Anda di halaman 1dari 36

PROPOSAL PENELITIAN

PENGALAMAN ANAK USIA SEKOLAH KORBAN PASCA


BENCANA GEMPA TSUNAMI DENGAN PTSD DI
KABUPATEN DONGGALA SULAWESI TENGAH

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Riset Kualitatif


Dosen Pengampu: Ibu Yanny Trisyani, SKp, MN., PhD

Disusun Oleh : Peminatan Anak


Agri Azizah Amalia 220120180056
Annita Olo 220120180048
Femyta Eko Widiansari 220120180067
Indah Benita Tiwery 220120180062
Juni Purnamasari 220120180069
Meri Anggryni 220120180059

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2018

KATA PENGANTAR
Puji syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan
karunia-Nya, sehingga peneliti dapat menyelesaikan penyusunan proposal
penelitian ini, dengan judul “Pengalaman Anak Usia Sekolah Korban Pasca
Bencana Gempa Tsunami Dengan PTSD Di Kabupaten Donggala Sulawesi
Tengah”. Proposal penelitian ini merupakan salah satu syarat menyelesaikan mata
kuliah Riset Kualitatif.
Peneliti menyadari bahwa dalam penyusunan proposal penelitian ini tidak
lepas dari bimbingan, bantuan, dorongan serta doa dari berbagai pihak. Oleh
karena itu pada kesempatan ini peneliti menyampaikan ucapan terima kasih yang
setulusnya kepada yang terhormat:
1. Ibu Yanny Trisyani, SKp, MN., PhD sebagai koordinator mata kuliah riset
kualitatif yang telah membimbing dan memberikan arahan dalam penulisan
proposal ini.
2. Bapak /Ibu team pengajar mata kuliah riset kualitatif yang telah membimbing
dan memberikan arahan dalam penyusunan porposal penelitian ini.
3. Teman-teman Magister Keperawatan angkatan 2018 FK Unpad yang telah
memberikan bantuan, dukungan, dan motivasi dalam penyusunan proposal
penelitian ini.
Peneliti menyadari bahwa dalam penyusunan proposal penelitian ini masih
jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang
bersifat membangun selalu penulis harapkan demi kesempurnaan proposal
penelitian ini.
Akhir kata, penulis berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala
kebaikan semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyesaikan proposal
penelitian ini.
Bandung, Desember 2018

Peneliti

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................... ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................
iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang..........................................................................................


1
1.2 Pernyataan Masalah...................................................................................
4

1.3 Tujuan Penelitian.......................................................................................


5

1.4 Manfaat Penelitian.....................................................................................


5

1.4.1 Aspek Teoritis..................................................................................


5

1.4.2 Aspek Praktis...................................................................................


5

1.5 Pengertian Ilmiah.......................................................................................


5

1.5.1 Pengalaman......................................................................................
5

1.5.2 Anak................................................................................................
6

1.5.3 Bencana...........................................................................................
6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bencana Alam........................................................................................


7

2.2 Anak.......................................................................................................
9

iii
2.3 Pengalaman............................................................................................
12

2.4 PTSD......................................................................................................
13

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian...........................................................................


17

3.2 Setting Dan Konteks Penelitian............................................................


19

3.3 Partisipan..............................................................................................
19

3.3.1 Pemilihan Partisipan........................................................................


19

3.3.2 Jumlah Partisipan.............................................................................


20

3.4 Instrumen Penelitian................................................................................


21

3.4.1 Peneliti Sebagai Instrumen...........................................................


21

3.4.2 Pedoman Wawancara....................................................................


21

3.4.3 Alat Perekam Suara.....................................................................


22

3.5 Prosedur Dan Cara Pengumpulan Data.................................................


22

3.5.1 Prosedur Pengumpulan Data....................................................


23

3.5.2 Cara Pengumpulan Data...........................................................


23

3.6 Analisis Data.........................................................................................


24

iv
3.7 Rigor Dan Trustworthiness...................................................................
26

3.8 Etika Penelitian.....................................................................................


27

DAFTAR PUSTAKA

v
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan negara kepulauan, yang dilihat dari letak geografis
terletak pada pertemuan empat lempeng tektonik dan dikelilingi cincin api yang
menyebabkan indonesia rawan akan bencana letusan gunung berapi, gempa bumi,
tsunami, banjir dan tanah longsor. Menurut data badan nasional penanggulanan
bencana (BNPB) bahwa kejadian bencana alam yang terjadi di Indonesia sejak
januari sampai dengan september 2018 sebanyak 1,999 kejadian meliputi : gempa,
tsunami, erupsi gunung api, banjir, longsor, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan,
puting beliung, dan cuaca ekstrem (Farisa, 2018). Bencana tersebut merupakan suatu
keadaan yang sangat sulit yang tidak dapat ditolak ataupun dihindari oleh manusia.
Dampak yang terjadi akibat bencana alam tersebut dapat menimbulkan korban
jiwa, kerusakan fasilitas infrastruktur baik milik pemerintah maupun masyarakat,
adanya korban yang mengalami gangguan secara fisik berupa luka –luka sampai
meninggalkan kecacatan pada tubuh, gangguan secara psikis, dll. Kejadian ini tidak
saja menimbulkan korban jiwa, tetapi juga korban dan keluarga korban mengalami
perasaan duka yang mendalam, akibat kehilangan orang-orang yang dicintai, serta
kehilangan harta benda. Banyak pula diantara korban bencana alam mengalami
kecelakaan fisik dan gangguan mental (Nawangsih, 2014). Selain menimbulkan
kerugian secara materi, bencana alam juga mengakibatkan dampak psikologis yang
disebabkan oleh perasaan takut dan putus asa akibat bencana alam. Kondisi traumatik
tersebut seringkali berakhir dengan Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD).
Menurut Ehreinreich (2001) dalam Taufigh (2014), sepertiga dari korban
bencana adalah anak-anak. Hal ini dapat dipahami, karena dari jumlah seluruh
populasi suatu masyarakat, anak-anak merupakan bagian dari populasi tersebut.

1
Selain itu anak memiliki keterbatasan fisik dan ketergantungan yang tinggi pada
orang tua. Kejadian bencana tersebut mengakibatkan “trauma” psikologis pada
korban khususnya pada anak-anak dan dampaknya berbeda-beda untuk setiap orang
yang mengalaminya.
Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kerentanan seseorang sehingga
beresiko terhadap bencana adalah: semakin tinggi tingkat keparahan bencana dan
tingkat kengerian pengalaman yang dialami semakin besar pula efek psikologis, fisik
maupun efek sosial yang dirasakan (Ehreinreich, 2001).
Bagi seorang anak dampak yang terjadi dari gempa dapat menimbulkan
trauma yang mendalam karena ketakutan meliwat pristiwa bencana, gelisah yang
tidak berkesudahan, perasaan akan adanya bahaya yang segera menyerang atau
ada malapetaka yang akan segera menimpa ulang disertai dengan adanya
dorongan untuk melarikan diri dari situasi tesebut. Hal ini akan menjadi pengalaman
traumatis bagi seorang anak yang dapat berlanjut pada post traumatic syndromes
disorders (PTSD) (Nawangsih, 2014).
Menurut DSM IV- TR (Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorder IV-Text Revised), PTSD adalah suatu gangguan melibatkan sekelompok
gejala kecemasan yang terjadi setelah seseorang telah terkena peristiwa traumatis
yang mengakibatkan perasaan ngeri, tidak berdaya atau takut. Gangguan emosional
tersebut dialami seseorang setelah mengalami kejadian traumatis. Gangguan tersebut
dapat meliputi tiga gejala pokok yakni perasaan mengalami kembali (re-
experiencing), keinginan untuk menghindari semua stimulus yang berhubungan
dengan peristiwa traumatis (avoidance), dan peningkatan kesadaran yang berlebihan
(arousal), yang dialami selama kurun waktu satu bulan atau lebih (Pratiwi, Karini &
Agustin,2011).
Anak sebagai salah satu korban bencana yang rentan pula mengalami
PTSD, perlu mendapat penanganan yang serius agar akibat yang ditimbulkan
tidak berkepanjangan dan menghambat perkembangannya. Pengalaman yang
dirasakan oleh anak-anak korban bencana memiliki karakteristik yang khas,

2
sehingga memerlukan bentuk-bentuk intervensi yang sesuai dengan karakteristik
dan tahap perkembangannya agar gangguan stress pasca trauma yang dialami dapat
menurun. Apabila tidak terdeteksi dan dibiarkan tanpa penanganan, maka dapat
mengakibatkan komplikasi medis maupun psikologis yang serius yang bersifat
permanen yang akhirnya akan mengganggu kehidupan sosial maupun pekerjaan
penderita (Mashar, 2010).
Menurut Hawari (2011) menyatakan bahwa pada umumnya masyarakat dan
pemerintah dalam menyikapi korban berbagai macam peristiwa, lebih
menitikberatkan pada aspek yang sifatnya fisik; misalnya bantuan pengobatan,
sandang, pangan dan papan. Aspek kejiwaan/mental/psikologik yang mengarah pada
gangguan stress pasca trauma kurang diperhatikan. Stress pasca trauma itu sendiri
bila tidak ditangani dengan sungguh-sungguh dan profesional dapat berlanjut pada
gangguan jiwa seperti kecemasan, depresi, psikosis (gangguan jiwa berat) bahkan
sampai pada tindakan bunuh diri.
Penelitian yang dilakukan oleh Pratiwi, Karini & Agustin (2011),
menunjukkan bahwa anak remaja yang mengalami PTSD kategori sedang sebanyak
53,85% dibandingkan dengan orang dewasa 53,12% dan remaja yang membutuhkan
dukungan empati, lebih banyak diperlukan oleh remaja dalam meminimalkan tingkat
PTSD (15,38%).
Penelitian yang dilakukan oleh Mashar (2011) menunjukkan bahwa perlu
adanya permainan kelompok teman sebaya bagi anak usia sekolah dengan PTSD.
Hasil penelitian ini didukung oleh Nawangsih (2014) bahwa anak-anak dengan PTSD
kemungkinan menunjukkan kebingungan atau agitasi, sehingga diperlukan
rancangan intervensi khusus bagi anak-anak yang mengalami PTSD yakni
teknik Play Therapy.
Kabupaten Donggala merupakan salah daerah daerah yang terkena bencana
gempa Tsunami, terletak di Provinsi Sulawesi Tengah bagian barat di pulau
Sulawesi, Indonesia. Donggala masuk dalam kawasan lempeng tektonik aktif,
terutama dengan keberadaan Sesar Palu-Koro yang berpotensi mengalami gempa

3
bumi besar, tsunami, banjir, dan kebakaran hutan. Menurut data BNPB (2013)
menyatakan bahwa Kabupaten Donggala memiliki Angka Indeks Risiko Bencana
BNPB 189 (tinggi) dan menduduki peringkat ke-80 dari 496 kabupaten yang
memiliki resiko bencana. Hal ini terbukti bahwa pada tanggal 28 september 2018
terjadi gempa dan tsunami di palu dan donggala yang menyebabkan banyak korban
yang meninggal dunia, luka – luka dan korban yang hilang serta terjadi kerusakan
bangunan – bangunan.
Berdasarkan data BPNB korban bencana gempa - tsunami di Palu dan
Donggala sebanyak 2.045 korban meninggal dunia dengan perinciannya 171 di
Donggala, 1.636 di Palu, 222 di Sigi, 15 di Moutoung, dan 1 orang di Pasang Kayu,
sedangkan untuk korban luka berat dan luka ringan jumlahnya 10.679 orang, dengan
rincian 2.549 luka berat dan 8.130 luka ringan, jumlah korban hilang 671 orang.
Selain itu terjadi kerusakan ribuan bangunan termasuk bangunan sekolah yang
menyebabkan kegiatan sekolah terhenti untuk sementara waktu (www.liputan6.com).
Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik untuk meneliti tentang
“Pengalaman Anak Usia Sekolah Korban Pasca Bencana Gempa – Tsunami Dengan
PTSD Di Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah”.

1.2 Pernyataan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti ingin mengungkap secara
mendalam pengalaman anak usia sekolah korban pasca bencana gempa trusnami
dengan PTSD di Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah yang meliputi bagaimana
anak usia sekolah dapat memulihkan trauma, mempertahankan semangat hidup,
menghadapi kehidupan untuk beraktivitas kembali.

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan dari penelitian kualitatif ini diharapkan dapat memberi pemahaman
mengenai pengalaman anak usia sekolah korban pasca bencana gempa trusnami
dengan PTSD di Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah.

4
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Aspek Teoritis
Temuan dari penelitian kualitatif ini diharapkan dapat memberi pemahaman
mengenai pengalaman anak usia sekolah korban pasca bencana gempa trusnami
dengan PTSD di Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah.
1.4.2 Manfaat Praktis
Manfaat bagi perawat anak yaitu dapat dijadikan pedoman dalam melakukan
asuhan keperawatan sehingga lebih memahami perawatan anak dengan PTSD.
Sementara manfaat bagi institusi pendidikan adalah untuk mengembangkan teori
keperawatan khususnya pengalaman pada anak usia sekolah korban pasca bencana
gempa tsunami.

1.5 Pengertian Istilah


1.5.1 Pengalaman
Pengalaman dapat diartikan sebagai sesuatu yang pernah dialami, dijalani
maupun dirasakan, baik sudah lama maupun yang baru saja terjadi (Mapp dalam
Saparwati, 2012). Pengalaman dapat diartikan juga sebagai memori episodik, yaitu
memori yang menerima dan menyimpan peristiwa yang terjadi atau dialami individu
pada waktu dan tempat tertantu, yang berfungsi sebagai referensi otobiografi (Bapista
et al, dalam Saparwati, 2012). Pengalaman adalah pengamatan yang merupakan
kombinasi pengelihatan, penciuman, pendengaran serta pengalaman masa lalu
(Notoatmojo dalam Saparwati, 2012). Dari beberapa pendapat tersebut dapat
disimpulkan bahwa pengalaman adalah sesuatu yang pernah dialami, dijalani maupun
dirasakan yang kemudian disimpan dalam memori.

1.5.2 Anak

5
Menurut Wong (2009) usia anak sekolah adalah anak pada usia 6 - 12 tahun
yang artinya sekolah menjadi pengalama inti anak. Periode ketika anak -anak
dianggap mulai bertanggung jawab atas perilakunya sendiri dalam hubungan dengan
orang tua mereka, teman sebaya, dan orang lainnya. Usia sekolah merupakan masa
anak memperoleh dasar – dasar pengetahuan untuk keberhasilan penyesuaian diri
pada kehidupan dewasa dan memperoleh keterampilan tertentu.

1.5.3 Bencana
Gempa bumi adalah getaran asli dari dalam bumi, bersumber di dalam bumi
yang kemudian merambat ke permukaan bumi akibat rekahan bumi pecah dan
bergeser dengan keras. Penyebab gempa bumi dapat berupa dinamika bumi
(tektonik), aktivitas gunung api, akibat meteor jatuh, longsoran (di bawah muka air
laut), ledakan bom nuklir di bawah permukaan.
Tsunami, kata ini berasal dari Jepang, tsu berarti pelabuhan, nami berarti
gelombang. Tsunami dipergunakan untuk gelombang pasang yang memasuki
pelabuhan. Pada laut lepas misal terjadi gelombang pasang sebesar 8 m tetapi begitu
memasuki daerah pelabuhan yang menyempit tinggi gelombang pasang menjadi 30
m. Tsunami biasa terjadi jika gempa bumi berada di dasar laut dengan pergerakan
vertikal yang cukup besar. Tsunami juga bisa terjadi jika terjadi letusan gunung api di
laut atau terjadi longsoran di laut.

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bencana Alam

Gempa bumi adalah getaran asli dari dalam bumi, bersumber di dalam bumi
yang kemudian merambat ke permukaan bumi akibat retakaan bumi pecah dan
bergeser dengan keras. Penyebab gempa bumi dapat berupa dinamika bumi
(tektonik), aktivitas gunung api, akibat meteor jatuh, longsoran (di bawah muka air
laut), ledakan bom nuklir di bawah permukaan. Gempa bumi adalah getaran asli dari
dalam bumi, bersumber di dalam bumi yang kemudian merambat ke permukaan bumi
akibat rekahan bumi pecah dan bergeser dengan keras. Penyebab gempa bumi dapat
berupa dinamika bumi (tektonik), aktivitas gunungapi, akibat meteor jatuh, longsoran
(di bawah muka air laut), ledakan bom nuklir di bawah permukaan. Gempa bumi
tektonik merupakan gempa bumi yang paling umum terjadi merupakan getaran yang
dihasilkan dari peristiwa pematahan batuan akibat benturan dua lempeng secara
perlahan-lahan itu yang akumulasi energi benturan tersebut melampaui kekuatan
batuan, maka batuan di bawah permukaan.
Tsunami adalah gelombang air yang sangat besar yang dibangkitkan oleh
macam-macam gangguan di dasar samudra. Gangguan ini dapat berupa gempa bumi,
pergeseran lempeng, atau gunung meletus. Tsunami, kata ini berasal dari Jepang, tsu
berarti pelabuhan, nami berarti gelombang. Tsunami dipergunakan untuk gelombang
pasang yang memasuki pelabuhan. Pada laut lepas misal terjadi gelombang pasang
sebesar 8 m tetapi begitu memasuki daerah pelabuhan yang menyempit tinggi
gelombang pasang menjadi 30 m. Tsunami biasa terjadi jika gempa bumi berada di

7
dasar laut dengan pergerakan vertikal yang cukup besar. Tsunami juga bisa terjadi
jika terjadi letusan gunungapi di laut atau terjadi longsoran di laut.

Tsunami pertama kali di Indonesia terjadi pada tahun 1608 hingga 1690 dan
tsunami terjadi selama 13 kali, terdapat lebih dari 2000 korban meninggal, yang
tercatat pada tsunami di sekitar laut Banda pada 1674. Ketinggian gelombang hingga
100 meter, termasuk salah satu tsunami yang paling tinggi yang pernah terjadi di
Indonesia.Tsunami juga merenggut 1200 korban jiwa di Bali pada 1815, dengan skala
gempa saat itu berkekuatan 7,0 pada skala Richter. Tahun 2014, tsunami juga terjadi
di Kepulauan Maluku, ketinggian gelombang antara 0,3 meter sampai sekitar satu
meter dipicu gempa bumi berkekuatan dengan kekuatan 7,1 pada skala Richter.Pada
2016, di pesisir barat Sumatera, tsunami dipicu oleh gempa bumi berkekuatan 7,8,
kedua tsunami itu tidak menyebabkan korban jiwa, maupun kerugian material
(BNPB,2016).
Tsunami 2018 di Sulawesi Tengah dipicu gempa bumi akibat bergeraknya
patahan Palu Koro. Badan sains Amerika Serikat, National Oceanic Atmospheric
Administration (NOAA) mencatat, bahwa ada 246 kejadian tsunami, sejak tahun 416
hingga 2018 di Indonesia. Kawasan selatan Jawa menyimpan sejarah tsunami sejak
berabad lampau, menurut pakar paleotsunami, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia,
LIPI, Eko Yulianto.Dalam risetnya di Lebak, Banten, deposit yang diduga bekas
tempat terjadinya tsunami menunjukkan usia 331 tahun dan 293 tahun, atau tsunami
terjadi pada 1685 dan 1723 (BNPB,2016).
Bencana alam seperti gempa tsunami menimbulkan duka yang mendalam bagi
korban bencana, hal tersebut membuat para korban bencana alam merasa berada pada
kondisi yang sangat tidak tenang, merasa sangat takut dan kegelisahan yang tidak
berkesudahan terutama pada anak-anak. Menurut Ehreinreich (2001) dalam Taufigh
(2014), sepertiga dari korban bencana adalah anak-anak. Hal ini dapat dipahami,
karena dari jumlah seluruh populasi suatu masyarakat, anak-anak merupakan bagian
dari populasi tersebut. Selain itu anak memiliki keterbatasan fisik dan ketergantungan

8
yang tinggi pada orang tua. Kejadian bencana tersebut mengakibatkan “trauma”
psikologis pada korban khususnya pada anak-anak dan dampaknya berbeda-beda
untuk setiap orang yang mengalaminya.
Selain itu, para korban menjadi mudah panik, serangan-serangan panik
melibatkan reaksi kecemasan yang intens disertai dengan simtom-simtom fisik,
seperti jantung berdebar-debar, nafas cepat,nafas tersengal-sengal atau kesulitan
bernafas,berkeringat banyak dan rasa lemas serta pusing. Serangan-serangan ini
disertai dengan perasaan teror yang luar biasa dan perasaan akan adanya bahaya yang
segera menyerang atau ada malapetaka yang akan segera menimpa serta juga disertai
dengan suatu dorongan untuk melarikan diri dari situasi ini (Endah,2014).

Gempa besar beruntun dengan kekuatan 5 SR sampai 7,4 SR mengguncang


Kabupaten Donggala dan Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah, pada Jumat siang
hingga petang (28/9/2018). Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG)
sudah mengumumkan bahwa gempa terbesar hari ini yang mengguncang Donggala
dan Palu berkekuatan 7,7 SR. Pusat gempat itu di kedalaman 10 km. Sedangkan
posisi pusat gempa ini pada arah 27 km Timur Laut Donggala. Bencana gempa dan
tsunami di Kabupaten Donggala lebih dari 800 orang meninggal dunia.Mayoritas
korban tewas akibat tertimpa reruntuhan bangunan saat gempa dan diterjang tsunami.
Data yang dihimpun Pemerintah Kota Makassar,pelajar yang menjadi korban bencana
gempa tsunami di Sulawesi Tengah,Kabupaten Donggala sebanyak 300 anak mulai
mengikuti proses belajar mengajar di sejumlah sekolah yang telah disiapkan,mulai
dari tingkat SD,SMP dan SMA.

2.2 Anak

Usia anak secara jelas mendefinisikan karakteristik yang memisahkan anak-


anak dari orang dewasa. Namun,mendefinisikan anak-anak dari segi usia dapat
menjadi permasalahan besar karena penggunaan definisi yang berbeda oleh beragam

9
negara dan lembaga internasional. Department of Child and Adolescent Health
and  Development  , mendefinisikan anak-anak sebagai orang yang berusia di bawah
20 tahun. Sedangkan The Conventionon the Rights of the Child  mendefinisikan anak-
anak sebagai orang yang berusia di bawah 18 tahun (WHO,2003).

Menurut Wong (2009) usia anak sekolah adalah anak pada usia 6-12
tahun,yang artinya sekolah menjadi pengalaman inti anak.Periode ketika anak-anak
dianggap mulai bertanggung jawab atas perilakunya sendiri dalam hubungan dengan
orang tua mereka,teman sebaya,dan orang lainnya.Usia sekolah merupakan masa
anak memperoleh dasar-dasar pengetahuan untuk keberhasilan penyesuaian diri pada
kehidupan dewasa dan memperoleh keterampilan tertentu. Menurut Hurlock
(2012),orang tua,pendidik,dan ahli psikologis memberikan berbagai label kepada
periode ini dan label-label itu mencerminkan ciri-ciri penting dari periode anak usia
sekolah,yaitu sebagi berikut:

1. Label yang digunakan oleh orang tua


a. Usia yang menyulitkan
Suatu masa dimana anak tidak mau lagi menuruti perintah dan dimana ia
lebih banyak dipengaruhi oleh teman-teman sebaya daripada oleh orang tua
dan anggota keluarga lainnya.
b. Usia tidak rapi
Suatu masa dimana anak cenderung tidak memperdulikan dan ceroboh dalam
penampilan,dan kamarnya sangat berantakan.Sekalipun ada peraturan
keluarga yang ketat mengenai kerapihan dan perawatan barang-
barangnya,hanya beberapa saja yang taat,kecuali kalau orang tua
mengharuskan melakukannya dan mengancam hukuman.
2. Label yang digunakan oleh para pendidik
a. Usia sekolah dasar
Pada usia tersebut anak diharapkan memperoleh dasar-dasar pengetahuan
yang dianggap penting untuk keberhasilan penyesuaian diri pada kehidupan

10
dewasa, dan mempelajari berbagai keterampilan penting tertentu, baik
keterampilan kurikuler maupun ekstra kurikuler.

b. Periode kritis
Suatu masa di mana anak membentuk kebiasaan untuk mencapai sukses,
tidak sukses, atau sangat sukses. Sekali terbentuk, kebiasaan untuk bekerja
dibawah, diatas atau sesuai dengan kemampuan cenderung menetap sampai
dewasa. Telah dilaporkanbahwa tingkat perilaku berprestasi pada masa
kanak-kanak mempunyai korelasi yang tinggi dengan perilaku berprestasi
pada masa dewasa.
3. Label yang digunakan ahli psikologi
a. Usia berkelompok
Suatu masa di mana perhatian utama anak tertuju pada keinginan diterima
oleh teman-teman sebaya sebagai angota kelompok, terutama kelompok
yang bergengsi dalam pandangan temantemannya. Oleh karena itu, anak
ingin menyesuaikan dengan standar yang disetujui kelompok dalam
penampilan, berbicara, dan perilaku.
b. Usia penyesuaian diri
Suatu masa dimana perhatian pokok anak adalah dukungan dari teman-
teman sebaya dan keanggotaan dalam kelompok.
c. Usia kreatif
Suatu masa dalam rentang kehidupan dimana akan ditentukan apakah anak-
anak menjadi konformis atau pencipta karya yang baru yang orisinil.
Meskipun dasar-dasar untuk ungkapan kreatif diletakkan pada awal masa
kanak-kanak, namun kemampuan untuk menggunakan dasar-dasar ini dalam

11
kegiatan-kegiatan orisinal pada umumnya belum berkembang sempurna
sebelum anak-anak belum mencapai tahun-tahun akhir masa kanak-kanak.
d. Usia bermain
Bukan karena terdapat lebih banyak waktu untuk bermain daripada dalam
periode-periode lain hal mana tidak dimungkinkan lagi apabila anak-anak
sudah sekolah melainkan karena terdapat tumpang tindih antara ciri-ciri
kegiatan bermain anak-anak yang lebih muda dengan ciri-ciri bermain anak-
anak remaja. Jadi alasan periode ini disebut sebagai usia bermain adalah
karena luasnya minat dan kegiatan bermain dan bukan karena banyaknya
waktu untuk bermain.

2.3 Pengalaman

Pengalaman dapat diartikan sebagai sesuatu yang pernah dialami, dijalani


maupun dirasakan, baik sudah lama maupun yang baru saja terjadi (Mapp dalam
Saparwati,2012). Pengalaman dapat diartikan juga sebagai memori episodik, yaitu
memori yang menerima dan menyimpan peristiwa yang terjadi atau dialami individu
pada waktu dan tempat tertantu, yang berfungsi sebagai referensi otobiografi
(Bapistaet al,dalam Saparwati, 2012). Pengalaman adalah pengamatan yang
merupakan kombinasi pengelihatan, penciuman, pendengaran serta pengalaman masa
lalu (Notoatmojo dalam Saparwati, 2012). Dari beberapa pendapat tersebut dapat
disimpulkan bahwa pengalaman adalah sesuatu yang pernah dialami, dijalani maupun
dirasakan yang kemudian disimpan dalam memori.

Sarwono dalam sosiohumaniora (2012), menyatakan bahwa korban dari


kelompok anak-anak merupakan kelompok paling rentan yang menjadi korban dan
paling menderita daripada orang dewasa. Mereka belum bisa menyelamatkan dan
memulihkan diri dari rasa trauma, sehingga peluang menjadi korban lebih lanjut
menjadi besar. Sebagai akibatnya mereka mengalami trauma fisik dan psikis

12
(psikososial) karena kehilangan salah satu orangtua atau keluarganya. Akumulasi
trauma psikososial itu bisa berupa reaksi fisik maupun gejala-gejala psikis seperti rasa
mual, murung, pendiam, mimpi buruk, kecemasan, merasa terancam, serta hilangnya
harapan hidup. Korban bencana alam seperti anak-anak yang mengalami trauma
psikis bila tidak ditangani dengan baik dapat mengalami Post Traumatic Stress
Disorder (PTSD) atau gangguan stress pascatrauma yaitu gangguan psikologis yang
disebabkan oleh pengalaman ikut menyaksikan atau mengalami langsung peristiwa
yang yang mengerikan (Benseller, 2005).

2.4 PTSD

National Institute of Mental Health (NIMH) mendefinisikan PTSD sebagai


gangguan berupa kecemasan yang timbul setelah seseorang mengalami peristiwa
yang mengancam keselamatan jiwa atau fisiknya. Peristiwa trauma ini bisa berupa
serangan kekerasan, bencana alam yang menimpa manusia, kecelakaan, atau perang
(Nevid dalam Endah, 2014). Dengan demikian PTSD dapat meliputi kondisi yang
muncul setelah pengalaman luar biasa mencekam, mengerikan dan mengancam jiwa
seseorang, misalnya peristiwa bencana alam.
Anak sebagai korban bencana yang rentan pula mengalami PTSD, perlu
mendapat penanganan yang serius agar akibat yang ditimbulkan tidak berkepanjangan
dan menghambat perkembangannya. Anak-anak korban bencana memiliki
karakteristik yang khas, sehingga memerlukan bentuk-bentuk intervensi yang sesuai
dengan karakteristik dan tahap perkembangannya agar gangguan stress pasca trauma
yang dialami dapat menurun.
Salah satu intervensi efektif yang dapat diterapkan adalah konseling melalui
terapi bermain (play therapy). Dengan bermain anak diberi kesempatan berada dalam
dunia naturalnya sebagai anak (Sukmaningrum, 2001), sehingga anak akan merasa
aman dalam mengekpresikan dan melakukan eksplorasi terhadap diri mereka baik

13
perasaan, pikiran, pengalaman, maupun tingkah laku, karena anak tidak berhadapan
langsung dengan kondisi yang mengingatkan pada trauma yang dialami namun hanya
menggunakan materi-materi yang bersifat simbolik.
Berdasarkan pengertian yang dikemukakan tersebut, maka dapatlah diambil
beberapa pengertian pokok sebagai landasan dalam melaksanakan play therapy,
yaitu :
1. Play therapy dibangun berdasarkan pondasi teoritik yang sistimatis. Dalam
kaitan ini, play therapy disusun dengan menggunakan kerangka teori psikologi
dan konseling, misalnya :Psikoanalisa, Client Centered,Gestalt, Cognitif
Behavior, Adlerian,dan sebagainya.
2. Play therapy menekankan pada kekuatan permainan sebagai alat untuk
membantu klien yang memerlukan bantuan.
3. Tujuan dari penggunaan play therapy adalah untuk membantu klien dalam
rangka mencegah dan mengatasi persoalan psikisnya serta membantu pencapaian
pertumbuhan dan perkembangan sesuai dengan tugas perkembangannya secara
optimal.
Menurut The Association for Play Therapy, terdapat 14 macam keuntungan
yang diperoleh bila menggunakan play therapy sebagai sebuah intervensi, yaitu
1. Mengatasi resistensi. Anak-anak biasanya sulit untuk diajak konsultasi dengan
konselor, apalagi mempunyai keinginan sendiri. Permainan adalah salah satu cara
untuk menarik anak agar bisa terlibat dalam kegiatan konseling.
2. Komunikasi. Permainan adalah media alami yang digunakan anak untuk
mengeskpresikan dirinya. Konselor bisa menggunakan berbagai pilihan
permainan yang dapat memancing anak untuk dapat terus terlibat dalam
permainan.
3. Kompetensi. Bermain memberikan kesempatan bagi anak untuk memenuhi
kebutuhan anak untuk mengeksplorasi dan menguasai se-suatu keterampilan.
Konselor bisa membangun kepercayaan dengan menunjukkan bahwa anak
sedang melakukan kerja keras dan menunjukkan kemajuan.

14
4. Berpikir kreatif. Keterampilan problem solving dikembangkan,sehingga
pemecahan atas persoalan anak bisa tercapai. Permainan memberikan peluang
yang besar bagi anak untuk mengembangkan kemampuan diri untuk berpikir
kreatif atas persoalan yang dialami.
5. Chatarsis. Melalui permainan anak - anak dapat menyampaikan tekanan emosi
yang dialaminya dengan lebih bebas, sehingga anak-anak bisa tumbuh dan
berkembang secara optimal tanpa beban mental.
6. Abreaction. Dalam bermain, anak mendapat kesempatan untuk memproses dan
menyesuaikan kesulitan yang pernah dialami secara simbolis dengan ekspresi
emosi yang lebih tepat.
7. Role playing. Anak dapat mempraktekkan berbagai tingkah laku yang baru dan
mengembangkan kemampuan empati dengan orang lain.
8. Fantacy. Anak-anak dapat menggunakan imajinasinya untuk mengerti akan
pengalamannya yang menyakitkan. Mereka juga bisa mencoba mengubah hidup
mereka secara perlahanlahan.
9. Metaphoric teaching. Anak-anak dapat memperoleh pengertian yang mendalam
atas kesulitan dan ketakutan yang dialaminya dengan kiasan yang dimunculkan
dalam permainan.
10. Attachment formation. Anak dapat mengembangkan suatu ikatan dengan
konselor serta mengembangkan kemampuan untuk membangun koneksi dengan
orang lain.
11. Peningkatan hubungan. Bermain dapat meningkatkan hubungan terapi yang
positif, memberikan kebebasan anak untuk mewujudkan aktualisasi diri dan
tumbuh semakin dekat dengan orang lain disekitarnya. Anak dapat mengenal
cinta dan perhatian yang positif terhadap lingkungannya.
12. Emosi positif. Anak-anak menikmati permainan, dengan suasana hati ini mereka
bisa tertawa dan mempunyai waktu yang menyenangkan di tempat yang mereka
merasa diterima.

15
13. Menguasai ketakutan. Dengan permainan yang diulang-ulang akan mengurangi
kegelisahan dan ketakutan anak. Bekerja dengan mainan, seni dan media bermain
lainnya mereka akan menemukan berbagai ke-terampilan dalam mengatasi
ketakutan.
14. Bermain game. Game membantu anak untuk bersosialisasi dan mengembangkan
kekuatan egonya. Mereka mempunyai peluang untuk meningkatkan keterampilan
hubungan anak dengan dirinya dan orang lain. Hal ini bertujuan untuk
memecahkan fiksasi, regresi, kekurangan dalam perkembangan dan hambatan-
hambatan lain yang mengganggu perkembangan anak. Disamping
memperhatikan keterampilan dasar dalam melakukan konseling dengan klien
anak, perlu diperhatikan prosesnya. Proses ini menandakan main dengan tujuan
agar anak merasa aman. Ketika anak sudah merasa aman, konselor bisa
menyiapkan berbagai perangkat konseling dalam menggali berbagai gejala dan
informasi yang ia butuhkan, yang ditunjukkan anak melalui berbagai aktifitas
komunikasi dan interaksi termasuk didalamnya aktifitas bermain mereka.
Langkah dimulai ketika anak sudah asyik dengan permainan dan perhatian
merekai. Kegiatan ini dengan menyediakan berbagai sarana bermain agar anak
dapat mengekspresikan berbagai perasaan baik sesuatu yang pernah dialaminya
di masa lampau atau keinginan yang ia harapkan pada masa yang akan datang.

16
BAB III

METODE PENELITIAN

Pada bab ini peneliti akan menguraikan rancangan penelitian yang akan digunakan,
setting dan konteks penelitian, partisipan yang berkontribusi dalam penelitian,
instrument penelitian, prosedur dan cara pengumpulan data, analisis data, keandalan
hasil penelitian dan etika penelitian.

3.1 Rancangan Penelitian

Desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif fenomenologi dengan


metode kualitatif. Desain penelitian fenomenologi adalah suatu pendekatan dalam
mempelajari makna dari pengalaman manusia menjalani suatu fase dalam
kehidupannya (Kelana, 2011). Tujuan penelitian fenomenologi untuk memahami
makna dari pengalaman kehidupan yang dialami oleh partisipan dan menjelaskan
perspektif filosofi yang mendasari fenomena tersebut (Kelana, 2011). Penelitian
fenomenologi mencari tahu kualitas atau esensi dari pengalaman melalui wawancara,
sejarah ataupun pengamatan terhadap orang-orang yang memilki pengalaman hidup
yang ingin diteliti (Connelly, 2010). Para fenomenologis meyakini bahwa keberadaan

17
seseorang akan berarti apabila individu tersebut menyadarinya. Arti ataupun makna
muncul dari adanya hubungan antara individu dengan dunia dan individu tersebut
secara sadar memberikan makna terhadap pengalaman hidupnya. Oleh karena itu
fenomenologi berfokus pada pengalaman hidup yang terdapat keterlibatan manusia
terhadap dunianya (Beck, 2006). Penelitian ini menggambarkan lebih mendalam
bagaimanakah pengalaman anak usia sekolah korban pasca bencana gempa tsunami
dengan PTSD di Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah dengan berbagai
permasalahan yang dihadapi.

Konsep utama dari fenomenologi adalah essences, intentionally, dan


phenomenological attitude. Essences adalah elemen yang berkaitan dengan arti yang
sebenarnya. Oleh karena itu untuk mengetahui sesuatu, kita harus menyelidikinya
langsung ke sumber aslinya. Intentionally adalah secara sadar melihat pada suatu
objek. Suatu objek tidak memiliki makna atau arti tanpa seseorang secara sadar
memberinya arti (Streubert & Carpenter, 2011). Jadi, dengan kata lain fenomenologi
dapat diartikan suatu pengalaman yang mempengaruhi kehidupan individu baik
secara internal maupun external dan diberi arti secara sadar oleh individu.

Pendekatan fenomenologi dibedakan menjadi dua, yaitu deskriptif


fenomenologi dan interpretatif fenomenologi. Pada penelitian ini menggunakan
pendekatan deskriptif fenomenologi dan sesuai dengan filosofi dari penemunya pada
tahun 1962, yaitu Husserl menekankan pada deskripsi terhadap arti pengalaman
seseorang (Polit & Beck, 2010). Menurut Spiegelberg (1975) fenomenologi deskriptif
menstimulasi persepsi kita terhadap pengalaman hidup yang menekankan pada
kekayaan, kedalaman, dan keluasan dari pengalaman tersebut (Streubert & Carpenter,
2011).

Pendekatan fenomenologi deskriptif melibatkan 4 tahapan berikut, yaitu


bracketting, intuiting, analyzing, describing. Bracketting adalah suatu proses untuk
mengindentifikasi nilai-nilai dan norma terhadap fenomena yang akan diteliti yang
harus disingkirkan selama penelitian berlangsung. Tujuan dari bracketing adalah agar

18
data yang didapatkan saat penelitian benar seperti apa adanya tanpa ada asumsi
ataupun pendapat dari peneliti (Polit & Beck, 2010). Intuiting merupakan proses
dimana peneliti mulai tahu dan memahami tentang fenomena yang digambarkan oleh
partisipan. Segala bentuk pengetahuan dan asumsi dari peneliti harus dikesampingkan
terlebih dahulu dalam melakukan analisa data hingga peneliti memahami atas
fenomena yang muncul. Intuisi peneliti dimulai pada saat wawancara berlangsung
sehingga peneliti dapat mengetahui dan fenomena yang terjadi dari sudut pandang
partisipan.

Analyzing merupakan proses mengidentifikasi esensi dari fenomena yang


diteliti dari data yang telah didapatkan. Tahapan analisis yang digunakan adalah
dengan menggunakan metode Colaizzi. Describing adalah tahap penyusunan semua
data yang telah dikelompokkan dalam bentuk narasi yaitu dengan mendeskripsikan
hasil penelitian tentang fenomena. Deskripsi dilakukan berdasarkan pengelompokkan
fenomena terlebih dahulu.

3.2 Setting dan Konteks Penelitian

Peneliti ingin menggali lebih dalam berfokus pada pengalaman anak usia
sekolah korban pasca bencana gempa tsunami dengan PTSD. Rencana penelitian
dilakukan di Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah pada tanggal 1 Maret 2019
sampai dengan 30 April 2019. Tempat wawancara di posko pengungsian, dimana
waktu dan kondisinya ditetapkan bersama dengan partisipan dan peneliti, agar pada
saat dilakukan wawancara partisipan merasa nyaman serta privasi partisipan juga
terjaga saat menyampaikan pengalamannya secara terbuka.

3.3 Partisipan

3.3.1 Pemilihan Partisipan

19
Partisipan pada penelitian dipilih menggunakan teknik purposive sampling
yang bertujuan untuk mendapatkan data yang mendalam terkait dengan fenomena
yang diteliti. Teknik sampling yang digunakan bukanlah teknik sampling probabilitas
yang memungkinkan peneliti untuk menentukan kesimpulan statistik pada populasi,
tetapi akan mencontohkan kelompok masyarakat yang dapat memberikan informasi
yang lengkap terkait fenomena. Oleh karena itu, tidak dibutuhkan pemilihan secara
acak (random sampling) terhadap partisipan. Penentuan partisipan sebagai sumber
data dibantu dengan adanya pertimbangan tertentu berdasarkan kriteria yang telah
ditentukan sebelumnya pada kriteria inklusi (Polit & Beck, 2010).

Sumber data utama pada penelitian adalah anak yang dianggap memiliki
pengetahuan dan memiliki pengalaman terkait bencana. Adapun kriteria inklusi pada
anak pasca bencana adalah :

1) Anak yang mampu berkomunikasi dengan bahasa Indonesia dan kooperatif


2) Anak yang memiliki pengetahuan dan pengalaman bencana
3) Anak usia sekolah usia 13-14 tahun

Partisipan diperoleh dari salah satu posko pengungsian di Kabupaten


Donggala Sulawesi Tengah. Selanjutnya peneliti mengkonfirmasi partisipan dan
mengutarakan maksud peneliti yang ingin tahu lebih jauh tentang pengalaman anak
usia sekolah korban pasca bencana gempa tsunami dengan PTSD. Jumlah partisipan
dipilih sebanyak 12 orang yang sesuai kriteria inklusi. Kemudian peneliti melakukan
kontrak dengan calon partisipan satu persatu. Peneliti membuat transkrip wawancara
hingga formulated meaning pada partisipan pertama, kemudian peneliti melanjutkan
wawancara dengan partisipan selanjutnya. Proses yang sama juga peneliti lakukan
pada tiap partisipan selanjutnya hingga mencapai saturasi data.

3.3.2 Jumlah Partisipan

20
Tidak ada ketentuan terhadap jumlah partisipan pada penelitian kualitatif,
namun peneliti menggunakan saturasi dalam penentuan jumlah partisipan. Apabila
saturasi telah tercapai dimana tidak ada informasi baru lagi atau tidak dapat
ditemukan interpretasi yang baru pada partisipan terakhir maka jumlah partisipan
dianggap cukup pada waktu itu (Polit & Beck, 2010).

3.4 Instrumen Penelitian

3.4.1 Peneliti Sebagai Instrumen

Peneliti memiliki peranan yang kompleks dalam penelitian kualitatif dan telah
menjadi suatu karakteristik penelitian kualitatif bahwa peneliti adalah sebagai
instrumen penelitian. Peneliti juga merupakan perencana, analisa, penafsiran data
hingga akhirnya peneliti juga sebagai pelopor dari hasil penelitiannya (Maleong,
2007). Peneliti merupakan instrumen di dalam penelitian kualitatif karena peneliti
akan melakukan suatu pencarian dan penggalian data atau informasi secara mendalam
dan menyeluruh.
Pada penelitian ini, kemampuan peneliti dalam menggali pengalaman individu
menjadi kompetensi yang harus dimiliki. Menurut Maleong (2007) dalam penelitian
kualitatif, instrumen terdiri dari peneliti. Kelemahan yang bisa ditemukan adalah
peneliti bisa menilai berdasarkan subjektifitas terhadap keterangan maupun respon
dari partisipan. Oleh karena peneliti akan berupaya untuk melakukan bracketing
dengan cara menghindari sikap kritis dan evaluatif terhadap semua informasi yang
diberikan oleh partisipan serta menghindari asumsi-asumsi pribadi terhadap
fenomena yang diteliti.

21
3.4.2 Pedoman Wawancara

Data yang dikumpulkan menggunakan wawancara mendalam (in depth


interview) yang mengharuskan peneliti berinteraksi secara langsung dengan sumber
data, dengan kata lain peneliti harus mengenal betul siapa partisipannya (Sugiyono,
2012). Tohirin (2012) menjelaskan dalam penelitian kualitatif, wawancara mendalam
dilakukan secara tidak terstruktur. Wawancara dilakukan dengan tanya jawab sambil
bertatap muka antara pewawancara dengan partisipan (Saryono & Anggraeni, 2011).
Peneliti menggunakan teknik penggalian dan wawancara semi struktur dengan
pertanyaan terbuka dan mendalam dengan menggunakan panduan wawancara yang
berasal dari pengembangan topik.
Dalam wawancara ini peneliti tidak mengendalikan alur wawancara dan tidak
memberikan batasan atas berkembangnya jawaban partisipan sehingga informasi
yang didapatkan menjadi lebih murni. Namun, jika jawaban partisipan mulai menjauh
dari topik penelitian, maka peneliti akan memfokuskan kembali pada topik penelitian.
Topik wawancara meliputi pengalaman partisipan mulai dari awal terdiagnosa, saat
partisipan mengalamai pengobatan. Hal ini dibuat peneliti dalam bentuk panduan
wawancara. Peneliti melakukan wawancara sebanyak 4 kali pertemuan, dimana
pertemuan pertama melakukan perkenalan untuk menjalin hubungan saling percaya
serta membuat kontrak untuk pertemuan kedua, pertemuan kedua melakukan
wawancara dan membuat kontrak untuk pertemuan ketiga, pertemuan ketiga untuk
klarifikasi hasil wawancara dalam bentuk verbatim, dan pertemuan ke empat untuk
menanyakan data yang kurang jelas.

3.4.3 Alat Perekam Suara


Pengumpulan data dalam penelitian menggunakan voice recorder. Peneliti
menguji cobakan alat perekam ini terlebih dahulu, mengatur jarak antara perekam dan
sumber suara dan juga volumenya. Alat perekam dapat dikatakan valid apabila

22
menghasilkan suara yang jelas. Data yang sudah diperoleh kemudian dianalisis
dengan cara mendengarkan kembali informasi dari partisipan secara berulang-ulang.

3.5 Prosedur dan Cara Pengumpulan Data

Sumber data utama pada penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan.
Sumber lainya adalah data tambahan seperti adanya dokumen (Maleong, 2007). Pada
penelitian ini menggunakan data utama yang berasal dari kata-kata para partisipan
yang didapatkan melalui wawancara.

3.5.1 Prosedur Pengumpulan Data

Penelitian ini dilaksanakan oleh peneliti dengan melalui serangkaian prosedur


sebagai berikut:
1. Peneliti mengurus perizinan penelitian dari Program Magister Keperawatan
Universitas Padjadjaran dan Ethical Clearance dari Fakultas Kedokteran Unpad.
2. Peneliti memasukkan surat ijin penelitian ke Kesbang setempat.
3. Peneliti memasukkan surat ijin penelitian ke BPBD.
4. Setelah surat disetujui peneliti ke Donggala, Sulawesi Tengah.
5. Peneliti memilih partisipan yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan
6. Peneliti memilih partisipan dengan menggunakan metode purposive sampling
dan jumlahnya ditentukan berdasarkan prinsip saturasi data.
7. Peneliti bertemu dengan calon partisipan kemudian melakukan kontrak sebelum
wawancara dengan partisipan untuk menyesuaikan waktu dan tempat wawancara
antara partisipan dan peneliti.
8. Peneliti bertemu dengan calon partisipan yang kemudian peneliti membina
hubungan saling percaya serta menjelaskan tujuan penelitian, manfaat penelitian,
hak dan peran partisipan dalam penelitian.

23
9. Peneliti meminta ketersediaan partisipan untuk terlibat dalam penelitian dan
meminta menandatangani informed consent sebagai bukti persetujuan menjadi
partisipan.

3.5.2 Cara Pengumpulan Data


Data pada penelitian ini dikumpulkan melalui wawancara mendalam dengan
tipe semi-structure interview. Wawancara dibangun dengan memberikan kesempatan
pada partisipan untuk menceritakan perasaannya dan pengalamannya terkait dengan
fenomena. Partisipan diberi kebebasan untuk menjabarkan pengalamannya terkait
fenomena (Polit & Beck, 2010).
Dalam melakukan wawancara peneliti melalui tiga fase yaitu fase orientasi,
fase kerja, dan fase terminasi. Setelah terjalin hubungan saling percaya, peneliti
masuk pada fase orientasi dengan melakukan kontrak untuk pertemuan yang kedua
dengan partisipan yang bertujuan untuk mendengarkan kembali rekaman wawancara
dan mengklarifikasi transkip verbatim. Peneliti menjelaskan tujuan dan manfaat
penelitian kepada partisipan serta menerangkan kepada partisipan bahwa dalam
penelitian ini akan dijamin kerahasiaannya. Partisipan bersedia untuk dijadikan
sebagai subjek penelitian menandatangani lembar persetujuan dan peneliti melakukan
proses wawancara. Fase kerja dimulai dengan melakukan wawancara secara
mendalam (in depth interview) mengenai penggalaman hidup pada pasien ca mamae
selama menjalani pengobatan alternatif. Peneliti menggunakan pedoman wawancara
sebagai panduan dalam wawancara agar terarah dan berdasarkan tujuan yang telah
peneliti tetapkan. Fase terminasi dilakukan setelah kelengkapan dan kedalaman data
sudah didapatkan. Terminasi dilakukan dengan mengucapkan terima kasih, memberi
reinforcement positive, dan membuat kontrak bertemu kembali dengan partisipan
untuk klarifikasi (Speziale & Carpenter, 2003).

3.6 Analisis Data

24
Peneliti membuat transkip wawancara yang menjadi verbatim dan siap untuk
dilakukan pengolahan data dengan cara melakukan analisa data, setelah melakukan
wawancara kepada satu partisipan. Peneliti melakukan analisis dan representasi data
pada pendekatan fenomenologi mengenai persepsi terhadap pengalaman anak usia
sekolah korban pasca bencana gempa tsunami dengan PTSD dengan menggunakan
pendekatan Colaizzi. Proses ini dimulai dari melakukan transkip verbatim yang
diperoleh dari wawancara serta fieldnote, diikuti dengan membaca berulang-ulang
traskip verbatim tersebut, melakukan pengelompokan kata kunci sehingga
menghasilkan kategori, selanjutnya kategori tersebut dikelompokkan dalam subtema
dan tema (Polit & Back, 2008).
Colaizzi (1978 dalam Polit and Back, 2008) menjelaskan langkah-langkah
analisa data pada studi fenomenologi yaitu:
1. Membaca transkip data secara saksama.
2. Membaca kembali transkip berulang-ulang, untuk memperoleh ide yang
dimaksud partisipan dari hasil transkip, yaitu dengan memunculkan kata-kata
kunci yang sangat terkait dengan inti penelitian.
3. Mengelompokkan kata-kata kunci kedalam kategori-kategori. Kata-kata kunci
yang mempunyai makna sama atau hampir sama, dikelompokkan menjadi satu
kategori.
4. Mengelompokkan kategori-kategori ke dalam suatu sub-tema. Kategori yang
mempunyai makna serupa dan sangat terkait antara satu dengan lainnya,
dikelompokkan dalam satu subtema.
5. Merumuskan subtema-subtema yang mempunyai makna yang sama dan terkait
dalam suatu bentuk yang terstruktur dan konseptual, yang disebut tema.
6. Mengintegrasikan hasil secara keseluruhan ke dalam bentuk deskriptif naratif
mendalam dari fenomena yang diteliti.

25
Skema 1
Teknik analisa data
Mengelompokkan kata-
kata kunci

Membuat kategori-
kategori
Baca transkip data
& hasil observasi Membuat subtema
(fieldnote) secara
berulang-ulang

Memasukan tema

Mengintegrasikan hasil
analisa kedalam bentuk
deskriptif

Sumber: Colaizzi (1978 dalam Polit & Beck, 2010)

26
3.7 Rigor dan Trustworthiness

1. Rigour
Rigour dalam artian keakuratan data pada hasil penelitian dapat dicapai
dengan adanya keterbukaan, mengacu pada filosofi, kejujuran dalam pengukuran
data dan kehati-hatian dalam menganalisadata yang diperoleh. Pada penelitian ini
keakuratan data penelitian dicapai dengan mendapatkan data langsung dari
partisipan. Data yang didapatkan dituliskan apa adanya tanpa ada tambahan dari
peneliti.
2. Trustworthiness
Menurut Lincoln and Guba di tahun 1985, pencapaian trustworthiness dapat
dilakukan dengan empat cara yaitu credibility, dependability, transferability, dan
confirmability (Graneheim & Lundman, 2004):
a. Credibility
Kredibilitas suatu penelitian dapat diakui apabila hasil yang dilaporkan sesuai
dengan apa yang dirasakan dan dialami oleh partisipan. Kredibilitas dalam
penelitian dapat dilakukan dengan sering melakukan pengamatan, ketentuan
dalam pengolahan data.
b. Dependability
Konsistensi dan kestabilan data pada dependability dicapai dengan melakukan
klarifikasi data saat melakukan wawancara. Data yang didapatkan pada
pertemuan sebelumnya akan diklarifikasi kembali pada pertemuan wawancara
berikutnya dan dalam pengolahan data dikonsultasikan dengan pembimbing
c. Transefability
Menurut Guba dan Lincoln pada tahun 1985, transferability merujuk
kepada hasil penelitian secara esensial dapat ditransfer pada orang lain yang
mengalami hal yang sama. Transferability dapat dilakukan dengan
menjabarkan hasil penelitian yang kaya akan deskripsi, dengan kata lain

27
deskripsi pentingyang detail dan menyeluruh sehingga informasi yang
diberikan sangat lengkap. Hasil penelitian yang kaya akan deskripsi ini dibuat
dalam bentuk laporan.
d. Confimability
Confirmability merujuk pada data yang objektif dan netral sehingga
kebenaran data dipastikan. Confirmability dapat dicapai oleh peneliti dengan
mempertahankan bracketing saat melakukan penelitian. Peneliti melakukan
confirmability kepada partisipan untuk mengklarifikasi apakah hasil yang
didapatkan sesuai dengan yang partisipan alami. Peneliti membuat transkip
yang telah dibuat, tabel pengkategorian, tabel analisa kemudian
mengkonsultasikan ke pembimbing.

3.8 Etika Penelitian

Masalah penelitian keperawatan merupakan masalah yang sangat penting


dalam penelitian, mengingat penelitian keperawatan berhubungan langsung dengan
manusia maka etika penelitian harus diperhatikan (Hidayat, 2009). Menurut
Notoatmodjo (2010), prinsip etika dalam penelitian dapat dapat dibedakan menjadi 4
bagian yaitu sebagai berikut:
1. Prinsip menghormati harkat dan martabat manusia (respect for human dignity)
a. Hak untuk memberikan kebebasan kepada subjek untuk memberikan
informasi atau tidak memberikan informasi,
b. Hak untuk mendapatkan penjelasan mengenai tujuan dan manfaat dari
penelitian.
c. Hak untuk persetujuan peneliti dapat menjawab setiap pertanyaan yang
diajukan subjek berkaitan dengan prosedur penelitian.
d. Hak untuk persetujuan subjek dapat mengundurkan diri sebagai objek
penelitian kapan saja.

28
2. Menghormati privasi dan kerahasiaan subjek penelitian (respect for privacy and
confidentiality)
a. Hak untuk ikut atau tidak menjadi responden.
b. Hak untuk mendapatkan jaminan dari perlakuan yang diberikan.
c. Informed consent
3. Keadilan dan inklusivitas/keterbukaan (respect for justice an inclusiveness)
a. Hak mendapatkan penjelasan tentang prosedur penelitian.
b. Hak untuk mendapatkan perlakuan yang adil.
c. Hak untuk dijaga kerahasiaannya.
4. Memperhitungkan manfaat dan kerugian yang ditimbulkan (balancing harms
and benefits)
a. Bebas dari penderitaan; penelitian harus dilaksanakan tanpa mengakibatkan
penderitaan kepada partisipan, khususnya jika menggunakan metode khusus.
b. Bebas dari eksploitasi; partisipan harus terhindar dari keadaan yang tidak
menguntungkan.

29
DAFTAR PUSTAKA

Farisa F.C, (2018). BNPB. https://nasional.kompas.com/read/2018/10/


25/22572321 /bnpb-selama-2018-ada-1999-kejadian-bencana .

Hawari D. (2011). Pendekatan psikoreligi pada trauma bencana. Jakarta: Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia

Mashar. R (2011) Konseling Pada Anak Yang Mengalami Stress Pasca Trauma
Bencana Merapi Melalui Play Therapy. Fak.Psikologi : Universitas
Muhammadiyah Magelang

Nawangsih. E (2014) Play Therapy Untuk Anak-Anak Korban Bencana Alam Yang
Mengalami Trauma (Post Traumatic Stress Disorder/PTSD). Psympathic, Jurnal
Ilmiah Psikologi Juni 2014, Vol. 1, No.2, Hal : 164 - 178

Pratiwi C. A, Karini S.M & Agustin R.W. (2011). Perbedaan Tingkat Post-
Traumatic Stress Disorder Ditinjau Dari Bentuk Dukungan Emosi Pada
Penyintas Erupsi Merapi Usia Remaja Dan Dewasa. Fakultas Kedokteran
Universitas sebelas maret : Surakarta

Taufiq. R, Susanty. E, Titi . D & Nurlina.E. (2011) Gambaran Resiliensi Anak Pasca
Bencana Banjir Di Desa Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Fak.
Psikologi: Universitas Jenderal Achmad Yani, Bandung

stirrrd.files.wordpress.com/2014/11/donggala-regency-natural-disaster-vulnerability-
profile-bahasa.pdf

www.liputan6.com/news/read/3664081/jumlah-korban-gempa-tsunami-palu-dan-
donggala-jadi-2045-orang

www.bbc.com/indonesia/indonesia-45795653

30
Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2016. Peraturan Kepala BNPB No. 02
Tahun 2012 Tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana. Jakarta.

Endah,2014.Play Theraphy Untuk Anak Korban Bencana Alam Yang Mengalami


Trauma (Post Therapy Trauma Stress Disorder/PTSD).Skrispi:Universitas
Islam Bandung

Taufik, P., dan Suharyadi, 2014. Landslide Risk Spatial Modelling Using
Geographical Information System. Tutorial Landslide. Laboratorium Sistem
Informasi Geografis. Yogkarta: Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada.

WHO. World Health Statistic Report 2013. Geneva: World Health Organization;
2013.

Wong,D,L.,Hockenberry(2009).Buku Ajar :Keperawatan Pediatrik.Edisi 6.(Alih


bahasa:Hartono,&Setiawan).Jakarta:EGC.

Hurlock. 2012. Perkembangan Anak, jilid 2. Jakarta: Erlangga

Saparwati, Mona (2012). Studi Fenomenologi : Pengalaman Kepala Ruang dalam


Mengelola Ruang Rawat di RSUD Ambarawa. Tesis Magister Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia, Depok.

Sukmaningrum, E. (2001). Terapi bermain sebagai salah satu alternatif penanganan


pasca trauma karena kekerasan (Domestic Violence) pada anak. Jurnal
Psikologi, 8 (2): 14-23.

Sarwono,Mulyadi (2012). Respon Trumatik Anak Korban Banjir Bandang Di Wasior


Papua Barat.Journal sosiohumaniora.Vol 41,No 1:12-23

31

Anda mungkin juga menyukai