Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

PROSES TERJADINYA STUNTING DAN INDIKATOR


STUNTING

DISUSUN OLEH:
KADEK NONI ANGRAENI 18150007

A15.1
D3 KEBIDANAN
ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS RESPATI YOGYAKARTA
TAHUN AJARAN 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji Tuhan, terima kasih Saya ucapkan atas bantuan Tuhan yang telah mempermudah
dalam pembuatan makalah ini, hingga akhirnya terselesaikan tepat waktu. Tanpa bantuan
dari Tuhan, Saya bukanlah siapa-siapa. Selain itu, Saya juga ingin mengucapkan terima
kasih kepada orang tua, keluarga, serta pasangan yang sudah mendukung hingga titik
terakhir ini.

Banyak hal yang akan disampaikan kepada pembaca mengenai “stunting”. Dalam hal
ini, Saya ingin membahas mengenai proses terjadinya stunting dan indikator stunting.

Saya menyadari jika mungkin ada sesuatu yang salah dalam penulisan, seperti
menyampaikan informasi berbeda sehingga tidak sama dengan pengetahuan pembaca
lain. Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya jika ada kalimat atau kata-kata yang salah.
Tidak ada manusia yang sempurna kecuali Tuhan.

Demikian Saya ucapkan terima kasih atas waktu Anda telah membaca makalah saya.

Yogyakarta,29 September 2020

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...................................................................................................................................1
KATA PENGANTAR.................................................................................................................................2
DAFTAR ISI...............................................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................................................4
1.1. Latar belakang.............................................................................................................................4
1.2. Rumusan masalah........................................................................................................................5
1.3. Tujuan masalah............................................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................................................6
2.1. Proses terjadinya stunting............................................................................................................9
2.2. Indikator stunting.......................................................................................................................11
BAB III PENUTUP...................................................................................................................................15
3.1. Kesimpulan................................................................................................................................15
3.2. Saran..........................................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................17

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang


Stunting adalah masalah gizi kronis pada balita yang ditandai dengan tinggi
badan yang lebih pendek dibandingkan dengan anak seusianya. Kondisi ini
diukur dengan panjang atau tinggi badan yang lebih dari minus dua standar
deviasi median standar pertumbuhan anak dari WHO. Balita stunting termasuk
masalah gizi kronik yang disebabkan oleh banyak faktor seperti kondisi sosial
ekonomi, gizi ibu saat hamil, kesakitan pada bayi, dan kurangnya asupan gizi
pada bayi. Balita stunting di masa yang akan datang akan mengalami kesulitan
dalam mencapai perkembangan fisik dan kognitif yang optimal. Anak yang
menderita stunting akan lebih rentan terhadap penyakit dan ketika dewasa
berisiko untuk mengidap penyakit degeneratif.

Dampak stunting tidak hanya pada segi kesehatan tetapi juga mempengaruhi
tingkat kecerdasan anak. Anak merupakan aset bangsa di masa depan. Bisa
dibayangkan, bagaimana kondisi sumber daya manusia Indonesia di masa
yang akan datang jika saat ini banyak anak Indonesia yang menderita stunting.
Dapat dipastikan bangsa ini tidak akan mampu bersaing dengan bangsa lain
dalam menghadapi tantangan global. Untuk mencegah hal tersebut, pemerintah
mencanangkan program intervensi pencegahan stunting terintegrasi yang
melibatkan lintas kementerian dan lembaga. Pada tahun 2018, ditetapkan 100
kabupaten di 34 provinsi sebagai lokasi prioritas penurunan stunting. Jumlah
ini akan bertambah sebanyak 60 kabupaten pada tahun berikutnya. Dengan
adanya kerjasama lintas sektor ini diharapkan dapat menekan angka stunting di
Indonesia sehingga dapat tercapai target Sustainable Development Goals
(SDGs) pada tahun 2025 yaitu penurunan angka stunting hingga 40%.

Kejadian balita pendek atau biasa disebut dengan stunting merupakan salah
satu masalah gizi yang dialami oleh balita di dunia saat ini. Pada tahun 2017
22,2% atau sekitar 150,8 juta balita di dunia mengalami stunting. Namun
angka ini sudah mengalami penurunan jika dibandingkan dengan angka
stunting pada tahun 2000 yaitu 32,6%. Pada tahun 2017, lebih dari setengah
balita stunting di dunia berasal dari Asia (55%) sedangkan lebih dari
sepertiganya (39%) tinggal di Afrika. Dari 83,6 juta balita stunting di Asia,
proporsi terbanyak berasal dari Asia Selatan (58,7%) dan proporsi paling
sedikit di Asia Tengah (0,9%). Data prevalensi balita stunting yang
dikumpulkan World Health Organization (WHO), Indonesia termasuk ke
dalam negara ketiga dengan prevalensi tertinggi di regional Asia
Tenggara/South-East Asia Regional (SEAR). Rata-rata prevalensi balita
stunting di Indonesia tahun 2005-2017 adalah 36,4%.

1.2. Rumusan masalah


1. Bagaimana proses terjadinya stunting ?
2. Apa saja indikator stunting ?

1.3. Tujuan masalah


1. Untuk mengetahui proses terjadinya stunting
2. Untuk mengetahui apa saja indikator stunting
BAB II

PEMBAHASAN

Kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal setelah bayi
lahir, kondisi stunting baru terlihat setelah bayi berusia 2 tahun. Stunting menurut
Keputusan Menteri Kesehatan tahun 2010 adalah status gizi yang didasarkan pada
indeks panjang badan menurut umur (PB/U) atau tinggi badan menurut umur (TB/U)
dalam standar penilaian status gizi anak, dengan hasil pengukuran yang berada pada
nilai standar atau z-score< -2 SD sampai dengan -3 SD untuk pendek (stunted) dan < -3
SD untuk sangat pendek (severely stunted).

Stunting dapat menimbulkan dampak yang buruk, baik dalam jangka pendek maupun
jangka panjang. Dalam jangka pendek stunting dapat menyebabkan gagal tumbuh,
hambatan perkembangan kognitif & motorik sehingga berpengaruh pada perkembangan
otak dan keberhasilan pendidikan, dan tidak optimalnya ukuran fisik tubuh serta
gangguan metabolisme. Stunting merupakan wujud dari adanya gangguan pertumbuhan
pada tubuh, bila ini terjadi, maka salah satu organ tubuh yang cepat mengalami risiko
adalah otak. Dalam otak terdapat sel-sel saraf yang sangat berkaitan dengan respon anak
termasuk dalam melihat, mendengar, dan berpikir selama proses belajar.

Dampak jangka panjang yang ditimbulkan stunting adalah menurunnya kapasitas


intelektual, gangguan struktur dan fungsi saraf dan sel-sel otak yang bersifat permanen
dan menyebabkan penurunan kemampuan menyerap pelajaran di usia sekolah yang
akan berpengaruh pada produktivitas saat dewasa, dan meningkatkan risiko penyakit
tidak menular seperti diabetes mellitus, hipertensi, jantung koroner dan stroke. Anak
mengalami stunting memiliki potensi tumbuh kembang yang tidak sempurna,
kemampuan motorik dan produktivitas rendah, serta memiliki risiko lebih tinggi untuk
menderita penyakit tidak menular. Stunting pada balita berdampak pada timbulnya
potensi kerugian ekonomi karena penurunan produktivitas kerja dan biaya perawatan.
Kesemuanya itu akan menurunkan kualitas sumber daya manusia, produktivitas dan
daya saing bangsa.
Penilaian status gizi balita yang sangat umum digunakan adalah cara penilaian
antropometri. Antropometri berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi
tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Berbagai jenis
ukuran tubuh antara lain berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas dan tebal lemak
di bawah kulit. Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan
pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal , tinggi badan tumbuh seiring dengan
pertambahan umur. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan nampak
dalam waktu yang relatif lama.Beberapa indeks antropometri yang sering digunakan
adalah BB/U, TB/U dan BB/TB.Untuk kegiatan pemantauan status gizi dalam jangka
waktu yang lama (2 tahun atau lebih) pilihan utama adalah menggunakan indeks TB/U.
Indeks ini cukup peka untuk mengukur perubahan status gizi jangka panjang. Indeks
TB/U di samping memberikan gambaran status gizi masa lampau, juga lebih erat
kaitannya dengan sosial-ekonomi. Pelaksanaan penilaian status gizi di Indonesia,
masing-masing indeks antropometri yang digunakan memiliki baku rujukan. Baku
rujukan yang digunakan di Indonesia adalah baku rujukan WHO 2005. Standar WHO
2005 mengklasifikasikan status gizi menggunakan zscore atau z (nilai median), yakni
suatu angka salah satunya adalah TB terhadap standar deviasinya, menurut usia dan
jenis kelamin.

Stunting dipengaruhi oleh banyak faktor dan faktor tersebut saling terkait antara satu
dengan yang lainnya. UNICEF (1998) menggambarkan faktor yang berhubungan
dengan status gizi termasuk stunting. Pertama, penyebab langsung dari stunting adalah
asupan gizi dan penyakit infeksi. Asupan gizi yang tidak seimbang, tidak memenuhi
jumlah dan komposisi zat gizi yang memenuhi syarat gizi seimbang seperti makanan
yang beragam, sesuai kebutuhan, bersih dan aman, misalnya bayi tidak memeperoleh
ASI eksklusif. Kedua, penyebab tidak langsung, yaitu ketersediaan pangan tingkat
rumah tangga, perilaku atau asuhan ibu dan anak, dan pelayanan kesehatan dan
lingkungan. Ketersediaan pangan tingkat rumah tangga khususnya pangan untuk bayi 0-
6 bulan yaitu ASI eksklusif dan bayi usia 6-23 bulan yaitu MP-ASI, dan pangan yang
bergizi seimbang khususnya bagi ibu hamil. Semuanya itu terkait pada kualitas pola
asuh anak. Ketersediaan pangan tingkat rumah tangga, perilaku atau asuhan ibu dan
anak, dan pelayanan kesehatan dan lingkungan dipengaruhi oleh masalah utama berupa
kemiskinan, pendidikan rendah, ketersediaan pangan, dan kesempatan kerja.
Keseluruhan dari penyebab masalah gizi di atas dipengaruhi oleh masalah dasar, yaitu
krisis politik dan ekonomi.

Soetjiningsih menyatakan bahwa terdapat dua faktor yang mempengaruhi tumbuh


kembang anak yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik merupakan
modal dasar dalam mencapai hasil akhir proses tumbuh kembang anak. Melalui
instruksi genetik yang terkandung di dalam sel telur yang telah dibuahi, dapat
ditentukan kualitas dan kuantitas pertumbuhan. Ditandai dengan intensitas dan
kecepatan pembelahan, derajat sensitivitas jaringan terhadap rangsangan, umur pubertas
dan berhentinya pertumbuhan tulang. Termasuk faktor genetik antara lain adalah
berbagai faktor bawaan yang normal dan patologik, jenis kelamin, suku bangsa atau
bangsa. Gangguan pertumbuhan di negara maju lebih sering diakibatkan oleh faktor
genetik, sedangkan di negara yang berkembang, gangguan pertumbuhan selain
diakibatkan oleh faktor genetik, juga faktor lingkungan yang kurang memadai untuk
tumbuh kembang anak yang optimal. Faktor lingkungan merupakan faktor yang sangat
menentukan tercapai atau tidaknya potensi bawaan.

Lingkungan yang cukup baik akan memungkinkan tercapainya potensi bawaan,


sedangkan yang kurang baik akan menghambatnya. Faktor lingkungan ini secara garis
besar dibagi menjadi faktor lingkungan pranatal dan postnatal. Faktor lingkungan
pranatal merupakan faktor lingkungan yang mempengaruhi anak pada waktu masih di
dalam kandungan. Faktor lingkungan prenatal yang berpengaruh terhadap tumbuh
kembang janin mulai dari konsepsi sampai lahir, antara lain adalah gizi ibu pada saat
hamil, mekanis, toksin atau zat kimia, endokrin, radiasi, infeksi, stress, imunitas dan
anoksia embrio. Faktor lingkungan post-natal merupakan faktor lingkungan yang
mempengaruhi tumbuh kembang anak setelah lahir, secara umum faktor lingkungan
post-natal dapat digolongkan menjadi lingkungan biologis, faktor fisik, faktor
psikososial, serta faktor keluarga dan adat istiadat. Faktor keluarga seperti pendidikan
orang tua dapat menjadi faktor penyebab terjadinya permasalahan stunting.

Pendidikan orangtua merupakan salah satu faktor yang penting dalam tumbuh kembang
anak. Pendidikan orang tua yang baik dapat memudahkan dalam menerima segala
informasi dari luar terutama mengenai cara pengasuhan anak yang baik, cara menjaga
kesehatan anak, dan lain sebagainya. Di negara-negara berkembang, faktor lingkungan
menjadi faktor terpenting dalam proses terjadinya stunting dibandingkan faktor etnik
maupun faktor genetik. Buta aksara pada perempuan, hygine yang jelek, lingkungan
pemukiman yang kumuh, banyaknya penyakit infeksi, makanan yang terkontaminasi
atau tidak mencukupi, semuanya berinteraksi dalam suatu lingkungan yang miskin.

Penelitian yang dilakukan di Surabaya menunjukkan bahwa pendidikan ibu dan


pengetahuan gizi ibu merupakan faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting
pada balita. Tingkat pendidikan ibu turut menentukan mudah tidaknya seorang ibu
dalam menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang didapatkan. Hasil penelitian
tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Aridiyah,dkk (2015) yang
menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi terjadinya stunting pada anak balita yang
berada di wilayah pedesaan dan perkotaan adalah pendidikan ibu, pendapatan keluarga,
pengetahuan ibu mengenai gizi pemberian ASI eksklusif, umur pemberian MP-ASI,
tingkat kecukupan zink, tingkat kecukupan zat besi, riwayat penyakit infeksi serta faktor
genetik dari orang tua.

2.1. Proses terjadinya stunting


Stunting terjadi mulai dari pra-konsepsi ketika seorang remaja menjadi ibu
yang kurang gizi dan anemia. Menjadi parah ketika hamil dengan asupan gizi
yang tidak mencukupi kebutuhan, ditambah lagi ketika ibu hidup di
lingkungan dengan sanitasi kurang memadai. Remaja putri di Indonesia usia
15-19 tahun , kondisinya berisiko kurang energi kronik (KEK) sebesar 46,6%
tahun 2013. Ketika hamil, ada 24,2% Wanita Usia Subur (WUS) 15-49 tahun
dengan risiko KEK, dan anemia sebesar 37,1%. Dilihat dari asupan makanan,
ibu hamil pada umumnya defisit energi dan protein. Hasil dari Survei Nasional
Konsumsi Makanan Individu (SKMI) tahun 2104 menunjukkan sebagian besar
ibu hamil (kota dan desa) maupun menurut sosial ekonomi (kuintil 1-5)
bermasalah untuk asupan makanan, baik energi dan protein.

Kondisi-kondisi di atas disertai dengan ibu hamil yang pada umumnya juga
pendek (< 150 cm) yang proporsinya 31,3%, berdampak pada bayi yang
dilahirkan mengalami kurang gizi, dengan berat badan lahir rendah < 2.500
gram dan juga panjang badan yang kurang dari 48 cm . Jika digabung anak
yang lahir dengan berat badan < 2.500 gram dan panjang badan < 48 cm,
untuk Indonesia ada sekitar 4,3% , bervariasi dari 0,8% di Maluku dan 7,6% di
Papua. Setelah bayi lahir dengan kondisi tersebut, dilanjutkan dengan kondisi
rendahnya Inisiasi Menyusu Dini (IMD) yang memicu rendahnya menyusui
eksklusif sampai dengan 6 bulan, dan tidak memadainya pemberian makanan
pendamping ASI (MP-ASI). Dari berbagai survei nasional (Riskesdas 2013,
Sirkesnas 2016, SDKI 2012 – 2017) bayi yang menyusui eksklusif belum
sampai 50%. Lebih lanjut, berdasarkan kajian dari SDKI 2012 dan mengikuti
ketentuan dari pedoman pemberian makan pada anak yang dikeluarkan oleh
WHO, ternyata anak Indonesia yang terkategori dalam minimum acceptable
diet hanya 36,6% .

Data SKMI 2014 juga menunjukkan asupan anak > 6 bulan cenderung
mengonsumsi 95% dari kelompok serealia (karbohidrat), sangat kurang dari
kelompok protein, buah, dan sayur. Dari uraian di atas, tidak heran jika angka
stunting di Indonesia tidak berubah dan cenderung meningkat. Terjadi gagal
tumbuh (growth faltering) mulai bayi berusia 2 bulan, dampak dari calon ibu
hamil (remaja putri) yang sudah bermasalah, dilanjutkan dengan ibu hamil
yang juga bermasalah. Hal ini sangat terkait oleh banyak faktor, utamanya
secara kronis karena asupan gizi yang tidak memadai dan kemungkinan rentan
terhadap infeksi, sehingga sering sakit. Secara kumulatif, menunjukan kejadian
gagal tumbuh anak Indonesia pada tahun 2013 dan jika dibandingkan antara
anak stunting dan anak normal, ada perbedaan tinggi badan yang cukup
mencolok.

Proses terjadinya stunting dilalui dengan proses yang panjang, diawali dengan
gagal tumbuh baik yang terjadi selama kehamilan maupun setelah lahir dua
sampai tiga tahun pertama kehidupan. Gagal tumbuh tersebut berakibat
terjadinya penurunan proporsi pada pertumbuhan tulang maupun jaringan
lunak dalam tubuh . Stunting yang terjadi dalam periode kritis yaitu sejak
dalam kandungan sampai dengan usia dua tahun, bila tidak dimanfaatkan
dengan baik maka akan berdampak permanen terhadap perkembangan. Balita
yang mengalami stunting akan berdampak pada perkembangan motorik,
seperti terjadi gangguan keterlambatan berjalan.
Faktor penyebab stunting menurut WHO (2013) secara komprehensif
diuraikan menjadi faktor langsung dan tidak langsung . Chirande et al. (2015)
menguraikan penyebab stunting menjadi beberapa faktor baik dari faktor orang
tua, faktor anak, dan faktor lingkungan rumah tangga. Orang tua memiliki
peranan yang sangat penting dalam memperhatikan perkembangan anak dan
mendukung upaya mengatasi masalah gizi pada anak. Mencegah kekurangan
gizi pada anak dimulai dengan ibu. Kesehatan ibu sangat penting untuk masa
depan kesehatan anaknya. Perkembangan seorang anak dalam rahim
dipengaruhi jika ibu mereka kekurangan gizi

2.2. Indikator stunting


Stunting dapat diklasifikasikan dengan cara pengukuran dan penilaian
antropometri. Antropometri merupakan indikator yang umum digunakan untuk
pengukuran gizi. Status gizi yang diukur secara antropometrik dapat diketahui
melalui beberapa indeks. Seseorang dikatakan mencapai pertumbuhan optimal,
apabila dapat mencapai standar pertumbuhan yang seharusnya dicapai pada
usia tersebut. Parameter yang digunakan dalam penilaian stunting yaitu
panjang badan (PB) atau tinggi badan (TB) dan usia anak. Ukuran panjang
badan (PB) digunakan untuk anak umur 0 sampai 24 bulan yang diukur
telentang dengan menggunakan infantometer. Bila anak umur 0 sampai 24
bulan diukur berdiri, maka hasil pengukurannya dikoreksi dengan
menambahkan 0,7 cm. Ukuran tinggi badan (TB) digunakan untuk anak umur
diatas 24 bulan yang diukur berdiri dengan microtoise. Bila anak umur diatas
24 bulan diukur telentang, maka hasil pengukurannya dikoreksi dengan
mengurangkan 0,7 cm.

Indeks yang digunakan dalam penilaian stunting yaitu PB/U atau TB/U.
Indikator status gizi berdasarkan indeks PB/U atau TB/U memberikan indikasi
masalah gizi yang sifatnya kronis sebagai akibat dari keadaan yang
berlangsung lama. Misalnya: kemiskinan, perilaku hidup tidak sehat, dan pola
asuh/pemberian makan yang kurang baik dari sejak anak dilahirkan yang
mengakibatkan anak menjadi pendek. Indikator yang umum digunakan di
Indonesia adalah berat badan menurut tinggi badan (BB/TB), meski ada juga
indicator lain seperti tinggi badan menurut usia (TB/U), dan berat badan
menurut usia (BB/U).Indikator BB/TB menentukan status gizi anak dengan
membandingkan berat dengan berat ideal menurut tinggi badannya, kemudian
dapat diinterpretasikan sebagai obesitas, gizi lebih, gizi baik, gizi kurang, dan
gizi buruk. Indikator TB/U membandingkan tinggi badan seorang anak dengan
anak yang sama jenis kelamin seusianya. Interpretasinya adalah tinggi, normal,
perawakan pendek, dan perawakan sangat pendek. Adapun indicator BB/U
membagi anak menjadi berat badan normal, berat badan kurang, dan berat
badan berlebih. Indicator ini membandingkan berat badan seorang anak
dengan anak seusianya.

Untuk memastikan pertumbuhan sesuai dengan acuan, bawalah anak secara


teratur ke layanan kesehatan. Bila curiga ada kelainan pertumbuhan, segera
bawa anak ke dokter. Pastikan setiap kali anak diukur berat, panjang/tinggi
badan, dan lingkar kepalanya, data diplot di kurva pertumbuhan yang sesuai
agar dapat dinilai keadaannya saat ini. Bisa saja anak memiliki pertumbuhan
normal sampai usia tertentu, tetapi terjadi gangguan setelahnya. Misalnya,
seorang anak usia satu tahun tergolong gizi baik dengan tinggi badan sesuai
usia, tepai kemudian mengalami infeksi berat sehingga pertumbuhan setelah
usia satu tahun terhambat.

Penilaian status gizi anak balita dimaksudkan untuk mengetahui apakah


seseorang atau kelompok balita tersebut mempunyai status gizi kurang, baik
atau lebih. Penilaian status gizi anak balita tersebut bertujuan untuk
mengetahui sejauh mana keseimbangan antara zat gizi yang masuk dalam
tubuh dengan zat gizi yang digunakan oleh tubuh, sehingga tercipta kondisi
fisik yang optimal. Cara dalam mengukur atau menilai status gizi seseorang
yaitu dengan Penilaian status gizi secara langsung. Pada penilaian gizi secara
langsung yaitu ada empat penilaian yaitu klinis, biokimia, biofisik,
antropometri yaitu :

1. Pemeriksaan klinis. Penggunaan pemeriksaan klinis untuk


mendeteksi defisiensi gizi yaitu dengan mendeteksi kelainan atau
gangguan yang terjadi pada kulit, rambut, mata, membran mukosa
mulut, dan bagian tubuh yang lain dapat dipakai sebagai petunjuk ada
tidaknya masalah gizi kurang. Tanda-tanda klinis malnutrisi tidak
spesifik, karena ada beberapa penyakit yang mempunyai gejala yang
sama tetapi penyebabnya berbeda. Oleh karena itu pemeriksaan klinis
harus dipadukan dengan pemeriksaan yang lain (Supariasa, 2007).

2. Biokimia. Pemeriksaan biokimia yang sering digunakan dalam


penelitian adalah tehnik pengukuran kandungan berbagai zat gizi dan
subtansi kimia lain dalam darah dan urine. Hasil pengukuran tersebut
dibandingkan dengan standar normal yang telah ditetapkan. Dalam
berbagai hal pemeriksaan biokimia hanya dapat diperoleh di rumah
sakit atau pusat kesehatan, dan pada pemeriksaan ini hanya dapat
dilakukan oleh orang yang ahli (Supariasa, 2007).

3. Biofisik. Penilaian status gizi dengan biofisik adalah melihat dan


kemampuan fungsi jaringan dan perubahan stuktur, dimana tes
kemampuan fungsi jaringan meliputi, kemampuan kerja dan adaptasi
sikap. Pemeriksaan ini bisa dilakukan secara klinis maupun tidak.
Penilaian status gizi secara biofisik sangat mahal dan memerlukan
tenaga profesional. Penelitian ini dilakukan melalui tiga cara yaitu uji
radiologi, tes fungsi fisik, dan sitologi (Supariasa, 2007).

4. Antropometri Parameter yang digunakan pada penilaian status gizi


dengan menggunakan antropometri adalah umur, berat badan, tinggi
badan, lingkar lengan atas, lingkar kepala, dan lingkar dada
(Supariasa, 2005). Indeks antropometri yang umum digunakan dalam
menilai status gizi adalah berat badan menurut umur (BB/ U), tinggi
badan menurut umur (TB/ U), dan berat badan menurut tinggi badan
(BB/TB). Indeks BB/U adalah pengukuran total berat badan
termasuk air, lemak, tulang dan otot, indeks TB/U adalah pengukuran
pertumbuhan linier, indeks BB/TB adalah indeks untuk membedakan
apakah kekurangan gizi terjadi secara kronis atau akut (Supariasa,
2007).
Berdasarkan pengalaman pelaksanaan Aksi Bergizi yang sama di Lombok
Barat, Nusa Tenggara Barat dan Klaten, Jawa Tengah, menurut Blandina,
Kabupaten Kupang turut mengalokasikan anggaran di tahun 2020 untuk
perluasan kegiatan penurunan dan pencegahan stunting tersebut dengan
dukungan teknis dari UNICEF. "Kegiatan ini searah dengan satu dari 25
komposit indikator penyebab stunting di NTT, yakni meningkatan cakupan
dan kualitas remaja putri yang mendapatkan TTD. Serta promosi perubahan
perilaku demi meningkatkan pengetahuan dan kesedaran remaja dalam aspek
gizi spesifik dan gizi sensitif. Sehingga mereka diharapkan dapat tumbuh
menjadi remaja dan calon orang tua yang berpengetahuan dan sehat.
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan
1. Stunting adalah masalah gizi kronis pada balita yang ditandai dengan
tinggi badan yang lebih pendek dibandingkan dengan anak seusianya
2. Stunting terjadi mulai dari pra-konsepsi ketika seorang remaja menjadi ibu
yang kurang gizi dan anemia
3. Proses terjadinya stunting dilalui dengan proses yang panjang, diawali
dengan gagal tumbuh baik yang terjadi selama kehamilan maupun setelah
lahir dua sampai tiga tahun pertama kehidupan. Gagal tumbuh tersebut
berakibat terjadinya penurunan proporsi pada pertumbuhan tulang maupun
jaringan lunak dalam tubuh . Stunting yang terjadi dalam periode kritis
yaitu sejak dalam kandungan sampai dengan usia dua tahun, bila tidak
dimanfaatkan dengan baik maka akan berdampak permanen terhadap
perkembangan. Balita yang mengalami stunting akan berdampak pada
perkembangan motorik, seperti terjadi gangguan keterlambatan berjalan.
4. Mencegah kekurangan gizi pada anak dimulai dengan ibu. Kesehatan ibu
sangat penting untuk masa depan kesehatan anaknya. Perkembangan
seorang anak dalam rahim dipengaruhi jika ibu mereka kekurangan gizi
5. Antropometri merupakan indikator yang umum digunakan untuk
pengukuran gizi.
6. Antropometri Parameter yang digunakan pada penilaian status gizi dengan
menggunakan antropometri adalah umur, berat badan, tinggi badan,
lingkar lengan atas, lingkar kepala, dan lingkar dada (Supariasa, 2005).
Indeks antropometri yang umum digunakan dalam menilai status gizi
adalah berat badan menurut umur (BB/ U), tinggi badan menurut umur
(TB/ U), dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB)
3.2. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah diatas banyak sekali kesalahan dan jauh
dari kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki makalah tersebut dengan
berpedoman pada banyak sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Maka
dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran mengenai pembahasan dalam
kesimpulan di atas.
DAFTAR PUSTAKA

https://rsudmangusada.badungkab.go.id/promosi/read/102/stunting

http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/1341/4/BAB%202.pdf

digilib.unisayogya.ac.id/2381/1/Naskah Publikasi.pdf ·

eprints.poltekkesjogja.ac.id/1134/4/4. Chapter 2.pdf

repository.unimus.ac.id/1976/3/BAB II.pdf

https://mediaindonesia.com/read/detail/339205-aksi-cegah-stunting-di-kabupaten-
kupang-dimulai-dari-remaja

Anda mungkin juga menyukai