DISUSUN OLEH:
1
JAKARTA
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang maha Esa yang telah melimpahkan
karunia serta kesempatan sehingga saya dapat menyelesaikan proposal penelitian ini.
Saya menyadari bahwa dalam proses pengerjaan proposal ini, saya telah mendapatkan
banyak bantuan, saran serta bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin
menyampaikan rasa hormat dan terimakasih kepada:
Akhir kata, saya berharap proposal penelitian ini dapat memberikan sumbangsih bagi
perkembangan ilmu pengetahuan dan bermanfaat bagi berbagai pihak. Semoga karya
yang didapatkan dari hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi kemajuan pelayanan
Kesehatan ke depannya.
2
Penulis
3
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang...........................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah......................................................................................................2
1.3 Pertanyaan Penelitian.................................................................................................2
1.4 Hipotesis Penelitian....................................................................................................3
1.5 Tujuan Penelitian.......................................................................................................3
1.6 Manfaat Penelitian.....................................................................................................4
i
3.10 Analisis Univariate.................................................................................................37
3.11 Analisis Bivariat.....................................................................................................37
3.12 Analisis Multivariat................................................................................................37
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................38
ii
DAFTAR TABEL
iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.2. Presentasi anak – anak di bawah 5 tahun yang mengalami stunting
berdasarkan negara pada tahun 2018………………………………………………………
8
Gambar 2.8. Z-score terhadap usia dan tinggi pada anak laki-laki, menurut standar
WHO……………………………………………………………………………………. 17
Gambar 2.9. Z-score terhadap usia dan tinggi pada anak perempuan, menurut standar
WHO……………………………………………………………………………………. 17
iv
DAFTAR LAMPIRAN
v
BAB I
PENDAHULUAN
1
kejadian stunting dapat dibagi menjadi empat yakni, faktor pra-konsepsi, post-konsepsi,
faktor sosial dan faktor lingkungan. Setiap tempat tentu memiliki faktor budaya yang
mempengaruhi terjadinya stunting.
1.3.1 Apakah terdapat hubungan antara faktor – faktor pra konsepsi (Usia ibu saat
hamil, usia kehamilan, tinggi ibu, anemia dalam kehamilan, pendidikan ibu dan
jumlah kehamilan) terhadap angka kejadian stunting di kelurahan Kedaung
Wetan, Kedaung Baru dan Selapajang Jaya Kota Tangerang Februari 2022?
1.3.2 Apakah terdapat hubungan antara faktor – faktor post konsepsi (Berat badan lahir,
ASI eksklusif, inisiasi menyusui dini, jenis kelamin, imunisasi dasar dan riwayat
infeksi) terhadap angka kejadian stunting di kelurahan Kedaung Wetan, Kedaung
Baru dan Selapajang Jaya Kota Tangerang Februari 2022?
1.3.3 Apakah terdapat hubungan antara faktor – faktor lingkungan (Paparan rokok pada
ibu hamil dan kebersihan lingkungan) terhadap angka kejadian stunting di
kelurahan Kedaung Wetan, Kedaung Baru dan Selapajang Jaya Kota Tangerang
Februari 2022?
1.3.4 Apakah terdapat hubungan antara faktor – faktor sosial (Pendapatan keluarga dan
tindak kekerasan dalam keluarga) terhadap angka kejadian stunting di kelurahan
Kedaung Wetan, Kedaung Baru dan Selapajang Jaya Kota Tangerang Februari
2022?
2
1.3.5 Dari semua faktor – faktor risiko yang ada, faktor risiko mana yang paling
berpengaruh dengan kejadian stunting di kelurahan Kedaung Wetan, Kedaung
Baru dan Selapajang Jaya Kota Tangerang Februari 2022?
1.4.1 Terdapat hubungan antara faktor-faktor pra konsepsi dengan kejadian stunting di
kelurahan Kedaung Wetan, Kedaung Baru dan Selapajang Jaya Kota Tangerang
Februari 2022.
1.4.2 Terdapat hubungan antara faktor-faktor post konsepsi dengan kejadian stunting di
kelurahan Kedaung Wetan, Kedaung Baru dan Selapajang Jaya Kota Tangerang
Februari 2022.
1.4.3 Terdapat hubungan antara faktor-faktor lingkungan dengan kejadian stunting di
kelurahan Kedaung Wetan, Kedaung Baru dan Selapajang Jaya Kota Tangerang
Februari 2022.
1.4.4 Terdapat hubungan antara faktor – faktor sosial dengan kejadian stunting di
kelurahan Kedaung Wetan, Kedaung Baru dan Selapajang Jaya Kota Tangerang
Februari 2022.
3
stunting di kelurahan Kedaung Wetan, Kedaung Baru dan Selapajang Jaya Kota
Tangerang Februari 2022.
1.5.2.3 Mengetahui hubungan antara faktor – faktor post konsepsi (Berat badan lahir, ASI
Eksklusif, riwayat infeksi, asupan gizi dan inisiasi menyusui dini) terhadap angka
kejadian stunting di kelurahan Kedaung Wetan, Kedaung Baru dan Selapajang
Jaya Kota Tangerang Februari 2022.
1.5.2.4 Mengetahui hubungan antara faktor-faktor lingkungan (Paparan rokok pada ibu
hamil dan kebersihan lingkungan) terhadap angka kejadian stunting di kelurahan
Kedaung Wetan, Kedaung Baru dan Selapajang Jaya Kota Tangerang Februari
2022.
1.5.2.5 Mengetahui hubungan antara faktor – faktor sosial (Pendapatan keluarga, jumlah
anak dibawah 5 tahun dalam keluarga dan tindak kekerasan dalam keluarga)
terhadap angka kejadian stunting di kelurahan Kedaung Wetan, Kedaung Baru
dan Selapajang Jaya Kota Tangerang Februari 2022.
1.5.2.6 Mengetahui faktor – faktor risiko yang paling berpengaruh dengan kejadian
stunting di kelurahan Kedaung Wetan, Kedaung Baru dan Selapajang Jaya Kota
Tangerang Februari 2022.
4
1.6.3 Manfaat bagi Masyarakat
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Stunting
2.1.1 Definisi Stunting
Stunting adalah kondisi panjang badan atau tinggi badan menurut umur yang
berada dibawah – 2 Z-score WHO. Anak-anak didefinisikan sebagai stunting jika tinggi
badan mereka untuk usia lebih dari dua standar deviasi di bawah median Standar
Pertumbuhan Anak WHO.1
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita (bayi di bawah lima tahun)
akibat dari kekurangan gizi kronis sehingga anak pendek untuk usianya. Kekurangan gizi
terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal setelah bayi lahir akan tetapi,
kondisi stunting baru nampak setelah bayi berusia 2 tahun. Balita pendek (stunted) dan
sangat pendek (severely stunted) adalah balita dengan panjang badan (PB/U) atau tinggi
badan (TB/U) menurut umurnya dibandingkan dengan standar baku WHO-MGRS
(Multicentre Growth Reference Study) tahun 2006. Sedangkan definisi stunting menurut
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) adalah anak balita dengan nilai z-score kurang dari
-2SD/standar deviasi (stunted) dan kurang dari – 3SD (severely stunted).6
6
Gambar 2.1. Jumlah total anak – anak terbuang di bawah 5 adalah 49,48 juta; ini menjadi 49 juta
ketika dibulatkan ke bilangan bulat terdekat dan 49,5 juta ketika dibulatkan ke kesepuluh terdekat. 7
Interaksi antara kurang gizi dan infeksi dapat berpotensi membuat siklus
mematikan yang dapat memperparah penyakit dan memperburuk status gizi. Gizi
buruk pada 1000 hari pertama kehidupan dari kehidupan seorang anak dapat juga
mengarah terhadap kejadian stunting. Kondisi ini dapat memengaruhi kemampuan
kognitif dan mengurangi performa di sekolah dan pekerjaan.7
7
Pada tahun 2018 tiga wilayah memiliki tingkat stunting yang sangat tinggi,
sekitar 1 dari 3 anak mengalami stunting. Di sisi lain, 4 wilayah memiliki tingkat
stunting yang rendah atau sangat rendah. Namun, perbedaan besar dalam wilayah
prevalensi rendah dapat ada. Di Amerika Latin dan Karibia, misalnya, meskipun
tingkat keseluruhan rendah, beberapa negara individu menghadapi tingkat stunting
yang sangat tinggi, dan dalam beberapa kasus sangat tinggi. Kekurangan gizi kronis
di Amerika Latin dan Karibia dapat sangat bervariasi di antara negara-negara
tetangga. Di satu negara yang terkena dampak kurang dari 1 banding 8, sementara
hampir 1 dari 2 rekan mereka di negara sebelah berada pada posisi yang kurang
menguntungkan karena fisik dan kognitif yang ireversibel. kerusakan yang bisa
menyertai pertumbuhan terhambat.7
Gambar 2.2. Presentasi anak – anak di bawah 5 tahun yang mengalami stunting berdasarkan negara
pada tahun 2018.7
Pada tahun 2018 sebanyak 21,9 persen atau hanya di bawah satu dari empat anak
di bawah 5 tahun di seluruh dunia telah mengalami stunting. Antara tahun 2000 dan
2018, prevalensi stunting secara global menurun dari 32,5 persen menjadi 21,9 persen.
Jumlah anak-anak yang terkena dampak turun dari 198,2 juta menjadi 149,0 juta. Pada
8
tahun 2018, hampir dua dari lima anak stunting berada di Asia Selatan sementara dua dari
lima anak lainnya berada di Afrika sub-Sahara.7
Kejadian balita stunting (pendek) merupakan masalah gizi utama yang dihadapi
Indonesia. Berdasarkan data Pemantauan Status Gizi (PSG) selama tiga tahun terakhir,
stunting memiliki prevalensi tertinggi dibandingkan dengan masalah gizi lainnya seperti
gizi kurang, kurus, dan gemuk. Prevalensi balita pendek mengalami peningkatan dari
tahun 2016 yaitu 27,5% menjadi 29,6% pada tahun 2017.6
Prevalensi balita pendek di Indonesia cenderung statis. Hasil Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2007 menunjukkan prevalensi balita pendek di Indonesia sebesar
36,8%. Pada tahun 2010, terjadi sedikit penurunan menjadi 35,6%. Namun prevalensi
balita pendek kembali meningkat pada tahun 2013 yaitu menjadi 37,2%. Prevalensi balita
pendek selanjutnya akan diperoleh dari hasil Riskesdas tahun 2018 yang juga menjadi
ukuran keberhasilan program yang sudah diupayakan oleh pemerintah.6
9
Gambar 2.4. Prevalensi Balita Pendek di Indonesia Tahun 2007-2013.6
Prevalensi balita sangat pendek dan pendek usia 0-59 bulan di Indonesia tahun
2017 adalah 9,8% dan 19,8%. Kondisi ini meningkat dari tahun sebelumnya yaitu
prevalensi balita sangat pendek sebesar 8,5% dan balita pendek sebesar 19%. Provinsi
dengan prevalensi tertinggi balita sangat pendek dan pendek pada usia 0-59 bulan tahun
2017 adalah Nusa Tenggara Timur, sedangkan provinsi dengan prevalensi terendah
adalah Bali.6
10
Gambar 2.6. Peta Prevalensi Balita Pendek di Indonesia Tahun 2017.6
Menurut Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 menyatakan bahwa sekitar 37%
(hampir 9 Juta) anak balita mengalami stunting di Indonesia.3 Indonesia adalah negara
dengan prevalensi stunting kelima terbesar di seluruh dunia. Balita/Baduta yang
mengalami stunting akan memiliki tingkat kecerdasan tidak maksimal. Hal ini
menjadikan anak lebih rentan terhadap penyakit dan di masa depan dapat mengakibatkan
menurunnya tingkat produktivitas. Pada akhirnya secara luas stunting akan dapat
menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan dan memperlebar
kesenjangan.6
Pengalaman dan bukti Internasional menunjukkan bahwa stunting dapat
menghambat pertumbuhan ekonomi dan menurunkan produktivitas pasar kerja, sehingga
mengakibatkan hilangnya 11% GDP (Gross Domestic Products) serta mengurangi
pendapatan pekerja dewasa hingga 20%. Selain itu, stunting juga dapat berkontribusi
pada melebarnya kesenjangan/inequality, sehingga mengurangi 10% dari total
pendapatan seumur hidup dan juga menyebabkan kemiskinan antar-generasi.6
2.1.3 Etiologi Stunting
Stunting disebabkan oleh faktor multi dimensi dan tidak hanya disebabkan oleh
faktor gizi buruk yang dialami oleh ibu hamil maupun anak balita. Intervensi yang paling
menentukan untuk dapat mengurangi pervalensi adalah pada 1.000 Hari Pertama
Kehidupan (HPK) dari anak balita. Beberapa faktor yang menjadi penyebab stunting
adalah sebagai berikut:8
a. Praktek pengasuhan yang kurang baik
11
Kurangnya pengetahuan ibu mengenai kesehatan dan gizi sebelum dan pada masa
kehamilan dan setelah ibu melahirkan. Beberapa fakta dan informasi yang ada menunjukkan
bahwa 60% dari anak usia 0-6 bulan tidak mendapatkan Air Susu Ibu (ASI) secara ekslusif dan 2
dari 3 anak usia 0-24 bulan tidak menerima Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) yang
mulai diperkenalkan ketika balita berusia diatas 6 bulan. Selain berfungsi untuk mengenalkan jenis
makanan baru pada bayi, MPASI juga dapat mencukupi kebutuhan nutrisi tubuh bayi yang tidak
lagi dapat disokong oleh ASI, serta membentuk daya tahan tubuh dan perkembangan sistem
imunologis anak terhadap makanan maupun minuman.
b. Pelayanan Kesehatan yang Terbatas
Masih terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan ANC-Ante Natal Care (pelayanan
kesehatan untuk ibu selama masa kehamilan) Post Natal Care dan pembelajaran dini yang
berkualitas. Informasi yang dikumpulkan dari publikasi Kemenkes dan Bank Dunia menyatakan
bahwa tingkat kehadiran anak di Posyandu semakin menurun dari 79% pada tahun 2007 menjadi
64% pada tahun 2013 dan anak belum mendapat akses yang memadai ke layanan imunisasi.
Fakta lain adalah 2 dari 3 ibu hamil belum mengkonsumsi sumplemen zat besi yang memadai
serta masih terbatasnya akses ke layanan pembelajaran dini yang berkualitas (baru 1 dari 3 anak
usia 3-6 tahun belum terdaftar di layanan PAUD/Pendidikan Anak Usia Dini).
Hal ini dikarenakan harga makanan bergizi di Indonesia masih tergolong mahal. Menurut
beberapa sumber (RISKESDAS 2013, SDKI 2012, SUSENAS), komoditas makanan di Jakarta
94% lebih mahal dibanding dengan di New Delhi, India. Harga buah dan sayuran di Indonesia
lebih mahal daripada di Singapura. Terbatasnya akses ke makanan bergizi di Indonesia juga
dicatat telah berkontribusi pada 1 dari 3 ibu hamil yang mengalami anemia.
d. Kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi
Data yang diperoleh di lapangan menunjukkan bahwa 1 dari 5 rumah tangga di Indonesia
masih buang air besar (BAB) diruang terbuka, serta 1 dari 3 rumah tangga belum memiliki akses
ke air minum bersih.
12
Gambar 2.7. Sindrom Stunting.9
Pada gambar 2.7 Jalur hijau menunjukkan periode antara konsepsi sampai 2 tahun
('1000 HPK) ketika stunting dan kemungkinan patologi yang dapat responsif terhadap
pencegahan dan intervensi. Jalur kuning menunjukkan periode antara usia 2 tahun dan
pertengahan masa kanak-kanak dan pertumbuhan remaja ketika beberapa catch-up dalam
pertumbuhan linier dapat terjadi namun dapat efek selama periode ini pada komponen
13
lain dari sindrom stunting (misalnya fungsi kognitif dan kekebalan) kurang jelas. Jalur
kuning pendek sebelum konsepsi mencerminkan bukti bahwa intervensi diet yang
menargetkan wanita pendek selama periode pra-konsepsi meningkatkan hasil kelahiran.
Jalur merah menunjukkan periode ketika sindrom stunting muncul tidak responsif
terhadap intervensi. Kotak biru mencantumkan faktor-faktor penyebab spesifik usia.
Kotak putih menggambarkan hasil umum berdasarkan usia spesifik. Antara 2 tahun dan
dewasa, jalur berbeda dengan: garis putus-putus, seorang anak stunting yang
lingkungannya menjadi lebih makmur dengan akses makanan yang melimpah
menyebabkan kenaikan berat badan yang berlebihan. Garis tidak terputus menunjukan
seorang anak stunting yang lingkungannya tetap terbatas sumber daya / rawan pangan.9
Gambar 2.7 menunjukkan bahwa stunting merupakan suatu sindrom yang bersifat
multifaktorial. Penyebab dari stunting bisa sejak ibu masih dalam masa pubertas. Telaah
tersebut juga menunjukkan terdapat empat fase pertumbuhan yang saling terkait selama
masa hidup: janin, bayi, masa kanak-kanak dan pubertas, masing-masing diatur oleh
mekanisme pengaturan yang berbeda. Sebuah studi tentang anak-anak yang sehat yang
sering diukur selama 21 bulan pertama kehidupan menunjukkan bahwa pertumbuhan
adalah fenomena episodik, dengan periode stasis yang lama (antara 2 dan 63 hari)
diselingi oleh fase pendek dari pengasaman (tumbuhnya pertumbuhan), sehingga ada
tidak ada pertumbuhan selama 90-95% dari bayi sehat. Faktor lingkungan seperti status
gizi ibu, praktik pemberian makan, kebersihan dan sanitasi, frekuensi infeksi dan akses
ke perawatan kesehatan merupakan penentu utama pertumbuhan dalam 2 tahun pertama
kehidupan.9
Menilai status gizi anak dapat menggunakan tinggi badan dan umur yang
dikonversikan ke dalam Z-Score (ambang batas). Menurut keputusan menteri kesehatan
Republik Indonesia nomor 1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang standar antropometri
penilaian status gizi anak. Berdasarkan nilai Z-Score masing-masing indikator tersebut
ditentukan status gizi balita sebagai berikut:10
14
Indikator Status Gizi Z-Score
TB/U Sangat Pendek < -3,0 SD
Atau Pendek -3,0 SD s/d < -2,0 SD
Normal -2,0 SD s/d -2,0 SD
PB/U
Tinggi >2,0 SD
Anak
umur 0 –
60 bulan
15
dapat memperburuk kesehatan serta pertumbuhannya akan terhambat dan dapat berlanjut
hingga dia dewasa.15,16,17
Diketahui bahwa anak yang lahir dengan berat badan rendah atau ukuran tubuh
yang sangat kecil dapat mengidap stunting. Anak yang lahir dengan BB rendah
merupakan bukti bahwa sang ibu kurang mendapatkan nutrisi selama masa kehamilan,
apabila setelah lahir dan bayi tidak mendapatkan nutrisi yang cukup maka ia akan terus
mengalami penurunan berat badan. Turunnya berat badan ini juga dapat berakibat
terhambatnya pertumbuhan bayi, dalam hal ini bayi akan mengalami stunting. 18,19,20
Namun, hal ini dapat dicegah. Bila setelah lahir bayi diberi asupan gizi yang cukup dan
baik, ia bisa mengejar ketertinggalan pertumbuhannya.
16
Z-Score Length/height for Weight for age BMI for age
(percentile) age
>3 (99) May be abnormal May be abnormal Overweight
(Use BMI)
Mengacu pada grafik yang dikeluarkan oleh WHO, seseorang dinyatakan stunting
berdasarkan pengukuran menggunakan indeks pengukuran panjang badan dibanding
umur (PB/U) atau atau tinggi badan dibanding umur (TB/U) terhadap ambang batas (z-
score), yang dinilai dengan standard deviasi (SD) atau persentil, dimana SD kurang dari
-2SD atau dibawah persentil 3, dan dikategorikan sangat pendek (severe stunting) jika
nilai z-scorenya kurang dari -3SD.21
Gambar 2.8 Z-score terhadap usia dan tinggi pada anak laki-laki, menurut standar WHO
17
Gambar 2.9 Z-score terhadap usia dan tinggi pada anak perempuan, menurut standar
WHO
Dampak yang ditimbulkan stunting dapat dibagi menjadi dampak jangka pendek
dan jangka panjang.6
a. Dampak Jangka Pendek.
Peningkatan kejadian kesakitan dan kematian.
Perkembangan kognitif, motorik, dan verbal pada anak tidak optimal.
Peningkatan biaya kesehatan.
b. Dampak Jangka Panjang.
Postur tubuh yang tidak optimal saat dewasa (lebih pendek
dibandingkan pada umumnya).
Meningkatnya risiko obesitas dan penyakit lainnya.
Menurunnya kesehatan reproduksi.
Kapasitas belajar dan performa yang kurang optimal saat masa
sekolah.
Produktivitas dan kapasitas kerja yang tidak optimal.
18
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39 Tahun 2016 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga, upaya yang
dilakukan untuk menurunkan prevalensi stunting di antaranya sebagai berikut:22
1. Ibu Hamil dan Bersalin
a. Intervensi pada 1.000 hari pertama kehidupan.
b. Mengupayakan jaminan mutu Ante Natal Care (ANC) terpadu.
c. Meningkatkan persalinan di fasilitas kesehatan.
d. Menyelenggarakan program pemberian makanan tinggi kalori, protein,
dan mikronutrien.
e. Deteksi dini penyakit (menular dan tidak menular).
f. Pemberantasan kecacingan.
g. Meningkatkan transformasi Kartu Menuju Sehat (KMS) ke dalam Buku
KIA.
h. Menyelenggarakan konseling Inisiasi Menyusu Dini (IMD) dan ASI
eksklusif.
i. Penyuluhan dan pelayanan KB.
2. Balita
a. Pemantauan pertumbuhan balita.
b. Menyelenggarakan kegiatan Pemberian Makanan Tambahan (PMT)
untuk balita.
c. Menyelenggarakan stimulasi dini perkembangan anak.
d. Memberikan pelayanan kesehatan yang optimal.
3. Anak Usia Sekolah
a. Melakukan revitalisasi Usaha Kesehatan Sekolah (UKS).
b. Menguatkan kelembagaan Tim Pembina UKS.
c. Menyelenggarakan Program Gizi Anak Sekolah (PROGAS).
d. Memberlakukan sekolah sebagai kawasan bebas rokok dan narkoba.
4. Remaja
a. Meningkatkan penyuluhan untuk perilaku hidup bersih dan sehat
(PHBS), pola gizi seimbang, tidak merokok dan mengonsumsi narkoba.
b. Pendidikan kesehatan reproduksi.
19
5. Dewasa Muda
a. Penyuluhan dan pelayanan keluarga berencana (KB).
b. Deteksi dini penyakit (menular dan tidak menular).
c. Meningkatkan penyuluhan untuk PHBS, pola gizi seimbang, tidak
merokok dan mengonsumsi narkoba.
Penelitian yang dilakukan oleh Khin Mar Win pada tahun 2013 dengan judul
“Early Pregnancy and Maternal Malnutrition as Precursors of Stunting in Children
under Two Years of Age among Bhutanese Refugees, in Nepal Maternal Precursors in
Stunting” menunjukkan bahwa usia ibu saat hamil turut menjadi faktor risiko kejadian
stunting dengan crude ratio 7.64 (95% CI =2.22-26.24) untuk usia 14-16 tahun dan crude
ratio 2.06 (95%CI = 1.00-4.23) untuk usia 17-19 tahun. Ibu dengan usia muda lebih
memungkinkan untuk memiliki anak stunting. Kehamilan pada remaja memiliki risiko
yang lebih tinggi dibandingkan dengan wanita dewasa yang sehat. Ibu dengan usia muda
lebih memungkinkan melahirkan bayi prematur atau memiliki bayi dengan berat badan
lahir rendah dibandingkan wanita dewasa dengan status gizi yang sama.23
Penelitian lain yang dilakukan oleh Christopher R pada tahun 2014 dengan judul
“Up Access to Family Planning May Improve Linear Growth and Child Development in
Low- and Middle-Income Countries” menyatakan bahwa usia ibu dibawah 18 tahun pada
saat hamil berhubungan dengan kejadian stunting (p value <0.001) terutama untuk anak
pertama dengan relative risk 1.35 (95% CI 1.29-1.40).24
Penelitian yang dilakukan oleh Santos et al pada Tahun 2009 dengan judul Late
preterm birth is a risk factor for growth faltering in early childhood: a cohort study
menunjukkan bahwa usia kehamilan memiliki pengaruh terhadap terjadinya stunting pada
anak dimana anak yang lahir sebelum cukup usia kehamilan ( dibawah 37 minggu)
20
memiliki risiko stuning 3 kali lebih besar dibandingkan dengan anak yang lahir dengan
cukup usia kehamilan ( lebih dari 37 minggu) (p value <0.01; OR:3,98 CI 95%
1,91;8.27).25
Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Santos et al, Penelitian Christian et
al pada 2013 yang berjudul Risk of childhood undernutrition related to small-for-
gestational age and preterm birth in low- and middle-income countries juga
menunjukkan bahwa usia kehamilan memiliki pengaruh terhadap terjadinya stunting
pada anak, dimana anak yang lahir sebelum cukup usia kehamilan (< 37 minggu)
memiliki risiko terkena stunting dibandingkan dengan anak yang lahir sesuai dengan
usia kehamilan.26
Kelahiran premature masih menjadi masalah kesehatan yang dapat menyebabkan
mortilitas dan morbiditas bukan hanya di Indonesia, namun di seluruh dunia. 27
Berdasarkan penilitian yang telah dilakukan oleh Pierre et al, menunjukkan bahwa
tingkat kehidupan atau survival dari bayi yang lahir pada usia kehamilan < 25 minggu
sangatlah kurang. Sedangkan sebaliknya, bayi yang lahir pada usia kehamilan lebih dari
25 hingga 31 minggu memiliki kemungkinan lebih besar untuk bertahan hidup. 28 Hal ini
menunjukkan bahwa semakin kurang minggu kelahiran, semakin kurang juga
kemungkinan bayi dapat bertahan hidup.29
Meskipun begitu, bayi lahir prematur yang berhasil bertahan hidup tetap memiliki
resiko jangka pendek maupun jangka panjang morbiditas.30 Oleh karena itu, bayi tetap
harus dipantau kesehatan dan tumbuh kembangnya selama berada dirumah sakit. Bayi
lahir prematur tidak dapat diukur pertumbuhannya dengan kurva yang biasa saja, untuk
kelompok bayi ini menggunakan kurva INTERGROWTH-21. Kurva ini digunakan
sebagai standar untuk pengukuran saat lahir dan setelah keluar dari Rumah Sakit, barulah
saat bayi memasuki usia prasekolah dapat digunakan standar pertumbuhan anak
WHO.31,32,33
21
itu juga dapat mengganggu berbagai jenis enzim pencernaan, yang akhirnya membuat
makanan yang dikonsumsi akan sulit untuk di cerna sehingga mengakibatkan adanya
gangguan pada penyerapan gizi yang dapat memperburuk gizi balita. Jika sudah seperti
ini maka biasanya balita akan menjadi tidak nafsu makan, yang berarti asupan
proteinnya-pun akan berkurang dan akan berdampak pada pertumbuhan balita. Jadi status
imunisasi juga bisa mempertinggi prevalensi stunting.
2.3.2 Hubungan Faktor Risiko Berat Badan Lahir dengan Kejadian Stunting
Hasil dari penelitian Manoho di Deli Serdang tahun 2005 diketahui bahwa
praktek pemberian ASI berhubungan dengan pertumbuhan anak.37 Kebanyakan bayi baru
lahir tidak diberikan ASI dan digantikan dengan susu formula, dengan pemikiran bahwa
22
ASI pertama merupakan pengeluaran pertama yang kotor. Selain itu, bila pengeluaran
ASI sedikit ibu akan menggantikkannya dengan susu formula, padahal pemberian susu
formula ini belum tentu dapat dicerna dengan baik oleh bayi, apalagi bila pemberian susu
formula ini tidak sesuai dengan takaran serta tidak menjaga kebersihan botol susu. Maka
hal ini dapat menyebabkan bayi mengalami diare dan mengganggu pertumbuhan dari
bayi. Pemberian ASI yang baik oleh ibu akan membantu menjaga keseimbangan gizi
anak sehingga tercapai pertumbuhan anak yang normal. ASI sangat dibutuhkan dalam
masa pertumbuhan bayi agar kebutuhan gizinya tercukupi. Rendahnya pemberian ASI
merupakan salah satu pemicu terjadinya kejadian stunting, yang mana dapat berpengaruh
pada masa depan anak. Untuk memenuhi kebutuhan gizi, ibu wajib untuk memberikan
ASI secara eksklusif kepada bayi sampai bayi berumur 6 bulan dan dilanjutkan hingga
usia 2 tahun.37
2.3.3 Hubungan Faktor Risiko Inisiasi Menyusui Dini dengan Kejadian Stunting
Inisiasi Menyusu Dini, Pemberian ASI Eksklusif, Durasi Menyusui, dan Pemberian
vitamin A dikaitkan dengan pencegahan stunting pada anak balita dibawah 5 tahun.
Penelitian sebelumnya menunjukkan hubungan pemberian ASI eksklusif dengan kejadian
stunting dan hubungan antara suplementasi dengan pemberian ASI selama empat bulan
pertama (p=0,04) dengan stunting pada anak.38,39,40 Menurut Muldiasman dkk,
menunjukkan bahwa anak yang tidak mendapatkan Inisiasi Menyusu Dini (IMD) adalah
1,3 kali lebih mungkin mengalami stunting dibandingkan mereka yang diberi ASI dini.
Hasil ini menggambarkan IMD sebagai bentuk asuhan ibu dan pemberian ASI yang
terbaik. Nutrisi sejak dini dapat mengurangi risiko stunting. 41 Inisiasi menyusui dini
adalah salah satu pintu masuk keberhasilan menyusui di kemudian hari dan memastikan
anak menerima asupan nutrisi yang tepat. Bayi dengan IMD kemungkinan untuk sakit
sangat kecil karena jumlah asupan yang masuk cukup, sehingga lebih tahan terhadap
infeksi.42,43
Inisiasi menyusui dini terjadi secara alami, di mana anak setelah lahir langsung
diletakkan di dada ibu untuk memulai pencarian puting susu ibu untuk menyusui dalam
satu jam pertama kelahiran. Inisiasi menyusu dini memang mudah, membutuhkan waktu
yang singkat dan berdampak jangka panjang bagi anak. Kesempatan ini bisa tercapai jika
23
ibu bayi baru lahir menyadari manfaat dan prosesnya sejak dini menyusui. Upaya
promosi untuk mendidik ibu dan keluarga harus dilakukan sebelum lahir. Inisiasi
menyusu dini memastikan bayi mendapat kolostrum yang meningkatkan kekebalan anak
terhadap infeksi dan selanjutnya, ASI eksklusif akan menjaga anak-anak jauh dari sumber
air yang terkontaminasi setidaknya selama 6 bulan pertama.41
Perbedaan jenis kelamin dalam status tinggi anak prasekolah telah dilaporkan
dibanyak negara berpenghasilan rendah. Anak perempuan cenderung memiliki angka
yang lebih tinggi diatas rata-rata skor Z. Menurut Kirsten Bork dkk, perbedaan jenis
kelamin ini dimulai pada masa bayi, dimana untuk anak laki-laki, orang tua cenderung
memberikan MPASI lebih dini dan lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan
MPASI untuk anak perempuan. Sebuah studi sebelumnya menunjukkan tidak ada terkait
jenis kelamin dan nafsu makan saat pengenalan MPASI, tetapi tidak ada penyelidikan
etnografi yang dilakukan.44
Anak perempuan memiliki status tinggi badan yang lebih baik daripada anak
laki-laki, terutama menurut standar pertumbuhan WHO. Dengan demikian, pertumbuhan
anak laki-laki mungkin kurang stabil jika dibandingkan dengan anak perempuan karena
mereka lebih sering diberi makan MPASI pada usia yang sangat muda dan/atau mungkin
berisiko lebih besar untuk pengenalan MPASI yang sangat dini karena status gizi yang
lebih rendah. Anak laki-laki cenderung tidak mengejar ketertinggalan dengan anak
perempuan dalam pertumbuhan. Sebaliknya, perbedaan jenis kelamin dalam status tinggi
badan lebih besar pada tahun kedua dan ketiga kehidupan dibandingkan pada masa bayi.
Hal ini harus harus lebih diperhatikan dalam pemberian makan bayi dan anak kecil dan
perbedaan jenis kelamin berdasarkan usia dalam status gizi di negara-negara
berpenghasilan rendah.
2.3.5. Hubungan Faktor Risiko Riwayat Infeksi Berulang dengan Kejadian Stunting
24
Penelitian yang dialakuakan oleh berhe et al pada tahun 2019 menunjukkan bahwa
diare berulang memiliki pengaruh terhadap kejadian stunting pada anak. ( p value
<0.01 ; OR 5,3 CI 95%: 2.3-19,1). 45 Penelitian ini menggambarkan bahwa riwayat
infeksi pada anak terutama infeksi diare dan pneumonia memperbesar risiko seorang
anak mengalami stunting.
Penelitian berhe et al ini di dukung oleh penelitian Sartika et al di Indonesia pada
tahun 2021 yang berjudul menunjukkan bahwa anak-anak dengan riwayat diare berulang
lebih beresiko terkena stunting dibanding dengan anak-anak yang tidak mengalami diare
berulang. (P value <0.001; OR 2,79 CI95% 0.99-7.90).46
25
Penelitian oleh Bove I et al pada tahun 2014 yang berjudul Smoking during
Pregnancy: A Risk Factor for Stunting and Anemia in Infancy menunjukkan bahwa anak
yang terpapar asap rokok memiliki risiko lebih besar terkena stunting dibandingkan
dengan anak yang tidak terpapar asap rokok (p value: 0.002; OR :1.5 95%CI 1.1-2.1).49
Penelitian yang dilakukan oleh Soesanti et al pada Tahun 2019 yang berjudul
Antenatal exposure to second hand smoke of non-smoking mothers and growth rate of
their infants menunjukkan anak yang terpapar rokok lebih dari 10 batang rokok sehari
akan memiliki risiko stunting lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang tidak terpapar
rokok (pValue= 0,03).50
2.5 Hubungan Faktor Risiko Sosial dengan Kejadian Stunting
2.5.1 Hubungan Faktor Risiko Kehamilan yang Tidak Diinginkan
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Upadhyay et al ditemukan bahwa kehamilan
yang tidak diinginkan memiliki hubungan dengan kejadian stunting di India. Data
diambil dari anak-anak usia 5-21 bulan, dengan P-value < 0,05. Dimana proporsi dari
anak yang menderita stunting lebih besar ditemukan pada ibu dengan kehamilan yang
tidak diinginkan (40%), dibandingkan pada ibu dengan kehamilan yang diinginkan
(26%).51
Hasil yang sama juga ditemukan pada penelitian yang dilakukan oleh Baschieri et
al, dimana data diambil atau dikumpulkan dari anak usia 1-2 tahun dengan P-value <
0,05. Dan sebagai hasil ditemukan bahwa sebesar 24% dari anak yang lahir dari
kehamilan yang tidak diinginkan mengalami stunting. Dan ini lebih besar bila
dibandingkan dengan kelahiran salah waktu (18%) dan kehamilan yang diinginkan (17%)
serta 19% untuk yang status keinginannya tidak terhitung.52
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ty Beal, dkk, pada tahun 2017 dengan
judul "Tinjauan determinan stunting anak di Indonesia" menunjukkan bahwa tingkat
pendidikan ibu dan ayah berpengaruh terhadap terjadinya kejadian Stunting di Indoneisa.
Tingkat pendidikan yang lebih tinggi dikaitkan dengan skor Z tinggi untuk usia yang
lebih tinggi. Di Indonesia, peningkatan pendidikan ibu dikaitkan dengan penurunan yang
26
lebih besar dalam kemungkinan stunting daripada pendidikan ayah. Ibu umumnya
menjadi pengasuh utama untuk anak-anak dan menjadi contoh dalam perilaku anak-anak,
dan tingkat pendidikan mungkin diharapkan memiliki efek yang lebih kuat dibanding
efek edukasi ayah terhadap kejadian stunting. Tingkat pendidikan ayah biasanya
berhubungan dengan pendapatan rumah tangga, karena ayah yang lebih berpendidikan
biasanya menghasilkan lebih banyak uang dan menikahi wanita dengan tingkat
pendidikan yang sebanding (p <0·0001).53
Data dari Indonesia menunjukkan bahwa tingkat pendidikan ibu dan ayah yang
lebih tinggi sangat terkait dengan perilaku pengasuhan anak yang protektif seperti
penggunaan jamban tertutup, penerimaan imunisasi anak, penerimaan kapsul vitamin A,
penggunaan garam beryodium, dan penggunaan fasilitas kesehatan setempat. Meskipun
pendidikan orang tua yang lebih tinggi dan perilaku pengasuhan anak yang lebih baik
dapat mengarah pada peningkatan kesehatan anak, perilaku yang dinilai di sini mungkin
bukan faktor dengan efek terbesar pada kejadian stunting pada anak. Hubungan antara
pendidikan dan kejadian stunting juga didukung oleh hasil studi lain.
Menurut Kidanemaryam Berhe dkk, rumah tangga yang memiliki dua atau
lebih dari dua anak di bawah 5 tahun lebih tinggi prevalensinya dibandingkan kelompok
kontrol (AOR = 2.9; 95% CI: 1.4, 6.4). 45 Temuan ini serupa dengan penelitian yang
dilakukan di distrik Meskan (Zona Gurage, Ethiopia) yang menemukan bahwa peserta
yang tinggal di rumah tangga dengan jumlah balita yang banyak lebih tinggi
kemungkinannya mengalami stunting daripada mereka yang tinggal di rumah tangga
dengan jumlah balita paling sedikit (satu ) jumlah balita. Ibu yang memiliki banyak anak
balita akan memiliki lebih sedikit waktu untuk merawat setiap anak dibandingkan ibu
yang memiliki satu anak. Selain itu, mungkin ada lebih banyak kompetisi dan berbagi
makanan yang tersedia.
Ditemukan bahwa skor keragaman diet atau Dietary Diversity Score (DDS)
kurang dari 4 secara statistik signifikan terhadap kasus stunting anak (AOR = 3,2; 95%
CI: 1,9, 16,4). Temuan ini sejalan dengan temuan penelitian di Ethiopia. Makanan
pendamping ASI yang tidak memadai dan kurangnya nutrisi penting selain asupan kalori
27
murni merupakan salah satu penyebab terhambatnya pertumbuhan. Anak perlu diberikan
makanan yang memenuhi syarat minimal (empat syarat) dalam hal keragaman makanan
untuk mencegah terjadinya gizi kurang.
Penelitian Dekker et al pada 2010 yang berjudul Stunting associated with poor
socioeconomic and maternal nutrition status and respiratory morbidity in Colombian
schoolchildren menunjukkan bahwa riwayat paritas ibu memiliki pengaruh terhadap
kejadian stunting. Penelitian ini menyimpulkan bahwa semakin banyak kelahiran hidup
dalam satu keluarga, maka angka kejadian stunting akan semakin tinggi (p value <0.001;
OR 2.01; CI95% 1.11-3,64).54
Penelitian oleh Taufiqoh et al pada 2017 yang berjudul Maternal parity and
exclusive breastfeeding history are significantly associated with stunting in children aged
12-59 months juaga mendukung penelitian dekker et al yang menunjukkan bahwa jumlah
kelahiran memiliki pengaruh terhadap kejadian stunting dimana seorang ibu yang
melahirkan anak hidup lebih dari 1 kali memiliki risiko terkena stunting 3 kali lebih besar
dibandingkan dengan ibu yang melahirkan anak hidup 1 kali (p value : 0.02 ; OR 3,941
CI95% 1.717-9.047).55
2.5.4. Hubungan Faktor Risiko Kekerasan dalam Rumah Tangga dengan Kejadian
Stunting
Faktor risiko ibu terhadap kejadian stunting lainnya adalah hubungan antara
tingginya tingkat kekerasan pasangan terhadap perempuan dengan hasil gizi yang buruk
pada anak-anak. Kesehatan fisik dan mental yang buruk dari ibu yang selamat dari
kekerasan rumah tangga dapat mempengaruhi pengasuhan anak dalam banyak aspek.
Menurut Sushmita Das dkk, paparan ibu terhadap kekerasan fisik secara substansial
meningkatkan risiko anak stunting. Hasil penelitian menekankan pentingnya status
perempuan dan kekuatan pengambilan keputusan di perkotaan India, bersama dengan
akses dan pemanfaatan keluarga berencana dan layanan untuk memberikan dukungan
bagi para penyintas kekerasan dalam rumah tangga. Pada akhirnya, upaya multilateral
28
diperlukan untuk memastikan keberhasilan intervensi gizi khusus dengan berfokus pada
kesehatan yang mendasari dan status sosial perempuan yang tinggal di daerah kumuh
perkotaan.44
29
2.7 Kerangka Konsep
Usia ibu saat hamil
usia kehamilan
Tinggi ibu
Faktor Pra Konsepsi
Anemia dalam kehamilan
Pendidikan ibu
Jumlah Kehamilan
ASI eksklusif
Asupan Gizi
Jenis kelamin
Imunisasi dasar
Faktor Lingkungan
Kebersihan lingkungan
Pendapatan keluarga
Faktor Sosial
30
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
31
3.3 Populasi dan Sampel
3.3.1 Populasi
Populasi penelitian adalah semua balita di kelurahan Kedaung Wetan,
Kedaung Baru dan Selapajang Jaya Kota Tangerang Februari 2022.
3.3.2 Sampel
Sampel penelitian adalah semua balita terukur di kelurahan Kedaung
Wetan, Kedaung Baru dan Selapajang Jaya Kota Tangerang Februari 2022
dengan besar sampel sama dengan populasi (Total Sampling). Untuk
pengambilan sampel food re-call menggunakan rules of thumb, dengan
jumlah sampel 170 orang, berdasarkan 17 variabel independen yang dikalikan
dengan 10.
a. Buku KIA dari subjek penelitian tidak tertulis data yang lengkap
b. Orangtua dari subjek penelitian tidak dapat bersedia untuk terlibat dalam
penelitian.
32
diperoleh dari buku KIA balita stunting di kelurahan Kedaung Wetan, Kedaung
Baru dan Selapajang Jaya Kota Tangerang bulan Februari 2022. Pada bulan
Februari 2022 dilakukan pengukuran antropometri anak berdasarkan berat badan
dengan timbangan tidur dan timbangan berdiri merek OneMed. Untuk pengukuran
tinggi badan menggunakan microtoa. Data yang didapatkan, kemudian
dikumpulkan dan dimasukan kedalam data untuk disusun menurut variabel yang
akan diteliti.
33
Variabel independen pada penelitian ini adalah jenis kelamin, tinggi ibu, usia
kehamilan, tingkat pendidikan ibu, usia ibu saat hamil, kehamilan yang tidak
kekerasan dalam rumah tangga, jumlah anak dalam keluarga, sanitasi, paparan
rokok, imunisasi, riwayat diare, berat badan lahir, riwayat infeksi dan ASI
eksklusif.
34
dengan bayi berusia 6 bulan Kuesioner
tanpa diberikan makanan dan
minuman lain (kamus gizi)
Pemberian imunisasi awal Buku
untuk mencapai kadar Kesehatan Ibu
kekebalan diatas ambang dan Anak
Imunisasi perlindungan, meliputi (KIA) 1 = Imunisasi dasar tidak lengkap
dasar Hepatitis B, BCG, Polio, DPT, 0 = Imunisasi dasar lengkap
dan Campak (Kepmenkes No
1059 tentang pedoman
penyelenggaraan imunisasi)
35
kekerasan dalam rumah tangga selama Kuesioner
0 = Tidak
pada ibu hamil atau setelah melahirkan
36
c. Entry data yaitu kegiatan memasukkan data ke dalam program computer
untuk selanjutnya dapat dilakukan analisis data
d. Tabulating yaitu kegiatan memasukkan data ke dalam tabel-tabel dan
mengukur angka-angka yang diperoleh, sehingga dapat dihitung distribusi
dan persentasenya serta dapat dianalisis.
DAFTAR PUSTAKA
37
3. Departemen Kesehatan. 2013. Diakses pada 27 Agustus 2019.
http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas
%202013.pdf
4. Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan. 2017. 100
Kabupaten/Kota Prioritas untuk Intervensi Anak Kerdil (Stunting). Diakses pada
27 Agustus 2019.
http://www.tnp2k.go.id/images/uploads/downloads/Binder_Volume2.pdf
5. Indrawati, S. 2013. Stunting: The Face of Poverty.World Bank Blogs. Diakses
pada 27 Agustus 2019 https://blogs.worldbank.org/voices/stunting-face-poverty
6. Kementrian Kesehatan Indonesia. 2018. Buletin Stunting. Diakses pada 30
Agustus 2018 www.depkes.go.id/download/buletinstunting
7. UNICEF. 2019. Malnutrition in Children - UNICEF DATA. Diakses pada 27
Agustus 2019. https://data.unicef.org/topic/nutrition/malnutrition/
8. 100 kabupaten/kota prioritas untuk intervensi anak kerdil (stunting). 1st ed. DKI
Jakarta: Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan. 2017.
9. Prendergast, A. and Humphrey, J. The stunting syndrome in developing countries.
Paediatrics and International Child Health. 2014;34(4):250-265.
10. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor
1995/MENKES/SK/XII/2010
11. World Health Organization. 2006. WHO Child Growth Standards: Methods and
development. Diakses pada 27 Agustus 2019
https://www.who.int/childgrowth/standards/technical_report/en/
12. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED,
editor. Perawakan Pendek. Dalam: Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter
Anak Indonesia. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2009 243-9
13. World Health Organization. State of health inequality: Indonesia. WHO. 2017.
Hal.184
14. Caulfield LE, Richard SA, Rivera JA, et al. Stunting, Wasting, and Micronutrient
Deficiency Disorders. In: Jamison DT, Breman JG, Measham AR, et al., editors.
Disease Control Priorities in Developing Countries. 2nd edition. Washington
38
(DC): The International Bank for Reconstruction and Development / The World
Bank; 2006. Chapter 28 . Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK11761/ Co-published by Oxford
University Press, New York.
15. Raiten DJ, Bremer AA. Exploring the Nutritional Ecology of Stunting: New
Approaches to an Old Problem. Nutrients. 2020.
16. Aguayo VM, Menon P. Stop stunting: improving child feeding, women’s nutrition
and household sanitation in South Asia. Mathern Child Nutr. Vol. 12[1]. 2016.
DOI : 10.1111/mcn.12283.
17. Mzumara B, Bwembya P, Halwiindi H, Mugode R, Banda J. Factors associated
with stunting among children below five years of age in Zambia: evidence from
the 2014 Zambia demographic and health survey. BMC Nutr. 2018. Available in
https://doi.org/10.1186/s40795-018-0260-9.
18. Isanaka S, Hitchings MDT, Berthé F, Briend A, Grais FS. Linear growth faltering
and the role of weight attainment: Prospective analysis of young children
recovering from severe wasting in Niger. Mathern Child Nutr. 2019. Available in
https://doi.org/10.1111/mcn.12817 .
19. Akombi BJ, Agho KE, Hall JJ, Wali N, Renzaho AMN, Merom D. Stunting,
Wasting and Underweight in Sub-Saharan Africa: A Systematic Review. Int. J.
Environ. Res. Public Health. Vol. 14. 2017. doi:10.3390/ijerph14080863.
20. Li Z, Kim R, Vollmer S, Subramanian SV. Factors Associated With Child
Stunting, Wasting, and Underweight in 35 Low- and Middle-Income Countries.
JAMA network open. Vol. 3[4]. 2020.
21. WHO Stunted Growth and Development. Geneva. 2010
22. Permenkes. Pedoman Penyelenggaraan Program Indonesia Sehat dengan
Pendekatan Keluarga. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI. 2016.
23. Win KM, Putten M Van Der, Vajanapoom N, Amnatsatsue K. Early Pregnancy
and Maternal Malnutrition as Precursors of Stunting in Children under Two Years
of Age among Bhutanese Refugees, in Nepal Maternal Precursors in Stunting of
Children. Thammasat Int J Sci Technol. 2013;18(1):35–42.
24. Fink G, Sudfeld CR, Danaei G, Ezzati M, Fawzi WW. Scaling-up access to
family planning may improve linear growth and child development in low- and
middle-income countries. PLoS One. 2014;9(7):1–9.
39
25. Santos, I.S., Matijasevich, A., Domingues, M.R. et al. Late preterm birth is a risk
factor for growth faltering in early childhood: a cohort study. BMC Pediatr 9, 71
(2009). https://doi.org/10.1186/1471-2431-9-71
26. Christian P, Lee SE, Donahue Angel M, et al. Risk of childhood undernutrition
related to small-for-gestational age and preterm birth in low- and middle-income
countries. Int J Epidemiol. 2013;42(5):1340-1355.
27. Patel ML. Short and Long-Term Outcomes for Extremely Preterm Infants. Am J
Perinatol. 2016. Available on : https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/26799967/
28. Ancel PY, Goffinet F, the EPIGAGE-2 Writing Group. Survival and Morbidity of
Preterm Children. JAMA Pediatr. 2015.
29. Puspaningrum AO, Etika R, Ernawati. Prevalensi ketahanan hidup bayi prematur
pada ibu hamil dengan preeklampsia berat. Jurn Ilmiah Mahasiswa Kedokt Univ
Airlangga. Vol. 7[1]. 2015.
30. Chawanpaiboon S, Vogel JP, Moller AB, Lumbiganon P, Petzold M, Hogan D, et
al. Global, regional, and national estimates of levels of preterm birth. Lancet
Glob Health. 2019.
31. Silva LPd, Virella D, Fusch C. Nutritional Assessment in Preterm Infants.
Nutrients. 2019.
32. Silveira RC, Procianoy RS. Preterm newborn’s postnatal growth patterns. J
Pediatr. Vol. 95[1]. 2019.
33. Cerrato S, Savino F, Vannelli S, Sanctis LD, Giuliani F. Growth Assessment in
Preterm Children from Birth to Preschool Age. Nutrient. Vol. 12. 2020.
34. AL Rahmad A H, Miko Ampera, Hadi Abdul. Kajian Stunting Pada Anak Balita
Ditinjau Dari Pemberian ASI Eksklusif, MP-ASI, Status Imunisasi Dan
Karakteristik Keluarga Di Kota Banda Aceh. Jurnal Kesehatan Ilmiah Nasuwakes
Poltekkes Aceh. Vol. 6 [2]. 2013.
35. Supriyanto Y, Paramashanti B A, Astiti Dewi. Berat badan lahir rendah
berhubungan dengan kejadian stunting pada anak usia 6-23 bulan. Jurnal gizi dan
dietetic Indonesia. Vol. 5 [1]. 2017.
36. Nasution D, Nurtiadi D, Huriyati E. Berat badan lahir rendah (BBLR) dengan
kejadian stunting pada anak usia 6-24 bulan. Jurnal Gizi Klinik Indonesia. Vol. 11
[1]. 2014.
37. AL Rahmad A H, Miko Ampera, Hadi Abdul. Kajian Stunting Pada Anak Balita
Ditinjau Dari Pemberian ASI Eksklusif, MP-ASI, Status Imunisasi Dan
40
Karakteristik Keluarga Di Kota Banda Aceh. Jurnal Kesehatan Ilmiah Nasuwakes
Poltekkes Aceh. Vol. 6 [2]. 2013.
38. Dhatrak PP, Pitale S, Kasturwar NB, Nayse J, Relwani N. Revalence and
epidemiological determinants of malnutrition among under-fives in an urban
slum, Nagpur. National Journal of Community Medicine. 2013; 4(1): 91-5.
39. Fikadu T, Assegid S, Dube L. Factors associated with stunting among children of
age 24 to 59 months in Meskan district, Gurage Zone, South Ethiopia: a case-
control study. BMC Public Health. 2014 Aug; 14: 800. doi: 10.1186/1471-2458-
14-800.
40. Gordon NH, Halileh S. An analysis of cross sectional survey data of stunting
among Palestinian children less than five years of age. Matern Child Health J.
2013 Sep; 17(7): 1288-96. doi: 10.1007/ s10995-012-1126-4.
41. Muldiasman, Kusharisupeni, Laksminingsih E. Can early initiation to
breastfeeding prevent stunting in 6-59 months old children. JHR. Vol. 32[5].
2018.
42. World Health Organization [WHO]. Global Nutrition Targets 2025: Stunting
Policy Brief. WHO/NMH/NHD/143. Geneva: WHO; 2014.
43. Black RE, Allen LH, Bhutta ZA, Caulfield LE, de Onis M, Ezzati M, et al.
Maternal and child undernutrition: global and regional exposures and health
consequences. Lancet. 2008 Jan; 371 (9608): 243-60. doi: 10.1016/s0140-
6736(07)61690-0
44. Bork, K. and Diallo, A., 2017. Boys Are More Stunted than Girls from Early
Infancy to 3 Years of Age in Rural Senegal. The Journal of Nutrition, 147(5),
pp.940-947.
45. Berhe K, Seid O, Gebremariam Y, Berhe A, Etsay N. Risk factors of stunting
(chronic undernutrition) of children aged 6 to 24 months in Mekelle City, Tigray
Region, North Ethiopia: An unmatched case-control study. PLoS ONE
2019;14(6): e0217736
46. Sartika AN, Khoirunnisa M, Meiyetriani E, Ermayani E, Pramesthi IL, Nur
Ananda AJ. Prenatal and postnatal determinants of stunting at age 0-11 months:
A cross-sectional study in Indonesia. PLoS One. 2021;16(7):e0254662.
41
47. Danaei G, Andrews KG, Sudfeld CR, et al. Risk Factors for Childhood Stunting
in 137 Developing Countries: A Comparative Risk Assessment Analysis at
Global, Regional, and Country Levels. PLoS Med. 2016;13(11):e1002164.
48. Torlesse H, Cronin AA, Sebayang SK, Nandy R. Determinants of stunting in
Indonesian children: Evidence from a cross-sectional survey indicate a
prominent role for the water, sanitation and hygiene sector in stunting reduction.
BMC Public Health [Internet]. 2016;16(1):1–11. Available from:
http://dx.doi.org/10.1186/s12889-016-3339-8
49. Bove I et al. Smoking during Pregnancy: A Risk Factor for Stunting and Anemia
in Infancy. Int J Sch Cong Psychol 2014,1:3
50. Soesanti et al. Antenatal exposure to second hand smoke of non-smoking mothers
and growth rate of their infants. PLoS ONE 14(6): e0218577
51. Upadhyay Ashish K, Srivastava Swati. Effect of pregnancy intention, postnatal
depressive symptoms and social support on early childhood stunting: Findings
from India. BMC Pregnancy and Childbirth. Vol. 16 [1]. 2016.
52. Baschieri A, Machiyama K, Floyd S, Dube A, et al. Unintended Childbearing
and Child Growth in Northern Malawi. Maternal and Child Health Journal. Vol.
21 [3]. 2017.
53. Beal T, Tumilowicz A, Sutrisna A, Izwardy D, Neufeld LM. A review of child
stunting determinants in Indonesia. Matern Child Nutr. 2018;14(4):e12617.
54. Dekker et al. Stunting associated with poor socioeconomic and maternal nutrition
status and respiratory morbidity in Colombian schoolchildren. Food and
Nutrition Bulletin 2010; 31(2): 242-50
55. Taufiqoh et al. Maternal parity and exclusive breastfeeding history are
significantly associated with stunting in children aged 12-59 months. Majalah
Obstetri & Ginekologi 2017;25(2):66-70
56. Wicaksono et al. Kesmas: National Public Health Journal. 2020; 15 (1): 48-53
57. Budhatoki SS et al. Maternal and Child Health Journal (2020) 24 (Suppl 1): S39–
S47
42
58. Dahlan S. Analisis Multivariat Regresi Logistik. Edisi 2. Epidemiologi Indonesia.
2019
43
4. dr. Mathilda Abigail Irianti
5. dr. Abigail Serepina Magdalena Sir. Siagian
6. Gloria V.C. Semula
Pembimbing : dr. Tiona Simamora, Sp. A
dr. Conny Tanjung, Sp. A (K)
Instansi : Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia
Setelah dijelaskan tujuan dari penelitian, saya yang bertanda tangan dibawah ini
menyatakan diri setuju menjadi responden dalam penelitian dengan judul “Faktor-faktor
Risiko Terhadap Kejadian Stunting pada Balita di 3 Kelurahan Unit Pelayanan Terpadu
Nama :
Usia :
Demikian Persetujuan ini saya tanda tangani dengan sukarela tanpa adanya
( )
Lampiran 2. Kuesioner
Kuesioner Stunting
Nama : ………………………………….
Jenis kelamin : L / P
44
Tinggi anak : …………………….... Cm
Nomor Telp:
Nama Kader:
No Pertanyaan Jawaban
1 Berapakah usia ibu saat melahirkan? ≥18 tahun <18 tahun
2 Apa pendidikan terakhir ibu? SD SMP SMA S1
3 Berapakah usia kehamilan ibu? < 36 36 – 40 >40
…… mgg mgg mgg
45
hamil? perhari perhari
13 Apakah sumber air bersih yang digunakan PAM Non-PAM
untuk kegiatan sehari hari?
14 Berapa meter jarak sumber air bersih ≤ 15 meters >15 meter
dengan jamban?
15 Berapakah jarak sumber air bersih dari <500 meter ≥500 meter
rumah
16 Berapakah jumlah pendapatan keluarga ≥UMR <UMR
dalam 1 bulan?
17 Apakah dari kehamilan hingga sekarang ibu
sering bertengkar (fisik dan mental) dengan Ya Tidak
anggota keluarga?
Nama Pasien
Umur
Nomor RM
Tanggal
46
7 Gula
8 Susu
9 ASI
Total Asupan Sehari
RDA/DKGA
% Asupan dg RDA/DKGA
Petugas
47
Pengambilan sampel hingga penyelesaiian penelitian 2022
48
7 Biaya pencetakan laporan 3 Rp.50.000,00 Rp. 150.000,00
8. Biaya operasional 1 Rp.300.000,00 Rp.300.000,00
9. Biaya tidak terduga 1 Rp.200.000,00 Rp.200.000,00
TOTAL Rp.7.650.000,00
49