MINI PROJECT
Disusun Oleh :
dr. Karina Eka Pratiwi
Dokter Pendamping:
dr. Nur Ainun
1
LEMBAR PENGESAHAN
Telah menyelesaikan tugas Mini Project sebagai salah satu rangkaian tugas pada
Program Internsip Dokter Indonesia.
2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL......................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN............................................................................... ii
DAFTAR ISI..................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR........................................................................................ v
DAFTAR TABEL............................................................................................. vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah........................................................................ 3
C. Pertanyaan Penelitian................................................................... 3
D. TujuanPenelitian.......................................................................... 3
a. TujuanUmum......................................................................... 3
b. TujuanKhusus........................................................................ 3
E. Manfaat Penelitian....................................................................... 4
1. Teori ...................................................................................... 4
2. Bagi Peneliti........................................................................... 4
3. Bagi Puskesmas..................................................................... 4
3
g. Penatalaksanaan............................................................... 18
2. Faktor Risiko Kejadian Stunting .......................................... 23
B. Kerangka Teori............................................................................ 29
C. Kerangka Konsep......................................................................... 30
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................. 43
B. Saran........................................................................................... 43
BAB VI LAMPIRAN
Lampiran 1. Susunan Peneliti.................................................................. 47
Lampiran 2. Daftar Alat Peneliti.............................................................. 47
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 48
4
DAFTAR GAMBAR
5
DAFTAR TABEL
6
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Stunting adalah kondisi dimana balita memiliki panjang atau tinggi badan yang
kurang jika dibandingkan dengan umur. Kondisi ini diukur dengan panjang atau
tinggi badan yang lebih dari minus dua standar deviasi median standar
pertumbuhan anak dari WHO.1,2
Balita stunting termasuk masalah gizi kronik yang disebabkan oleh banyak
faktor seperti kondisi sosial ekonomi, tingkat pendidikan, pemberian ASI, berat
badan lahir rendah, gizi ibu saat hamil, kesakitan pada bayi, dan kurangnya
asupan gizi pada bayi. Balita stunting di masa yang akan datang akan mengalami
kesulitan dalam mencapai perkembangan fisik dan kognitif yang optimal.Anak
yang menderita stunting akan lebih rentan terhadap penyakit dan ketika dewasa
berisiko untuk mengidap penyakit degeneratif. Dampak stunting tidak hanya pada
segi kesehatan tetapi juga mempengaruhi tingkat kecerdasan anak.1,2,3
Anak merupakan aset bangsa di masa depan. Bisa dibayangkan, bagaimana
kondisi sumber daya manusia Indonesia di masa yang akan datang jika saat ini
banyak anak Indonesia yang menderita stunting. Dapat dipastikan bangsa ini tidak
akan mampu bersaing dengan bangsa lain dalam menghadapi tantangan global.3,4
Kejadian balita pendek atau biasa disebut dengan stunting merupakan salah satu
masalah gizi yang dialami oleh balita di dunia saat ini. Pada tahun 2017 22,2%
atau sekitar 150,8 juta balita di dunia mengalami stunting. Namun angka ini sudah
mengalami penurunan jika dibandingkan dengan angka stunting pada tahun 2000
yaitu 32,6%.3,4
Pada tahun 2017, lebih dari setengah balita stunting di duniaberasal dari Asia
(55%) sedangkan lebih dari sepertiganya (39%) tinggal di Afrika. Dari 83,6 juta
balita stunting di Asia, proporsi terbanyak berasal dari Asia Selatan (58,7%) dan
proporsi paling sedikit di Asia Tengah (0,9%). Data prevalensi balita stunting
7
yang dikumpulkan World Health Organization (WHO), Indonesia termasuk ke
dalam negara ketiga dengan prevalensi tertinggi di regional Asia Tenggara/South-
East Asia Regional (SEAR). Rata-rata prevalensi balita stunting di Indonesia
tahun 2020 adalah 29,7% .2,3,4
Pada tahun 2022 menurut SSGI menunjukkan prevalensi status gizi balita di
Provinsi Sulawesi Tengah dengan masalah stunting sebesar 28,2 %. Prevalensi
status gizi balita stunting, yang tertinggi di Kabupaten Sigi dibandingkan dengan
12 Kabupaten/Kota lainnya, yaitu Stunting 36,8 %, dan untuk Kota Palu angka
kejadian stunting mencapai 24,7%.Sedangkan di wilayah kerja Puskesmas
Singgani, temuan balita stunting pada tahun 2022 terdapat 82 kasus.5,6
B. Rumusan Masalah
C. Pertanyaan Penelitian
D. Tujuan Penelitian
8
a. Tujuan Umum
Mengetahui gambaran faktor – faktor resiko balita usia 12 – 59 bulan terhadap
kejadian stunting di Wilayah kerja Puskemas Singgani.
b. Tujuan Khusus
E. Manfaat Penelitian
1. Teori
Hasil penelitian ini, dapat dijadikan bahan rujukan bagi peneliti lain, serta
bahan bacaan untuk institusi pendidikan dan kesehatan.
2. Bagi Peneliti
Manfaat peneletian ini adalah untuk menambah pengetahuan peneliti, terutama
mengenai kejadian stunting, faktor resiko dan menambah pengalaman meneliti
dalam jangka waktu tertentu.
3. Bagi Puskesmas
Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai gambaran faktor –
faktor resiko kejadian stunting di wilayah Puskemas Singgani.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Stunting
a. Definisi
Stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada anak balita (bayi dibawah
lima tahun) akibat dari kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek
untuk usianya, hal ini menyebabkan adanya gangguan di masa yang akan
datang yakni mengalami kesulitan dalam mencapai perkembangan fisik dan
kognitif yang optimal. Anak stunting mempunyai Intelligence Quotient (IQ)
lebih rendah dibandingkan rata – rata IQ anak normal. Balita pendek (stunted)
dan sangat pendek (severely stunted) adalah balita dengan panjang badan
(PB/U) atau tinggi badan (TB/U) menurut umurnya dibandingkan dengan
standar baku WHO-MGRS (Multicentre Growth Reference Study) .1, 2
Stunting menurut Kementerian Kesehatan (Kemenkes) adalah anak balita
dengan nilai z-scorenya kurang dari -2SD/standar deviasi (stunted) dan
kurang dari – 3SD (severely stunted). Stunting merupakan retradasi
pertumbuhan linier dengan deficit dalam panjang atau tinggi badan sebesar -2
Z-score atau lebih menurut buku rujukan pertumbuhan World Health
Organization/National Center for Health Statistics (WHO/NCHS). Stunting
disebabkan oleh akumulasi episode stress yang sudah berlangsung lama
(misalnya infeksi dan asupan makanan yang buruk), yang kemudian tidak
terimbangi oleh catch up growth (kejar tumbuh).1, 2, 4
10
b. Epidemiologi
Kejadian balita pendek atau biasa disebut dengan stunting merupakan salah satu
masalah gizi yang dialami oleh balita di dunia saat ini. Pada tahun 2017 22,2%
atau sekitar 150,8 juta balita di dunia mengalami stunting. Namun angka ini sudah
mengalami penurunan jika dibandingkan dengan angka stunting pada tahun 2000
yaitu 32,6%.3,4
Pada tahun 2017, lebih dari setengah balita stunting di dunia berasal dari Asia
(55%) sedangkan lebih dari sepertiganya (39%) tinggal di Afrika. Dari 83,6 juta balita
stunting di Asia, proporsi terbanyak berasal dari Asia Selatan (58,7%) dan proporsi
paling sedikit di Asia Tengah (0,9%).3,4
11
Data prevalensi balita stunting yang dikumpulkan World Health Organization
(WHO), Indonesia termasuk ke dalam negara ketiga dengan prevalensi tertinggi di
regional Asia Tenggara/South-East Asia Regional (SEAR). Rata-rata prevalensi balita
stunting di Indonesia tahun 2005-2017 adalah 36,4%.2,3,4
Kejadian balita stunting (pendek) merupakan masalah gizi utama yang dihadapi
Indonesia. Berdasarkan data Pemantauan Status Gizi (PSG) selama tiga tahun
terakhir, pendek memiliki prevalensi tertinggi dibandingkan dengan masalah gizi
lainnya seperti gizi kurang, kurus, dan gemuk. Prevalensi balita pendek mengalami
peningkatan dari tahun 2016 yaitu 27,5% menjadi 29,6% pada tahun 2017. 3,4
12
( Sumber : Pemantauan Status Gizi, Ditjen Kesehatan Masyaraka )
Survei PSG diselenggarakan sebagai monitoring dan evaluasi kegiatan dan capaian
program. Berdasarkan hasil PSG tahun 2015, prevalensi balita pendek di Indonesia
adalah 29%. Angka ini mengalami penurunan pada tahun 2016 menjadi 27,5%.
Namun prevalensi balita pendek kembali meningkat menjadi 29,6% pada tahun 2017.
13
Prevalensi balita sangat pendek dan pendek usia 0-59 bulan di Indonesia tahun
2017 adalah 9,8% dan 19,8%. Kondisi ini meningkat dari tahun sebelumnya yaitu
prevalensi balita sangat pendek sebesar 8,5% dan balita pendek sebesar 19%. Provinsi
dengan prevalensi tertinggi balita sangat pendek dan pendek pada usia 0-59 bulan
tahun 2017 adalah Nusa Tenggara Timur, sedangkan provinsi dengan prevalensi
terendah adalah Bali. 3,4
14
balita stunting, yang tertinggi di Kabupaten Sigi dibandingkan dengan 12
Kabupaten/Kota lainnya, yaitu Stunting 36,8 %, dan untuk Kota Palu angka
kejadian stunting mencapai 24,7%. Sedangkan di wilayah kerja Puskesmas
Singgani, temuan balita stunting pada tahun 2022 terdapat 6,29% (82
kasus) .dimana pada kota palu,tertinggi ada pada puskesmas Mamboro 19,80%
( 220 kasus )5,6
c. Etiologi
Penyebab dari stunting adalah bayi berat lahir rendah, ASI yang tidak
memadai, makanan tambahan atau makanan pendamping ASI yang tidak sesuai,
diare berulang, dan infeksi pernapasan. malnutrisi atau asupan yang tidak cukup
atau makanan yang kurang kandungan nutrisi untuk menunjang pertumbuhan.
Hal lain yang dapat menyebabkan stunting adalah penyakit yang menyebabkan
buruknya asupan gizi yang dikenal sebagai malnutrisi, penyerapan, dan
pemanfaatan nutrisi, seperti penyakit jantung bawaan, tuberkulosis paru, anemia,
dan infeksi kronis.7, 8, 9
Faktor maternal yaitu nutrisi ibu saat mengandung dan interaksi perilaku
(behavioural interaction) juga merupakan faktor penyebab stunting. Kombinasi
kekurangan nutrisi, infeksi berulang, dan stimulasi psikososial yang kurang juga
dapat menyebabkan stunting. Pada 1000 hari pertama kehidupan sejak konsepsi
sampai dengan anak berusia 2 tahun, faktor nutrisi dan lingkungan berperan besar
dalam pertumbuhan anak, sedangkan faktor etnik atau genetik tidak banyak
berperan dalam pertumbuhan anak di bawah usia 2 tahun. Berdasarkan penelitian
sebagian besar anak dengan stunting mengkonsumsi makanan yang berbeda di
bawah ketentuan rekomendasi kadar gizi, berasal dari keluarga banyak,
bertempat tinggal di wilayah pinggiran kota dan komunitas pedesaan.7, 8, 9
d. Patofisiologi stunting
15
Patofisiologi stunting masih belum sepenuhnya dipahami. Kekurangan nutrisi
prenatal dan setelah lahir, infeksi sistemik, dan infeksi usus diduga berkontribusi
terhadap kejadian stunting. Perawakan orang tua yang pendek, indeks massa
tubuh orang tua yang rendah, serta kenaikan berat badan yang kurang selama
kehamilan juga dinilai berhubungan dengan berat bayi lahir rendah, yang
merupakan salah satu risiko stunting. Kehamilan pada masa remaja, saat ibunya
sendiri masih dalam masa pertumbuhan, meningkatkan risiko stunting maternal
dan dapat menyebabkan luaran obstetrik yang buruk. Jarak antar kelahiran yang
dekat juga meningkatkan kebutuhan nutrisi pada ibu. Perawakan ibu yang pendek
disertai dengan kondisi anak dengan berat lahir rendah dan stunting dapat
memperparah lingkaran intergenerasi dari stunting.9,10,11
Temuan baru menyatakan bahwa environmental enteric dysfunction (EED)
berperan besar dalam patogenesis stunting. EED adalah gangguan umum struktur
dan fungsi usus halus yang sering ditemukan pada anak-anak yang hidup di
lingkungan yang tidak sehat. Mekanisme EED yang menyebabkan terjadinya
gagal tumbuh adalah karena terjadinya kebocoran usus dan tingginya
permeabilitas usus, inflamasi usus, disbiosis dan translokasi bakteri, inflamasi
sistemik, serta malabsorpsi nutrisi. Masalah gizi merupakan masalah
multidimensi, dipengaruhi oleh berbagai faktor penyebab. Masalah gizi berkaitan
erat dengan masalah pangan. Masalah gizi pada anak balita tidak mudah dikenali
oleh pemerintah, atau masyarakat bahkan keluarga karena anak tidak tampak
sakit. Terjadinya kurang gizi tidak selalu didahului oleh terjadinya bencana
kurang pangan dan kelaparan seperti kurang gizi pada dewasa. Hal ini berarti
dalam kondisi pangan melimpah masih mungkin terjadi kasus kurang gizi pada
anak balita. Kurang gizi pada anak balita bulan sering disebut sebagai kelaparan
tersembunyi atau hidden hunger.9,10,11
16
berlangsung lama (misalnya infeksi dan asupan makanan yang buruk), yang
kemudian tidak terimbangi oleh catch up growth (kejar tumbuh). Dampak dari
kekurangan gizi pada awal kehidupan anak akan berlanjut dalam setiap siklus
hidup manusia. Wanita usia subur (WUS) dan ibu hamil yang mengalami
kekurangan energi kronis (KEK) akan melahirkan bayi dengan berat badan lahir
rendah (BBLR). BBLR ini akan berlanjut menjadi balita gizi kurang.9,10,11
Stunting berlanjut ke usia anak sekolah dengan berbagai konsekuensinya.
Kelompok ini akan menjadi generasi yang kehilangan masa emas tumbuh
kembangnya dari tanpa penanggulangan yang memadai kelompok ini dikuatirkan
lost generation. Kekurangan gizi pada hidup manusia perlu diwaspadai dengan
seksama, selain dampak terhadap tumbuh kembang anak kejadian ini biasanya
tidak berdiri sendiri tetapi diikuti masalah defisiensi zat gizi mikro.9,10,11
e. Faktor-faktor risiko
No . Faktor risiko
17
3.Ri Riwayat ASI eksklusif
f. Diagnosis
18
Gambar 9. Rumus score simpang baku (Z-Score)
Sumber : TPNK, 2017
Keterangan :
NIS : Nilai Individual Subjek (Tinggi badan anak)
NMBR : Nilai Median Baku Rujukan
NSBR : Nilai Simpang Baku Rujuk
1. Anamnesis
1.1 Keluhan
Riwayat berat lahir rendah dan prematur dapat berhubungan dengan kondisi
malnutrisi sejak dalam kandungan. Kondisi kehamilan, riwayat sakit maternal,
dan pertambahan berat badan ibu selama hamil juga perlu ditanyakan untuk
melihat faktor risiko stunting. Di samping data antropometri tiap bulan yang
19
mencakup berat badan, panjang badan, dan lingkar kepala saat lahir juga berguna
untuk menilai kecepatan tumbuh anak.14,15
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan tanda vital seperti suhu, nadi, dan laju napas dilakukan untuk
menilai adanya penyakit penyerta. Peningkatan laju napas dan sesak napas dapat
mengarah pada penyakit atau gangguan saluran napas (infeksi, laringomalasia)
atau penyakit jantung bawaan yang bisa menjadi faktor risiko stunting. Demam
dapat menjadi tanda infeksi.12
20
Pemeriksaan fisik sesuai keluhan anak untuk mencari faktor risiko stunting
misalnya adanya tanda infeksi dan anemia (pucat).14,15
Berat badan, tinggi badan, dan lingkar kepala (untuk anak di bawah 2 tahun
lingkar kepala harus diukur). Setelah diukur, data diplotkan ke kurva pertumbuhan
WHO. Interpretasi hasil antropometri berguna untuk menunjang diagnosis. Anak
stunting biasanya juga mengalami underweight (BB/U dibawah -2SD) atau
wasting (BB/TB <-2SD). Pada stunting, BB/TB biasanya berada pada area ≤1 SD.
Bila BB/TB > 1SD, lacak ke arah kelainan endokrin (defisiensi hormon
pertumbuhan, kortisol, hipotiroid). Penentuan perawakan pendek, dapat
menggunakan beberapa standar antara lain Z-score baku National center for
Health Statistic/center for diseases control (NCHS/CDC) atau Child Growth
Standars World Health Organization (WHO) tahun 2005. Kurva (grafik)
pertumbuhan yang dianjurkan saat ini adalah kurva WHO 2005 berdasarkan
penelitian pada bayi yang mendapat ASI ekslusif dari ibu yang tidak merokok,
yang diikuti dari lahir sampai usia 24 bulan dan penelitian potong lintang pada
anak usia 18-71 bulan, dengan berbagai etnis dan budaya yang mewakili berbagai
negara di semua benua. Kurva NCHS dibuat berdasarkan pertumbuhan bayi kulit
putih yang terutama mendapatkan susu formula. Beberapa penelitian
menunjukkan proporsi perawakan pendek pada anak lebih tinggi dengan
menggunakan kurva WHO 2005 dibandingkan NCHS/CDC sehingga
implikasinya penting pada program kesehatan. 12, 13, 14
3. Pemeriksaan penunjang
21
perawakan pendek lainnya. Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah
pemeriksaan darah lengkap, urine, feses rutin, laju endap darah, elektrolit serum,
dan pemeriksaan usia tulang.15
Pada anak dengan stunting dapat juga ditemukan adanya leukositosis sebagai
tanda infeksi kronis, anemia sebagai tanda kekurangan zat besi, atau temuan yang
diharapkan lainnya.13,14
22
tertentu (sindrom trisomi 13, 18, 21, sindrom Turner, sindrom Klinefelter,
sindrom Russell-Silver. Usia tulang yang lebih tua (melebihi usia kronologis) bisa
disebabkan oleh masalah endokrin seperti constitutional advancement/early
bloomer, hipertiroid, pubertas prekoks; nutrisi seperti obesitas; obat seperti
estrogen dan kontrasepsi oral; serta sindrom tertentu seperti familial male-limited
precocious puberty, sindrom McCune-Albright, sindrom Sotos, sindrom
Beckwith-Wiedemann.15
g. Penatalaksanaan
1. Perbaikan Nutrisi
Nutrisi merupakan komponen yang penting dalam penatalaksanaan stunting.
Perbaikan nutrisi dapat dilakukan dengan pemberian MPASI berkualitas dan
suplementasi vitamin.10, 11
23
yang kaya vitamin A, Buah dan sayur lain.
Keragaman bahan pangan dan konsumsi makanan dari sumber hewani
berhubungan dengan perbaikan pertumbuhan linear. Suatu studi menyatakan
bahwa pemberian protein dan multi mikronutrien (zat besi, zinc, kalsium, iodine,
dan vitamin A) berpengaruh terhadap pertumbuhan linear anak meski anak sudah
berusia di atas 2 tahun. Untuk stunting tanpa wasting/gizi buruk (BB/TB di atas -
2 SD), hitung kebutuhan kalori, protein, dan cairan sesuai dengan Angka
Kecukupan Gizi (AKG) berdasarkan BB ideal menurut umur dan tinggi. Bila
dengan gizi buruk, lakukan manajemen gizi buruk.10,11
Umur BB (kg) Tb (cm) Energi Protein Lemak Karbohidrat Serat (g) Air
(kkal) (g) (g) (g) (mL)
0-6 bulan 6 61 550 12 34 58 0 -
7-11 bulan 9 71 725 18 36 82 10 800
1-3 tahun 13 112 1125 26 44 155 16 1200
4-6 tahun 19 130 1600 35 62 220 22 1500
7-9 tahun 27 142 1850 49 72 254 26 1900
Sumber: Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tentang Angka
Kecukupan Gizi yang Dianjurkan Bagi Bangsa Indonesia
Protein adalah makronutrien yang terdiri dari asam amino. Tubuh manusia bisa
menyintesis sejumlah asam amino (non esensial), tetapi asam amino esensial
hanya dapat diperoleh dari makanan. Asam amino memiliki banyak peran
pengaturan dalam pertumbuhan manusia serta metabolisme, seperti sintesis
hormon (hormon pertumbuhan, insulin-like growth factor-1 (IGF-1), dan hormon
tiroid), Pengangkut protein membran sel atau reseptor, dan pembentukan tulang
panjang dan sendi. Beberapa asam amino berperan besar bagi pertumbuhan linear
seperti arginin, lisin, dan asam amino yang mengandung sulfur (metionin dan
sistein). Banyak studi menyimpulkan bahwa ada hubungan antara pertumbuhan
linear dan protein, terutama sumber hewani dalam bentuk susu. Efek susu pada
24
pertumbuhan linear lebih tinggi dari sumber protein hewani lain seperti daging
atau telur, dan jauh lebih tinggi dari protein nabati seperti kedelai, kacang-
kacangan, dan oat.10,11,12
Protein hewani mengandung lebih banyak asam amino esensial dan asam
amino yang mengandung cincin sulfur, yang dapat menunjang pertumbuhan
linear lebih baik. Asupan protein dengan protein energy ratio (PER) 12-15%
dianjurkan untuk menunjang pertumbuhan linear. Berdasarkan rekomendasi
WHO, Food and Agriculture Organization of the United Nations, & United
Nations University tahun 2017, asupan aman protein adalah 11,6 gram/hari untuk
anak usia 1 tahun dan 11,9 gram/hari untuk usia 2 tahun. Kebutuhan ini dapat
dipenuhi dengan mengkonsumsi 300 -350 ml susu sapi.10,11,12
Studi di Indonesia menyatakan bahwa konsumsi 300 ml susu formula
pertumbuhan dapat mencegah stunting pada anak usia 1-3 tahun. Sumber protein
hewani lain yang baik diberikan seperti telur, ikan, daging, dan jeroan. Meskipun
sangat penting, pemberian protein juga harus dalam jumlah yang tepat karena
asupan protein berlebih berhubungan dengan obesitas di kemudian hari. Sebuah
studi lain, yang juga dilakukan di Indonesia, menyimpulkan bahwa pemberian
formula padat kalori dengan kandungan 1,0 kkal/ml atau 1,5 kkal/ml terbukti
efektif dalam meningkatkan berat badan anak dengan malnutrisi ringan hingga
sedang.10,11,12
25
omega 3 yang rendah. Rekomendasi persentase energi dari lemak pada MPASI
adalah 30-45%. Beberapa susu formula yang tersedia kini sudah difortifikasi
dengan omega 3 dan omega 6.11,12
d. Suplementasi Zinc
e. Suplementasi Vitamin A
2. Stimulasi Psikososial
26
3. Perbaikan Sanitasi dan Lingkungan
Perbaikan sanitasi, akses air bersih, dan kebersihan lingkungan juga dapat
mendukung tumbuh kembang anak. Jamban yang layak dan akses air bersih
penting untuk mewujudkan lingkungan yang sehat dan ramah anak. Lingkungan
yang penuh kasih sayang, pola asuh yang baik, dan dukungan masyarakat kepada
ibu akan memberi dampak yang positif pada pertumbuhan dan perkembangan
anak dan akan berkontribusi pada manajemen stunting. Perbaikan sosioekonomi
masyarakat juga berkontribusi pada pencegahan dan penanganan stunting
sehingga diperlukan keterlibatan pemerintah pusat dan daerah dalam
mewujudkan masyarakat yang lebih sejahtera untuk mengatasi stunting.9,10
Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) mencakup semua perilaku yang
dilakukan atas kesadaran untuk meningkatkan kesehatan, individu, keluarga, dan
masyarakat. PHBS di tingkat rumah tangga meliputi mencuci tangan dengan
sabun dan air bersih mengalir, menggunakan air bersih, menggunakan jamban
yang sehat, memberantas jentik nyamuk, mengkonsumsi buah dan sayur,
melakukan aktivitas fisik setiap hari, dan menghindari paparan asap rokok. Selain
itu, PHBS juga meliputi persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan,
pemberian ASI eksklusif, dan pengukuran berat badan bayi dan balita secara
berkala.9,10,12
5. Terapi Suportif
27
perilaku hidup bersih dan sehat harus dilakukan sebagai bagian dari tata laksana
stunting yang komprehensif.9,10,12
6. Rujukan
1. Kebersihan Lingkungan
28
2. Makanan Pendamping ASI
Masalah kebutuhan gizi yang semakin tinggi akan dialami bayi mulai dari
umur enam bulan membuat seorang bayi mulai mengenal Makanan Pendamping
ASI (MP-ASI) yang mana pemberian MP-ASI untuk menunjang pertambahan
sumber zat gizi disamping pemberian ASI hingga usia dua tahun. Makanan
pendamping harus diberikan dengan jumlah yang cukup, sehingga baik jumlah,
frekuensi, dan menu bervariasi bisa memenuhi kebutuhan anak.12,16
3. ASI Eksklusif
Air Susu Ibu (ASI) merupakan pemberian ASI yang diberikan sejak bayi
dilahirkan hingga usia bayi 6 bulan tanpa memberikan makanan atau
minuman lainnya seperti susu formula, air putih, air jeruk kecuali vitamin dan
obat. ASI Eksklusif menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 33 tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif adalah
pemberian Air Susu Ibu (ASI) tanpa menambahkan dan atau mengganti
dengan makanan atau minuman lain yang diberikan kepada bayi sejak baru
dilahirkan selama 6 bulan. Pemenuhan kebutuhan bayi 0-6 bulan telah dapat
terpenuhi dengan pemberian ASI saja.12,16
Menyusui eksklusif juga penting karena pada usia ini, makanan selain
ASI belum mampu dicerna oleh enzim-enzim yang ada di dalam usus selain
itu pengeluaran sisa pembakaran makanan belum bisa dilakukan dengan baik
karena ginjal belum sempurna. Manfaat dari ASI Eksklusif ini sendiri sangat
banyak mulai dari peningkatan kekebalan tubuh, pemenuhan kebutuhan gizi,
murah, mudah, bersih, higienis serta dapat meningkatkan jalinan atau ikatan
batin antara ibu dan anak.12,16
ASI mengandung enzim pencerna susu sehingga organ pencernaan pada bayi
sangat mudah untuk mencerna dan menyerap ASI, kata lain organ pencernaan
bayi belum memiliki enzim yang cukup untuk mencerna makanan lain selain
29
ASI. Komposisi ASI dengan konsentrasi sesuai dengan pencernaan bayi akan
membuat bayi tumbuh dengan badan yang seimbang Seorang anak yang minum
ASI eksklusif mempunyai tumbuh kembang yang baik, hal ini dikarenakan di
dalam ASI terdapat antibodi yang baik sehingga membuat anak tidak mudah
sakit, selain itu ASI juga mengandung beberapa enzim dan hormone.12,16
Pada ASI terdapat kolostrum yang mengandung zat kekebalan salah
satunya IgA (Immunoglobin A), yakni sangat penting untuk membuat seorang
bayi terhindar dari infeksi. IgA yang sangat tinggi tedapat pada ASI yang
mampu melumpuhkan bakteri pathogen E.coli dan beberapa bakteri pada
pencernaan lainnya. Kandungan lainnya yang dapat ditemukan dalam ASI
ialah Decosahexanoic Acid (DHA) dan Arachidonic Acid (AA) yang sangat
penting dalam menunjang pembentukan sel – sel pada otak secara optimal
sehingga bisa menjamin pertumbuhan dan kecerdasan pada seorang anak.12,16
Berat badan lahir sangat terkait dengan pertumbuhan dan perkembangan jangka
panjang anak balita, pada penelitian yang dilakukan oleh Anisa menyimpulkan
30
bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara berat lahir dengan kejadian
stunting pada balita di Kelurahan Kalibaru. Bayi yang lahir dengan berat badan
lahir rendah (BBLR) yaitu bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari 2500
gram, bayi dengan berat badan lahir rendah akan mengalami hambatan pada
pertumbuhan dan perkembangannya serta kemungkinan terjadi kemunduran
fungsi intelektualnya selain itu bayi lebih rentan terkena infeksi dan terjadi
hipotermi. Banyak penelitian yang telah meneliti tentang hubungan antara BBLR
dengan kejadian stunting diantaranya yaitu penelitian yang dilakukan di
Yogyakarta menyatakan hal yang sama bahwa ada hubungan antara berat badan
lahir dengan kejadian stunting.27 Selain itu, penelitian yang dilakukan di Malawi
juga menyatakan prediktor terkuat kejadian stunting adalah BBLR.12,16
BBLR yaitu berat badan lahir kurang dari 2500 gram akan membawa risiko
kematian, gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak, termasuk dapat
beresiko menjadi pendek jika tidak tertangani dengan baik (Kementrian Kesehatan
RI, 2016). Hal ini disebabkan oleh banyak faktor yang lebih besar pengaruhnya
dengan kejadian stunting pada Balita seperti ketidak cukupan gizi serta infeksi,
selain itu efek berat badan lahir terhadap tinggi badan paling besar terdapat pada
usia 6 bulan pertama, jika pada 6 bulan pertama Balita dapat memperbaiki status
gizinya, maka terdapat kemungkinan bahwa tinggi badan Balita dapat tumbuh
dengan normal dan terhindar dari kejadian stunting pada usia berikutnya.12,16
31
Pendidikan merupakan sesuatu yang dapat membawa seseorang untuk
memiliki ataupun meraih wawasan dan pengetahuan seluas- luasnya. Orang –
orang yang memiliki pendidikan lebih tinggi akan memiliki wawasan dan
pengetahuan yang lebih luas jika dibandingkan dengan orang- orang yang
memiliki pendidikan yang lebih rendah. Anak-anak yang lahir dari orang tua yang
terdidik cenderung tidak mengalami stunting dibandingkan dengan anak yang
lahir dari orang tua yang tingkat pendidikanya rendah.12 Penelitian yang
dilakukan di Nepal juga menyatakan bahwa anak yang terlahir dari orang tua yang
berpendidikan berpotensi lebih rendah menderita stunting dibandingkan anak
yang memiliki orang tua yang tidak berpendidikan. Hal ini didukung oleh
penelitian yang dilakukan oleh Haile yang menyatakan bahwa anak yang terlahir
dari orang tua yang memiliki pendidikan tinggi cenderung lebih mudah dalam
menerima edukasi kesehatan selama kehamilan, misalnya dalam pentingnya
memenuhi kebutuhan nutrisi saat hamil dan pemberian ASI eksklusif selama 6
bulan.12,15,16
Tingkat pendidikan bapak akan mempengaruhi kesempatan kerja yang
dimiliki seseorang. Pendidikan yang tinggi cenderung akan mempunyai
kesempatan kerja yang lebih baik dibandingkan pendidikan yang rendah.
Menurut Undang – Undang RI NO. 20 tahun 2013 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, pendidikan formal terdiri dari pendidikan dasar (SD, MI, SMP, dan
MTs), pendidikan menengah pertama (SMA, MA, SMK), dan pendidikan
tinggi (diploma, sarjana, magister, spesialis dan dokter). Pemerintah di
Indonesia mewajibkan belajar 9 tahun untuk meningkatkan kualitas sumber
daya manusia. Sehingga masyarakat di Indonesia harus menempuh
pendidikan minimal 9 tahun dihitung mulai dari Sekolah Dasar (SD) hingga
Sekolah Menengah Pertama (SMP). Masyarakat yang sudah menempuh
pendidikan minimal 9 tahun tersebut dianggap sudah mempunyai kualitas
yang layak untuk menjalankan kehidupannya.12,15,16
32
Tingkat pendapatan keluarga memiliki hubungan yang bermakna dengan
kejadian stunting. Hal ini dikarenakan keluarga dengan pendapatan yang
rendah akan mempengaruhi dalam penyediaan pangan untuk keluarga. Daya
beli keluarga tergantung dengan pendapatan keluarga, dengan adanya
pendapatan yang tinggi maka akan kemungkinan terpenuhinya secara optimal
kebutuhan makan bagi keluarga. Faktor pendapatan memiliki peranan besar
dalam persoalan gizi dan kebiasaan makan keluarga terutama tergantung
kemampuan keluarga untuk membeli pangan yang dibutuhkan keluarga
tersebut. Anak anak yang berasal dari keluarga yang miskin bersinergi dengan
kekurangan gizi yaitu stunting.12,16
Orang tua dengan pendapatan keluarga yang memadai akan memiliki
kemampuan untuk menyediakan semua kebutuhan primer dan sekunder anak.
Keluarga dengan status ekonomi yang baik juga memiliki akses pelayanan
kesehatan yang lebih baik. Anak pada keluarga dengan status ekonomi rendah
cenderung mengkonsumsi makanan dalam segi kuantitas, kualitas, serta
variasi yang kurang. Status ekonomi yang tinggi membuat seseorang memilih
dan membeli makanan yang bergizi dan bervariasi.12,16
7. Penyakit Penyerta
33
A. Kerangka Teori
Faktor Resiko
Pendapatan orang tua
Tingkat pendidikan ibu
Pemberian ASI
BBLR
Balita Stunting
B. Kerangka Konsep
34
Pendapatan Keluarga
Tingkat Pendidikan Ibu
Balita Stunting
BBLR
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Desain Penelitian
1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Wilayah kerja Puskesmas Singgani Kota Palu
2. Waktu Penelitian
Waktu penelitian ini dilakukan pada bulan Januari - Maret 2023.
1. Populasi Penelitian
Populasi penelitian ini adalah semua balita stunting yang berusai 12 – 59 bulan
di Wilayah kerja Puskesmas Bulagi yang berjumlah 82 orang.
2. Sampel Penelitian
35
Penelitian ini bersifat deskriptif kategorik, maka besar sampel yang dibutuhkan
N
n=
1+ N ( e)2
n = sampel minimal
N = populasi
e = batas toleransi kesalahan (error tolerance), 5% atau 0,05
82
n= 2
=82,0
1+82(0,05)
1. Kriteria Inklusi:
a. Balita stunting usia 12 – 59 bulan
b. Laki – laki dan perempuan
c. Balita stunting yang tinggal di Wilayah kerja Puskesmas Singgani
d. Orang tua balita stunting bersedia mengikuti penelitian tanpa paksaan
setelah diberikan penjelasan
2. Kriteria Ekslusi:
a. Responden tidak bersedia untuk mengikuti penelitian
b. Balita stunting yang tidak memenuhi kriteria inklusi
36
E. Instrumen Penelitian
Data yang dikumpulkan pada penelitian ini merupakan data primer dengan
menggunakan quisioner penelitian.
F. Variabel Penelitian
1. Stunting
Yang dimaksud dengan stunting pada penelitian ini adalah tinggi badan
menurut umur (TB/U) z-score kurang dari -2 SD berdasarkan table standar
antropometri penilaian status gizi anak KEMENKES RI, sehingga balita lebih
pendek dari tinggi yang seharusnya. Status tinggi badan stunting apabila ambang
batas (z score = <-2 SD), status tinggi badan tidak stunting apabila ambang batas
(z score = ≥ -2 SD).
2. Usia
Yang dimaksud usia pada peneltian ini adalah, pengakuan orang tua tentang
usia balita yang dihitung dari tanggal lahir sampai saat penelitian dilakukan.
3. Jenis Kelamin
Status jenis kelamin balita berdasarkan pengakuan orang tua. Jenis kelamin
dibedakan menjadi laki – laki dan perempuan.
37
yaitu 2.303.711. Pendapatan orang tua rendah apabila ≤ UMP, pendapatan tinggi
apabila pendapatan ≥ UMP.
6. Pemberian ASI
Pengakuan orang tua tentang riwayat pemberian ASI kepada anaknya saat usia
0 – 6 bulan. Klasifikasi pemberian ASI tidak eksklusif apabila bayi diberi
makanan/minuman selain ASI saat usia kurang dari 6 bulan, pemberian ASI
eksklusif apabila bayi hanya diberi ASI saja, tanpa tambahan apapun sampai usia
6 bulan.
7. BBLR
Yang dimaksud BBLR pada penelitian ini adalah berat badan lahir bayi saat
pertama kali penimbangan setelah kelahiran yang didapatkan dari catatan buku
KIA. Klasifikasi BBLR apabila <2.500 gram, tidak BBLR apabila ≥2.500 gram.
H. Pengumpulan Data
38
3. Memberikan penjelasan kepada responden mengenai penelitian ini dan
meminta responden untuk menjawab setiap pertanyaan yang ditanyakan oleh
peneliti berdasarkan daftar quisioner.
4. Mengecek kembali keseluruhan lembar daftar quisioner untuk dilakukannya
pengolahan data.
I. Alur Penelitian
Balita Stunting
Kriteria
Inklusi
Inform Consent
Subyek Penelitian
Pengambilan Data
1. Wawancara pada subyek
Pengumpulan Data
Analisis Data
Penulisan Hasil
Presentasi Hasil
39
Gambar : Alur Penelitian
BAB IV
A. HASIL PENELITIAN
40
a. Gambaran Faktor Resiko Pendapatan Keluarga ( Orang Tua ) pada Balita
di Wilayah Kerja Puskesmas Singgani
Distribusi responden berdasarkan pendapatan kelurga ( Orang Tua ) dapat
dilihat pada tabel berikut :
1.1.1. Gambaran Penghasilan Orang Tua
Berdasarkan Tabel diketahui gambaran penghasilan sebanyak 67 orang (82%)
memiliki penghasilan di bawah UMP dan sebanyak 15 orang (18%)
berpenghasilan lebih dari UMP. Klasifikasi UMP di Sulawesi Tengah tahun 2021
yaitu 2.303.711 rupiah.
41
PerguruanTinggi 13 15,8
Jumlah 82 100
42
B. PEMBAHASAN
1.Faktor Resiko
a. Pendapatan Keluarga ( Orang Tua ) di Wilayah Kerja Puskesmas
Singgani
Dari hasil penelitian pada balita stunting di wilayah puskesmas singgani.
berdasarkan pendapatan keluarga (orang tua) didapatkan hasil terbanyak 67 orang
(82%) memiliki penghasilan di bawah UMP, dan 15 orang (18%) berpenghasilan
lebih dari UMP. Berdasarkan hasil tersebut, faktor resiko pendapatan orang tua
berperan pada sebagian besar responden di wilayah kerja Puskesmas Singgani
terhadap kejadian stunting.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Martianto (2014)
bahwa pendapatan keluarga yang rendah lebih banyak terdapat pada balita
stunting dibandingkan pendapatan yang tinggi. Pendapatan keluarga berkaitan
dengan kemampuan rumah tangga tersebut dalam memenuhi kebutuhan hidup,
sebaliknya pendapatan keluarga yang lebih rendah akan mengalami kesulitan
dalam memenuhi kebutuhan hidup. Pendapatan yang rendah juga akan
43
mempengaruhi kualitas maupun kuantitas bahan makanan yang dikonsumsi oleh
setiap keluarga.17
Hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan Ambarwati (2019) yang
mengatakan pertumbuhan bayi tidak terlalu berpengaruh dengan pendapatan
keluarga. Apabila keluarga dengan pendapatan rendah mampu mengelola
makanan yang bergizi dengan bahan yang sederhana dan murah maka
pertumbuhan bayi juga menjadi baik.18
Penelitian yang sama dilakukan oleh Hesti ( 2017 ) tidak terdapat hubungan
yang signifikan antara pendapatan keluarga dengan kejadian stunting, akan tetapi
pendapatan keluarga memiliki resiko terhadap kejadian stunting.19
44
mengakses informasi mengenai status gizi dan kesehatan anak sehingga
pengetahuannya meningkat. 20
45
pengasuhan tidak diperhatikan, maka Balita akan lebih sering terkena beberapa
penyakit terutama penyakit infeksi.9, 12,16
Pada penelitian ini juga ditemukan adanya balita yang mendapatkan ASI
secara eksklusif tetapi mengalami kejadian stunting yaitu sebanyak 60 balita. Hal
ini dapat dijelaskan bahwa ada faktor lain yang ikut mempengaruhi kejadian
stunting pada balita disamping pemberian ASI secara eksklusif. Pada balita yang
mendapatkan ASI secara eksklusif tetapi mengalami kejadian stunting dapat
dikarenakan pola asuh yang masih kurang maksimal dilakukan oleh orang tua
pada balita, seperti kurang memperhatikan jadwal, jumlah dan jenis makanan
setelah anak usia 6 bulan. Akibat kurang memperhatikan hal tersebut
pertumbuhan anak menjadi terhambat dan berisiko stunting. Disamping itu juga
orang tua terutama ibu kurang memberikan stimulasi pada anaknya yang di
akibatkan kurangnya pengetahuan ibu tentang hal ini, dimana stimulus pada anak
sesuai tahapan usia sangat penting untuk merangsang pertumbuhan dalam proses
tumbuh kembang anak.9, 12,16
46
Penelitian ini sejalan dengan penelitian terkait yang dilakukan oleh Aridiyah,
Rohmawati dan Ririanty (2015) yang menyatakan bahwa pada Balita stunting
sebagian besar lahir tidak BBLR baik di pedesaan maupun diperkotaan yaitu
74,2% dipedesaan dan 93,3% diperkotaan. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor
yang lebih besar pengaruhnya dengan kejadian stunting pada Balita seperti
ketidakcukupan gizi serta infeksi, selain itu efek berat badan lahir terhadap tinggi
badan paling besar terdapat pada usia 6 bulan pertama, jika pada 6 bulan pertama
Balita dapat memperbaiki status gizinya, maka terdapat kemungkinan bahwa
tinggi badan Balita dapat tumbuh dengan normal dan terhindar dari kejadian
stunting pada usia berikutnya.12,16
Berat badan lahir rendah adalah gambaran multimasalah kesehatan masyarakat
mencakup ibu yang kekurangan gizi jangka panjang, kesehatan yang buruk, dan
kehamilan yang buruk. Berat badan lahir pada umumnya sangat terkait dengan
pertumbuhan dan perkembangan jangka panjang, Sehingga dampak lanjutan
BBLR dapat berupa gagal tumbuh. Seorang bayi yang lahir dengan BBLR akan
sulit dalam mengejar ketertinggalan pertumbuhan awal. Pertumbuhan yang
tertinggal dari yang normal akan menyebabkan anak tersebut menjadi stunting.22
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
47
3. Distribusi responden berdasarkan faktor resiko pemberian ASI Eksklusif
didapatkan sebanyak 60 orang (73,7%) yang memberikan ASI Eksklusif.
4. Distribusi responden berdasarkan faktor resiko BBLR didapatkan sebanyak 71
orang (86,8%) bayi lahir dengan berat badan normal.
5. Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan distribusi sebagian besar responden
di wilayah singgani faktor resiko pendapatan orang tua dan tingkat pendidikan.
Sedangkan untuk faktor resiko pemberian ASI eksklusif dan BBLR hanya
berperan pada sebagian kecil responden
6. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa
stunting merupakan permasalahan yang disebabkan karena multifaktoral.
B. SARAN
Upaya dan program ini sebenarnya telah dilakukan sejak lama, tetapi karena
tahun 2021
1. Dinas Kesehatan
48
angka kejadian stunting di Indonesia salah satunya di daerah Kota
Palu,Sulawesi Tengah.
Disarankan agar dinas kesehatan bekerja sama lintas sektor untuk dapat
2. Puskesmas
Singgani.
mendapatkan anak yang lahir dengan keadaan berat badan lahir rendah, maka
saat hamil, asupan gizi ibu ketika hamil dan pengetahuan gizi ibu mengenai
49
Menyelenggarakan konseling inisiasi menyusui dini (IMD) dan ASI eksklusif
4. Program Gizi
BAB VI
LAMPIRAN
DALAM
PENELITIAN
50
No Nama alat Skala Jumlah
1 Quisioner penelitian 82
a. Formulir kuesioner
KUESIONER PENELITIAN
Tanggal :
Pewawancara :
No. Responden :
Nama Kepala Rumah Tangga :
Alamat lengkap :
Nama Balita :
51
Jenis Kelamin Balita : 1. Laki-laki 2. Perempuan
Tanggal lahir :
Umur : Bulan
52
3 bulan
4 bulan
5 bulan
Lebih dari 6 bulan
4. Berat Badan Lahir Balita
Bayi berat lahir rendah (BBLR) : < 2.500 gram
Bayi berat lahir normal : 2.500 – 4.000 gram
Bayi berat lahir lebih : > 4000 gram
5. Panjang badan lahir
Di ukur
Tidak di ukur
DAFTAR PUSTAKA
53
6. Puskesmas Singgani. Kejadian Stunting di Wilayah Kerja Puskesmas
Singgani. 2022
7. World Health Organization. 2017. Nutrition. Stunting in a nutshell. Available
from: https://www.who.int/nutrition/healthygrowthproj_stunted_videos/en/
8. Childhood Stunting: Context, Causes and Consequences. WHO Conceptual
framework. September 2013. Ref: Stewart CP, Iannotti L, Dewey KG,
Michaelsen KF
9. Putri Y, 2017. Stunting. Available from :
https://www.alomedika.com/penyakit/kesehatan-anak/stunting/etiologi
10. Prendergast AJ, Humphrey JH. The stunting syndrome in developing
countries. Paediatr Int Child H, 2014;34 (4):250-265.
11. Owino V, Ahmed T, Freemark M, et al. Environmental Enteric Dysfunction
and Growth Failure/Stunting in Global Child Health. Pediatrics.
2016;138(6):e20160641
12. Sari D, Oktacia R. 2017. Gambaran Faktor Risiko Kejadian Stunting pada
Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Nangalo Kota Padang. Available from
http://articletext.13-1-10-20190207.pdf
13. Dimitri P, Wales JKH. Growth and puberty. In: Lissauer T, Clayden G.
Illustrated textbook of paediatrics fourth edition. Elsevier. London:2012.
14. Ginnard O, Nella A. Growth disorders. University of Texas: 2019. Available
from: https://www.utmb.edu/pedi_ed/CoreV2/Endocrine/Endocrine4.html
15. Creo AL and Schwenk WF. Bone Age: A Handy Tool for Pediatric Providers.
Pediatrics. 2017;140(6):e20171486
16. Larasati N, 2018. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting
pada balita usia 25-59 bulan di Posyandu Wilayah Kerja Puskesmas
Wonosari II tahun 2017. Available from: https://Skripsinadia.pdf
17. Martianto. Hubungan Pendapatan Keluarga, Berat Lahir, dan Panjang Lahir
dengan Kejadian Stunting Balita 24 – 59 Bulan. Jurnal Manajemen Kesehatan
Yayasan RS. Dr. Soetomo. 2014
18. Ambarwati. Hubungan Pendapatan Keluarga dengan Kejadian Stunting pada
Balita Usia 2 -5 tahun. Universitas Aisyiyah Yogyakarta. 2019
54
19. Hesti. Hubungan Underlyng Factors dengan Kejadian Stunting pada Anak 1
– 2 tahun. Journal of Nutrition and Health. 2017
20. Akorede et al. Faktor Resiko Kejadian Stunting pada Balita Usia 25 – 59
bulan di Wilayah Puskesmas Kotagede Yogyakarta. 2013
21. Khoiron. Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan Kejadian Stunting
pada Balita. Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi Husada. 2015
22. Mardani et al. Riwayat Berat Badan Lahir dengan Kejadian Stunting pada
Anak Usia di Bawah 2 tahun. Bagian Gizi Program Studi Kesehatan
Masyarakat. 2015
55