan

pada negara menengah kebawah hanya menurunkan sekitar 24% dari dri tahun

2000 hingga 2017. Ekonomi keluarga yang rendah merupakan faktor resiko

kejadian stunting. Anak dengan pendapatan keluarga rendah memiliki resiko

menjadi stunting sebesar 8 kali dibandingkan pada anak pada anak dengan

pendapatan kelurga tinggi. Penelitian lain menyebutkan bahwa faktor resiko pada

anak balita dimaluku yaitu status sosial ekonomi keluarga yang rendah (Lestari,

2014).
BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Kesehatan lingkungan di Kecamatan Secanggang di Desa Kota Lama

dikategorikan kesehatan lingkungan yang buruk dan resiko stunting pada anak di

Desa Kota lama diktegorikan sangat pendek. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

ada hubungan sifnifikansi antara kesehatan lingkungan terhadap resiko stunting

pada balita di Kecamatan Secanggan Kabupaten Langkat.

6.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diberikan

beberapa saran guna perbaikan dan pemanfaatan penelitian mengenai pengaruh

kesehatan lingkungan terhadap resiko stunting pada balita di Kabupaten Langkat

6.2.1 Praktek keperawatan.

Dari hasil penelitian, diperoleh bahwa ada pengaruh kesehatan lingkungan

terhadap resiko stunting. Walaupun demikian di harapkan petugas kesehatan agar

tetap dapat memberikan penyuluhan, pendidikan kesehatan kepada masyarakat

terutama ibu tentang pentingnya menjaga kesehatan lingkungan.

6.2.2 Pendidikan keperawatan.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informsi tambahan dan

masukan bagi pendidikan keperawatan khususnya keperawatan komunitas

57
58

keluarga sehingga perlu diberikan pendidikan kesehatan tentang

lingkungan yang bersih dan sehat

6.2.3 Penelitian keperawatan.

Hasil penelitian yang diperoleh dapat digunakan sebagai dasar untuk

mengembangkan penelitian selanjutnya faktor resiko stunting. Selanjutnya perlu

diteliti tentang jenis kelamin anak, jumlah anggota keluarga. Penelitian

selanjutnya dapat menggunakan desain penelitian lain dengan jumlah responden

yang lebih banyak lagi.

6.2.4 Pemerintahan Setempat

Hasil penelitian ini juga dapat digunakan sebagai bukti pendukung bagi

pemerintah untuk meningkat dan menyediakan sarana air bersih di Desa Kota

Lama.
59

DAFTAR PUSTAKA

Achadi LA. 2012. Seribu Hari Pertama Kehidupan Anak Disampaikan Pada
Seminar Sehari dalam Rangka Hari Gizi Nasional Ke 60. FKMUI Maret
2012: Depok.
Al Kahfi. 2015. Gambaran Pola Asuh pada Baduta Stunting usia 13-24 Bulan
[skipsi]. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulloh
Bappenes. 2011. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2011-2015. Jakarta:
BAPPENAS
Bloem, Mw., Soekirman. 2013. Key Strategies to furthan reduce Stunting in.
Southeast Asia Lessons From The ASEAN Conntries Workshop. Food and
Nutrition Bulletin : 34:2
Depkes. 2012. Riset Kesehatan Dasar Tahun 2010. Jakarta: Depkes
Dinkes. 2011. Laporan Kegiatan Pemantauan Status gizi Tahun 2011. Depok:
Dinas Kesehatan Kota Depok
Dharma. 2015. Metodologi Penelitian Keperawatan. Jakarta: Trans Info Media
Hariyadi, D., Ekayanti, I. 2011. Analisis Pengaruh perilaku Keluarga Sadar Gizi
Terhadap nsi Kalimantan Barat. Teknologi dan Kujuruan. 34(1): 71-80
Gibney, J., Margaretts, M., Kaerney, M., Arab. L. 2009. Gizi Kesehatan
Masyarakat. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran Egc
Ruchaeni, R. 2016. Hubungan antara Perilaku Hidup Bersih dan Sehat dengan
Status Gizi Siswa kelas IV dan V Tahun [skripsi]. Yogyakarta: Ilmu
keolahragaan Universitas Negeri Yogyakarta
Picauly, L & Toy, S.M. 2013. Analisis Determinan dan pengaruh Stunting
Terhadap Prestasi Belajar Anak Sekolah Di Kupang Dan Sumba Timur,
NH. Gizi Dan Pangan. 8(1): 55-62
Fitri, K. 2012. Berat Lahir sbg Faktor Dominan Stunting pada Balita (12-59
Bulan) Di Sumatera. RKD
Riskesdas. 2012. Penyajian pokok – pokok Hasil Riset Kesehatan Dasar 2012.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI (oline). Akses
www.Utbang depkes.go.id
Riyadi, H., Martianto, D., Hastuti, D. 2011. Faktor –Faktor yang Mempengaruhi
Status Gizi Anak Balita Di Kabupaten Timor Tengah Utara, Propinsi
Nusa Tenggara Timur. Jurnal Gizi dan Pangan. 6(1): 66-73
60

Unicef Indonesia. 2013. Ringkasan Kajian Gizi Ibu Dan Anak (online). Akses
www.Unicef. Org.
World Health Organization. 2013. Nutrition Landcape Information System (
NLIS) Country Profile Indicators: Interpretation quite (online). Akses:
http ://www.Who.int //Nutrition
Mitra. 2015. Permasalahan Anak pendek (Stunting) dan Intervensi untuk
mencegah Terjadinya Stunting. Jurnal Kesehatan Komunitas, Vol 2 No 6,
Schmidt, charles W”Beyond. 2014. Mannutrition : The role of Sanitation in
Stunted Growth. Environmental Health perspectives 122(11): A298
Kementrian Kesehatan. 2010. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia
tahun 2010 Kementrian Republik Indonesia.
WHO Tecnical Repport Series (TRS) NUMber 439, 1970, Environment Health,
WHO: Geneve
Sarudji, D. 2010. Kesehatan Lingkungan. Jakarta: Karya Putra Darwati
Rudi, dkk. 2013. Faktor Lingkungan dan perilaku yang berhubungan dengan
kejadian Stunting Pada siswa SD di Wilayag pertanian. Jurnal Kesehatan
Lingkungan Indonesia. 12(2)
Mitra. 2015. Permasalahan Anak pendek (Stunting) dan Intervensi untuk
mencegah Terjadinya Stunting. Jurnal Kesehatan Komunitas. 2(6)
Unicef Indonesia. 2012. Ringkasan Kajian Air Bersih, Sanitasi & Kebersihan.
Jakarta
Lampiran Inform Consent

PENGARUH KESEHATAN LINGKUNGAN TERHADAP RESIKO


STUNTING PADA ANAK DI KABUPATEN LANGKAT

Nama : ADE IRMA SURYANI PANE


Nim : 151101064

Saya adalah mahasiswi Program Studi S1 Ilmu Keperawatan Fakultas


Keperawatan Universitas Sumatera Utara yang melakukan penelitian dengan
tujuan untuk mengetahui Pengaruh Kesehatan Lingkungan Terhadap Resiko
Stunting Pada Anak di Kabupaten Langkat
Demi terlaksananya penelitian, saya mengharapkan partisipasi saudara
sebagai responden. Saya mengharapkan jawaban yang saudara berikan sesuai
dengan pendapat saudara sendiri tanpa dipengaruhi oleh orang lain. Saya akan
menjamin kerahasiaan identitas dan pendapat saudara. Informasi yang saudara
berikan hanya akan dipergunakan untuk mengembangkan ilmu keperawatan dan
tidak dipergunakan untuk hal-hal lain.
Terlepas dari semua ini, saudara bebas menolak untuk berperan dalam
penelitian ini, jika saudara bersedia menjadi peserta penelitian ini, maka silahkan
menandatangani formulir ini.

Tanda Tangan

( ………........)

Tanggal :
No. Responden : …………( diisi oleh peneliti)
Lampiran Instrumen Penelitian 1
Data demografi Ibu

PETUNJUK UMUM
Berilah tanda ceklist (√) pada satu kotak jawaban yang menurut anda paling tepat
sesuai dengan keadaan saat ini.
A. Data Demografi
1. Nama / Initial :
2. Usia : …… tahun
3. Agama
Islam
Kristen
Hindu
Budha
4. Suku Bangsa
Batak
Minang
Jawa
Melayu
Aceh
5. Status perkawinan
Tidak kawin
Janda
Kawin
6. Pendidikan
SD
SMP
SLTA
PT
Lampiran Instrumen Penelitian 2

Data demografi Anak

B. Data Demografi
1. Nama / Initial :
2. Usia : …… tahun
3. Jenis Kelamin
Laki-Laki
Perempuan
4. Berat Badan :
5. Tinggi Badan :
6. Z-score :
Kategori
Sangat Pendek [ ] Z score <-3,0
Pendek [ ] Z score < -3,0 s/d Zscore <-2,0
Normal [ ] Z score > 2,0
Lampiran Instrumen Penelitian 3

Pertanyaan Kesehatan Lingkungan

NO. Uraian YA TIDAK


1 Keluarga ibu memiliki sarana air bersih
2 Keluarga ibu menggunakan sumur gali
3. Ibu masih melakukan penyaringan air pada sumur gali
4. Keluarga minum dengan air yang sudah dimasak
5. Ibu menggunakan air bersih untuk memasak
6. Ibu menggunakan air bersih untuk mandi
7. sumber air bersih yang keluarga gunakan mampu
mencukupi kebutuhan keluarga
8. Ibu memiliki jamban keluarga dirumah
10. keluarga menggunakan jenis jamban leher angsa
11 Jamban selalu dibersihkan 2-3 kali seminggu
11 Jarak antara septitank dengan sumber air bersih kurang
dari 10 meter
12. Apakah ketika ibu berada diluar rumah, ibu melakukan
aktivitas buang air besar sungai?
13. Apakah ada anggota keluarga yang membuang air besar
disungai ?
14. Apakah keluarga ibu selalu mencuci tangan
menggunakan sabun setelah buang air besar?
15. Anak ibu mengalami diare dalam 2 bulan terakhir?
16. Anak ibu sering memakan makanan tanpa dicuci terlebih
dahulu
17 Anak mengalami kecacingan dalam 2 bulan terakhir?
18 Anak ibu sering bermain disembarang tempat tanpa
memakai alas kaki (sandal)
19 Anak mengalami typus (demam) dalam dua bulan
terakhir?
20 Anak ibu sering makan/ jajan disembarang tempat
JADWAL TENTATIF PENELITIAN

Kegiatan Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agts

1. Pengajuan
Judul
2. Proses
Penyetujuan
Judul
3. Menyusun
BAB 1
4. Menyusun
BAB 2
5. Menyusun
BAB 3
6. Menyusun
BAB 4
7. Sidang
Proposal
8. Perbaikan
Proposal
9. Uji etik dan
Surat Izin
Penelitian
10. Pengumpulan
Data
11. Analisa Data
12. Penyusunan
laporan
13. Sidang Akhir
penelitian
14. Perbaikan
laporan
Akhir
15. Penyerahan
Laporan dan
Manuskrip
Lampiran 4

Hasil Uji Reliabilitas

p = 12,6

q = 7,4

∑pq = 4,38

Variasi total = 16,75

Kr – 20 = 0,78
Lampiran 5
Frekuensi demografi responden

Usiaibu

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid 17-25 tahun 13 26,0 26,0 26,0

26-35 tahun 21 42,0 42,0 68,0

36-48 tahun 16 32,0 32,0 100,0

Total 50 100,0 100,0

Agama

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Islam 50 100,0 100,0 100,0

Sukubangsa

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Batak 1 2,0 2,0 2,0

Minang 3 6,0 6,0 8,0

Jawa 20 40,0 40,0 48,0

Melayu 23 46,0 46,0 94,0

Aceh 3 6,0 6,0 100,0

Total 50 100,0 100,0

Statusperkawinan

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Janda 2 4,0 4,0 4,0

Kawin 48 96,0 96,0 100,0

Total 50 100,0 100,0


Pendidikan

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid SD 19 38,0 38,0 38,0

SMP 15 30,0 30,0 68,0

SLTA 15 30,0 30,0 98,0

PT 1 2,0 2,0 100,0

Total 50 100,0 100,0

UsiaA

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid 1-15 bulan 8 16,0 16,0 16,0

16-30 bulan 17 34,0 34,0 50,0

31-45 bulan 8 16,0 16,0 66,0

46-60 bulan 17 34,0 34,0 100,0

Total 50 100,0 100,0

JenisK

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Laki laki 23 46,0 46,0 46,0

perempuan 27 54,0 54,0 100,0

Total 50 100,0 100,0


Beratbadan

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid 3-10 kg 24 48,0 48,0 48,0

11-18 kg 25 50,0 50,0 98,0

>19 kg 1 2,0 2,0 100,0

Total 50 100,0 100,0

Tinggibadan

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid 40-60 cm 13 26,0 26,0 26,0

61-80 cm 23 46,0 46,0 72,0

81-101 cm 13 26,0 26,0 98,0

>102 cm 1 2,0 2,0 100,0

Total 50 100,0 100,0


Lampiran Distribusi Frekuensi Kesehatan Lingkungan
p1

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Ya 50 100,0 100,0 100,0

p2

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Tidak 20 40,0 40,0 40,0

Ya 30 60,0 60,0 100,0

Total 50 100,0 100,0

p3

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Tidak 38 76,0 76,0 76,0

Ya 12 24,0 24,0 100,0

Total 50 100,0 100,0

p4

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Tidak 24 48,0 48,0 48,0

Ya 26 52,0 52,0 100,0

Total 50 100,0 100,0

p5

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Tidak 15 30,0 30,0 30,0

Ya 35 70,0 70,0 100,0


Total 50 100,0 100,0
p6

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Tidak 20 40,0 40,0 40,0

Ya 30 60,0 60,0 100,0

Total 50 100,0 100,0

p7

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Tidak 27 54,0 54,0 54,0

Ya 23 46,0 46,0 100,0

Total 50 100,0 100,0

p8

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Tidak 17 34,0 34,0 34,0

Ya 33 66,0 66,0 100,0

Total 50 100,0 100,0

p9

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Tidak 26 52,0 52,0 52,0

Ya 24 48,0 48,0 100,0

Total 50 100,0 100,0


p10

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Tidak 28 56,0 56,0 56,0

Ya 22 44,0 44,0 100,0

Total 50 100,0 100,0

p11

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Tidak 31 62,0 62,0 62,0

Ya 19 38,0 38,0 100,0

Total 50 100,0 100,0

p12

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Tidak 35 70,0 70,0 70,0

Ya 11 22,0 22,0 92,0

2 4 8,0 8,0 100,0

Total 50 100,0 100,0

p13

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Tidak 37 74,0 74,0 74,0

Ya 13 26,0 26,0 100,0

Total 50 100,0 100,0


p14

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Tidak 28 56,0 56,0 56,0

Ya 22 44,0 44,0 100,0

Total 50 100,0 100,0

p15

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Tidak 33 66,0 66,0 66,0

Ya 17 34,0 34,0 100,0

Total 50 100,0 100,0

p16

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Tidak 29 58,0 58,0 58,0

Ya 21 42,0 42,0 100,0

Total 50 100,0 100,0

p17

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Tidak 26 52,0 52,0 52,0

Ya 24 48,0 48,0 100,0

Total 50 100,0 100,0


p18

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Tidak 23 46,0 46,0 46,0

Ya 27 54,0 54,0 100,0

Total 50 100,0 100,0

p19

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Tidak 21 42,0 42,0 42,0

Ya 29 58,0 58,0 100,0

Total 50 100,0 100,0

p20

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Tidak 25 50,0 50,0 50,0

Ya 25 50,0 50,0 100,0

Total 50 100,0 100,0


Crosstabs

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

kesehatanlingkungan *
50 100,0% 0 0,0% 50 100,0%
resikostunting

kesehatanlingkungan * resikostunting Crosstabulation

resikostunting

sangat pendek pendek Normal Total

kesehatanlingkungan buruk Count 17 7 2 26

% within
65,4% 26,9% 7,7% 100,0%
kesehatanlingkungan

% within resikostunting 70,8% 50,0% 16,7% 52,0%

Baik Count 7 7 10 24

% within
29,2% 29,2% 41,7% 100,0%
kesehatanlingkungan

% within resikostunting 29,2% 50,0% 83,3% 48,0%


Total Count 24 14 12 50

% within
48,0% 28,0% 24,0% 100,0%
kesehatanlingkungan

% within resikostunting 100,0% 100,0% 100,0% 100,0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2-


Value df sided)

Pearson Chi-Square 9,435a 2 ,009


Likelihood Ratio 10,039 2 ,007
Linear-by-Linear Association 9,097 1 ,003
N of Valid Cases 50

a. 0 cells (0,0%) have expected count less than 5. The minimum


expected count is 5,76.
Data Demografi

No U.i Agm S.b S.p Pdk U.a Bb Tb J.k


1 2 1 3 3 3 4 2 2 2
2 3 1 3 3 1 2 2 1 2
3 2 1 3 3 1 2 2 3 1
4 2 1 3 3 2 1 2 3 2
5 2 1 4 3 3 3 3 2 1
6 2 1 5 3 1 1 1 2 2
7 3 1 4 3 1 3 1 1 1
8 3 1 2 3 2 4 1 1 1
9 1 1 3 3 3 2 2 2 1
10 2 1 3 3 3 2 1 1 1
11 1 1 4 3 1 3 2 3 1
12 3 1 4 3 1 2 2 2 1
13 1 1 4 3 3 2 1 1 1
14 2 1 5 3 1 4 1 2 2
15 3 1 2 3 2 4 2 3 1
16 2 1 3 3 2 4 1 3 1
17 3 1 3 3 3 4 1 2 2
18 3 1 3 3 2 4 2 3 2
19 2 1 4 3 2 4 2 1 2
20 2 1 3 3 2 3 2 3 2
21 3 1 3 3 3 4 2 2 1
22 3 1 3 3 3 2 1 1 1
23 2 1 4 3 1 2 2 4 2
24 1 1 1 3 2 2 1 2 2
25 2 1 3 3 1 2 2 2 1
26 1 1 3 3 2 3 1 1 2
27 1 1 4 3 3 1 1 2 1
28 3 1 4 3 3 3 1 2 2
29 2 1 4 3 1 1 1 1 1
30 1 1 4 3 1 4 1 3 2
31 1 1 4 3 3 1 1 1 1
32 2 1 2 3 1 1 2 3 2
33 1 1 4 3 3 1 1 1 2
34 2 1 4 3 2 2 2 3 2
35 1 1 4 3 1 1 1 2 1
36 3 1 3 3 1 3 1 2 1
37 2 1 4 3 1 4 2 2 2
38 3 1 4 3 4 4 1 1 2
39 2 1 4 3 2 2 1 2 2
40 2 1 3 3 2 4 2 3 2
41 1 1 3 3 2 2 2 2 2
42 2 1 4 3 2 4 2 1 1
43 3 1 4 2 1 4 1 2 2
44 3 1 4 3 1 2 2 3 2
45 3 1 3 3 1 2 1 2 2
46 1 1 5 3 1 2 2 3 2
47 1 1 4 3 1 4 2 2 2
48 2 1 5 2 1 2 2 2 1
49 3 1 4 2 2 4 2 2 1
50 2 1 3 2 2 4 1 2 1

Keterangan :

Ui : Usia ibu P6 : Pertanyaan 6


Agm : Agama P7 : Pertanyaan 7
Sb : Suku Bangsa P8 : pertanyaan 8
Sp : Status Perkawinan P9 : Pertanyaan 9
Pdk : Pendidikan P10 : Pertanyaan 10
Ua : Usia Anak P11 : Pertanyaan 11
Bb : Berat badan anak P12 : Pertanyaan 12
Tb : Tinggi badan anak P13 : Pertanyaan 13
Jk : Jenis kelamin P14 : Pertanyaan 14
No : Nomor responden P15 : Pertanyaan 15
P1 : Pertanyaan 1 P16 : Pertanyaan 16
P2 : Pertanyaan 2 P17 : Pernyataan 17
P3 : Pertanyaan 3 P18 : Pertanyaan 18
P4 : Pertanyaan 4 P19 : Pertanyaan 19
P5 : Pertanyaan 5 P20 : Pertanyaan 20
Master Data

No p1 p2 p3 p4 p5 p6 p7 p8 p9 p10 p11 p12 p13 p14 p15 p16 p17 p18 p19 p20 KL RS
1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 2 1
2 1 1 0 1 1 1 0 0 0 0 0 1 1 1 0 0 0 0 1 0 1 1
3 1 0 0 0 0 1 1 1 1 1 0 0 0 1 0 0 1 1 1 1 2 2
4 1 1 0 1 1 0 0 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 1 1 0 1 2
5 1 1 0 0 1 1 1 0 0 0 0 1 1 1 0 1 1 1 0 1 2 1
6 1 0 0 1 1 0 0 1 1 1 1 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1 2
7 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 1 0 0 1 1 1 0 2 1
8 1 1 0 0 1 1 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 1
9 1 1 0 1 1 1 0 0 1 1 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 1 1
10 1 0 0 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 1 1 1 1
11 1 1 0 0 1 0 0 1 1 1 1 0 0 0 1 0 1 0 1 1 2 2
12 1 1 0 1 0 1 0 1 0 0 1 0 0 1 0 0 0 1 1 0 1 1
13 1 0 0 0 1 1 1 1 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 1 0 1 1
14 1 0 0 1 0 1 0 1 1 1 0 0 0 1 1 0 1 1 1 1 2 3
15 1 1 1 0 1 0 0 1 1 1 0 0 0 1 0 1 1 0 0 1 2 3
16 1 1 0 1 1 1 1 1 0 0 1 0 0 0 1 1 1 1 1 1 2 3
17 1 0 0 0 0 1 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 2 3
18 1 1 0 0 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 1 0 0 1 1 2 2
19 1 0 0 0 1 0 0 1 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 1
20 1 1 0 0 1 1 1 0 0 0 0 2 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2
21 1 0 0 1 1 0 0 1 1 1 0 1 0 0 0 1 0 1 1 1 2 1
22 1 1 0 0 0 1 1 1 1 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 2
23 1 1 0 1 1 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 1 1 1 1 1 2 3
24 1 0 1 1 1 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 1 0 1 0 1 1
25 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 1
26 1 1 0 0 0 0 0 0 0 1 1 2 0 0 1 0 0 0 0 0 1 1
27 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 2 1 0 1 1 1 1 0 0 1 1
28 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 0 0 1 0 0 1 2 3
29 1 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1
30 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 2 3
31 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 1 0 0 1 1 1 2
32 1 1 1 1 1 1 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 1
33 1 0 1 1 0 0 1 0 0 0 0 1 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1
34 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 1 1 1 0 0 1 0 2 2
35 1 1 0 1 1 1 0 1 1 0 0 0 0 0 1 0 0 1 1 1 2 3
36 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 1 0 0 1 1 1 1 1 1 2
37 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 1 0 0 1 1 0 2 3
38 1 0 0 0 1 0 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 2 1
39 1 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 1 1 0 0 0 0 0 1 1 3
40 1 1 0 0 0 1 0 0 0 0 1 1 0 0 1 1 1 0 0 0 1 3
41 1 1 0 1 1 1 1 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 1
42 1 0 0 1 1 0 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 1
43 1 1 0 1 1 0 1 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 2 3
44 1 0 1 0 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 2
45 1 1 1 1 0 1 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 1 1
46 1 1 0 0 1 0 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 1 0 1 1 2 2
47 1 0 0 0 0 1 0 1 1 0 0 0 0 1 0 1 1 1 0 1 1 1
48 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 1 0 0 0 0 1 1 0 0 0 2 1
49 1 0 0 0 1 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0 0 1 0 0 1 2
50 1 0 1 1 1 1 0 1 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 1 1 2 2
Tabel distribusi Frekuensi ksehatan lingkungan

Kesehatan Lingkungan

NO. Pernyataan Ya Tidak


n(%) n(%)
1 Keluarga ibu memiliki sarana air bersih 50 (100) 0
2 Keluarga ibu menggunakan sumur gali 30 (60) 20 (40)
3. Ibu masih melakukan penyaringan air pada sumur gali 12 (24) 38 (76)
4. Keluarga minum dengan air yang sudah dimasak 26 (52) 24 (52)
5. Ibu menggunakan air bersih untuk memasak 35 (75) 15 (30)
6. Ibu menggunakan air bersih untuk mandi 30 (60) 20 (40)
7. sumber air bersih yang keluarga gunakan mampu 23 (46) 27 (54)
mencukupi kebutuhan keluarga
8. Ibu memiliki jamban keluarga dirumah 33 (66) 17 (34)
10. keluarga menggunakan jenis jamban leher angsa 24 (48) 26 (52)
11 Jamban selalu dibersihkan 2-3 kali seminggu 28 (56) 22 (44)
11 Jarak antara septitank dengan sumber air bersih kurang 19 (38) 31 (62)
dari 10 meter
12. Apakah ketika ibu berada diluar rumah, ibu melakukan 11 (22) 35 (70)
aktivitas buang air besar sungai?
13. Apakah ada anggota keluarga yang membuang air besar 13 (26) 37 (74)
disungai
14. Apakah keluarga ibu selalu mencuci tangan 22 (44) 28 (56)
menggunakan sabun setelah buang air besar
15. Anak ibu mengalami diare dalam 2 bulan terakhir 17 (34) 33 (66)
16. Anak ibu sering memakan makanan tanpa dicuci terlebih 21 (42) 29 (58)
dahulu
17 Anak mengalami kecacingan dalam 2 bulan terakhir 24 (48) 26 (48)
18 Anak ibu sering bermain disembarang tempat tanpa 27 (54) 23 (46)
memakai alas kaki (sandal)
19 Anak mengalami typus (demam) dalam dua bulan 29 (58) 21 (42)
terakhir
20 Anak ibu sering makan/ jajan disembarang tempat 25 (50) 25 (50)
Lampiran Taksasi Dana

RINCIAN BIAYA PENELITIAN

Nama : Ade irma suryani pane

NIM :151101064

Judul Penelitian :Pengaruh Kesehatan Lingkungan Terhadap Resiko Stunting pada


Balita

Tabel Rincian Biaya Penelitian

1. Persiapan Proposal Penelitian


Nama Jumlah Harga Satuan Jumlah
Pencetakan referensi dari internet 100 lbr Rp. 100,00 Rp. 10.000,00
Kertas HVS 2 rim Rp. 38.000,00 Rp. 76.000,00
Fotocopy buku 3 buku Rp. 30.000,00 Rp. 90.000,00
Pencetakan proposal bimbingan 100 lbr Rp. 500,00 Rp. 50.000,00
Pencetakan proposal 70 lbr Rp. 100,00 Rp. 70.000,00
Fotocopy dan jilid proposal 5 buah Rp. 15.000,00 Rp. 75.000,00
Pencetakan dan jilid revisi 5 buah Rp. 20.000,00 Rp. 100.000,00
proposal
Total Rp. 471.000,00
2. Pelaksanaan Penelitian
Nama Jumlah Harga Satuan Jumlah
Pencetakan lembar penjelasan 2 lbr Rp. 500,00 Rp. 100.00,00
dan surat izin penelitian
Administrasi untuk tempat penelitian Rp. 100.000,00
Fotocopy kuesioner penelitian 60 set Rp. 150,00 Rp. 36.000,00
(@4 lbr)
Total Rp. 236.000,00
3. Persiapan Sidang Hasil
Nama Jumlah Harga Satuan Jumlah
Pencetakan Skripsi 1 Rp. 40.000,00 Rp. 40.000,00
Fotocopy dan jilid skripsi 5 Rp. 65.000,00 Rp. 200.000,00
CD 1 Rp. 10.000,00 Rp. 10.000,00
Total Rp. 250.000,00
4. Transportasi Rp. 500.000,00
Total Rp. 750.000,00
Biaya tak terduga 10% Rp. 100.000,00
Total Biaya Keseluruhan Rp. 1.557.000,00
Lampiran Riwayat Hidup

RIWAYAT HIDUP

Nama : Ade Irma Suryani Pane

Tempat/tanggal lahir : Manompas, 10 September 1997

Anak ke : 2 dari 6 Bersaudara

Pekerjaan : Mahasiswi

Agama : Islam

Alamat : Jln. Jamin ginting, Padang bulan, gg. Medan area

Nomor Telp : 085274026517

Orang Tua : Ayah : Pardomuan pane

Ibu : Rawati harahap

Riwayat pendidikan :

1. SD Negeri 1 Muara batang toru (2003-2009)


2. SMPN 1 Muara Batang Toru (2009-2012)
3. SMAN 1 Batang Toru (2012-2015)
4. Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara (2015-sekarang)

Anda mungkin juga menyukai